Anda di halaman 1dari 14

1.

HIV/AIDS Pada Ibu Menyusui


a. Pengertian Human Immunodeficiency Virus yang selanjutnya disingkat HIV adalah
Virus yang menyebabkan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) yang
termasuk kelompok retrovirus. Seseorang yang terinfeksi HIV akan mengalami
infeksi seumur hidup. Kebanyakan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) tetap
asimtomatik (tanpa tanda dan gejala dari suatu penyakit) untuk j 15 demikian, mereka
dapat menularkan kepada orang lain tanpa mereka sadari. Acquired Immuno
Deficiency Syndrome yang selanjutnya disingkat AIDS adalah suatu kumpulan gejala
berkurangnya kemampuan pertahanan diri yang disebabkan oleh masuknya virusHIV
dalam tubuh seseorang.“acquired” artinya tidak diturunkan, tetapi didapat; “immune”
adalah sistem daya tangkal atau kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit;
“deficiency” artinya tidak cukup atau kurang; dan “syndrome” adalah kumpulan
tanda dan gejala penyakit. AIDS adalah bentuk lanjut dari virus HIV, yang
merupakan kumpulan gejala penurunan sistem kekebalan tubuh.Infeksi HIV berjalan
sangat progresif merusak sistem kekebalan tubuh, sehingga penderita tidak dapat
menahan serangan infeksi jamur, bakteri atau virus. Kebanyakan Orang Dengan HIV
dan AIDS yang selanjutnya disingkat ODHA akan meninggal dalam beberapa tahun
setelah tanda pertama AIDS muncul bila tidak ada pelayanan dan eraoi yang
diberikan (Kemenkes, 2013).
b. Struktur HIV Partikel HIV adalah virus RNA yang ber-envelop, berbentuk bulat
sferis dengan diameter 80-120 nm. Partikel yang infeksius terdiri dari dua untai single
stranded RNA positif yang berada di dalam inti protein virus (ribonukleoprotein) dan
dikelilingi oleh lapisan envelope fosfolipid yang ditancapi oleh 72 buah tonjolan
(spikes) glikoprotein (Gambar 1). Envelope polipeptida terdiri dari dua subunit yaitu
glikoprotein luar (gp120) yang merupakan tempat ikatan reseptor 16 (receptor
binding) CD4+ dan glikoprotein transmembran (gp41) yang akan bergabung dengan
envelope lipid virus. Protein-protein pada membrane luar ini terutama berfungsi
untuk mediasi terjadinya ikatan dengan sel CD4+ dan reseptorkemokin.7,8 Pada
permukaan dalam envelope lipid virus dilapisi oleh protein matriks (p17), yang
kemungkinan berperan penting dalam menjaga integritas struktural virion. Envelope
lipid terbungkus dalam protein kapsid yang berbentuk ikosahedral (p24) dan matriks
p17.Protein kapsid mengelilingi inti dalam virion sehingga membentuk 'cangkang' di
sekeliling material genetik. Protein nukleokapsid terdapat dalam 'cangkang' tersebut
dan berikatan langsung dengan molekul-molekul RNA (Suhaimi, 2007).(Suhaimi,
2007)
c. Etiologi Penyakit Infeksi Menular Seksual yang selanjutnya disingkat IMS adalah
infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual secara vaginal, anal/lewat anus dan
oral/dengan mulut. Penularan virus HIV dapat ditularkan melalui hubungan seksual,
penggunaan jarum suntik yang tidak steril atau terkontaminasi HIV dan penularan
HIV dari ibu yang terinfeksi HIV ke janin dalam kandungannya yang dikenal sebagai
penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA) (Kemenkes, 2013). 17 Penyebab AIDS adalah
retrovirus RNA yang dinamai human immunodefisiency virus (HIV), HIV -1 dan
HIV -2. Sebagian besar kasus di dunia disebabkan oleh infeksi HIV -1. Penularan
serupa dengan penularan virus hepatitis B, dan hubungan seks adalah rute utama.
Virus juga dapat ditularkan melalui darahatau produk yng tercemar darah dan ibu
dapat menginfeksi janin mereka (Cunningham dkk, 2013).
d. Patofisiologi infeksi HIV Sesudah HIV memasuki tubuh seseorang, maka tubuh
akanterinfeksi dan virus mulai mereplikasi diri dalam sel orang tersebut (terutama sel
limfosit T CD4 dan makrofag). Virus HIV akan mempengaruhi sistem kekebalan
tubuh dengan menghasilkan antibody untuk HIV. Masa antara masuknya infeksi
terbentuknya antibody yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium adalah
selama 2 sampai 12 minggu dan disebut masa jendela (window period).Selama masa
jendela, pasien sangat infeksius, mudah menularkan kepada orang lain, meski hasil
pemeriksaan laboratoriumnya masih negative. Hampir 30-50% orang mengalami
masa infeksi akut pada masa infeksius ini, di mana gejala dan tanda yang biasanya
timbul adalah: demam, pembesaran kelenjar getah bening, keringat malam, ruam
kulit, sakit kepala dan batuk. Orang yang terinfeksi HIV dapat tetap tanpa gejala dan
tanda (asimtomatik) untuk jangka waktu cukup panjang bahkan sampai 10 tahun atau
lebih. Namun orang tersebut dapat menularkan infeksinya 18 kepada orang lain. Kita
hanya dapat mengetahui bahwa orang tersebut terinfeksi HIV dari pemeriksaan
laboratorium antibodi HIV serum.Sesudah jangka waktu tertentu, yang bervariasi dari
orang ke orang, virus memperbanyak dirisecara cepat dan diikuti dengan perusakan
sel limfosit T CD4 dan sel kekebalan lainnya sehingga terjadilah gejala berkurangnya
daya tahan tubuh yang progresif. Progresivitas tergantung pada beberapa faktor
seperti: usia kurang dari 5 tahun atau di atas 40 tahun, infeksi lainnya, dan faktor
genetik. Infeksi, penyakit, dan keganasan dapat terjadi pada individu yang terinfeksi
HIV. Penyakit yang berkaitan dengan menurunnya daya tahan tubuh pada orang yang
terinfeksi HIV, misalnya infeksi tuberkulosis (TB), herpes zoster (HSV), oral hairy
cell leukoplakia (OHL), oral candidiasis (OC), papular pruritic eruption (PPE),
Pneumocystis carinii pneumonia (PCP), cryptococcal meningitis (CM), retinitis
Cytomegalovirus(CMV), dan Mycobacterium avium (MAC) (Kemenkes, 2013). 19
Bagan 2.1 Patofisiologis HIV (Kemenkes,2013)
e. Faktor Resiko
1) Faktor Ibu
a) Jumlah virus (viral load) Resiko penularan HIV menjadi sangat kecil apabila
kadar HIV dalam darah rendah (kurang dari 1.000 kopi/ml) dan sebaliknya jika
kadar HIV dalam darah diatas 100.000 kopi/ml maka resiko penularan akan
sangat besar
b) Jumlah sel CD4 Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah akan lebih beresiko
menularkan HIV ke bayinya. Semakin rendah sel CD4 maka resiko penularan
HIV semakin besar.
c) Status Gizi selama hamil Berat badan rendah serta kekurangan vitamin dan
mineral selama hamil meningkatkan risiko ibu untuk menderita penyakit infeksi
yang dapat meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi.
d) Penyakit Infeksi selama hamil Penyakit infeksi seperti sifilis, infeksi menular
seksual, infeksi reproduksi lainnya, malaria dan TBC, berisiko meningkatkan
jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayinya.
e) Gangguan pada payudara Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lainnya,
seperti mastitis, abses dan luka di puting dapat meningkatkan risiko penularan
HIV melalui ASI.
2. Faktor Bayi
a) Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir Bayi lahir premature dengan
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) lebih rentan tertular HIV karena sistem organ
dan sistem kekebalan tubuhnya belum berkembang dengan baik.
b) Periode pemberian ASI Semakin lama ibu menyusui, risiko penularan HIV ke
bayi akan semakin besar.
c) Adanya Luka di mulut bayi Bayi dengan luka di mulutnya lebih berisiko
tertular HIV ketika diberikan ASI.

3. Faktor Obstetri

a) Jenis Persalinan Risiko penularan persalinan pervaginam lebih besar


persalinan melalui bedah sesar (section caesaria). Namun, apabila VL (Viral
Load) ibu rendah karena konsumsi ARV (Antiretroviral) yang rutin maka
persalinan pervaginam sangat dianjurkan, karena persalinan dengan bedah sesar
akan menimbulkan resiko infeksi lainnya pasca persalinan (Green, 2009).

b) Lama Persalinan Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan


HIV dari ibu ke anak semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak
antara bayi dengan darah dan lendir ibu.

c) Pecahnya ketuban Ketuban pecah dini lebih dari 4 jam sebelum persalinan
meningkatkan risiko penularan hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban
pecah kurang dari 4 jam. 22 d) Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forceps
meningkatkan risiko penularan HIV karena berpotensi melukai ibu atau bayi
(Permenkes, 2013)

f. Gambaran klinis

Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala


tertentu. Sebagian memperlihatkan ciri tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6
minggu setelah terinfeksi.Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan,
pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare atau batuk.Setelah infeksi akut,
dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala).Masa tanpa gejala ini
umumnya berlangsung 8-10 tahun.Tetapi ada sekelompok kecil orang yang
perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun dan ada pula yang
perjalanannya lambat (Kemenkes RI, 2011).

Partikelvirus HIV yang menginfeksi tubuh pasien akan bergabung dengan


DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, maka seumur hidup
ia akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian besar
berkembang menuju tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang
menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua
orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS dan kemudian meninggal.
Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai
dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap (Sudoyo dkk,2010).

Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai


menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan
menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare,
tuberkolusis, infeksi jamur, dan herpes (Permenkes, 2013)

g. Pencegahan

Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dilakukan melalui kegiatan


komprehensif yang meliputi empat pilar (4 prong), yaitu

1) Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi (15- 49 tahun).

2) Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan HIV positif.

3) Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil ke bayi yang dikandungnya.

4) Dukungan psikologis, sosial dan perawatan kesehatan selanjutnya kepada ibu


yang terinfeksi HIV dan bayi serta keluarganya (Permenkes RI, 2013)

h. Penatalaksanaan

HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total.
Namun, data selama 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa
pengobatan dengan kombinasi beberapa obat anti HIV (obat retroviral, atau disingkat
ARV) bermanfaat menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. Orang
dengan HIV/AIDS menjadi lebih sehat, dapat bekerja normal dan 24 produktif.Manfaat
ARV dicapai melalui pulihnya kerentanan ODHA terhadap infeksi oportunistik (Sudoyo,
2010).

Secara umum penatalaksanaan ODHA terdiri atas beberapa jenis, yaitu:

1) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral


(ARV) jangka pendek maupun ART jangka panjang.

2) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang


menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkolusis, hepatitis, toksoplasma, sarcoma
Kaposi, limfoma, kanker serviks

3) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih
baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikologis dan dukungan agama
serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan. (Sudoyo, 2010)

Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan,


harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik amat berkurang (Sudoyo,
2010). Penatalaksanaan untuk ibu hamil maupun nifas dengan HIV/AIDS sedikit berbeda
dikarenakan kondisi yang lebih risiko dan dapat menularkan ke janin maupun lingkungan
sekitar dengan lebih mudah. Menurut Cunningham, dkk (2014)

penatalaksanaan wanita hamil dimulai dari fase kehamilan, persalinan dan pasca
persalinan. Apabila wanita tersebut sudah diketahui terinfeksi HIV sebelum hamil maka
penatalaksanaan yang di lakukan sesuai 25 dengan penatalaksaan sebelum hamil yaitu
pemberian ARV, pemberian profilaksis kotrimoksazol, pemberian informasi, konseling
dan dukungan untuk kehamilan ini (Green,2009)

Menurut WHO (2013), penatalaksanaan dilakukan pada ibu.

1) Merencanakan pemberian ARV tindak lanjut, pemberian harus dilakuan secara


hati-hati tergantung dari pengobatan dan tingkat VL dalam tubuh (pemberian
ARV diberian seumur hidup atau selama periode risiko penularan dari ibu ke
anak, tergantung pada kebijakan nasional dan kelayakan ARV) serta lakukan
pemantauan pemberian pengobatan.

2) Diperlukan rencana tindak lanjut kepada anak yang terpajan HIV untuk
meninjau rencana pemberian ASI dan berikan perawatan ARV.

3) Pemberian Profilaksis kotrimoksazol

4) Dukungan psikologis dari keluarga dan lingkungan serta tenaga kesehatan yang
menangani.

5) Pemberikan konseling kepada keluarga mengenai perawatan dan pengobatan


pada ibu dan bayi dengan HIV/AIDS

6) Pilihan untuk menyusui bayinya atau tidak. Risiko penularan HIV dari ibu ke
bayi melalui menyusui cukup tinggi 5-20%. Apabila ibu tidak menyusui bayinya,
risiko penularan HIV menjadi 20-30% dan akan berkurang jika ibu mendapatkan
ARV. Pemberian ARV jangka pendek dan ASI 26 eksklusif memiliki risiko
penularan 15-25% dan risiko penularan sebesar 5-15% apabila ibu tidak menyusui
(PASI). Namun, terapi ARV jangka panjang, risiko penularan menjadi 1-5% dan
ibu dapat menyusui secara eksklusif dengan risiko penularan yang sama
(Permenkes RI, 2013)

7) Pemilihan Alat kontrasepsi yang tepat. Apabila salah satu pasangan tidak
terinfeksi maka alat kontrasepsi kondom adalah pilihan yang paling tepat. Karena
kondom dapat menghindarkan dari berbagai infeksi HIV mapun penyakit IMS
lainnya. Namun, apanila keduanya sudah terinfeksi maka AKDR (Alat
Kontrasepsi Dalam Rahim) merupakan pilihan yang tepat pada kondisi tersebut
(Cunningham dkk, 2014). Apabila ibu sudah memiliki anak yang cukup dan tidak
ingin

i. Pemberian Terapi Antiretroviral


Pada kebijakan PPIA 2011, ART diberikan kepada semua
perempuanhamil HIV positif tanpa harus memeriksakan kondisi CD4- nya lebih
dahulu.Penentuan stadium HIV-AIDS pada ibu hamil dapat dilakukan
berdasarkan kondisi klinis pasien dengan atau tanpa pemeriksaan CD4.
Pemeriksaan CD4 pada ibu hamil HIV positif terutama digunakan untuk
memantau pengobatan.

2. HIV/AIDS Pada Bayi dan Anak


a. Diagnosis pada Bayi dan Anak
Bayi yang tertular HIV dari ibu bisa saja tampak normal secara klinis selama
periode neonatal. Penyakit penanda AIDS tersering yang ditemukan pada anak adalah
pneumonia yang disebabkan Pneumocystis carinii. Gejala umum yang ditemukan pada
bayi dengan ifeksi HIV adalah gangguan tumbuh kembang, kandidiasis oral, diare kronis,
atau hepatosplenomegali (pembesaran hapar dan lien).

Karena antibody ibu bisa dideteksi pada bayi sampai bayi berusia 18 bulan, maka
tes ELISA dan Western Blot akan positif meskipun bayi tidak terinfeksi HIV karena tes
ini berdasarkan ada atau tidaknya antibody terhadap virus HIV. Tes paling spesifik untuk
mengidentifikasi HIV adalah PCR pada dua saat yang berlainan. DNA PCR pertama
diambil saat bayi berusia 1 bulan karena tes ini kurang sensitive selama periode satu
bulan setelah lahir. CDC merekomendasikan pemeriksaan DNA PCR setidaknya diulang
pada saat bayi berusia empat bulan. Jika tes ini negative, maka bayi terinfeksi HIV.
Tetapi bila bayi tersebut mendapatkan ASI, maka bayi resiko tertular HIV sehingga tes
PCR perlu diulang setelah bayi disapih. Pada usia 18 bulan, pemeriksaan ELISA bisa
dilakukan pada bayi bila tidak tersedia sarana pemeriksaan yang lain.

Anak-anak berusia lebih dari 18 bulan bisa didiagnosis dengan menggunakan


kombinasi antara gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium. Anak dengan HIV sering
mengalami infeksi bakteri kumat-kumatan, gagal tumbuh atau wasting, limfadenopati
menetap, keterlambatan berkembang, sariawan pada mulut dan faring. Anak usia lebih
dari 18 bulan bisa didiagnosis dengan ELISA dan tes konfirmasi lain seperti pada
dewasa. Terdapat dua klasifikasi yang bisa digunakan untuk mendiagnosis bayi dan anak
dengan HIV yaitu menurut CDC dan WHO.

CDC mengembangkan klasifikasi HIV pada bayi dan anak berdasarkan hitung
limfosit CD4+ dan manifestasi klinis penyakit. Pasien dikategorikan berdasarkan derajat
imunosupresi (1, 2, atau 3) dan kategori klinis (N, A, B, C, E). Klasifikasi ini
memungkinkan adanya surveilans serta perawatan pasien yang lebih baik. Klasifikasi
klinis dan imunologis ini bersifat eksklusif, sekali pasien diklasifikasikan dalam suatu
kategori, maka diklasifikasi ini tidak berubah walaupun terjadi perbaikan status karena
pemberian terapi atau factor lain.

Menurut Depkes RI (2003), WHO mencanangkan empat strategi untuk mencegah


penularan HIV dari ibu ke anak dan anak, yaitu dengan mencegah jangan sampai wanita
terinfeksi HIV/AIDS, apabila sudah dengan HIV/AIDS dicegah supaya tidak hamil,
apabila sudah hamil dilakukan pencegahan supaya tidak menular pada bayi dan anaknya,
namun bila ibu dan anak sudah terinfeksi maka sebaiknya diberikan dukungan dan
perawatan bagi ODHA dan keluarga.
Bayi yang beresiko tertular HIV diantaranya :
 Bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan biseksual
 Bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan yang berganti-ganti
 Bayi yang lahir dan ibu dengan penyalahgunaan obat melalui vena
 Bayi atau anak yang mendapat tranfusi darah atau produk darah yang berulang
 Bayi atau anak yang terpapar dengan alat suntik atau tusuk bekas yang tidak steril
b. Tanda dan Gejala

Gejala umum yang ditemukan pada bayi dengan infeksi HIV adalah:
 Gangguan tumbuh kembang
 Kandidiasis oral
 Diare kronis
 Hepatosplenomegali (pembesaran hepar dan lien)
c. Penularan
Penularan HIV dari bayi kepada bayinya dapat melalui:

Dari ibu kepada anak dalam kandungannya (antepartum)(5-10 %) Selama persalinan


(intrapartum)(10-20 %) Bayi baru lahir terpajan oleh cairan tubuh ibu yang terinfeksi
(postpartum) Bayi tertular melalui pemberian ASI Sebagian besar (90%), infeksi HIV
pada bayi disebabkan penularan dari ibu, hanya sekitar 10% yang terjadi karena proses
tranfusi.

BBL memproduksi respon antibodi yg tdk terlalu aktif, Lebih terbatas thd infeksi
HIV Bayi lahir dg ibu HIV seropositif : memiliki antibody HIV saat lahir. Bayi tdk
terinfeksi akan kehilangan antibodi maternal sekitar 8-15 bln. Sebagian besar bayi
terinfeksi : mengembangkan antibodi mereka sendiri dan tetap seporopositif

Bayi yang memperlihatkan tanda2 infeksi saat lahir cenderung meninggal dlm
satu bulan.

d. Pencegahan
Penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah melalui :
Saat hamil. Penggunaan antiretroviral selama kehamilan yang bertujuan agar vital
load rendah sehingga jumlah virus yang ada di dalam darah dan cairan tubuh kurang
efektif untuk menularkan HIV.
Saat melahirkan. Penggunaan antiretroviral(Nevirapine) saat persalinan dan bayi baru
dilahirkan dan persalinan sebaiknya dilakukan dengan metode sectio caesar karena
terbukti mengurangi resiko penularan sebanyak 80%.
Setelah lahir. Informasi yang lengkap kepada ibu tentang resiko dan manfaat ASI
Untuk mengurangi resiko penularan, ibu dengan HIV positif bisa memberikan susu
formula pengganti ASI, kepada bayinya. Namun, pemberian susu formula harus sesuai
dengan persyaratan AFASS dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu Acceptable =
mudah diterima, Feasible = mudah dilakukan, Affordable = harga terjangkau, Sustainable
= berkelanjutan, dan Safe = aman penggunaannya
Pada daerah tertentu di mana pemberian susu formula tidak memenuhi persyaratan
AFASS, ibu HIV positif harus mendapatkan konseling jika memilih untuk memberikan
ASI eksklusif.
e. Penatalaksanaan
Asuhan ibu : ikuti panduan Center for Disease Control (CDC) untuk profilaksis
antiretrovirus gestasional
Asuhan bayi : dengan pemberian obat-obat ARV, maka daya tahan tubuh anak dapat
meningkat dan mereka dapat tumbuh dan berkembang seperti anak normal lainnya.
f. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan assay antibodi dapat mendeteksi antibodi terhadap HIV. Tetapi karena
antibodi anti HIV maternal ditransfer secara pasif selama kehamilan dan dapat dideteksi
hingga usia anak 18 bulan, maka adanya hasil antibodi yang positif pada anak kurang dari
18 bulan tidak serta merta menjadikan seorang anak pasti terinfeksi HIV. Karenanya
diperlukan uji laboratorik yang mampu mendeteksi virus atau komponennya seperti:

 assay untuk mendeteksi DNA HIV dari plasma


 assay untuk mendeteksi RNA HIV dari plasma
 assay untuk mendeteksi antigen p24 Immune Complex Dissociated (ICD)

Teknologi uji virologi masih dianggap mahal dan kompleks untuk negara berkembang.
Real time PCR(RT-PCR) mampu mendeteksi RNA dan DNA HIV, dan saat ini sudah
dipasarkan dengan harga yang jauh lebih murah dari sebelumnya. Assay ICD p24 yang
sudah dikembangkan hingga generasi keempat masih dapat dipergunakan secara terbatas.
Evaluasi dan pemantauan kualitas uji laboratorium harus terus dilakukan untuk kepastian
program. Selain sampel darah lengkap (whole blood) yang sulit diambil pada bayi kecil,
saat ini juga telah dikembangkan di negara tertentu penggunaan dried blood spots (DBS)
pada kertas saring tertentu untuk uji DNA maupun RNA HIV. Tetapi uji ini belum
dipergunakan secara luas, masih terbatas pada penelitian.
Meskipun uji deteksi antibodi tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis
definitif HIV pada anak yang berumur kurang dari 18 bulan, antibodi HIV dapat
digunakan untuk mengeksklusi infeksi HIV, paling dini pada usia 9 sampai 12 bulan pada
bayi yang tidak mendapat ASI atau yang sudah dihentikan pemberian ASI sekurang-
kurangnya 6 minggu sebelum dilakukannya uji antibodi. Dasarnya adalah antibodi
maternal akan sudah menghilang dari tubuh anak pada usia 12 bulan.
Pada anak yang berumur lebih dari 18 bulan uji antibodi termasuk uji cepat (rapid
test) dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi HIV sama seperti orang dewasa.

Pemeriksaan laboratorium lain bersifat melengkapi informasi dan membantu dalam


penentuan stadium serta pemilihan obat ARV. Pada pemeriksaan darah tepi dapat
dijumpai anemia, leukositopenia, limfopenia, dan trombositopenia. Hal ini dapat
disebabkan oleh efek langsung HIV pada sel asal, adanya pembentukan autoantibodi
terhadap sel asal, atau akibat infeksi oportunistik.

Jumlah limfosit CD4 menurun dan CD8 meningkat sehingga rasio CD4/CD8
menurun. Fungsi sel T menurun, dapat dilihat dari menurunnya respons proliferatif sel T
terhadap antigen atau mitogen. Secara in vivo, menurunnya fungsi sel T ini dapat pula
dilihat dari adanya anergi kulit terhadap antigen yang menimbulkan hipersensitivitas tipe
lambat. Kadar imunoglobulin meningkat secara poliklonal. Tetapi meskipun terdapat
hipergamaglobulinemia, respons antibodi spesifik terhadap antigen baru, seperti respons
terhadap vaksinasi difteri, tetanus, atau hepatitis B menurun.

c. pemberdayaan masyarakat dengan HIV/AIDS


pembangunan masyarakat di Indonesia. Acquired Immune Deficiency
Syndrome (AIDS) disebabkan oleh human immunodeficiency virus (HIV) yang
menyebabkan melemahnya sistem kekebalan tubuh seseorang, membuatnya lebih
rentan terhadap berbagai penyakit, sulit sembuh dari berbagai penyakit infeksi
oportunistik dan bisa menyebabkan kematian. (Balitbangkes, 2010).
Perkembangan jumlah kasus HIV dan AIDS di Indonesia terus meningkat sejak
dilaporkan pertama kali pada tahun 1987. Berdasarkan laporan Ditjen PP & PL
Kemenkes RI, sampai dengan Juni 2014 jumlah kumulatif kasus HIV sudah mencapai
142.951 orang dan kasus AIDS sudah mencapai55.623 orang. Dari jumlah kasus
AIDS yang dilaporkan sampai bulan Juni 2014, persentase faktor risiko AIDS tertingi
adalah hubungan seks berisiko pada heteroseksual (86,4%), LSL (Lelaki
Seks Lelaki) (4,8%), dari ibu positif HIV ke anak (3,6%) dan penggunaan jarum suntik
tidak steril pada penasun sebesar 2,6% (Ditjen PP & PL, 2014)
Berbagai upaya dalam penanggulangan HIV/AIDS sudah dilakukan di Kota
Bukittinggi, dan salah satunya dengan membentuk Komisi Penanggulangan HIV/AIDS
(KPA) sejak tahun 2008. Upaya yang sudah dilakukan oleh KPA Kota Bukittingi
antara lain adalah melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait dengan bahaya
HIV/AIDS, melalukan pendampingan dan pembinaan terhadap penderita positif
HIV/AIDS atau Orang Dengan HIV/AIDS atau ODHA (KPA, 2013).
Meskipun sudah banyak upaya yang dilakukan pemerintah Kota Bukittinggi
dalam penanggulangan HIV/AIDS, namun kondisi perkembangan kasus HIV/AIDS
tampaknya sulit untuk dikendalikan. Pada hal jika dilihat dari Indek Pembangunan
Manusia (IPM), Kota Bukittingi saat ini adalah yang tertinggi di Provinsi Sumatera
Barat (79,29) pada tahun 2013. Namun, kondisi tersebut tidak cukup tanpa dilandasi
dengan kematangan emosi yang dilandasi nilai-nilai agama dan adat Minangkabau.
Dengan adanya perkembangan peradaban yang diikuti dengan perkembangan informasi
dan teknologi telah banyak membawa pengaruh ke dalam sendi-sendi kehidupan, antara
lain adalah penerapan nilai-nilai agama dan adat dewasa ini yang mulai menurun dan
menjadi perhatian semua kalangan (Bappeda, 2010).
Melihat dari faktor resiko penularan HIV/AIDS yang disebabkan oleh faktor
perilaku masyarakat, maka persoalan HIV/IDS tidak hanya dikatakan sebagai
masalah kesehatan semata, tetapi hal ini juga merupakan masalah sosial. Oleh karena
itu, permasalahan HIV/AIDS juga memerlukan penanggulangan yang komprehensif
dan melibatkan banyak pihak.
Sehubungan dengan kenyataan di atas, maka telah dilakukan penelitian tentang
pengembangan strategi dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS yang sesuai dengan
kondisi sosial budaya. Data ini diperlukan sebagai bahan masukan untuk
rekomendasi sebagai upaya mencari alternatif solusi dalam upaya penanggulangan
penyakit HIV/AIDS. Artikel ini didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan
penulis dengan judul penelitian “Pengembangan Strategi Penanggulangan HIV/AIDS
Melalui Pendekatan Sosial Budaya.” Tujuan
Pengembangan strategi dalam upaya ...(Yulfira M) 3 penulisan ini adalah untuk
mendeskripsikan bagaimana strategi yang dapat dikembangkan dalam upaya
penanggulangan HIV/AIDS melalui pendekatan sosial budaya. praktisi lapangan,
organisasi sosial masyarakat sipil (LKAM dan MUI) dengan jumlah informan sebanyak
17 orang. Adapun jumlah total keseluruhan informan adalah sebanyak 27 orang.

http://abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/R0313047_bab2.pdf

https://www.researchgate.net/publication/312956066_PENGEMBANGAN_STR
ATEGI_DALAM_UPAYA_PENANGGULANGAN_HIVAIDS_MELALUI_PE
NDEKATAN_SOSIAL_BUDAYA

Anda mungkin juga menyukai