Anda di halaman 1dari 7

1.

1 Pengertian Leasing Syari’ah

Menurut bahasa leasing berarti “sewa guna usaha”. Secara umum leasing artinya equipment funding,
yaitu pembiayaan peralatan/barang modal untuk digunakan pada proses produksi suatu perusahaan baik
secara langsung maupun tidak. Leasing berasal dari kata lease yang berarti menyewa. Dalam syariah
dikenal sebagai Al Ijarah. Al Ijarah berasal dari kata al ajru yang berarti al ‘iwadhu (ganti).

Pengertian Berdasar Mazhab :

• Mazhab Syafi’i : suatu transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju secara tertentu bersifat mubah
dan bisa dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.

• Mazhab Hambali dan Maliki : pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu
dengan suatu imbalan

• Mazhab Hanafi : transaksi suatu manfaat dengan imbalan.

Leasing (sewa guna usaha) pertama dikenal di Amerika Serkat, yaitu berasal dari kata lease yang berarti
menyewa. Sedangkan dalam ekonomi Islam dikenal dengan al-ijarah, berasal dari kata al-ajru yang
berarti al-iwadhu (ganti).[1]

Pada Pasal 1 Surat Keputusan Bersama Tiga Mentri Keuangan, Menteri Perdaganagan, dan Menteri
Perindustrian NO. KEP-122/MK/IV/2/1974, dan No. 30/Kpb/I/1974 7febuari 1974, menyebutkan bahwa
leasing itu adalah[2] : “Setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-
barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk satu jangka waktu secara berkala, disertai
dengan hak pilih (optie) bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang
bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilali sisa yang telah disepakati
bersama”

Equipment Leasing Association di London memberikan definisi leasing sebagai berikut[3] : “leasing
adalah perjanjian antara lessor dan lesse untuk menyewa suatu jenis barang modal tertentu yang dipilih?
ditentukan oleh lesse. Hak pemilikan atas barang modal tersebut ada pada lessor, sedangkan lesse hanya
menggunakan barang modal tersebut berdasarkan pembayaran uang sewa yang telah ditentukan dalam
suatu jangka waktu tertentu.

Al-Ijarah merupakan akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa dalam batasan waktu tertentu,
melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang.[4] Dalam al-
Qur’an surat al-Baqarah ayat 233 Firman Allah:

“.....dan jika Kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah
Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.
Sewa guna usaha syari’ah adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik
secara sewa guna usaha dengan hak opsi maupun tanpa hak opsi yang akan digunakan oleh penyewa
selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran dimana menggunakan prinsip
ijarah dan ijarah muntahiyah bittamlik. Sewa guna usaha syari’ah diatur di dalam:

1. Peraturan Ketua Badan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Per-03/BL/2007 tentang
Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syari’ah.

2. Peraturan Ketua Badan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Per-04/BL/2007 tentang Akad-
akad Yang Digunakan Dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syari’ah.

3. Surat Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor B-323/DSN-
MUI/XI/2007 tanggal 29 November 2007 tentang Pernyataan DSN-MUI atas Peraturan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.

Dasar hukum yang dipakai dalam sewa guna usaha syari’ah berlainan dengan dasar hukum yang dipakai
dalam sewa guna usaha konvensional karena sewa guna usaha konvensional diatur di dalam Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing). Sewa guna
usaha konvensional menganut asas-asas yang berlaku di dalam KUHPerdata dimana kiblatnya adalah
hukum Eropa Kontinental, seperti asas kebebasan berkontrak. Sedangkan sewa guna usaha syari’ah
menganut asas-asas yang kiblatnya kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Adapun asas-asas dalam Hukum
Perdata Islam yang digunakan di dalam sewa guna usaha syari’ah yaitu:

1. Asas Kebolehan

2. Asas kebebasan dan Kesukarelawan.

3. Asas Pembawa Manfaat dan Menolak Mudharat

4. Asas Kebajikan atau Kebaikan.

5. Asas Adil dan Seimbang.

6. Asas Larangan Merugikan Diri Sendiri dan Orang Lain.

7. Asas mendapatkan hak karena usaha dan jasa.

8. Asas Mengatur dan Memberi Petunjuk.

9. Asas Kebebasan Berusaha

10. Asas Beritikad Baik dan Dilindungi.

11. Asas Mendahulukan Kewajiban Daripada Hak.

2.2 Sejarah Perkembangan Leasing


Perkembangan ekonomi Islam di Indonesia cukup pesat. Hal itu ditandai dengan meningkatnya jumlah
bank syariah dan lembaga keuangan non bank. Ada beberapa yang memang asli syariah, akan tetapi ada
yang berupa unit usaha syariah. Dalam kehidupan perekonomian, kita tidak hanya mengenal perbankan
syariah yang memang menjadi perhatian banyak orang. Ekonomi Islam bukan hanya sekedar membahas
tentang perbankan Islam, tetapi semua hal yang berkaitan dengan kehidupan ekonomi manusia.

Dengan perkembangan perbankan Islam, juga berkembang praktek ekonomi Islam yang lain, seperti
leasing, asuransi, pasar modal, dana pensiun, pegadaian, lembaga zakat, koperasi dan lain sebagainya.
Kemajuan ini menjadi sinyal positif untuk menunjang segala kebutuhan masyarakat yang diselenggarakan
secara Islami, mengingat sebelumnya belum tersedia pelayanan dan proses pemenuhan kebutuhan
masyarakat yang sesuai dengan syariat Islam.

Perekonomian yang Islami, perlu adanya instrumen yang menunjang, baik yang disediakan oleh
pemerintah maupun swasta. Perkembangan praktek ekonomi Islam di masyarakat cukup pesat sehingga
perlu mendapatkan sebuah payung hukum dan aturan yang berfungsi untuk melindungi proses ekonomi
yang dilakukan oleh masyarakat. Termasuk dalam hal ini lembaga pembiayaan non bank perlu
mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang
melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak
menarik dana langsung dari masyarakat. Bidang usaha lembaga pembiayaan mencakup beberapa
alternatif kegiatan pembiayaan seperti sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring), kartu kredit
(credit card), dan pembiayaan konsumen (consumer finance).

Memasuki dekade tahun 2000 industri jasa pembiayaan di Indonesia mengalami perkembangan yang
sangat pesat sehingga menuntut industri jasa pembiayaan dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhan
masyarakat terhadap pelayanan jasa keuangan yang sangat kompleks. Perkembangan industri jasa
pembiayaan ini secara keseluruhan telah mampu menjadikannya sebagai suatu industri yang cukup
menonjol dalam dunia bisnis khususnya sektor keuangan yang diperlukan dalam menunjang
pembangunan ekonomi secara nasional.[5]

Peranan yang menonjol dari industri jasa pembiayaan adalah menyediakan dana bagi masyarakat yang
memerlukan sumber dana pembiayaan baik untuk keperluan investasi, modal kerja, atau semata-mata
untuk barang yang akan dipakai sendiri (konsumsi). Dana yang disalurkan oleh industri jasa pembiayaan
kepada masyarakat diharapkan akan dapat bermanfaat untuk mendorong perkembangan perekonomian
nasional.

Dengan perkembangan kegiatan industri jasa pembiayaan yang sedemikian pesat, Pemerintah dalam hal
ini Departemen Keuangan dituntut untuk mengoptimalkan perannya sebagai regulator dan supervisor
kegiatan jasa pembiayaan melalui upaya kebijakan yang mendorong kearah perkembangan industri jasa
pembiayaan secara berkesinambungan. Salah satu upaya Departemen Keuangan dalam rangka
optimalisasi peran dilakukan melalui peningkatan fungsi pembinaan dan pengawasan secara
berkelanjutan dengan tujuan untuk memastikan bahwa pengelolaan kegiatan industri jasa pembiayaan
telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk di dalamnya perusahaan
pembiayaan yang berbasis syariah.
Pada hari Senin, 10 Desember 2007, Bapepam dan LK melalui Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor
Per-03/BL/2007 dan Nomor Per-04/BL/2007 telah menerbitkan satu paket regulasi yang terkait dengan
Perusahaan Pembiayaan yang melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syariah, yaitu Peraturan tentang
Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah dan Peraturan tentang Akad-Akad Yang
Digunakan Dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah. Penerbitan paket
regulasi tersebut adalah untuk memberikan landasan hukum yang memadai berkaitan dengan kegiatan
Perusahaan Pembiayaan yang melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syariah serta guna memenuhi
kebutuhan masyarakat pada industri pembiayaan yang memerlukan keragaman sumber pembiayaan dan
pendanaan berdasarkan pada syariat Islam.

Pembahasan kedua peraturan dimaksud telah melibatkan Asosiasi Perusahaan Pembiayaan dan Dewan
Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Terhadap kedua peraturan tersebut, DSN-MUI,
melalui surat Nomor B-323/DSN-MUI/XI/2007 tanggal 29 Nopember 2007 telah menyatakan bahwa
secara umum kedua peraturan dimaksud tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan fatwa-fatwa
yang telah dikeluarkan oleh DSN-MUI.[6]

Adapun lingkup pengaturan dari peraturan tentang kegiatan perusahaan pembiayaan berdasarkan
prinsip Syariah antara lain meliputi: (1) pengaturan yang terkait dengan sumber pendanaan yang antara
lain dapat dilakukan melalui pendanaan Mudharabah Mutlaqah, pendanaan Mudharabah Muqayyadah,
pendanaan Mudharabah Musytarakah dan pendanaan Musyarakah; (2) pengaturan yang terkait dengan
kegiatan pembiayaan bagi perusahaan pembiayaan yang dapat dilakukan melalui pembiayaan dengan
menggunakan akad-akad Ijarah, Ijarah Muntahiah Bit Tamlik, Wakalah Bil Ujrah, Murabahah, Salam dan
Istishna : (3) kewajiban perusahan pembiayaan untuk memiliki Dewan Pengawas Syariah; dan (4)
kewajiban pelaporan.

Sedangkan peraturan tentang akad-akad yang digunakan dalam kegiatan perusahaan pembiayaan
berdasarkan prinsip Syariah, bertujuan untuk memberikan pedoman tentang hak dan kewajiban para
pihak, obyek atas transaksi, persyaratan-persyaratan pada setiap jenis akad serta dokumentasi yang
digunakan oleh perusahaan pembiayaan dalam melakukan kegiatan usaha pembiayaan dengan
menggunakan akad-akad sebagaimana telah diatur dalam peraturan dimaksud.

Dengan demikian, perkembangan Leasing secara singkat, sebagai berikut:

1. Leasing dikenal sejak 2000SM oleh bangsa sumeria masih belum dalam lembaga perbankan.

2. 400SM bangsa Nippur mulai mengembangkan dalam lembaga perbankan.

3. 1850M di Amerika leasing diperkenalkan oleh Tom Clark , berlanjut muncul perusahaan-perusahaan
leasing 1952M.

4. 1974M diperkenalkan di Indonesia.

5. 10 Desember 2007 terbit regulasi yang terkait Perusahaan Pembiayaan berdasar prinsip syariah.
2.3 Dasar Hukum Leasing Syari’ah

1. Al-Qur’an

“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhan-Mu? Kami telah menentukan antara mereka
penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas
sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan yang lain. Dan
rahmat Tuhan-Mu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS.43:32)

“dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketauhilah bahwa
Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS.2:233)

2. Hadist

“berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu.” [7]

“berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.”[8]

“Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya” [9]

“dahulu kami menyewa tanah dengan (jalan membayar dari) tanaman yang tumbuh. Lalu Rasulullah
melarang kami cara itu dan memerintahkan kami agar membayarnya dengan uang emas atau perak.”
[10]

“Allah Ta’ala berfirman: Ada tiga golongan yang pada hari kiamat (kelak) Aku akan menjadi musuh
mereka: (pertama) seorang laki-laki yang mengucapkan sumpah karena Aku kemudian ia curang, (kedua)
seorang laki-laki yang menjual seorang merdeka lalu dimakan harganya, dan (ketiga) seorang laki-laki
yang mempekerjakan seorang buruh lalu sang buruh mengerjakan tugas dengan sempurna, namun ia
tidak memberinya upahnya.”[11]

“Rasulullah melarang dua bentuk akad sekaligus dalam satu obyek”[12]

3. Fatwa Dewan Syariah Nasional

· Fatwa DSN No:09/DSN-MUI/IV/2000 tentang IJARAH (Berisi tentang Rukun dan Syarat Ijarah,
Ketentuan Objek Ijarah, Kewajiban LKS dan Nasabah dalam Pembiayaan Ijarah).

· Fatwa DSN No: 27/DSN-MUI/III/2002 tentang AL-IJARAH AL-MUNTAHIYAH BI AL-TAMLIK (Berisi


tentang Rukun dan Syarat akad Ijarah Muntahiyah Bittamlik, Ketentuan, dan Hal-hal yang dilakukan jika
terjadi perselisihan).

2.4 Praktek Operasional Leasing Syari’ah


Sebelum mengenal lebih dalam tentang leasing syariah, terlebih dahulu harus mengenal pihak-pihak
yang terlibat pada pembiayaan leasing. Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam proses pemberian
fasilitas leasing adalah sebagai berikut:

a. Lessor.

Merupakan perusahaan leasing yang membiayai keinginan para nasabahnya untuk memperoleh barang-
barang modal.

b. Lessee

Nasabah yang mengajukan permohonan leasing kepada lessor untuk memperoleh barang modal yang
diinginkan.

c. Supplier

Pedagang yang menyediakan barang yang akan dileasing sesuai perjanjian antara lessors dengan lessee
dan dalam hal ini supplier juga dapat bertindak sebagai lessor.

d. Asuransi

Merupakan perusahaan yang akan menanggung resiko terhadap perjanjian antara lessor dengan lessee.
Dalam hal ini lessee dikenakan biaya asuransi dan apabila terjadi sesuatu, maka perusahaan akan
menanggung resiko sebesar sesuai dengan perjanjian terhadap barang yang dileasingkan.[13]

· Macam-macam kegiatan leasing syariah/ ijarah

1. Ijarah adalah akad sewa menyewa antara pemilik ma’jur (obyek sewa) dan musta’jir (penyewa)
untuk mendapatkan imbalan atas obyek sewa yang disewakannya. Ijarah Muntahiyah bittamlik adalah
akad sewa menyewa antara pemilik obyek sewa dan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas obyek
sewa yang disewakannya dengan opsi perpindahan hak milik obyek sewa pada saat tertentu sesuai
dengan akad sewa.[14]

2. Perpindahan hak milik obyek sewa kepada penyewa dalam ijarah muntahiyah bit tamlik dapat
dilakukan dengan:

a. Hibah

b. Penjualan sebelum akad berakhir sebesar harga yang sebanding dengan sisa cicilan sewa

c. Penjualan pada akhir masa sewa dengan pembayaran tertentu yang disepakati pada awal akad

d. Penjualan secara bertahap sebesar harga tertentu yang disepakati dalam akad.

3. Pemilik obyek sewa dapat meminta penyewa menyerahkan jaminan atas ijarah untuk menghindari
risiko kerugian. Jumlah, ukuran, dan jenis obyek sewa harus jelas diketahui dan tercantum dalam akad..
3.1 Kesimpulan

Leasing syariah merupakan pembiayaan alternative di bidang UMKN bagi masyarakat yang ingin bergelut
di bidang usaha. Dalam konsep pembiayaan syari’ah dalam artian perusahaan kredit, pada saat ini sudah
banyak menerapkan dengan menggunakan prinsip syari’ah. Salah satu yang menjadi indikator
perusahaan menggunakan sistem syari’ah dikarenakan terbebas dari bunga atau riba dibandingkan
dengan perusahaan konvensional yang masih menggunakan sistem bunga. Prinsip syari’ah yang
diterapkan dapat memberikan kemudahan sebagian besar masyarakat dalam memenuhi kebutuhan
mereka.

Setelah melihat produk yang ditawarkan dan penerapannya pada perusahaan leasing syariah di atas, kita
dapat melihat ada sedikit perbedaan antara isi dari pengertian dan konsep Leasing atau system Ijarah
dalam makalah ini dengan produk dan penerapannya pada perusahaan leasing syariah terbebut. Dalam
konsep leasing dengan dasar ijarah tidak ada opsi transaksi menggunakan akad murabahah, sedangkan
dalam produk yang ditawarkan perusahaan leasing tersebut ada opsi menggunakan akad murabahah.

Melihat adanya penawaran produk pada perusahaan leasing syariah dengan akad murabahah sejauh ini
cukup sesuai. Karena murabahah masih dalam konsep ekomoni Islam (syari’ah). Dengan adanya
perusahaan pembiayaan yang berbasis syariah bukan bank menjadi salah satu alternatif dari metode
pembiayaan yang lebih fleksibel dalam menyalurkan dana berupa pembiayaan secara syariah kepada
masyarakat di Indonesia. Praktik perusahaan pembiayaan yang berlandaskan syariah akan lebih menjadi
alternatif yang tepat dan prospektif mengingat sebagian besar umat Islam merupakan mayoritas
penduduk di Indonesia.

Untuk menunjang perkembangan perusahaan pembiayaan syariah diperlukan perhatian semua pihak,
agar perusahaan pembiayaan berbasis syariah dapat berkembang dan terkendali dengan baik berada
dalam real syariah. Sekali lagi, komitmen dan peran pemerintah menjadi sebuah keniscayaan yang
menjadi pendukung utama terhadap pertumbuhan dan perkembangan perusahaan pembiayaan syariah
di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai