Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang Masalah


Dengan semakin berkembangnya jaman dan meningkatnya kemajuan
teknologi yang dicapai dewasa ini, maka peradaban manusia semakin meningkat
sehingga kebutuhan dan tuntutan hidup akan lebih besar dan beranekaragam
demikian juga kebutuhan dalam bahan tekstil makin lama akan semakin
meningkat.
Untuk memenuhi kebutuhan bahan tekstil tersebut maka dibutuhkan bahan
baku tekstil yang baik yang berasal dari alam maupun buatan. Untuk bahan baku
yang berasal dari alam terdiri berbagai macam jenis serat alam, baik serat alam
yang berasal dari tumbuhan maupun binatang. Akan tetapi produksi dari serat
alam ini masih kurang memenuhi kebutuhan yang diperlukan. Sebagai contoh
kebutuhan akan serat kapas di Indonesia masih harus mengimpor dari negara lain.
Hal ini disebabkan oleh karena produksi perkebunan kapas di Indonesia
masih rendah dan areal untuk penanaman kapas masih terbatas. Maka
kemungkinan swasembada kapas untuk dapat mengimbangi kebutuhan bahan
baku industri dalam negeri diperkirakan akan sulit terpenuhi dalam jangka waktu
yang singkat.
Dengan memperhatikan kenyataan-kenyataan tersebut diatas maka perlu
adanya suatu upaya diversifikasi penyediaan bahan baku untuk industri dari serat
alam ini, yaitu dengan jalan mengadakan penelitian dan pemanfaatan serat sutera
yang dihasilkan dari kokon.
Berdasarkan hasil survey pada pengrajin sutera AMAN SAHURI yang
berada di kecamatan tarogong kabupaten garut ini, cara penetasan ulat sutera
mulai dari telur sampai menjadi kokon dan proses pemintalan serat sutera masih
dilakukan secara sederhana, tetapi dengan memperhatikan syarat-syarat yang
diperlukan, sehingga hasilnya tetap memenuhi persyaratan dan diharapkan dapat
memenuhi kebutuhan serat sutera untuk menghasilkan bahan tekstil yang semakin
meningkat.

1
1.2 Identifikasi Masalah
Pengolahan dan pemintalan sutera ini masih sederhana, tetapi masih
memerlukan perhatian khusus dalam pengolahannya baik mengenai syarat-
syaratnya ataupun kondisi ruangannya, karena hal tersebut akan mempengaruhi
produksi kokon dan hsil benang suteranya.

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui cara
pengembangbiakan ulat sutera sampai menghasilkan bahan baku (kokon) untuk
kemudian dilanjutkan pada pengolahan dan pemintalan guna menghasilkan
benang sutera pintal.

1.4 Ruang Lingkup


Ruang lingkup permasalahan dibatasi pada :
1. Pengembangbiakan ulat sutera sampai menghasilkan bahan baku
(kokon)
2. Pengolahan kokon dan pemintalan

1.5 Kesulitan
Didalam penyusunan paper ini, penulis tidak terlepas dari kesulitan-
kesulitan yang dihadapi, diantaranya :
1. Keterbatasan informasi yang didapat penyusun pada saat penelitian
di lapangan
2. Sulitnya mengetahui pengembangbiakan ulat sutera dari penetasan
telur sampai menjadi kokon karena pada waktu penelitian itu perkebunan
murbei yang menjadi makanan dari ulat sutera sedang dilakukan
pemangkasan sehingga pengembangbiakan ulat dihentikan sejenak.
Pengembangbiakan ulat akan dilanjutkan kembali pada saat pakan murbei
siap untuk dipanen

2
BAB II
TEORI DASAR

2.1 Sejarah Sutera


Sutera adalah sejenis serat yang dihasilkan dari sejenis serangga. Species
utama yang dipelihara untuk menghasilkan sutera yang dikenal didunia
pertekstilan sebagai sutera alam murbei adalah bombyx mori. Sutera alam tersebut
meliputi 95 % dari produksi sutera dunia. Pemeliharaan ulat sutera pertama
ditemukan bangsa Cina sekitar 2600 SM setelah 3000 tahun baru ditemukan cara
pengolahan sutera yang dicuri dari bangsa Cina oleh bangsa Eropa. Sutera
diperkenalkan Alexader The Great pada bangsa Eropa. Industri sutera yang besar
pertama kali didirikan di Eropa tenggara yang secara cepat menyebar kedaerah
barat karena kekuasaan muslim. Spanyol mulai memproduksi sutera abad VIII.
Sedangkan Italia sekitar pada abad XII dan jadi terdepan selama 500 tahun. Dan
di abad XVI, Prancis menjadi pesaing berat Italia dalam produksi kain sutera.
Jepang merupakan negara pertama penghasil sutera dalam jumlah besar dengan
menggunakan metode keilmuan dalam pengolahan ulat sutera pada perternakan
maupun di pabrik. Adapun negara lain yang menghasilkan sutera seperti Austria,
Iran, Turki, Yunani, Syria, Bulgaria dan Brazil.
Di Indonesia sutera alam sesungguhnya telah dikenal dan diusahakan
sejak dahulu kala oleh nenek moyang kita. Hal ini nampak dari kain-kain adat
yang dibuat di berbagai daerah telah menggunakan bahan baku sutera alam, antara
lain kain adat di Aceh, Palembang, Minangkabau, Bali, Samarinda, dan di
Sulawesi yang sampai kini masih menjadi tradisi yang kuat.
Dari berbagai informasi dapat diketahui bahwa kerajinan sutera alam pada
masa kini berkembang cukup pesat antara lain di jawa barat (Garut, Sukabumi), di
daerah Sulawesi Selatan (Sengkang, Soppeng, Enrekang, dan di Ujung Pandang)
serta beberapa daerah lain dijawa tengah dan jawa timur seperti Pati, Candiroto
dan Pare.

3
2.2 Sutera Sebagai Bahan Baku
2.2.1 Sutera Alam
Sutera adalah sejenis serat yang dihasilkan dari sejenis serangga. Produksi
kokon untuk diambil filamennya disebut sericulture. Ulat sutera yang dipelihara
di rumah-rumah petani umumnya merupakan ulat sutera yang sudah dibiakkan
dari jenis bombyx mori yang tergolong lepidoptera bombycidea. Percobaan-
percobaan telah membuktikan bahwa kokon dari bombyx mori satu species dari
ulat sutera dapat menghasilkan sutera mentah dengan kualitas terbaik.
Ulat sutera terdiri dari berbagai jenis, tetapi pada umumny digolongakan
sebagai berikut :
1. Jenis Ulat sutera berdasarkan macam makanannya

Jenis Sutera Alam Nama Ulat Sutera Makanannya


1. Sutera Murbei Ulat sutera Murbei Murbei (Morus Alba,
(Bombyx Mori L) Morus Indika,dll)
Kel. Bombycidea
2. Sutera Tasar Ulat Sutera Tasar Asam (Terminallia
(Antheraea Mylitta) Tomentosa)
Ulat Sutera Oak Tasae Oak
(Antheraea proylei)
3. Sutera Eri Ulat Sutera Eri Jarak (Ricinus Communis)
Ketela Pohon (Manihot
Utilisima)
4. Muga Ulat Sutera Muga Manshilus Bombycina
(Antheraea Assamensis)

Tabel 1. Jenis Ulat sutera berdasarkan makanannya

Species utama yang dipelihara untuk menghasilkan sutera yang


dikenal di dunia pertekstilan sebagai “sutera alam murbei” adalah
Bombyx Mori. Sutera alam tersebut meliputi 95 % dari produksi sutera
dunia dari keturunan Bivoltine dan Polyvoltine

4
2. Jenis ulat sutera berdasarkan keturunannya
Bombyx Mori atau ulat sutera pemakan daun murbei yang
banyak dipelihara di seluruh dunia memberikan keturunan yang
berbeda sehingga dapat digolongkan sebagai berikut :
a. Monovoltine atau univoltine
Ulat sutera yang mempunyai generasi satu kali setiap tahun
dari sejak telur sampai menetas
b. Bivoltine
Ulat sutera yang mempunyai generasi dua kali dalam setahun,
dalam keadaan biasa
c. Tetravoltine
Ulat sutera yang mempunyai generasi empat kali
d. Polyvoltine
Ulat sutera yang mempunyai generasi enam kali dalam setahun
Berdasarkan penelitian terbukti bahwa turunan dari persilangan
menghasilkan kupu-kupu dan kepompong yang lebih besar dari pada
induknya dengan aktivitas visiologis yang tinggi. Oleh sebab itu ulat
sutera yang dibiakkan dirumah-rumah petani adalah turunan pertama
dari persilangan yang pembibitannya diatur oleh pemerintah.
3. Jenis ulat sutera berdasarkan tempat asal
Ulat sutera dapat pula dikelompokkkan berdasarkan tempat
asal, misalnya : turunan Jepang, Cina, turunan tropis, dan turunan
Eropa. Kokon dari jepang mempunyai bentuk seperti kacang, kokon
dari Cina berbentuk bulat sampai lonjong, sedangkan dari Eropa
berbentuk lonjong.
Berdasarkan perternakan ilmiah, ulat sutera dapat ditetaskan 3 kali dalam
setahun, dalam kondisi alami penetasan terjadi hanya 1 kali dalam setahun daur
hidupnya sebagai berikut :
1. Telur, yang berkembang menjadi larva atau ulat sutera

5
2. Ulat sutera, yang membentuk kokon sebagai perlindungan dan
berubah menjadi pupa atau kepompong
3. Kepompong, yang terbentuk dari kokon yang akan berubah
menjadi ngengat
4. Ngengat, yang betina bertelur dan berlangfsung kontinyu sebagai
daur hidup

2.2.2 Karakteristik Kokon


Beberapa karakteristik atau sifat fisik yang penting pada kokon adalah
1. Warna
Warna kokon dapat bermacam-macam, tetapi umumnya berwarna
putih, kuning, hijau, dan ros. Warna kokon tersebutmuncul karena
adanya serisin. Bila serisin dihilangkan waktu proses degumming,
maka warna kokon akan hilang.
2. Bentuk
Bentuk kokon umumnya dapat dibagi dalam emapatr kelompok yaitu :
a. Runcing (oval)
b. Lonjong (elips)
c. Bulat (single side pointed)
d. Kacang (gelendong/constricted)
3. Berat dinding
Berat dinding dari kokon sutera merupakan karakteristik yang sangat
enting. Makin berat dinding kulit kookon menunjukkan kandungan
sutera pada kokon makin banyak.
Kandungan dinding kokon (shell content) dinyatakan dalam shell ratio
percentage (persentase berat dinding kokon)
Berat dinding kokon
Persentase berat dinding kokon   100 %
Berat kokon
kokon yang bermutu baik biasanya mempunyai bentuk yang seragam
baik bentuk dinding maupun ukurannya
4. Panjang filamen

6
Panjang serat sutera atau filamen yang dapat direeling merupakan sifat
penilaian karakteristik kokon yang perlu diperhatikan. Kokon yang
besar bentuknya sudah tentu filamennya akan lebih panjang dari kokon
yang lebih kecil bentuknya.
5. Kehalusan filamen
Denier merupakan satuan yang biasa digunakan untuk kehalusan
filamen sutera. Denier biasanya dinyatakan dalam satuan gram setiap
9000 meter filamen tersebut. Denier filamen sutera bervariasi
tergantung dari jenis kokonnya.karakteristik seperti berat kokon, berat
dinding, persentase berat dinding, panjang filamen, kehalusan, daya
reeling (reel ability) dan rendita dari berbagai jenis kokon dapat dilihat
pada tabel 1.
6. Cacat kokon
Kokon secara keseluruhan tidak dapat direeling dengan baik karena
mengandung berbagai jenis cacat, yang banyak ditemui yaitu :
a. Kokon ganda
b. Ternoda
c. Berdinding tipis sehingga lembek atau kempot
d. Berlubang
e. Berbentuk kerdil atau aneh

Berat
Berat % Panjang Reel
Dinding Kehalusan
No Jenis Kokon Warna Bentuk Kokon Dinding Filamen Ability
Kokon (denier)
(g) Kokon (m) (%)
(g)
Hijau
1 Multivoltine kekuning- Runcing 1,147 0,166 14,5 492 2,1 79,3
kuningan
Hijau
Bulat
2 Cross Breed kekuning- 1,628 0,289 18,0 755 2,85 88,75
Kacang
kuningan
Bulat
3 Bivoltine Putih 1,973 0,428 21,40 955 2,85 91,25
Kacang

Tabel 2. Karakteristik kokon berbagai jenis kokon


Sumber : Proyek Penelitian dan Pengembangan Industri Tekstil 1990/1991

7
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Tekstil

2.2.3 Sifat – sifat Sutera Alam


2.2.3.1 Sifat Fisika
 Panjang Serat
Serat sutera merupakan filamen yang panjang, tergantung dari bentuk
kepompong yang dihasilkan.
 Kekuatan derat
Dalam keadaan kering kekuatannya 4 – 4,5 gram/ denier dengan mulur20
– 25 %, dan dalam keadaan basah kekuatannya 3,5 – 4 gram/ denier
dengan mulur 25 – 30 %
 Kehalusan serat
Serat sutera merupkan filamen yang kehalusannya antara 1,75 – 4,0 denier
 Moisture regain
Moisture sutera mentah 11 % tetapi setelah dihilangkan serisinnya menjadi
10 %
 Bentuk penampang
Penampang lintang serat sutera bombyx mori berbentuk segitiga dengan
sudut-sudut yang membulat, sedangkan penampang lintang dari serat
sutera liar berbentuk pasak seperti pada gambar dibawah ini.

8
2.2.3.2 Sifat Kimia
Seperti serat protein lainnya sutera bersifat ampoter menyerap asam dan basa dari
larutan encer. Dibanding wool, sutera kurang tahan terhadap asam tetapi lebih
tahan terhadap alkali. Sutera kurang tahan terhadap zat-zat oksidator dan sinar
matahari dibanding dengan serat selulosa atau serat buatan, tetapi dibandingkan
dengan serat alam lainnya sutera lebih tahan terhadap serangan secara biologis.

2.2.4 Limbah Sutera


Kokon yang mengandung berbagai jenis cacat merupakan suatu limbah.
Tetapi limbah tersebut masih merupakan bahan yang berharga, karena masih
dapat dimanfaatkan menjadi benang sutera stapel. Pembuatan benang sutera stapel
ini dilakukan dengan cara konvensional dengan cara penguluran dan penggintiran
dengan alat yang dinamakan japran, sehingga terbentuk benang-benang sutera
stapel dengan ukuran diameter besar, dengan tingkat U % (persen ketidakrataan
suatu benang) yang tinggi. Saat ini limbah sutera yang tersisa telah dapat
dijadikan benang yang cukup rata dengan U % rendah oleh seorang ahli benang
sutera yang telah berhasil menciptakan suatu alat baru untuk proses pemintalan
stapel sutera dan sekarang sudah dapat bersaing dengan benang sutera filamen,
meskipun tetap diameter benang tidak sehalus benang filamen.
Limbah sutera yang lain adalah sisa ulat sutera yang masih terdapat dalam
kokon, yang jumlahnnya sama banyaknya dengan jumlah kokon yang ada.
Berdasarkan hasil penelitian dan pengalaman, sisa ulat sutera yang berjumlah
cukup banyak tersebut digiling dan kemudian dikeringkan untuk dijadikan pakan
ikan yang disebut pelet. Berdasarkan pengalaman dan kepercayaan pula sisa ulat
ini dapat dijadikan berbagai macam obat untuk berbagai macam penyakit, seperti
reumatik, sulit punya anak, menambah kekuatan tubuh.

9
2.3 Proses Pengolahan Bahan Baku dan Reeling Sutera
Urutan proses pengolahan sutera sejak dari kokon sampai akan mengalami
proses pertenunan ditunjukkan pada gambar dibawah ini.

Gambar 2. Proses Pengolahan Sutera

2.3.1 Proses Pengolahan Bahan Baku


1. Pengeringan

10
Pengeringan kokon dimaksudkan untuk membunuh ulatnya dan diulaksanakan
segera setelah dipanen. Ada tiga metode pengeringan yang dapat digunakan
yaitu :
a. Pengeringan dengan sinar matahari
Metoda ini sangat sederhana dan murah namun kurang tepat apabila
dikaitkan dengan mutu kokon yang dihasilkan. Cara ini dilakukan dengan
cara menjemur kokon dibawah sinar matahari selama kurang lebih satu
hari sampai ulatnya mati. Untuk melihat ulatnya mati, diambil beberapa
kokon untuk dibuka.
b. Pengeringan dengan menggunakan uap air panas
1) Cara penguapan kokon dalam keranjang yang diuapi
dari air panan yang mendidih
Cara ini dapat digunakan untuk mengeringkan kokon dalam jumalh
sedikit (10-15 kg) setiap kali pengeringan. Lamam pengeringan 0,5
sampai 1 jam, dan kokon diangkat setelah tercium bau khusus yang
keluar dari kokon. Selesai pengeringan kokon ditebar untuk diangin-
anginkan selama beberapa jam sehingga kokon menjadi kering.
2) Penguapan sistem ruangan
Cara ini dilakukan apabila kokon yang diproses jumlahnya banyak.
Udara panas dari broiler dialirkan ke dalam ruangan (kotak tempat
penguapan), dimana kokon tersebut disusun diatas rak-rak. Kokon
tersebut diuapkan selama 20 menit dan setelah selesai diuapkan
kemudian kokon tersebut dihamparkan diudara terbuka.
3) Pengeringan dengan udara panas
Pengeringan sistem ini dilakukan didalam ruangan yang dipanaskan.
Udara dalam ruangan tersebut diatur sedemikian rupa sehingga terjadi
aliran udara panas yang memanaskan kokon yang disimpan diatas rak-
rak yang tersusun teratur. Sistem ini dapat berfungsi ganda yaitu
membunuh ulat dan mengeringkan kokon sampai mencapai tingkat
kekeringan yang diinginkan. Mutu
c. Pengeringan dengan merebus air panas

11
Metoda pematian ulat didalam kokon adalah dengan cara merebus
kokon tersebut di dalam air panas selama beberapa jam sampai ulatnya
mati. Setelah itu kokon ditebar untuk diangin-anginkan selama
beberapa jam sehingga kokonnya kering.
2. Pembersihan Kokon
Pembersihan kokon dimaksudkan untuk membuang lapisan luar kokon karena
apabila tidak dibuang maka lapisan luar tersebut yang terdiri dari filamen-
filamen kusut dan terputus menyerupai bulu akan menghambat pada saat
mencari ujung filamen untuk direeling. Pengerjaan untuk membersihkan
kokon dapat dilakukan dengan tangan atau dalam suatu alat yang mempunyai
rol-rol berputar dengan kecepatan 300 rpm. Rol-rol itu dijalankan dengan
sebuah motor atau diputar dengan tangan. Pada alat ini kokon dibersihkan dari
debu dan serat-serat bagian luar.
3. Pemilihan Kokon
Seperti telah diuraikan dimuka bahwa dari sejumlah kokon yang dihasilkan
dapat memiliki karakteristik yang bermacam-macam. Oleh karena itu untuk
memperoleh benang yang baik maka kokon harus dipilih.
Pemilihan kokon berdasarkan kepada :
a. Kokon baik yang terdiri atas kokon besar dan kokon kecil
Yang dimaksud dengan kokon baik adalah kokon yang sempurna tanpa
cacat. Kokon baik yang besar harus dipisahkan dengan kokon baik yang
kecil, dan tiap kali proses reeling sebaiknya mengolah kokon yang sama
ukurannya. Hal tersebut akan membantu kelancaran operator melayani
kokon habis. Seleksi menurut besar kecilnya kokon dilakukan dalam suatu
alat penyortir kokon yang terdiri dari teromol yang berlubang-lubang dan
mempunyai dua bagian masing-masing dengan besar lubang yang
berlainan.
b. Kokon cacat
Seleksi dari kokon yang cacat dilakukan dengan tenaga manusia yang
memilih dan memisahkan kokon-kokon berikut ini :
Kokon ganda

12
Ternoda
Kokon berserabut
Berdinding tipis
Berlubang
Berbentuk kerdil (aneh)
Kokon cacat dapat direeling, namun akan menghasilkan filamen yang
lebih rendah mutunya dan tidak rata dan terputus-putus.
4. Penyimpanan Kokon
Adakalanya kokon yang sudah dipilih tidak segera direeling atau dikirim
untuk dijual, namun disimpan untuk beberapa lama. Penyimpanan dalam
ruangan diusahakan agar kokon tidak rusak karena jamur, serangan tikus atau
binatang lainnya. Biasanya akan lebih baik jika diberi zat anti hama seperti
menggunakan cairan formalin 70 % dengan fentilasi yang cukup baik dan
kokon harus sering diaduk untuk menjaga kestabilan bentuk kokon.
5. Pemasakan Kokon
Serisin yang terdapat pada lapisan luar filamen telah merekat filamen satu dan
lainnya membentuk dinding kokon. Proses pemasakan dimaksudkan untuk
melunakan serisin dengan menggunakan air atau uap panas sehingga filamen
dapat ditarik dan digulung dengan baik dan tidak sering putus.
6. Penyikatan
Kokon-kokon yang akan direeling terlebih dahulu harus disikat. Hal ini
bertujuan untuk mendapatkan ujung filamen yang tepat, sehingga pada waktu
reeling tidak mengalami hambatan.
Penyikatan ada 2 cara yaitu :
a. Penyikatan dengan tangan
Dalam penyikatan dengan tangan, digunakan sejenis sikat yang cukup
halus, yang terpenting disini sikat tersebut dapat sedikit menggaruk
permukaan kokon. Gumpalan filamen yang mengumpul akibat penyikatan
kemudian dipisahkan dan dipotong yang selanjutnya ujung filamen
tersebut siap untuk di reeling.
b. Penyikatan secara mekanik

13
Kokon-kokon ditempatkan dalam suatu bak, dimana dalam bak tersebut
telah tersedia / dilengkapi dengan beberapa sikat secara mekanik yang
dapat menyikat sendiri dari kokon tersebut. Kemudian ujung-ujung
filamen dari kokon-kokon yang terkait oleh sikat-sikat tersebut disatukan
dan dipotong yang selanjutnya siap untuk direeling. Yang perlu
diperhatikan pada saat penyikatan tersebut, suhu air pada waktu
penyikatan harus diatur sekitar 85 0C.

2.3.2 Proses Reeling Benang Sutera


Pada prinsipnya dikenal 2 macam cara yaitu :
1. Cara Perancis atau cara “Chambon”
2. Cara Italia atau cara “Tavelle”
Prinsip reeling dari kedua cara tersebut adalah sebagai berikut :
1. Cara Perancis atau cara “Chambon”
Pada cara ini sekelompok filamen dililitkan pada kelompok filamen
lainnya sehingga terbentuk gintiran pada masing-masing kelompok
filamen, seperti terlihat pada gambar 2 dibawah ini.

14
Gambar 2. Proses reeling cara Perancis
2. Cara Italia atau cara “Tavelle”
Pada cara ini kelompok digintir dengan cara melilitkan pada seutas benang
lainnya (pada umumnya digunakan benang kapas) seperti terlihat pada
gambar 3 dibawah ini.

Gambar 3. Proses reeling cara Italia

2.3.3 Proses Re-Reeling Benang Sutera


Proses re-reeling atau penggulungan ulang adalah proses menggulung
kembali filamen sutera yang telah digulung pada penggulung kecil (hasil reeling)
untuk dipindahkan ke penggulung yang lebih besar (keliling 150 cm) yaitu dalam
bentuk strengan. Dalam bentuk inilah biasanya bentuk benang sutera dapat
diperjualbelikan. Pada umumnya ukuran baku berat sutera per gulung hasil mesin
re-reeling adalah 70 gram atau 140 gram.

15
Disamping itu melalui proses re-reeling juga diharapkan dapat
meningkatkan mutu sutera karena filamen yang putus sudah disambung kembali
serta kotoran-kotoran, slubs dan bercak kotoran dari getah dapat dihilangkan.
Agar proses re-reeling dapat berjalan dengan lancar maka perlu
diperhatikan beberapa hal berikut :
 Sutera mentah dalam gulungan hasil reeling akan menjadi keras
dan kaku oleh serisin. Oleh karena itu pada saat sutera akan direeling
sebaiknya gulungan sutera harus dicelupkan ke dalam air panas lebih
0
kurang 60 C, agar filamen sutera menjadi lunak sehingga
gulungannya mudah dinuka kembali.
 Gulungan benang yang akan disuapkan ke re-reeling haru
ditempatkan sedemikian rupa agar mudah dilihat, mudah disuapkan
dan tidak akan terjadi perangkapan dengan gulungan yang lain.
 Penggulungan sutera pada re-reeling biasanya mempunyai ukuran
standar lebar 7,5 – 8,0 cm yang diatur melalui gerakan pengantar
filamen sutera
 Ujung akhir filamen sutera yang digulung dengan re-reeling
dililitkan dengan benang kapas yang telah digintir agar ujung tersubut
mudah ditemukan kembali pada saat akan dibuka.

2.4 Jenis Tanaman Murbei Sebagai Pakan Ulat Sutera


2.4.1 Pengenalan Tanaman Murbei
Tanaman murbei termasuk famili Moraceae terdiri dari banyak jenis tetapi
yang umum dikembangkan di Indonesia ada 4 jenis, yaitu :
1. Morus Alba, dengan ciri-ciri sebagai berikut :
 Daun berwarna hijau tua
 Ujung ranting muda berwarna merah
 Tangkai daun muda sedikit merah
 Batang berumur satu tahun berwarna coklat
 Pertumbuhan batang lurus, percabangan mulai keluar pada bagian
tengah batang utama

16
 Panjang buku 7 – 8 cm
 Hasil per hektar sekitar 30 ton per tahun
2. Morus Cathayana, dengan ciri-ciri sebagai berikut :
 Daun berwarna hijau tua
 Ujung ranting muda sedikit merah
 Batang berumur satu tahun berwarna coklat
 Tangkai daun muda sedikit merah
 Pertumbuhan batang lurus, percabangan mulai keluar pada bagian
tengah batang utama
 Hasil per hektar sekitar35 ton per tahun
3. Morus Multicaulis, dengan ciri-ciri sebagai berikut :
 Daun berwarna hijau tua
 Ujung ranting muda tidak berwarna merah
 Batang berumur satu tahun berwarna kelabu tua kehijauan
 Cabang lurus dan jumlahnya sedikit
 Panjang buku 8 – 9 cm
 Hasil per hektar 40 ton per tahun
4. Morus Nigra, dengan ciri-ciri sebagai berikut :
 Daun berwarna hijau tua
 Ujung ranting muda berwarna sedikit merah
 Tangkai daun muda sedikit merah
 Batang sudah berumur satu tahun berwarna coklat tua bercampur
hijau
 Pertumbuhan batang lurus ke atas, cabang mulai tumbuh pada
bagian tengah dari batang utama
 Panjang buku 6 cm

17
2.4.2 Penanaman Tanaman Murbei
Penanaman dilakukan dengan stek, karena cara ini praktis dan ekonomis
sehingga banyak dipakai di kalangan para petani murbei. Pelaksanaan dilakukaan
pada awal musim hujan.
Teknik penanaman ada dua macam cara, yaitu :
1. Monokultur, adalah sistem penanaman dengan satu jenis tanaman
pokok
2. Tumpang sari, adalah sistem pembuatan tanaman pokok
dikombinasikan dengan penanaman tanaman semusim.

2.4.3 Pemeliharaan Tanaman Murbei


Pemeliharaan tanaman murbei membutuhkan beberapa tahap, yaitu :
1. Penanaman, dilakukan setiap jarak 1 m2 agar menjaga tanaman tidak
terlalu rapat
2. Pembasmian hama, dilakukan dengan menyemprot tanaman murbei
dengan insektisida agar terhindar dari serangan hama.
3. Penyiangan, maksudnya untuk membuang tanaman penggangu.
4. Pendagiran, dilakukan untuk menggemburkan tanah dan dilakukan 3 bulan
sekali
5. Pemupukan, dilakukan setelah pemangkasan awal atau pertengahan
musim hujan
6. Pemangkasan, dilakukan setelah umur tanaman 9 – 12 bulan yang terdiri
dari :
a. Pemangkasan rendah : 10 – 30 cm dari permukaan tanah
b. Pemangkasan sedang : 50 – 100 cm dari permukaan tanah
c. Pemangkasan tinggi : 120 – 150 cm dari permukaan tanah

Dalam pembuatan kebun murbei yang baik perlu diperhatikan :


1. Waktu penanaman yang tepat, hubungannya dengan
musim hujan

18
2. Luas areal yang akan ditanami, hubungannya dengan
rencana pemeliharaan ulat/jumlah box ulat sutera
3. Jenis murbei yang unggul, hubunganny dengan produksi
daun
BAB III
DATA PENGAMATAN

3.1 Pengolahan Bahan Baku


a. Telur Ulat sutera dikirim dari Candiroto (Jawa Tengah) yang dikemas
dalam box. Didalam satu box tersebut terdiri dari 25.000 butir telur.
b. Tahap-tahap perkembangan sutera dikenal dengan nama “instar”.
Perkembangan sutera dari mulai penetasan telur sampai menjadi kokon melalui 5
instar, yaitu :
 Instar 1
 Hari ke - 1
 Memasang jaring ulat kecil dikotak penetasan.
 Setelah telur menetas, dilakukan desinfeksi dan dibiarkan selama 15
menit, setelah itu ulat diberi makan daun murbei yang diiris sampai
halus.
 Pemberian pakan dilakukan 3 kali yaitu pada jam 07.00, 12.00, dan
17.00
 Hari ke – 2
 Dilakukan desinfeksi tubuh ulat dan dibiarkan selama 15 menit,
setelah itu ulat diberi makan daun murbei yang diiris sampai halus.
 Hari ke – 3
 Dilakukan desinfeksi tubuh ulat dan dibiarkan selama 15 menit,
setelah itu ulat diberi makan daun murbei yang diiris sampai halus.
 Hari ke – 4
 Dilakukan desinfeksi tubuh ulat dan dibiarkan selama 15 menit,
setelah itu ulat diberi makan daun murbei yang diiris sampai halus
 Membersihkan kotoran ulat dan sisa pakan.

19
 Hari ke – 5
 Memasuki masa tidur, ulat dibiarkan tidur dan diberi
(ditaburi) campuran kapur dan kaporit dengan perbandingan 10 : 1
sendok makan, untuk pergantian dan penguatan kulit.

 Instar 2
 Hari ke – 1
 Dilakukan desinfeksi tubuh ulat dan dibiarkan selama 15 menit,
setelah itu ulat diberi makan daun murbei yang diiris sampai halus.
 Hari ke – 2
 Dilakukan desinfeksi tubuh ulat dan dibiarkan selama 15 menit,
setelah itu ulat diberi makan daun murbei yang diiris sampai halus.
 Hari ke – 3
 Dilakukan desinfeksi tubuh ulat dan dibiarkan selama 15 menit,
setelah itu ulat diberi makan daun murbei yang diiris sampai halus
 Membersihkan kotoran ulat dan sisa pakan.
 Hari ke – 4
 Memasuki masa tidur, ulat dibiarkan tidur dan diberi (ditaburi)
campuran kapur dan kaporit dengan perbandingan 10 : 1 sendok
makan, untuk pergantian dan penguatan kulit.

 Instar 3
 Hari ke – 1
 Dilakukan perluasan tempat dan desinfeksi tubuh ulat, setelah itu ulat
diberi makan daun murbei yang diiris sampai halus.
 Hari ke – 2
 Dilakukan perluasan tempat dan desinfeksi tubuh ulat, setelah itu ulat
diberi makan daun murbei yang diiris sampai halus.
 Hari ke – 3
 Membersihkan kotoran ulat dan sisa pakan.

20
 Dilakukan desinfeksi tubuh ulat dan dibiarkan selama 15 menit,
setelah itu ulat diberi makan daun murbei yang diiris sampai halus
 Hari ke – 4
 Dilakukan perluasan tempat dan desinfeksi tubuh ulat, setelah itu ulat
diberi makan daun murbei yang diiris sampai halus.

 Hari ke – 5
 Memasuki masa tidur, ulat dibiarkan tidur dan diberi (ditaburi)
campuran kapur dan kaporit dengan perbandingan 10 : 1 sendok
makan, untuk pergantian dan penguatan kulit.

 Instar 4
 Hari ke – 1
 Pemberian pakan ulat harus cukup, pakan ulat diambil dengan
dipangkas dan dipilih daun yang lebih tua
 Hari ke – 2
 Desinfeksi tubuh ulat dengan memakai kaporit 5 %
 Pemberian pakan ulat harus cukup, pakan ulat diambil dengan
dipangkas dan dipilih daun yang lebih tua
 Hari ke – 3
 Pemberian pakan ulat harus cukup, pakan ulat diambil dengan
dipangkas dan dipilih daun yang lebih tua selain itu disertakan ranting
 Hari ke – 4
 Membersihkan kotoran ulat dan sisa pakan.
 Ulat memasuki masa tidur
 Hari ke – 5
 Memasuki masa tidur, ulat dibiarkan tidur dan diberi (ditaburi)
campuran kapur dan kaporit dengan perbandingan 10 : 1 sendok
makan, untuk pergantian dan penguatan kulit.
 Hari ke – 6

21
 Tidur di hari kedua, diberi (ditaburi) campuran kapur dan kaporit
dengan perbandingan 10 : 1 sendok makan, untuk pergantian dan
penguatan kulit.
 Menyiapkan pakan yaitu daun yang lebih tua dan ranting pada sore
hari untuk pakan esok pagi.

 Instar 5
 Hari ke – 1
 Desinfeksi tubuh ulat dengan memakai kapur dan kaporit 5 %
 Pemberian pakan ulat harus cukup, pakan ulat diambil dengan
dipangkas dan dipilih daun yang lebih tua
 Hari ke – 2
 Ulat dibagi dua tingkat atas dan bawah dan kotoran atau sampah yang
menumpuk dibuang.
 Pemberian pakan ulat harus cukup, pakan ulat diambil dengan
dipangkas dan dipilih daun yang lebih tua
 Hari ke – 3
 Desinfeksi tubuh ulat dengan memakai kapur dan kaporit 5 %, lalu
dibiarkan 20 menit sebelum diberi pakan
 Pemberian pakan ulat harus cukup, pakan ulat diambil dengan
dipangkas dan dipilih daun yang lebih tua
 Hari ke – 4
 Sisa pakan atau ranting dan kotoran ulat tidak perlu dibersihkan
sampai ulat mengokon
 Pemberian pakan ulat harus cukup, pakan ulat diambil dengan
dipangkas dan dipilih daun yang lebih tua
 Hari ke – 5
 Pemberian pakan ulat harus cukup, pakan ulat diambil dengan
dipangkas dan dipilih daun yang lebih tua
 Hari ke – 6

22
 Pemberian pakan ulat harus cukup, pakan ulat diambil dengan
dipangkas dan dipilih daun yang lebih tua
 Hari ke – 7
 Pemberian pakan ulat harus cukup, pakan ulat diambil dengan
dipangkas dan dipilih daun yang lebih tua

Setelah melalui instar-instar tersebut ulat mengokon, dan setelah 4 hari


serifame diangkat lalu sampah dibuang hingga bersih. Panen kokon yang tipis,
jelek, dan busuk harus dibuang. Kokon yang sudah dipanen jangan ditumpuk
harus disebarkan dan diangin-anginkan karena kokon berkeringat. Waktu yang
dibutuhkan proses telur sampai menjadi kokon adalah sekitar 27 hari. Hasil
maksimal yang diperoleh dari 1 box telur sutera adalah 40 kg, dan setiap kokon
dapat menghasilkan sutera dengan panjang kurang lebih 800-900 m. Jenis pakan /
daun murbei yang digunakan pada perternakan ini adalah jenis Multi dan
Chatayana. Untuk lebih jelasnya tentang takaran pemberian pakan, luas tempat
ulat dapat dilihat pada lampiran 1.

3.2 Proses Pemintalan


3.2.1 Persiapan Proses Pemintalan
 Mempersiapkan alat dan bahan, seperti kompor yang akan
memanaskan air sampai dengan 80 0C, Haspel, dll
 Menimbang berat jumlah kokon yang akan direeling, baik kokon basah
ataupun kering.
 Merebus koon setiap 500 gram dengan suhu sekitar 80 0C. Dalam hal
ini koon harus terendam dalam air dengan tujuan agar air dapat meresap
kedalam kokon secara merata, dan zat serisin dalam kokon akan memuai
sehingga kepompongnya mengembang.
 Meniriskan kokon yng telah direbus kurang lebih 10 menit kemudian
disiram dengan air dingin.

23
 Kokon - kokon yang telah direbus kurang lebih 10 menit kemudian
disiram dengan air dingin.
 Kokon – kokon direbus lagi dengan suhu kurang lebih 100 0C, dalam
hal ini koon tidak boleh rusak atau menjadi bubur. Lamanya perebusan sekitar
15 menit (tergantung kualitas kokon) sampai ujung filamennnya keluar.
 Memasukkan kokon tadi ke bak pencari ujung benang. Ujung kokon
yang tidak beraturan diambil sampai dari 1 kokon hanya terdapat 1 filamen.
Air yang digunakan dalam bak adalah air hangat.
3.2.2 Proses Reeling
 Menentukan nomer benang sutera yang akan dibuat
 Didalam bak reeling, filamen – filamen yang dihasilkan dari 20 kokon
digabungkan menjadi single filamen (raw silk)
 Menarik single filamen tadi dan menggulungnya direel atau haspel sampai
ketebalan tertentu. Standar ketebalan benang yang ada dihaspel kurang lebih 2
Ons. Kualitas benang mulai dari pertama, pertengahan sampai akhir proses ini
harus tetap terdiri dari 20 filamen dengan range 10 %.

3.2.3 Proses Re-reeling


Tujuan dari proses ini yaitu :
 Menggulung benang dari kondisi basah ke kondisi kering
 Menarik dan menggulung benang ke dalam diameter haspel yang lebih besar
dengan standar diameter gulungan benang kurang lebih 50 cm.

3.2.4 Proses Produksi


 Benang yang ada dihaspel besar direndam dalam air panas agar serisin
yang ada di dalam benangnya memuai, sehingga filamen yang satu dan yang
lainnya tidak saling menempel.
 Mencari ujung benang yang sebenarnya, karena banyaknya benang yang
putus dan bila salah menarik maka benang yang dihasilkan akan berbulu.
 Haspel diberdirikan agar pada saat benang ditarik dari haspel tidak ada
gesekan yang membuat benang itu putus.

24
 Sebelum benang dilepas, benang sutera dari tiap haspel dianyam dengan
benang pengayam agar susunan benang suteranya tidak berubah.
 Ujung benang penganyam bawah dan atas harus diamyam bersamaan, agar
pada saat benang ditarik di mesin Winding ujung benang sutera atas dan
bawahnya tidak hilang (mudah dicari)
 Setelah dianyam benang sutera tersebut dianginkan kurang lebih satu hari.
Pada saat penganginan tidak boleh langsung terkena sinar matahari agar
kilaunya tidak berkurang.
 Menimbang kembali benang sutera yang telah diproses untuk mengetahui
rendemen benang.
Catatan :
Ketebalan benang harus diperhatikan dari awal sampai akhir proses tetap 40
denier. Gramase benang persatu ukuran yaitu 1 – 2 Ons. Untuk nomer benang
20 – 21 denier gramasnya 1 Ons. Untuk 40 denier keatas maksimal 2 Ons.

3.2.5 Proses Winding


 Benang sutera dari hasil proses produksi dikelos dalam bentuk bobin
kelos.
 Kemudian benang tersebut dirangkapkan (doubling), dengan jumlah
rangkapan 2, 3, atau 6 tergantung jumlah pesanan. Jumlah rangkapan pada
awal proses hingga akhir proses harus sama.
 Benang yang telah dirangkapkan lalu digintir dan TM berkisar antara 100,
200, dan 300. Standar Tm kurang lebih 250.

3.2.6 Proses Pemantapan


 Pengukusan (steam) untuk menetapkan hasil gintiran pada benang sutera.
Waktu pengukusan maksimal 15 menit.
 Benang ditarik dan digulung dalam bentuk streng pada proses re-reeling.
 Benang sutera dianyam lagi dengan benang penganyam seperti pada
proses reeling awal, kemudian benang diangkat dan dikeluarkan dari haspel
besar.

25
 Menimbang benang sutera hasil proses per Kg dan siap untuk dijual.
Harga tergantung TM dan ketebalan benang. Semakin rendah TM, maka
harganya semakin murah dan semakin tipis benang maka harganya semakin
mahal.

BAB IV
PENUTUP

4.1 Diskusi
 Pemintalan sutera adalah suatu proses pemintalanyang
berkesinambungan antara beberapa proses kegiatan yang saling mempengaruhi
terutama pada mutu benang yang dihasilkan. Proses tersebut meliputi :
a. Pertanian Murbei
b. Pemeliharaaan Ulat Sutera
c. Pemintalan
Ketiga proses diatas sangat berkaitan satu sama lain, jika murbei yang dihasilkan
pertanian baik maka pemeliharaan ulat sutera pun menjadi baik dan lancar,
sehingga menghasilkan kokon yang baik pula. Jika kokon yang dihasilkan baik
maka benang yang dihasilkan dari pemintalan kokon akan baik pula.
 Pemberian pakan pada tahapan instar ulat sutera juga bertahap
dan disesuaikan dengan kebutuhan ulat tersebut dari mulai yang muda sampai
yang tua.
 Proses pemeliharaan ulat sutera dipengaruhi oleh beberapa
faktor, diantaranya :
a. Lokasi pemeliharaan

26
b. Sarana pemeliharaan
c. Jumlah ulat yang diternakan
d. Sistem sterilisasi ruangan pemeliharaan
e. Pelayanan terhadap ulat yang dipelihara
f. Tenaga kerja
 Lokasi atau lingkungan pemeliharaan ulat harus benar-
benar diperhatikan yaitu dengan lingkungan yang tenang tidak ada gangguan
suara bising yang dapat menyebabkan terganggunya proses pengokonan.
 Pemasakan pada proses reeling dilakukan dengan
menggunakan air panas dengan suhu kurang lebih 80 0C, agar kokonnya
mengembang sehingga memudahkan dalam proses penyikatan yang bertujuan
untuk mencari ujung benang.
 Benang dalam bentuk streng hasil proses reeling awal
harus dianginkan tapi diusahakan agar tidak terkena sinar matahari langsung, ini
dilakukan agar daya kilau pada benang sutera tidak berkurang.
 Satu helai filamen dari sebuah kokon memiliki
kehalusan kurang lebih 2 denier.
 Data pengamatan yang diperoleh mengenai faktor –
faktor penunjang pemeliharaan ulat seperti suhu dan kelembaban hanya
berdasarkan pada perkiraan dan pengalaman pemelihara, karena sistem
pemeliharaannya masih cukup sederhana.

4.2 Kesimpulan
Sutera adalah serat yang diperoleh dari sejenis serangga yang disebut
lepidoptera. Serat sutera berbentuk filamen yang dihasilkan dari larva ulat sutera
waktu membentuk kepompong. Spesies utama dari ulat sutera yang dipelihara untuk
menghasilkan serat sutera alam adalah Bombyx mori.
Pemintalan sutera adalah suatu proses pemintalan yang berkesinambungan
antara beberapa proses kegiatan yang saling mempengaruhi mutu benang satu sama
lain. Proses-proses itu meliputi pertanian murbei, pemeliharaan ulat dan
pemintalannya.

27
Sumber makanan untuk ulat sutera berupa tanaman murbei, dimana pemberian
makanan harus dilakukan dengan tepat, baik mengenai pemberian makanan, jumlah
maupun jenis murbei yang diberikan.
Proses pengolahan bahan baku dimulai sejak sutera berupa telur sampai
menjadi kokon. Dimana dalam hal ini terdiri dari 5 tahapan (instar). Sedangkan kokon
dibentuk oleh ulat sutera yang menghasilkan serat sutera yang bekerja dari dalam.
Lapisan demi lapisan sehinggga membentuk lapisan pelindung. Kokon yang
terbentuk kemudian dijual dengan harga yang tergantung dari kandungan air
didalamnya.
Proses peminatalan dimulai dari proses persiapan, reeling, re-reeling, winding
sampai proses pemantapan dan akhirnya dapat dijual ke pasaran.

DAFTAR PUSTAKA

 Okay Rukaesih, S.Teks, dkk. Petunjuk Praktis REELING KOKON


SUTERA, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Tekstil, 1990/1991

Nara Sumber
Aman Sahuri
Alamat : Jl. Pembangunan No.159 Garut
Tlp 541423

28

Anda mungkin juga menyukai