Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyakit yang timbul
akibat dari adanya respon inflamasi kronis yang tinggi pada saluran nafas dan
paru yang biasanya bersifat progresif dan persisten. Penyakit ini memiliki ciri
berupa terbatasnya aliran udara yang masuk dan umumnya dapat di cegah dan
di rawat (GOLD, 2015).
Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyakit sistemik yang
mempunyai hubungan antara keterlibatan metabolik, otot rangka dan
molekuler genetik. Keterbatasan aktivitas merupa-kan keluhan utama
penderita PPOK yang sangat mempengaruhi kualitas hidup. Disfungsi otot
rangka merupakan hal utama yang berperan dalam keterbatasan aktivitas
penderita PPOK. Inflamasi sistemik, penurunan berat badan, peningkatan
risiko penyakit kardiovaskuler, osteoporosis, dan depresi merupakan
manifestasi sistemik PPOK (Oemawati, 2013).
Berdasarkaan data di Amerika Serikat tahun 2007 menunjukkan bahwa
pre-valensi PPOK sebesar 10,1% (SE 4,8) pada laki-laki sebesar 11,8% (SE
7,9) dan untuk perempuan 8,5% (SE 5,8). Sedangkan mortalitas menduduki
peringkat keempat penyebab terbanyak yaitu 18,6 per 100.000 penduduk pada
tahun 1991 dan angka kematian ini meningkat 32,9% dari tahun 1979 sampai
1991. Sedangkan prevalensi PPOK di negara-negara Asia Tenggara
diperkirakan 6,3% dengan prevalensi tertinggi terdapat di Vietnam (6,7%)
dan China (6,5%) (Oemawati, 2013).
Indeks masa tubuh (IMT) atau body mass indeks (BMI) merupakan cara
yang sederhana untuk memantau ststus gizi orang dewasa. Terutama pada
orang yang Kekurangan berat badan (underweight) yang dapat menyebabkan
peningkatan resiko terjadinya penyakit infeksi (Ristianingrum dkk,2010).
Pasien dengan PPOK derajat 3 yang biasa disebut dengan derajat yang
berat adalah pasien yang mengalami sesak nafas tiga atau empat kali dengan
gagal nafas kronik. Eksaserbasi lebih sering terjadi dengan disertai
komplikasi cor pulmonum.Adapun hasil spirometri VEP1 / KVP < 70%;30%

1
< VEP1 < 50%. Gejala sesak lebih berat, penurunan aktivitas, rasa lelah dan
serangan eksaserbasi semakin sering dan berdampak pada kualitas hidup
penderita.(Antariksa,2011;Oemawati,2013)
Pasien dengan PPOK sering sekali mengalami penurunan berat badan
karena harus memberikan tenaga ekstra saat inspirasi namun sulit
mendapatkan asupan nutrisi. Berdasarkan study populasi dan indicator yang
digunakan untuk menentukan ststus gizi, 19-60% pasien mengalami
malnutrisi. Perburukan secara klinis pada pasien PPOK berhubungan dengan
penurunan berat badan yang dapat memicu penurunan kwalitas hidup pasien
(Awungshi dkk,2015).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi dari PPOK ?
2. Apa etiologi dari PPOK ?
3. Apa saja klasifikasi dari PPOK ?
4. Apa saja tanda dan gejala dari PPOK ?
5. Bagaimana patofisiologi dari PPOK ?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang PPOK ?
7. Apa saja penatalaksanaan dari PPOK ?
8. Apa saja komplikasi dari PPOK ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Agar mengetahui definisi dari PPOK
2. Agar mengetahui etiologi dari PPOK
3. Agar mengetahui klasifikasi dari PPOK
4. Agar mengetahui tanda dan gejala dari PPOK
5. Agar mengetahui patofisiologi dari PPOK
6. Agar mengetahui pemeriksaan penunjang PPOK
7. Agar mengetahui penatalaksanaan dari PPOK
8. Agar mengetahui komplikasi dari PPOK

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi

Menurut WHO yang dituangkan dalam Global Initiative for Chronic


Obstructive Lung Disease (GOLD) tahun 2001 dan di-update tahun
2005, Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) atau penyakit paru
obstruksi kronik (PPOK) didefenisikan sebagai penyakit yang dikarakteristir
oleh adanya obstruksi saluran pernafasan yang tidak reversibel sepenuhnya.
Sumbatan aliran udara ini umunya bersifat progresif dan berkaitan dengan
responinflamasi abnormal paru-paru terhadap partikel atau gas yang
berbahaya. Beberapa rumah sakit di Indonesia ada yang menggunakan istilah
PPOM (Penyakit Paru Obstruksi Menahun) yang merujuk pada penyakit yang
sama. PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran
udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel
parsial.
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyakit yang timbul
akibat dari adanya respon inflamasi kronis yang tinggi pada saluran nafas dan
paru yang biasanya bersifat progresif dan persisten. Penyakit ini memiliki ciri
berupa terbatasnya aliran udara yang masuk dan umumnya dapat di cegah dan
di rawat (GOLD, 2015).
PPOK terdiri dari Bronchitis kronis dan emfisema atau gabungan
keduanya. Bronchitis kronis adalah kondisi dimana terjadi sekresi mucus
berlebihan kedalam cabang bronkus yang bersifat kronis dan kambuhan,
disertai batuk yang terjadi pada hampir setiap hari selama sedikitnya 3 bulan
dalam setahun untuk 2 tahun berturut-turut. Sedangkan emfisema adalah
kelainan paru-paru yang dikarakterisir oleh pembesaran rongga udara bagian
distal sampai keujung bronkiole yang abnormal dan permanent, disertai
dengan kerusakan dinding alveolus. Pasien pada umumnya mengalami kedua
gangguan ini, dengan salah satunya dominan.

3
2.2 Etiolgi

Ada beberapa faktor resiko utama berkembangnya penyakit ini, yang


dibedakan menjadi faktor paparan lingkungan dan faktor host.
Beberapa faktor paparan lingkungan antara lain adalah :
1. Merokok
Merokok merupakan penyebab utama terjadinya PPOK, dengan risiko 30
kali lebih besar pada perokok dibanding dengan bukan perokok, dan
merupakan penyebab dari 85-90% kasus PPOK. Kurang lebih 15-20%
perokok akan mengalami PPOK. Kematian akibat PPOK terkait dengan
banyaknya rokok yang dihisap, umur mulai merokok, dan status merokok
yang terakhir saat PPOK berkembang. Namun demikian, tidak semua
penderita PPOK adalah perokok. Kurang lebih 10 % orang yang tidak
merokok juga mungkin menderita PPOK. Perokok pasif (tidak merokok
tetapi sering terkena asap rokok) juga berisiko menderita PPOK.
2. Pekerjaan
Para pekerja tambang emas atau batu bara, industri gelas dan keramik
yang terpapar debu silika, atau pekerja yang terpapar debu katun dan debu
gandum, toluene diisosianat, dan asbes, mempunyai risiko yang lebih
besar daripada yang bekerja di tempat selain yang disebutkan di atas.
3. Polusi udara
Pasien yang mempunyai disfungsi paru akan semakin memburuk
gejalanya dengan adanya polusi udara. Polusi ini bisa berasal dari luar
rumah seperti asap pabrik, asap kendaraan bermotor, dll, maupun
polusoi dari dalam rumah misalnya asap dapur.
4. Infeksi
Kolonisasi bakteri pada saluran pernafasan secara kronis merupakan suatu
pemicu inflamasi neurotofilik pada saluran nafas, terlepas dari paparan
rokok. Adanya kolonisasi bakteri menyebabkan peningkatan kejadian
inflamasi yang dapat diukur dari peningkatan jumlah sputum, peningkatan
frekuensi eksaserbasi, dan percepatan penurunan fungsi paru, yang semua
ini meningkatkan risiko kejadian PPOK.
Sedangkan faktor risiko yang berasal dari host/pasiennya antara lain :

4
a) Usia
Semakin bertambah usia, semakian besar risiko menderita PPOK. Pada
pasien yang didiagnosa PPOK sebelum usia 40 tahun, kemungkinan
besar dia menderita gangguan genetik berupa defisiensi α1-antitripsin.
b) Jenis kelamin
Laki-laki lebih berisiko terkena PPOK daripada wanita, mungkin ini
terkait dengan kebiasaan merokok pada pria. Namun ada
kecendrungan peningkatan prevalensi PPOK pada wanita karena
meningkatnya jumlah wanita yang merokok.
c) Adanya gangguan fungsi paru yang sudah terjadi
Adanya gangguan fungsi paru-paru merupakan faktor risiko terjadinya
PPOK,misalnya defisiensi Immunoglobulin
A (IgA/ hypogammaglubulin) atau infeksi pada masa kanak-kanak
seperti TBC dan bronkiektasis. Orang yang pertumbuhan parunya
tidak normal karena lahir dengan berat badan rendah, ia memiliki
risiko lebih besar untuk mengalami PPOK.
d) Predisposisi genetik, yaitu defisiensi a1-antitripsin (AAT)
Defisiensi AAT ini terutama dikaitkan dengan emfisema, yang
disebabkan oleh hilangnya elastisitas jaringan di dalam paru-paru
secara progresif karena adanya ketidakseimbangan antara enzim
proteolitik dan faktor protektif

2.3 Klasifikasi
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)
2011, PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat berikut.10 :
1. Derajat 0 (berisiko) Gejala klinis : Memiliki satu atau lebih gejala batuk
kronis, produksi sputum, dan dispnea. Ada paparan terhadap faktor
resiko. Spirometri : Normal 14
2. Derajat I (PPOK ringan) Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk. Dengan
atau tanpa produksi sputum.Sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat
sesak 1 Spirometri : FEV1/FVC < 70%, FEV1 ≥ 80%

5
3. Derajat II (PPOK sedang) Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk. Dengan
atau tanpa produksi sputum. Sesak napas derajat sesak 2 (sesak timbul
pada saat aktivitas). Spirometri :FEV1/FVC < 70%; 50% < FEV1 < 80%
4. Derajat III (PPOK berat) Gejala klinis : Sesak napas derajat sesak 3 dan
4.Eksaserbasi lebih sering terjadi Spirometri :FEV1/FVC < 70%; 30% <
FEV1 < 50%
5. Derajat IV (PPOK sangat berat) Gejala klinis : Pasien derajat III dengan
gagal napas kronik. Disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung
kanan. Spirometri :FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30% atau < 50%

Penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit paru obstruksi kronik


adalah sebagai berikut:

1. Bronchitis Kronis
a. Definisi
Bronchitis Kronis merupakan gangguan klinis yang ditandai dengan
pembentukan mucus yang berlebihan dalam bronkus dan
termanifestasikan dalam bentuk batuk kronis dan pembentuk sputum
selama 3 bulan dalam setahun, paling sedikit 2 tahun berturut – turut
(Bruner & Suddarth, 2002).
b. Etiologi
Terdapat 3 jenis penyebab bronchitis yaitu:
1) Infeksi : stafilokokus, sterptokokus, pneumokokus, haemophilus
influenzae.
2) Alergi
3) Rangsang : misal asap pabrik, asap mobil, asap rokok dll
c. Manifestasi klinis
1) Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar mukus pada bronchi besar,
yang mana akanmeningkatkan produksi mukus.
2) Mukus lebih kental
3) Kerusakan fungsi cilliary sehingga menurunkan mekanisme
pembersihan mukus. Oleh karena itu, "mucocilliary defence" dari
paru mengalami kerusakan dan meningkatkan kecenderungan untuk

6
terserang infeksi. Ketika infeksi timbul, kelenjar mukus akan menjadi
hipertropi dan hiperplasia sehingga produksi mukus akan meningkat.
4) Dinding bronchial meradang dan menebal (seringkali sampai dua kali
ketebalan normal) dan mengganggu aliran udara. Mukus
kental ini bersama-sama dengan produksi mukus yang
banyakakan menghambat beberapa aliran udara kecil dan
mempersempit saluran udara besar. Bronchitis kronis mula-mula
mempengaruhi hanya pada bronchus besar, tetapi biasanya seluruh
saluran nafas akan terkena.
5) Mukus yang kental dan pembesaran bronchus akan mengobstruksi
jalan nafas, terutama selama ekspirasi. Jalan nafas mengalami kollaps,
dan udara terperangkap pada bagian distal dari paru-paru. Obstruksi
ini menyebabkan penurunan ventilasi alveolar, hypoxia dan asidosis.
6) Klien mengalami kekurangan oksigen jaringan ; ratio ventilasi perfusi
abnormal timbul, dimana terjadi penurunan PaO2. Kerusakan
ventilasi dapat juga meningkatkan nilai PaCO2.
7) Klien terlihat cyanosis. Sebagai kompensasi dari hipoxemia, maka
terjadi polisitemia (overproduksi eritrosit). Pada saat penyakit
memberat, diproduksi sejumlah sputum yang hitam, biasanya karena
infeksi pulmonary.
8) elama infeksi klien mengalami reduksi pada FEV dengan peningkatan
pada RV dan FRC. Jika masalah tersebut tidak ditanggulangi,
hypoxemia akan timbul yang akhirnya menuju penyakit cor pulmonal
dan CHF

2. Emfisema
a. Definisi
Perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai pelebaran dinding
alveolus, duktus alveolaris dan destruksi dinding alveolar (Bruner &
Suddarth, 2002).
b. Etiologi
1) Predisposisi genetic

7
2) Merokok
3) Polusi udara
4) Manifestasi klinis
5) Dispnea
6) Takipnea
7) Inspeksi : barrel chest, penggunaan otot bantu pernapasan
8) Perkusi : hiperresonan, penurunan fremitus pada seluruh bidang paru
9) Auskultasi bunyi napas : krekles, ronchi, perpanjangan ekspirasi
10) Hipoksemia
11) Hiperkapnia
12) Anoreksia
13) Penurunan BB
14) Kelemahan

3. Asthma Bronchiale
a. Definisi
Suatu penyakit yang ditandai dengan tanggap reaksi yang meningkat
dari trachea dan bronkus terhadap berbagai macam rangsangan
dengan manifestasi berupa kesukaran bernafas yang disebabkan oleh
peyempitan yang menyeluruh dari saluran nafas (Bruner & Suddarth,
2002).
b. Etiologi
1) Alergen (debu, bulu binatang, kulit, dll)
2) Infeksi saluran nafas
3) Stress
4) Olahraga (kegiatan jasmani berat)
5) Obat-obatan
6) Polusi udara
7) Lingkungan kerja
8) Lain-lain (iklim, bahan pengawet)
9) Manifestasi Klinis
10) Dispnea

8
11) Permulaan serangan terdapat sensasi kontriksi dada (dada terasa
berat),
12) wheezing,
13) batuk non produktif
14) takikardi
15) takipnea

2.4 Tanda dan Gejala


Gejala klinis yang biasa ditemukan pada penderita PPOK adalah sebagai
berikut :
1. Batuk kronik
Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan dalam 2 tahun
terakhir yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Batuk dapat
terjadi sepanjang hari atau intermiten. Batuk kadang terjadi pada malam
hari. Berdahak kronik
2. Hal ini disebabkan karena peningkatan produksi sputum. Kadang kadang
pasien menyatakan hanya berdahak terus menerustanpa disertai batuk.
Karakterisktik batuk dan dahak kronik ini terjadi pada pagi hari ketika
bangun tidur.
3. Sesak napas
Terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah
mengalami adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat progressif lambat
sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Anamnesis harus dilakukan dengan
teliti, gunakan ukuran sesak napas sesuai skala sesak .
Tabel skala sesak
Skala Sesak Keluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas
0 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat
1 Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau naik tangga
1 tingkat
2 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak
3 Sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah beberapa
menit

9
4 sesak bila mandi atau berpakaian

Tanda fisik pada PPOK jarang ditemukan hingga terjadi hambatan fungsi
paru yang signifikan. Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan
kelainan yang jelas terutama auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah
mulai terdapat hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada PPOK derajat sedang dan
PPOK derajat berat seringkali terlihat perubahan cara bernapas atau perubahan
bentuk anatomi toraks.
Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal
sebagai berikut:
1. Inspeksi, yaitu :
a. Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong)
b. Terdapat purse lips breathing (seperti orang meniup)
c. Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu nafas
2. Palpasi , yaitu sel iga melebar
3. Perkusi , yaitu hipersonor
4. Auskultasi , yaitu :
a. Fremitus melemah
b. Suara nafas vesikuler melemah atau normal
c. Ekspirasi memanjang
d. Bunyi jantung menjauh
e. Terdapat mengi waktu bernapas biasa /ekspirasi paksa

10
2.5 Patofisiologi
Faktor pencetus (Asma Polusi Udara
bronchial,enfisema,bronchitis
kronis)

PPOK

Perubahan anatomis Imflamasi


parenkim paru
Infeksi
Sputum meningkat

Pembesaran alveoli
Batuk Leukosit meningkat

Hiperatropi kelenjar
Imun menurun
mukosa Bersihan jalan nafas
tidak efektif
Penyempitan Saluran Kuman pathogen dan
Udara secara periodik endogen difagosit
makrofag

Ekspansi paru Gangguan Pertukaran


Anoreksia
menurun Gas

Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
Suplay O2 tidak adekuat Konpensasi tubuh kebutuhan tubuh
keseluruh tubuh memenuhi kebutuhan
oksigen dengan
meningkatkan frekuensi
Hipoksia

Sesak Kontraksi otot pernapasan


Penggunaan energi
pernafasan meningkat
Pola nafas tidak efektif

Intoleransi Aktivitas

11
2.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan radiologi
a. Pada bronchitis kronik secara radiologis ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan:
1) Tubular shadows atau farm lines terlihat bayangan garis-garis yang
parallel, keluar dari hilus menuju apeks paru. Bayangan tersebut adalah
bayangan bronkus yang menebal.
2) Corak paru yang bertambah

b. Pada emfisema paru terdapat 2 bentuk kelainan foto dada yaitu:


1) Gambaran defisiensi arteri, terjadi overinflasi, pulmonary oligoemia
dan bula. Keadaan ini lebih sering terdapat pada emfisema panlobular
dan pink puffer.
2) Corakan paru yang bertambah.
3) Pemeriksaan faal paru
Pada bronchitis kronik terdapat VEP1 dan KV yang menurun, VR
yang bertambah dan KTP yang normal. Pada emfisema paru terdapat
penurunan VEP1, KV, dan KAEM (kecepatan arum ekspirasi
maksimal) atau MEFR (maximal expiratory flow rate), kenaikan KRF
dan VR, sedangkan KTP bertambah atau normal. Keadaan diatas lebih
jelas pada stadium lanjut, sedang pada stadium dini perubahan hanya
pada saluran napas kecil (small airways). Pada emfisema kapasitas
difusi menurun karena permukaan alveoli untuk difusi berkurang.
2. Analisis gas darah
Pada bronchitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobin menurun, timbul
sianosis, terjadi vasokonstriksi vaskuler paru dan penambahan
eritropoesis. Hipoksia yang kronik merangsang pembentukan eritropoetin
sehingga menimbulkan polisitemia. Pada kondisi umur 55-60 tahun
polisitemia menyebabkan jantung kanan harus bekerja lebih berat dan
merupakan salah satu penyebab payah jantung kanan.

12
3. Pemeriksaan EKG
Kelainan yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah
terdapat kor pulmonal terdapat deviasi aksis kekanan dan P pulmonal
pada hantaran II, III, dan aVF. Voltase QRS rendah Di V1 rasio R/S lebih
dari 1 dan V6 rasio R/S kurang dari 1.
4. Kultur sputum, untuk mengetahui petogen penyebab infeksi.
5. Laboratorium darah lengkap

2.7 Penatalaksanaan :
Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah:
1) Memeperbaiki kemampuan penderita mengatasi gejala tidak hanya pada
fase akut, tetapi juga fase kronik.
2) Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas
harian.
3) Mengurangi laju progresivitas penyakit apabila penyakitnya dapat
dideteksi lebih awal.

a. Penatalaksanaan PPOK pada usia lanjut adalah sebagai berikut:


1. Meniadakan faktor etiologi/presipitasi, misalnya segera menghentikan
merokok, menghindari polusi udara.
2. Membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara.
3. Memberantas infeksi dengan antimikroba. Apabila tidak ada infeksi
antimikroba tidak perlu diberikan. Pemberian antimikroba harus tepat
sesuai dengan kuman penyebab infeksi yaitu sesuai hasil uji sensitivitas
atau pengobatan empirik.
4. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisilin 4×0,25-
0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksaserbasi akut.
5. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran napas
tiap pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan
obyektif dari fungsi faal paru.
6. Fisioterapi
7. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik

13
8. Mukolitik dan ekspektoran
9. Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal napas
tipe II dengan PaO2 (7,3Pa (55 MMHg).
10. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri
dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari
depresi.

2.8 Komplikasi
1. Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55
mmHg, dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya
klien akan mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi dan
pelupa. Pada tahap lanjut timbul cyanosis.
2. Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang
muncul antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.
3. Infeksi Respiratory
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus,
peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema
mukosa. Terbatasnya aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan
timbulnya dyspnea.
4. Gagal jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus
diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini
sering kali berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan
emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini.
5. Cardiac Disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau
asidosis respiratory.
6. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma
bronchial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan

14
seringkali tidak berespon terhadap therapi yang biasa
diberikan.Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi vena leher
seringkali terlihat.

15
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan makalah maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan yaitu :
1. PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran
udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel
parsial. Etiologi PPOK meliputi faktor paparan lingkungan (merokok,
pekerjaan dan polusi udara) dan faktor resiko dari host (usia, jenis kelamin,
gangguan fungsi paru dan prediposisi genetik). Patofisiologi PPOK yaitu
inhalasi bahan berbahaya sehingga timbul inflamasi sehingga terjadi
kerusakan jaringan paru sebabkan penyempitan saluran napas dan fibrosis,
destruksi parenkim dan hipersekresi mukus.
2. Gejala PPOK meliputi batu kronik, berdahak kronik dan sesak napas.
Sedangkan tanda fisiknya ditemukan hal-hal seperti inspeksi, palpasi,
perkusi, dan auskultasi. Klasifikasi PPOK berdasarkan nilai FEV1 dan gejala
yang ditimbulkan meliputi tingkat 1 ringan, tingkat2 sedang, tingkat 3 berat
dan tingkat 4 sangat berat.
3. Tatalaksana terapi PPOK meliputi terapi farmakologi yaitu menggunakan
obat-obatan (bronkodilator,antiinflamasi, antibiotik, antioksidan, mukolitik
dan antitusif), terapi oksigen dan terapi pembedahan. Dan terapi non
farmakologi meliputi hentikan kebiasaan merokok, ventilasi mekanik,
perbaikan nutrisi dan rehabilitasi PPOK. Sedangkan KIE PPOK meliputi
hal-hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK yang
diberikan sejak diagnosis dan berlanjut secara berulang pada setiap
kunjungan yang diberikan di poliklinik, ruang rawat dan di rumah. KIE
yang dimaksud berdasarkan skala priority yaitu, penggunaan obat-obatan,
penggunaan oksigen dan lain-lain.
3.2 Saran
Saran kami sebaiknya dalam melakukan terapi farmakologi bagi pasien
PPOK perlu diperhatikan algoritma terapinya dan kondisi fisiologi pasien agar

16
diperoleh efek yang terapi yang tepat, selain itu interaksi mungkin terjadi
perlu juga diketahui pada golongan obat-obatan tersebut.

17
DAFTAR PUSTAKA

Ikawati, Z., 2011, Penyakit Sistem Pernapasan dan Terapinya, Bursa Ilmu,
Yogyakarta.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003, Penyakit Paru Obstruktif Kronik


( PPOK ) Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia.

Sukandar, Ellin Yulinah. et al, 2008, ISO Farnakoterapi, PT. ISFI Penerbitan,
Jakarta.

Tjay, T.H dan Kirana, R., 2007, Obat-Obat Penting edisi Keenam, Elex Media
Komputindo, Jakarta.

18

Anda mungkin juga menyukai