3. Faktor Obstetri
c) Pecahnya ketuban Ketuban pecah dini lebih dari 4 jam sebelum persalinan
meningkatkan risiko penularan hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban
pecah kurang dari 4 jam. 22 d) Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forceps
meningkatkan risiko penularan HIV karena berpotensi melukai ibu atau bayi
(Permenkes, 2013)
f. Gambaran klinis
g. Pencegahan
h. Penatalaksanaan
HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total.
Namun, data selama 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa
pengobatan dengan kombinasi beberapa obat anti HIV (obat retroviral, atau disingkat
ARV) bermanfaat menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. Orang
dengan HIV/AIDS menjadi lebih sehat, dapat bekerja normal dan 24 produktif.Manfaat
ARV dicapai melalui pulihnya kerentanan ODHA terhadap infeksi oportunistik (Sudoyo,
2010).
3) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih
baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikologis dan dukungan agama
serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan. (Sudoyo, 2010)
penatalaksanaan wanita hamil dimulai dari fase kehamilan, persalinan dan pasca
persalinan. Apabila wanita tersebut sudah diketahui terinfeksi HIV sebelum hamil maka
penatalaksanaan yang di lakukan sesuai 25 dengan penatalaksaan sebelum hamil yaitu
pemberian ARV, pemberian profilaksis kotrimoksazol, pemberian informasi, konseling
dan dukungan untuk kehamilan ini (Green,2009)
2) Diperlukan rencana tindak lanjut kepada anak yang terpajan HIV untuk
meninjau rencana pemberian ASI dan berikan perawatan ARV.
4) Dukungan psikologis dari keluarga dan lingkungan serta tenaga kesehatan yang
menangani.
6) Pilihan untuk menyusui bayinya atau tidak. Risiko penularan HIV dari ibu ke
bayi melalui menyusui cukup tinggi 5-20%. Apabila ibu tidak menyusui bayinya,
risiko penularan HIV menjadi 20-30% dan akan berkurang jika ibu mendapatkan
ARV. Pemberian ARV jangka pendek dan ASI 26 eksklusif memiliki risiko
penularan 15-25% dan risiko penularan sebesar 5-15% apabila ibu tidak menyusui
(PASI). Namun, terapi ARV jangka panjang, risiko penularan menjadi 1-5% dan
ibu dapat menyusui secara eksklusif dengan risiko penularan yang sama
(Permenkes RI, 2013)
7) Pemilihan Alat kontrasepsi yang tepat. Apabila salah satu pasangan tidak
terinfeksi maka alat kontrasepsi kondom adalah pilihan yang paling tepat. Karena
kondom dapat menghindarkan dari berbagai infeksi HIV mapun penyakit IMS
lainnya. Namun, apanila keduanya sudah terinfeksi maka AKDR (Alat
Kontrasepsi Dalam Rahim) merupakan pilihan yang tepat pada kondisi tersebut
(Cunningham dkk, 2014). Apabila ibu sudah memiliki anak yang cukup dan tidak
ingin
Karena antibody ibu bisa dideteksi pada bayi sampai bayi berusia 18 bulan, maka
tes ELISA dan Western Blot akan positif meskipun bayi tidak terinfeksi HIV karena tes
ini berdasarkan ada atau tidaknya antibody terhadap virus HIV. Tes paling spesifik untuk
mengidentifikasi HIV adalah PCR pada dua saat yang berlainan. DNA PCR pertama
diambil saat bayi berusia 1 bulan karena tes ini kurang sensitive selama periode satu
bulan setelah lahir. CDC merekomendasikan pemeriksaan DNA PCR setidaknya diulang
pada saat bayi berusia empat bulan. Jika tes ini negative, maka bayi terinfeksi HIV.
Tetapi bila bayi tersebut mendapatkan ASI, maka bayi resiko tertular HIV sehingga tes
PCR perlu diulang setelah bayi disapih. Pada usia 18 bulan, pemeriksaan ELISA bisa
dilakukan pada bayi bila tidak tersedia sarana pemeriksaan yang lain.
CDC mengembangkan klasifikasi HIV pada bayi dan anak berdasarkan hitung
limfosit CD4+ dan manifestasi klinis penyakit. Pasien dikategorikan berdasarkan derajat
imunosupresi (1, 2, atau 3) dan kategori klinis (N, A, B, C, E). Klasifikasi ini
memungkinkan adanya surveilans serta perawatan pasien yang lebih baik. Klasifikasi
klinis dan imunologis ini bersifat eksklusif, sekali pasien diklasifikasikan dalam suatu
kategori, maka diklasifikasi ini tidak berubah walaupun terjadi perbaikan status karena
pemberian terapi atau factor lain.
Gejala umum yang ditemukan pada bayi dengan infeksi HIV adalah:
Gangguan tumbuh kembang
Kandidiasis oral
Diare kronis
Hepatosplenomegali (pembesaran hepar dan lien)
c. Penularan
Penularan HIV dari bayi kepada bayinya dapat melalui:
BBL memproduksi respon antibodi yg tdk terlalu aktif, Lebih terbatas thd infeksi
HIV Bayi lahir dg ibu HIV seropositif : memiliki antibody HIV saat lahir. Bayi tdk
terinfeksi akan kehilangan antibodi maternal sekitar 8-15 bln. Sebagian besar bayi
terinfeksi : mengembangkan antibodi mereka sendiri dan tetap seporopositif
Bayi yang memperlihatkan tanda2 infeksi saat lahir cenderung meninggal dlm
satu bulan.
d. Pencegahan
Penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah melalui :
Saat hamil. Penggunaan antiretroviral selama kehamilan yang bertujuan agar vital
load rendah sehingga jumlah virus yang ada di dalam darah dan cairan tubuh kurang
efektif untuk menularkan HIV.
Saat melahirkan. Penggunaan antiretroviral(Nevirapine) saat persalinan dan bayi baru
dilahirkan dan persalinan sebaiknya dilakukan dengan metode sectio caesar karena
terbukti mengurangi resiko penularan sebanyak 80%.
Setelah lahir. Informasi yang lengkap kepada ibu tentang resiko dan manfaat ASI
Untuk mengurangi resiko penularan, ibu dengan HIV positif bisa memberikan susu
formula pengganti ASI, kepada bayinya. Namun, pemberian susu formula harus sesuai
dengan persyaratan AFASS dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu Acceptable =
mudah diterima, Feasible = mudah dilakukan, Affordable = harga terjangkau, Sustainable
= berkelanjutan, dan Safe = aman penggunaannya
Pada daerah tertentu di mana pemberian susu formula tidak memenuhi persyaratan
AFASS, ibu HIV positif harus mendapatkan konseling jika memilih untuk memberikan
ASI eksklusif.
e. Penatalaksanaan
Asuhan ibu : ikuti panduan Center for Disease Control (CDC) untuk profilaksis
antiretrovirus gestasional
Asuhan bayi : dengan pemberian obat-obat ARV, maka daya tahan tubuh anak dapat
meningkat dan mereka dapat tumbuh dan berkembang seperti anak normal lainnya.
f. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan assay antibodi dapat mendeteksi antibodi terhadap HIV. Tetapi karena
antibodi anti HIV maternal ditransfer secara pasif selama kehamilan dan dapat dideteksi
hingga usia anak 18 bulan, maka adanya hasil antibodi yang positif pada anak kurang dari
18 bulan tidak serta merta menjadikan seorang anak pasti terinfeksi HIV. Karenanya
diperlukan uji laboratorik yang mampu mendeteksi virus atau komponennya seperti:
Teknologi uji virologi masih dianggap mahal dan kompleks untuk negara berkembang.
Real time PCR(RT-PCR) mampu mendeteksi RNA dan DNA HIV, dan saat ini sudah
dipasarkan dengan harga yang jauh lebih murah dari sebelumnya. Assay ICD p24 yang
sudah dikembangkan hingga generasi keempat masih dapat dipergunakan secara terbatas.
Evaluasi dan pemantauan kualitas uji laboratorium harus terus dilakukan untuk kepastian
program. Selain sampel darah lengkap (whole blood) yang sulit diambil pada bayi kecil,
saat ini juga telah dikembangkan di negara tertentu penggunaan dried blood spots (DBS)
pada kertas saring tertentu untuk uji DNA maupun RNA HIV. Tetapi uji ini belum
dipergunakan secara luas, masih terbatas pada penelitian.
Meskipun uji deteksi antibodi tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis
definitif HIV pada anak yang berumur kurang dari 18 bulan, antibodi HIV dapat
digunakan untuk mengeksklusi infeksi HIV, paling dini pada usia 9 sampai 12 bulan pada
bayi yang tidak mendapat ASI atau yang sudah dihentikan pemberian ASI sekurang-
kurangnya 6 minggu sebelum dilakukannya uji antibodi. Dasarnya adalah antibodi
maternal akan sudah menghilang dari tubuh anak pada usia 12 bulan.
Pada anak yang berumur lebih dari 18 bulan uji antibodi termasuk uji cepat (rapid
test) dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi HIV sama seperti orang dewasa.
Jumlah limfosit CD4 menurun dan CD8 meningkat sehingga rasio CD4/CD8
menurun. Fungsi sel T menurun, dapat dilihat dari menurunnya respons proliferatif sel T
terhadap antigen atau mitogen. Secara in vivo, menurunnya fungsi sel T ini dapat pula
dilihat dari adanya anergi kulit terhadap antigen yang menimbulkan hipersensitivitas tipe
lambat. Kadar imunoglobulin meningkat secara poliklonal. Tetapi meskipun terdapat
hipergamaglobulinemia, respons antibodi spesifik terhadap antigen baru, seperti respons
terhadap vaksinasi difteri, tetanus, atau hepatitis B menurun.
http://abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/R0313047_bab2.pdf
https://www.researchgate.net/publication/312956066_PENGEMBANGAN_STR
ATEGI_DALAM_UPAYA_PENANGGULANGAN_HIVAIDS_MELALUI_PE
NDEKATAN_SOSIAL_BUDAYA