Demokrasi Dan Syura
Demokrasi Dan Syura
PENDAHULUAN
C. Tujuan Masalah
Tujuan penulisan makalah ini adalah :
Untuk menambah wawasan bagi penulis tentang berbagai hal yang
berkaitan dengan demokrasi dan syura (musyawarah).
BAB II
PEMBAHASAN
2. Syura (Musyawarah)
Secara etimologis, musyawarah berasal dari kata “syawara” yang pada
mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Dan kata kerjanya,
yaitu syawara-yusyawiru yang berarti menjelaskan, menyatakan atau
mengajukan dan mengambil sesuatu. Syura juga bermakna permusyawaratan,
hal bermusyawarah atau konsultasi. Bentuk-bentuk lain yang berasal dari kata
kerja syawara adalah asyara (memberi isyarat), tasyawara (berunding, saling
bertukar pendapat), syawir (meminta pendapat, musyawarah), dan mutasyir
(meminta pendapat orang lain). Syura atau musyawarah adalah saling
menjelaskan dan merundingkan atau saling meminta dan menukar pendapat
mengenai suatu perkara.
Karena kata musyawarah adalah bentuk mashdar dari kata kerja
syawara yang dari segi jenisnya termasuk kata kerja mufa’alah (perbuatan
yang dilakukan timbal balik), maka musyawarah haruslah bersifat dialogis,
bukan monologis. Semua anggota musyawarah bebas mengemukakan
pendapatnya. Dengan kebebasan berdialog itulah diharapkan dapat diketahui
kelemahan pendapat yang dikemukakan, sehingga keputusan yang dihasilkan
tidak lagi mengandung kelemahan.
Di Indonesia, musyawarah adalah proses deliberasi atau berembuk
yang mempertimbangkan semua sisi dari sebuah isu. Kata ini sering
berkonotasi politik karena tertulis dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan
sering dipergunakan oleh pemerintah Suharto semasa orde baru sebagai
retorika mengontrol kebebasan politik.
Musyawarah merupakan salah satu asas dasar negara Indonesia yang
membedakannya dari negara-negara lain. Musyarawah tercantum di dalam
sila keempat dari Pancasila. Musyawarah untuk mufakat pada dasarnya
merupakan kesepahaman atau kata sepakat antara pihak-pihak yang berbeda
pendapat sehingga pemungutan suara dapat dihindarkan dan diharapkan
semua pihak yang berbeda pendapat dapat menemukan keputusan tunggal.
Musyawarah sering ditampilkan sebagai alternatif dari "pengambilan
suara" atau "voting". Penggunaan sistem pemungutan suara ditakutkan oleh
bapak-bapak bangsa akan menimbulkan penindasan oleh mayoritas baik oleh
suku, agama, kepercayaan, bahasa, dan lain-lain. Serta dapat menimbulkan
perselisihan negara dan tidak sesuai dengan Bhineka Tunggal Ika.
Bersama-sama dengan gotong royong, santun, Pancasila, hukum adat,
ketuhanan, dan kekeluargaan, musyawarah menjadi dasar Filsafat Indonesia
seperti yang dikemukakan oleh M. Nasroen.
B. Prinsip-Prinsip Demokrasi
Setiap prinsip demokrasi dan prasyarat dari berdirinya negara demokrasi
telah terakomodasi dalam suatu konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Prinsip-prinsip demokrasi, dapat ditinjau dari pendapat Al-Maududi yang
kemudian dikenal dengan "soko guru demokrasi". Menurutnya, prinsip-prinsip
demokrasi adalah:
1. Kedaulatan rakyat
2. Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah
3. Kekuasaan mayoritas
4. Hak-hak minoritas
5. Jaminan hak asasi manusia
6. Pemilihan yang bebas dan jujur
7. Persamaan di depan hukum
8. Proses hukum yang wajar
9. Pembatasan pemerintah secara konstitusional
10. Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik
11. Nilai-nilai tolerensi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.
Sedangkan Menurut Sadek dan J. Sulaymân, prinsip-prinsip dalam
demokrasi di antaranya adalah:
1. Kebebasan berbicara setiap warga negara.
2. Pelaksanaan pemilu untuk menilai apakah pemerintah yang berkuasa layak
didukung kembali atau harus diganti.
3. Kekuasaan dipegang oleh suara mayoritas tanpa mengabaikan kontrol
minoritas
4. Peranan partai politik yang sangat penting sebagai wadah aspirasi politik
rakyat.
5. Pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
6. Supremasi hukum (semua harus tunduk pada hukum).
7. Semua individu bebas melakukan apa saja tanpa boleh dibelenggu.
وما كان لمؤمن ول مؤمنة إذا قضى ا ورسوله أمرا أن يكون لهم الخيرة من أمرهم ومن يعص
36 الحأزاب. ا ورسوله فقد ضل ضلل مبينا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barang
siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah
tersesat, sesat yang nyata.” (Qs. Al Ahzab: 36)
Adapun sistem demokrasi senantiasa membenarkan pembahasan bahkan
penetapan undang-undang yang nyata-nyata menentang dalil, sebagaimana yang
diucapkan oleh Ulil Abshar Abdallah (seorang tokoh liberal Indonesia -ed) berikut
ini: “Hukum pidana bisa saja tetap diterapkan pada saat ini dengan syarat ada
konsensus politik, jika cara ini mampu menciptakan tata sosial yang lebih baik.
Sebab yang mengikat itu adalah konsensus publik, bukan hukum Tuhan.”
http://sunniy.wordpress.com/2007/08/25/demokrasi-bukanlah-musyawarah/
Majalah Asy-Syariah, vol I/No.06/maret 2004/ Muharram 1425 H, hal 20.
Fatwa dan Nasehat Agama. Nasehat Al-Quran dan As-Sunnah. Oleh: Ibnu Munzir
on Senin, 04 Januari 2010 21:09