Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mata
Mata merupakan alat indra yang terdapat pada manusia yang secara konstan

menyesuaikan pada jumlah cahaya yang masuk, memusatkan perhatian pada objek

yang dekat dan jauh serta menghasilkan gambaran yang kontinu yang dengan segera

di hantarkan pada otak. Penglihatan pada manusia melibatkan deteksi gelombang

cahaya yang sangat sempit dengan panjang gelombang sekitar 400 sampai 750 nm.

Panjang gelombang terpendek dipersepsi sebagai warna biru, dan panjang gelombang

terpanjang dipersepsi sebagai warna merah. Mata memiliki fotoreseptor yang mampu

mendeteksi cahaya. Tetapi, sebelum cahaya mengenai reseptor yang bertanggung

jawab untuk deteksi ini, cahaya harus difokuskan ke retina (ketebalan 200 μm) oleh

kornea dan lensa.6

Fotoreseptor bisa dibagi menjadi dua jenis yaitu sel batang dan sel konus

(kerucut). Reseptor batang berespons terhadap cahaya remang-remang dan reseptor

konus berespons dalam keadaan terang dan mampu membedakan warna merah,hijau

atau biru. Reseptor batang dan onus terdapat di bagian dalam retina dan cahaya harus

berjalan melalui sejumlah lapisan sel untuk mencapai fotoreseptor ini. Setiap

fotoreseptor memiliki molekul pigmen visual (batang: rodopsin; konus: eritrolabe

(merah), klorolabe (hijau), sianolabe (biru)); pigmen-pigmen ini menyerap cahaya


dan memicu potensial reseptor yang tidak seperti sistem reseptor lainnya,

menyebabkan hiperpolarisasi sel dan bukan depolarisasi.8

Lapisan antara permukaan retina dan sel reseptor berisi sejumlah sel yang

dapat dideteksi, yaitu sel bipolar, sel horizontal, sel amakrin dan sel ganglion. Sel

ganglion adalah neuron yang bisa mentransmisi impuls ke seluruh sistem saraf pusat

(SSP) melalui akson di saraf optikus. Sel-sel ini tereksitasi oleh interneuron bipolar

vertical yang terletak diantara sel reseptor dengan sel ganglion. Selain itu, struktur

kompleks ini juga memiliki dua kelompok interneuron (sel horizontal dan sel

amakrin) yang berfungsi dengan memberikan pengaruhnya secara horizontal, dengan

menyebabkan inhibisi lateral pada hubungan-hubungan sinaptik disekitarnya yaitu sel

horizontal pada hubungan antara sel resptor dengan sel bipolar, sementara sel

amakrin pada hubungan antara sel bipolar dengan sel ganglion.6

Setiap mata mengandung sekitar 126 juta fotoreseptor (120 juta reseptor

batang dan 6 juta reseptor konus) dan hanya 1,5 juta sel ganglion. Ini berarti bahwa

terdapat sejumlah besar konvergensi dari reseptor dan sel bipolar menjadi sel

ganglion, tetapi hal ini tidak terjadi secara seragam di kedua sisi retina. Pada bagian

perifer retina, terdapat banyak sekali konvergensi tetapi, pada daerah dengan

ketajaman visual terbesar (fovea sentralis), terdapat hubungan 1:1:1 antara sel

reseptor konus tunggal, sel bipolar tunggal dan sel ganglion tunggal. Daerah fovea

memiliki banyak sekali reseptor konus dan sangat sedikit reseptor batang, sedang

distribusi reseptor batang dank onus didaerah lain retina lebih merata.
Setiap sel ganglion berespons terhadap perubahan intensitas cahaya dalam

daerah retina yang terbatas, dan bukan terhadap stimulus cahaya yang statis. Area

terbatas ini disebut lapang pandang reseptif sel dan berhubungan dengan kelompok

fotoreseptor yang bersinaps dengan sel ganglion tertentu. Sel ganglion biasanya aktif

secara spontan. Sekitar setengah dari sel ganglion retina akan berespons terhadap

penurunan peletupan (firing) impulsnya jika bagian perifer lapang pandang

reseptifnya di stimulus oleh cahaya, dan meningkatkan laju peletupannya jika pusat

lapang pandang reseptif terkena cahaya (sel pusat-ON) setengah lainnya dari sel

ganglion retina akan meningkatkan laju peletupannya jika bagian perifer terkena

cahaya akan mengurangi laju peletupannya jika reseptor pusat terstimulasi (sel pusat-

OFF). Hal ini memungkinkan keluaran retina untuk memberi sinyal mengenai

keadaan terang dan gelap relative dari setiap area yang distimulasi dalam lapang

pandang.4

Sel-sel ganglion dapat dibagi lagi menjadi dua kelompok utama: sel P dan sel

M. Sel P menerima bagian pusat lapang pandang reseptifnya dari satu atau mungkin

dua (tetapi tidak pernah tiga) jenis konus yang spesifik untuk warna tertentu,

sedangkan sel M menerima input dari semua jenis konus. Oleh karena itu, sel M tidak

selektif terhadap warna, tetapi sensitif terhadap kontras dan pergerakan bayangan

pada retina.Pembagian sel P dan sel M tampaknya dipertahankan di keseluruhan jalur

visual dan sel-sel ini terlibat dalam persepsi visual.5

Saraf optikus dari kedua mata bergabung di dasar tengkorak pada struktur

yang disebut kiasma optikum. Sekitar setengah dari setiap serabut saraf optikus akan

menyilang ke sisi kontralateral, sedangkan setengah lagi tetap di sisi ipsilateral dan
bergabung dengan akson-akson yang akan menyeberang dari sisi lainnya. Akson sel-

sel ganglion yang berasal dari regio temporalis retina mata kiri dan regio nasalis

retina mata kanan berlanjut menjadi traktus optikus kiri, sedangkan akson dari sel-sel

ganglion di bagian nasal mata kiri dan bagian temporal mata kanan berlanjut menjadi

traktus optikus kanan. Neuron yang menyusun traktus optikus akan berhubungan

dengan stasiun penerus (perelay) pertama pada jalur visual ini: badan genikulatum

lateral, kolikulus superior dan nukleus pretektal di batang otak. Serabut-serabut ini

yang bersinaps di kolikulus superior dan nukleus pretektal terlibat dalam refleks

visual dan respons orientasi.Sejumlah kecil serabut juga bercabang di titik ini untuk

bersinaps dengan nukleus suprakiasma, yang berhubungan dengan jam tubuh dan

ritme sirkadian tubuh. Namun demikian, sejumlah besar neuron mencapai nukleus

genikulatum lateral di talamus. Setiap nukleus mengandung enam lapisan selular dan

informasi dari kedua mata akan tetap terpisah, setiap kelompok serabut akan

bersinaps di tiga lapisan. Sel ganglion M akan berakhir di dua lapisan bawah (disebut

magnoselular karena sel-sel pada lapisan ini berukuran relatif besar). Sel di lapisan

magnoselular bersifat sensitif terhadap kontras dan pergerakan, tetapi tidak sensitif

terhadap warna. Sel ganglion P bersinaps di empat lapisan atas nukleus genikulatum

lateral (dua untuk setiap mata), yang disebut lapisan parvoselular. Lapisan ini

memiliki sel-sel yang relatif kecil, yang mentransmisikan informasi mengenai warna

dan detil-detil halus. Serabut dari nukleus genikulatum lateral akan berjalan ke

belakang dan ke atas dalam suatu berkas (disebut radiasi optikus) melalui lobus

pariental dan lobus temporal ke suatu area di korteks serebri yang disebut korteks

visual primer. Setiap sel korteks akan menerima input dari sejumlah terbatas sel di
nukleus genikulatum lateral, sehingga memiliki lapang pandang reseptifnya sendiri

atau bagian retina yang memberi respons.

2.2 Anatomi Mata

Menurut ilmu anatomi mata manusia terbagi menjadi dua bagian yaitu: bagian

luar dan bagian dalam.

2.2.1 Mata Bagian Luar

Gambar 2.1 Mata bagian luar

Anatomi mata bagian luar terdiri dari:


a. Bulu Mata

Bulu mata yaitu rambut-rambut halus yang terdapat ditepi kelopak mata.7

b. Alis Mata (Supersilium)

Alis yaitu rambut-rambut halus yang terdapat diatas mata.

c. Kelopak Mata (Palpebra)


Kelopak mata merupakan 2 buah lipatan atas dan bawah kulit yang

terletak di depan bulbus okuli.

d. Kelenjar Air Mata

e. Kelenjar Meibom

2.2.2 Mata Bagian Dalam

Gambar 2.2 Mata bagian dalam

Anatomi mata bagian dalam, terdiri dari:


a. Konjungtiva

Konjungtiva adalah membrane tipis bening yang melapisi permukaan

bagian dalam kelopak mata dan dan menutupi bagian depan sklera

(bagian putih mata), kecuali kornea. Konjungtiva mengandung banyak

sekali pembuluh darah.8


b. Sklera

Sklera merupakan selaput jaringan ikat yang kuat dan berada pada lapisan

terluar mata yang berwarna putih.

c. Kornea

Kornea merupakan selaput yang tembus cahaya, melalui kornea kita dapat

melihat membran pupil dan iris.

d. Koroid

Koroid adalah selaput tipis dan lembab merupakan bagian belakang tunika

vaskulosa (lapisan tengah dan sangat peka oleh rangsangan).9

e. Iris

Iris merupakan diafragma yang terletak diantara kornea dan mata.

f. Pupil

Dari kornea, cahaya akan diteruskan ke pupil. Pupil menentukan kuantitas

cahaya yang masuk ke bagian mata yang lebih dalam. Pupil mata akan

melebar jika kondisi ruangan yang gelap dan akan menyempit jika kondisi

ruangan terang.

g. Lensa

Lensa adalah organ focus utama, yang membiaskan berkas-berkas cahaya

yang terpantul dari benda-benda yang dilihat, menjadi bayangan yang

jelas pada retina. Lensa berada dalam sebuah kapsul yang elastik yang

dikaitkan pada korpus siliare khoroid oleh ligamentum suspensorium.10


h. Retina

Retina merupakan lapisan bagian dalam yang sangat halus dan sangat

sensitif terhadap cahaya. Pada retina terdapat reseptor (fotoreseptor).

i. Aqueous humor

Aquaeous humor atau cairan berair terdapat dibalik kornea. Strukturnya

sama dengan cairan sel, mengandung nutrisi bagi kornea dan dapat

melakukan difusi gas dengan udara luar melalui kornea.

j. Vitreus humor (Badan Bening)

Badan bening ini terletak dibelakang lensa. Bentuknya berupa zat

transparan seperti jeli (agar-agar) yang jernih. Zat ini mengisi pada mata

dan membuat bola mata membulat.

k. Bintik Kuning

Bintik kuning adalah bagian retina yang paling peka terhadap cahaya

karena merupakan tempat perkumpulan sel-sel saraf yang berbentuk

kerucut dan batang

2.3 Anatomi Lensa

Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular tak berwarna dan transparan.

Tebal sekitar 4 mm dan diameternya 9 mm. Dibelakang iris lensa digantung oleh

zonula (zonula Zinnii) yang menghubungkannya dengan korpus siliare. Di sebelah

anterior lensa terdapat humor aquaeus dan disebelah posterior terdapat viterus.

Kapsul lensa adalah suatu membran semipermeabel yang dapat dilewati air dan
elektrolit. Disebelah depan terdapat selapis epitel subkapsular. Nukleus lensa lebih

keras daripada korteksnya. Sesuai dengan bertambahnya usia, serat-serat lamelar

subepitel terus diproduksi, sehingga lensa lama-kelamaan menjadi kurang elastik.

Lensa terdiri dari enam puluh lima persen air, 35% protein, dan sedikit sekali

mineral yang biasa ada di jaringan tubuh lainnya. Kandungan kalium lebih tinggi di

lensa daripada di kebanyakan jaringan lain. Asam askorbat dan glutation terdapat

dalam bentuk teroksidasi maupun tereduksi. Tidak ada serat nyeri, pembuluh darah

atau pun saraf di lensa.

Lensa mata menerima cahaya dari pupil dan meneruskannya pada retina.

Fungsi lensa mata adalah mengatur fokus cahaya, sehingga cahaya jatuh tepat pada

bintik kuning retina. Untuk melihat objek yang jauh (cahaya datang dari jauh), lensa

mata akan menipis. Sedangkan untuk melihat objek yang dekat (cahaya datang dari

dekat), lensa mata akan menebal.

Fungsi utama lensa adalah memfokuskan berkas cahaya ke retina. Untuk

memfokuskan cahaya yang datang dari jauh, otot-otot siliaris relaksasi, menegangkan

serat zonula dan memperkecil diameter anteroposterior lensa sampai ukurannya yang

terkecil, daya refraksi lensa diperkecil sehingga berkas cahaya paralel atau terfokus

ke retina. Untuk memfokuskan cahaya dari benda dekat, otot siliaris berkontraksi

sehingga tegangan zonula berkurang. Kapsul lensa yang elastik kemudian

mempengaruhi lensa menjadi lebih sferis diiringi oleh peningkatan daya biasnya.

Kerjasama fisiologik tersebut antara korpus siliaris, zonula, dan lensa untuk
memfokuskan benda dekat ke retina dikenal sebagai akomodasi. Seiring dengan

pertambahan usia, kemampuan refraksi lensa perlahan-lahan berkurang. Selain itu

juga terdapat fungsi refraksi, yang mana sebagai bagian optik bola mata untuk

memfokuskan sinar ke bintik kuning, lensa menyumbang +18.0- Dioptri.

2.4 Dislokasi Lensa

2.4.1 Pengertian dan Prevalensi

Dislokasi lensa adalah keadaan dimana lensa kristalina bergeser atau berubah

posisinya dari kedudukan normalnya akibat rupturnya zonula zinii sebagai

pemegangnya.4 Dislokasi lensa dapat terjadi total (luksasi) ataupun sebagian

(subluksasi) yang terjadi akibat proses trauma pada mata, herediter (sindrom marfan,

homosistinuria), ataupun komplikasi dari penyakit lain. Kejadian dislokasi lensa

sangat jarang ditemukan. Sejauh ini data mengenai insidensi dislokasi lensa pada

populasi umum belum diketahui dengan jelas.4 Penyebab tersering dari dislokasi

lensa adalah trauma pada mata, yakni hampir sebagian dari kasus.4

Namun untuk kejadian dislokasi lensa total (luksasi) akibat trauma ini insidensinya

lebih sedikit, sedang untuk dislokasi lensa sebagian (subluksasi) post trauma

insidensnya lebih sering.3 Untuk penyebab herediter, Sindrom Marfan merupakan

penyebab tersering dimana prevalensinya diperkirakan 5 dari 100.000 anak.4

Dislokasi lensa terjadi pada 75% penderita Sindrom Marfan dan biasanya bilateral. 4

Sedangkanuntuk penderita denganhomosistinuria, hampir 90% dari penderita mengal

ami dislokasi lensa (luksasi) pada kedua lensanya.4


2.4.2 Klasifikasi

Dislokasi lensa dapat terjadi ke bilik depan, ke vitreus, subskleral, ruang

interretina, konjungtiva, dan ke subtenon. Dislokasi ke bilik depan sering

menyebabkan glaukoma akut yang hebat, sehingga harus segera diekstraksi. Dislokasi

ke posterior biasanya lebih tenang dan sering tidak menimbulkan keluhan, tetapi

dapat menyebabkan vitreus menonjol ke bilik depan dan menyebabkan blok pupil dan

peninggian TIO.

2.4.3 Etiologi dan Faktor Resiko

Dislokasi lensa dapat terjadi oleh karena herediter, komplikasi penyakit mata

lainnya ataupun akibat proses trauma yang terjadi pada mata. Dari faktor herediter

dapat terjadi padakeadaan Sindrom Marfan ataupunpadhomosistinuria, dimana zonula

zinii sebagai pemegang lensa menjadi inkompeten.3

Sedangkan untuk faktor trauma, terjadi lebih sering pada kasus trauma

tumpul, dimana terjadi ekspansi dan kompresi pada bola mata yang pada akhirnya

dapat mengakibatkan dislokasi lensa.4 Penyakit lain pada mata yang dapat

menyebabkan komplikasi ke arah dislokasi lensa diantaranya katarak hipermatur dan

high myopia.4

Faktor–faktor yang mempengaruhi terjadinya dislokasi lensa ditinjau dari

teori Blum yang dibagi menjadi empat faktor, antara lain faktor biologi,

faktor perilaku, faktor lingkungan, dan faktor pelayanan kesehatan.


Tabel 2.1 Faktor resiko dislokasi lensa

Faktor Biologi Herediter- Mutasi pada gen fibrilin pada kromosom 15 (Sindrom
Marfan)

Kelainan bawaan yang bersifat autosomal resesif, dimana terjadi


Defisiensi sintetis enzim Cystathione (Homocystinuria)

Kelainan bawaan autosomal dominan atau resesif (Weill-


Marchesani Syndrome)

Usia (dapat terjadi pada semua umur). Unutk dislokasi lensa


karena faktor herediter manifestasi sudah muncul sejak usia
anak- anak.

Jenis kelamin, tidak ada perbedaan insidens dislokasi lensa antara


laki-laki dan perempuan.
Faktor Lingkungan dengan keadaan yang kurang baik, (misal:

Lingkungan Pencahayaan kurang)

Faktor Perilaku Kurangnya kesadaran pasien untuk segera berobat. Kurangnya

kesadaran pasien untuk melakukan pemeriksaan rutin (kontrol)

Faktor Pelayanan Komplikasi dari operasi katarak- Keterlambatan dalam


diagnosis dini dan terapi terutama pada kasus dislokasi lensa
Kesehatan yang merupakan komplikasi dari penyakit lain seperti katarak
hipermatur, sehingga kejadian penyakit tidak dapat dicegah atau
diminimalisir dan seringkali tidak terdeteksi.

Kekeliruan dalam diagnosis dan terapi

Tidak adanya program yang adekuat untuk proses skrining awal


penyakit terutama untuk dislokasi lensa yang terjadi karena
faktor herediter.

2.4.4 Patofisiologi

Homocystinuria merupakan gangguan metabolisme yang ditandai dengan

meningkatnya kadar darah pada konsentrasi homosistein urin–asam amino yang


mengandung sulfur. Adanya kecacatan dalam metabolisme asam amino akan

menghasilkan zonules yang rapuh dan mudah pecah, hal ini akan memungkinkan

lensa untuk menggantikan inferonasally atau bahkan masuk kedalam bilik anterior.

Sedangkan, syndrome marfan terjadi pada anak-anak muda, dislokasi lensa

dapat diobati efektif dengan kacamata atau lensa kontak yang membiaskan sekitar

atau melalui lensa. Untuk remaja yang tidak menyukai penggunaan kacamata atau

mengalami gangguan lapang pandang yang terbatas mungkin menjadi indikasi untuk

jenis pemasangan implan lensa intraokuler.

2.4.5 Perbedaan Homocytinuria dan Syndrome Marfan

Tabel 2.2 Perbedaan Homocytinuria dan Syndrome Marfan

Syndrome Marfan Homocytinuria

Autosomal dominanInkompetensi Aorta Autosomal resesifOrgan jantung jarang


terkena
Dislokasi lensa ke atas
Dislokasi lensa ke bawah
Mentalitas normal
Keterbelakangan mental
Scoliosis
Trombosis rekuren
Flat kaki
Osteoporosis
Hernia
2.4.6 Gejala Klinis

Gejala-gejala dislokasi lensa tergantung pada keparahan dan dapat bervariasi

dari ringan sampai miopia berat, Silindris dan fluktuasi visus. Selain itu, visus dapat

sangat kabur. Dislokasi lensa hanya dapat dikonfirmasikan oleh dokter yang

menggunakan pemeriksaan mata menggunakan slit lamp setelah dilakukan dilatasi

pupil secara sepenuhnya (midriasis).

2.4.7 Pengobatan

Ekstraksi dislokasi lensa bisa sulit, sehingga subluxated lensa sendiri bukan

merupakan alasan yang cukup untuk dilakukan operasi. Dengan tidak adanya

glaucoma sudut tertutup, dekompensasi kornea, peradangan atau kecacatan visual,

membiarkan subluxated lensa mendukung pilihan non-bedah. Untuk penstabilan

kesalahan, koreksi visual dengan kacamata atau lensa kontak dapat menjadi pilihan.

Jika luxates lensa ke dalam ruang posterior tetapi tidak terjadi peradangan,

hanya dilakukan memantau kondisi. Namun, jika peradangan tidak terjadi dan ada

ancaman kerusakan retina, perlu dilakukan vitrectomy dan ekstraksi lensa.

Jika lensa telah secara spontan terjadi dislokasi ke ruang anterior, atau di

mana pasien mengalami dislokasi anterior, ikuti protokol ini: pasien diposisikan

berbaring, kemudian hati-hati memanipulasi kepala sampai lensa jatuh kembali ke

tempat di fosa. Terapkan solusi pilocarpine dan mendapatkan konsultasi bedah.


Jika terjadi blok pupil, berlanjut menjaid glaukoma sudut tertutup, laser

iridotomy perifer diindikasikan sesegera mungkin. Namun, tingkat keberhasilannya

rendah. Dengan demikian, pasien kemudian harus menjalani ekstraksi lensa dengan

implantasi lensa intraokular. Sementara beberapa ahli bedah mata telah sukses dengan

implan ruang posterior, lensa bilik anterior biasanya menjadi modalitas pilihan.

2.4.8 Komplikasi dan Prognosis

1. Dalam setiap kasus dislokasi lensa, kemungkinan kuat akan terjadi blok pupil

dan sekunder glaukoma sudut tertutup.

2. Delapan puluh % pasien dengan sindrom Marfan akan mengalami subluksasi

lensa.

3. Kenyataan bahwa subluksasi lensa bukan alasan yang kuat untuk dilakukan

pembedahan pengeluaran lensa.

4. Gejala subluksasi dapat dikelola secara efektif dengan lensa kontak buram

atau terapi jangka panjang pilocarpine.

2.5 Definisi Katarak

Katarak merupakan abnormalitas pada lensa mata berupa kekeruhan lensa

yang menyebabkan tajam penglihatan penderita berkurang. Katarak lebih sering

dijumpai pada orang tua, dan merupakan penyebab kebutaan nomor 1 di seluruh

dunia. Penuaan merupakan penyebab katarak yang terbanyak, tetapi banyak juga

factor lain yang mungkin terlibat, antara lain : trauma, toksin, penyakit sistemik (mis;

diabetes), merokok, dan herediter. Kata katarak berasal dari Yunani “katarraktes”
yang berarti air terjun. Dalam bahasa Indonesia disebut bular dimana seperti tertutup

air terjun akibat lensa yang keruh. Katarak sendiri sebenarnya merupakan kekeruhan

pada lensa akibat hidrasi, denaturasi protein, dan proses penuaan.sehingga

memberikan gambaran area berawan atau putih.3,8

Kekeuruhan ini menyebabkan sulitnya cahaya untuk mencapai retina,

sehingga penderita katarak mengalami gangguan penglihatan dimana objek terlihat

kabur. Mereka mengidap kelainan ini mungkin tidak menyadari telah mengalami

gangguan katarak apabila kekeruhan tidak terletak dibagian tengah lensanya.3,8

Gambar 2.3 katarak

Gangguan penglihatan yang dirasakan oleh penderita katarak tidak terjadi

secara instan, melainkan terjadi berangsur-angsur, sehingga penglihatan penderita

terganggu secara tetap atau penderita mengalami kebutaan. Katarak tidak menular

dari satu mata ke mata yang lain, namun dapat terjadi pada kedua mata secara

bersamaan.3,8
Katarak biasanya berkembang lambat selama beberapa tahun dan pasen

mungkin meninggal sebelum diperlukan pembedahan. Apabila diperlukan

pembedahan maka pengangkatan lensa akan memperbaii ketajaman penglihtan pada

>90% kasus.sisanya mungkin mengalami kerusakan retina atau mengalami penyulit

pasca bedah serius misalnya glaukoma, ablasio retina, atau infesi yang menghambat

pemulihan daya pandang.3,8

Gambar 2.4 Perbedaan lensa jernih dan katarak

2.5.1 Epidemiologi Katarak

Lebih dari 90% kejadian katarak merupakan katarak senilis. 20-40% orang usia

60 tahun ke atas mengalami penurunan ketajaman penglihatan akibat kekeruhan

lensa. Sedangkan pada usia 80 tahun ketas insidensinya mencapai 60-80%. Prevalensi

katarak kongenital pada negara maju berkisar 2-4 setiap 10000 kelahiran. Frekuensi
katarak laki-laki dan perempuan sama besar. Di seluruh dunia, 20 juta orang

mengalami kebutaan akibat katarak.5

2.5.2 Etiologi dan Faktor Resiko

Penyebab tersering dari katarak adalah proses degenerasi, yang menyebabkan

lensa mata menjadi keras dan keruh. Pengeruhan lensa dapat dipercepat oleh faktor

risiko seperti merokok, paparan sinar UV yang tinggi, alkohol, defisiensi vit E,

radang menahun dalam bola mata, dan polusi asap motor/pabrik yang mengandung

timbal.3,8 Cedera pada mata seperti pukulan keras, tusukan benda, panas yang tinggi,

dan trauma kimia dapat merusak lensa sehingga menimbulkan gejala seperti katarak.8

Katarak juga dapat terjadi pada bayi dan anak-anak, disebut sebagai katarak

kongenital. Katarak kongenital terjadi akibat adanya peradangan/infeksi ketika hamil,

atau penyebab lainnya. Katarak juga dapat terjadi sebagai komplikasi penyakit infeksi

dan metabolik lainnya seperti diabetes mellitus.3

2.5.3 Patofisiologi

Perubahan fisik dan kimia dalam lensa mengakibatkan hilangnya

transparansi. Perubahan dalam serabut halus multipel (zonula) yang memanjang dari

badan siliar ke sekitar daerah di luar lensa. Perubahan kimia dalam protein lensa

dapat menyebabkan koagulasi, sehingga mengakibatkan pandangan dengan

menghambat jalannya cahaya ke retina. Salah satu teori menyebutkan terputusnya

protein lensa normal disertai influks air ke dalam lensa. Proses ini mematahkan
serabut lensa yang tegang dan mengganggu transmisi sinar. Teori lain mengatakan

bahwa suatu enzim mempunyai peran dalam melindungi lensa dari

degenerasi. Jumlah enzim akan menurun dengan bertambahnya usia dan tidak ada

pada kebanyakan pasien yang menderita katarak.3,8

Terdapat 2 teori yang menyebabkan terjadinya katarak yaitu teori hidrasi dan

sklerosis:

1. Teori hidrasi terjadi kegagalan mekanisme pompa aktif pada epitellensa

yang berada di subkapsular anterior, sehingga air tidak dapatdikeluarkan

dari lensa. Air yang banyak ini akan menimbulkan bertambahnya tekanan

osmotik yangmenyebabkan kekeruhan lensa.6

2. Teori sklerosis lebih banyak terjadi pada lensa manula dimana

serabutkolagen terus bertambah sehingga terjadi pemadatan

serabut kolagendi tengah. Makin lama serabut tersebut semakin

bertambah banyak sehingga terjadilah sklerosis nukleus lensa.6

Perubahan yang terjadi pada lensa usia lanjut:8

1. Kapsula
a. Menebal dan kurang elastic (1/4 dibanding anak)
b. Mulai presbiopiac
c. Bentuk lamel kapsul berkurang atau kabur
d. Terlihat bahan granular
2. Epitel-makin tipis
a. Sel epitel (germinatif pada ekuator bertambah besar dan berat)
b. Bengkak dan vakuolisasi mitokondria yang nyata
3. Serat lensa
a. Serat irregular
b. Pada korteks jelas kerusakan serat sel
c. Brown sclerotic nucleus, sinar UV lama kelamaan merubah
proteinnukelus lensa, sedang warna coklat protein lensa
nucleusmengandung histidin dan triptofan disbanding normal
d. Korteks tidak berwarna karenai kadar asam askorbat tinggi dan
menghalangi foto oksidasi.

Sinar tidak banyak mengubah protein pada serat muda. Perubahan fisik dan

kimia dalam lensa mengakibatkan hilangnya transparasi, akibat perubahan pada

serabut halus multipel yang memanjang dari badan siliar ke sekitar daerah di luar

lensa, misalnya menyebabkan penglihatan mengalami distorsi. Pada protein lensa

menyebabkan koagulasi, sehingga mengakibatkan pandangan dengan penghambatan

jalannya cahaya ke retina.8

2.5.4 Klasifikasi Katarak

Tabel 2.4 Klasifikasi Katarak


Morfologi Maturitas Onset

Kapsular Insipien Kongenital

Subkapsular Intumesen Infantile

Kortikal Immatur Juvenile

Supranuklear Matur Presenile

Nuklear Hipermatur Senile

Polar Morgagni
2.5.4.1 Katarak Senilis

2.5.4.1.1 Definisi dan Epidimiologi

Katarak senilis merupakan tipe katarak didapat yang timbul karena proses

degeneratif dan umum terjadi pada pasien di atas 50 tahun. Pada usia 70 tahun, lebih

dair 90% individu mengalami katarak senilis. Umumnya mengenai kedua mata

dengan salah satu mata terkena lebih dulu.3

Faktor-faktor yang mempengaruhi onset, tipe, dan maturasi katarak senilis antara

lain:3

1. Herediter

2. Radiasi sinar UV

3. Faktor makanan

4. Krisis dehidrasional

5. Merokok

2.5.4.1.2 Patofisiologi

Komposisi lensa sebagian besar berupa air dan protein yaitu kristalin. Kristalin α

dan β adalah chaperon, yang merupakan heat shock protein. Heat shock protein

berguna untuk menjaga keadaan normal dan mempertahankan molekul protein agar

tetap inaktif sehingga lensa tetap jernih. Lensa orang dewasa tidak dapat lagi

mensintesis kristalin untuk menggantikan kristalin yang rusak, sehingga dapat

menyebabkan terjadinya kekeruhan lensa.6,8


Mekanisme terjadi kekeruhan lensa pada katarak senilis yaitu:

2.5.4.1.3 Katarak Senilis Kortikal

Terjadi proses dimana jumlah protein total berkurang, diikuti dengan penurunan

asam amino dan kalium, yang mengakibatkan kadar natrium meningkat. Hal ini

menyebabkan lensa memasuki keadaan hidrasi yang diikuti oleh koagulasi protein.5

Pada katarak senilis kortikal terjadi derajat maturasi sebagai berikut:

1. Derajat separasi lamelar


Terjadi demarkasi dari serat kortikal akibat hidrasi. Tahap ini hanya dapat

diperhatikan menggunakan slitlamp dan masih bersifat reversibel.8

2. Katarak insipien
Merupakan tahap dimana kekeruhan lensa dapat terdeteksi dengan adanya

area yang jernih diantaranya. Kekeruhan dapat dimulai dari ekuator ke arah

sentral (kuneiform) atau dapat dimulai dari sentral (kupuliform).3,5

Kekeruhan pada katarak imatur belum mengenai seluruh bagian lensa.

Volume lensa dapat bertambah akibat meningkatnya tekanan osmotik, bahan

lensa yang degeneratif, dan dapat terjadi glaukoma sekunder.3,5

3. Katarak matur

Kekeruhan pada katarak matur sudah mengenai seluruh bagian lensa.

Deposisi ion Ca dapat menyebabkan kekeruhan menyeluruh pada derajat

maturasi ini. Bila terus berlanjut, dapat menyebabkan kalsifikasi lensa.3,5


4. Katarak hipermatur

Pada stadium ini protein-protein di bagian korteks lensa sudah mencair.

Cairan keluar dari kapsul dan menyebabkan lensa menjadi mengerut.3,5

5. Katarak Morgagni

Merupakan kelanjutan dari katarak hipermatur, di mana nukleus lensa

menggenang bebas di dalam kantung kapsul. Pengeretuan dapat berjalan

terus dan menyebabkan hubungan dengan zonula Zinii menjadi longgar.3,5

2.5.4.1.4 Perbedaan stadium katarak

Tabel 2.5 Perbedaan stadium katarak

Insipien Imatur Matur Hipermatur


Kekeruhan Ringan Sebagian Seluruh Masif
Cairan lensa Normal Bertambah Normal Berkurang
(air masuk) (air keluar)
Iris Normal Terdorong Normal Tremulans
Bilik mata Normal Dangkal Normal Dalam
depan
Sudut bilik Normal Sempit Normal Terbuka
mata
Shadow test - + - Pseudops
Penyulit - Glaukoma - Uveitis +
Glaukoma
2.5.4.1.5 Katarak senilis nuklear

Terjadi proses sklerotik dari nukleus lensa. hal ini menyebabkan lensa menjadi

keras dan kehilangan daya akomodasi.

Maturasi pada katarak senilis nuklear terjadi melalui proses sklerotik, dimana

lensa kehilangan daya elastisitas dan keras, yang mengakibatkan menurunnya

kemampuan akomodasi lensa, dan terjadi obtruksi sinar cahaya yang melewati lensa

mata. Maturasi dimulai dari sentral menuju perifer. Perubahan warna terjadi akibat

adanya deposit pigmen. Sering terlihat gambaran nukleus berwarna coklat (katarak

brunesens) atau hitam (katarak nigra) akibat deposit pigmen dan jarang berwarna

merah (katarak rubra).5,6

Gambar 2.6 Perbedaan lensa pada katarak

2.5.4.1.5.1 Manifestasi Klinis

Manifestasi dari gejala yang dirasakan oleh pasien penderita katarak terjadi secara

progresif dan merupakan proses yang kronis. Gangguan penglihatan bervariasi,

tergantung pada jenis dari katarak yang diderita pasien.3,5


Gejala pada penderita katarak adalah sebagai berikut:

1. Penurunan visus

2. Silau

3. Perubahan miopik

4. Diplopia monocular

5. Halo bewarna

6. Bintik hitam di depan mata

Tanda pada penderita katarak adalah sebagai berikut:3

1. Pemeriksaan visus berkisar antara 6/9 sampai hanya persepsi cahaya

2. Pemeriksaan iluminasi oblik

3. Shadow test

4. Oftalmoskopi direk

5. Pemeriksaan sit lamp

Derajat kekerasan nukleus dapat dilihat pada slit lamp sebagai berikut.
2.6 Diagnosa

Diagnosa katarak senilis dapat dibuat dari hasil anamnesis dan pemeriksaan

fisik. Pemeriksaan laboratorium preoperasi dilakukan untuk mendeteksi adanya

penyakit-penyakit yang menyertai, seperti DM, hipertensi, dan kelainan jantung.6,8

Pada pasien katarak sebaiknya dilakukan pemeriksaan visus untuk

mengetahui kemampuan melihat pasien. Visus pasien dengan katarak subcapsuler

posterior dapat membaik dengan dilatasi pupil. Pemeriksaan adneksa okuler dan

struktur intraokuler dapat memberikan petunjuk terhadap penyakit pasien dan

prognosis penglihatannya.6

Pemeriksaan slit lamp tidak hanya difokuskan untuk evaluasi opasitas lensa

tetapi dapat juga struktur okuler lain, misalnya konjungtiva, kornea, iris, bilik mata

depan. Ketebalan kornea harus diperiksa dengan hati-hati, gambaran lensa harus

dicatat dengan teliti sebelum dan sesudah pemberian dilator pupil, posisi lensa dan

intergritas dari serat zonular juga dapat diperiksa sebab subluksasi lensa dapat

mengidentifikasi adanya trauma mata sebelumnya, kelainan metabolik, atau katarak

hipermatur. Pemeriksaan shadow test dilakukan untuk menentukan stadium pada

katarak senilis. Selain itu, pemeriksaan ofthalmoskopi direk dan indirek dalam

evaluasi dari intergritas bagian belakang harus dinilai.8

2.7 Diagnosis Banding

Katarak kongenital yang bermanifestasi sebagai leukokoria perlu dibedakan

dengan kondisi lain yang menyebabkan leukokoria, seperti retinoblastoma,

retinopathy of prematurity, atau persistent hyperplastic primary vitreus (PHPV).5


2.8 Tatalaksana
Penatalaksanaan definitif untuk katarak senilis adalah ekstraksi lensa.

Bergantung pada integritas kapsul lensa posterior, ada 2 tipe bedah lensa yaitu intra

capsuler cataract ekstraksi (ICCE) dan ekstra capsuler cataract ekstraksi (ECCE).8

2.9 Indikasi

Indikasi penatalaksanaan bedah pada kasus katarak mencakup indikasi

visus,medis, dan kosmetik.8

1. Indikasi visus; merupakan indikasi paling sering. Indikasi ini berbeda pada

tiap individu, tergantung dari gangguan yang ditimbulkan oleh katarak

terhadap aktivitas sehari-harinya.

2. Indikasi medis; pasien bisa saja merasa tidak terganggu dengan kekeruhan

pada lensa matanya, namun beberapa indikasi medis dilakukan operasi

katarak seperti glaukoma imbas lensa (lens-induced glaucoma),

endoftalmitis fakoanafilaktik, dan kelainan pada retina misalnya retiopati

diabetik atau ablasio retina.

3. Indikasi kosmetik; kadang-kadang pasien dengan katarak matur meminta

ekstraksi katarak (meskipun kecil harapan untuk mengembalikan visus)

untuk memperoleh pupil yang hitam.

2.10 Prognosis

Tindakan pembedahan secara defenitif pada katarak senilis dapat memperbaiki

ketajaman penglihatan pada lebih dari 90% kasus. Sedangkan prognosis penglihatan
untuk pasien anak-anak yang memerlukan pembedahan tidak sebaik prognosis untuk

pasien katarak senilis. Adanya ambliopia dan kadang-kadang anomali saraf optikus

atau retina membatasi tingkat pencapaian pengelihatan pada kelompok pasien ini.

Prognosis untuk perbaikan ketajaman pengelihatan setelah operasi paling buruk pada

katarak kongenital unilateral dan paling baik pada katarak kongenital bilateral

inkomplit yang proresif lambat.4

2.11 Definisi Afakia

Afakia adalah suatu keadaan dimana mata tidak mempunyai lensa sehingga

mata tersebut menjadi hipermetropia tinggi. Karena pasien memerlukan pemakaian

lensa yang tebal, maka akan memberikan keluhan pada mata tersebut sebagai

berikut:7

1. Benda yang dilihat menjadi lebih besar 25% dibanding normal

2. Terdapat efek prisma lensa tebal, sehingga benda terlihat seperti

melengkung

3. Pada penglihatan terdapat keluhan seperti badut di dalam kotak atau

fenomena jack in the box, dimana bagian yang jelas terlihat hanya pada

bagian sentral, sedang penglihatan tepi kabur. Dengan adanya keluhan di

atas maka pada pasien hipermetropia dengan afakia diberikan kacamata

sebagai berikut:7

a. Pusat lensa yang dipakai letaknya tepat pada tempatnya

b. Jarak lensa dengan mata cocok untuk pemakaian lensa afakia

c. Bagian tepi lensa tidak mengganggu lapang pandangan


d. Kacamata tidak terlalu berat.

2.11.1 Epidemiologi

Penelitian di Swedia pada tahun 1997-2001 menyebutkan bahwa satu dari dua

ratus operasi katarak adalah afakia. Alasan paling sering terjadinya afakia yang tidak

direncanakan adalah adanya masalah kapsul ketika operasi dan prolaps vitreous.8

2.11.2 Etiologi

1. Absen lensa kongenital. Keadaan ini jarang.

2. Afakia setelah operasi pengangkatan lensa. Ini adalah penyebab paling umum

afakia.

3. Afakia karena absorbsi bahan lensa yang jarang dipalorkan setelah trauma pada

anak.

4. Trauma ekstrusi pada lensa. Ini juga jarang menyebabkan afakia

5. Dislokasi posterior lensa di badan vitreous menyebabkan afakia optikal.

2.11.3 Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala dari afakia adalah :

1.
Afakia menyebabkan tajam penglihatan menurun dekat dan jauh.

2. Visus 1/60 atau lebih rendah jika afakia tidak ada komplikasi

3. Limbal scar yang dapat ditemukan pada afakia akibat pembedahan

4. Pasien mengalami penurunan tajam penglihatan(biasanya hiperopia yang sangat

tinggi) yang dapat dikoreksi dengan lensa positif.


5. Bilik mata depan dalam

6. Iris tremulans

7. Jet black pupil

8. Test bayangan purkinje hanya memperlihatkan 2 bayangan (normalnya 4

bayangan)

9. Pemeriksaan fundus memperlihatkan diskus kecil hipermetropi

10. Retinoscopy memperlihatkan hipermetropi tinggi

11. Biasanya terlihat bekas operasi

12. Jika sudah mengalami komplikasi dapat ditemukan edema kornea, peningkatan

TIO, iritis, kerusakan iris, CME (cystoid macular edema)

2.11.4 Optik pada Afakia

Optik pada afakia dapat dibagi menjadi 5, yaitu:9

1. Perubahan data kardinal mata

Perubahan optik yang terjadi setelah pengangkatan lensa adalah:

a. Mata menjadi hipermetropi tinggi

b. Penurunan total power pada mata menjadi +44 D dari +60 D

c. Titik fokus anterior menjadi 23,3 mm didepan kornea

d. Titik fokus posterior 31 mm dibelakang cornea (panjang anterior posterior

bola mata 24 mm)

e. Dua titik prinsipal hampir terletak di permukaan anterior kornea


f. Titik nodul sangat dekat dengan yang lain dan terletak 7,75mm dibelakang

permukaan anterior kornea

Gambar 2.7 Perbedaan mata normal dan afakia

2. Pembentukan bayangan pada afakia

Pada afakia, bayangan yang terbentuk membesar 33%. Panjang fokus anterior

pada emetrop adalah 17,05 mm, sedangkan pada afaki adalah 23,22 mm. Rasio

panjang fokus anterior emetrop dan afakia adalah 23,22/17,05=1,32, artinya

bayangan yang terbentuk pada afakia 1,32 kali lebih besar (33%) dibandingkan

pada emetrop.
3. Tajam penglihatan pada afakia

4. Akomodasi pada afakia terjadi kehilangan akomodasi karena tidak terdapat lensa

5. Penglihatan binokular dan afakia

Afakia monokuler pada anak terjadi aniseikonia sebesar 30% disebabkan oleh

anisometropia.
2.11.5 Penatalaksanaan

Afakia dapat dikoreksi menggunakan lensa kontak, kacamata, atau operasi.

Kacamata afakia hanya dapat digunakan jika kondisinya afakia bilateral, jika hanya

satu mata maka akan terjadi perbedaan ukuran bayangan pada kedua mata

(aniseikonia). Jika pasien tidak dapat memakai lensa kontak atau kaca mata, maka

dipertimbangkan penanaman lensa intraokuler (pseudofakia). Dan diperlukan

tatalaksana untuk komplikasi.9

Tabel perbedaan mata normal (1), koreksi katarak dengan lensa intraokuler bilik mata

belakang (2), lensa kontak (3),

Indikasi :

a. Afakia bilateral

b. Pasien dengan myopia tinggi (kekuatan IOL kurang dari 8D)

c. Akan dilakukan operasi katarak


d. Ketika pasien menolak operasi implantasi IOL

2.11.6 Prognosis

Prognosis untuk afakia adalah bagus jika tidak terjadi komplikasi seperti edema

kornea, glaukoma sekunder, CME (cystoid macular edema). Namun, pada afakia

terjadi peningkatan resiko ablasio retina, khususnya pada miopi tinggi dan jika kapsul

posterior tidak intak.9

Anda mungkin juga menyukai