PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Permasalahan stres kerja sampai saat ini masih menjadi tren di berbagai
belahan bumi. Di Eropa, permasalahan stres kerja menempati urutan ke-2 setelah
gangguan muskuloskeletal (Petreanu dkk., 2013). Laporan EU-OSHA (2013)
menjelaskan bahwa 51% pekerja melaporkan stres yang berhubungan dengan
pekerjaan merupakan hal umum di tempat kerja dan 4 dari 10 pekerja menyatakan
bahwa permasalahan stres kerja tidak dikelola dengan baik di lingkungan
organisasi mereka. Tingginya angka stres kerja di Eropa menyebabkan pemerintah
anggota UNI Eropa turut mengambil bagian untuk menyelesaikan permasalahan
yang terjadi. Berdasarkan rapat anggota parlemen dihasilkan sebuah undang-
undang tata kelola permasalahan, pembuatan standar praktik kerja terbaik,
perjanjian antara pemangku kepentingan dalam membuat strategi umum, promosi
melalui dialog sosial, penyebaran pengetahuan ilmiah terkait dengan pekerjaan,
dan faktor-faktor psikososial, yang kemudian diadopsi sebagai langkah-langkah
dalam pengambilan tindakan serta bahan untuk mengevaluasi dan mengelola
risiko yang terjadi (European Parliament, 2013).
Di kawasan Asia Pasifik tren stres kerja melebihi rata-rata global yang
berkisar 48%. Berdasarkan hasil survei Regus pada tahun 2012 yang diperoleh
dari CFO Innovation Asia Staff (2016), tingkat stres kerja di negara-negara seperti
Malaysia mencapai 57%, Hongkong 62%, Singapura 63%, Vietnam 71%, Cina
73%, Indonesia 73%, dan Thailand 75%. Indonesia mengalami peningkatan
sebesar 9% dari tahun sebelumnya yang hanya berada di tingkat 64%. Tingginya
persentase stres kerja di Indonesia, selain dipengaruhi oleh faktor di dalam negeri,
juga terkait dengan faktor individu dan pekerjaan (Timah, 2014).
Kejadian stres kerja erat kaitannya dengan faktor pekerjaan, seperti jadwal
kerja, beban kerja, konflik peran, dan konflik interpersonal. Pertama, menurut
Winarsunu (2008, dalam Marchelia, 2014) jadwal kerja yang selalu berubah-ubah
dapat menyebabkan kelelahan fisik dan mental atau stres kerja. Kedua, beban
kerja dapat menyebabkan stres kerja ketika proporsi tugas yang diberikan telalu
1
2
berlebihan dan target kerja yang diberikan oleh pimpinan kepada pekerja kurang
adil atau tidak wajar (Fathoni, 2009 dalam Hatmawan, 2015). Ketiga, Konflik
peran merupakan konflik yang terjadi akibat pertentangan tanggung jawab dan
tugas yang harus dikerjakan, dalam kondisi tertentu hal ini dapat berpengaruh
negatif terhadap kesehatan pekerja seperti stres kerja (Rahim, 2002 dalam
Giovanni dkk., 2015). Keempat, konflik interpersonal merupakan perselisihan
akibat perbedaan pendapat dan pandangan yang dapat melibatkan semua unsur
individu di dalam organisasi kerja. Menurut Sliter (2011), konflik interpersonal
merupakan salah satu di lingkungan kerja yang dapat menyebabkan stres kerja.
Selain faktor pekerjaan, risiko pekerja mengalami stres kerja akan
ditentukan oleh faktor individual dari pekerja itu sendiri. Menurut Handoko
(2001, dalam Taufiqurrahman dkk., 2014) faktor individual berperan penting
dalam proses psikologis untuk menilai suatu pekerjaan. Menurut Notoatmodjo
(2007, dalam Febriandini dkk., 2016), faktor individual seperti jenis kelamin,
umur, dan masa kerja merupakan faktor internal pekerja yang dapat menyebabkan
stres kerja. Pertama, berkaitan dengan jenis kelamin, antara laki-laki dan
perempuan mengalami reaksi stres yang berbeda, baik fisik maupun mental, tetapi
pada umumnya perempuan lebih sering melaporkan gejala stres, baik secara fisik
maupun mental (APA, 2010). Kedua, umur merupakan variabel yang sering
memberikan perbedaan tingkat stres pada pekerja. Scott dkk. (2014) merujuk pada
penelitiannya membuktikan bahwa pekerja umur dewasa muda lebih rentan
mengalami stres kerja dibandingkan dengan pekerja umur dewasa lebih tua. Hal
tersebut dipengaruhi oleh pengalaman sehari-hari dan kemampuan mengelola
stres kerja. Ketiga, masa kerja merupakan faktor yang dapat berkontribusi
terhadap peningkatan stres kerja. Pada umumnya, pekerja yang telah lama bekerja
diperusahaan akan semakin betah dengan pekerjaannya. Ketika pekerjaan yang
dilakukan bersifat monoton, maka akan menyebabkan kejenuhan, sehingga
pekerja menjadi stres (Munandar, 2001).
Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di PT Borneo
Melintang Buana (BMB) Export pada bulan Maret 2016 terhadap 15 pekerja,
diketahui beberapa gejala stres yang ditandai oleh perubahan psikologis dan
3