Anda di halaman 1dari 23

CONTOH TUGAS FISIKA LINGKUNGAN

Keterangan : Dibuat dalam bentuk proposal dam bentuk kelompok dan


dipresentasikan minggu depan.

1. JUDUL :

GELOMBANG ULTRASONIK SEBAGAI PENGENDALI HAMA


BELALANG (LOCUSTA MIGRATORIA) DI KALIMANTAN BARAT

2. ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan satu metoda baru
pada proses Pengendalian Hama Belalang Kembara (Logusta migratoria)
dengan menggunakan Gelombang Ultrasonik. Penelitian ini akan dilaksanakan
mulai dari rancang bangun piranti elektronik untuk menghasilkan alat sumber
pembangkit frekuensi gelombang ultrasonik sampai dengan pelaksanaan
pengendalian belalang kembara. Gelombang ultrasonik tersebut akan dikenakan
pada belalang kembara di laboratorium. Experimen laboratorim dilakukan untuk
mempelajari karakteristik belalang kembara serta responnya terhadap gangguan
gelombang ultrasonik. Dari hasil ekperimen laboratorim dengan skala kecil
diperluas menjadi penerapan di lapangan dan pada akhirnya disosialisasikan ke
masyarakat.
Belalang kembara adalah serangga yang sangat merusak pada tanaman
holtikultura, yang sampai saat ini belum ditemukan cara pengendalian yang
ramah lingkungan untuk mengendalikannya. Penggunaan pestisida yang
sekarang ini banyak dipakai masyarakat diyakini merusak lingkungan.
Belalang kembara tersebut berjalan, berpindah dengan menggunakan kaki
dan terbang dengan menggetarkan sayap. Belalang kembara memiliki alat indra
mata, telinga dan “kumis” yang digunakan sebagai “antena”. Alat indra tersebut
berfungsi untuk mengatur sistem perpindahan, informasi serta komunikasi
antara belalang kembara jantan dan betina dalam perkembangbiakannya.
Dari hasil pengamatan dan beberapa sumber pustaka pada penelitian ini
kami menarik suatu hipotesis seperti berikut ini:
1. Frekuensi gelombang ultrasonik berpengaruh terhadap pola perilaku makan
pasif dan gerak pasif belalang kembara.
2. Jarak sumber gelombang ultrasonik berpengaruh terhadap pola perilaku makan
pasif dan gerak pasif belalang kembara.
3. Lama pemaparan gelombang ultrasonik berpengaruh terhadap pola perilaku
makan pasif dan gerak pasif belalang kembara.
4. Kombinasi antara frekuensi, jarak sumber dan lama pemaparan gelombang
ultrasonik berpengaruh terhadap pola perilaku makan pasif dan gerak pasif
belalang kembara.
Untuk menguji kebenaran dari hipotesis ini, dirancang percobaan dengan
memancarkan gelombang ultrasonik pada belalang kembara dimana frekuensi,
jarak dan lama pemaparan dibuat berbeda-beda. Data pengamatan respon dan
perubahan perilaku makan pasif dan gerak pasif belalang kembara akibat adanya
gangguan gelombang ultrasonik akan dianalisa dan digunakan untuk
menentukan parameter yang paling dominan untuk mengganggu sistem
informasi, komunikasi pada belalang kembara.
3. TUJUAN PENELITIAN

3.1. Tujuan Umum


Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh pemaparan
gelombang ultrasonik pada frekuensi, jarak sumber dan lama pemaparan yang
paling tepat terhadap pola perilaku makan pasif dan gerak pasif belalang
kembara.

3.2. Tujuan Khusus


Tujuan khusus penelitian ini adalah:
1. Mengetahui pengaruh frekuensi gelombang ultrasonik terhadap pola perilaku
makan pasif dan gerak pasif belalang kembara.
2. Mengetahui pengaruh jarak sumber pemaparan terhadap pola perilaku
makan pasif dan gerak pasif belalang kembara.
3. Mengetahui pengaruh lama pemaparan terhadap pola perilaku makan pasif
dan gerak pasif belalang kembara.
4. Mengetahui pengaruh kombinasi frekuensi, jarak sumber dan lama
pemaparan yang berbeda terhadap pola perilaku makan pasif dan gerak
pasif belalang kembara.

4. PENTINGNYA PENELITIAN YANG DIRENCANAKAN

4.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara berkembang yang terletak di daerah tropis
dengan dua musim yaitu; musim kemarau dan musim penghujan, mempunyai
prioritas yang diarahkan kepada sektor pertanian dalam orientasi pertumbuhan
ekonomi penduduknya (Anwar, 1994). Beberapa daerah di Indonesia yang
mengandalkan sektor pertanian dalam perekonomian wilayahnya, kadang-
kadang mengalami kegagalan di sektor pertanian.Hal ini disebabkan perubahan
keadaan/lingkungan alam seperti; iklim, angin dan perubahan temperatur serta
beberapa faktor penyebab lainnya; misalnya virus dan jamur penyakit tanaman,
binatang pengerat, gulma (tumbuhan pengganggu), hama insekta/serangga.
Organisme pengganggu ini hidup pada tanaman dan hewan budidaya manusia
dan bahkan ada yang mengganggu kesehatan manusia (Adianto dan Sulaksono,
1987).
Sebagai salah satu contoh kegagalan sektor pertanian di berapa daerah di
Indonesia adalah akibat adanya serangan hama belalang kembara (Locusta
migratoria). Beberapa daerah yang mendapat serangan hama belalang kembara
di Indonesia, misalnya di daerah Kalimantan Barat khususnya di daerah
Kabupaten Ketapang daerah ini sering diganggu/diserang oleh adanya populasi
hama belalang kembara. Pada tahun 1999 serangan hama belalang kembara ini
sudah mencapai 9 kecamatan yang menyerang tanaman pangan (padi. jagung
dan sayur-sayuran) dengan mencapai luas 4420 ha (Anonimous, 2000).
Daerah Ketapang yang mempunyai banyak lahan terbuka yang umumnya
ditumbuhi alang-alang dan rumput lainnya merupakan daerah yang cukup baik
untuk perkembangan belalang kembara (Hoeve, 1996). Selain itu daerah yang
terbuka biasanya jauh dari pemukiman dan sangat luas sehingga menyulitkan
kegiatan pengamatan yang berakibatkan populasi belalang kembara sukar
dideteksi dan biasanya populasi diketahui jika sudah dalam bentuk gregaria
yang mempunyai perilaku bermigrasi ke daerah lain dan populasi yang demikian
sangat sulit untuk dikendalikan apalagi hanya dengan mengandalkan satu teknik
saja yaitu penyemprotan insektisida.
Ledakan populasi yang tinggi dari belalang kembara dapat diperkirakan dari
perubahan iklim dengan curah hujan rata-rata 177,9 mm/th dengan hari hujan
11,3 kali/bulan, suhu rata-rata berkisar 23,6 0C – 26,8 oC dan pada siang hari
rata-rata mencapai 31,1OC sangat mendukung untuk perkembangan belalang
kembara, dan biasanya terjadi antara bulan Juni sampai dengan Oktober. Namun
di musin penghujanpun populasi juga tetap dapat ditemukan jika pada musin
tersebut masih ada hari dengan curah hujan rendah. Biasanya populasi belalang
kembara berubah menjadi fase transien dan akhirnya soliter yang tidak
membahayakan karena jumlahnya kecil (Anonimous, 2000).
Upaya pengendalian populasi hama belalang kembara oleh Pemda Tk. II
Ketapang maupun masyarakat/petani dilakukan dengan penyemprotan
insektisida atau penangkapan dan perburuan secara massal dengan
menggunakan bunyi-bunyian seperti bunyi kentongan, bunyi sirene,
menggunakan bunyi dari knalpot sepeda motor untuk mengendalikan hama
belalang kembara ini. Penyemprotan insektisida dilakukan di tempat yang
menjadi daerah sarang/kumpulan belalang kembara dalam populasi tinggi dari
beberapa stadia hidup dalam kawanan belalang kembara (Anonimous, 2000).
Belalang kembara yang termasuk dalam genus Locusta mempunyai
beberapa sub-spesies yang wilayah penyebarannya berbeda-beda. Di Indonesia,
Locusta migratoria manilensis merupakan satu-satunya spesies belalang yang
mengalami fase transformasi dari sebanyak 51 spesies anggota famili Acrididae
yang tercatat sebagai hama di Indonesia (Urarov, 1977, dan Luong- Skovmand,
1999).
Gelombang bunyi yang diterima dan ditafsirkan pusat pendengaran belalang
kembara, digunakan untuk menghasilkan bermacam-macam tanggapan yang
meliputi; daya tarik seks, pertahanan wilayah, tanda bahaya, dan perubahan
lintasan terbang untuk mempertahankan kelompoknya. Gelombang bunyi yang
digunakan untuk komunikasi diantara sesama belalang kembara berada pada
rentangan di atas frekuensi gelombang bunyi pendengaran manusia yaitu
gelombang ultrasonik (Sales, and Pye1974).
Gelombang ultrasonik (Ultrasonic waves) merupakan gelombang mekanik
longitudinal dengan frekuensi di atas 20 kHz yaitu daerah batas pendengaran
manusia. Gelombang ultrasonik dapat merambat dalam medium padat, cair dan
gas. Hal ini disebabkan karena gelombang ultrasonik merupakan rambatan
energi dan momentum mekanik, sehingga merambat sebagai interaksi dengan
molekul dan sifat inersia medium yang dilaluinya (Bueche, 1986).
Pemaparan gelombang ultrasonik terhadap suatu medium tergantung pada
kegunaannya dan penerapannya. Hasil penelitian dan eksperimen penggunaan
dan penerapan pemaparan gelombang ultrasonik ini telah dilakukan oleh Dunn
dan Fry (1971) melaporkan hasil eksperimen mereka tentang kerusakan sistem
saraf pusat mamalia akibat pemaparan gelombang ultrasonik sehingga
menimbulkan kombinasi efek termal, kavitasi dan efek mekanik (Sutiono,
1982). Pengaruh pemaparan gelombang ultrasonik dapat mempengaruhi
aktivitas sel (Buckwalter et al., 2000). Gelombang ultrasonik intensitas rendah
mampu mempengaruhi aktivitas sel jaringan ikat (Herle et al., 2001).
Pengendalian hama belalang kembara adalah menghilangkan atau mengurangi
aktivitas daya rusak hama terhadap tanaman (Wudianto, 2002).
4.2. Permasalahan Dan Alternatif Pemecahan masalah dari penelitian ini
Dengan adanya serangan hama belalang kembara di Kabupaten Ketapang
salah satu alternatif dari beberapa teknik Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
untuk mengurangi populasi hama belalang kembara adalah dengan
memanfaatkan struktur tubuh belalang kembara seperti pusat pendengarannya
dengan cara mengganggu pendengaran belalang kembara menggunakan alat
teknologi terapan dengan prinsip pengendalian hama tersebut tidak merusak dan
tidak mencemari lingkungan yaitu dengan menggunakan suatu alat berupa
rangkaian listrik dengan metode dasar rangkaian elektronika. Alat tersebut dapat
mengeluarkan bunyi dengan frekuensi gelombang ultrasonik yang mempunyai
jangkauan antara 20 kHz sampai 60 kHz dengan kemampuan daya pancar
maksimum alat pembangkit gelombang ultrasonik ini pada jarak sekitar 20
meter (kapasitas ukuran laboratorium). Adapun fungsi alat tersebut untuk
menggangu pola perilaku belalang kembara yang meliputi makan pasif dan
gerak pasif dengan jalan mengacau atau mempengaruhi gelombang komunikasi
berupa gelombang ultrasonik yang dipancarkan oleh belalang kembara melalui
pusat pendengaran yang dimilikinya dengan suatu frekuensi gelombang
ultrasonik tertentu dari sumber alat tersebut (Sumisjokartono, 1997).
Pengujian pemaparan gelombang ultrasonik untuk mengetahui pola perilaku
makan pasif dan gerak pasif hama belalang kembara di laksanakan di
laboratorium. Jenis belalang kembara yang digunakan untuk diteliti adalah
belalang kembara dewasa dari fase soliter, yaitu ketika belalang kembara berada
dalam populasi rendah, sehingga mereka cenderung mempunyai perilaku
individual karena belalang kembara dewasa ini sangat memudahkan untuk
mengamati pola perilaku sampai kepada masa perkembangbiakan
/perkawinannya (Kalshoven,1986, dan Lecoq and Sukirno, 1998).
Belalang kembara yang akan diteliti diambil dari tempat penangkaran
belalang kembara Dinas Pertanian Kabupaten Ketapang dengan umur rata-rata
tiga bulan dengan panjang rata-rata belalang kembara jantan dewasa 4 cm dan
belalang kembara betina dewasa 5 cm.
Penentuan frekuensi 40 kHz, 45 kHz, 50 kHz dan 55 kHz dan jarak sumber
25 cm sampai 100 cm serta lama pemaparan 1 jam sampai 4 jam gelombang
ultrasonik untuk penelitian ini, diperoleh dari hasil uji coba pendahuluan
pemaparan gelombang ultrasonik terhadap hama belalang kembara. Penentuan
ini didasarkan bahwa rentang frekuensi komunikasi belalang kembara berada di
atas 20 kHz ( Sales and Pye, 1974) dan pengaruh intensitas gelombang
ultrasonik pada suatu medium tergantung pada jarak sumber dan lama
pemaparan gelombang ultrasonik yang diberikan (Giancoli, 1998).
Berdasarkan dari hasil pengujian di lobaratorium ini, akan diperoleh
parameter-parameter yang dapat mempengaruhi belalang kembara di dalam
usahanya pengendaliannya, yaitu:
1. Berapa frekuensi gelombang ultrasonik yang dapat mempengaruhi terhadap
pola perilaku makan pasif dan gerak pasif belalang kembara?
2. Berapa jarak yang efektif untuk yang dapat mempengaruhi terhadap pola
perilaku makan pasif dan gerak pasif belalang kembara?
3. Berapa lama pemaparan yang dapat mempengaruhi terhadap pola perilaku
makan pasif dan gerak pasif belalang kembara?
4. Berapa interaksi/kombinasi frekuensi, jarak dan lama pemaparan yang dapat
mempengaruhi terhadap pola perilaku makan pasif dan gerak pasif belalang
kembara?
Dari data pengamatan hasil pengujian pemaparan gelombang ultrasonik
terhadap pola perilaku makan pasif dan gerak pasif dilaboratorium ini, akan
dianalisis dalam menentukan parameter yang paling dominan untuk
mengganggu sistem informasi, komunikasi pada belalang kembara.
Selanjutkannya hasil penelitian ini, dapat direkomendasikan kepada pemerintah
daerah Kabupaten Ketapang Propinsi Kalimantan Barat sebagai bahan
pertimbangan untuk kelanjutan usaha pengendalian dan penerapannya di lokasi
terjadinya serangan hama belalang kembara.

4.3 Kegunaan/Manfaat Penelitian

Hasil Penelitian diharapkan bermanfaat untuk:


1. Memberi informasi alternatif cara penanggulangan serangan hama belalang
kembara dengan menggunakan gelombang ultrasonik yang ramah lingkungan.
2. Mendayagunakan gelombang ultrasonik sebagai bagian ilmu fisika dapat
diterapkan untuk penanggulangan hama belalang kembara secara/metode
mekanis.
3. Memberi informasi kepada para peneliti dilingkungan perguruan tinggi untuk
dapat mengembangkan model lain pengendalian hama belalang kembara
secara mekanis di samping pemanfaatan gelombang ultrasonik.
4. Memberi informasi ilmiah untuk pengembangan teknologi dalam
penanggulangan serangan hama belalang kembara dengan menggunakan
gelombang ultrasonik.
5. Memberi informasi bagi pemerintah maupun petani, khususnya di daerah
Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat dalam mengendalikan serangan hama
belalang kembara dengan menggunakan gelombang ultrasonik.

5. STUDI PUSTAKA DAN STUDI PENDAHULUAN YANG SUDAH


DILAKSANAKAN

5.1. STUDI PUSTAKA

5.1.1. Gelombang Bunyi (Akustik)


Gelombang bunyi adalah gelombang yang dirambatkan sebagai gelombang
mekanik longitudinal yang dapat menjalar dalam medium padat, cair dan gas.
Medium gelombang bunyi ini adalah molekul yang membentuk bahan medium
mekanik ini (Sutrisno, 1988). Gelombang bunyi ini merupakan vibrasi/getaran
molekul-molekul zat dan saling beradu satu sama lain namun demikian zat
tersebut terkoordinasi menghasilkan gelombang serta mentransmisikan energi
bahkan tidak pernah terjadi perpindahan partikel (Resnick dan Halliday , 1992).
Berbicara, tentang substansi yang menjalar apabila gelombang bunyi
mencapai tapal batas maka gelombang bunyi tersebut akan terbagi dua yaitu
sebagian energi ditransmisikan atau diteruskan dan sebagian lagi direfleksikan
atau dipantulkan. Suatu penelitian mengenai terjadinya penjalaran bunyi,
mendeteksi dan penggunaan bunyi sangat penting untuk mengetahui lebih lanjut
akan pengalihan energi mekanik (Giancoli, 1998).
Binatang menggunakan gelombang bunyi/suara untuk memperoleh
perubahan informasi dan untuk mendeteksi lokasi dari suatu objek. Misalnya
ikan lumba-lumba, kelelawar, menggunakan gelombang bunyi untuk
mengemudi dan menentukan lokasi makanan, apabila cahaya tidak cukup untuk
pengamatan. Manusia berusaha menggunakan gelombang bunyi sebagai
pengganti cahaya (Ackerman et al, 1988).

5.1.2. Pengertian gelombang ultrasonik


Gelombang ultrasonik merupakan gelombang mekanik longitudinal dengan
frekuensi di atas 20 kHz. Gelombang ini dapat merambat dalam medium padat,
cair dan gas, hal disebabkan karena gelombang ultrasonik merupakan rambatan
energi dan momentum mekanik sehingga merambat sebagai interaksi dengan
molekul dan sifat enersia medium yang dilaluinya (Bueche, 1986).
Karakteristik gelombang ultrasonik yang melalui medium mengakibatkan
getaran partikel dengan medium amplitudo sejajar dengan arah rambat secara
longitudinal sehingga menyebabkan partikel medium membentuk rapatan
(Strain) dan tegangan (Stress). Proses kontinu yang menyebabkan terjadinya
rapatan dan regangan di dalam medium disebabkan oleh getaran partikel secara
periodik selama gelombang ultrasonik melaluinya (Resnick dan Halliday ,
1992).
Gelombang ultrasonik ini sering dipergunakan untuk pemeriksaan kualitas
produksi di dalam industri. Di bidang kedokteran, frekuensi yang tinggi dari
gelombang ultrasonik ini mempunyai daya tembus jaringan yang sangat kuat,
sehingga sering digunakan untuk diagnosis, penghancuran/destruktif, dan
pengobatan (Cameron and Skofronick, 1978).

5.1.3. Gelombang ultrasonik terhadap efek termal pada jaringan


Gelombang ultrasonik yang keluar dari sebuah sumber transduser akan
memancarkan intensitas gelombang ultrasonik ke semua arah. Besarnya
intensitas gelombang ultrasonik yang dipancar sumber transduser adalah:
E
I = = 1/2  V A 2 (2  f)2
St
Jika intensitas gelombang ultrasonik tersebut mengenai suatu permukaan
jaringan akan terjadi perpindahan energi kalor yang menyebabkan pada jaringan
timbul efek termal. Besarnya energi kalor yang diterima jaringan akibat
intensitas gelombang ultrasonik adalah:
Q T  T2
=. 1 =
t l
Sehingga intensitas gelombang ultrasonik yang diterima jaringan akan
sama dengan energi kalor yang diterima jaringan, yaitu:
E Q
=
St t
T
1/2  V A 2 (2  f)2 =  l
maka diperoleh besar T adalah:
vf 2 A 3 l
ΔT =

Keterangan:
T = perubahan/kenaikan suhu (o C)
 = massa jenis medium/jaringan (kg/m3)
f = frekuensi (Hz)
v = kecepatan gelombang ultrasonik di udara (m/s)
A = amplitudo maksimum (m)
V = volume (m3)
ω = 2f = frekuensi sudut (rad/s)
 = konduktivuas termal jaringan (J/s.m.oC)
l = x = tebal jaringan (m)
Intensitas gelombang ultrasonik pada jaringan akan mengalami gesekan
internal yang disebut dengan viskositas. Viskositas pada jaringan muncul karena
ada tumbukan antara partikel di dalam jaringan. Besarnya viskositas pada suatu
jaringan ditentukan oleh suatu konstanta pembanding yang didefenisikan sebagai
koefisien viskositas (Giancoli,1998) yang dinyatakan dalam persamaan:
Fl
η =
vS
Keterangan:
F = gaya tumbukan antara molekul (N)
S = luas permukaan jaringan (m2)
v = kecepatan partikel didalam jaringan (m/s)
l = jarak tumbukan antara molekul di dalam jaringan (m)
η = koefisien viskositas (N.s/m2)
Dari persamaan persamaan di atas dapat dinyatakan bahwa efek termal
terjadi karena adanya perubahan suhu yang dipengaruhi oleh massa jenis,
impedansi jaringan, frekuensi gelombang ultrasonik dan tergantung kepada
konduktivitas jaringan, koefisien absorpsi jaringan serta viskositas jaringan.

5.1.4. Gelombang ultrasonik terhadap efek kavitasi pada jaringan


Gelombang ultrasonik yang merambat ke dalam jaringan/zat cair akan
mengalami efek kavitasi. Efek kavitasi terjadi karena tekanan lokal pada
gelombang ultrasonik menurun sampai harga yang cukup rendah. Besar tekanan
gelombang ultrasonik tersebut dinyatakan:
p = P – Po
Keterangan:
p = tekanan gelombang ultrasonik (N/m2)
P = tekanan lokal/total sesaat (N/m2)
Po = tekanan lokal rata-rata/ keseimbangan (N/m2).

Intensitas gelombang ultrasonik yang merambat akan membawa energi pada


suatu luas permukaan per satuan waktu (Giangoli, 1998). Jika energi gelombang
ultrasonik tersebut melalui jaringan akan melepaskan energi kalor sehingga
terjadi pemanasan yang mengakibatkan suhu jaringan meningkat yang kemudian
menimbulkan efek kavitasi. Besarnya pemanasan tergantung pada variasi tekanan
gelombang ultrasonik dan kecepatan partikel terhadap energi yang diberikan
(Ackerman, et al., 1988).
Hubungan perubahan antara intensitas dan tekanan gelombang ultrasonik
yang mempengaruhi terjadinya efek kavitasi pada jaringan dinyatakan :
P2
I 
2 pv

Keterangan:
I = intensitas gelombang ultrasonik (W/m2)
p = tekanan gelombang ultrasonik (N/m2)
P = tekanan lokal/total sesaat (N/m2)
v = kecepatan gelombang ultrasonik (m/s)
Dan persamaan ini dapat dinyatakan bahwa terjadinya pemanasan lokal
akibat efek kavitasi pada jaringan tergantung pada intensitas gelombang
ultrasonik dan adanya tekanan yang bervariasi.

5.1.5. Gelombang ultrasonik terhadap efek mekanik pada jaringan


Gelombang ultrasonik yang diterima jaringan akan mengalami gaya vibrasi
internal antara molekul-molekul di dalam jaringan, sehingga pada jaringan akan
timbul efek mekanik. Besarnya gaya vibrasi itu adalah :
ΣF = k. x
F - fk = k x
ρV. a – fk = k . x
Intensitas gelombang ultrasonik yang diterima jaringan adalah :
P E
I = = =1/2  V A 2 (2  f)2 = ½ Z ( A ω)2
S St
2I
Atau ρV =
( 2fA) 2
Sehingga Intensitas gelombang ultrasonik yang diterima jaringan akan sama
dengan gaya vibrasi yang diterima jaringan, maka di peroleh :
2I
. a - fk = k. x
(2fA) 2

(k .x  f k )(2fA) 2
I =
2a
Jika I = p/A , maka :
(k .x  f k )(2fA) 2 (k .x  f k )(2fA) 2
p= =
2a 2a
k .x 4 2 f 2 A 2 f k 4 2 f 2 A 2
Atau p= 
2a 2a
Keterangan:
p = tekanan getaran vibrasi molekul dalam jaringan (N/m2)
k = konstanta getaran vibrasi (N/m)
f = frekuensi (Hz)
A = amplitudo maksimum (m)
Z =  v = impedansi Akustik (kg/m2.s)
 = 2f = frekuensi sudut (rad/s)
a = percepatan partikel/molekul dalam jaringan (m/s2)
fk = gaya gesekan (N)

Dari persamaan ini dapat dinyatakan bahwa efek mekanik akibat


pemaparan gelombang ultrasonik tergantung pada percepatan partikel, getaran
vibrasi tekanan dan gaya gesek serta tekanan pancaran.

5.2. Gelombang Bunyi Pada Insekta/Serangga


5.2.1. Sistem pendengaran
Pendengaran adalah tanggapan terhadap rangsangan vibrasi mekanik.
Tidak semua rangsangan menghasilkan perasaan pendengaran. Agar dapat
didengar, suatu bunyi harus cukup keras dan cukup tinggi intensitasnya sesuai
daerah pendengaran (Ackerman et al., 1988). Keadaan ini secara fisika
dikatakan bahwa getaran bunyi itu harus berada di dalam daerah frekuensi yang
dapat didengar.
Pada frekuensi yang terlalu rendah untuk didengar, getaran itu dapat
dirasakan dengan alat peraba, diperlukan amplitudo yang jauh lebih besar agar
dapat diraba daripada yang diperlukan untuk pendengaran. Getaran dengan
frekuensi yang lebih tinggi dari daerah pendengaran tidak dapat dirasakan
karena energinya sedemikian besar sehingga menyebabkan pemanasan lokal dan
rasa sakit.
Hampir semua vertebrata mempunyai alat pendengaran yang mirip
dengan telinga manusia. Sistem bunyi/akustik pada ikan dan amfibia tidak hanya
dapat memberi tanggapan terhadap bunyi tetapi juga terhadap rangsangan kimia,
gerak fluida, dan dalam beberapa hal terhadap rangsangan medan listrik. Sistem
pendengaran pada reptilia dan keluarga burung lebih dekat pada telinga
manusia. Secara rinci memang ada perbedaan, terutama tentang ukuran dan
daerah frekuensinya (Ackerman, et al., 1988).
Banyak binatang lain, misalnya insekta, yang peka terhadap energi vibrasi
yang berada di dalam daerah frekuensi yang cukup tinggi. Tetapi alat penerima
dan mekanisme yang dapat menimbulkan tanggapannya berbeda. Binatang
bersel tunggal seperti paramesium dapat mengadakan tanggapan terhadap energi
vibrasi. Jadi banyak macam sistem sensor yang peka terhadap energi vibrasi
mekanik.

5.2.2. Komunikasi insekta/serangga


Komunikasi dapat didefinisikan sebagai perbuatan yang dilakukan untuk
memberi informasi (Anonimous, 1989). Dengan demikian, semua metode
komunikasi melibatkan pembuatan sinyal (informasi), transmisi, dan resepsi.
Setiap kali terjadi pertukaran informasi, maka sukar secara langsung mengamati
pembuatan dan transmisinya, tetapi yang utama adalah bahwa perpindahan
informasi itu harus terjadi.
Biasanya, hal ini dapat dilakukan dengan mengamati perubahan perilaku
atau perubahan faal penerima. Efek sinyal ini ada dua macam, yaitu langsung
(segera setelah menerima sinyal) dan laten (memakan waktu cukup lama untuk
mengamati tanggapannya, mungkin beberapa menit, jam, hari, bahkan dapat
lebih lama lagi). Efek laten lebih sukar diamati daripada efek langsung.

5.2.3. Komunikasi insekta/serangga dengan gelombang bunyi


Setiap orang yang pernah mendengar bunyi jengkerik sadar bahwa insekta
yang relatif begitu kecil dapat mengeluarkan bunyi yang cukup keras. Suatu
sinyal bunyi adalah suatu gelombang tekanan yang digerakkan oleh adanya
getaran (Cameron and Skofronick, 1978). Insekta mempunyai sinyal efektif
dalam memancarkan bunyi dalam rentang frekuensi kHz, dan insekta kecil ada
yang mampu memancarkan bunyi dengan frekuensi yang lebih tinggi lagi
(Wilson, 1972). Akan tetapi otot-otot insekta tidak mampu bergeser lebih cepat
daripada 1 kHz, oleh sebab itu frekuensi pergeseran otot itu harus dilipatkan
agar dapat menghasilkan sinyal. Misalnya, jengkerik memiliki selaput suara
yang berbentuk keping lengkung yang bergetar setelah mengalami perubahan
bentuk oleh otot-otot selaput, dan kembali kebentuk asalnya. Jadi selaput suara
melipatkan frekuensi pergeserannya dan memancarkan bunyi.
Unsur terakhir suatu generator bunyi kerapkali berupa sejenis pemandu
bunyi, yaitu suatu struktur anatomi (atau lingkungan) untuk mengarahkan dan
menguatkan bunyi. Pemandu bunyi semacam itu mirip dengan kotak tertutup
(jengkerik), keping (belalang), atau terompet (gangsir). Rentang transmisi sinyal
yang dapat didengar itu tergantung pada suhu, kelembaban udara, dan frekuensi
sinyal. Jika suhu dan kelembaban udara dipertahankan konstan, maka makin
tinggi frekuensi sinyal, makin besar penyerapannya di udara (Wilson, 1972).
Pada akhirnya, penerimaan sinyal bunyi sudah tentu membutuhkan telinga
insekta. Hanya ada satu jenis mata insekta atau telinga mamalia, tetapi ada
beberapa macam jenis telinga insekta. Ada dua bentuk telinga insekta yang
paling lazim, yang keduanya dikaitkan dengan struktur telinga manusia yaitu
reseptor rambut yang dilekatkan secara lentur dapat bergerak oleh pengaruh
setiap getaran bunyi, terutama untuk mengukur gerakan dan organ timpani
menggunakan selaput untuk mencatat tekanan dan gradien tekanan. Apabila
bunyi diterima dan ditafsirkan , insekta dapat menghasilkan bermacam-macam
tanggapan, yang meliputi; daya tarik seks, pertahanan wilayah, tanda bahaya,
dan perubahan lintasan terbang untuk mempertahankan kelompoknya
(Ackerman et al., 1988).

5.3. Morfologi Belalang Kembara


5.3.1. Struktur tubuh belalang kembara
Tubuh belalang kembara terbagi atas kepala, dada (toraks),dan perut
(abdomen). Kepala belalang kembara memiliki sepasang sungut, mata tunggal
dan majemuk, serta mulut yang terdiri dari bagian-bagian yang saling
berhubungan.
Toraksnya memiliki tiga pasang kaki dan dua pasang sayap, Perutnya
bersegmen dan memiliki lubang-lubang kecil, atau spirakel yang menyebabkan
udara dapat masuk ke dalam tubuh
5.3.2. Perilaku/Etimologi belalang kembara
Dalam kehidupan dan perkembangan koloni belalang kembara , dikenal ada
tiga fase, yaitu ; fase soliter, transien dan gregaria.
Fase soliter adalah suatu fase belalang kembara yang hidup secara individu
dan tidak merugikan. Pada keadaan lingkungan menguntungkan bagi kehidupan
belalang kembara maka perkembangbiakannya menjadi pesat, kemudian
individu-individu belalang kembara membentuk kelompok kecil. beberapa
kelompok tersebut kemudian bergabung menjadi kelompok yang cukup besar
dan disebut fase transien. Fase transien dapat berkembang menjadi kelompok
belalang kembara dalam jumlah besar yang disebut fase gregaria atau
migratoria dengan kemampuan merusak tanaman yang luar biasa. Kelompok
yang besar tersebut tidak terjadi dalam waktu singkat, tetapi memerlukan waktu
beberapa generasi; dan selama proses tersebut juga berlangsung proses
perubahan fisiologi, bentuk, warna dan perilaku (Kalshoven, 1986).
Apabila kemudian keadaan lingkungan tidak menguntungkan bagi
kehidupan belalang kembara terutama karena pengaruh curah hujan, tekanan
musuh alami dan atau tindakan manusia melalui usaha pengendalian, maka
kelompok yang besar menjadi kelompok kecil dan akhirnya kembali hidup
terpisah secara individu sebagai fase soliter.
Beberapa perbedaan bentuk dan perilaku yang menonjol adalah : nimfa dan
belalang kembara dewasa fase soliter berwarna agak hijau, tetapi fase gregaria
berwarna jingga dengan bagian atas hitam. Pada fase soliter bentuk punggung di
belakang kepala (pronotum) belalang kembara dewasa maupun nimfa lebih
menonjol/menyembul, ukuran badannya lebih besar, nimfa dan imago tidak
berkelompok dan tidak bermigrasi, stadium nimfa lebih lama, belalang dewasa
hidup
Pada siang hari belalang kembara dewasa aktif terbang, namun kadang-
kadang turun dan hinggap lalu makan tumbuhan yang dihinggapinya. Pada
senja, malam hingga pagi belalang kembara dewasa tidak terbang (hinggap) dan
makan tumbuhan yang dihinggapinya. Kelompok nimfa selalu berpindah dari
satu tempat ke tempat lain sambil memakan tumbuhan yang dilewatinya. Selain
itu nimfa memakan tumbuhan yang menjadi tempat bertengger pada waktu sore,
malam dan pagi sebelum bermigrasi. Tanaman yang dihinggapi dan dimakan
oleh belalang kembara dalam jumlah besar pada umumnya rusak atau habis
dalam waktu yang sangat singkat. Tanaman padi habis seluruhnya, sedang
tanaman jagung hanya tinggal batangnya.
Ada dua cara terbang yang dilakukan belalang kembara yaitu terbang lokal
dan terbang berpindah tempat atau migrasi. Apabila kecepatan angin tinggi
kelompok belalang terbang mengikuti arah angin. Dalam keadaan angin sepoi-
sepoi arah terbang bisa berlawanan dengan arah angin dan berputar kembali.
Jarak perpindahan yang dicapai dalam satu hari tidak terlampau jauh. Pada pagi
hari kelompok belalang kembara mulai terbang setelah suhu udara meningkat
mencapai 27oC. Waktu pagi dan sore hari pada umumnya cenderung terbang
berputar secara lokal dan apabila terjadi hujan gerimis segera berhenti terbang
dan malam hari belalang kembara berhenti terbang.
Kelompok nimfa bermigrasi dengan cara melompat dan berjalan. Pada
malam hari nimfa istirahat bertengger pada tumbuhan rumput, semak, tanaman
atau pada batu atau tanah yang menonjol (Sulthoni, 1993).
5.3.3. Siklus hidup dan perkembangbiakan belalang kembara
Siklus hidup belalang kembara rata-rata 76 hari. Stadia telur rata-rata 17
hari dan stadia nimfa 38 hari. Masa sebelum kawin yaitu sejak belalang menjadi
dewasa (bersayap panjang dan bisa terbang) sampai dengan waktu kawin rata-
rata selama 11 hari dan masa sejak kawin sampai bertelur yang pertama 10 hari
atau masa pra bertelur 21 hari.
Masa aktif bertelur yaitu sejak betina meletakkan telur yang pertama sampai
dengan mati rata-rata selama 63 hari. Umur belalang dewasa betina (sejak
menjadi dewasa sampai mati) rata-rata 84 hari dan yang jantan 92 hari.
Kemampuan hidup belalang kembara dewasa paling lama mencapai 140 hari.
Dengan demikian dalam satu tahun terjadi beberapa generasi yang tumpang
tindih.
Nisbah kelamin betina terhadap jantan adalah 1:1. Semakin tua umur
belalang kembara, nisbah kelamin betina terhadap jantan semakin rendah. Hasil
pemeliharaan belalang kembara pada tanaman makanan campuran jagung, padi
dan rumput di Sumba Timur menunjukkan bahwa banyaknya paket telur yang
diletakkan oleh setiap betina rata-rata 6 sampai 7 paket, dan tiap paket rata-rata
berisi 40 butir. Sehingga tiap betina mampu meletakkan telur sebanyak 268
butir.
Hasil penelitian lain diketahui bahwa belalang kembara betina bertelur
paling banyak 9 kali dengan interval bertelur antara 6 sampai 9 hari. Seekor
belalang kembara dapat bertelur sebanyak 200 sampai 270 butir, tetapi dapat
pula mencapai 300 butir dan sebanyak-banyaknya 500 butir (Anonimous, 1999).

5.3.4. Ekologi belalang kembara


Belalang kembara hidup di daerah tertentu, pada vegetasi padang rumput
dan keadaan iklim yang cukup kering. Di daerah Kotawaringin Barat dan
Ketapang perkembangan populasi belalang kembara didukung oleh keadaan
iklim dan cuaca yang cukup kering, juga karena tersedianya makanan yang
berlimpah yaitu berupa alang-alang terutama daun-daun muda yang tumbuh dari
rimpang merupakan makanan yang lebih baik bagi nimfa dan belalang kembara
dewasa sehingga dapat mempertinggi daya bertahan hidupnya (Lorensius,
2001).
Belalang kembara yang hanya mendapatkan makanan tunggal berupa alang-
alang akan menghasilkan populasi yang rendah, tetapi karena belalang kembara
juga memakan tanaman budidaya (padi dan jagung) dan rerumputan lainnya
maka populasinya menjadi tinggi dan berkembangbiak lebih cepat.
Belalang kembara cenderung memilih makanan yang lebih disukainya.
Kebanyakan spesies tumbuhan dari famili Graminae lebih disukai terutama
jagung, padi, sorgum, tebu, gelabah, alang-alang dan rerumputan lain. Selain itu
belalang kembara dapat makan daun kelapa, bambu, kacang tanah, sawi, kubis
daun. Sedangkan tanaman kacang hijau, kedelai, kacang panjang, ubi kayu,
tomat, ubi jalar, dan kapas tidak disukai. Tanaman yang kurang disukai seperti
kacang tanah dapat dimakan sampai habis apabila dalam keadaan lapar
(Anonimous, 1999).

5.4. Landasan Empiris


5.4.1. Efek biologis gelombang ultrasonik
Salah satu usaha pengendalian hama belalang kembara dilakukan dengan
metode mekanis/fisika disamping metode kimia dan metode biologi. Metode
mekanis ini adalah pemamfaatan gelombang ultrasonik. Gelombang ultrasonik
merupakan gelombang mekanik longitudinal dengan frekuensi di atas 20
kHz. Gelombang ini dapat merambat dalam medium padat, cair dan gas. Hal itu
disebabkan karena gelombang ultrasonik merupakan rambatan energi dan
momentum mekanik sehingga merambat sebagai interaksi dengan molekul dan
sifat enersia medium yang dilaluinya (Bueche, 1986).
Karakteristik gelombang ultrasonik yang melalui medium mengakibatkan
getaran partikel dengan medium amplitudo sejajar dengan arah rambat secara
longitudinal sehingga menyebabkan partikel medium membentuk rapatan
(Strain) dan regangan (Stress). Jarak antara rapatan dan regangan berikutnya
atau regangan dan regangan berikutnya sama dengan panjang gelombang (λ).
Proses kontinu yang menyebabkan terjadinya rapatan dan regangan di dalam
medium disebabkan oleh perubahan partikel secara periodik selama gelombang
ultrasonik melaluinya (Bueche, 1986, Resnick dan Halliday, 1992).
Kecepatan gelombang ultrasonik berbeda-beda untuk medium yang
berlainan. Di dalam jaringan lunak, gelombang ultrasonik merambat secara
longitudinal dengan kecepatan rata-rata 1.540 m/s (Cameron and Skofronick,
1978). Umumnya frekuensi yang digunakan untuk diagnostik berkisar antara 1
– 10 MHz, pada alat terapetik berkisar antara 0,75 MHz – 3 MHz (Kurjak and
Wisono, 1986).
Bahaya tidaknya pemaparan gelombang ultrasonik terhadap suatu medium
tergantung pada intensitas, frekuensi dan total lama pemaparannya. Efek dari
penggunaan gelombang ultrasonik terhadap kerusakan jaringan dapat
disebabkan adanya efek termal, efek kavitasi dan efek mekanik
Efek termal merupakan absorpsi energi gelombang ultrasonik yang
menyebabkan suhu jaringan meningkat. Besar absorpsi energi gelombang
ultrasonik ini tergantung pada viskositas, massa jenis, dan impedansi jaringan,
serta frekuensi gelombang yang diberikan. Gelombang ultrasonik yang melalui
medium juga mengalami pengurangan energi, karena sebagian energinya
diabsorpsi oleh medium akibatnya suhu medium meningkat. Kenaikan suhu
medium tergantung pada besar koefisien absorpsinya dan intensitas gelombang
yang melaluinya (Sabbagha, 1980).
Efek kavitasi yaitu terjadinya gelembung gas di dalam jaringan akibat
penggunaan gelombang ultrasonik untuk pemanasan lokal dengan tekanan yang
bervariasi, sehingga di dalam cairan tubuh terbentuk gelembung gas mikro. Gas
di dalam gelembung mikro ini dapat memuai jika dilalui gelombang ultrasonik
tinggi.sehingga mengakibatkan difusi gas yang tidak seimbang. Jaringan lunak
mamalia adalah zat cair yang dapat menimbulkan kavitasi akibat pemaparan
gelombang ultrasonik intensitas tinggi (Sabbagha, 1980). Ada dua macam
kavitasi yang terjadi dari pemaparan gelombang ultrasonik ini, yaitu kavitasi
stabil dan tidak stabil. Efek kavitasi stabil terjadi jika gelembung gas mikro
tumbuh sampai ukuran tertentu lalu beresonansi pada frekuensi gelombang
ultrasonik. Amplitudo osilasinya jauh lebih besar daripada amlitudo getaran
partikel di dalam zat cair sebelum ada gelembung gas mikro. Jaringan disekitar
gelembung gas mikro ini mengalami tegangan yang sangat besar sehingga
mengakibatkan kerusakan molekul dan membran sel. Efek kavitasi yang tidak
stabil lebih merusak jaringan sel. Pada tekanan rendah, gelombang ultrasonik
dengan intensitas tinggi mengakibatkan timbulnya gelembung kavitasi. Tekanan
tinggi menyebabkan pecahnya gelembung, sehingga energi yang serupa dengan
gelombang kejut mengakibatkan kerusakan jaringan sel (Sabbagha, 1980).
Efek mekanik merupakan gelombang ultrasonik yang merambat di dalam
medium yang mengakibatkan adanya getaran partikel di dalam medium itu.
Getaran ini terjadi pada semua intensitas, sehingga dapat menyebabkan efek
mekanik terhadap partikel di dalam jaringan. Efek mekanik ini dapat
menimbulkan percepatan partikel, getaran tekanan, tekanan pancaran dan gaya
gesek (Sabbagha, 1980).

5.4.2. Mekanisme interaksi gelombang ultrasonik dalam medium


Interaksi gerak gelombang ultrasonik dalam suatu medium berhubungan
dengan tingkat intensitas. Efek biologis gelombang ultrasonik disebabkan oleh
salah satu atau kombinasi efek termal, efek kavitasi dan efek mekanik. Kalor
menimbulkan pelebaran pembuluh darah merangsang aktivitas sel, peningkatan
permeabilitas membran sel dan kapiler. Umumnya kalor dan kavitasi hanya
berhubungan dengan intensitas tinggi.
Perusakan sel-sel biologis dalam suspensi terjadi apabila ada kavitasi. Telah
diduga bahwa apakah parameter medan akustik lain atau mungkin pemanasan
yang berkaitan dengan kavitasi dapat menyebabkan perusakan sel. Misalnya
diakui bahwa tekanan akustik yang dasar atau barangkali kecepatan dan
percepatan partikel lokal dapat menyebabkan perubahan sel (Sutiono, 1982).
Jika intensitas berkas sonik ditingkatkan maka terjadi sejumlah efek yang
berhubungan tidak linear atau tidak sederhana dengan tekanan akustiknya. Efek-
efek ini antara lain penyearahan tekanan dan kecepatan bolak-balik yang
mengakibatkan terjadinya arus aliran kontinu. Makin besar intensitas
gelombang, tegangan longitudinal makin besar. Bila radiasi gelombang
ultrasonik merambat melalui jaringan biologis, maka tegangan pada membran
mikroorganisme pada medium tersebut makin besar sehingga probabilitas
kematian/inaktivasi mikroorganisme menjadi besar. Untuk mematikan/inaktivasi
mikroorganisme digunakan gelombang ultrasonik berfrekuensi tinggi. Makin
tinggi frekuensi makin kecil panjang gelombangnya sehingga makin pendek
jarak rapatan dan tegangan. Gelombang ultrasonik berinteraksi dengan jaringan
terutama dengan getaran mikroskopik partikel jaringan (Cameron and
Skofronick, 1978).
Jika radiasi gelombang ultrasonik merambat melalui membran
mikroorganisme maka di sekitar membran timbul daerah rapatan dan tegangan
yang menyebabkan beda tekanan pada bidang batas sehingga terjadi tegangan di
bidang batas tersebut. Bila melampaui ambang tekanan pada mikroorganisme
maka membran atau sitoplasma rusak sehingga mikroorganisme mengalami
kematian atau inaktivasi.

6. METODE PENELITIAN
6.1. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian adalah eksperimental laboratoris dengan perlakuan
berupa rangsangan gelombang ultrasonik terhadap belalang kembara.
Gelombang ultrasonik frekuensi rendah adalah gelombang ultrasonik yang
masih dapat mengeluarkan bunyi (20 kHz – 60 kHz) dan dapat didengar oleh
pusat pendengaran insekta/serangga.
Penelitian ini disusun dengan menggunakan RAL (rancangan acak lengkap)
dengan uji faktorial, terdiri dari tiga faktor yaitu ; faktor pertama (A) = frekuensi
gelombang ultrasonik (F) dengan 5 taraf ; Fo, F1, F2, F3, dan F4, faktor kedua
(B) adalah jarak (R) dengan 5 taraf ; Ro, R1, R2, R3, dan R4, serta faktor ketiga
(C) adalah lama pemaparan (T) dengan 5 taraf ; To, T1, T2, T3, dan T4. Jadi faktor
A dengan taraf sebanyak a = 5; faktor B dengan taraf sebanyak b = 5 dan faktor
C dengan taraf sebanyak c = 5. Karena eksperimennya dilakukan dengan
menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), dalam tiap kombinasi perlakuan
terdapat n buah unit eksperimen atau pengamatan, maka model linear
matematik yang tepat untuk rancangan faktorian a x b x c menurut Sudjana
(1985) adalah :

Yijk =  + Ai + Bj + ABij + Ck + ACik +BCjk + ABCijk + (ijk)

Keterangan:
Yijk = variabel respon karena pengaruh bersama taraf ke i faktor
A, taraf ke j faktor B, dan taraf ke k faktor C yang terdapat
pada pengamatan/unit perlakuan ke n
 = efek rata-rata yang sebenarnya (nilai konstan)
Ai = efek sebenarnya dari taraf ke i faktor A
Bj = efek sebenarnya dari taraf ke j faktor B
ABij = efek sebenarnya dari taraf ke k faktor C
ACik = efek sebenarnya dari interaksi taraf ke i faktor A dengan
taraf ke k faktor C
BCjk = efek sebenarnya dari interaksi taraf ke j faktor B dengan
taraf ke k faktor C
ABCijk = efek sebenarnya terhadap variabel respon yang
Disebabkan oleh interaksi antara taraf ke i faktor A, taraf
ke j faktor B dan taraf ke k faktor C
(ijk) = efek sebenarnya unit eksperimen ke i disebabkan oleh
kombinasi perlakuan (ijk).

F0, Ro, To = kontrol


i = 1, 2, 3, 4 (F) ; (taraf frekuensi)
j = 1, 2, 3, 4 (R) ; (taraf jarak pemaparan)
k = 1, 2, 3, 4 (T) ; (lama pemaparan)
l = 1, 2, 3, (n = r)

6.2. Desain Eksperimental Penelitian


6.2.1. Perlakuan penelitian
Perlakuan yang diberikan dalam penelitian ini adalah setiap perlakuan yang
diberikan terdiri dari 10 sampel belalang kembara dengan reflikasi atau ulangan
tiga kali dan yang diamati dari perlakuan ini adalah pengaruh langsung saat
pemaparan gelombang ultrasonik terhadap pola perilaku makan pasif dan gerak
pasif belalang kembara. Pola perilaku pasif pada penelitian ini adalah
pengamatan kepasifan yang tidak bergerak atau diam di tempat dan diam
berkelompok dengan anggota tubuh tidak bergerak kecuali antenanya.

6.2.2. Model Rancangan eksperimental penelitian


Model rancangan eksperimental di laboratorium ini terdiri sebuah kotak
yang berukuran (20 cm x 20 cm x 20 cm) yang rangkanya terdiri dari kayu dan
papan tripleks serta dindingnya dibuat dari kawat kasa digunakan sebagai kotak
sampel belalang kembara. Di samping depan kotak dengan jarak yang
ditentukan diletakkan alat pembangkit gelombang ultrasonik yang frekuensinya
dapat diatur sesuai keperluan dan alat pengukur atau counter frekuensi untuk
mengetahui frekuensi yang dipancarkan alat pembangkit gelombang ultrasonik
serta osiloskop untuk mengetahui jenis gelombang yang dipancarkan alat
pembangkit gelombang ultrasonik.
Di bagian samping kiri kotak sampel belalang kembara ditempatkan faktor
penghambat berupa tanaman yang gunanya untuk membentuk suasana seperti
kehidupan habitatnya dan di samping kanan kotak sampel belalang kembara
tersebut dipasang kamera untuk mengamati pola perilaku makan pasif dan gerak
pasif belalang kembara yang dihubungkan peralatan lainnya (TV combo box
recivier, monitor, speaker dan CPU Komputer) sebagai alat pendukung
pengamatan yang ditempatkan pada jarak tertentu dari kotak sampel belalang
kembara dan juga sebagai tempat pengamatan dan mengumpulkan data pola
perilaku makan pasif dan gerak pasif belalang kembara akibat pemaparan
gelombang ultrasonik.

6.3. Populasi dan sampel penelitian


1. Populasi sampel penelitian adalah jenis belalang kembara dewasa
dari
fase soliter dengan ukuran jantan 4 cm dan betina 5 cm yang diambil tempat
penangkaran belalang kembara Dinas Pertanian Kabupaten Ketapang.
2. Sampel penelitian adalah sebanyak sepuluh ekor belalang
kembara
untuk setiap perlakuan.

6.4. Variabel penelitian


Variabel penelitian terdiri atas variabel bebas, variabel terikat dan variabel
kendali yang secara rinci dijabarkan sebagai berikut :
Variabel bebas : 1. Frekuensi ; 0 kHz, 40 kHz, 45 kHz, 50 kHz, dan 55 kHz.
2. Jarak ; 0 cm, 25 cm ,50 cm, 75 cm, dan 100 cm.
3. Lama pemaparan ; 0 jam, 1 jam, 2 jam, 3 jam dan 4 jam.
4. Kombinasi frekuensi, jarak dan lama pemaparan
gelombang ultrasonik.
Variabel terikat : Pola perilaku - pola makan; jumlah yang pasif
- pola gerak ; jumlah yang pasif
Variabel terkendali : Temperatur/suhu ruang, kelembaman ruang,
waktu eksperimental, dan nutrisi/makanan belalang
kembara

6.5. Bahan dan alat penelitian


Bahan dan alat dalam penelitian yaitu :
a. Bahan : Hama belalang kembara dan nutrisi/makanannya
b. Alat : 1. Sumber pembangkit frekuensi gelombang ultrasonik.
2. Sumber tegangan (Power Supply)
3. Sinyal Generator
4. Osiloskop
5. Penghubung rangkaian listrik/kabel
6. Peralatan mekanik pendukung rangkaian
7. Rangkaian elektronik penghasil gelombang ultrasonik
8. Timer waktu
9. Termometer
10. Counter/pencacah Frekuensi
11. Rak tempat sampel
12. Kotak penangkar belalang kembara ukuran (1mx1mx1m)
13. Kotak sampel belalang kembara ukuran (20 cm x 20 cm x
20cm)
14. Penyangga alat gelombang ultrasonik.
15. Termostat
16. Sangkar pemeliharaan ukuran (3 m x 2 m x 2 m)
17. Kamera
18. TV combo box recivier dan alat pendukungnya
19. Monitor dan CPU komputer + speaker
20. Tanaman sebagai faktor penghambat

6.6. Metode Pengumpulan Data Penelitian


Penelitian ini terdiri atas dua bagian, yaitu metode observasional dan
metode eksperimental.
6.6.1. Metode observasional penelitian
Penelitian observasional bertujuan untuk mendeskripsikan pengaruh
pemaparan gelombang ultrasonik terhadap pola perilaku belalang kembara.
Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :
1. Pengambilan sampel belalang kembara untuk 10 belalang kembara setiap
perlakuan.
2. Deskripsi pengaruh gelombang ultrasonik terhadap pola perilaku belalang
kembara dengan pengamatan pada penelitian ini adalah kepasifan yang tidak
bergerak/diam di tempat dan diam berkelompok dengan anggota tubuh tidak
bergerak kecuali antenanya.
6.6.2. Metode eksperimental penelitian
Penelitian eksperimental bertujuan untuk mememperoleh data pengamatan
pengaruh pemaparan gelombang ultrasonik terhadap pola perilaku makan pasif
dan gerak pasif belalang kembara.
Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :
1. Pemakaian alat pembangkit frekuensi gelombang ultrasonik di
laboratorium
terhadap belalang kembara.
2. Analisis gelombang ultrasonik yang diberikan terhadap pola
perilaku makan
pasif dan gerak pasif belalang kembara dengan kombinasi frekuensi, jarak
sumber, dan lama pemaparan.

6.7. Prosedur Penelitian


Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu :
1. Persiapan alat /sumber pembangkit frekuensi gelombang
ultrasonik, bahan
dan merencanakan eksperimen sesuai dengan jenis percobaan yang dilakukan
dan pengambilan sampel belalang kembara
2. Melakukan uji coba penggunaan gelombang ultrasonik terhadap
belalang
kembara di laboratorium.
3. Menentukan frekuensi gelombang ultrasonik, jarak sumber dan lama
pemaparan yang tepat terhadap pola perilaku makan pasif dan gerak pasif
belalang kembara.
4. Menganalisis hasil pemaparan gelombang ultrasonik terhadap pola
perilaku
makan pasif dan gerak pasif belalang kembara.

6.8. Analisis Data Penelitian


Data hasil pengamatan pola perilaku makan pasif dan gerak pasif belalang
kembara dianalisis dengan menggunakan analisis variansi dengan rancangan
faktorial dengan tiga faktor yang meliputi ftrekuensi, jarak sumber, dan lama
pemaparan gelombang ultrasonik serta kombinasinya. Rancangan faktorial
tersebut digunakan untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap respon dan juga
untuk mengetahui perlakuan mana saja yang terbaik dari hasil pengamatan
terhadap pola perilaku makan pasif dan gerak pasif belalang kembara. Jika ada
perbedaan yang nyata antara perlakuan, maka dilanjutkan dengan uji BNT (Beda
Nyata Terkecil) pada taraf signifikansi 5 % dan uji Tukey.

6.9. Penerapan Di Lapangan/Lokasi Serangan Hama Belalang Kembara


Hasil penelitian pengendalian hama belalang kembara dalam skala
laboratorium ini, terhadap pola perilaku makan pasif dan gerak pasif setelah
dianalisis, selanjutnya akan diperoleh parameter-parameter yang berpengaruh
terhadap perubahan pola perilaku makan pasif dan gerak pasif belalang
kembara. Sasaran ke depan setelah penelitian laboratorium ini terhadap
pengendalian hama belalang kembara adalah penerapannya di lokasi terjadinya
serangan hama belalang kembara.
Parameter-parameter yang perlu dikembangkan dari hasil penelitian
laboratorium ini untuk penerapannya di lapangan adalah memodifisikasi alat
frekuensi pembangkit ultrasonik sehingga menpunyai jangkauan pancaran
gelombang ultrasonik menjadi lebih jauh dari ukuran hasil penelitian
di laboratorium. Dalam hal ini dilakukan dengan cara meningkatkan intensitas
gelombang ultrasonik yang dipancarkan oleh alat pembangkit frekuensi
gelombang ultrasonik, karena intensitas sebanding dengan amplitudo maka akan
sebanding dengan kebalikan dari kuadrat jarak. Dengan demikian. peningkatan
intensitas dari alat pembangkit frekuensi gelombang akan mempengaruhi jarak
pancaran gelombang ultrasonik terhadap hama belalang kembara.
Waktu lama pemaparan gelombang ultrasonik dapat dipersingkat waktunya
menjadi lebih pendek dengan cara meningkatkan daya yang diberikan kepada
belalang kembara yaitu dengan meningkat energi yang dipancarkan alat
pembangkit frekuensi gelombang ultrasonik karena banyaknya energi yang
dibawa partikel tersebut tiap satuan waktu merupakan daya yang diberikan
oleh gelombang ultrasonik kepada suatu jaringan/medium sehingga semakin
besar daya yang berikan kepada belalang kembara semakin banyak energi
gelombang ultrasonik yang diterima belalang kembara dan semakin cepat waktu
yang dihasilkan untuk perubahan pola perilaku belalang kembara.
Dengan mengetahui parameter-parameter yang telah dikemukan terhadap
pengembangan alat pembangkit gelombang ultrasonik, maka sasaran
pengendalian hama belalang kembara di lapangan atau dilokasi terjadi serangan
hama belalang kembara dapat tercapai dan terpenuhi yang pada akhirnya dapat
disosialisasikan kepada masyarakat/petani yang terkena serangan hama belalang
kembara.

6.10. Kerangka Operasional Penelitian

Kerangka operasional penelitian dalam upaya pengendalian hama belalang


kembara disajikan pada Gambar 1.

Pengendalian Hama Belalang Kembara

Karakterisasi Gelombang Pembuatan Alat Pembangkit


Ulatrasonik Pada Frekuensi Gelombang
Belalang Kembara Ultrasonik

Penentuan Jenis Penentuan Frekuensi,


Belalang Jarak
Kembara Sumber
Yang Dan Lama

Pemaparan Gelombang
Ultrasonik
Terhadap

Hasil Identifikasi Pengamatan Pola


Perilaku Makan Pasif Dan Gerak Pasif
Belalang Kembara

Menganalisis Hasil Pengaruh


Pemaparan Gelombang Ultrasonik
Terhapap Pola Perilaku Makan Pasif
Dan Gerak Pasif Belalang Kembara
Gambar1. Kerangka operasional pemaparan gelombang ultrasonik
terhadap pola perilaku makan pasif dan gerak pasif dalam
pengendalian hama belalang kembara

7. DAFTAR REFERENSI

Ackerman E., Lynda B. M. Ellis, Lawrence E. Williams, 1988. Ilmu Biofisika


(terjemahan; Redjani, Abdulbasir), Surabaya: Airlangga University Press, hlm
256-375.

Adianto dan Soelaksono S., 1987. Ekotoksikologi Dan Pestisida , Bandung: Pusat
Antar Universitas Bidang Ilmu Hayati ITB, hlm 25-35.

Anwar A., 1994. Pembangunan Pertanian dan Sistem Penyuluhan di Masa Depan,
Jakarta: Journal of Agricultural Extension, Departemen Pertanian, hlm 5 - 15.

Anonimous, 1999. Belalang Kembara (Locusta migratoria) Dan Usaha


Pengendaliannya, Dirjen Tanaman Pangan Dan Hortikultura, hlm 17-25.

_________, 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan kedua, Jakarta: Balai
Pustaka, hlm 245.

_________, 2000. Laporan Tahunan Serangan Hama Belalang, Dinas Pertanian


Tanaman Pangan dan Hortikultura Tk. II Ketapang, hlm 10-15.

_________, 1996. Pestisida Untuk Pertanian Dan Kehutanan, DirjenTanaman Pangan


Dan Hortikultura, hlm 14-22.

_________, 1982. RCA Power Divises, Printed inUSA.

Buckwalter, Emhorn, Simon, 2000. Orthopaedic Basic Science, Biology and


biomechanic of the musculoskeletal system, 2nd ed American Academy of
Orthopaedic Surgeon, pp 320-355.

Buchsbaun R., 1988. Animals Without Backbones, Chicago: University Press, pp lll
-112.

Bueche R. J., 1986. Introduction to Physics for Scientists and Engineers, New York;
Mc Graw-Hill, pp 50-56.

Borror D. J., and De Long D. M., 1970. Introduction to the Study of Insects,
Colombus, Ohio: Halt Rine hart and Winstone, Inc, pp225-230.

Cameron John R., and Skofronick James G., 1978. Medical Physics, New York: John
Wiley & Sons Inc, pp 253-287.
Dunn F., and Fry F. J., 1971. Ultrasonic threshold dosages for the central mammalian
nervous system, IEEE Trans Bio Eng 18, pp 253.

Eidmann, 1970. Lehrbuch Der Entomologie, Hamburg: Verlag Paul Parey, pp 531.

Giancoli D.C., 1998. Fisika, Penterjemah Yuhilsa Hanum, Jakarta : Penerbit Erlangga,
hlm 407-444.

Hadiwiyoto S., 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan, Jilid 1, Yogyakarta:


Penerbit Liberty, hlm 241-272.

Hawley S.A., Macleod R.W., Dunn F., 1963. Degration of DNA by intense non-
cavitating ultrasound, J. Acoust Soc Am 35, pp1285.

Herle J., Salih V., Mayia F., Knowles J.C., Olsen I., 2001. Effect of Ultrasound on The
Growth and Function of Bone and Periodontal Ligament Cells In Vitro.
Ultrasound in Med. & Bol. 27:4, pp 579-586.

Hoeve Van H., 1996. Ensiklopedi Indonesia Seri Fauna Tentang Serangga/Insekta,
Jakarta: Penerbit PT Icthiar Baru Van Hoeve, hlm 42-54.

Ikeda K., and Inaba A., 1972. Ilustrated Animal Anatomi, Tokyo : Morikita Shuppan,
Co, Ltd, pp 52.

Kashoven L. G. E., 1986. Pests of Crops in Indonesia, Jakarta : Penerbit Ikthiar Baru-
Van Hoeve, pp 42-54.

Kemas Ali Hanafiah, 2001. Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasinya, Jakarta:
Penerbit PT Raja Grafindo Persada, hlm 49-70.

Kujak A., and Wibisono W.S., 1986. Diagnostik Ultrasound in Developing Countries,
Madost, Zegreb, pp 25-36.

Kokubu T., Matsui N., Fujuoka H., Tsunoda M., Mizuno K., 1999. Low Intensity
Pulsed Ultrasound Exposure Increase Prostaglandine E2 Production via the
Induction of Cyclooxygenese-2 mRNA in mouse Osteoblast. Biochem,
Biophys Res. Comm. 256, pp 84-87.

Lecoq M., and Sukirno, 1998. Drought and an Exceptional Outbreak of the Oriental
Migratory Locust, Locusta migratoria manilensis (Meyen, 1835) in Indonesia
(Orthoptera; Acrididae). J. Orthoptera Res. No. 8; pp 153-161.

Luong-Skovmand, 1999. Oriental migratory locust biology and ecology. Seminar for
technoly transfer of locust survey and control. Lampung: 12-13 July.

Lorensius Tatang, 2001. Laporan Serangan Hama Belalang Kembara di daerah


Ketapang, Ketapang: Tim Program Pemberdayaan Sistem Tani-Hutan Asli
Pancur Kasih (PPSTA-PK). Ketapang: 24 Juni.
Michelsen A., and Nocke H., 1974. Biophysical Aspecta of Sound Communication in
Insects, Advan, Insect Physical, 10; pp 247-296.

Meyer E. and Ernst-Geong Neumann, 1972. An Intoduction Physical and Applied


Acoustics, New York: Academic Press, Inc, pp 412-420.

Nurwantoro dan Djariah A.S., 1994. Mikrobiologi Pangan Hewani-Nabati,


Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hlm 13-75.

Oesman Mashar, 1988. Dasar-dasar Ultrasonografi Diagnostik, Seminar Penggunaan


Ultrasonografi dalam Bidang Kedokteran, Bali: Denpasar, 23 Desember .

Purwanto Fajar H.M., 1986. Fisika Terapan, Jakarta: Penerbit Karunika UT, hlm 30-
42.

Resnick R., dan Halliday D., 1992. Fisika, Penterjemah Pantur Silaban dan Erwin
Sucipto, Jakarta: Penerbit Erlangga, hlm 656-693.

Russel-Hunter W. D., 1970. A Life of Invertebrates, New York: Mac Milan Publissing
Co, Inc, pp 43-53.

Rubin C., Bolander M., Ryabi J.P., Hadjiargyrou M., 2001. The Use of Low-Intensity
Ultrasound to Accelerate the Healing of Fractures, J. Bone Joint Surg (Am)
83: pp 259-269.

Sabbagha R. E., 1980. Diagnostic Ultrasound Applied to Obstetrics and Gynecology,


Haper & Row, London, pp 19 - 31.

Sales G., and D. Pye, 1974. Ultrasonic Communication by Animals, New York: John
Wiley & Sons, Inc, pp 281-285.

Santoso Singgih, 2002. Mengolah Data Statistik Secara Prefesional, Jakarta: Penerbit
PT Elex Media Komputindo, hlm 143-231.

Santoso Singgih, 2001. Statistik Multivariat, Jakarta: Penerbit PT Elex Media


Komputindo, hlm 378-452.

Sears F.W., and Zemasky M.W., 1982. University Physics, Cambrigde: University
Press, pp 432-436.

Shipman, Wilson, 1990. An Introduction to Physical Science, Toronto: D.C Heath and
Company, pp 121-134.

Sumisjokartono, 1997. Elektronika Praktis, cetakan ke 8, Jakarta: Penerbit PT Elex


Media Komputindo, hlm 26-45.

Sulthoni A., dan Subiyanto, 1993. Kunci Determinasi Serangga, Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, hlm 15-30.

Sudjana, 1985. Disain dan Analisis Eksperimen, Bandung; Tarsito, hlm 101- 103.
Sutiono B.T., 1982. Studi Keamanan Penggunaan Gelombang Ultrasonik dalam
kedokteran, Bandung: Fisika Institut Teknologi Bandung, hlm 24-43.

Sutrisno, 1988. Gelombang Dan Optik, Seri Fisika Dasar Jilid 2, Bandung: Institut
Teknologi Bandung, hlm 35-70.

Soetedjo M.M., 1989. Hama Tanaman Keras Dan Alat Pembrantasannya, Jakartas :
Penerbit Bina Aksara, hlm 80-81.

Stell dan Torrie, 1991. Prinsip dan Prosedur Statistik Suatu Pendekatan Biometrik,
Jakarta: PT Gramedia, hlm 417-427.

Takahashi, 1997. Hydrostatic Pressure Influences mRNA Expression of TGF-bl and


HSP 70 in Chondrocyte Like Cell Line, J Bone Joint Surg (Am) 15: pp 150-
158.

Uvarov B. P., 1977. Grasshoppers and locust. A Handbook of General Acridology,


COPR, London : Cambridge University Press, pp 176-195.

Warsito S., 1982. Sirkuit Arus Searah, Seri Pelajaran Elektronika 1a, cetakan ke 7,
Jakarta: Penerbit Karya Utama, hlm 17-36.

Wilson E. O., 1972. Animal Communication, Science Am, 227; pp 52-60.

Wudianto Rini, 2002. Petunjuk Penggunaan Pestisida, Jakarta : Penerbit Penebar


Swadaya, hlm 31-42.

Anda mungkin juga menyukai