Anda di halaman 1dari 6

1.

Kelenjar adrenal
a. anatomi

1. Anatomi kelenjar adrenal

Kelenjar adrenal atau kelenjar suprarenal, sesuai namanya terletak dibagian superior
dari organ renal, berbentuk seperti topi atau tumpukan lemak. Kelenjar ini memiliki
dua lapisan yaitu korteks dan medulla.

Korteks adrenal terdiri dari daerah yang secara anatomi dapat dibedakan :
a. Lapisan luar zona glomerulosa, merupakan tempat dihasilkannya
mineralokorticoid (aldosterone), ysng terutama diatur oleh angiotensin II, kalium ,
dan ACTH. Juga dipengaruhi oleh dopamine, atrial natriuretic peptide (ANP) dan
neuropeptides.
b. Zona fasciculata pada lapisan tengah, dengan tugas utama sintesis glukokortikoid,
terutama diatur oleh ACTH. Juga dipengaruhi oleh beberapa sitokin (IL-1, IL-6,
TNF) dan neuropeptida
c. Lapisan terdalam zona reticularis, tempat sekresi androgen adrenal (terutama
dehydroepiandrostenedion [DHEA], DHEA sulfa t dan androstenedion) juga
glukokortikoid (kortisol and corticosteron).
Tidak terdapat perbedaan yang jelas secara anatomi antara korteks dan medulla yang
menghasilkan katekholamin oleh sel chromafin. Bukti terakhir hal ini memungkinkan
adanya interaksi parakrin diantara keduanya
Gambar 1
Gambar potongan melintang kelenjar adrenal . zM = adrenal medulla, zR = zona reticularis,
zF = zona fasciculata, zG = zona glomerulosa, Caps = kapsel adrenal

Sumber :
1. Bornstein SR, Ehrhart-Bornstein M, Usadel H, et al Morphological evidence for a
close interaction of chromaffin cells with cortical cells within the adrenal gland. Cell
Tissue Res 1991;265:1-9
2. Bornstein SR, González-Hernández JA, Ehrhart-Bornstein M, et al Intimate contact of
chromaffin and cortical cells within the human adrenal gland forms the cellular basis
for important intraadrenal interactions. J Clin Endocrinol Metab 1994;78:225-232
3. Ehrhart-Bornstein M, Hinson JP, Bornstein SR, et al . Intraadrenal interactions in the
regulation of adrenocortical steroidogenesis. Endocrine Reviews 1998;19(2):101-143

2. c. Mekanisme kerja hormon kortisol


Pengikatan Hormon ke Reseptor Intrasel
Proses kerja steroid berawal dari difusi sederhana hormon bebas menembus
membran plasma sel, walaupun pada beberapa kasus terjadi penyerapan aktif hormon oleh
sel. Setelah berdifusi ke dalam sel, steroid berikatan dengan protein reseptor yang memiliki
ranah pengikat spesifik bagi hormon bersangkutan. Reseptor ini ditemukan di inti sel. Bagi
sebagian hormon, reseptor tersebut juga terdapat di dalam sitosol. Reseptor untuk
glukokortikoid dan mungkin utuk mineralokortikoid ( aldosteron ) terletak di dalam sitosol,
sedangkan reseptor untuk adrogen, estrogen, hormon tiroid, vitamin D aktif, dan asam
retinoat tampaknya terdapat di dalam inti sel.
Sebagian sifat reseptor steroid telah diketahui. Pengikatan ligan ke reseptor dapat
mengalami penjenuhan, yang mengisyaratkan bahwa jumlah reseptor per sel terbatas dan
tertentu. Selain itu, reseptor ini memperlihatkan tingkat spesifisitas yang tinggi terhadapa
ligannya ; namun, kemampuan reseptor mengenali dan membedakan berbagai hormon
steroid yang memiliki struktur serupa tidaklah absolut. Hanya jaringan yang berespons
terhadap steroid yang tampaknya memiliki reseptor ini. Derajat respon biologis terhadap
hormon secara umum berkaitan dengan tingkat penempatan ( occupancy) reseptor.
Hormon steroid berikatan dengan reseptor yang inaktif dan belum mengalami
transformasi yang tempat pengikatan ligannya belum ditempati. Reseptor inaktif tersebut
mungkin membentuk kompleks dengan beberapa heat shock protein (protein yang
terbentuk di dalam sel yang mengalami stres) yang ukurannya beragam. Heat shock protein
menutupi ranah pengikat DNA pada molekul reseptor bebas yang inaktif.

Pengikatan Kompleks Reseptor-Hormon ke DNA


Setelah terjadi pengikatan dengan ligan, heat shock protein terlepas dari reseptor,
sehingga ranah pengikat DNA pada reseptor sekarang terbuka (terpajan). Reseptor yang
telah mengalami transformasi dan aktif tersebut kemudian mengikat DNA. (apabila semula
berada di dalam sitosol, reseptor tersebut harus terlebih dahulu mengalami translokasi ke
dalam inti). Reseptor yang telah aktif tersebut mencari dan memeriksa DNA untuk
menemukan tempat akseptor spesifik berafinitas tinggi (steroid-receptor complex response
element, SRE)
Bagi semua hormon steroid diketahui terdapat sekuens DNA yang menentukan
tempat akseptor spesifik untuk mengikat kompleks hormon steroid-reseptor. Apabila terjadi
pengikatan di tempat ini, terjadi proses transaktivasi yang merangsang aktivitas RNA
polimerase sehingga transkirpsi dapat berlangsung. Untuk ligan inhibitorik, proses ini tidak
menyebababkan stimulus tetapi represi transkripsi.
RNA messenger (mRNA) yang baru terbentuk kemudian berikatan dengan ribosim di
sitosol dan mengalami translasi menghasilkan protein speisik. Protein ini pada gilirannya,
akan mengubah fungsi sel sesuai perintah yang inheren terdapat dalam interaksi hormon
steroid-reseptor.
Model umum kerja glukokortikoid, mineralkortikoid, dan steroid seks ini juga berlaku
bagi kerja asam retinoat, hormon tiroid, dan vitamin D aktif. Perbedaan utama antara model
umum kerja steroid yang dijelaskan di atas dengan model kerja vitamin D, hormon tiroid dan
asam retinoad adalah bahwa reseptor bagi hormon yang disebut terakhir ini mengisyaratkan
bahwa apabila reseptor berikatan degnan ligan makan terjadi perubahan konformasional
protein reseptor yang bukan berupa pelepasan heat shock protein. Perubahan tersebut
meningkatkan aksesibilitas ranah pengikat DNA pada reseptor ke lemen respons hormon
spesifik pada DNA.

Marks, Dawn B, dkk. Biokimia Kedokteran Dasar : Sebuah Pendekatan Klinis. Jakarta: EGC, 2000

4. i. Tatalaksana cushing sindrom

Terapi SC dapat berupa terapi bedah, radioterapi dan terapi medik. Sasaran terapi SC
adalah memperbaiki gejala klinik, menormalkan kadar kortisol, dan kendali jangka
panjang tanpa kekambuhan. Jika tidak diobati akan meningkatkan mortalitas. Tanpa
pengobatan, penderita dengan SC mempunyai prognosis yang kurang baik, yaitu survival
5 tahun sebesar 50%.
Pembedahan
Untuk penderita dengan SC tidak tergantung ACTH akibat adenoma adrenal, dilakukan
adrelektomi unilateral. Jika terjadi hyperplasia bilateral, adrelektomi bilateral dapat
dikerjakan namun akan mengakibatkan insufisiensi adrenal dan membutuhkan terapi
pengganti hormon glukortikoid dan minerokortikoid sepanjang hidupnya. Untuk
penderita dengan Penyakit Cushing, adenomektomi transspenoidal merupakan pilihan
pada kebanyakan penderita. Tujuannya adalah melakukan reseksi lengkap dari adenoma
pituitari dan koreksi hiperkortisolemia tanpa menyebabkan defisiensi pituitari yang
menetap. Keberhasilan untuk prosedur ini untuk penderita dengan mikroadenoma
bervariasi antara 65-90% tergantung dari keterampilan dokter bedah disamping ukuran
dan tempat tumor. Pembedahan ulang dan radioterapi kadangkadang dilakukan untuk
penderita dengan hiperkortisolemia menetap setelah adenomektomi transspenoidal.
Pendekatan untuk adrenalektomi laparoskopik kini telah menjadi prosedur baku, ini bisa
dilakukan dengan berbagai cara misalnya transperitoneal, retroperitoneal, single-port
access, dan sistem robotik da Vinci.

Radioterapi
Radioterapi pernah menjadi terapi pilihan pertama pada tahun 1940-1980, dengan angka
keberhasilan sekitar 50%. Namun kini, radioterapi menjadi pilihan kedua setelah terapi
pembedahan gagal. Dengan cara ini, remisi tercapai antara 53-83% dengan kekambuhan
sampai 17%. Radioterapi konvensional dan targeted radiosurgery (ᵞ-knife atau cyberknife)
mempunyai potensi untuk eradikasi tumor pituitari, tetapi kendali hiperkortisolemia terjadi
pada sekitar 50-60% penderita dalam 3-5 tahun, dan mungkin terjadi defisiensi pituitari
setelah tindakan. Radioterapi bisa dipertimbangkan sebagai terapi pilihan pertama untuk
anak-anak dengan angka remisi sama dengan pembedahan transspenoidal. Namun demikian,
keefektivan maksimum dari radioterapi baru tercapai selama 1 tahun. Kombinasi dengan
farmakoterapi perlu dipertimbangkan jika manifestasi klinik akibat hiperkortisolemia sangat
nyata. Defisiensi hormone pertumbuhan merupakan komplikasi tersering (50%), selanjutnya
hipogonadisme, dan kerusakan saraf mata yang terjadi pada <1% penderita.
Terapi Medik
Ada beberapa tujuan terapi medik pada penderita SC. Terapi medik dapat diberikan kepada
mereka dengan komplikasi akut seperti sikosis akut, hipertensi berat, dan infeksi oportunistik
(Tabel 3). Keadaan yang mengancam jiwa ini terutama dikaitkan dengan Sindrom ACTH
Ektopik (SAE) dimana membutuhkan penurunan kadar kortisol yang berlebihan dengan
cepat. Pada beberapa pusat, terapi medik untuk menurunkan kadar kortisol digunakan
sebelum tindakan pembedahan dilakukan dengan tujuan untuk mengoptimalkan keadaan
penderita yaitu memperbaiki katabolisme dan regulasi tekanan darah dan homeostasis
glukosa. Disamping itu penurunan kadar kortisol dapat mengurangi kecenderungan
perdarahan pada saat tindakan bedah.
Secara umum terapi medik yang ditujukan untuk pengobatan hiperkortisolemia adalah: (1)
setelah gagal terapi bedah untuk penderita SC tergantung ACTH atau SAE; (2) penderita
dengan penyakit metastasis, misalnya tumor neuroendokrin yang menghasilkan ACTH dan
karsinoma adrenokortikal yang menghasilkan kortisol; dan (3) pada penderita dengan risiko
operasi yang tinggi misalnya dengan ko-morbiditas dan usia lanjut. Beberapa kelompok obat
yang umum diberikan sebagai terapi medik pada penderita SC adalah: penghambat
steroidogenesis adrenal, obat yang bekerja secara sentral, antagonis reseptor glukokortikoid,
dan beberapa obat baru yang sedang dikembangkan.
1. Suastika, Ketut. Bali Endocrinologi Update (BEU XIII): Endocrinology and Beyond.
Denpasar : PT.Percetakan Bali, 2016

k. edukasi

9. a. Gangguan hormon adrenal

Anda mungkin juga menyukai