Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Demokrasi pada dasarnya adalah aturan orang (people rule), dan di dalam
sistem politik yang demokratis warga mempunyai hak, kesempatan dan suara
yang sama di dalam mengatur pemerintahan di dunia publik.
Di negara Indonesia, kerukunan antarumat beragama dan kerukunan intern
umat beragama adalah wujud dari sikap saling menghargai dan menghormati.
Harapan untuk menjadikan bangsa yang aman dan tenteram dengan masyarakat
yang damai serta jauh dari konflik dapat terlaksana jika umat beragama
mengembangkan sikap toleran. Nilai-nilai demokrasi sangat mendukung
terciptanya komunitas umat beragama yang menghargai kemajemukan. Dengan
demikian, konsep demokrasi sangat sejalan dengan Islam yang sama-sama
mengandung nilai ketenteraman dan kedamaian umat agar umat hidup sejahtera.
Konsep demokrasi memang muncul dari Barat, tapi nilai-nilai demokrasi itu ada
di dalam Islam. Apa yang kita kenal dengan Piagam Madinah yang dimunculkan
oleh Nabi Muhammad Saw. dan umat Islam di Madinah merupakan konsep
pertama di dalam dunia Islam mengenai demokrasi. Makna demokrasi adalah dari
rakyat oleh rakyat untuk rakyat, kemudian melindungi semua kepentingan rakyat.
Jadi, Islam identik dengan demokrasi, akan tetapi demokrasi dalam Islam
memiliki perbedaan-perbedaan yang cukup signifikan.
Dan untuk menuju Indonesia baru yang kita idamkan, hendaknya dengan
bersama-sama kita mewujudkan Indonesia yang lebih demokratis dan
berkeadaban yang sanggup membawa kita meraih keunggulan atau bahkan
kejayaan di millenium ketiga. Karena itulah, kita juga harus menyadari berbagai
perubahan yang mengiringinya (Muhaimun, 2001:11).
B. Rumusan Masalah
1. Untuk mempelajari berbagai hal yang berkaitan dengan demokrasi dan
musyawarah (syura).
2. Untuk memahami prinsip-prinsip dalam demokrasi.
3. Untuk mengetahui makna demokrasi dan syura dalam perspektif Islam

C. Tujuan Masalah
Tujuan penulisan makalah ini adalah :
Untuk menambah wawasan bagi penulis tentang berbagai hal yang
berkaitan dengan demokrasi dan syura (musyawarah).
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Demokrasi dan Syura


1. Demokrasi
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani terdiri dari dua kata yaitu
demos yang berarti rakyat, dan kratos / cratein yang berarti pemerintahan,
Maka demokrasi dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau lebih
dikenal dengan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Artinya kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat atau yang sering kita
sebut dengan kedaulatan rakyat. Rakyat mempunyai kekuasaan penuh dalam
menentukan arah kebijakan politik suatu negara melalui peran sertanya dalam
menentukan pemimpin dan wakil parlemen. Arti dari istilah ini telah
mengalami perubahan sejalan dengan waktu, dan definisi modern yang telah
berevolusi sejak abad ke-18 bersamaan dengan perkembangan sistem
demokrasi di banyak negara.
Demokrasi dipraktekkan pertama kali oleh Yunani kuno tepatnya di
Athena pada saat itu mereka menyebutnya dengan negara kota, namun pada
abad pertengahan demokrasi seakan memudar dan hilang begitu saja dari
pandangan manusia karena kekuasaan politik saat itu berada di tangan raja
dan gereja. Kemudian pada abad 18 demokrasi mulai mencuat kembali dan
ramai diperdebatkan hingga sekarang. Demokrasi sering diartikan sebagai
penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan
keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sini kemudian muncul
idiom-idiom demokrasi, seperti egalite (persamaan), equality (keadilan),
liberty (kebebasan), human right (hak asasi manusia), dan seterusnya.
Dalam tradisi Barat, demokrasi didasarkan pada penekanan bahwa
rakyat seharusnya menjadi “pemerintah” bagi dirinya sendiri, dan wakil
rakyat seharusnya menjadi pengendali yang bertanggung jawab atas tugasnya.
Karena alasan inilah maka lembaga legislatif di dunia Barat menganggap
sebagai pioner dan garda depan demokrasi. Lembaga legislatif benar - benar
menjadi wakil rakyat dan berfungsi sebagai agen rakyat yang aspiratif dan
distributif. Keberadaan wakil rakyat didasarkan atas pertimbangan, bahwa
tidak mungkin semua rakyat dalam suatu negara mengambil keputusan
karena jumlahnya yang terlalu besar. Oleh sebab itu kemudian dibentuk
dewan perwakilan. Di sini lantas prinsip amanah dan tanggung jawab
(credible and accountable) menjadi keharusan bagi setiap anggota dewan.
Sehingga jika ada tindakan pemerintah yang cenderung mengabaikan hak-hak
sipil dan hak politik rakyat, maka harus segera ditegur. Itulah perlunya
perwakilan rakyat yang kuat untuk menjadi penyeimbang dan kontrol
pemerintah.

2. Syura (Musyawarah)
Secara etimologis, musyawarah berasal dari kata “syawara” yang pada
mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Dan kata kerjanya,
yaitu syawara-yusyawiru yang berarti menjelaskan, menyatakan atau
mengajukan dan mengambil sesuatu. Syura juga bermakna permusyawaratan,
hal bermusyawarah atau konsultasi. Bentuk-bentuk lain yang berasal dari kata
kerja syawara adalah asyara (memberi isyarat), tasyawara (berunding, saling
bertukar pendapat), syawir (meminta pendapat, musyawarah), dan mutasyir
(meminta pendapat orang lain). Syura atau musyawarah adalah saling
menjelaskan dan merundingkan atau saling meminta dan menukar pendapat
mengenai suatu perkara.
Karena kata musyawarah adalah bentuk mashdar dari kata kerja
syawara yang dari segi jenisnya termasuk kata kerja mufa’alah (perbuatan
yang dilakukan timbal balik), maka musyawarah haruslah bersifat dialogis,
bukan monologis. Semua anggota musyawarah bebas mengemukakan
pendapatnya. Dengan kebebasan berdialog itulah diharapkan dapat diketahui
kelemahan pendapat yang dikemukakan, sehingga keputusan yang dihasilkan
tidak lagi mengandung kelemahan.
Di Indonesia, musyawarah adalah proses deliberasi atau berembuk
yang mempertimbangkan semua sisi dari sebuah isu. Kata ini sering
berkonotasi politik karena tertulis dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan
sering dipergunakan oleh pemerintah Suharto semasa orde baru sebagai
retorika mengontrol kebebasan politik.
Musyawarah merupakan salah satu asas dasar negara Indonesia yang
membedakannya dari negara-negara lain. Musyarawah tercantum di dalam
sila keempat dari Pancasila. Musyawarah untuk mufakat pada dasarnya
merupakan kesepahaman atau kata sepakat antara pihak-pihak yang berbeda
pendapat sehingga pemungutan suara dapat dihindarkan dan diharapkan
semua pihak yang berbeda pendapat dapat menemukan keputusan tunggal.
Musyawarah sering ditampilkan sebagai alternatif dari "pengambilan
suara" atau "voting". Penggunaan sistem pemungutan suara ditakutkan oleh
bapak-bapak bangsa akan menimbulkan penindasan oleh mayoritas baik oleh
suku, agama, kepercayaan, bahasa, dan lain-lain. Serta dapat menimbulkan
perselisihan negara dan tidak sesuai dengan Bhineka Tunggal Ika.
Bersama-sama dengan gotong royong, santun, Pancasila, hukum adat,
ketuhanan, dan kekeluargaan, musyawarah menjadi dasar Filsafat Indonesia
seperti yang dikemukakan oleh M. Nasroen.

B. Prinsip-Prinsip Demokrasi
Setiap prinsip demokrasi dan prasyarat dari berdirinya negara demokrasi
telah terakomodasi dalam suatu konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Prinsip-prinsip demokrasi, dapat ditinjau dari pendapat Al-Maududi yang
kemudian dikenal dengan "soko guru demokrasi". Menurutnya, prinsip-prinsip
demokrasi adalah:
1. Kedaulatan rakyat
2. Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah
3. Kekuasaan mayoritas
4. Hak-hak minoritas
5. Jaminan hak asasi manusia
6. Pemilihan yang bebas dan jujur
7. Persamaan di depan hukum
8. Proses hukum yang wajar
9. Pembatasan pemerintah secara konstitusional
10. Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik
11. Nilai-nilai tolerensi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.
Sedangkan Menurut Sadek dan J. Sulaymân, prinsip-prinsip dalam
demokrasi di antaranya adalah:
1. Kebebasan berbicara setiap warga negara.
2. Pelaksanaan pemilu untuk menilai apakah pemerintah yang berkuasa layak
didukung kembali atau harus diganti.
3. Kekuasaan dipegang oleh suara mayoritas tanpa mengabaikan kontrol
minoritas
4. Peranan partai politik yang sangat penting sebagai wadah aspirasi politik
rakyat.
5. Pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
6. Supremasi hukum (semua harus tunduk pada hukum).
7. Semua individu bebas melakukan apa saja tanpa boleh dibelenggu.

C. Demokrasi dan Syura dalam Perspektif Islam


Ada beberapa prinsip dalam pengambilan keputusan yang sesuai dengan
ajaran-ajaran Islam, yaitu sebagai berikut :
1. Musyawarah hanyalah disyariatkan dalam permasalahan yang tidak ada
dalilnya.
Sebagaimana telah jelas bagi setiap muslim bahwa tujuan musyawarah
ialah untuk mencapai kebenaran, bukan hanya sekedar untuk membuktikan
banyak atau sedikitnya pendukung suatu pendapat atau gagasan. Hal ini
berdasarkan firman Allah Ta’ala:

‫وما كان لمؤمن ول مؤمنة إذا قضى ا ورسوله أمرا أن يكون لهم الخيرة من أمرهم ومن يعص‬
36 ‫ الحأزاب‬. ‫ا ورسوله فقد ضل ضلل مبينا‬
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barang
siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah
tersesat, sesat yang nyata.” (Qs. Al Ahzab: 36)
Adapun sistem demokrasi senantiasa membenarkan pembahasan bahkan
penetapan undang-undang yang nyata-nyata menentang dalil, sebagaimana yang
diucapkan oleh Ulil Abshar Abdallah (seorang tokoh liberal Indonesia -ed) berikut
ini: “Hukum pidana bisa saja tetap diterapkan pada saat ini dengan syarat ada
konsensus politik, jika cara ini mampu menciptakan tata sosial yang lebih baik.
Sebab yang mengikat itu adalah konsensus publik, bukan hukum Tuhan.”

2. Kebenaran tidak diukur dengan jumlah yang menyuarakannya.


Oleh karena itu walaupun suatu pendapat didukung oleh kebanyakan
anggota musyawarah, akan tetapi bila terbukti bahwa mereka menyelisihi dalil,
maka pendapat mereka tidak boleh diamalkan. Dan walaupun suatu pendapat
hanya didukung atau disampaikan oleh satu orang, akan tetapi terbukti bahwa
pendapat itu selaras dengan dalil, maka pendapat itulah yang harus diamalkan.
Imam As Syafi’i berkata: “Sesungguhnya seorang hakim diperintahkan
untuk bermusyawarah karena orang-orang yang ia ajak bermusyawarah mungkin
saja mengingatkannya suatu dalil yang terlupakan olehnya, atau yang tidak ia
ketahui, bukan untuk bertaqlid kepada mereka dalam segala yang mereka katakan.
Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidak pernah mengizinkan untuk bertaqlid
kepada seseorang selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Dengan memahami prinsip ini kita dapat membedakan antara musyawarah
yang diajarkan dalam Islam dengan demokrasi, sebab demokrasi akan senantiasa
mengikuti suara terbanyak, walaupun menyelisihi dalil. Adapun dalam
musyawarah, kebenaran senantiasa didahulukan, walau yang menyuarakannya
hanya satu orang.
3. Orang yang berhak menjadi anggota Majlis Syura’ ialah para pemuka
masyarakat, ulama’ dan pakar di setiap bidang keilmuan.
Dalam suatu musyawarah, tujuannya adalah untuk mencari kebenaran.
Maka dari itu, yang berhak untuk menjadi anggota majlis syura ialah orang-orang
yang berkompeten dalam bidangnya masing-masing, dan mereka ditunjuk oleh
khalifah. Merekalah yang memahami setiap permasalahan beserta solusinya dalam
bidangnya masing-masing. Beda halnya dengan demokrasi, anggotanya dipilih
oleh rakyat, merekalah yang mencalonkan para perwakilan mereka. Setiap
anggota masyarakat, siapapun dia (tidak ada bedanya antara peminum khamer,
pezina, dukun, perampok, orang kafir dengan orang muslim yang bertaqwa),
memiliki hak untuk dicalonkan dan mencalonkan. Oleh karena itu tidak heran bila
di negara demokrasi, para pelacur, pemabuk, waria dan yang serupa menjadi
anggota parlemen, atau berdemonstrasi menuntut kebebasan dalam menjalankan
praktek kemaksiatannya.
Bermusyawarah adalah bukti keimanan seseorang dan masyarakat. Allah
berfirman maksudnya "Dan juga (lebih baik dan lebih kekal bagi) orang yang
mendengar dan menjawab perintah Tuhannya serta mendirikan sholat dengan
sempurna; dan mereka juga mendermakan sebagian dari apa yang Kami beri
kepadanya" (QS. asy-Syura: 38).
Musyawarah adalah amalan kesukaan Nabi. Abu Hurairah berkata: "Aku
tak pernah melihat seseorang yang lebih banyak melakukan musyawarah dengan
sahabatnya daripada Rasulullah s.a.w." (HR. at-Tirmizi). Rasulullah bersabda:
"Seseorang tidak akan sengsara apabila dia bermusyawarah dan sebaliknya dia
tidak akan berbahagia apabila mengetepikan suatu pendapat" (Lihat al-Qurtubi, al-
Jami', IV/251).
BAB III
PENUTUP

Demokrasi dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau lebih dikenal


dengan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Artinya kekuasaan
tertinggi berada di tangan rakyat atau yang sering kita sebut dengan kedaulatan
rakyat. Sedangkan, Syura atau musyawarah artinya saling menjelaskan dan
merundingkan atau saling meminta dan menukar pendapat mengenai suatu
perkara.
Di negara Indonesia, kerukunan antarumat beragama dan kerukunan intern
umat beragama adalah wujud dari sikap saling menghargai dan menghormati. Dan
dalam nilai-nilai demokrasi sangat mendukung terciptanya komunitas umat
beragama yang menghargai kemajemukan. Dengan demikian, konsep demokrasi
sangat sejalan dengan Islam yang sama-sama mengandung nilai ketenteraman dan
kedamaian umat agar umat hidup sejahtera.
Namun dalam Islam, Nabi Muhammad SAW lebih menganjurkan
pemutusan perkara melalui musyawarah. Karena dalam suatu musyawarah, hanya
orang-orang terpilihlah yang bertugas memutuskan atau merundingkan adanya
perkara-perkara tersebut. Akan tetapi Islam juga tidak menentang demokrasi,
selama masih menegakkan nilai-nilai Islam dan demi kepentingan, serta
kemaslahatan umat.
DAFTAR PUSTAKA

http://sunniy.wordpress.com/2007/08/25/demokrasi-bukanlah-musyawarah/
Majalah Asy-Syariah, vol I/No.06/maret 2004/ Muharram 1425 H, hal 20.
Fatwa dan Nasehat Agama. Nasehat Al-Quran dan As-Sunnah. Oleh: Ibnu Munzir
on Senin, 04 Januari 2010 21:09

Anda mungkin juga menyukai