Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

* Pendidikan Profesi Dokter / G1A216049 / November 2018


** Preseptor

DISPEPSIA
*Dini Yuhelfi Nuryanto, S.Ked, ** dr. H. Armaidi Darmawan, M.Epid

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PUSKESMAS OLAK KEMANG
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2018

1
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
DISPEPSIA

Oleh:
Dini Yuhelfi Nuryanto, S.Ked
G1A216049

Sebagai salah satu tugas program pendidikan profesi dokter


Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Jambi
2018

Jambi, November 2018


Preseptor,

dr. H. Armaidi Darmawan, M.Epid

2
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus yang berjudul “DISPEPSIA” sebagai kelengkapan persyaratan
dalam mengikuti Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat
di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. H. Armaidi Darmawan,
M.Epid yang telah meluangkan waktu dan pikirannya sebagai pembimbing
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat
diharapkan. Selanjutnya, penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat
dan menambah ilmu bagi para pembaca.

Jambi, November 2018

Penulis

3
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................... i


KATA PENGANTAR ............................................................................. ii
DAFTAR ISI ....................................................................................... iii
BAB I STATUS PASIEN........................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ 9
BAB III ANALISA KASUS................................................................... 24
LAMPIRAN............................................................................................ 26
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 27

4
BAB I
STATUS PASIEN

I. Identitas Pasien
a. Nama/Jenis Kelamin/Umur : Ny. A/Perempuan/38 tahun
b. Pekerjaan : IRT
c. Alamat : RT 03, Tanjung Raden
II. Latar Belakang Sosio-ekonomi-demografi-lingkungan-keluarga
a. Status perkawinan : Menikah
b. Jumlah anak : 2 orang
c. Status ekonomi keluarga : Keadaan sosial ekonomi cukup
d. Kondisi rumah : Pasien tinggal bersama suami dan 2 orang
anaknya di sebuah rumah panggung, dengan atap seng, dinding dan
lantai papan. Rumah pasien terdiri dari 2 kamar tidur, 1 dapur, dan 1
kamar mandi. Pencahayaan dan ventilasi dirumah pasien masih kurang.
Ruang tamu, dapur dan kamar mandi pasien tidak terdapat jendela.
Ruang dapur yang tertata kurang rapi dan tidak begitu bersih. Kamar
mandi menggunakan wc jongkok. Sumber air bersih berasal dari PDAM
dan pencahayaan dari PLN.
e. Kondisi Lingkungan Keluarga :
Pasien tinggal bersama dengan suami dan anak pasien.
f.Kondisi lingkungan sekitar rumah :Pasien tinggal di daerah
permukiman yang padat penduduk dan halaman rumah yang tidak luas.

III. Aspek Perilaku dan Psikologis di Keluarga


Hubungan pasien dengan anggota keluarga baik dan terkesan harmonis.

IV. Keluhan Utama :


Nyeri ulu hati sejak 3 hari sebelum datang ke Puskesmas.

5
I. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke Puskesmas Olak Kemang dengan keluhan nyeri di ulu
hati sejak 3 hari sebelum datang ke puskesmas. Nyeri dirasakan seperti ditusuk-
tusuk dan tidak menjalar ke punggung. Pasien juga mengaku perut terasa
kembung dan rasa tidak enak diperut, sering sendawa, mual, muntah 1x,
muntahan terasa asam, muntah darah (-), demam (-). Nafsu makan berkurang,
badan terasa lemah namun os masih dapat melakukan aktivitas sehari-hari. BAK
dan BAB biasa. BAB hitam (-), BAB berdarah (-).
Pasien mengaku beberapa hari ini makan tidak teratur dan kurang
tidur ,Riwayat makan makanan asam dan pedas diakui pasien, riwayat
mengkonsumsi obat penghilang nyeri (-). Kebiasaan konsumsi kopi (-), merokok
(-), minum alkohol (-). Keluhan ini sering dirasakan pasien ± 1 tahun terakhir
terutama saat pasien terlambat makan dan makan makanan yang pedas dan asam,
pasien juga mengaku jika makan sering cepat kenyang.

V. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat di rawat di Rumah Sakit karena keluhan serupa (-)
Keluhan serupa (+) sejak 1 tahun terakhir
Riwayat sakit kuning (-)

II. Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga yang mengalami keluhan serupa (-)

VI. Riwayat makan, alergi, obat obatan, perilaku kesehatan


- Pasien senang makan makanan asam dan pedas. . Kebiasaan konsumsi
teh ada sekali-kali, kopi (-)
- Pasien sering terlambat makan
- Riwayat alergi makanan dan obat-obatan tidak ada
- Riwayat merokok dan minum alkohol disangkal.
- Pasien jarang berolahraga dan kurang tidur

VII.Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : compos mentis
Tanda vital :
TD : 120/80 mmHg
Nadi : 84 x permenit

6
RR : 18 x permenit
Suhu : 36,70C
BB : 68 kg
TB : 165 cm

Kepala
Mata : Konjunctiva anemis (-/-). Sklera ikterik (-/-). Pupil isokor.
Refleks cahaya (+/+)
THT : Tidak ada kelainan
Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
Pulmo :
Pemeriksaan Kanan Kiri

Inspeksi Simetris Simetris

Palpasi Stem fremitus normal Stem fremitus normal

Perkusi Sonor Sonor

Auskultasi Vesikuler (+) Vesikuler (+)


Wheezing (-), rhonki (-) Wheezing (-), rhonki (-)

Jantung :
Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat.

Palpasi Ictus cordis teraba di ICS IV linea midclavicula kiri, tidak kuat
angkat.

Perkusi Batas-batas jantung :


Atas : ICS II kiri
Kanan : Linea sternalis kanan
Kiri : ICS IV linea midclavicula kiri

Auskultasi BJ I/II regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen :
Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat.

Palpasi Ictus cordis teraba di ICS IV linea midclavicula kiri, tidak kuat
angkat.

Perkusi Batas-batas jantung :


Atas : ICS II kiri
Kanan : Linea sternalis kanan
Kiri : ICS IV linea midclavicula kiri

7
Auskultasi BJ I/II regular, murmur (-), gallop (-)

Ekstremitas Superior : akral hangat, edema (-/-)


Ekstremitas Inferior : akral hangat, edema (-/-)

III. Pemeriksaan penunjang


• Pemeriksaan Darah Rutin

Hasil Pemeriksaan

HGB : 12,0 g/ dl

RBC : 5,54 juta/mm3 darah

WBC : 4.700 sel/ mm3 darah

PLT : 250.000 sel/mm3 darah

• Pemeriksaan Urine Rutin

Hasil Pemeriksaan

Warna : Kuning muda


BJ : 1020
Ph :6 (4,5 – 8 )
Protein : negatif (negatif)
Glukosa : negatif (negatif)
Bilirubin: negatif (negatif)
Nitrit : negatif (negatif)
Leukosit : 0 – 5/lpb (0 – 5/ lpb)
Eritrosit : 0 – 5/lpb (0 – 5/ lpb)

VIII. Usulan Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Endoskopi

IX. Diagnosis Kerja


Dispepsia (K.30)

X. Diagnosis Banding
- Gastritis (ICD K29.7 Acute gastritis, unspecified)
- Gastric Ulcer (ICD K25.9 Gastric ulcer, unspecified as acute or
chronic, without hemorrhage or perforation)

8
- Duodenal Ulcer (ICD K26.9 Duodenal ulcer, unspecified as acute or
chronic, without hemorrhage or perforation

XI. Manajemen
a. Promotif :
- Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya dan pengobatannya
- Menjelaskan kepada pasien untuk mengatur pola makan
- Istirahat yang cukup dan rajin berolahraga
b. Preventif :
- Jangan terlambat makan, sebaiknya makan tepat waktu.
- Jangan mengonsumsi makanan yang pedas, terlalu asam ataupun
banyak mengandung gas yang dapat menimbulkan gas di lambung
(kubis, kol, kentang, semangka, melon) dan makanan berlemak yang
dapat menghambat pengosongan lambung
- Hindari stress dan kecemasan dalam diri.
- Jangan sembarangan membeli obat di warung.
- Kurangi aktivitas yang terlalu berat, jangan terlalu kelelahan.

c. Kuratif :
Non Farmakologi
 Istirahat
 Tidak makan terlalu banyak dalam satu waktu makan dan usahakan
untuk makan dengan jumlah sedikit namun frekuensi sering.
Farmakologi
 Antasida doen tablet 400 mg 3 x 1 untuk 5 hari
 Ranitidin tablet 150 mg 2 x 1 untuk 5 hari

Alternatif lain :
• Omeprazol tablet 20 mg 2 x sehari
• Cimetidin tablet 200 mg 2 x sehari
• Lansoprazol tablet 30 mg 2 x sehari

Obat Tradisional ( FOHAI)

Temu lawak

9
 3 x 1 kapsul (500 mg ekstrak)/hari

Kunyit

 3 x 1 kapsul (500 mg ekstrak)/hari

d. Rehabilitatif
Menjelaskan kepada pasien agar selalu menjaga pola makan dan minum
obat secara teratur dan menginstruksikan pasien agar menghabiskan obat-obat
yang diberikan. Jika nyerinya makin bertambah segera dibawa ke puskesmas atau
ke rumah sakit.

10
Resep puskesmas Resep ilmiah 1

Dinas Kesehatan Kota Jambi Dinas Kesehatan Kota Jambi


Puskesmas Olak Kemang Puskesmas Olak Kemang
dr. Dini Yuhelfi N SIP: 050516 dr. Dini Yuhelfi N SIP: 050516
Jalan Platuk Raya No. 75 Jalan Platuk Raya No. 75

Tanggal : 2018 Tanggal : 2018

Resep ilmiah 2 Resep ilmiah 3

Dinas Kesehatan Kota Jambi Dinas Kesehatan Kota Jambi


Puskesmas Olak Kemang Puskesmas Olak Kemang
dr. Dini Yuhelfi N SIP: 050516 dr. Dini Yuhelfi N SIP: 050516
Pro Jalan
: Nn.Platuk
R Raya No. 75 Pro Jalan
: Nn.Platuk
R Raya No. 75

Tanggal
Umur :: 20 Th 2018 Tanggal
Umur :: 21 Th 2018

Alamat :RT 01 Tahtul Yaman Alamat :RT 01 Tahtul Yaman

11

Pro : Nn. R

Pro : Nn. R Umur : 20 Th


Umur : 20 Th Alamat :RT 01 Tahtul Yaman

Alamat :RT 01 Tahtul Yaman

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Dispepsia adalah sekumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau
rasa tidak nyaman diepigastrium, mual, muntah, kembung, rasa penuh atau cepat
kenyang, dan sering bersendawa. Dispepsia dapat disebabkan oleh kelainan
organik (misalnya tukak peptik, gastritis, kolesistitis, dan lainnya), bila telah
diketahui adanya kelainan organik sebagai penyebabnya. maupun yang bersifat
nonorganik/fungsional/ dyspepsia non ulkus, bila tidak jelas penyebabnya.
Ada berbagai macam definisi dispepsia. Salah satu definisi yang
dikemukakan oleh suatu kelompok kerja internasional adalah: Sindroma yang
terdiri dari keluhan - keluhan yang disebabkan karena kelainan traktus digestivus
bagian proksimal yang dapat berupa mual atau muntah, kembung, dysphagia, rasa
penuh, nyeri epigastrium atau nyeri retrosternal dan ruktus, yang berlangsung
lebih dari 3 bulan. Dengan demikian dispepsia merupakan suatu sindrom klinik
yang bersifat kronik.2

Dalam klinik tidak jarang para dokter menyamakan dispepsia dengan


gastritis. Hal ini sebaiknya dihindari karena gastritis adalah suatu diagnosa
patologik, dan tidak semua dispepsia disebabkan oleh gastritis dan tidak semua
kasus gastritis yang terbukti secara patologi anatomik disertai gejala dispepsia.
Karena dispepsia dapat disebabkan oleh banyak keadaan maka dalam menghadapi
sindrom klinik ini penatalaksanaannya seharusnya tidak seragam.1.2,3,5

2.2 Etiologi
Penyebab Dispepsia meliputi : 4,5
1. Dispepsia Organik, Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan
organik sebagai

12
penyebabnya. Sindroma dispepsia organik terdapat kelainan yang nyata
terhadap organ tubuh misalnya tukak (luka) lambung, usus dua belas jari,
radang pankreas, radang empedu, dan lain-lain.1,5
 Gangguan dalam lumen saluran cerna (Tukak peptic, Gastritis,
Keganasan, dll)
 Gastroparesis
 Obat-obatan ( AINS, Teofilin, Digitalis, Antibiotik )
 Hepato Biller ( Hepatitis, Kolesistitis, Kolelitiatis, Keganasan,
Disfungsi spincter odii )
 Pancreas ( Pankreatitis, Keganasan )
 Keadaan Sistematik ( DM, Penyakit tiroid, Gagal ginjal,
Kehamilan, PJI )
2. Dispepsia Non organik atau fungsional , atau dispesia non ulkus, bila
tidak jelas penyebabnya. Dispepsi fungsional tanpa disertai kelainan atau
gangguan struktur organ berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium,
radiologi, dan endoskopi setelah 3 bulan dengan gejala dispepsia.7
 Stress psikososial
 Factor lingkungan (makanan, genetik)

Perubahan pola makan yang tidak teratur, obat-obatan yang tidak jelas,
zat-zat seperti nikotin dan alkohol serta, pemasukan makanan menjadi kurang
sehingga lambung akan kosong, kekosongan lambung dapat mengakibatkan erosi
pada lambung akibat gesekan antara dinding-dinding lambung, kondisi demikian
dapat mengakibatkan peningkatan produksi HCL yang akan merangsang
terjadinya kondisi asam pada lambung, sehingga rangsangan di medulla oblongata
membawa impuls muntah sehingga intake tidak adekuat baik makanan maupun
cairan.
Rangsangan psikis/ emosi sendiri secara fisiologis dapat mempengaruhi
lambung dengan 2 cara, yaitu:

13
- Jalur neuron: rangsangan konflik emosi pada korteks serebri
mempengaruhi kerja hipotalamus anterior dan selanjutnya ke nucleus
vagus, nervus vagus dan selanjutnya ke lambung.
- Jalur neurohumoral: rangsangan pada korteks serebri → hipotalamus
anterior → hipofisis anterior (mengeluarkan kortikotropin) → hormon →
merangsang korteks adrenal (menghasilkan hormon adrenal) →
merangsang produksi asam lambung

- Faktor psikis dan emosi (seperti pada anksietas dan depresi) dapat
mempengaruhi fungsi saluran cerna dan mengakibatkan perubahan sekresi
asam lambung, mempengaruhi motilitas dan vaskularisasi mukosa
lambung serta menurunkan ambang rangsang nyeri.Pasien dyspepsia
umumnya menderita anksietas, depresi dan neurotik lebih jelas
dibandingkan orang normal.

2.3 Patofisiologi4,5
Patofisiologi dispepsia non ulkus masih sedikit diketahui, beberapa faktor
berikut mungkin berperan penting (multifaktorial):

 Abnormalitas Motorik Gaster

Dengan studi Scintigraphic Nuklear dibuktikan lebih dari 50% pasien


dispepsia non ulkus mempunyai keterlambatan pengosongan makanan dalam
gaster. Demikian pula pada studi monometrik didapatkan gangguan motilitas
antrum postprandial, tetapi hubungan antara kelainan tersebut dengan gejala-
gejala dispepsia tidak jelas. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa fundus
gaster yang "kaku" bertanggung jawab terhadap sindrom dispepsia. Pada
keadaan normal seharusnya fundus relaksasi, baik saat mencerna makanan
maupun bila terjadi distensi duodenum. Pengosongan makanan bertahap dari
corpus gaster menuju ke bagian fundus dan duodenum diatur oleh refleks
vagal. Pada beberapa pasien dyspepsia non ulkus, refleks ini tidak berfungsi
dengan baik sehingga pengisian bagian antrum terlalu cepat.2

14
 Perubahan sensifitas gaster

Lebih 50% pasien dispepsia non ulkus menunjukkan sensifitas terhadap


distensi gaster atau intestinum, oleh karena itu mungkin akibat: makanan yang
sedikit mengiritasi seperti makanan pedas, distensi udara, gangguan kontraksi
gaster intestinum atau distensi dini bagian Antrum postprandial dapat
menginduksi nyeri pada bagian ini.2

 Stres dan faktor psikososial

Penelitian menunjukkan bahwa didapatkan gangguan neurotik dan morbiditas


psikiatri lebih tinggi secara bermakna pada pasien dispepsia non ulkus
daripada subyek kontrol yang sehat.Banyak pasien mengatakan bahwa stres
mencetuskan keluhan dispepsia. Beberapa studi mengatakan stres yang lama
menyebabkan perubahan aktifitas vagal, berakibat gangguan akomodasi dan
motilitas gaster.Kepribadian dispepsia non ulkus menyerupai pasien Sindrom
Kolon Iritatif dan dispepsia organik, tetapi disertai dengan tanda neurotik,
ansietas dan depresi yang lebih nyata dan sering disertai dengan keluhan non-
gastrointestinal ( GI ) seperti nyeri muskuloskletal, sakit kepala dan mudah
letih. Mereka cenderung tiba-tiba menghentikan kegiatan sehari-harinya akibat
nyeri dan mempunyai fungsi sosial lebih buruk dibanding pasien dispepsia
organik. Demikian pula bila dibandingkan orang normal. Gambaran
psikologik dispepsia non ulkus ditemukan lebih banyak ansietas, depresi dan
neurotik.2

 Gastritis Helicobacter pylori

Gambaran gastritis Helicobacter pylori secara histologik biasanya gastritis


non-erosif non-spesifik. Di sini ditambahkan non-spesifik karena gambaran
histologik yang ada tidak dapat meramalkan penyebabnya dan keadaan klinik
yang bersangkutan. Diagnosa endoskopik gastritis akibat infeksi Helicobacter
pylori sangat sulit karena sering kali gambarannya tidak khas. Tidak jarang
suatu gastritis secara histologik tampak berat tetapi gambaran endoskopik

15
yang tampak tidak jelas dan bahkan normal. Beberapa gambaran endoskopik
yang sering dihubungkan dengan adanya infeksi Helicobacter pylori adalah:

a. Erosi kronik di daerah antrum.


b. Nodularitas pada mukosa antrum.

c. Bercak-bercak eritema di antrum.

d. Area gastrika yang menonjol dengan bintik-bintik eritema di daerah


korpus.

Peranan infeksi Helicobacter pylori pada gastritis dan ulkus peptikum


sudah diakui, tetapi apakah Helicobacter pylori dapat menyebabkan dispepsia
non ulkus masih kontroversi. Di negara maju, hanya 50% pasien dispepsia non
ulkus menderita infeksi Helicobacter pylori, sehingga penyebab dispepsia
pada dispepsia non ulkus dengan Helicobacter pylori negatif dapat juga
menjadi penyebab dari beberapa dispepsia non ulkus dengan Helicobacter
pylori positif. Bukti terbaik peranan Helicobacter pylori pada dispepsia non
ulkus adalah gejala perbaikan yang nyata setelah eradikasi kuman
Helicobacter pylori tersebut, tetapi ini masih dalam taraf pembuktian studi
ilmiah. Banyak pasien mengalami perbaikan gejala dengan cepat walaupun
dengan pengobatan plasebo. Studi "follow up" jangka panjang sedang
dikerjakan, hanya beberapa saja yang tidak kambuh.2

 Kelainan gastrointestinal fungsional

Dispepsia non ulkus cenderung dimasukkan sebagai bagian kelainan


fungsional GI, termasuk di sini Sindrom Kolon Iritatif, nyeri dada non-kardiak
dan nyeri ulu hati fungsional. Lebih dari 80% dengan Sindrom Kolon Iritatif
menderita dispepsia dan lebih dari sepertiga pasien dengan dispepsia kronis
juga mempunyai gejala Sindrom Kolon Iritatif. Pasien dengan kelainan seperti
ini sering ada gejala extra GI seperti migrain, myalgia dan disfungsi kencing
dan ginekologi. Pada anamnesis dispepsia jangan lupa menanyakan gejala

16
Sindrom Kolon Iritatif seperti nyeri abdomen mereda setelah defikasi,
perubahan frekuensi buang air besar atau bentuknya mengalami perubahan,
perut tegang, tidak dapat menahan buang air besar dan perut kembung.
Beberapa pasien juga mengalami aerophagia, lingkaran setan dari perut
kembung diikuti oleh masuknya udara untuk menginduksi sendawa, diikuti
oleh kembung yang lebih darah. Ini memerlukan perbaikan tingkah
laku.Abnormalitas di atas belum semua diidentifikasi oleh semua peneliti dan
tidak selalu muncul pada semua penderita. Hasil yang kurang konsisten dari
bermacam terapi yang digunakan untuk terapi dispepsia non ulkus mendukung
keanekaragaman kelompok ini. 2
Gastritis adalah suatu keadaan peradangan atau pendarahan mukosa
lambung. Gastritis karena bakteri H. pylori dapat mengalami adaptasi pada
linkungan dengan pH yang sangat rendah dengan menghasilkan enzim urease
yang sangat kuat. Enzim urease tersebut akan mengubah urea dalam lambung
menjadi ammonia sehingga bakteri Helicobacter pylori yang diselubungi
“awan amoniak” yang dapat melindungi diri dari keasaman lambung.
Kemudian dengan flagella Helicobacter pylori menempel pada dinding
lambung dan mengalami multiplikasi. Bagian yang menempel pada epitel
mukosa lambung disebut adheren pedestal. Melalui zat yang disebut adhesin ,
Helicobacter pylori dapat berikatan dengan satu jenis gliserolipid yang
terdapat di dalam epitel.
Selain urease, bakteri juga mengeluarkan enzim lain misalnya katalase,
oksidase, alkaliposfatase, gamma glutamil transpeptidase, lipase, protease,
dan musinase. Enzim protease dan fosfolipase diduga merusak glikoprotein
dan fosfolipid yang menutup mukosa lambung. H. Pylori juga mengeluarkan
toksin yang beperan dalam peradangan dan reaksi imun local.
Obat anti-inflamasi non-steroid merusak mukosa lambung melalui
beberapa mekanisme. Obat-obat ini menghambat siklooksigenase mukosa
lambung sebagai pembentuk prostaglandin dari asam arakidonat yang
merupakan salah satu faktor defensif mukosa lambung yang sangat penting.
Selain itu, obat ini juga dapat merusak secara topikal. Kerusakan topikal ini
terjadi karena kandungan asam dalam obat tersebut bersifat korosif, sehingga

17
merusak sel-sel epitel mukosa. Pemberian aspirin juga dapat menurunkan
sekresi bikarbonat dan mukus oleh lambung, sehingga kemampuan faktor
defensif terganggu.
Ulkus peptikum merupakan keadaan di mana kontinuitas mukosa esophagus,
lambung ataupun duodenum terputus dan meluas sampai di bawah epitel.
Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel disebut erosi,
walaupun seringkali dianggap juga sebagai ulkus. Ulkus kronik berbeda
dengan ulkus akut, karena memiliki jaringan parut pada dasar ulkus. Menurut
definisi, ulkus peptik dapat ditemukan pada setiap bagian saluran cerna yang
terkena getah asam lambung, yaitu esofagus, lambung, duodenum, dan setelah
gastroduodenal, juga jejunum.
Sawar mukosa lambung penting untuk perlindungan lambung dan
duodenum. Obat anti inflamasi non steroid termasuk aspirin menyebabkan
perubahan kualitatif mucus lambung yang dapat mempermudah terjadinya
degradasi mucus oleh pepsin. Prostaglandin yang terdapat dalam jumlah
berlebihan dalam mucus gastric dan tampaknya berperan penting dalam
pertahanan mukosa lambung.
Aspirin, alkohol, garam empedu dan zat – zat lain yang merosak mukosa
lambung mengubah permeabilitas sawar epitel, sehingga memungkinkan
difusi balik asam klorida yang mengakibatkan kerosakan jaringan, terutama
pembuluh darah. Histamin dikeluarkan, merangsang sekresi asam dan pepsin
lebih lanjut dan meningkatkan permeabilitas kapiler terhadap protein. Mukosa
menjadi edema dan sejumlah besar protein plasma dapat hilang. Mukosa
kapiler dapat rusak, mengakibatkan terjadinya hemoragi interstitial dan
perdarahan. Sawar mukosa tidak dipengaruhi oleh penghambatan vagus atau
atropine, tetapi difusi balik dihambat oleh gastrin.
Destruksi sawar mukosa lambung diduga merupakan faktor penting dalam
patogenesis ulkus peptikum. Ulkus peptikum sering terletak di antrum karena
mukosa antrum lebih rentan terhadap difusi balik disbanding fundus. Selain
itu, kadar asam yang rendah dalam analisis lambung pada penderita ulkus
peptikum diduga disebabkan oleh meningkatnya difusi balik dan bukan
disebabkan oleh produksi yang berkurang.

18
Daya tahan duodenum yang kuat terhadap ulkus peptikum diduga akibat
fungsi kelenjar Brunner (kelenjar duodenum submukosa dalam dinding usus)
yang memproduksi sekret mukoid yang sangat alkali, pH 8 dan kental untuk
menetralkan kimus asam. Penderita ulkus peptikum sering mengalami sekresi
asam berlebihan. Faktor penurunan daya tahan jaringan juga terlibat dalam
ulkus peptikum. Daya tahan jaringan juga bergantung pada banyaknya suplai
darah dan cepatnya regenerasi sel epitel (dalam keadaan normal diganti setiap
3 hari). kegagalan mekanisme ini juga berperan dalam patogenesis ulkus
peptikum.

19
20
2.4 Manifestasi Klinis 5
Berdasarkan atas keluhan atau gejala yang dominan, membagi dispepsia
menjadi 3 tipe :
1. Dispepsia dan keluhan seperti ulkus (ulcus-like dyspepsia), dengan gejala:
a. Nyeri epigastrium terlokalisasi.
b. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasid.
c. Nyeri saat lapar.
d. Nyeri episodik.
2. Dispepsia dengan GFI seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspepsia),
dengan gejala :

a. Mudah kenyang

b. Perut cepat terasa penuh saat makan

c. Mual

d. Muntah

e. Upper abdominal bloating

f. Rasa tak nyaman bertambah saat makan.

3. Dispepsia nonspesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe diatas)

2.5 Diagnosis 3,5


Berbagai macam penyakit dapat menimbulkan keluhan yang sama, seperti
halnya pada sindrom dispepsia, oleh karena dispepsia hanya merupakan kumpulan
gejala dan penyakit disaluran pencernaan, maka perlu dipastikan penyakitnya.
Untuk memastikan penyakitnya, maka perlu dilakukan beberapa pemeriksaan,
selain pengamatan jasmani, juga perlu diperiksa: laboratorium, radiologis,
endoskopi, USG, dan lain-lain.

Laboratorium

21
Pemeriksaan laboratorium tidak terlalu diperlukan, bisa dilakukan untuk
menyingkirkan penyebab organik lainnya seperti: pankreatitis kronik, diabetes
mellitus, dan lainnya. Pada dispepsia fungsional biasanya hasil laboratorium
dalam batas normal.

Radiologis
Pemeriksaan radiologis banyak menunjang dignosis suatu penyakit di saluran
makan. Setidak-tidaknya perlu dilakukan pemeriksaan radiologis terhadap saluran
makan bagian atas, dan sebaiknya menggunakan kontras ganda.

Endoskopi (Esofago-Gastro-Duodenoskopi)
Sesuai dengan definisi bahwa pada dispepsia fungsional, gambaran endoskopinya
normal atau sangat tidak spesifik.

USG (ultrasonografi)
Merupakan diagnostik yang tidak invasif, akhir-akhir ini makin banyak
dimanfaatkan untuk membantu menentukan diagnostik dari suatu penyakit,
apalagi alat ini tidak menimbulkan efek samping, dapat digunakan setiap saat dan
pada kondisi klien yang beratpun dapat dimanfaatkan.

Waktu Pengosongan Lambung


Dapat dilakukan dengan scintigafi atau dengan pellet radioopak. Pada dispepsia
fungsional terdapat pengosongan lambung pada 30 – 40 % kasus.

2.6 Diferensial Diagnosis

Dispepsia adalah merupakan suatu simptom atau kelompok keluhan atau


gejala dan bukan merupakan suatu diagnosis. Sangat penting mencari clue atau
penanda akan gejala dan keluhan yang merupakan etiologi yang bisa ditemukan
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. 50%–60% kasus, didapati tidak
ada penyebab yang terdeteksi di mana pasien dikatakan merupakan dispepsia
fungsional. Prevalensi ulkus peptikum adalah 15%- 25% dan prevalensi esofagitis
adalah 5%-15%. Kanker digestif bagian atas < 2%. Disebabkan kanker digestif

22
bagian atas jarang pada umur <50 tahun, pemeriksaan endoskopi direkomendasi
pada pasien yang berusia > 50 tahun. Juga direkomendasi pada pasien yang
mangalami penurunan berat badan yang signifikan, terjadi pendarahan, dan
muntah yang terlalu terus menerus.2

Diagnosis banding dispepsia

• Gastritis

Gastritis adalah suatu keadaan peradangan atau pendarahan mukosa


lambung. Gastritis karena bakteri H. pylori dapat mengalami adaptasi pada
linkungan dengan pH yang sangat rendah dengan menghasilkan enzim urease
yang sangat kuat. Enzim urease tersebut akan mengubah urea dalam lambung
menjadi ammonia sehingga bakteri Helicobacter pylori yang diselubungi “awan
amoniak” yang dapat melindungi diri dari keasaman lambung. Kemudian dengan
flagella Helicobacter pylori menempel pada dinding lambung dan mengalami
multiplikasi. Bagian yang menempel pada epitel mukosa lambung disebut adheren
pedestal. Melalui zat yang disebut adhesin , Helicobacter pylori dapat berikatan
dengan satu jenis gliserolipid yang terdapat di dalam epitel.

• Ulkus Duodenum

Ulkus duodenum terjadi akibat adanya ketidakseimbangan antara faktor-


faktor agresif (faktor yang membuat perusakan pada dinding mukosa) dengan
faktor defensif (pertahanan) mukosa. Faktor-faktor agresif penyebab ulkus
duodenum diantaranya asam dan getah-getah pencernaan, stress, herediter, dan
merokok. Asam lambung akan merangsang saraf kolinergik dan juga saraf
simpatik. Saraf simpatik yang terangsang akan mengabkibatkan motilitas
meningkat sehingga penderita akan merasakan nyeri pada daerah lambung dan
sekitarnya, sedangkan saraf simpatik yang terangsang akan menyebabkan
terjadinya refleks spasme esophageal sehingga timbul regurgitasi HCl yang
menjadi pencetus timbulnya rasa nyeri berupa rasa panas seperti terbakar. Ulkus
stress adalah istilah yang diberikan pada area lambung yang terjadi setelah

23
kejadian penuh stress secara fisiologis. Kondisi stress ini dapat berupa luka bakar,
syok, sepsis berat, dan trauma. Jika kondisi stress berlanjut, kemungkinan ulkus
akan menjadi semakin luas. Penderita dengan gen keturunan ulkus, 2-3 kali lebih
beresiko terkena ulkus dibandingan penderita yang tidak memiliki gen keturunan
ulkus

• Ulkus Peptikum

Ulkus peptikum merupakan keadaan di mana kontinuitas mukosa


esophagus, lambung ataupun duodenum terputus dan meluas sampai di bawah
epitel. Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel disebut erosi,
walaupun seringkali dianggap juga sebagai ulkus. Ulkus kronik berbeda dengan
ulkus akut, karena memiliki jaringan parut pada dasar ulkus. Menurut definisi,
ulkus peptik dapat ditemukan pada setiap bagian saluran cerna yang terkena getah
asam lambung, yaitu esofagus, lambung, duodenum, dan setelah gastroduodenal,
juga jejunum.

2.7 Pengobatan 1,3,4,5


Penatalaksanaan non farmakologis
 Menghindari makanan yang dapat meningkatkan asam lambung
 Menghindari faktor resiko seperti alkohol, makanan yang pedas, obat-
obatan yang berlebihan, nikotin rokok, stress,dll.

 Atur pola makan

Penatalaksanaan farmakologis yaitu:


Pengobatan dispepsia mengenal beberapa golongan obat, yaitu :
1. Antasida
Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan menetralisir
sekresi asam lambung. Campuran yang biasanya terdapat dalam antasid antara
lain Na bikarbonat, AL (OH)3, Mg (OH)2 dan Mg trisilikat. Pemakaian obat ini
sebaiknya jangan diberikan terus-menerus, sifatnya hanya simtomatis, untuk
mengurangi rasa nyeri. Mg trisilikat dapat dipakai dalam waktu lebih lama,

24
juga berkhasiat sebagai adsorben sehingga bersifat nontoksik, namun dalam
dosis besar akan menyebabkan diare karena terbentuk senyawa MgCl2. Pada
saat ini sudah jarang digunakan, sering untuk menghilangkan rasa sakit. Dosis
3x1 tablet.
2. Antikolinergik

Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang agak
selektif yaitu pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat
menekan sekresi asam lambung sekitar 28-43%. Pirenzepin juga memiliki efek
sitoprotektif.

3. Antagonis reseptor H2
Struktur homolog dengan histamin. Mekanisme kerjanya memblokir efek
histamin pada sel parietal untuk tidak memproduksi asam lambung. Dosis:
Cimetidin (2x200 mg), Ranitidin 150 mg/hari, Nizatidin 1x300 mg, Famotidin
(1x40 mg), Roksatidin (2x75 mg)..

4. Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI)

Sesuai dengan namanya, golongan obat ini mengatur sekresi asam


lambung pada stadium akhir dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang
termasuk golongan PPI adalah omeperazol, lansoprazol dan pantoprazol.
Mekanisme kerja memblokir enzim K+H+- ATP ase yang akan memecah
K+H+- ATP menjadi energi yang digunakan untuk mengeluarkan asam
lambung. Penggunaan jangka panjang dapat menimbulkan kenaikan gastrin
darah. PPI mencegah pengeluaran asam lambung, menyebabkan pengurangan
rasa sakit, mengurangi faktor agresif pepsin dengan PH>4.

 Omeprazol 2x20 mg
 Lansoprazol/Pantoprazol 2x30 mg

Penatalaksanaan Infeksi H. Pylori

 Terapi Tripel

25
- PPI 2x1 + Amoksisislin 2x1000 + Klaritromisin 2x500
- PPI 2x1 + Metronidazol 3x500 + Klaritromisin 2x500
- PPI 2x1 + Metronidazol 3x500 + Amoksisilin 2x1000
- PPI 2x1 + Metronidazol 3x500 + Tetrasiklin 4x500
Terapi Kuadrupel, jika gagal dengan terapi tripel. Regimen terapinya yaitu:
PPI 2x1, Bismuth 4x2, metronidazol 4x250, tetrasiklin 4x500.

5. Sitoprotektif

Prostaglandin sintetik seperti misoprostol (PGE) dan enprestil (PGE2).


Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel
parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi prostaglandin endogen,
yang selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mukus
dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan
protektif (sebagai site protective), yang senyawa dengan protein sekitar lesi
mukosa saluran cerna bagian atas (SCBA).

6. Golongan prokinetik

Obat yang termasuk golongan prokinetik, yaitu sisaprid, dom peridon dan
metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia
fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan memperbaiki
bersihan asam lambung (acid clearance).
Penatalaksanaan non farmakologis

 Menghindari makanan yang dapat meningkatkan asam lambung


 Menghindari faktor resiko seperti alkohol, makanan yang pedas, obat-
obatan yang berlebihan, nikotin rokok, stress,dll.

 Atur pola makan

2.6 Pencegahan 3,5


Pola makan yang normal dan teratur, pilih makanan yang seimbang
dengan kebutuhan dan jadwal makan yang teratur, sebaiknya tidak

26
mengkomsumsi makanan yang berkadar asam tinggi, cabai, alkohol, dan pantang
rokok, bila harus makan obat karena sesuatu penyakit, misalnya sakit kepala,
gunakan obat secara wajar dan tidak mengganggu fungsi lambung.

27
BAB III
ANALISA KASUS SECARA HOLISTIK

a. Hubungan diagnosis penyakit dengan keadaan rumah dan lingkungan


sekitar
Pasien tinggal bersama suami dan 2 orang anaknya di sebuah rumah
panggung, dengan atap seng, dinding dan lantai papan. Rumah pasien terdiri dari
2 kamar tidur, 1 dapur, dan 1 kamar mandi. Pencahayaan dan ventilasi dirumah
pasien masih kurang. Kamar mandi menggunakan wc jongkok. Sumber air bersih
berasal dari PDAM dan pencahayaan dari PLN. Tidak ada hubungan antara
diagnosis dengan keadaan rumah dan lingkungan sekitar pasien.

b. Hubungan diagnosis dengan keadaan keluarga dan hubungan keluarga


Keadaan keluarga dan hubungan keluarga pasien terjalin cukup baik
sehingga tidak terdapat hubungan antara penyakit pasien dengan keadaan
keluarga dan hubungan keluarga.

c. Hubungan diagnosis dengan perilaku kesehatan dalam keluarga dan


lingkungan sekitar
Perilaku kesehatan pasien dalam hal mengatur pola makan pasien
dianggap berhubungan terhadap penyakit yang dialami pasien. Perilaku kesehatan
pasien tergolong tidak baik, hal ini tergambar dari kebiasaan pola makan dan pola
hidup yang tidak sehat seperti :

1. Pasien mengaku beberapa hari ini makan tidak teratur dan senang makan
makanan asam dan pedas.
2. Pasien juga sangat jarang berolah raga dan kurang tidur.
Bila dilihat dari keadaan perilaku kesehatan pasien maka jelas ada
hubungannya dengan penyakit yang dialami oleh pasien karena hal-hal tersebut
merupakan faktor resiko dari dispepsia. Terdapat hubungan antara perilaku
kesehatan dalam keluarga dengan penyakit yang diderita pasien.

d. Analisis kemungkinan faktor risiko atau etiologi penyakit pada pasien

28
Pada pasien ini dari anamnesis yang dilakukan terhadap berbagai faktor
yang bisa menyebabkan terjadinya penyakit ini didapatkan kesimpulan bahwa
kebiasaan pasien dengan tidak menjaga pola makan yang teratur, seringnya
mengonsumsi makan makanan asam dan pedas, kurangnya aktivitas olahraga dan
kurang tidur menjadi faktor resiko yang mendukung terjadinya penyakit ini.

e. Analisis untuk mengurangi paparan


Kita berikan edukasi mengenai penyakit yang diderita dan
penatalaksanaan yang diberikan. Menghindari makanan pencetus yang
merangsang, seperti pedas, asam, tinggi lemak. Makan teratur, sedikit tapi
berulang kali (sering), dan makanan yang dimakan sebaiknya lunak, mudah
dicerna, tidak dirangsang dan dapat menetralisir asam lambung. Selain itu juga
harus diikuti dengan banyak konsumsi buah, sayuran, dan produk-produk rendah
lemak.

f. Edukasi penyakit kepada pasien dan kepada keluarga :


1. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien bahwa penyakit ini
merupakan penyakit yang dapat berulang kembali dan dapat dicegah
kekambuhannya dengan mengatur pola makan dan mengkonsumsi makanan
yang tidak merangsang meningkatnya asam lambung.
2. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien untuk menghindari stress
baik fisiologis maupun psikologis dengan istirahat yang cukup dan
melakukan kegiatan yang positif dikarenakan stress dapat meningkatkan
resiko kekambuhan.
3. Menjelaskan kepada pasien bagaimana cara konsumsi obat, menjelaskan
komplikasi yang dapat terjadi akibat penyakit tersebut sehingga apabila tidak
ada perbaikan atau keluhan yang memburuk pasien diminta kembali kontrol
ke puskesmas ataupun sarana kesehatan lainnya untuk dilakukan
pemeriksaan yang lebih lanjut.

29
LAMPIRAN

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Hirlan. Gastritis dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid 1. Jakarta.
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:
2006. hal. 335-7.
2. Tarigan P. Tukak Gaster dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1.
Jakarta. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia: 2006. hal. 338-44.
3. Djojoningrat D. Dispepsia Fungsional dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, jilid 1. Jakarta. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: 2006. hal. 352-4.
4. Lindseth G. Gangguan Lambung dan Duodenum dalam Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-proses Penyakit, volume 1. ECG: 2006. hal. 422-3.
5. Mubin H. Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam Diagnosis dan Terapi. EGC:
2001. hal 240.

31

Anda mungkin juga menyukai