Anda di halaman 1dari 6

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) ialah bayi yang dilahirkan dengan berat
badan kurang dari 2.500 gram, tanpa memandang masa gestasi (Kosim, 2012).
Di negara berkembang termasuk indonesia, tingginya angka penderita dan
kematian bayi baru lahir rendah (bayi dengan berat lahir kurang dari 2500 gram) masih
menjadi masalah utama. Penyebab utama BBLR antara lain asfiksia, sindrom ganguan
nafas, infeksi, serta terjadinya hipotermia (Proverawati. dkk, 2010). Indikator kesehatan
suatu bangsa masih di lihat dari tinggi atau rendahnya angka kematian bayi (Maryuni,
2013). Menurut WHO (2009) mengemukakan, angka kematian neonatal sebesar 37%
diantara kematian balita dinegara berkembang 75% dari angka kematian neonatal terjadi
selama minggu pertama, dan terjadi angka kematian 25% sampai 45% dalam 24 jam
pertama (Rahmayenti, 2011).
Angka prevalensi BBLR menurut Word Healty Organization (WHO) 2010
diperkirakan 15% dari seluruh kelahiran didunia dengan batasan 3,3%-3,8% dan lebih
sering terjadi pada negara negara yang sering berkembang atau sosial ekonomi rendah,
prevalensi BBLR tahun 2013 menurut (WHO) adalah sebesar 10,2% di dunia.Prevalensi
bayi berat badan lahir rendah (BBLR) diperkirakan 15% dari seluruh kelahiran di dunia
dengan batasan 3,3% - 38% angka tersebut sering terjadi pada negara negara yang sedang
berkembang atau sosio ekonomi rendah. Secara statistik menunjukkan 90% kejadian
BBLR didapatkan di negara-negara berkembang dan angka kematiannya lebih tinggi di
banding dengan bayi dengan berat badan lebih dari 2500 gram. Angka kejadian di
Indonesia sangat bervariasi antara satu daerah dengan daerah yang lainnya, yaitu sekitar
9% - 30%, hasil study di 7 daerah multicentral diperoleh angka BBLR dengan rentang
2,1% - 17%. Secara nasional berdasarkan analisa lanjut SDKI, angka BBLR yang
ditetapkan pada sasaran program perbaikan gizi menuju indonesia sehat 2010 maksimal
7% (Proverawati & Sulistyorini, 2010).
Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2010-2014, dalam
upaya meningkatkan pembangunan bangsa di bidang kesehatan melalui Millennium
Development Goals (MDGs). Millennium Development Goals (MDGs) merupakan hasil
kesepakatan 189 kepala negara PBB dengan target mencapai kesejahteraan rakyat dan
pembangunan masyarakat pada tahun 2015. Salah satu agenda MDGs adalah menurunkan
angka kematian anak/bayi menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan Provinsi,
2012). Penyebab kematian bayi baru lahir 0-6 hari di Indonesia adalah gangguan
pernapasan 36,9%, prematuritas 32,4%, sepsis 12%, hipotermi 6,8%, kelainan
darah/ikterus 6,6% dan lain-lain. Penyebab kematian bayi 28 hari adalah sepsis 20,5%,
kelainan kongenital 18,1%, pneumonia 15,4%, prematuritas dan BBLR 12,8%, dan RDS
12,8%.

Prevalensi BBLR di Indonesia dari tahun 2007 (11,5%) hingga tahun 2013 (10,2%)
terjadi penurunan namun lambat dalam 7 tahun terakhir (Kemenkes RI, 2014). Prevalensi
bayi berat badan lahir rendah (BBLR) diperkirakan 15% dari seluruh kelahiran di dunia
dengan batasan 3,3% - 3,8% dan lebih sering terjadi di negara-negara berkembang dan
sosio-ekonomi rendah. Secara statistik menunujukan 90% kejadian bayi berat badan lahir
rendah (BBLR) didapatkan di negara berkembang dan angka kematian 35 lebih tinggi
dibanding pada bayi dengan berat lahir lebih dari 2500 gram (Pantiwati, 2010).

Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Angka Kematian Bayi (AKB) di
Provinsi Jawa Tengah tahun 2016 sebesar 99,9 per 1.000 kelahiran hidup. BBLR termasuk
kedalam 3 besar penyebab Angka Kematian Bayi (AKB) terbanyak di Provinsi Jawa
Tengah pada tahun 2016. Setiap tahun diperkirakan terdapat 20 juta bayi dengan Berat
Badan Lahir Rendah (BBLR). Salah satu penyebab Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
adalah lahir kurang bulan (premature). Presntase kelahiran Berat Badan Lahir Rendah
(BBLR) di Jawa Tengah pada tahun 2016 adalag 4,4% (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa
Tengah, 2016). Angka Kematian Bayi (AKB) di Kota Semarang pada tahun 2016 yaitu
berdasarkan hasil laporan berbagai sarana pelayan kesehatan yang terjadi di Kota
Semarang Tahun 2016 sebanyak 201 dari 26.337 kelahiran hidup, sehingga didapatkan
Angka Kematian Bayi (AKB) sebesar 7,63 per 1.000 kelahiran hidup, dengan presentasi
kelahiran BBLR sebanyak 509 bayi (1,9%) (Dinas Kesehatan Kota Semarang).
Secara garis besar, BBLR dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor maternal dan
faktor janin. Faktor maternal yang mempengaruhi kejadian BBLR adalah usia ibu saat
hamil (<20 tahun atau >35 tahun dan jarak persalinan dengan kehamilan terlalu pendek),
keadaan ibu (riwayat BBLR sebelumnya, bekerja terlalu berat, social ekonomi, status gizi,
perokok, mengguna obat terlarang, alkohol), dan ibu dengan masalah kesehatan (anemia
berat, pre eklamsia, infeksi selama kehamilan) sedangkan dari faktor bayi (cacat bawaan
dan infeksi selama dalam kandungan) (Depkes RI, 2009). Usia, paritas, jarak kehamilan,
penambahan berat badan, anemia dan pre eklamsia memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap BBLR (Dian, 2012).

Bayi yang dilahirkan prematur, sistem organ belum berfungsi secara sempurna,
paru yang belum matur dapat menyebabkan peningkatan kerja nafas dan kebutuhan kalori
yang meningkat. Masalah pernafasan juga akan muncul sehingga akan mengganggu dalam
pemenuhan nutrisi secara oral dan potensial juga untuk kehilangan panas. Pada bayi dengan
masalah BBLR suhu tubuhnya tidak stabil, lemak subcutan yang sedikit, belum matangnya
system saraf pengatur suhu tubuh, dan permukaan tubuh yang relatif lebih luas
dibandingkan dengan berat badan sehingga menyebabkan hipotermia (Silvia, Yelmi Putri,
Elharisda, 2015).

Hipotermia adalah bayi baru lahir dengan suhu tubuh di bawah keadaan stabil
(36,5-37,5°C) menurut (Proverawati, 2010). Bayi yang mengalami kehilangan panas (hipo-
termia) berisiko tinggi untuk jatuh sakit atau meninggal jika bayi dalam keadaan basah dan
tidak diselimuti mungkin akan mengalami hipotermia meskipun berada dalam ruangan
yang relatif hangat. Bayi prematur atau berat badan rendah sangat rentan terhadap
terjadinya hipotermia (Agnes, 2009). Hal ini disebabkan karena saat dilahirkan bayi
mengalami perubahan lingkungan intra uterin yang hangat ke lingkungan ekstra uterin
yang relatif lebih dingin dan tipisnya lapisan lemak subcutan pada bayi yang dapat
menyebabkan penurunan suhu 2- 3 °C, sehingga bayi perlu dirawat di dalam inkubator
(Silvia, Yelmi Putri, Elharisda, 2015) . Selain dengan incubator upaya yang dilakukan
dalam mengatasi BBLR yaitu pemberian selimut hangat, pemakaian topi bayi, dan
penggunaan metode kanguru (Moriana, Yuni, Kristianti, 2015).
Bayi baru lahir kehilangan panas empat kali lebih besar dari pada orang dewasa,
sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan suhu. Pada 30 menit pertama bayi dapat
mengalami penurunan suhu 3-4°C. Penurunan suhu diakibatkan oleh kehilangan panas
secara konduksi, konveksi, evaporasi dan radiasi (Moriana, Yuni, Kristianti, 2015).
Kemampuan bayi yang belum sempurna dalam memproduksi panas mengakibatkan bayi
sangat rentan mengalami hipotermia, hipotermi mengakibatkan proses metabolik dan
fisiologi melambat dan tubuh melakukan mekanisme dengan cara vasokontriksi pembuluh
darah, dimana suplai oksigen ke organ tubuh terganggu yang dapat menyebabkan
kecepatan pernafasan bertambah, denyut jantung meningkat, tekanan darah rendah dan bila
perfusi oksigen ke otak tidak sampai hal itu dapat menyebabkan penurunan kesadaran
(Kozier, et al. 2011). Bila keadaan ini terus berlanjut dan tidak mendapatkan penanganan
maka dapat menimbulkan iskemia serebral dan menyebabkan seluruh neuron otak akan
nekrosis yang diikuti oleh nekrosis jaringan paru, jantung, ginjal, hati, dan kulit hal itu
dapat mengakibatkan kematian pada bayi (Moriana, Yuni, Kristianti, 2015).

Manfaat perawatan metode kanguru (PMK) dapat mencegah terjadinya hipotermi


karena tubuh ibu dapat memberi kehangatan kepada bayinya secara terus menerus dengan
cara kontak antara kulit ibu dengan kulit bayi. Selain itu manfaat Perawatan Metode
Kanguru (PMK), dapat meningkatkan ikatan kasih sayang antara ibu dan bayi,
memudahkan bayi dalam memenuhi kebutuhan nutrisi, mencegah infeksi dan
memperpendek masa rawat inap sehingga dapat mengurangi biaya perawatan
(Rahmayenti, 2009)

Berdasarkan fenomena dan data yang mendukung penulis tertarik untuk melakukan
pengelolaan asuhan keperawatan pada dua bayi berat badan lahir rendah (BBLR) dengan
gangguan termoregulasi (Hipotermia).

B. Rumusan Masalah.

Bagaimana Asuhan Keperawatan pada dua bayi berat badan lahir rendah (BBLR)
dengan gangguan termoregulasi (Hipotermia) di Ruang Perinatologi RSUD X?

C. Tujuan Penelitian.
1. Tujuan Umum.
Penulisan Karya Tulis Ilmiah (KTI) ini bertujuan untuk menggambarkan
penatalaksanaan asuhan keperawatan pada dua bayi berat badan lahir rendah (BBLR)
dengan gangguan termoregulasi (Hipotermia) di Ruang Perinatologi RSUD X.
2. Tujuan Khusus.
a. Melakukan pengkajian pada dua bayi berat badan lahir rendah (BBLR) dengan
gangguan termoregulasi (Hipotermi) di Ruang perinatologi RSUD X.
b. Merumuskan diagnosa keperawatan pada dua bayi berat badan lahir rendah
(BBLR) dengan gangguan termoregulasi (Hipotermia) di Ruang Perinatologi
RSUD X.
c. Menyusun perencanaan keperawatan yang sesuai dengan diagnose keperawatan
pada dua bayi berat badan lahir rendah (BBLR) dengan gangguan termoregulasi
(Hipotermia) di Ruang Perinatologi RSUD X
d. Melaksanakan tindakan keperawatan pada dua bayi berat badan lahir rendah
(BBLR) dengan gangguan termoregulasi (Hipotermia) di Ruang Perinatologi
RSUD X.
e. Melakukan evaluasi dari tindakan keperawatan pada dua bayi berat badan lahir
rendah (BBLR) dengan gangguan termoregulasi (Hipotermia) di Ruang
Perinatologi RSUD X.

D. Manfaat Penelitian.
1. Bagi Pengembangan Ilmu Keperawatan.
Sebagai referensi dalam mengembangkan ilmu keperawatan, khususnya dalam asuham
keperawatan bayi berat badan lahir rendah (BBLR) dengan gangguan termoregulasi
(Hipotermia).
2. Bagi Peneliti.
Memperoleh pengalaman, meningkatkan pengetahuan dan kentrampilan secara nyata
dalam melaksanakkan aplikasi riset keperawatan dalam tatanan pelayanan
keperawatan, khususnya dalam memberikan asuhan keperawatan bayi berat badan lahir
rendah (BBLR) dengan gangguan termoregulasi (Hipotermia)
3. Bagi Rumah Sakit.
Sebagai masukan dan evaluasi yang diperlukan untuk meningkatkan mutu dalam
pelayanan dalam pelaksanaan praktek pelayanan kesehatan khususnya dalam
memberikan asuhan keperawatan pada bayi berat badan lahir rendah (BBLR) dengan
gangguan termoregulasi (Hipotermia).
4. Bagi Instansi Pendidikan.
Diharapkan dapat menjadi referensi dalam pembelajaran tentang asuhan keperawatan
bayi berat badan lahir rendah (BBLR) dengan gangguan termoregulasi (Hipotermia)

Anda mungkin juga menyukai