Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

LAPORAN PENDAHULUAN HIV & AIDS

A. Pengertian
HIV
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang
sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang
salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah
putih tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau
penanda yang berada di permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4
dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit
yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia.
Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-
1500. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada
orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun
(bahkan pada beberapa kasus bisa sampai nol) (KPA, 2007).

AIDS
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang berarti
kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang
disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk
melindungi diri dari serangan luar seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS
melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya
berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain (Yatim, 2006).

AIDS adalah singkatan dari acquired immunodeficiency syndrome dan


menggambarkan berbagai gejala dan infeksi yang terkait dengan menurunnya
sistem kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV (Brooks, 2009). Virus
HIV ini akan menyerang sel-sel sistem imun manusia, yaitu sel T dan sel CD4
yang berperan dalam melawan infeksi dan penyakit dalam tubuh manusia. Virus
HIV akan menginvasi sel-sel ini, dan menggunakan mereka untuk mereplikasi lalu
menghancurkannya. Sehingga pada suatu tahap, tubuh manusia tidak dapat lagi
mengatasi infeksi akibat berkurangnya sel CD4 dan rentan terhadap berbagai jenis
1
penyakit lain. Seseorang didiagnosa mengalami AIDS apabila sistem pertahanan
tubuh terlalu lemah untuk melawan infeksi, di mana infeksi HIV pada tahap lanjut
(AVERT, 2011).

B. Etiologi
Penyebab AIDS adalah infeksi oleh HIV. Virus ini diketahui sebagai Human T
Cell Lymphatropic Virus (HTLV) atau The Lymphadenophaty Associated Virus
(LAV) yang ditemukan oleh Luc Montaigner (1983) dan Robert gallo (1984).
Tetapi pada tahun 1985 kedua virus tersebut dinyatakan sama oleh Committee
Taxonomy International dan disebut HIV (Human Imunodeficiency Virus).
Diketahui ada 2 jenis virus yang menyebabkan AIDS :
1. HIV 1 : penyebarannya lebih luas hampir di seluruh dunia yaitu jenis
Retovirus
2. HIV 2 : di Afrika Barat, Portugal lebih mirip dengan Monkey Virus merupakan
suatu virus lentivirus.
Target sel HIV berupa :
Sel limfosit T4 yang merupakan target utama, sedangkan target yang lain seperti :
Sel monosit, makrofag, folikular dendritik, sel retina, serviks, langerhans, sel otak,
endotel sel cerna.
Masa Inkubasi HIV :
Sulit diketahui, rata-rata 5 bulan hingga 5 sampai 10 tahun.

C. Cara Penularan
HIV terdapat dalam darah dan cairan tubuh seseorang yang tertular. Penderita
kadang belum merasakan keluhan dan gejalanya. HIV dapat ditularkan hanya :
1. Bila kontak langsung dengan darah atau cairan tubuh.
2. Makin besar jumlah virusnya makin berat infeksinya.
3. Jumlah virus yang banyak terdapat dalam :
a. Cairan darah, sperma
b. Cairan vagina/serviks
c. Otak
4. Jumlah virus dalam jumlah sedikit terdapat dalam :
a. Urin
b. Saliva, keringat
2
c. ASI
Ada tiga cara penularan HIV :
1. Hubungan seksual
Vaginal, oral, anal, mempunyai factor resiko sekitar 80-90 % sedunia.
2. Kontak langsung dengan jarum suntik
a. Transfuse darah yang tercemar HIV (90%)
b. Terpapar mukosa yang mengandung HIV, resiko penularan 0,0051%
c. Pemakaian jarum suntik bersama-sama
d. Melalui kecelakaan kerja : tertusuk jarum, resiko penularan 0,03 %
3. Secara vertikal: dari ibu hamil pengidap HIV terhadap bayi atau anak dalam
kandungan
a. Sejak hamil
b. Saat atau setelah melahirkan, resiko penularan 50%
c. Melalui ASI, resiko sekitar 14 %
Resiko terinfeksi :
a. Pria dengan aktif seksual : biseksual atau homoseksual dengan banyak
pasangan.
b. Drug users : intravena.
c. Pasien hemophilia atau pasien yang memerlukan transfuse darah.
d. Bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV.

D. Patofisiologi
HIV tergolong ke dalam kelompok virus yang dikenal sebagai retrovirus yang
menunjukkan bahwa virus tersebut membawa materi genetiknya dalam asam
ribonukleat (RNA) dan bukan dalam asam deoksiribonukleat (DNA). Virion HIV
(partikel virus yang lengkap yang dibungkus oleh selubung pelindung)
mengandung RNA dalam inti berbentuk peluru yang terpancung dimana p24
merupakan komponen stuktural yang utama. Tombol (knob) yang menonjool
lewat dinding virus terdiri atas protein gp120 yang terkait pada protein gp41.
Bagian yang secara selektif berikatan dengan sel-sel CD4-positif adalah gp120
dari HIV.

Sel-sel CD4+ mencangkup monosit, makrofag dam limfosit T4 helper (yang


dinamakan sel-sel CD4+ kalau dikaitkan dengan infeksi HIV). Limfosit T4 helper
3
ini merupakan sel yang paling banyak diantara ketiga sel di atas. Sesudah terikat
dengan membrane sel T4 helper, HIV akan menginjeksikan dua utas benang RNA
yang identik ke dalam sel T4 helper. Dengan menggunakan enzim yang dikenal
sebagai reverse transcriptase, HIV akan melakukan pemrograman ulang materi
genetic dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat double-stranded DNA (DNA
utas ganda). DNA ini akan disatukan ke dalam nucleus sel T4 sebagai sebuah
provirus dan kemudian terjadi infeksi yang permanent.

Siklus replikasi HIV dibatasi dalam stadium ini, sampai sel yang terinfeksi
diaktifkan. Aktivasi sel yang terinfeksi dapat dilaksanakan oleh antigen, mitogen,
sitokin (TNF alfa atau interleukin 1) atau produk gen virus seperti sitomegalovirus
(CMV; Cytomegalovirus), virus Epstein-Barr, herpes simplex, dan hepatitis.
Sebagai akibatnya, pada saat sel T4 yang terinfeksi dikatifkan, replikasi serta
pembentukan tunas HIV akan terjadi dan sel T4 akan dihancurkan. HIV yang baru
dibentuk ini kemudian dilepas ke dalam plasma darah dan menginfeksi sel-sel
CD4+ lainnya.

Infeksi monosit dan makrofag tampaknya berlangsung secara persisten dan tidak
mengakibatkan kematian sel yang bermakna, tetapi sel-sel ini menjadi reservoir
bagi HIV sehingga virus tersebut dapat tersembunyi dari sistem imun dan
terangkut ke seluruh tubuh untuk menginfeksi pelbagai jaringan tubuh. Sebagian
besar jaringan ini dapat mengandung molekul CD4+ atau memiliki kemampuan
untuk memproduksinya. Replikasi virus akan berlangsung terus menerus
sepanjang perjalanan infeksi HIV. Ketika sistem imun tersti,ulasi, replikasi virus
akan terjadi dan virus tersebut menyebar ke dalam plasma darah yang
menyebabakan infeksi berikunya pada sel-sel CD4+ yang lain.

Kecepatan produksi HIV diperkirakan berkaitan dengan status kesehatan orang


yang terjangkit infeksi tersebut. Jika orang tersebut tidak sedang vberperang
dengan infeksi virus lain, reproduksi HIV berjalan dengan lambat. Namun,
reproduksi HIV tampaknya akan dipercepat apabila penderitanya sedang
menghadapi infeksi virus lain atau kalau sistem imunnya terstimulasi. Keadaan ini
dapat menjelaskan periode laten yang diperlihatkan oleh sebagian penderita
sesudah terinfeksi HIV.
4
Dalam respons imun, limfosit T4 memainkan beberapa peranan yang penting
yaitu: mengenali antigen yang asing, mengaktifkan limfosit B yang memproduksi
antibody, menstimulasi limfosit T sitotoksik, memproduksi limfokin dan
mempertahankan tubuh terhadap infeksi parasit. Jika fungsi limfosit T4 terganggu,
mikroorganisme yang biasanya tidak meinmbulkan penyakit akan memiliki
kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan sakit yang serius. Infeksi dan
malignansi yang timbul sebagai akibat dari gangguan sistem imun dinamakan
infeksi oportunistik.

E. Pathways
Terlampir

F. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis AIDS menyebar luas dan pada dasarnya mengenai setiap sistem
organ. Tanda gejala secara klinis pada penderita AIDS sulit untuk diidentifikasi.
Hal ini disebabkan karena simptomasi yang ditujukan pada umumnya adalah
bermula dari gejala-gejala umum yang lazim didapati pada berbagai penderita
penyakit lain, namun secara umum tanda dan gejala yang dapat diamati antara
lain:
1. Rasa lelah dan lesu yang berkepanjangan
2. Berat badan menurun secara drastis lebih dari 10% tanpa alasan yang jelas
dalam 1 bulan.
3. Demam yang sering dan berkeringat diwaktu malam
4. Diare terus menerus dan kurang nafsu makan
5. Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut
6. Pembengkakan leher dan lipatan paha
7. Radang paru-paru
8. Kanker kulit
9. Sakit kepala
10. Sakit tenggorokan dengan faringitis
11. Eritema

G. Evaluasi Diagnostik
1) Tes Antibodi HIV
5
Kalau seseorang terinfeksi oleh virus HIV, system imunnya akan bereaksi
dengan memproduksi antibody terhadap virus tersebut. Antibody umumnya
terbentuk dalam waktu 3-12 minggu setelah terkena infeksi, kendati
pembentukan antibody ini dapat memerlukan waktu sampai hingga 14 bulan;
kenyataan ini menjelaskan mengapa seseorang dapat terinfeksi tetapi pada
mulanya tidak memperlihatkan hasil tes yang positif.

Sayangnya, antibody untuk HIV tidak efektif dan tidak dapat menghentikan
perkembangan infeksi HIV. Kemampuan untuk mendeteksi antibody HIV
dalam darah telah memungkinkan pemeriksaan skrinning produk darah dan
memudahkan evaluasi diagnostic pada pasien-pasien terinfeksi HIV. Pada
tahun 1985, Food And Drug Administration atau FDA mengeluarkan lisensi
untuk uji kadar antibody HIV bagi semua pendonoran darah dan plasma.

Ada tiga buah tes untuk memastikan adanya antibody terhadap HIV dan
membantu mendiagnosis infeksi HIV. Tes enzyme-linked immunosorbent
assay atau ELISA mengidentifikasikan antibody yang secara spesifik ditujukan
kepada virus HIV. Tes ELISA tidak menegakkan diagnosis penyakit AIDS
tetapi lebih menunjukkan bahwa seseorang pernah terkena atau terinfeksi oleh
virus HIV. Orang yang darahnya mengandung antibody untuk HIV disebut
sebagai orang yang seropositif. Pemeriksaan western blot assay merupakan tes
lainnya yang dapat mengenali antibody HIV dan digunakan untuk memastikan
seropositivitas seperti yang teridentifikasi lewat prosedur ELISA. Indirect
immunofluorescence assay atau IFA kini sedang digunakan oleh sebagian
dokter sebagai pengganti pemeriksaan western blot untuk memastikan
seropositivitas. Tes lainnya, radioimmunoprecipitation assay atau RIPA, lebih
mendeteksi protein HIV ketimbang antibody.

2) Pelacakan HIV
 Antigen p24; positif untuk protein virus yang bebas
 Reaksi rantai polymerase atau PCR:polymerase chain reaction;
mendeteksi DNA atau RNA virus HIV

6
 Kultur sel mononuclear darah perifer untuk HIV-1; positif kalau dua
kali uji kadar/ assay secara berturut-turut mendeteksi enzim reverse
transcriptase atau antigen p24 dengan kadar yang meningkat
 Kultur sel kualitatif; mengukur muatan virus dalam sel
 Kultur plasma kuantitatif; mengukur muatan virus lewat virus bebas
yang infeksius dalam plasma
 Mikroglobulin B2; protein meningkat bersamaan dengan berlanjutnya
penyakit
 Neopterin serum; kadar meningkat dengan berlanjutnya penyakit.

3) Status imun
 Sel-sel CD4+; menurun
 Rasio CD4:CD8; menurun
 Hitung sel darah putih; normal hingga menurun
 Kadar immunoglobulin; meningkat
 Tes fungsi sel CD4+; sel-sel T4 mengalami penurunan kemampuan untuk
bereaksi terhadap antigen
 Reaksi sensitivitas pada tes kulit; menurun hingga tidak terdapat
 Darah tepi (Hb, leukosit, monosit, trombosit, limfosit); leucopenia,
limfopenia, trombositopenia, displasia sumsum tulang.

4) Pemeriksan terhadap infeksi oportunistik dan keganasan


Diperiksa sesuai dengan jenis penyakitnya, Misalnya kandidiasis, TB paru,
Lab rutin, Radiologis, USG, CT Scan, Bronkoskopi, dll.

H. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan mencakup pengenalan factor resiko yang potensial,
termasuk praktik seksual yang beresiko dan penggunaan obat – bius IV.
Diantaranya :
a. Status nutrisi dinilai dengan menanyakan riwayat diet dan mengenali
factor-faktor yang dapat mengganggu asupan oral seperti anoreksia, mual,
vomitus, nyeri oral atau kesulitan menelan. Disamping itu, kemampuan

7
pasien untuk membeli dan mempersiapkan makanan harus dinilai.
Penimbangan, berat badan, pengukuran antopometri, pemeriksaan kadar
BUN (bloood urea nitrogen), protein serum, albumin dan transferin.
b. Kulit dan membran mukosa diinspeksi untuk menemukan tanda-tanda lesi,
ulserasi atau infeksi. Rongga mulut diperiksa untuk memantau gejala
kemerahan, ulserasi dan adanya bercak-bercak putih seperti krim yang
menunjukkan kandidiasis. Daerah perianal harus diperiksa untuk
menemukan ekskoriasi dan infeksi pada pasien dengan diare yang profus.
Pemeriksaan kultur luka dapat dimintakan untuk mengidentifikasi
mikroorganisme yang infeksius.
c. Status respiratorius dinilai lewat pemantauan pasien untuk mendeteksi
gejala batuk, produksi sputum, napas yang pendek, ortopnea, takipnea dan
nyeri dada. Keberadaan suara pernafasan dan sifatnya juga harus diperiksa.
Ukuran fungsi paru yang lain mencakup hasil foto ronsen thoraks, hasil
pemeriksaan gas darah arteri dan hasil tes faal paru.
d. Status neurologis ditentukan dengan menilai tingkat kesadaran pasien,
orientasinya terhadap orang, tampat serta waktu dan ingatan yang hilang.
Pasien juga dinilai untuk mendeteksi gangguan sensorik (perubahan visual,
sakit kepala, patirasa dan parestesia pada ekstremitas) serta gangguan
motorik (perubahan gaya jalan, paresis atau paralisis) dan serangkaian
kejang.
e. Status Cairan dan elektrolit dinilai dengan memeriksa kulit serta membran
mukosa untuk menentukan turgor dan kekeringannya. Peningkatan rasa
haus, penurunan haluaran urine, tekanan darah yang rendah dan penurunan
tekanan sistolik antara 10 dan 15 mmHg dengan disertai kenaikan frekuensi
denyut nadi ketika pasien duduk, denyut nadi yang lemah serta cepat dan
berat jenis urine sebesar 1,025 atau lebih menunjukkan dehidrasi.
Gangguan keseimbangan elektrolit seperti penurunan kadar natrium,
kalium, kalsium, magnesium dan klorida dalam serum secara khas akan
terjadi karena diare hebat. Pemeriksaan pasien juga dilakukan untuk menilai
tanda-tanda dan gejala deplesi elektrolit; tanda-tanda ini mencakup
penurunan status mental, kedutan otot vomitus, dan pernapasan yang
dangkal.

8
f. Tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya dan cara-cara penularan
penyakit harus dievaluasi. Disamping itu, tingkat pengetahuan keluarga dan
sahabat perlu dinilai. Reaksi psikologis pasien terhadap diagnosis penyakit
AIDS merupakan informasi penting yang harus digali. Reaksi dapat
bervariasi antara pasien yang satu dengan yang lainnya dan dapat mencakup
penolakan, amarah, rasa takut, rasa malu, menarik diri dari pergaulan sosial
dan depresi. Pemahaman tentang cara pasien menghadapi sakitnya dan
riwayat stress utama yang pernah dialami sebelumnya kerapkali
bermanfaat. Sumber-sumber yang dimiliki pasien untuk memberikan
dukungan kepadanya juga harus diidentifikasi.

2. Diagnosis
a. Diare yang berhubungan dengan kuman patogen usus dan atau infeksi HIV
b. Resiko terhadap infeksi yang berhubungan dengan imunodefisiensi
c. Perubahan proses pikir yang berhubungan dengan penyempitan rentang
perhatian, gangguan daya ingat, kebingungan dan disorientasi yang
menyertai ensefalopati HIV
d. Nyeri yang berhubungan dengan gangguan integritas kulit perianal akibat
diare, sarkoma kaposi dan neuropati perifer
e. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh, yang berhubungan dengan
penurunan asupan oral
f. Isolasi sosial yang berhubungan dengan stigma penyakit, penarikan diri dari
sistem pendukung, prosedur isolasi dan ketakutan bila dirinya
menulariorang lain.
g. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan cara-cara mencegah
penularan HIV dan perawatan mandiri.

3. Intervensi
a. Diagnosa : Diare yang berhubungan dengan kuman patogen usus dan atau
infeksi HIV
Tujuan : Mendapatkan kembali kebiasaan defekasi yang lazim
Intervensi :
 Kaji kebiasaan defekasi normal pasien

9
 Kaji terhadap diare : sering, feses encer, nyeri atau kram abdomen,
volume feses cair dan faktor pemberat dan penghilang
 Dapatkan kultur feses dan berikan therapi antimikroba sesuai ketentuan
 Lakukan tindakan untuk mengurang pembatasan sesuai ketentuan dokter
 Pertahankan pembatasan makanan dan cairan sesuai ketentuan dokter

b. Diagnosa : Resiko terhadap infeksi yang berhubungan dengan


imunodefisiensi
Tujuan : Infeksi tidak terjadi
Intervensi :
 Pantau adanya infeksi : demam, menggigil dan diaforesis, batuk, napas
pendek, nyeri, oral atau nyeri menelan, bercak berwara krim di dalam
ronggaoral, kemerahan dan bengkak atau drainase luka. Lesi vesikuler
diwajah, bibir atau area perianal
 Ajarkan pasienatau pemberi keperawatan tentang perlunya melaporkan
kemungkinan infeksi
 Pantau jumlah sel darah putih dan diferensiasi
 Dapatkan kultur drainase luka, lesi kulit, urine, feses, sputum, mulut dan
daerah sesuai ketentuan
 Instruksikan pasien untuk mencegah infeksi misalnya dengan Bersihkan
dapur dan permukaan kamar mandi dengan desinfectan

c. Diagnosa : Perubahan proses pikir yang berhubungan dengan penyempitan


rentang perhatian, gangguan daya ingat, kebingungan dan disorientasi yang
menyertai ensefalopati HIV
Tujuan : Mempertahankan orientasi realita umum dan fungsi kognitif
optimal
Intervensi :
 Kaji status mental dan neurologis dengan menggunakan alat yang sesuai
kemudian catatperubahan dalam orientasi, respons terhadap rangsang,
kemampuan untuk memecahkan masalah.
 Pantau adanya tanda – tanda infeksi SSp misal : sakit kepala, kekakuan
nukal, muntah, demam

10
 Pertahankan lingkunagn yang menyenangkan dengan rangsang auditorius,
visual dan kognitif yang tepat
 Dorong keluarga atau orang terdekat untuk bersosialisasi dan berikan
reorientasi dengan berita aktual, kejadian-kejadian di dalam keluarga
 Dorong pasien melakukan kegiatan sebanyak mungkin misal : berpakaian
setiap hari, bertemu teman-teman dll.
 Kurangi rangsangan provokatif atau mencemaskan.
 Kurangi kebisingan terutama pada malam hari.pertahankan lingkungan
yang aman misal : tempat tidur dengan posisi yang rendah

d. Diagnosa: Nyeri yang berhubungan dengan gangguan integritas kulit


perianal akibat diare, sarkoma kaposi dan neuropati perifer
Tujuan : nyeri dapat terkontrol atau hilang
Intervensi :
 Kaji keluhan nyeri, perhatian lokasi, intensitas (skala 1-10)
 Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaannya
 Berikan aktifitas hiburan misal : membaca dan menonton televisi
 Kolaborasikan dalam pemberian analgetik antipiretik, analgesik narkotik
 Lakukan tindakan paliatif misal : masase, perubahan posisi, rentang gerak
pada sendi yang sakit

e. Diagnosa : Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh, yang


berhubungan dengan penurunan asupan oral
Tujuan : perbaikan status nutrisi
Intervensi :
 Kaji terhadap malnutrisi dengan mengukur tinggi dan berat badan, usia,
protein serum, albumin dll.
 Dapatkan riwayat diet, termasuk makanan uang disukai dan tidak disukai
serta intoleransi makanan
 Kaji faktor-faktor yang mempengaruhi masukan oral
 Konsul dengan ahli diet untuk menentukan kebutuhan nutrisi pasien
 Dorong pasien untuk istirahat sebelum makan

11
 Rencanakan makan sehingga jadwal makan tidak terjadi segera setelah
prosedur yang menimbulkan nyeri atau tidak enak
 Instruksikan pasien tentang cara untuk memberi suplemen nutrisi :
mengkonsumsi makanan kaya protein
 Konsultasi dengan dokter tentang makanan pengganti (nutrisi enteral atau
parenteral)

f. Diagnosa : Isolasi sosial yang berhubungan dengan stigma penyakit,


penarikan diri dari sistem pendukung, prosedur isolasi dan ketakutan bila
dirinya menulari orang lain.
Tujuan : penurunan rasa isolasi sosial
Intervensi :
 Kaji pola interaksi sosial pasien yang lazim
 Observasi terhadap perilaku indikatif isolasi sosial, seperti penurunan
interaksi dengan orang lain, bermusuhan, ketidakpatuhan dan
menyatakan kesepian
 Berikan instruksi mengenai cara-cara penularan HIV
 Bantu pasien untuk mengidentifikasi dan menggali sumber untuk
mendukung dan mekanisme pasitif untuk koping
 Berikan waktu untuk bersama pasien lebih banyak daripada untuk
pengobatan atau prosedur
 Dorong partisipasi dalam aktivitas pengalih seperti membaca, televisi atau
kerajinan tangan
g. Diagnosa : Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan cara-cara
mencegah penularan HIV dan perawatan mandiri.
Tujuan : peningkatan pengetahuan mengenai cara pencegahan penularan
penyakit
Intervensi :
 Tentukan pemahaman saat ini dan persepsi terhadap diagnosa
 Kaji kemampuan emosional untuk mengasimilasikan informasi dan
memahami instruksi.
 Berikan informasi yang realitas dan optimistis selama setiap kontak
dengan pasien

12
 Rencanakan pertemuan-pertemuan yang singkat untuk memberikan
informasi tambahanberikan nformasi mengenai perubahan gaya hidup
yang sesuai dan faktor-faktor yang membantu mempertahankan
kesehatan

13
DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, Marylinn. E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC

Carpenito, Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8. jakarta: EGC

Price, Sylvia. A. 1995. Patofisiolog: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 4


buku II. Jakarta: EGC

Smeltzer, Suzanne. C, Bare, Brenda. G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah


Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol. 3. Jakarta: EGC

Mansjoer, Arif. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius

Suyono, Slamet. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

ms.wikipedia.org. AIDS. 23 0ktober 2007

www.petra.ac.id. HIV/AIDS. 23 Oktober 2007

14

Anda mungkin juga menyukai