Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. PENDAHULUAN

1.1.1. PENTINGNYA PENANGANAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS


Gelandangan dan pengemis (gepeng) merupakan salah satu dampak
negatif pembangunan, khususnya pembangunan perkotaan. Keberhasilan
percepatan pembangunan di wilayah perkotaan dan sebaliknya keterlambatan
pembangunan di wilayah pedesaan mengundang arus migrasi desa-kota yang
antara lain memunculkan gepeng karena sulitnya pemukiman dan pekerjaan
di wilayah perkotaan dan pedesaan. Dampak tersebut membuat masalah ini
menjadi sangat sulit untuk dihindari. Disini terjadi semacam hubungan sebab-
akibat, yaitu, ramainya gelandangan dan pengemis ini terjadi karena tingginya
angka pembangunan di kota, namun didesa sendiri sangat lambat bahkan
tidak ada, yang menyebabkan masyarakat miskin pergi ke kota dan pada
akhirnya menjadi gelandangan dan pengemis.
Dengan berkembangnya gepeng maka diduga akan memberi peluang
munculnya gangguan keamanan dan ketertiban, yang pada akhirnya akan
menganggu stabilitas sehingga pembangunan akan terganggu, serta cita-cita
nasional tidak dapat diwujudkan. Jelaslah diperlukan usaha-usaha
penanggulangan gepeng tersebut. Ini terjadi karena gelandangan dan
pengemis ini pada hakikatnya erat terkait dengan masalah ketertiban dan
keamanan di daerah perkotaan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Pusat Data dan Informasi
(Pusdatin) Kementerian Sosial, tercatat pada tahun 2008, jumlah
gelandangan mencapai 25.169 orang dan jumlah pengemis mencapai 35.057
orang. Data yang dikutip memang masih perlu ditanyakan kevaliditasannya,
mengingat pendataan pada kelompok ini relatif sulit karena mobilitas mereka
yang tinggi. Sementara itu, berdasarkan data yang diperoleh dari Pusat Data
dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Sosial, tercatat pada tahun 2010,
jumlah gelandangan mencapai 25.662 orang, jumlah pengemis mencapai
175.478 orang.

1
Data yang dikutip memang masih perlu ditanyakan kevaliditasannya,
mengingat pendataan pada kelompok ini relatif sulit karena mobilitas mereka
yang tinggi. Dapat dipastikan angka ini seperti fenomena puncak gunung es
(tips of iceberg) di mana angka riilnya dimungkinkan dapat lebih tinggi. Angka
gelandangan dan pengemis juga diperkirakan terus naik, mengingat daya tarik
kota yang semakin kuat bagi orang-orang desa dan semakin susahnya
mencari lapangan pekerjaan di desa.
Berbagai laporan menunjukkan bagaimana pemerintah kota, sebagai
contohnya Jakarta, telah mengeluarkan berbagai peraturan daerah, seperti
Perda DKI No. 11 Tahun 1988 tentang ketertiban umum, dan Perda DKI No. 8
Tahun 2007 yang melarang orang untuk menggelandang, mengemis dan
melakukan aktivitas yang mengganggu ketertiban di jalan, termasuk larangan
membeli pedagang asongan dan memberi sedekah pada pengemis di jalanan
di Jakarta. Pemerintah DKI juga telah mengadakan kerjasama lintas sektoral
yang melibatkan berbagai instansi seperti Tramtib, Kepolisian, maupun Dinas
Sosial melalui operasi yustisi dalam penanganan gelandangan, untuk
selanjutnya mendapatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial di panti-panti
pemerintah. Namun demikian, permasalahan gelandangan dan pengemis
masih tetap merebak di kota Jakarta dan kota-kota lainnya.
Tampaknya gepeng tetap menjadi masalah dari tahun ke tahun, baik
bagi wilayah penerima (perkotaan) maupun bagi wilayah pengirim (pedesaan)
walaupun telah diusahakan penanggulangannya secara terpadu di wilayah
penerima dan pengirim. Setiap saat pasti ada sejumlah gepeng yang kena
razia dan dikembalikan ke daerah asal setelah melalui pembinaan.
Penanggulangan gepeng akan mampu mewujudkan stabilitas
nasional, khususnya stabilitas dalam bidang pertahanan dan keamanan
sehingga diperlukan suatu studi yang mampu menggambarkan secara utuh.

1.1.2. TUJUAN
Tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai UAS mata kuliah
Analisi Masalah Sosial di STKS bandung.

2
BAB II
URAIAN

2.1. URAIAN

2.1.1. PENGERTIAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS


1. Menurut Departemen Sosial R.I (1992), gelandangan adalah orang-
orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma-norma
kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak
mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu
dan hidup mengembara di tempat umum. “Pengemis” adalah orang-
orang yang mendapat penghasilan dari meminta-minta di muka umum
dengan berbagai alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang.
2. Menurut PP No. 31 Tahun 1980, Gelandangan adalah orang-orang yang
hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak
dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai pencaharian dan
tempat tinggal yang tetap serta hidup mengembara ditempat umum.
Sedangkan Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan
penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai
cara dan alasan untuk mengharap belas kasihan orang lain.
3. Ali, dkk,. (1990) menyatakan bahwa gelandangan berasal dari
gelandang yang berarti selalu mengembara, atau berkelana (lelana).
Mengutip pendapat Wirosardjono maka Ali, dkk., (1990) juga
menyatakan bahwagelandangan merupakan lapisan sosial, ekonomi
dan budaya paling bawah dalam stratifikasimasyarakat kota. Dengan
strata demikian maka gelandangan merupakan orang-orang yang tidak
mempunyai tempat tinggal atau rumah dan pekerjaan yang tetap atau
layak, berkeliaran di dalam kota, makan-minum serta tidur di sembarang
tempat.
4. Menurut Muthalib dan Sudjarwo dalam Ali, dkk., (1990) diberikan tiga
gambaran umum gelandangan, yaitu (1) sekelompok orang miskin atau
dimiskinkan oleh masyaratnya, (2) orang yang disingkirkan dari
kehidupan khalayak ramai, dan (3) orang yang berpola hidup agar
mampu bertahan dalam kemiskinan dan keterasingan.
3
5. Istilah gelandangan berasal dari kata gelandangan, yang artinya selalu
berkeliaran atau tidak pernah mempunyai tempat kediaman tetap
(Suparlan, 1993 : 179). Pada umumnya para gelandangan adalah kaum
urban yang berasal dari desa dan mencoba nasib dan peruntungannya
di kota, namun tidak didukung oleh tingkat pendidikan yang cukup,
keahlian pengetahuan spesialisasi dan tidak mempunyai modal uang.
Sebagai akibatnya, mereka bekerja serabutan dan tidak tetap,
terutamanya di sektor informal, semisal pemulung, pengamen dan
pengemis. Weinberg (1970 : 143-144) menggambarkan bagaimana
gelandangan dan pengemis yang masuk dalam kategori orang miskin di
perkotaan sering mengalami praktek diskriminasi dan pemberian stigma
yang negatif. Dalam kaitannya dengan ini, Rubington & Weinberg (1995
: 220) menyebutkan bahwa pemberian stigma negatif justru menjauhkan
orang pada kumpulan masyarakat normal.

Dengan mengutip definisi operasional Sensus Penduduk maka


gelandangan terbatas pada mereka yang tidak memiliki tempat tinggal yang
tetap, atau tempat tinggal tetapnya tidak berada pada wilayah pencacahan.
Karena wilayah pencacahan telah habis membagi tempat hunian rumah
tinggal yang lazim maka yang dimaksud dengan gelandangan dalam hal ini
adalah orang-orang yang bermukim pada daerah daerah bukan tempat tinggal
tetapi merupakan konsentrasi hunian orang-orang seperti di bawah jembatan,
kuburan, pinggiran sungai, emper took, sepanjang rel kereta api, taman,
pasar, dan konsentrasi hunian gelandangan yang lain.
Pengertian gelandangan tersebut memberikan pengertian bahwa
mereka termasuk golongan yang mempunyai kedudukan lebih terhormat
daripada pengemis. Gelandangan pada umumnya mempunyai pekerjaan
tetapi tidak memiliki tempat tinggal yang tetap (berpindah-pindah). Sebaliknya
pengemis hanya mengharapkan belas kasihan orang lain serta tidak tertutup
kemungkinan golongan ini mempunyai tempat tinggal yang tetap.
Dengan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa
Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai
dengan kehidupan normal yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak
mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan
hidup mengembara di tempat umum serta mengganggu Ketertiban,
Kebersihan dan Keindahan. Sedangkan Pengemis adalah orang-orang yang
mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan

4
berbagai cara dan alasan untuk mengharap belas kasihan dari orang lain
serta mengganggu ketertiban umum.

2.1.2. CIRI-CIRI GELANDANGAN DAN PENGEMIS


Ciri-ciri dari gepeng (gelandangan dan pengemis) yaitu :
1. Tidak memiliki tempat tinggal.
Kebanyakan dari gepeng dan pengemis ini tidak memiliki tempat
hunian atau tempat tinggal. Mereka biasa mengembara di tempat
umum. Tidak memiliki tempat tinggal yang layak huni, seperti di bawah
kolong jembatan, rel kereta api, gubuk liar di sepanjang sungai,
emper toko dan lain-lain
2. Hidup di bawah garis kemiskinan.
Para gepeng tidak memiliki penghasilan tetap yang bisa menjamin
untuk kehidupan mereka ke depan bahkan untuk sehari-hari mereka
harus mengemis atau memulung untuk membeli makanan untuk
kehidupannya.
3. Hidup dengan penuh ketidakpastian.
Para gepeng hidup mengelandang dan mengemis di setiap harinya.
Kondisi ini sangat memprihatikan karena jika mereka sakit mereka
tidak bisa mendapat jaminan sosial seperti yang dimiliki oleh pegawai
negeri yaitu ASKES untuk berobat dan lain lain.
4. Memakai baju yang compang camping.
Gepeng biasanya tidak pernah menggunakan baju yang rapi atau
berdasi melainkan baju yang kumal dan dekil.
5. Tidak memiliki pekerjaan tetap yang layak, seperti pencari
puntungrokok, penarik grobak.
6. Tuna etika, dalam arti saling tukar-menukar istri atau suami,
kumpulkebo atau komersialisasi istri dan lain-lainnya.
7. Meminta-minta di tempat umum. Seperti terminal bus, stasiunkereta
api, di rumah-rumah atau ditoko-toko.
8. Meminta-minta dengan cara berpura-pura atau sedikit memaksa,
disertai dengan tutur kata yang manis dan ibah.

Namun secara spesifik, Karakteristik Gepeng dapat dibagi menjadi :


 Karakteristik Gelandangan :

5
1. Anak sampai usia dewasa (laki-laki/perempuan) usia 18-59 tahun,
tinggal di sembarang tempat dan hidup mengembara atau
menggelandang di tempat-tempat umum, biasanya di kota-kota besar.
2. Tidak mempunyai tanda pengenal atau identitas diri, berperilaku
kehidupan bebas/liar, terlepas dari norma kehidupan masyarakat pada
umumnya.
3. Tidak mempunyai pekerjaan tetap, meminta-minta atau mengambil
sisa makanan atau barang bekas.

 Karakteristik Pengemis :
1. Anak sampai usia dewasa (laki-laki/perempuan) usia 18-59 tahun.
2. Meminta-minta di rumah-rumah penduduk, pertokoan, persimpangan
jalan (lampu lalu lintas), pasar, tempat ibadah dan tempat umum
lainnya.
3. Bertingkah laku untuk mendapatkan belas kasihan ; berpura-pura
sakit, merintih dan kadang-kadang mendoakan dengan bacaan-
bacaan ayat suci, sumbangan untuk organisasi tertentu.
4. Biasanya mempunyai tempat tinggal tertentu atau tetap, membaur
dengan penduduk pada umumnya.

Menurut Soetjipto Wirosardjono mengatakan ciri-ciri dasar yang


melekat pada kelompok masyarakat yang dikatagorikan gelandangan
adalah:”mempunyai lingkungan pergaulan, norma dan aturan tersendiri yang
berbedadengan lapisan masyarakat yang lainnya, tidak memliki tempat
tinggal, pekerjaandan pendapatan yang layak dan wajar menurut yang berlaku
memiliki sub kultur khas yang mengikat masyarakat tersebut

2.1.3. KLASIFIKASI GELANDANGAN DAN PENGEMIS


Masalah gelandangan dan pengemis masuk dalam beberapa klasifikasi
masalah-masalah social, diantaranya adalah :
1. Masalah Sosial Patologis
2. Masalah Sosial kontemporer-modern
3. Masalah Sosial manifest

6
2.1.4. ANALISIS PENYEBAB
Permasalahan sosial gelandangan dan pengemis merupakan
akumulasi dan interaksi dari berbagai permasalahan seperti hal hal
kemiskinan, pendidikan rendah, minimnya keterampilan kerja yang dimiliki,
lingkungan, sosial budaya, kesehatan dan lain sebagaianya. Masalah ini
merupakan salah satu Masalah Sosial Strategis, karena dapat menyebabkan
beberapa masalah lainnya dan juga bersifat penyakit di masyarakat.
Ada 3 pokok penyebab permasalahan dari masalah Gelandangan dan
Pengemis ini yang dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Urbanisasi dan pembangunan wilayah yang timpang


Hal ini adalah sebuah hasil negative dari pembangunan yang
sangat pesat di daerah perkotaan. Masyarakat desa pada umumnya
tertarik dengan kehidupan modern kota yang sangat memukau tanpa
melihat sisi jeleknya. Mereka biasanya termotivasi dengan pekerjaan
dengan gaji yang tinggi di kota tanpa melihat potensi yang terbatas
dalam dirinya. berdasarkan kemajuan tersebut yang menyebabkan
masyarakat desa menuju kota-kota besar. Mereka yang menjadi kalah
saing dengan penduduk kota yang bisa bersaing dengan kemajuan
tersebut, putus asa, malu pulang ke kampong halaman, akhirnya
gelandangan dan pengemis di kota-kota besar lainnya.
Dalam pembangunan masyarakat di wilayah pedesaan sering
dijadikan objek atau konsekuensi dari pembangunan, padahal sebelum
melakukan perencanaan dan pembanguanan ada hal-hal yang harus
dilalui untuk menghasilkan perencanaan dan pembanguan yang efektif
dan berguna. Konsekuensi pembangunan itu memposisikan masyarakat
sebagai objek pembangunan dan menganggap masyarakat akan
beradaptasi sendiri terhadap perubahan-perubahan setelah
pembangunan. Padahal hal tersebut sangat fatal akibatnya terhadap
kaum bawah.
2. Kemiskinan
Kemiskinan juga merupakan factor penting dalam penyebab
bertambah banyaknya Gelandangan dan Pengemis. Menurut data dari
Badan Pusat Statistik, bahwa pada September 2011, Jumlah Penduduk
Miskin Indonesia Mencapai 29,89 Juta Orang. Walaupun dari tahun
ketahun berkurang, namun tetap saja angka ini sangat berpotensi angka
menjadi angka Gelandangan dan Pengemis di Indonesia.

7
3. Kebijakan pemerintah
Kebijakan-kebijakan pemerintah juga merupakan factor-faktor
penyebab dari masalah Gelandangan dan Pengemis ini. Kebijakan-
kebijakan yang dikeluarkan pemerintah juga terkadang dianggap tidak
pro dengan rakyat. Berkaitan dengan Gelandangan dan Pengemis ada
banyak peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan tentang ini, namun
lebih berorientasi pada larangan-larangan mengemis ditempat umum,
tapi bukan mengenai upaya-upaya dalam menangani masalah
Gelandangan dan Pengemis ini. Pemerintah hanya menganggap
masalah sosial bersumber dari individunya. Konsekuensi ini dapat
membebaskan pemerintah dari "tuduhan" sebagai sumber masalah.
Karena faktor penyebabnya adalah individual, maka upaya pemecahan
masalah akan lebih banyak bersifat kuratif.
Ketiga faktor itu hanyalah embrio awal yang melahirkan gepeng,
namun dalam perkembangannya faktor lahirnya gepeng selain faktor di atas,
masalah gepeng juga berhubungan dengan budaya yang lahir dari komunitas
yang lama terbentuk. Atau merupakan masalah yang dating dari akibat
keturunan yang tidak dapat berkembang dalam menangani masalah-masalah
utama dalam hidupnya.
Bisa diartikan juga bahwa Gepeng (Gelandangan dan Pengemis) telah
berkembang menjadi sebuah gaya hidup (life style) bagi orang-orang miskin
yang tidak berpendidikan, tidak memiliki life skill, dan orang-orang yang,
orang-orang broken home, orang cacat dan pengangguran. Cara instan
tersebut merupakan bentuk adaptasi masyarakat miskin terhadap
konsekuensi pembangunan yang melahirkan masalah sosial.
Beberapa ahli mengungkapkan beberapa factor penyebab terjadinya
Gepeng tersebut, yaitu factor internal dan eksternal, berikut adalah :
1. Factor internal
Maksudnya adalah factor internal dan keluarga yang menyebabkan
terjadinya Gepeng ini. Factor-faktor tersebut adalah :
 kemiskinan individu dan keluarga; yang mencakup penguasaan
lahan yang terbatas dan tidak produktif, keterbatasan
penguasaan aset produktif, keterbatasan penguasaan modal
usaha;
 umur;
 rendahnya tingkat pendidikan formal;
 ijin orang tua;

8
 rendahnya tingkat ketrampilan (“life skill”) untuk kegiatan
produktif;
 sikap mental.
2. Factor eksternal
 kondisi hidrologis;
 kondisi pertanian;
 kondisi prasarana dan sarana fisik;
 akses terhadap informasi dan modal usaha;
 kondisi permisif masyarakat di kota;
 kelemahan
Faktor-faktor penyebab ini dapat terjadi secara parsial dan juga
secara bersama-sama atau saling mempengaruhi antara satu faktor dengan
faktor yang lainnya.
Factor-faktor lain juga yang ikut menyebabkan terjadinya masalah ini
adalah :
1. Masalah kemiskinan.
Kemiskinan menyebabkan seseorang tidak mampu memenuhi
kebutuhan dasar minimal dan menjangkau pelayanan umum sehingga
tidak dapat mengembangkan kehidupan pribadi maupun keluarga
secara layak.
2. Masalah Pendidikan.
Pada umumnya tingkat pendidikan gelandangan dan pengemis relatif
rendah sehingga menjadi kendala untuk memperoleh pekerjaan yang
layak.
3. Masalah keterampilan kerja.
Pada umumnya gelandangan dan pengemis tidak memiliki keterampilan
yang sesuai dengan tuntutan pasar kerja.
4. Masalah sosial budaya.
Ada beberapa faktor sosial budaya yang mengakibatkan seseorang
menjadi gelandangan dan pengemis.
5. Rendahnya harga diri.
Rendahnya harga diri kepada sekelompok orang, mengakibatkan tidak
dimiliki rasa malu untuk minta-minta.
6. Sikap pasrah pada nasib.
Mareka menganggap bahwa kemiskinan adalah kondisi mereka sebagai
gelandangan dan pengemis adalah nasib, sehingga tidak ada kemauan
untuk melakukan perubahan.
7. Kebebasan dan kesenangan hidup menggelandang.
9
2.1.5. DAMPAK MASALAH GELANDANGAN DAN PENGEMIS
1. Terhadap Individu
 Tidak mendapat akses pendidikan
 Tidak dapat mengakses pelayanan kesehatan
 Tidak dapat bersosialisasi dengan masyarakat luas
 Tidak dapat memberikan aspirasi dalam demokrasi karena tidak
memiliki KTP
 Tidak dapat menerima bantuan dari pemerintah
2. Terhadap Keluarga
 Kepala keluarga tidak dapat memenuhi perannya sebagai kepala
keluarga
 Terjadi ketimpangan dalam keluarga
 Timbul masalah baru dalam keluarga seperti kriminalitas
 Tidak dapat memutuskan rantai kemiskinan keluarga karena anak
tidak bias mendapat fasilitas pendidikan
3. Terhadap Masyarakat
 Gelandangan dan pengemis pada umumnya tidak memiliki tempat
tinggal tetap, tinggal di wilayah yang sebanarnya dilarang dijadika
tepat tinggal, seperti : taman taman, bawah jembatan dan pingiran kali.
Oleh karna itu mereka di kota besar sangat mengangu ketertiban
umum, ketenangan masyrakat dan kebersihan serta keindahan kota.
 Gelandangan dan pengemis yang hidupnya berkeliaran di jalan jalan
dan tempat umum, kebnayakan tidak memiliki kartu identitas (KTP/KK)
yang tercatat di kelurahan (RT/RW) setempat dan sebagian besar dari
mereka hidup bersama sebagai suami istri tampa ikatan perkawinan
yang sah.
 Maraknya gelandangan dan pengemis di suatu wilayah dapat
menimbulkan kerawanan sosial mengagu keamanan dan ketertiban di
wilayah tersebut.

2.1.6. PROGRAM PELAYANAN/PENANGANAN GELANDANGAN DAN


PENGEMIS
Ada banyak program-program yang diberikan pemerintah dalam
menangani permasalahan Gelandangan dan pengemis ini. Kebijakan-
kebijakan dari pemerintah dalam membatasi Gelandangan dan pengemis
untuk berada di tempat-tempat umum juga merupakan salah satu

10
programnya. Namun pada umumnya program ini tidak dapat membuat efek
jera terhadap para Gelandangan dan pengemis.
Masyarakat menginginkan satu program yang benar-benar pro dengan
rakyat dalam mengentaskan masalah ini, juga bagaimana untuk dapat
mengembangkan masyarakat miskin untuk dapat hidup sejahtera agar
masalah Gelandangan dan Pengemis ini tidak berulang.
Berikut adalah beberapa program yang telah ada, antara lain :
1. Panti
Merupakan bentuk penanganan gelandangan dan pengemis dengan
menyediakan sarana tempat tinggal dalam satu atap yang dihuni oleh
beberapa keluarga.
2. Liposos
Lingkungan Pondok Sosial (Liposos) merupakan bentuk penanganan
gelandangan dan pengemis yang lebih mengedepankan sistim hidup
bersama didalam lingkungan sosial sebagaimana layaknya kehidupan
masyarakat pada umumnya.
3. Transit home
Merupakan bentuk penanganan gelandangan dan pengemis yang
bersifat sementara sebelum mendapatkan pemukiman tetap di tempat
yang telah disediakan.
4. Pemukiman
Merupakan bentuk penanganan gelandangan dan pengemis dengan
menyediakan tempat tinggal yang permanen di lokasi tertentu.
5. Transmigrasi
Merupakan bentuk penanganan gelandangan dan pengemis dengan
menyediakan fasilitas tempat tinggal baru di lokasi lain terutama di luar
pulau Jawa.
Dan beberapa program kebijakan pemerintah seperti larangan
mengemis di tempat umum, operasi Yustisi di Jakarta bagi orang-orang yang
tidak memiliki KTP yang berpotensi menjadi Gelandangan dan Pengemis, dan
program-program lainnya. Program lain adalah dalam bentuk penguatan
ekonomi keluarga dan peningkatan pendidikan.

2.1.7. POTENSI DAN SUMBER


Ada banyak potensi dan sumber yang dapat dikembangkan dari
Gelandangan dan Pengemis. Potensi terbesar yang dapat digali adalah
adanya niat dari Gelandangan dan Pengemis itu sendiri untuk berhenti dan
11
mencoba untuk sejahtera. Potensi ini merupakan awal dari Pekerja Sosial
untuk bisa menangani masalah ini bersama dengan Pemerintah.
Berikut beberapa potensi yang dapat digali dalam diri Gelandangan dan
Pengemis serta sumber-sumber yang dapat digunakan :
1. Keinginan untuk sejahtera
Sebagian besar dari Gelandangan dan Pengemis memiliki pikiran untuk
hidup sejahtera. Kendalai selama ini adalah keran merka tidak dapat
mengakses sumber-sumber tersebut. Dalam hal ini, Gelandangan dan
Pengemis dapat diberikan pemahaman bahwa ketika mereka berusaha,
maka pasti meeka berhasil, bukan dengan hanya bermalas-malasan.
2. Adanya niat untuk bekerja keras
Gelandangan dan Pengemis pada dasaranya memiliki niat untuk bekerja
yang tinggi, namum mereka terbentur pada skill mereka dalam bekerja
dan kurangnya pendidikan. Gelandangan dan Pengemis ingin pekerjaan
yang layak namuan itu mustahil karena semakin banyaknya mesin-mesin
sehingga tenaga manusia semakin tidak dipergunakan. Padahal mereka
ingin bekerja apa saja.
3. Rasa persatuan yang tinggi sesama gelandangan dan pengemis
Sesama Gelandangan dan Pengemis memiliki ikatan seperti rasa saling
tolong-menolongsehingga dapat digunakan untuk mengkoordinasi sesama
Gelandangan dan Pengemis agar dapat dikembangkan dalam bentuk
kelompok.
4. Keinginan untuk kembali ke kampung halaman
Kebanyakan dari Gelandangan dan pengemis memiliki keinginan untuk
pulang kembali ke kampung halaman. Masalah tersebut terbentur pada
masalah keuagan untuk pulang ke kampung, padahal desa sangat kaya
akan sumber yang dapat dikembangkan. Ketika ada peluang untuk
potensi ini, mereka dapat dipulangkan ke kampung sehingga gelandangan
dan pengemis dapat berkurang.
5. Bakat yang ada pada diri Gelandangan dan Pengemis
Bakat seperti menyanyi bermain music dan sebagainya dapat diasah dari
klien, dari bakat-bakat tersebut bias ditemukan hal-hal yang dapat
menguatkan kehidupan klien.
6. Relasi dengan keluarga
Hubungan antara keluarga besar klien lainnya juga penting untuk
menemukan sumber yang dapat membantu klien dalam meningkatkan
hidupnya.

12
Ada beberapa system sumber yang dapat dihubungkan dengan
gelandangan dan pengemis, seperti :
1. Dinas Sosial
Untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut diperlukan dinas social
agar dapat memberikan penyuluhan dan melaksanakan program-program
pemerintah dalam menangani maslah tersebut.
2. Dinas perhubungan
Dinas perhubungan juga harus jelas dalam penanganan isu-isu
perpindahan masyarakat desa ke kota yang semakin membludak. Dinas
perhubungan sebaiknya membatasi orang dari desa yang tidak jelas
statusnya menuju kota besar. Dinas perhubungan juga dapat digunakan
untuk memulangkan sejumlah gelandangan dan pengemis tersebut
kembali ke kampung halamannya.
3. BPS
BPS harusnya memberikan data yang actual tentang kemiskinan agar
dapat diprediksi dan potensi bertambahnya Gelandangan dan Pengemis,
juga agar masyarakat miskin tersebut dapat menerima bantuan-bantuan
dari pemerintah.
4. Dinas Pendidikan
Dinas pendidikan diharapkan memberikan kesempatan untuk kepada
masyarakat miskin terutama Gelandangan dan Pengemis untuk dapat
mengakses pendidikan agar dapat mendapatkan pendidikan yang layak
untuk meningkatkan kesejahteraannya.

2.1.8. PENDEKATAN DAN PEMECAHAN MASALAH


Solusi dari permasalahan gelandangan dan pengemis yaitu dengan cara
rehabilitasi sosial. Rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis yaitu proses
pelayanan dan rehabilitasi sosial yang terorganisasi dan terencana, meliputi
usaha-usaha pembinaan fisik, bimbingan mental sosial, pemberian
keterampilan dan pelatihan kerja untuk penyaluran ke tengah-tengah
masyarakat.
Selain itu, tujuan dari proses rehabilitasi adalah membuat seorang
menyadari potensi-potensinya dan selanjutnya melalui sarana dan
prasarana yang diberikan kepadanya berusaha untuk mewujudkan atau
mengembangakan potensi-potensi tersebut secara maksimal untuk dapat
melaksanakan fungsi sosialnya secara optimal. Menurut Nitimihardja (2004)
Rehabilitasi sosial merupakan upaya yang bertujuan untuk mengintegrasikan
13
seseorang yang mengalami masalah sosial ke dalam kehidupan masyarakat
di mana dia berada. Pengintegrasian tersebut dapat dilakukan melalui upaya
peningkatan penyesuaian diri, baik terhadap keluarga, komunitas maupun
pekerjaannya. Berdasarkan model pelayanan maka pelayanan rehabilitasi
sosial gelandangan dan pengemis dibagi 3 (tiga) model (Waluyo, 2002 : 35)
yaitu :

1. Sistem non Panti,


model ini memberikan pelayanan di luar panti/tidak ditampung dalam
asrama. Para klien mendapat bimbingan sosial, keterampilan dan
bantuan dalam masyarakatnya masing-masing. Sistem ini sangat terbuka
dan memberikan kebebasan para klien untuk berinteraksi dengan
masyarakat sekitarnya, namun kontrol dan monitoring terhadap semua
kegiatan rehabilitasi sulit dilakukan, termasuk kontrol terhadap
penggunaan bantuan stimulus dan bantuan modal lainnya.
2. Sistem Panti
merupakan suatu model pelayanan kesejahteraan sosial secara
langsung. Pelayanan yang diberikan relatif intensif karena penyandang
masalah kesejahteraan sosial ditempatkan dalam suatu rumah/panti
sehingga secara teknis mudah melakukan bimbingan, pembinaan,
pemecahan masalah juga dilakukan di dalam panti dan klien terisolasi
dalam panti dan tidak dapat berinteraksi sosial secara bebas dengan
masyarakat sekitarnya.
3. Sistem Lingkungan Pondok Sosial (liposos)
sistem pembinaan penyandang masalah kesejahteran sosial yang
bersifat konfrehensif, integratif, dimana dalam kesatuan lingkungan
sosial. Model sistem ini mencoba menjawab kelemahan dan kekurangan
yang ada dalam kedua sistem sebelumnya (sistem panti dan non panti).
Dalam sistem ini para klien diberi kebebasan untuk berinteraksi dan
berelasi dengan sesama klien yang tinggal di lingkungan panti maupun
dalam masyarakat di luar panti, meskipun mereka tetap ditempatkan
dalam unit-unit asrama di lingkungan panti. Sasaran klien dalam sistem ini
biasanya suatu keluarga yang terdiri ayah, ibu, anak yang disebut
keluarga binaan sosial (KBS). Sistem ini dibentuk berdasarkan keputusan
Menteri Sosial No. 7 tahun 1984 tentang Pola Operasional rehabilitasi
gelandangan dan pengemis.

Dalam kegiatan rehabilitasi memiliki tujuan, fungsi dan yaitu :


14
1. Tujuan dari pelayanan rehabilitasi sosial pada gelandangan dan pengemis
yaitu :
 Gelandangan dan pengemis mampu merubah cara hidup dan cara
mendapatkan penghasilan yang sesuai dengan norma yang berlaku di
dalam masyarakat.
 Gelandangan dan pengemis dapat dijangkau dan mau mengikuti
program pelayanan dan rehabilitas sosial.
 Gelandangan dan penemis mampu menjalankan fungsi dan peran
sosialnya di masyarakat secara wajar.
2. Fungsi :
 Menumbuhkan kesadaran gelandangan dan pengemis tentang
pentingnya program pelayanan dan rehabilitasi sosial.
 Membantu gelandangan dan pengemis untuk mampu melakukan
kegiatan-kegitan yang berkenaan dengan kehidupan sehari-hari.
 Membantu gelandangan dan pengemis agar mampu memenuhi
kebutuhan dasarnya.
 Membantu gelandangan dan pengemis unuk mengembangkan
potensinya.
 Membantu gelandangan dan pengemis untuk berprilaku normatif.

Dalam penanganan masalah Gelandangan dan Pengemis ini ada


banyak pendekatan-pendekatan yang dapat dilakukan, seperti :
1. Pendekatan Agama
Pendekatan ini bersifat individual dalam arti sangat berhubungan dengan
keyakinan masing-masing orang terhadap ajaran agamanya . Semakin
orang yakin akan ajaran agamanya, semakin pendekatan ini effektif
kegunaannya. Melalui pendekatan agama diajarkan bahwa masalah sosial
timbul bila terjadi pelanggaran terhadap norma-norma agamanya.
Pendekatan ini lebih terasa keeffektifannya dalam kerangka preventif
dengan cara penanaman nilai nilai agama sejak dini dari tiap keluarga
dalam masyarakat. Jadi agama diharapakan dapat menjadi filter dalam
kehidupan bermasyarakat dan mencegah terjadinya pelanggaran atas
norma-norma.
2. Pendekatan Hukum
Pendekatan hukum biasanya ia berlaku bagi semua anggota masyarakat
dimana ia bertempat tinggal dan hukum tersebut diberlakukan.
Pendekatan ini sanksinya lebih jelas karena mengacu pada peraturan
atau norma yang disahkan, misalnya hukuman bagi pelaku kejahatan
15
membunuh dihukum penjara sekian tahun, pelaku kejahatan korupsi
dihukum sekian tahun dst. Dengan demikian pendekatan hukum
memandang bahwa masalah sosial terjadi. Pendekatan ini bisa besifat
preventif dalam arti masalah sosial dapat dicegah melalui upaya
sosialisasi norma-norma hukum yang berlaku dalam masyarakat maupun
bersifat kuratif atau rehabilitatif dalam arti terhadap pelaku pelanggar
norma hukum akan diberikan sanksi tertentu dan diadakan pembinaan
agar dia tidak lagi melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap norma
hukum. Mereka yang berperan dalam pendekatan ini antara lain adalah
para penegak hukum maupun aparat pemerintah yang berwajib.

16
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Perilaku menggepeng erat kaitannya dengan urbanisasi, dan
urbanisasi erat kaitannya dengan adanya kesenjangan pembangunan wilayah
pedesaan dan perkotaan. Semasih adanya kesenjangan ini maka urbanisasi
akan sulit dibendung dan akan memberi peluang munculnya kegiatan sector
informal seperti kegiatan menggepeng.
Pada hakikatnya tidak ada norma social yang mengatur perilaku
menggepeng. Kegiatan menggepeng umumnya dilakukan ibu-ibu yang
disertai dengan anak-anaknya. Mereka umumnya relative muda dan termasuk
dalam tenaga kerja yang produktif.
Pendidikan keluarga gepeng pada umumnya rendah. Ini disebabkan
karena susahnya masyarakat miskin dalam mengakses pendidikan, juga
termasuk karena anak usia sekolah terpaksa menggelandang dan mengemis
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Akhirnya kebodohan dan kemiskinan
pun seakan menjadi sebuah turunan pada keluarga tersebut.
Adanya peran aktif dari berbagai kalangan dalam hal ini dalam
pengentasan kemiskinan dan juga masalah Gelandangan dan pengemis ini.
Ada beberapa langkan yang mungkin dapat diterapkan antara lain adalah
tetap menertibkan para Gelandangan-gelandangan dan Pengemis tersebut
dan berusaha untuk mengembalikan ke kampung halamannya. Berikutnya
adalah mengembangkan usaha-usaha dari desa asal agar tidak terulang
permasalahan tersebut, atau dalam kata lain tidak membuat semacam
ketimpangan pembangunan antara kota dan desa.
pemenuhan kebutuhan spiritual untuk memelihara sikap idealis yang
telah ada di masyarakat.

17
3.2. DAFTAR PUSTAKA

Ali Marpuji, dkk., (1990). Gelandangan di Kertasura, dalam Monografi


3.Lembaga Penelian Universitas Muhammadiyah. Surakarta

Indonesia, Republik (1992). Peraturan Pemerintah No. 31 Tentang


Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis, dalam Himpunan
Peraturan Perundang-undangan Bidang Tugas Rehabilitasi
Sosial. Jakarta.

http://www.bps.go.id/?news=901 (diakses tanggal 27 mei 2012, Pukul 10.40)

http://bambang-rustanto.blogspot.com/2012/04/penelitian-sosial-gelandangan-
pengemis.html (diakses tanggal 28 mei 2012, pukul 16.50)

http://ichwanmuis.com/?p=135 (diakses tanggal 28 mei 2012, pukul 00.19)

18

Anda mungkin juga menyukai