DISPEPSIA
*Dini Yuhelfi Nuryanto, S.Ked, ** dr. H. Armaidi Darmawan, M.Epid
1
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
DISPEPSIA
Oleh:
Dini Yuhelfi Nuryanto, S.Ked
G1A216049
2
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus yang berjudul “DISPEPSIA” sebagai kelengkapan persyaratan
dalam mengikuti Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat
di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. H. Armaidi Darmawan,
M.Epid yang telah meluangkan waktu dan pikirannya sebagai pembimbing
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat
diharapkan. Selanjutnya, penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat
dan menambah ilmu bagi para pembaca.
Penulis
3
DAFTAR ISI
4
BAB I
STATUS PASIEN
I. Identitas Pasien
a. Nama/Jenis Kelamin/Umur : Ny. A/Perempuan/38 tahun
b. Pekerjaan : IRT
c. Alamat : RT 03, Tanjung Raden
II. Latar Belakang Sosio-ekonomi-demografi-lingkungan-keluarga
a. Status perkawinan : Menikah
b. Jumlah anak : 2 orang
c. Status ekonomi keluarga : Keadaan sosial ekonomi cukup
d. Kondisi rumah : Pasien tinggal bersama suami dan 2 orang
anaknya di sebuah rumah panggung, dengan atap seng, dinding dan
lantai papan. Rumah pasien terdiri dari 2 kamar tidur, 1 dapur, dan 1
kamar mandi. Pencahayaan dan ventilasi dirumah pasien masih kurang.
Ruang tamu, dapur dan kamar mandi pasien tidak terdapat jendela.
Ruang dapur yang tertata kurang rapi dan tidak begitu bersih. Kamar
mandi menggunakan wc jongkok. Sumber air bersih berasal dari PDAM
dan pencahayaan dari PLN.
e. Kondisi Lingkungan Keluarga :
Pasien tinggal bersama dengan suami dan anak pasien.
f.Kondisi lingkungan sekitar rumah :Pasien tinggal di daerah
permukiman yang padat penduduk dan halaman rumah yang tidak luas.
5
I. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke Puskesmas Olak Kemang dengan keluhan nyeri di ulu
hati sejak 3 hari sebelum datang ke puskesmas. Nyeri dirasakan seperti ditusuk-
tusuk dan tidak menjalar ke punggung. Pasien juga mengaku perut terasa
kembung dan rasa tidak enak diperut, sering sendawa, mual, muntah 1x,
muntahan terasa asam, muntah darah (-), demam (-). Nafsu makan berkurang,
badan terasa lemah namun os masih dapat melakukan aktivitas sehari-hari. BAK
dan BAB biasa. BAB hitam (-), BAB berdarah (-).
Pasien mengaku beberapa hari ini makan tidak teratur dan kurang
tidur ,Riwayat makan makanan asam dan pedas diakui pasien, riwayat
mengkonsumsi obat penghilang nyeri (-). Kebiasaan konsumsi kopi (-), merokok
(-), minum alkohol (-). Keluhan ini sering dirasakan pasien ± 1 tahun terakhir
terutama saat pasien terlambat makan dan makan makanan yang pedas dan asam,
pasien juga mengaku jika makan sering cepat kenyang.
VII.Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : compos mentis
Tanda vital :
TD : 120/80 mmHg
Nadi : 84 x permenit
6
RR : 18 x permenit
Suhu : 36,70C
BB : 68 kg
TB : 165 cm
Kepala
Mata : Konjunctiva anemis (-/-). Sklera ikterik (-/-). Pupil isokor.
Refleks cahaya (+/+)
THT : Tidak ada kelainan
Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
Pulmo :
Pemeriksaan Kanan Kiri
Jantung :
Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat.
Palpasi Ictus cordis teraba di ICS IV linea midclavicula kiri, tidak kuat
angkat.
Abdomen :
Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat.
Palpasi Ictus cordis teraba di ICS IV linea midclavicula kiri, tidak kuat
angkat.
7
Auskultasi BJ I/II regular, murmur (-), gallop (-)
Hasil Pemeriksaan
HGB : 12,0 g/ dl
Hasil Pemeriksaan
X. Diagnosis Banding
- Gastritis (ICD K29.7 Acute gastritis, unspecified)
- Gastric Ulcer (ICD K25.9 Gastric ulcer, unspecified as acute or
chronic, without hemorrhage or perforation)
8
- Duodenal Ulcer (ICD K26.9 Duodenal ulcer, unspecified as acute or
chronic, without hemorrhage or perforation
XI. Manajemen
a. Promotif :
- Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya dan pengobatannya
- Menjelaskan kepada pasien untuk mengatur pola makan
- Istirahat yang cukup dan rajin berolahraga
b. Preventif :
- Jangan terlambat makan, sebaiknya makan tepat waktu.
- Jangan mengonsumsi makanan yang pedas, terlalu asam ataupun
banyak mengandung gas yang dapat menimbulkan gas di lambung
(kubis, kol, kentang, semangka, melon) dan makanan berlemak yang
dapat menghambat pengosongan lambung
- Hindari stress dan kecemasan dalam diri.
- Jangan sembarangan membeli obat di warung.
- Kurangi aktivitas yang terlalu berat, jangan terlalu kelelahan.
c. Kuratif :
Non Farmakologi
Istirahat
Tidak makan terlalu banyak dalam satu waktu makan dan usahakan
untuk makan dengan jumlah sedikit namun frekuensi sering.
Farmakologi
Antasida doen tablet 400 mg 3 x 1 untuk 5 hari
Ranitidin tablet 150 mg 2 x 1 untuk 5 hari
Alternatif lain :
• Omeprazol tablet 20 mg 2 x sehari
• Cimetidin tablet 200 mg 2 x sehari
• Lansoprazol tablet 30 mg 2 x sehari
Temu lawak
9
3 x 1 kapsul (500 mg ekstrak)/hari
Kunyit
d. Rehabilitatif
Menjelaskan kepada pasien agar selalu menjaga pola makan dan minum
obat secara teratur dan menginstruksikan pasien agar menghabiskan obat-obat
yang diberikan. Jika nyerinya makin bertambah segera dibawa ke puskesmas atau
ke rumah sakit.
10
Resep puskesmas Resep ilmiah 1
Tanggal
Umur :: 20 Th 2018 Tanggal
Umur :: 21 Th 2018
11
Pro : Nn. R
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Dispepsia adalah sekumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau
rasa tidak nyaman diepigastrium, mual, muntah, kembung, rasa penuh atau cepat
kenyang, dan sering bersendawa. Dispepsia dapat disebabkan oleh kelainan
organik (misalnya tukak peptik, gastritis, kolesistitis, dan lainnya), bila telah
diketahui adanya kelainan organik sebagai penyebabnya. maupun yang bersifat
nonorganik/fungsional/ dyspepsia non ulkus, bila tidak jelas penyebabnya.
Ada berbagai macam definisi dispepsia. Salah satu definisi yang
dikemukakan oleh suatu kelompok kerja internasional adalah: Sindroma yang
terdiri dari keluhan - keluhan yang disebabkan karena kelainan traktus digestivus
bagian proksimal yang dapat berupa mual atau muntah, kembung, dysphagia, rasa
penuh, nyeri epigastrium atau nyeri retrosternal dan ruktus, yang berlangsung
lebih dari 3 bulan. Dengan demikian dispepsia merupakan suatu sindrom klinik
yang bersifat kronik.2
2.2 Etiologi
Penyebab Dispepsia meliputi : 4,5
1. Dispepsia Organik, Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan
organik sebagai
12
penyebabnya. Sindroma dispepsia organik terdapat kelainan yang nyata
terhadap organ tubuh misalnya tukak (luka) lambung, usus dua belas jari,
radang pankreas, radang empedu, dan lain-lain.1,5
Gangguan dalam lumen saluran cerna (Tukak peptic, Gastritis,
Keganasan, dll)
Gastroparesis
Obat-obatan ( AINS, Teofilin, Digitalis, Antibiotik )
Hepato Biller ( Hepatitis, Kolesistitis, Kolelitiatis, Keganasan,
Disfungsi spincter odii )
Pancreas ( Pankreatitis, Keganasan )
Keadaan Sistematik ( DM, Penyakit tiroid, Gagal ginjal,
Kehamilan, PJI )
2. Dispepsia Non organik atau fungsional , atau dispesia non ulkus, bila
tidak jelas penyebabnya. Dispepsi fungsional tanpa disertai kelainan atau
gangguan struktur organ berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium,
radiologi, dan endoskopi setelah 3 bulan dengan gejala dispepsia.7
Stress psikososial
Factor lingkungan (makanan, genetik)
Perubahan pola makan yang tidak teratur, obat-obatan yang tidak jelas,
zat-zat seperti nikotin dan alkohol serta, pemasukan makanan menjadi kurang
sehingga lambung akan kosong, kekosongan lambung dapat mengakibatkan erosi
pada lambung akibat gesekan antara dinding-dinding lambung, kondisi demikian
dapat mengakibatkan peningkatan produksi HCL yang akan merangsang
terjadinya kondisi asam pada lambung, sehingga rangsangan di medulla oblongata
membawa impuls muntah sehingga intake tidak adekuat baik makanan maupun
cairan.
Rangsangan psikis/ emosi sendiri secara fisiologis dapat mempengaruhi
lambung dengan 2 cara, yaitu:
13
- Jalur neuron: rangsangan konflik emosi pada korteks serebri
mempengaruhi kerja hipotalamus anterior dan selanjutnya ke nucleus
vagus, nervus vagus dan selanjutnya ke lambung.
- Jalur neurohumoral: rangsangan pada korteks serebri → hipotalamus
anterior → hipofisis anterior (mengeluarkan kortikotropin) → hormon →
merangsang korteks adrenal (menghasilkan hormon adrenal) →
merangsang produksi asam lambung
- Faktor psikis dan emosi (seperti pada anksietas dan depresi) dapat
mempengaruhi fungsi saluran cerna dan mengakibatkan perubahan sekresi
asam lambung, mempengaruhi motilitas dan vaskularisasi mukosa
lambung serta menurunkan ambang rangsang nyeri.Pasien dyspepsia
umumnya menderita anksietas, depresi dan neurotik lebih jelas
dibandingkan orang normal.
2.3 Patofisiologi4,5
Patofisiologi dispepsia non ulkus masih sedikit diketahui, beberapa faktor
berikut mungkin berperan penting (multifaktorial):
14
Perubahan sensifitas gaster
15
yang tampak tidak jelas dan bahkan normal. Beberapa gambaran endoskopik
yang sering dihubungkan dengan adanya infeksi Helicobacter pylori adalah:
16
Sindrom Kolon Iritatif seperti nyeri abdomen mereda setelah defikasi,
perubahan frekuensi buang air besar atau bentuknya mengalami perubahan,
perut tegang, tidak dapat menahan buang air besar dan perut kembung.
Beberapa pasien juga mengalami aerophagia, lingkaran setan dari perut
kembung diikuti oleh masuknya udara untuk menginduksi sendawa, diikuti
oleh kembung yang lebih darah. Ini memerlukan perbaikan tingkah
laku.Abnormalitas di atas belum semua diidentifikasi oleh semua peneliti dan
tidak selalu muncul pada semua penderita. Hasil yang kurang konsisten dari
bermacam terapi yang digunakan untuk terapi dispepsia non ulkus mendukung
keanekaragaman kelompok ini. 2
Gastritis adalah suatu keadaan peradangan atau pendarahan mukosa
lambung. Gastritis karena bakteri H. pylori dapat mengalami adaptasi pada
linkungan dengan pH yang sangat rendah dengan menghasilkan enzim urease
yang sangat kuat. Enzim urease tersebut akan mengubah urea dalam lambung
menjadi ammonia sehingga bakteri Helicobacter pylori yang diselubungi
“awan amoniak” yang dapat melindungi diri dari keasaman lambung.
Kemudian dengan flagella Helicobacter pylori menempel pada dinding
lambung dan mengalami multiplikasi. Bagian yang menempel pada epitel
mukosa lambung disebut adheren pedestal. Melalui zat yang disebut adhesin ,
Helicobacter pylori dapat berikatan dengan satu jenis gliserolipid yang
terdapat di dalam epitel.
Selain urease, bakteri juga mengeluarkan enzim lain misalnya katalase,
oksidase, alkaliposfatase, gamma glutamil transpeptidase, lipase, protease,
dan musinase. Enzim protease dan fosfolipase diduga merusak glikoprotein
dan fosfolipid yang menutup mukosa lambung. H. Pylori juga mengeluarkan
toksin yang beperan dalam peradangan dan reaksi imun local.
Obat anti-inflamasi non-steroid merusak mukosa lambung melalui
beberapa mekanisme. Obat-obat ini menghambat siklooksigenase mukosa
lambung sebagai pembentuk prostaglandin dari asam arakidonat yang
merupakan salah satu faktor defensif mukosa lambung yang sangat penting.
Selain itu, obat ini juga dapat merusak secara topikal. Kerusakan topikal ini
terjadi karena kandungan asam dalam obat tersebut bersifat korosif, sehingga
17
merusak sel-sel epitel mukosa. Pemberian aspirin juga dapat menurunkan
sekresi bikarbonat dan mukus oleh lambung, sehingga kemampuan faktor
defensif terganggu.
Ulkus peptikum merupakan keadaan di mana kontinuitas mukosa esophagus,
lambung ataupun duodenum terputus dan meluas sampai di bawah epitel.
Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel disebut erosi,
walaupun seringkali dianggap juga sebagai ulkus. Ulkus kronik berbeda
dengan ulkus akut, karena memiliki jaringan parut pada dasar ulkus. Menurut
definisi, ulkus peptik dapat ditemukan pada setiap bagian saluran cerna yang
terkena getah asam lambung, yaitu esofagus, lambung, duodenum, dan setelah
gastroduodenal, juga jejunum.
Sawar mukosa lambung penting untuk perlindungan lambung dan
duodenum. Obat anti inflamasi non steroid termasuk aspirin menyebabkan
perubahan kualitatif mucus lambung yang dapat mempermudah terjadinya
degradasi mucus oleh pepsin. Prostaglandin yang terdapat dalam jumlah
berlebihan dalam mucus gastric dan tampaknya berperan penting dalam
pertahanan mukosa lambung.
Aspirin, alkohol, garam empedu dan zat – zat lain yang merosak mukosa
lambung mengubah permeabilitas sawar epitel, sehingga memungkinkan
difusi balik asam klorida yang mengakibatkan kerosakan jaringan, terutama
pembuluh darah. Histamin dikeluarkan, merangsang sekresi asam dan pepsin
lebih lanjut dan meningkatkan permeabilitas kapiler terhadap protein. Mukosa
menjadi edema dan sejumlah besar protein plasma dapat hilang. Mukosa
kapiler dapat rusak, mengakibatkan terjadinya hemoragi interstitial dan
perdarahan. Sawar mukosa tidak dipengaruhi oleh penghambatan vagus atau
atropine, tetapi difusi balik dihambat oleh gastrin.
Destruksi sawar mukosa lambung diduga merupakan faktor penting dalam
patogenesis ulkus peptikum. Ulkus peptikum sering terletak di antrum karena
mukosa antrum lebih rentan terhadap difusi balik disbanding fundus. Selain
itu, kadar asam yang rendah dalam analisis lambung pada penderita ulkus
peptikum diduga disebabkan oleh meningkatnya difusi balik dan bukan
disebabkan oleh produksi yang berkurang.
18
Daya tahan duodenum yang kuat terhadap ulkus peptikum diduga akibat
fungsi kelenjar Brunner (kelenjar duodenum submukosa dalam dinding usus)
yang memproduksi sekret mukoid yang sangat alkali, pH 8 dan kental untuk
menetralkan kimus asam. Penderita ulkus peptikum sering mengalami sekresi
asam berlebihan. Faktor penurunan daya tahan jaringan juga terlibat dalam
ulkus peptikum. Daya tahan jaringan juga bergantung pada banyaknya suplai
darah dan cepatnya regenerasi sel epitel (dalam keadaan normal diganti setiap
3 hari). kegagalan mekanisme ini juga berperan dalam patogenesis ulkus
peptikum.
19
20
2.4 Manifestasi Klinis 5
Berdasarkan atas keluhan atau gejala yang dominan, membagi dispepsia
menjadi 3 tipe :
1. Dispepsia dan keluhan seperti ulkus (ulcus-like dyspepsia), dengan gejala:
a. Nyeri epigastrium terlokalisasi.
b. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasid.
c. Nyeri saat lapar.
d. Nyeri episodik.
2. Dispepsia dengan GFI seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspepsia),
dengan gejala :
a. Mudah kenyang
c. Mual
d. Muntah
Laboratorium
21
Pemeriksaan laboratorium tidak terlalu diperlukan, bisa dilakukan untuk
menyingkirkan penyebab organik lainnya seperti: pankreatitis kronik, diabetes
mellitus, dan lainnya. Pada dispepsia fungsional biasanya hasil laboratorium
dalam batas normal.
Radiologis
Pemeriksaan radiologis banyak menunjang dignosis suatu penyakit di saluran
makan. Setidak-tidaknya perlu dilakukan pemeriksaan radiologis terhadap saluran
makan bagian atas, dan sebaiknya menggunakan kontras ganda.
Endoskopi (Esofago-Gastro-Duodenoskopi)
Sesuai dengan definisi bahwa pada dispepsia fungsional, gambaran endoskopinya
normal atau sangat tidak spesifik.
USG (ultrasonografi)
Merupakan diagnostik yang tidak invasif, akhir-akhir ini makin banyak
dimanfaatkan untuk membantu menentukan diagnostik dari suatu penyakit,
apalagi alat ini tidak menimbulkan efek samping, dapat digunakan setiap saat dan
pada kondisi klien yang beratpun dapat dimanfaatkan.
22
bagian atas jarang pada umur <50 tahun, pemeriksaan endoskopi direkomendasi
pada pasien yang berusia > 50 tahun. Juga direkomendasi pada pasien yang
mangalami penurunan berat badan yang signifikan, terjadi pendarahan, dan
muntah yang terlalu terus menerus.2
• Gastritis
• Ulkus Duodenum
23
kejadian penuh stress secara fisiologis. Kondisi stress ini dapat berupa luka bakar,
syok, sepsis berat, dan trauma. Jika kondisi stress berlanjut, kemungkinan ulkus
akan menjadi semakin luas. Penderita dengan gen keturunan ulkus, 2-3 kali lebih
beresiko terkena ulkus dibandingan penderita yang tidak memiliki gen keturunan
ulkus
• Ulkus Peptikum
24
juga berkhasiat sebagai adsorben sehingga bersifat nontoksik, namun dalam
dosis besar akan menyebabkan diare karena terbentuk senyawa MgCl2. Pada
saat ini sudah jarang digunakan, sering untuk menghilangkan rasa sakit. Dosis
3x1 tablet.
2. Antikolinergik
Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang agak
selektif yaitu pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat
menekan sekresi asam lambung sekitar 28-43%. Pirenzepin juga memiliki efek
sitoprotektif.
3. Antagonis reseptor H2
Struktur homolog dengan histamin. Mekanisme kerjanya memblokir efek
histamin pada sel parietal untuk tidak memproduksi asam lambung. Dosis:
Cimetidin (2x200 mg), Ranitidin 150 mg/hari, Nizatidin 1x300 mg, Famotidin
(1x40 mg), Roksatidin (2x75 mg)..
Omeprazol 2x20 mg
Lansoprazol/Pantoprazol 2x30 mg
Terapi Tripel
25
- PPI 2x1 + Amoksisislin 2x1000 + Klaritromisin 2x500
- PPI 2x1 + Metronidazol 3x500 + Klaritromisin 2x500
- PPI 2x1 + Metronidazol 3x500 + Amoksisilin 2x1000
- PPI 2x1 + Metronidazol 3x500 + Tetrasiklin 4x500
Terapi Kuadrupel, jika gagal dengan terapi tripel. Regimen terapinya yaitu:
PPI 2x1, Bismuth 4x2, metronidazol 4x250, tetrasiklin 4x500.
5. Sitoprotektif
6. Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan prokinetik, yaitu sisaprid, dom peridon dan
metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia
fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan memperbaiki
bersihan asam lambung (acid clearance).
Penatalaksanaan non farmakologis
26
mengkomsumsi makanan yang berkadar asam tinggi, cabai, alkohol, dan pantang
rokok, bila harus makan obat karena sesuatu penyakit, misalnya sakit kepala,
gunakan obat secara wajar dan tidak mengganggu fungsi lambung.
27
BAB III
ANALISA KASUS SECARA HOLISTIK
1. Pasien mengaku beberapa hari ini makan tidak teratur dan senang makan
makanan asam dan pedas.
2. Pasien juga sangat jarang berolah raga dan kurang tidur.
Bila dilihat dari keadaan perilaku kesehatan pasien maka jelas ada
hubungannya dengan penyakit yang dialami oleh pasien karena hal-hal tersebut
merupakan faktor resiko dari dispepsia. Terdapat hubungan antara perilaku
kesehatan dalam keluarga dengan penyakit yang diderita pasien.
28
Pada pasien ini dari anamnesis yang dilakukan terhadap berbagai faktor
yang bisa menyebabkan terjadinya penyakit ini didapatkan kesimpulan bahwa
kebiasaan pasien dengan tidak menjaga pola makan yang teratur, seringnya
mengonsumsi makan makanan asam dan pedas, kurangnya aktivitas olahraga dan
kurang tidur menjadi faktor resiko yang mendukung terjadinya penyakit ini.
29
LAMPIRAN
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Hirlan. Gastritis dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid 1. Jakarta.
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:
2006. hal. 335-7.
2. Tarigan P. Tukak Gaster dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1.
Jakarta. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia: 2006. hal. 338-44.
3. Djojoningrat D. Dispepsia Fungsional dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, jilid 1. Jakarta. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: 2006. hal. 352-4.
4. Lindseth G. Gangguan Lambung dan Duodenum dalam Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-proses Penyakit, volume 1. ECG: 2006. hal. 422-3.
5. Mubin H. Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam Diagnosis dan Terapi. EGC:
2001. hal 240.
31