A. PENDAHULUAN
Trauma termal adalah kerusakan kulit (dapat disertai kerusakan jaringan dibawahnya) yang
disebabkan oleh perubahan suhu. Trauma termal dapat berupa luka bakar (combustio), karena
bahan kimia (cedera kimia), karena aliran listrik (electric trauma), karena dingin (sengatan dingin
dan frostnip). Luka bakar merupakan trauma yang cukup sering ditemui. Jenis yang berat
memperlihatkan morbiditas dan derajat cacat yang relatif tinggi dibandingkan dengan cedera oleh
sebab lain. Karena morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi sehingga memerlukan penanganan
yang intensif dari awal sampai dengan fase lanjut.
Penatalaksanaan yang cepat dan tepat diperlukan untuk mencegah hilangnya nyawa.
Berbagai skala klasifikasi digunakan untuk menentukan tingkat keparahan luka bakar, yang berguna
untuk menentukan sumber daya yang diterapkankan dan untuk pengumpulan statistik. Penilaian
awal sangat penting dalam menentukan tingkat cedera dan apa yang akan diperlukan untuk
mengelola cedera, dan mengobati ancaman langsung.
B. PENYEBAB
C. FAKTOR RESIKO
Data yang berhasil dikumpulkan oleh National Burn Information Exchange menyatakan 75% semua
kasus injury luka bakar, terjadi di dalam lingkungan rumah. Klien dengan usia lebih dari 70 tahun
berisiko tinggi untuk terjadinya luka bakar.
1. Kulit
Perubahan patofisiologik yang terjadi pada kulit segera setelah luka bakar tergantung
pada luas dan ukuran luka bakar. Untuk luka bakar yang kecil (smaller burns), reson tubuh
bersifat lokal yaitu terbatas pada area yang mengalami injury. Sedangkan pada luka bakar yang
lebih luas misalnya dari total prmukaan tubuh (TBSA: total body surface area) atau lebih besar,
maka respon tubuh terhadap injury dapat bersifat sistemik dan sesuai dengan luasnya injury.
2. Sistem kardiovaskuler
Segera setelah injury luka bakar, dilepaskan substansi vasoaktif (cathecholamine,
histamin, serotonin, leukotrienes dan prostaglandin) dari jaringan yang mengalami injury.
Substansi-substansi ini menyebabkan meningkatnya permeablilitas kapiler sehingga plasma
merembes ke dalam sekitar jaringan. Injury panas yang secara langsung mengenai pembuluh
darah akan lebih meningkatakan permeabilitas kapiler. Injury yang langsung mengenai membran
sel menyebabkan sodium masuk dan potassium keluar dari sel. Secara keseluruhan akan
menimbulkan tingginya tekanan osmotik yang menyebabkan meningkatnya cairan intraselular
dan interstisial dan yang dalam keadaan lebih lanjut menyebabkan kekurangan volume cairan
intervaskuler.
Luka bakar yang luas menyebabkan edema tubuh general baik pada area yang mengalami
luka maupun jaringan yang tidak mengalami luka bakar dan terjadi penurunan sirkulasi volume
darah intravaskuler. Denyut jantung meningkat sebagai respon terhadap pelepasan
cathecolamin dan terjadinya hipovolemia relatif, yang mengawali turunnya cardiac output.
Kadar hematorit meningkat yang menunjukkan hemokonsentrasi dari pengeluaran cairan
intravaskuler.
Disamping itu pengeluaran cairan secara evaporasi melalui luka terjadi 4-20 kali lebih
besar dari normal. Sedangkan pengeluaran cairan tubuh yang normal pada orang dewasa
dengan suhu tubuh normal perhari adalah 350 ml. Keadaan ini dapat mengakibatkan penurunan
pada perfusi organ.
Jika ruang intravaskuler tidak diisi kembali dengan cairan intravena maka syock
hipovolemik dan ancaman kematian bagi penderita luka bakar yang luas dapat terjadi kurang
lebih 18- 36 jam setelah luka bakar, permeabilitas kapiler menurun, tetapi tidak mencapai
keadaan normal sampai 2 atau 3 minggu setelah injury. Kardiac output kembali normal dan
kemudian meningkat untuk memenuhi kebutuhan hipermetabolik tubuh kira-kira 24 jam setelah
luka bakar. Perubahan pada kardiac output ini terjadi sebelum kadar volume sirkulasi intravena
kembali normal. Pada awalnya terjadi kenaikan hematokrit yang kemudian menurun sampai di
bawah normal dalam 3-4 hari setelah luka bakar karena kehilangan sel darah merah kerusakan
yang terjadi pada waktu injury. Tubuh kemudian mereabsorsi cairan edema dan diuresis cairan
dalam 2-3 minggu berikutnya.
4. Sistem imun
Fungsi sistem imun mengalami depresi. Depresi pada aktivitas lymphocyte, suatu
penurunan dalam produksi immunoglobulin, supresi aktivitas complement dan perubahan/
gangguan pada fungsi neutropil dan macrophage dapat terjadi pada klien yang mengalami luka
bakar yang luas. Perubahan-perubahan ini meningkatnya resiko terjadinya infeksi dan sepsis
yang mengancam kelangsungan hidup klien.
5. Sistem respiratory
Dapat mengalami hipertensi arteri pulmoner, mengakibatkan penurunan kadar oksigen
arteri dan “lung compliance”.
Smoke Inhalation, suatu keadaan menghisap asap dapat mengakibatkan injuri pulmoner yang
seringkali berhubungan dengan injury akibat jilatan api. Kejadian injury inhalasi ini
diperkirakan lebih dari 30% untuk injuri yang diakibatkan oleh api. Manifestasi klinik yang
dapat diduga dari injury inhalasi meliputi adanya luka bakar yang mengenai wajah,
kemerahan dan pembengkakan pada oropharyng atau nasopharing, rambut hidung yang
gosong, agitasi atau kecemasan, tachipnoe, kemerahan pada selaput hidung, stridor,
wheezing, dyspnea, suara serak, terdapat carbon dalam sputum dan batuk. Broncoscopy dan
scaning paru dapat mengkonfirmasikan diagnosis. Patofisiologi pulmoner yang dapat terjadi
pada injuri inhalasi berkaitan dengan berat dan tipe asap atau gas yang dihirup.
Keracunan Carbon monoxida. CO merupakan produk yang sering dihasilkan bila suatu
substansi organik terbakar. Ia merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak
berasa, yang dapat mengikat haemoglobin 200 kali lebih besar dari oksigen. Dengan
terhirupnya CO secara reversibel berikatan dengan hemoglobin sehingga membentuk
carbonhemoglobin (COHb). Hipoksia jaringan dapat terjadi akibat penurunan secara
menyeluruh pada kemampuan pengantaran oksigen dalam darah. Kadar COHb dapat dengan
mudah dimonitor melalui kadar serum darah. Manifestasi dari keracunan CO adalah sebagai
berikut:
Penilaian awal harus dilakukan terutama di tempat kejadian yaitu situasi keamanan
penolong. Hal-hal yang mengancam penderita dan penolong harus teridentifikasi segera. Penolong
tidak boleh memberikan pertolongan apabila petugas pemadam kebakaran belum menyatakan
aman untuk melakukan pertolongan. Apabila penderita sudah berhasil dibawa ke tempat yang
aman, proses pembakaran harus segera dihentikan untuk mencegah cidera lebih lanjut dan untuk
mengurangi terjadinya kerusakan jaringan.
Pada penilaian primary, perhatian terbesar ditujukan pada saluran napas (air way), termasuk
mendeteksi adanya tanda-tanda cidera inhalasi, seperti :
Luka bakar pada wajah dan bagian tubuh atas
Wajah atau bulu hidung yang terlihat gosong
Sputum carboneus
Suara serak, stridor
Luka bakar sekitar mulut dan hidung
Kemungkinan terjadinya keracunan asap, keracunan CO, dan cedera traktus respiratorik harus
dipikirkan apabila insiden ini terjadi pada ruang tertutup.
Pada penderita dengan trauma termal, kemungkinan terjadinya oksigenisasi yang tidak
adekuat dan sirkulasi yang buruk sangat tinggi. Untuk itulah penderita baik dalam keadaan sadar
maupun tidak sadar harus diberikan terapi oksigen dengan fraksi tinggi serta dilakukan pemantauan
terhadap jalan napas (air way) dan pernapasan (breathing) secara terus-menerus. Respon CO dan
Sianida terhadap oksigen dengan fraksi tinggi hampir 100%. Penderita dalam keadaan stabil dengan
refleks muntah yang baik serta air way yang bebas, harus tetap diberikan oksigen dan harus tetap
dimonitor. Tindakan definitif air way dapat dilakukan jika dibutuhkan berdasarkan indikasinya.
Pada penderita dengan penampakan hangus di seluruh bagian dada, kemampuan untuk
mengembangkan dinding toraks mungkin sangat terbatas. Keterbatsan ini mungkin disebabkan oleh
berkurangnya elastisitas jaringan yang terbakar, yang menyebabkan vulume tidal dan volume
penapasan semenit menjadi tidak adekuat. Sebagian kecil penderita yang mengalami ini dibutuhkan
insisi (escharotomy) yang dilakukan oleh petugas yang terlatih, jika petugas tidak terlatih untuk
melakukan tindakan ini, maka pemberian oksigen dengan konsentrasi tinggi harus dilakukan .
Penderita luka bakar yang disertai dengan cidera, dapat terjadi penurunan transpor oksigen
ke jaringan disebabkan oleh penurunan vulume darah di sirkulasi. Penurunan yang langsung
diakibatkan oleh luka bakar tidak akan terjadi segera segera setelah peristiwa, tetapi akan muncul
dalam 6-8 jam setelah kejadian. Syock yang segera terjadi setelah kejadian biasanya disebabkan
oleh cidera lain. Pengeloalaan terhadap kadaan hipovolemia ini meliputi cairan yang RL/ normal
saline. Penggantian cairan yang diberikan banyak formulanya, yang lazim digunakan dengan
penggunaan rumus Baxter.
Rumus Baxter:
Penanganan rasa sakit terhadap penderita kolaborasi dengan dokter dalam pemberian
analgetik untuk menghilangkan rsa nyeri. Kompres pada luka dengan menggunakan kain yang
lembab dan steril. Secara psikologis membuat penderita merasakan kenyamanan. Perawatan luka
bertujuan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut dan mencegah infeksi.
F. KESIMPULAN
Penanganan pada korban luka bakar sama degan pada penderita trauma lainnya dan dilakukan
scara sistematis. Air way merupakan hal terpenting pada semua korban luka bakar. Oksigenisasi
adekuat dengan konsentrasi tinggi sangat dibutuhkan. Penyebab utama terjadinya syock adalah
karena hipovolemia, untuk itu pemberian cairan pengganti harus dilakukan. Syock yang terjadi
sesaat setelah kejadian akibat dari cidera yang menyertainya bukan karena dari luka bakarnya.
Kondisi ini harus segera mengidentifikasi dan diatasi. Sebagian besar kasus cidera kimia
membutuhkan terapi irigasi dengan menggunakan air dalam jumlah besar untuk sistem
pengenceran konsentrasi zat kimia tersebut. Penderita luka bakar harus segera dikirim ke rumah
sakit dengan fasilitas yang memadi secepat mungkin. Hindari terjadinya hipotermi. Pada penderita
luka bakar yang disertai trauma multi sistem, maka penanganan pertama ditujukan pada trauma
tersebut dan efek sistemik yang ditimbulkan luka bakar, setelah itu baru ditujukan pada luka bakar
itu sendiri.