Anda di halaman 1dari 10

Prosiding Konferensi Nasional Pascasarjana Teknik Sipil (KNPTS 2010)

Bandung, 26 Mei 2010, ISBN 978-979-16225-5-4

KAJIAN PENANGANAN GEOMETRIK JALAN PADA


KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BABUL
PROVINSI SULAWESI SELATAN

Fadly Ibrahim1
1
Alumni Program Studi Magister Teknik Sipil, Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar,
Email: fadly_surur@yahoo.co.id

ABSTRAK
Terdapat 3 (tiga) alternatif penanganan yang diusulkan pada ruas Maros - Watampone
khusunya pada segmen yang melintasi Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
(TN Babul) yakni 1) metode cut-fill, 2) elevated bridge dan 3) terowongan. Dengan
menggunakan pendekatan Analisis Hirarki Proses (AHP), masing-masing alternatif dinilai
tingkat keterpilihannya berdasarkan kriteria manfaat, aspek lingkungan, ekonomis, biaya
pemeliharaan, keindahan bentuk, kemudahan pelaksanaan, dan waktu pelaksanaan.
Selanjutnya untuk menilai sensivitas ekonomi terhadap penanganan Ruas Maros –
Watampone berdasarkan alternatif terpilih, dilakukan kajian ekonomi berdasarkan
komponen biaya manfaat dari selisih nilai waktu, biaya operasional kendaraan (BOK) dan
biaya kecelakaan. Hasil analisis AHP menunjukkan bahwa alternatif penanganan geometrik
yang terpilih adalah sistem elevated bridge. Analisis ekonomi proyek juga menunjukkan
bahwa dengan alternatif tersebut, akan didapatkan biaya manfaat dari pengurangan nilai
waktu, BOK dan biaya kecelakaan sebesar Rp. 12.251 Milyar dengan nilai investasi
sebesar Rp. 820 Milyar. Hasil analisis sensivitas ekonomi menunjukkan bahwa pada kondisi
optimis (+25%) didapatkan nilai IRR 20,36% dan NPV Rp. 1.078 Milyar, sedangkan pada
kondisi pesimis didapatkan nilai IRR 18,06% dan NPV Rp. 563,881 Milyar.
Kata Kunci: Perbaikan geometrik, AHP, elevated bridge, Sensivitas Ekonomi

1. PENDAHULUAN
Ruas Maros – Watampone yang dibangun di masa Pemerintahan Belanda, pada kondisi sekarang
telah mengalami penurunan kinerja akibat volume kendaraan yang cenderung mengalami trend
pertumbuhan yang signifikan setiap tahunnya. Disamping itu tingginya kecelakaan lalu-lintas dan
rendahnya kenyamanan berlalu-lintas pada ruas tersebut, menjadi salah satu permasalahan yang
harus segera diatasi, karena hal ini tidak hanya berdampak pada terlambatnya proses dinamika
ekonomi wilayah, tapi lebih dari itu mengancam keselamatan jiwa pengguna jalan yang tentunya
tidak dapat diukur secara finansial (unlimited value). Berdasarkan data Ditlantas Polres Kabupaten
Maros, pada tahun 2007 s/d 2008 jumlah kecelakaan meninggal mencapai 50 orang.
Sebagai upaya untuk meningkatkan kinerja sekaligus meningkatkan kenyamanan dan keamanan
berlalu lintas pada ruas tersebut, akan dilakukan perbaikan geometrik jalan dengan menyesuaikan
standar-standar yang ada. Untuk tujuan tersebut, Direktorat Jenderal Bina Marga telah melakukan
serangkaian studi dan diskusi sejak tahun 2007 s/d 2009 dengan merekomendasikan 3 (tiga)
alternatif konstruksi pada ruas tersebut, yakni melakukan perbaikan geometrik dengan metode
konvensional (cut fill), elevated bridge dan terowongan.
Namun untuk mengimplementasikan alternatif pilihan tersebut terkendala sejumlah permasalahan,
diantaranya adanya potensi dampak terhadap lingkungan sekitar, dimana pada salah satu segmen
ruasnya berada pada kawasan konservasi Kawasan Taman Nasional dan Kawasan Cagar Budaya

A – 89
situs-situs purbakala. Dikhawatirkan bahwa alternatif penanganan yang dirancang dapat merusak
keberlanjutan ekosistem pada kawasan konservasi. Disamping itu kondisi topografi dan geologi
disekitar koridor eksisting juga menjadi aspek yang harus diperhatikan dalam pemilihan tipikal
konstruksi karena sangat berkaitan dengan teknik dan metode pelaksanaan konstruksi. Selain
aspek-aspek tersebut, pengembangan koridor Maros–Watampone juga dihadapkan pada besarnya
nilai investasi yang harus dialokasikan pemerintah.
Berdasarkan kompleksitas permasalahan tersebut dan sinergis dengan tuntutan good governance
yang menekankan pentingnya partisipasi publik dalam proses pembangunan (mulai pada tahap
perencanaan sampai pada tahap pengawasan), maka pelibatan masyarakat dan seluruh stakeholders
merupakan salah satu solusi untuk menguji tingkat kepentingan dari 3 (tiga) alternatif konstruksi
yang direkomendasikan. Menurut Purwanto (2001), perencanaan pembangunan partisipatif
merupakan pola pendekatan perencanaan pembangunan yang melibatkan peran serta masyarakat
pada umumnya bukan saja sebagai obyek tetapi sekaligus sebagai subyek pembangunan, sehingga
nuansa yang dikembangkan dalam perencanaan pembangunan benar-benar dari bawah (bottom-up
approach). Lebih lanjut purwanto mengatakan bahwa implementasi pembangunan partisipatif
harus mempertimbangkan banyak faktor. Untuk itu dalam rangka mengiplementasikan proses
kebijakan partisipatif tersebut dalam pemilihan tipikal konstruksi pada ruas Maros – Watampone,
maka harus mengakomodasi seluruh kepentingan yang ada. Untuk itu dibutuhkan pendekatan yang
dapat menilai setiap kriteria dan alternatif penanganan yang direkomendasikan. Salah satu
pendekatan yang tersedia adalah dengan menggunakan Analisis Hirarki Proses (AHP).
Mengingat besarnya biaya investasi yang akan dialokasikan, maka kajian selanjutnya adalah
mengukur sejauhmana alternatif terpilih memberikan manfaat yang besar terhadap masyarakat
sebagai pengguna jalan setelah dilakukan perbaikan geometrik, Manfaat tersebut dapat diukur dari
pengurangan Biaya Operasional Kendaraan (BOK), pengurangan waktu tempuh yang dikonversi
menjadi nilai waktu, dan pengurangan angka kecelakaan. Komponen biaya manfaat yang
didapatkan tersebut merupakan dasar untuk menilai kelayakan investasi terhadap alternatif yang
terpilih. Selain itu perlu dilakukan kajian tingkat sensivitas investasi terhadap kecenderungan
perubahan parameter investasi.

2. TINJAUAN PUSTAKA
Austroad (2002) dalam Departemen Perhubungan (2006) menjelaskan bahwa dari beberapa
penelitian dan pengkajian dilapangan dapat disimpulkan bahwa kecelakaan lalulintas dapat
dipengaruhi oleh faktor manusia, kendaraan, kondisi jalan dan lingkungan jalan, serta interaksi dan
kombinasi dua atau lebih faktor tersebut. Menurut Rudrokasworo, S.N dkk (2009) bahwa upaya
penurunan tingkat fatalitas kecelakaan pada daerah black spot adalah dengan melakukan perbaikan
infrastruktur secara terintegrasi melalui perbaikan geometrik.
Namun demkian perbaikan geometrik pada daerah spesifik seringkali berhadapan dengan potensi
dampak lingkungan. Pelaksanaan pembangunan maupun operasional infrastruktur dapat
mengganggu habitat fauna tertentu karena jalan dapat menjadi pembatas pergerakan binatang
sehingga wilayah jelajah binatang tertentu berkurang. Selain itu, jalan dapat membahayakan
migrasi beberapa hewan melata ataupun burung-burung yang mungkin akan mempengaruhi
populasi hewan-hewan tersebut (Puslitbang PU, 2005). Pendapat yang sama dijelaskan oleh
Morlok (1984) bahwa terdapat beberapa tipe dampak lingkungan yang memegang peranan penting
pada saat ini, yakni kebisingan, polusi udara, polusi air anah serta getaran. Rencana pembangunan
prasarana pada suatu lokasi harus memperhatikan kemungkinan adanya vegetasi asli dan vegetasi
langka yang dilindungi pada rencana lokasi pembangunan atau wilayah pengaruhnya. Keberadaan
vegetasi-vegetasi semacam ini dapat menjadi kendala bagi kelanjutan pembangunan apabila
diperkirakan akan timbul gangguan dari dampak pembangunan terhadap kelangsungan keberadaan
vegetasi-vegetasi tersebut dan tidak tersedia alternatif untuk mempertahankan keberadaannya.

A – 90
Oleh karena itu, pembangunan jalan yang berpotensi memberikan dampak negatif terhadap
perubahan kondisi ekosistem harus mengembangkan pilihan-pilihan konstruksi yang tepat secara
teknis tapi juga memberikan dampak yang minimal terhadap lingkungan. Menurut Binsar (2003)
kriteria umum pemilihan jenis konstruksi sangat luas dan termasuk juga ke dalamnya tinjauan
mengenai banyak serta jenis usaha atau manpower yang diperlukan untuk melaksanakan suatu
bangunan, juga jenis dan banyaknya alat yang diperlukan untuk melaksanakan suatu bangunan,
juga jenis dan banyak alat yang diperlukan serta lama waktu penyelesaian. Secara spesifik
Badriana (2009) menjelaskan bahwa semakin kecil dampak yang di timbulkan, maka konstruksi
yang dgunakan semakin baik.
Mengingat kompleksitas faktor yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan jenis konsturksi,
maka dibutuhkan metode yang tepat. Salah satu metode yang dapat digunakan mengakomodasi
kompleksitas faktor tersebut adalah metode Analisis Hirarki Proses (AHP). Menurut Hemanta dan
Xiao Hua (2008) bahwa AHP mengakomodasi ukuran-ukuran yang bersifat kualitatif dan
kuantitatif yang mempengaruhi keputusan melalui pendekatan hirarkis, dengan merinci masalah
keputusan kedalam suatu hirarki unsur-unsur keputusan yang saling berhubungan. Struktur
keputusan AHP merupakan suatu hirarki yang menentukan ukuran dan determinasi tingkat
kepentingan kriteria dan subkriteria melalui perbandingan berpasangan.
Efektifitas dan efesiensi proyek pembangunan infrastruktur dinilai dari seberapa besar manfaat
yang diberikan dengan biaya investasi yang rendah. Untuk itu dibutuhkan kajian kelayakan
ekonomis dan uji sensivitas terhadap proyek yang direncanakan. Komponen manfaat yang
didapatkan dari perbaiakan jalan adalah peningkatan kecepatan yang kemudian berpengaruh pada
penurunan Biaya Operasional (BOK), pengurangan waktu tempuh (Puslitbang PU, 2005).

3. METODE PENELITIAN
Kajian penanganan geometrik ruas Maros – Watampone dilakukan beberapa tahap dengan metode
pendekatan yang berbeda, sebagai berikut:
Tahap pertama, menentukan bobot setiap usulan alternatif penanganan geometrik secara
komprehensif dengan menggunakan Analisis Hirarki Prioritas (AHP). Untuk keperluan ini,
dibutuhkan adanya informasi bobot relatif antar kriteria agar diperoleh perbandingan bobot antar
kriteria (weighting) yang ternormalisasi dan secara fair akan menentukan tingkat kepentingan antar
variabel kriteria yang dipertimbangkan. Data pembobotan ini diperoleh dengan menganalisis hasil
survey wawancara, di mana responden yang dipilih dihadapkan pada pertanyaan yang mengarah
kepada perbadingan tingkat kepentingan antar kriteria. Interpretasi dari tingkat kepentingan
kriteria diilustrasikan pada tabel 1.

Tabel 1. Skala penilaian antar kriteria (Saaty, 1988)


Tingkat
Definisi Penjelasan
kepentingan
1 Sama Penting Sama pentingnya dibanding yang lain.
3 Relatif lebih penting Moderat pentingnya dibanding yang lain.
5 Lebih Penting Kuat pentingnya dibanding yang lain.
7 Sangat Penting Sangat kuat pentingnya dibanding yang lain.
9 Jauh Lebih Penting Ekstrim pentingnya dibanding yang lain.
2, 4, 6, 8 Nilai Antara Nilai di antara dua penilaian yang berdekatan.
Kebalikan Jika elemen i memiliki salah satu angka
di atas ketika dibandingkan elemen j, maka
Kebalikan
memiliki nilai kebalikannya ketika dibandingkan
elemen i.

A – 91
Karena sangat sulit mendapatkan responden yang expert, maka yang menjadi responden dalam
penelitian ini tidak mewakili keseluruhan populasi. Responden terdiri dari Pegawai Balai Besar
Pelaksana Jalan Nasional (BBPJN) Makassar, Tenaga Ahli Kontraktor, Tenaga Ahli Konsultan,
dan Akademisi. Masing-masing kelompok responden terdiri dari 5 (lima) orang partisipan.
Tahap kedua, menentukan komponen biaya manfaat yang didapatkan dari alternatif terpilih. Untuk
menghitung Biaya Operasional Kendaraan (BOK) digunakan metode Highway Development and
Management IV dengan asumsi harga berlaku dan parameter geometrik yang diasumsikan
berdasarkan simulasi rancangan awal. Untuk komponen nilai waktu dihitung dengan
menggunakan metode Integrated Road Manajemen System (IRMS), sedangkan untuk menghitung
biaya kecelakaan digunakan pendekatan The Gross Output (Human Capital Approach).
Tahap ketiga, menghitung kelayakan investasi dengan menggunakan kriteria NPV, IRR, dan BCR,
sedangkan uji sensivitas kelayakan dihitung dengan berdasarkan skenario kondisi optimis (biaya
manfaat naik 25% dan biaya investasi turun 25%), dan skenario kondisi pesimis (biaya manfaat
turun 25% dan biaya investasi naik 25%).

4. DESKRIPSI TN BABUL DAN KONDISI EKSISTING GEOMETRIK JALAN

Gambaran Umum Wilayah TN Babul


Pada tanggal 18 Oktober 2004 Menteri Kehutanan menandatangani dan mengeluarkan keputusan
Nomor : 398/Menhut-II/2004 tentang Perubahan Fungsi Cagar Alam, Taman Wisata Alam, Hutan
Lindung, Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Produksi Tetap menjadi Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung (TN Babul) seluas ± 43.750 ha yang terletak di Kabupaten Maros dan
Kabupaten Pangkep Provinsi Sulawesi Selatan, Kawasan TN Babul dibagi ke dalam dua
ekosistem utama, yaitu ekosistem hutan di atas batuan karst (forest over limestone/ hutan di atas
batu gamping) atau lebih dikenal dengan nama ekosistem karst dan ekosistem hutan dataran
rendah. Batas kedua tipe ekosistem ini sangat jelas karena hamparan batuan karst yang berdinding
terjal dengan puncak menaranya yang relatif datar, sangat berbeda dengan topografi dataran
rendah yang mempunyai topografi datar sampai bergunung.
Pada kawasan TN Babul, terdapat dua lokasi ekosistem karst yang saling terpisah, yaitu di
wilayah Maros - Pangkep pada bagian barat taman nasional, dan di ujung Utara, yakni di Wilayah
Mallawa. Para ahli geologi membedakan kedua kelompok karst ini, yakni yang pertama dikenal
dengan kelompok Pangkajene dan yang kedua disebut kelompok pegunungan bagian Timur.
Kedua lokasi ini merupakan wilayah penyebaran vegetasi bukit karst (vegetasi bukit kapur) dan
lainnya merupakan areal penyebaran vegetasi hutan dataran rendah.
Geomorfologi karst tersebut berbentuk karst menara (pada beberapa referensi disebut dengan The
Spectacular Tower Karst) satu-satunya di Indonesia dan merupakan landsekap karst terbesar kedua
di dunia. Seperti pada umumnya kawasan karst, ekosistem karst TN Babul memiliki sangat banyak
gua dengan ornamen stalagtit dan stalagmit serta ornamen endokarst lainnya. Pada kawasan ini
terdapat banyak gua yang juga merupakan situs purbakala. Kawasan TN Babul juga merupakan
habitat berbagai jenis flora dan fauna endemik sulawesi.

Kondisi Eksisting Geometrik


Ruas Maros – Watampone merupakan jalan propinsi dengan panjang 144 Km. Secara lokal ruas
ini merupakan ruas yang menghubungkan antara Kota Makassar dengan Kabupaten Bone, dan
secara regional merupakan akses yang menghubungkan antara Provinsi Sulawesi Selatan dengan
Provinsi Sulawesi Tenggara. Urgensi ruas Maros – Watampone terhadap interaksi regional
Sulawesi ditandai oleh tingkat pergerakan kendaraan yang mencapai 3000 kend/hari. Terdapat 3
(tiga) segmen black spot di sepanjang ruas tersebut, salah satu diantaranya berada di Kawasan
Konservasi TN Babul dengan panjang lintasan ± 10 km.

A – 92
Hasil survey geometrik yang dilakukan oleh PT.Yodya Karya pada tahun 2009, menunjukkan
bahwa kondisi alignement vertical dan horizontal pada segmen black spot tidak memenuhi standar
SNI, yang ditandai banyaknya lengkung horizontal yang radiusnya sangat kecil yakni 13 meter (<
R min 50 meter) dengan jarak pandang yang terbatas, kondisi kelandaian lebih besar 17% (> g
max 10%), panjang kritis pada grad 17% > 250 meter, serta kecepatan rata-rata kendaraan
mencapai 4,6 km/jam (< 40 km/jam).

Gambar 1. Kondisi eksisting geometrik jalan pada kawasan TN Babul

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hirarki Pemilihan Alternatif Konstruksi Penanganan Geometrik


Untuk memilih alternatif penanganan yang mengakomodasi seluruh aspek yang dipertimbangkan,
maka perlu dikonstruksi hirarki pengambilan keputusan seperti yang diskemakan pada gambar 2.
Pada puncak pohon hirarki merupakan tujuan yang ingin dicapai, level selanjutnya merupakan
kriteria atau ukuran untuk menilai alternatif yang diusulkan, dan level terakhir merupakan
alternatif pilihan.

Gambar 2. Hirarki pemilihan alternatif penanganan geometrik

A – 93
Setelah dilakukan analisis dengan menggunakan bantuan perangkat expert choice ver 11,5
terhadap matriks perbandingan berpasangan persepsi responden, didapatkan angka inkonsistensi
sebesar 0,06 (< 0,10) hal ini mengindikasikan bahwa preferenasi responden terhadap kriteria
pemilihan tipikal konstruksi cukup konsisten. Selanjutnya bobot masing-masing kriteria dan
alternatif dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 2. Bobot kriteria dan alternatif
Bobot Alternatif
Kriteria Bobot Global Inconsistency
Elevated Bridge Cutfill Terowongan
Manfaat 0,276 0,400 0,400 0,200 0,000
Lingkungan 0,263 0,700 0,162 0,068 0,050
Teknologi 0,128 0,779 0,079 0,143 0,009
Ekonomis 0,091 0,280 0,627 0,094 0,080
Biaya Konstruksi 0,084 0,265 0,672 0,063 0,030
Biaya Pemeliharaan 0,050 0,300 0,600 0,100 0,000
Artistik 0,042 0,773 0,139 0,088 0,050
Kemudahan 0,034 0,167 0,740 0,094 0,010
Waktu 0,033 0,188 0,731 0,081 0,060
Inconsistency 0,060 0,486 0,280 0,234
0,05
Prioritas 1 2 3

Terpilihnya kriteria manfaat sebagai kriteria dominan dalam pemilihan tipikal konstruksi, didasari
atas pertimbangan bahwa penanganan goemtrik pada ruas Maros – Watampone harus memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya untuk masyarakat, manfaat tersebut dapat berupa peningkatan
mobilitas masyarakat sehingga dapat mempengaruhi peningkatan kesejahteraan masyarakat,
sekaligus secara makro dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah. Disamping itu
manfaat yang lain yang sama pentingnya adalah adanya peningkatan keamanan lalu-lintas dan
kenyamanan berlalu-lintas. Sedangkan terpilihnya kriteria lingkungan sebagai kriteria dengan
bobot prioritas kedua, mencerminkan bahwa kegiatan penanganan geometrik pada ruas Maros –
Watampone harus memperhatikan keberlangsungan lingkungan ekosistem yang berada disekitar
koridor. Hal ini penting karena disekitar koridor terdapat kawasan konservasi TN Babul. Kriteria
dominan selanjutnya adalah kriteria teknologi yang terkait dengan sejauhmana alternatif
konstruksi yang diusulkan mampu menangani permasalahan geometrik yang ada. Selanjutnya
adalah ekonomis, biaya konstruksi, dan biaya pemeliharaan, hal ini terkait dengan pembiayaan
konstruksi yang harus dialokasikan baik pada masa konstruksi maupun pasca konstruksi. Kriteria
berikutnya adalah kriteria artistik, kriteria ini menjadi pertimbangan karena diharapkan alternatif
konstruksi yang diusulkan memiliki keserasian dengan lansekap kawasan konservasi. Sedangkan
kriteria waktu pelaksanaan dan kemudahan pelaksanaan memiliki tingkat kepentingan yang
cenderung sama. Kondisi ini mencerminkan bahwa masing-masing tipikal konstruksi memiliki
kecenderungan waktu pelaksanaan dan tingkat kesulitan yang relatif sama.
Hasil analisis sintesis terhadap bobot kriteria dan bobot alternatif mengindikasikan bahwa dari 3
(tiga) alternatif yang diusulkan, konstruksi elevated bridge memiliki bobot prioritas tertinggi
yakni 0,486, kemudian tipikal cut fill dengan bobot prioritas 0,280, dan yang terendah adalah
kontruksi terowongan dengan bobot prioritas 0,234.
Aspek manfaat yang menjadi pertimbangan utama pemilihan alternatif konstruksi memberikan
kontribusi manfaat yang hampir sama terhadap masing-masing alternatif konstruksi, namun
demikian elevated bridge merupakan alternatif yang terbaik diantara alternatif lainnya. Dengan
memperhatikan posisi segmen geometrik sulit (black spot) yang berada di Kawasan Konservasi
Taman Nasional, maka pilihan konstruksi elevated bridge sebagai alternatif penanganan geometrik
sangat tepat karena tidak mengubah bentang alam dan tidak memotong habitat satwa dan tetap
memberikan ruang yang bebas bagi burung-burung yang terdapat di sekitar Kawasan Konservasi.
Apabila dibandingkan dengan alternatif terowongan dan cut fill, keduanya sangat berpotensi

A – 94
mengubah bentang alam dan merusak ekosistem pada kawasan konservasi, disamping itu dapat
merusak eksistensi situs peninggalan prasejarah. Pada dasarnya amanat UU No. 5/1990 tentang
Sumber Daya Hayati dan UU No. 5/1992 tentang Cagar Budaya hanya mentoleransi pemanfaatan
lahan pada kawasan konservasi dan cagar budaya untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan
teknologi, budaya dan wisata alam terbatas, serta budidaya. Namun diantara 3 (tiga) alternatif yang
diusulkan alternatif elevated bridge yang tidak memberikan dampak kerusakan yang signifikan
terhadap kawasan konservasi, dan secara hukum pemanfaatan lahan kawasan konservasi untuk
konstruksi pilar/abutment elevated bridge dapat diterima dimana azas yurispurdensinya dapat
disamakan dengan tower-tower listrik yang melintas di beberapa kawasan konservasi.

Ditinjau dari segi teknologi, elevated bridge dapat memberikan tingkat pencapaian alignement
vertical dan horizontal yang memenuhi standar, sedangkan alternatif cut fill tidak menjamin
memberikan pencapaian geometrik yang sesuai dengan standar, hal ini disebabkan oleh karena
lahan yang terbatas sehingga untuk mendapatkan grad maksimum sebesar 10% harus melakukan
realignement dan memperpanjang trase yang tentunya lebih memberikan dampak signifikan
terhadap kerusakan ekosistem. Selain itu dengan kondisi topografi yang terjal dengan batuan
yang massif memberikan keterbatasan untuk menaikkan dan menurunkan elevasi trase jalan.
Kondisi yang sama juga dihadapi bila penanganan dilakukan dengan konstruksi terowongan,
bahwa umumnya terowongan memiliki jumlah lengkung yang terbatas (bahkan berbentuk lurus),
sehingga sangat sulit untuk mendapatkan grad maksimum 10% karena secara umum prinsip
geometrik terowongan memperpendek jarak. Sementara skenario perbaikan alignement vertical
harus memperpanjang trase sehingga perbedaan elevasi yang besar (Δ h) dapat terdistribusi.
Sedangkan dari aspek ekonomis, biaya konstruksi dan biaya pemeliharaan, kemudahan
pelaksanaan dan waktu pelaksanaan, alternatif elevated bridge merupakan alternatif yang memiliki
biaya investasi dan biaya operasi pemeliharaan yang besar, selain itu membutuhkan waktu yang
cukup lama dan keahlian khusus dibandingkan dengan alternatif cut fill. Namun demikian kriteria-
kriteria tersebut bukan merupakan faktor dominan yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan
konstruksi penanganan geometrik pada ruas Maros – Watampone. Selanjutnya untuk kriteria
artistik, alternatif elevated bridge merupakan konstruksi yang lebih artistik dibandingkan dengan
alternatif lainnya. Nilai artistik tersebut, diharapkan dapat mendukung kawasan konservasi sebagai
kawasan wisata alam dan wisata cagar budaya yang potensial mendorong peningkatan pendapatan
masyarakat sekitar.

Prarancangan konstruksi
Dengan menggunakan bantuan perangkat land development dan 3dmax dengan beberapa
parameter desain yang diasumsikan, maka dapat disimulasikan desain awal konstruksi elevated
bridge seperti gambar 3.

Gambar 3. Simulasi penanganan geometrik dengan metode elevated bridge

A – 95
Tabel 3. Perubahan parameter geometrik
Kondisi Jalan Sebelum Penanganan Setelah Penanganan Satuan
Panjang Ruas 10 11,5 Km
Lebar Jalan 4,5 7 m
Lebar Bahu 1 2 m
Kondisi Medan Bukit Datar
Tanjakan Rata-Rata (RR) 22,5 2,5 m/km
Turunan Rata-Rata (FR) 22,5 3,5 m/km
Tanjakan + Turunan (TTR) 45 5 m/km
Derajat Tikungan (DTR) 200 15 °/km
Kekasaran (IRI) 5 7 m/km
Kecepatan Rata2 Ruas 40 65 Km/jam

Komponen Biaya Manfaat


Berdasarkan hasil perhitungan biaya operasional kendaraan (BOK) dengan menggunakan
komponen biaya tidak tetap dan menggunakan parameter kondisi jalan eksisting, maka didapatkan
besaran biaya operasional kendaraan sebelum proyek seperti diuraikan pada tabel berikut.

Tabel 4. Biaya Operasional Kendaraan (sebelum proyek)


Prosentase Komponen BOK Tidak Tetap
Jenis Kendaraan BOK Tidak Tetap
BBM Oli Suku Cadang Upah Ban
Sedan 3,720.24 2,325.7 573.5 157.7 651 12
Utility 4,678.29 3,064.4 758.2 132.0 651 73
Bis Kecil 8,140.27 4,408.9 1,088.7 182.1 2,068 392
Bis Besar 11,567.83 7,844.3 1,934.1 127.2 1,463 200
Truk Ringan 7,725.18 4,931.6 1,219.4 32.3 1,028 514
Truk Sedang 12,900.86 8,589.1 2,120.3 166.3 1,762 264
Truk Berat 14,812.65 10,994.8 2,694.7 23.6 664 436

Setelah dilakukan perbaikan geometrik pada ruas Maros – Watampone didapatkan estimasi
besaran Biaya Operasional Kendaraan sebagai berikut.

Tabel 5. Biaya Operasional Kendaraan (setelah proyek)


Prosentase Komponen BOK Tidak Tetap
Jenis Kendaraan BOK Tidak Tetap
BBM Oli Suku Cadang Upah Ban
Sedan 3,132.63 1,623.9 398.1 251.6 841 18
Utility 3,740.29 2,080.9 512.3 210.7 841 96
Bis Kecil 7,602.90 3,582.3 882.1 292.3 2,644 202
Bis Besar 7,584.21 4,390.7 1,070.7 193.3 1,816 113
Truk Ringan 6,670.14 3,988.6 983.7 56.8 1,379 262
Truk Sedang 11,207.98 6,674.2 1,641.5 313.5 2,445 134
Truk Berat 8,670.63 6,025.1 1,452.3 44.1 917 232
Tabel 6. Selisih Biaya Operasional Kendaraan (sebelum dan setelah proyek)
Kendaraan Sebelum Proyek Setelah Proyek Selisih BOK
Sedan 3,720 3,133 588
Utility 4,678 3,740 938
Bus Kecil 8,140 7,603 537
Bus Besar 11,568 7,584 3,984
Truk Ringan 7,725 6,670 1,055
Truk Sedang 12,901 11,208 1,693
Truk Berat 14,813 8,671 6,142

A – 96
Dengan menggunakan metode IRMS dengan pendekatan metode pendapatan tradisional, maka
besaran nilai waktu dapat dihitung sebagai berikut.
Tabel 7. Besaran Nilai Waktu Perjalanan
Angkutan Angkutan Bus Sepeda
Komponen Sedan Bus Kecil Truk
Umum Barang Besar motor
Pendapatan/bulan 3.575.000 1.073.000 966.000 1.073.000 1.073.000 966.000 1.430.000
Pendapatan menurut SWR
(tingkat upah bayangan 3.038.750 912.050 821.100 912.050 912.050 821.100 1.215.500
85%)
Waktu kerja/bulan (7 jam/hari) 191 191 191 191 191 191 191
TTC Penumpang per Jam
Nilai waktu kerja 15.910 4.775 4.299 4.775 4.775 4.299 6.364
Nilai waktu istirahat 4.455 1.337 1.204 1.337 1.337 1.204 1.782
% Perjalanan kerja 50% 30% 75% 30% 30% 75% 50%
% Perjalanan bukan untuk
50% 70% 25% 70% 70% 25% 50%
bekerja
Penumpang (org) 2,0 8,0 1,0 16,0 32,0 1,0 1,2
TTC/penumpang/jam (Rp.) 10.182 1.834 4.127 1.834 1.834 4.127 4.073
TTC/kendaraan/jam (Rp.) 20.364 14.669 4.127 29.338 58.677 4.127 4.887

Tabel 8. Selisih Nilai Waktu Perjalanan sebelum dan setelah proyek


Kendaraan Sebelum Proyek Setelah Proyek Selisih Nilai Waktu
Sedan 73,821 45,428 28,393
Utility 53,176 32,724 20,452
Bus Kecil 106,352 65,447 40,905
Bus Besar 212,703 130,894 81,809
Truk Ringan 14,960 9,206 5,754
Truk Sedang 14,960 9,206 5,754
Truk Berat 14,960 9,206 5,754

Berdasarkan biaya tahun dasar yang diestimasi oleh Bina Marga (2003), maka besaran biaya
kecelakaan pada ruas Maros – Watampone dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 9. Biaya satuan kecelekaan lalu lintas di jalan antar kota BSKEi Tahun 2008
BSKE (To) BSKEi
No Kelas Kecelakaan JKEi
Rp/kecelakaan Rp/kecelakaan
1 Kecelakaan fatal 57,00 378.364.643,20 21.566.784.662,65
2 Kecelakaan berat 19,00 37.443.677,26 711.429.868,03
3 Kecelakaan ringan 26,00 16.592.767,65 431.411.958,99
4 Kecelakaan dengan kerugian harta benda 15,00 14.472.964,49 217.094.467,41
Total Biaya Kecelakaan 22.926.720.957,07

Analisis Kelayakan dan Sensivitas Investasi


Berdasarkan data proyeksi lalu-lintas yang didapatkan dari hasil studi JICA, maka akumulasi biaya
manfaat yang didapatkan dari pengurangan BOK dan selisih nilai waktu dapat diproyeksikan
sesuai dengan umur proyek. Dengan mengasumsikan penurunan tingkat kecelakaan sebesar 50%
pasca penanganan geometrik, maka dapat pula diestimasi akumulasi biaya kecelakaan yang
disaving sampai akhir proyek. Dengan membandingkan komponen biaya manfaat dan komponen
biaya investasi yang diestimasi berdasarkan harga berlaku, maka alternatif elevated brideg yang
diusulkan memenuhi kriteria ekonomi. Selanjutnya, dengan mempertimbangkan kecenderungan
perubahan yang mungkin terjadi ( ± 25 %) didapatkan sensivitas investasi sebagai berikut.

A – 97
Tabel 10. Uji Sensitivitas untuk perubahan 25% keuntungan dan biaya.
Uji NPV IRR BCR (12%) BCR (15%)
Skenario 1: Tanpa Saving Biaya Kecelakaan
Kondisi Dasar 899.849 20,07% 2,78 2,21
Uji 1: Biaya Invetasi naik 25%, manfaat turun 25%
385.052 17,91% 1,78 1,41
(Kondisi Pesimis)
Uji 2: Biaya Invetasi turun 25%, manfaat naik 25%
1.459.639 21,32% 4,34 3,45
(Kondisi Optimis)
Skenario 1: Dengan Saving Biaya Kecelakaan
Kondisi Dasar 1.078.678 20,36% 3,09 2,45
Uji 1: Biaya Invetasi naik 25%, manfaat turun 25%
563.881 18,60% 2,03 1,61
(Kondisi Pesimis)
Uji 2: Biaya Invetasi turun 25%, manfaat naik 25%
1.638.468 21,43% 4,73 3,75
(Kondisi Optimis)

6. KESIMPULAN
Pemilihan alternatif konstruksi untuk penanganan geometrik sulit (black spot) pada kawasan
Konservasi TN Babul harus mempertimbangkan kriteria manfaat, lingkungan, teknologi, ekomis,
biaya konstruksi, biaya pemeliharaan, artistik, kemudahan pelaksanaan, dan waktu pelaksanaan.
Dengan menggunakan Analisis Hirarki Proses (AHP) ditetapkan elevated bridge sebagai alternatif
terbaik. Karena memberikan manfaat yang relatif besar, dampak kerusakan lingkungan yang
ditimbulkan kecil, kemudian teknologinya dapat memberikan pencapaian geometrik yang sesuai
dengan standar. Disamping itu memiliki nilai artistik yang dapat mendukung peningkatan
kawasan konservasi sebagai kawasan wisata alam dan wisata cagar budaya.
Alternatif elevated bridge tersebut, secara ekonomi dapat diterima karena biaya manfaat yang
didapatkan jauh lebih besar dibanding dengan biaya yang diinvestasikan baik pada kondisi optimis
maupun pada kondisi pesimis, hal ini ditandai oleh nilai BCR yang didapatkan > 1

DAFTAR PUSTAKA
Badriana, D. J. (2009). Pemilihan Tipikal Konstruksi Penanganan Jalan. Tesis. Program
Pascasarjana UH. Makassar.
Departemen Perhubungan. (2006). Laporan akhir Desember 2006, PT. AULIA SAKTI
INTERNASIONAL. Jakarta.
Hemanta, dan Xiao-Hua. (2008). “Modelling Multi-Criteria Decision Analysis for Benchmarking
Management Practices in Project Management”, International Conference On Information
Technology In Construction. Oktober 2008.
Morlok, E. K. (1984). Pengantar Teknik dan Perencanaan Transportasi. Erlangga. Jakarta.
Puslitbang PU (2005), Pedoman Study Kelayakan Jalan dan Jembatan. Departemen Pekerjaan
Umum. Jakarta
Sembiring, S. N. dkk. (1998). Kajian Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi di
Indonesia Menuju Pengembangan Desentralisasi dan Peningkatan Peranserta Masyarakat,
Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia bekerjasama dengan Natural
Resources Management Program. Jakarta.
Rudrokasworo, S.N dkk. (2009). “Upaya Penurunan Tingkat Fatalitas Titik Rawan Kecelakaan
(Studi Kasus Di Kabupaten Gunung Kidul, DIY)”. Prosiding Simposium XII FSTPT, 14
November 2009.
Saaty, T.L. (1988). Multicriteria Decision Making : The Analytic Hierarchy Process. British
Library. USA.

A – 98

Anda mungkin juga menyukai