WAJIB PAJAK BADAN DENGAN PELAYANAN SEBAGAI VARIABEL MODERATING (Studi Kasus Pada Kantor Pelayanan Pajak KPP Pratama Bangkinang)
Oleh:
AHMAD YUSUF 185310607
PROGRAM STUDI AKUNTANSI S1
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS ISLAM RIAU PEKANBARU 2021 PROPOSAL
PENGARUH SANKSI PAJAK, TERHADAP KEPATUHAN
WAJIB PAJAK BADAN DENGAN PELAYANAN SEBAGAI VARIABEL MODERATING (Studi Kasus Pada KPP Pratama Bangkinang)
“Diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam penyusunan skripsi di Fakultas
Ekonomi Universitas Islam Riau”
Oleh:
AHMAD YUSUF 185310607
PROGRAM STUDI AKUNTANSI S1
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS ISLAM RIAU PEKANBARU 2021 BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pajak merupakan salah satu sumber kekayaan yang paling besar bagi Negara Indonesia. Pajak digunakan untuk pengeluaran pemerintah guna mensejahterakan rakyat. Pajak memberi konstibusi yang besar untuk membiayai pembangunan suatu Negara. Meskipun terdapat sumber-sumber lain yang digunakan dalam penerimaan Negara. Menurut Mardiasmo (2016) pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang – undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik (kontra- prestasi) yang langsung ditujukan dan yang digunkan untuk membayar peneluaran umum. Pemerintah memenuhi kebutuhan dana dengan mengendalikan dua sumer pokok, yaitu sumber dana dalam negeri dan sumber dana luar negeri sebagaimana yang tercantum dalam APBN, sumber dana luar negeri misalnya pinjaman luar negeri dan ghiba. Sedangkan sumber dana dalam negeri misalnya penjualan migas dan non migas serta pajak. Menurut Krisnayanti (2019) Penerimaan pajak oleh negara salah satunya diperoleh dari pajak penghasilan. Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima/diperoleh seseorang atau badan dalam tahun pajak atau bagian tahun pajak Pajak menurut Pasal 1 UU No.28 Tahun 2007 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah “Konstribusi wajib” kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dari pergertian atau fakta diatas mengungkapkan bahwa tujuan pajak adalah untuk memakmurkan rakyat atau membuat rakyak menjadi sejahtera. Semakin besar peranan pajak dalam pembangunan menjadi perhatian semua pihak, karena tingginya pajak menunjukan kemampuan kemandirian bangsa dalam membiayai pembangunan dari seluruh komponen bangsa. Tetapi menurut Rahayu (2017) Kesadaran wajib pajak untuk memenuhi kewajibannya masih rendah, baik untuk melaporkan surat pemberitahuan maupun membayar pajak. Kondisi ini pun membuat penerimaan negara menjadi tidak maksimal. Menurut Pranadata (2014) Untuk meningkatkan pendapatan pajak setiap tahunnya, Direktorat Jenderal Pajak pun melakukan reformasi dalam sistem perpajakannya dari official assestment system menjadi sistem self assestment system. Official assestment system merupakan sistem pemungutan pajak yang seluruh tanggung jawab terletak pada petugas pajak, baik besarnya pajak terutang wajib pajak dan juga resiko pajak yang mungkin akan timbul. Sedangkan Self Assessment System merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang dan kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk menghitung, membayar, dan melaporkan pajak yang terutang (Utami,2017). Di dalam sistem pemungutan pajak pajak seperti ini tentu diperlukan berbagai macam peraturan yang digunakan sebagai alat control dan pemahaman wajib pajak terhadap ini juga berpengaruh terhadap suksesnya sistem tersebut. Menurut Lubis (2017) dengan perubahan sistem pemungutan pajak menjadi self assessment maka peran wajib pajak lebih besar dibandingkan dengan peran petugas pajak karena self assessment system akan efektif apabila kepatuhan sukarela pada masyarakat telah terbentuk dan menurut Boymau (2016) perubahan perpajakan dari Official Assessment menjadi Self Assessment memberikan kepercayaan wajib pajak untuk mendaftar, menghitung, membayar, dan melaporkan kewajiban perpajakanya sendiri. Keuntungan dari self assessment system adalah wajib pajak diberikan kepercayaan oleh direktorat pajak atau aparat pajak untuk dapat menghitung, membayar, dan melaporkan pajak terhutang sesuai dengan ketentuan- ketentuan pajak yang berlaku. Sedangkan kelemahan dari self assessment system ini adalah pratiknya yang sangat sulit berjalan dan ditati oleh wajib pajak bahkan tidak sedikit wajib pajak yang sengaja tidak mematuhinya. Karena kurang sadarnya masyarakat atau wajib pajak terhadap self assessment membuat wajib pajak sulit untuk memenuhi kewajiban perpajakanya. (Utami, 2017) SPT dalam self assessment system merupakan sarana yang digunakan oleh wajib pajak untuk melakukan perhitungan atas pajak terutangnya, kemudian melaporkan dengan benar semua hal dari identitas wajib pajak, kegiatan usaha sampai semua yang berkaitan dengan perpajakan. Wajib pajak juga menggunakan SPT ini sebagai dasar atau bukti bahwa wajib pajak tersebut telah melakukan kewajiban perpajakan. Dalam upaya meningkatkan kesadaran wajib pajak pemerintah Indonesia telah menerapkan sanksi pajak, mulai dari sanksi administrasi hingga sanksi pidana. Pengenaan sanksi pajak administrasi dan sanksi pidana di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). UU KUP menyatakan bahwa pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak yang menyangkut tindakan administrasi perpajakan yang dikenai sanksi administrasi dengan menebitkan surat ketetapan pajak atau surat tagihan pajak, sedangkan yang menyangkut sanksi pidana perpajakan dikenai sanksi pidana. Sanksi administrasi dapat berupa denda, bunga, dan keaikan, sedangkan sanksi pidana dapat berupa hukuman penjara. Wajib pajak badan pada dasarnya, setiap badan ( hukum ) yang didirikan atau bertempat berkedudukan di usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan memberikan jasa kepada anggota ata pemiliknya merupakan subjek atau wajib pajak penghasilan, subjek pajak badan yang harus melaksanakan kewajiban pajak penghasilan, subjek pajak yang badan harus kewajiban pajak penghasilan berkenan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak, yang termasuk pajak badan meliputi : 1. Perseroan terbatas (PT). 2. Perseroan komanditer (CV). 3. Perseroan lainya. 4. Badan usaha milik Negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun. 5. Firma. 6. Kongsi. 7. Koperasi. 8. Dana Pensiun. 9. Persekutuan. 10. Perkumpulan. 11. Yayasan. 12. Organisasi massa. 13. Organisasi sosial politik. 14. Organisasi lainya. 15. Lembaga 16. Bentuk badan lainya termasuk kontrak investasi kolektif. 17. Bentuk usaha tetap (Sumber : Wibowopajak.com, 22 November 2019) Jumlah wajib pajak semakin bertambah dari tahun ke tahun namun terdapat kendala yang dapat menghambat keefektifan pengumpulan pajak. Kendala tersebut adalah kepatuhan wajib pajak ( tax compliance ). Tabel 1 1 Jumlah Wajib Pajak Badan dan SPT yang terealisasi
Jumlah Wajib SPT yang
Tahun Persentase Pajak Badan terealisasi
2017 4000 2000 50%
2018 2019 2020 (Sumber : KPP Pratama Bangkinang) Berdasarkan tabel 1.1 menunjukkan bahwa dari tahun 2017-2020 jumlah wajib pajak badan terus meningkat seiap tahunya, tetapi tingkat kepatuhan wajib pajak badanya menurun. Hal itu dibuktikan dengan jumlah realisasi SPT yang menurun dan tingkat presentase yang rendah. Berkaitan dengan adanya masalah tersebut pihak Direktorat Jendral pajak ( DJP) diharapka agar selalu mengupayakan berbagai cara agar tinggkat kepatuhan wajib pajak naik atau tinggi. Hal ini juga akan memberikan keuntungan untuk DJP dalam penerimaan pajak. Salah satu lankahyang perlu duilakukan oleh DJP untuk menigkatan kepatuhan pajak salah satunya dengan meningkatkan kepatuhan wajib pajak dengan cara memberikan pelayanan yang baik. Kualitas pelayanan didefinisikan sebagai persepsi seluruh wajib pajak atau penilaian wajib pajak dari tingkat administrasi pajak dengan diukur melalui metode Servqual dengan lima dimensi yaitu bukti fisik, keandalan, daya tanggap, jaminan dan empati (Harmawati, 2016). Kualitas pelayanan tidak hanya dianggap penting oleh perusahaan komersial saja, tetapi saat ini instansi pajak juga telah merasakan betapa pentingnya kualitas pelayanan karena instansi pajak juga memilki pelanggan yakni wajib pajak. Menurut Silalahi (2015) Adanya kinerja pelayanan yang baik dan transparan dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dalam bentuk kecepatan dan kemudahan administrasi perpajakan, kepastian hukum, rasa nyaman, dan rasa aman dalam pemberian pelayanan akan membangun sikap patuh dari Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajibannya di bidang perpajakan. Jika jasa pelayanan perpajakan yang diberikan dirasa tidak sesuai dengan yang diharapkan, maka pelanggan tidak akan merasa puas dan juga sebaliknya. Beberapa penelitian terdahulu seperti penelitihan yang dilakukan oleh adi&amanita (2018) menunjukkan bahwa sanksi pajak berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan Wajib Pajak badan. Sedakan penelitian Tahar & Wilie (2012) menunjukkan sanksi pajak tidak berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak. Berdasarkan uraian latar belakang masalah dan perbedaan hasil penelitian terdahulu, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “PENGARUH SANKSI PAJAK, TERHADAP KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN DENGAN PELAYANAN SEBAGAI VARIABEL MODERATING (Studi Kasus Pada KPP Pratama Bankinang)” 1.2. Rumusan Masalah Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini berdasarkan latar belakang masalah di atas adalah : 1. Apakah sanksi pajak pajak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak badan di KPP Pratama Bankinang? 2. Apakah sanksi pajak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak badan dengan pelayanan sebagai variabel moderating di KPP Pratama Bangkinang?
1.3. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah diatas, tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk menguji dan membuktikan adanya pengaruh sanksi pajak terhadap kepatuhan wajib pajak badan. 2. Untuk menguji dan membuktikan adanya pengaruh sanksi pajak terhadap kepatuhan wajib pajak badan dengan pelayanan sebagai variable moderating?
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Manfaat Bagi Peneliti Diharapkan dapat mengimplementasikan ilmu akuntansi, khususnya perpajakan yang telah diperoleh dari pelajaran selama masa perkuliahan dan memberikan pemahaman lebih terhadap materi yang diteliti. 2. Manfaat Bagi Wajib Pajak Diharapkan bermanfaat untuk menambah wawasan wajib pajak serta menjadi masukan agar wajib pajak dapat meningkatkan kepatuhan dalammembayar pajak. 3. Manfaat Bagi Akademisi Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sesuatu yang berguna bagi pihak universitas, mahasiswa, dan juga sebagai bahan referensi bagi peneliti lain dengan materi yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti oleh peneliti. 4. Manfaat Bagi Pembaca Diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai aspek–aspek perpajakan
1.5. Sistematika Penulisan
Penulisan proposal penelitian ini terdiri dari tiga bab yang akan diuraikan secara singkat dan sistematis. Masing masing bab memiliki susunan sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN Berisi pembahasan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan yang digunakan dalam usulan penelitian ini BAB II : TELAH PUSTAKA DAN HIPOTESIS Dalam bab ini dijelaskan mengenai telah pustaka sebagai dasar penelitian ini, berupa konsep akuisisi, penelitian terdahulu, kerangka pemikiran, dan hipotesis BAB III : METODOLOGI PENELITIAN Dalam bab ini akan dibahas mengenai jenis penelitian, sumber data, metode pengumpulan data, dan metode analisis data yang digunakan. BAB II TELAH PUSTAKA DAN HIPOTESIS
2.1. Telah Pustaka
2.1.1. Teori Kepatuhan (Compliance Theory) Kepatuhan berasal dari kata patuh, yang memiliki arti disiplin dan taat kepada pemerintah atau aturan. Terapat dua perspektif dasar dalam literature sosiologi mengenai kepatuhan pada hukum, yang disebut instrumental dan normatif. Perspekif instrumental engansumsikan individu secara utuh didorong oleh kepentingan pribadi dan tanggapan terhadap perubahan-perubahn dalam tangible, insentif, dan penalty yang menghubungkan dengan perilaku sedangkan, perspektif normatif berhubungan dengan moal da berlawanan dengan kepentingan pribadi. Menurut Rahayu (2013:139) Adanya sanksi yang diberlakukan bagi wajib pajak yang melanggar dan tidak menjalankan kewajiban perpajakanya, bertujuan agar wajib pajak mau menyetorkan dan melporan perpajakanya. Kepatuhan perpajakan sendiri merupakan tindakan dimana wajib pajak mematuhi ketentuan perpajakan dalam melakukan perpajakanya 2.1.2. Pengertian Perpajakan Menurut Undang-Undang KUP Nomor 28 Tahun 2007 pasal 1 ayat 1 adalah kontribusi wajib pajak Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang- Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Istilah pajak juga mengandung pengertian yang sama seperti berikut ini: 1. Pajak merupakan kontribusi wajib warga Negara 2. Pajak bersifat memaksa untuk setiap warga 3. Warga Negara tidak mendapatkan imbalan langsung 4. Memaksa berdasarkan Undang-Undang 5. Untuk keperluan Negara 2.1.3. Jenis-Jenis Pajak Jenis-jenis pajak menurut Mardiasmo (2016:7-8) dibedakan berdasarkan golongan, sifat lembaga pemungutan yaitu: a. Menurut golongan 1) Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak penghasilan. 2) Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak pertambahan nilai. b. Menurut sifat 1) Pajak subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memerhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh: Pajak penghasilan. 2) Pajak objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memerhatikan keaaan diri wajib pajak Contoh: Pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah. c. Menurut lembaga pemungutannya 1) Pajak pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tanga Negara. Contoh: Pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai pajak penjualan atas barang mewah. Dan bea materai. 2) Pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak daerah terdiri atas: a) Pajak propinsi, contoh: Pajak kendaraan bermotor dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor. b) Pajak kabupaten/kota, contoh: Pajak hotel, pajak restoran, dan pajak hiburan. 2.1.4. Fungsi Pajak Fungsi pajak menurut Waluyo (2011:06) ada dua macam, yaitu: a. Fungsi Anggaran (budgetair) Pajak Berfungsi sebagai salah satu sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran – pengeluaranya. Contoh: dimasukkanya pajak APBN sebagai penerimaan dalam negeri b. Fungsi Mengatur (Reguler) Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerinrah dalam bidang sosial dan ekonomi. Contoh: 1) Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk mengurangi konsumsi minuman keras 2) Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk mengurangi gaya hidup konsumtif. 2.1.5. Tata Cara Pemungutan Pajak Terdapat beberapa tata cara pemungutan perpajakan, diataranya adalah: a. Stelsel Pajak Menurut Rosdiana & Rasin (2005:111-112 Pemungutan pajak dapat dilakukan menggunakan 3 stelsel: 1) Stelsel Nyata (real stelsel) Stelsel Nyata merupakan pengenaan pajak pada objek (penghasilan nyata), yang pemungutanya baru bisa dilakukan pada akhir tahun pajak yaitu saat penghasilan sesungguhnya sudah diketahui. Oleh karenanya, pengenaan pajak dengan memakai cara ini memerlukan suatu penguatan kemudian, yaitu baru dikeakan setelah melampaui tahun yang bersangkutan. Stelsel nyata mempunyai kelebihan dan kekurangan, kelebihan stelsel ini adalah pajak yang dikenakan lebih relistis sedangkan kelemahan dari stelsel ini adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan rill diketahui). 2) Stelsel Fiktif (Fictieve Stelsel) Jenis pemungutan pajak ini yang didasarkan pada anggapan yang diatur oleh suatu undang-undang. Anggapan yang dimaksud di sini dapat bermacam-macam jalan pikirannya, tergantung pada peraturan perpajakan yang berlaku. Dengan demikian, stelsel ini menerapkan sistem pemungutan pajak di depan (voor hedging). Misalnya, penghasilan suatu tahun pajak dianggap sama dengan tahun sebelumnya. Sehingga pada awal tahun pajak telah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kelebihan dari stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu pada akhir tahun. Kelemahan dari stelsel ini adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya. 3) Stelsel Campuran Jenis stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan. Kemudian pada akhir tahun, besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan sebenarnya. Bila kenyatanya besarnya pajak lebih besar daripada pajak menurut anggapan, maka wajib pajak harus menambah pembayaran. Tapi sebaliknya, bila besaran pajaknya menurut kenyataan lebih kecil daripada pajak anggapan, maka wajib pajak dapat memintah kembalih kelebihanya. b. Asas Pemungutan pajak Menurut Mardiasmo (2016:9) terdapat 3 macam asas pemungutan pajak, diantaranya 1) Asas domisii (asas tempat tinggal) Asas domisili adalah asas yang menganut cara pemungutan pajak yang tergantung berdasarkan tempat tinggal (domisi) Wajib pajak di suatu negara, baik penghasilan yang berasal dari da negeri maupun yang berasa dari luar negeri. Asas ini berlaku untuk wajib pajak dalam negeri. 2) Asas Sumber Asas sumberalah asas yang menganut cara pemungutan pajak yang tergantug pada adanya sumber penghasilan suatu negara. Jika dalam suatu Negara terdapat suatu sumber penghasilan, neara trsebut berhak memungut pajak tanpa melihat wajib pajak itu bertempat tinggal. 3) Asas Nasional Asas nasional adalah asas yang menganut cara pemungutan pajak yang dihubungkan dengan kebangsaan dari suatu Negara. c. Sistem Pemungutan Pajak Menurut Resmi (2017:10) terdapat beberapa sistem pemungutan pajak, diantaranya 1) Official Assessment system Adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pemerintah untuk menentukan besarnya pajak yang terutang setiap tahunya oleh Wajib Pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ciri-ciri Official Assessment System diantaranya: a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus. b) Wajib Pajak bersifat pasif. c) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus. 2) Self Assessmet System Adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besaranya pajak yang terutang setiap tahunya sesuai dengan perundang-undangn perpajakan yang berlaku Ciri-ciri Self Assessmet System diantaranya: a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Waji Pajak sendiri. b) Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. c) Fiskus tikak ikut campur dan hanya mengawasi. 3) Withholding System Adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pihak ketiga yang ditunjuk untuk menentukan besarnys pjak yang terutang oleh wajib ajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Ciri-ciri dari sistem ini adalah wewenang dalam memotong atau memungut pajak terutang dilakukan oleh pihak ketiga, tidak dilakukan oleh fiskus maupun Wajib Pajak. 2.1.6. Pajak Badan Menurut Simanjuntak&imam (2012:17) badan adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) merupakan subjek pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya. Subjek pajak badan adalah badan yang harus melaksankan kewajiban pajak penghasilan berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek pajak badan tersebut dikenai pajak penghasilan apabila menerima atau memperoleh penghasilan. Yang termasuk pajak badan meliputi: 1) Perseroan terbatas (PT) 2) Perseroan komanditer (CV). 3) Perseroan lainya. 4) BUMN atau BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun. 5) Firma. 6) Kongsi. 7) Koperasi 8) Dana Pensiun 9) Persekutuan. 10) Perkumpulan. 11) Yayasan. 12) Organisasi massa. 13) Organisasi sosial politik. 14) Organisasi lainya. 15) Lembaga 16) Bentuk badan lainya termasuk kontrak investasi kolektif 17) Bentuk usaha tetap Menurut Simanjuntak&imam(2012:17) terdapat unit tertentu dari pajak badan pemerintah yang tidak dapat dikatakan sebagai subjek pajak jika memenuhi beberapa kriteria berikut: 1) Dibentuk berdasarkan praturan perundang-undangan yang berlaku. 2) Dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD. 3) Penerimaan lembaga tersebut dimaksukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Daerah 2.1.7. Sanki Perpajakan Menurut Mardiasmo (2016:62) Sanksi perpajakan merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (norma perpajakan) akan diturui/ditaati/dipatuhi. Dalam undang-undang perpajakan dikenal dua macam sanksi, yaitu saksi administrasi dan sanksi pidana. Ancaman terhadap pelanggaran suatu norma perpajakan ada yang diancam dengan sanksi administrasi saja, ada yang diancam dengan sanksi pidana saja, dan ada pula yang diancam dengan sanksi administrasi dan sanksi pidana. Terdapat perbedaan antar sanksi administrasi dengan sanksi pidana yaitu 1) Sanksi Administrasi Sanksi Administrasi merupakan pembayaran kerugian kepada Negara, khususnya yang berupa bunga dan kenaikan. Menurut ketentuan dalam undang-undang perpajakanada 3 sanksi administrasi yaitu : 1) Bunga 2% per bulan 2) Denda Administrasi 3) Kenaikan 50% dan 100% 2) Sanksi Pidana Sanksi pidana merupaka siksaan atau penderitaan. Merupakan suatu alat terakhi atau benteng hukum yang digunakan fiskus agar norma perpajakan dipatuhi. Menurut ketentuan dalam undang- undang perpajakan ada 3 macam sanksi pidana, yaitu: 1) Denda Pidana Berbeda dengan sanksi berupa administrasi yang hanya diacam/dikenakan kepada wajib pajak yang melanggar ketentuan peraturan perpajakan, sanksi sanksi berupa denda pidana selain dikenakan kepada wajib pajak ada juga yang diancam kepada pejabat pajak atau kepada pihak ketiga yang melanggar norma. Denda pidana dikenakan kepada tindak pidana yang bersifat pelanggaran maupun bersifat kejahatan. 2) Pidana Kurungan Pidana kurungan hanya diancamkan keada tindak pidana yang bersifat pelanggaran. Dapat ditujukan kepada wajib pajak, dan pihak ketiga. 3) Pidana Penjara Pidana penjara seperi halnya pidana kurungan, merupakan hukuman trasnparan kemerdekaan. Pidana penjara diancamkan terhadap kejahatan. Ancaman pidana penjara tidak ada yang ditujukan kepada pihak ketiga, adanya kepada pejabat dan kepada wajib pajak 2.1.8. Pelayanan Pelayanan adalah suatu aktifitas atau serangkaian aktifitas yang sifatnya tidak kasat mata yang terjadi karena adanya interaksi antara konsumen dengan karyawan atau hal-hal lain yang disediakan oleh pihak pemberi layanan untuk memecakan atau mengatasi permasalahan konsumen/pelanggan (Mahmoeddin 2010:2). Menurut Keputusan Menteri Negara pendayagunaan Apartur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Nomor 7 tahun 2010 tentang pedoman penilaian kinerja unit pelayanan publik, Pelayanan Publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundangundangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa dan atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Kepuasan pelanggan atas pelayanan, kinerja pelayanan dan kualitas pelayanan saling berkaitan. Tjiptono dan Anastasia (2007:4) berpendapat bahwa kualitas merupakan”suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan”. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009, pelayanan pajak merupakan pelayanan publik. Sedangkan menurut Tjiptono 2017:70) indikator pelayanan pajak meliputi: a. Keandalan (Reliabilty) Keandaan meupakan kemampuan untuk memberia jasa yang dijanjikan dengan akurat an terpercaya sesuai yang diharapkan pelanggan yang tercermin dari ketepatan waktu, layanan yang sama untuk semua orang dengan tanpa adanya kealahan. b. Ketanggapan (Responsivne) Ketanggapan adalah kemampuan untuk membantu dalam memberikan pelayanan yang terbaik kepada pengguna. Indikator ini menentukan pada perhatian, kecepatan., dan ketepatan daam menghadapi permintaan, pertanyaan, dan masalh pendayagunaan pelayanan c. Jaminan (Assurance) Jaminan adalah pengetahuan karyawan dan kesopanan atau keramahan suatu perusahaan dan karyawan dalam menmbuhkan rasa percaya pelanggan terhadap peusahaan. Jaminan mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan, dan sifat sifat dapat dipercaya. d. Empati (Emphaty) Merupakan perhatian tulus atau rasa peduli yang diberikan kepada pelanggan yang meliputi kemudahan dalam melakukanubungan komunikasi yang baik, perhatian, dan memahami kebutuhan pelanggan. e. Bukti Langsung (Tangible) Bukti langsung diidentifikasikan sebagai penampilan fasilitas fisik, peralatan, psona, dan alat komunikasi. Semua peralatan tersebut mewakli pelayanan secara fisik. 2.1.9. Kepatuhan Wajib Pajak Kepatuhan Wajib Pajak adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya sesuai dengan peraturan yang berlaku tanpa perlu diadakan pemeriksaan, investigasi seksama, peringatan ataupun ancaman dan penerapan sanksi hukum maupun administrasi (Rahayu 2010:138). Dalam pasal 1 Undang – undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), disebutkan bahwa Wajib Pajak (WP) adalah orang pribadi atau badan meliputi pembayaran pajak, pemotongan pajak, dan memungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajkana sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan. Menurut keputusan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018 ditetapkan Wajib pajak dikatakan patuh apabila: 1) Wajib Pajak yang selalu tepat waktu dalam menyampaikan SPT Tahunan dalam 2 tahun terakhir. 2) Wajib pajak tidak memiliki tunggakan pajak dalam semua jenis pajak. 3) Wajib pajak tidak pernah dijatuhi hukuman dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir. 4) Wajib Pajak yang menyelenggarakan pembukuan dalam dua tahun terakhir dan pernah dilakukan pemeriksaan. 5) Dilakukan audit pada laporan keuangan wajib pajak oleh akuntan public dalam dua tahun terakhir dengan pendapat wajar tanpa pengecualian. Menurut Ibtida (2010) Kepatuhan wajib pajak dibedakan menjadi 2, yaitu: 1) Kepatuhan Formal Kepatuhan formal adalah kepatuhan dimana Wajib pajak dapat memenuhi kewajiban perpajakan secara normal sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang perpajakan. Contoh: Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) 2) Kepatuhan Material Kepatuhan material adalah keadaan dimana Wajib Pajak dapat memenuhi semua substansi atau hakikat semua material ketentuan perpajakan yaitu semua isi dan ketentuan sesuai dengan Undang-Undang perpajakan.