(5) Hanya ketentuan hukum yang bisa membatasi seseorang dalam menentukan agama /
kepercayaan
Penjelasan: “Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya
dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi
keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar
orang lain.” (Pasal 18 ayat 3 UU no 12 tahun 2005). Pasal ini menjelaskan bahwa yang dapat
membatasi seseorang untuk menjalankan dan atau menentukan agama adalah hukum. Jadi, selain
hukum , tidak ada yang bisa memaksakan kehendak orang lain untuk menjalankan dan
menentukan agama / kepercayaan.
“Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.” (Pasal 22 ayat 1 UU no 39 tahun 1999). Pasal tersebut menjelaskan bahwa
kemerdekaan beragama terjadi ketika setiap orang bebas dan tanpa halangan / ancaman dari orang lain
untuk beribadah sesuai agama dan kepercayaan masing-masing.
“Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” (Pasal 22 ayat 2 UU no 39 tahun 1999). Pasal tersebut
menjelaskan bahwa Negara harus menjamin warganya untuk tetap aman dalam melaksanakan ibadah
sesuai agamanya masing-masing tanpa ada paksaan atau pelarangan dari orang lain.
“Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan
untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan
agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.” (Pasal 18
ayat 1 UU no 12 tahun 2005). Pasal inimenjelaskan bahwa setiap orang berhak menetapkann agamanya
sendiri atau pemikirannya sendiri dan kebebasan untuk beribadah di tempat umum maupun tertutup.
“Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan
agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.”(Pasal 18 ayat 2 UU no 12 tahun 2005). Pasal ini
menjelaskan bahwa tidak ada seorang pun yang bisa memaksa seseorang sehingga kegiatan beribadah
orang itu trganggu
Hanya ketentuan hukum yang bisa membatasi seseorang dalam menentukan agama / kepercayaan
“Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi
oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban,
kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.” (Pasal 18 ayat 3
UU no 12 tahun 2005). Pasal ini menjelaskan bahwa yang dapat membatasi seseorang untuk
menjalankan dan atau menentukan agama adalah hukum. Jadi, selain hukum , tidak ada yang bisa
memaksakan kehendak orang lain untuk menjalankan dan menentukan agama / kepercayaan.
“Negara Pihak dalam Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan apabila diakui,
wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka
sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.” (Pasal 18 ayat 4 UU no 12 tahun 2005).
Pasal ini mejelaskan bahwa Negara peserta konvenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik ini
harus menghormati kebebasan orang tua untuk memastikan kesesuaian antara pendidika
No Ciri-ciri
Kemerdekaan Penjelasan
Beragama
1 Kebebasan “Setiap orang bebas memeluk agamanya
Memeluk Agama masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.” (Pasal 22 ayat 1 UU no 39 tahun
1999). Pasal tersebut menjelaskan
bahwa kemerdekaan beragama terjadi
ketika setiap orang bebas dan tanpa
halangan / ancaman dari orang lain
untuk beribadah sesuai agama dan
kepercayaan masing-masing.
2 Negara “Negara menjamin kemerdekaan setiap
Menjamin orang memeluk agamanya masing-
Kemerdekaan masing, dan untuk beribadat menurut
Warganya untuk agamanya dan kepercayaannya itu.”
Beribadah (Pasal 22 ayat 2 UU no 39 tahun 1999).
Pasal tersebut menjelaskan bahwa
Negara harus menjamin warganya untuk
tetap aman dalam melaksanakan ibadah
sesuai agamanya masing-masing tanpa
ada paksaan atau pelarangan dari orang
lain.
3 Kebebasan “Setiap orang berhak atas kebebasan
untuk berpikir, keyakinan dan beragama. Hak
menetapkan ini mencakup kebebasan untuk
agama atas menetapkan agama atau kepercayaan
pilihan sendiri atas pilihannya sendiri, dan kebebasan,
baik secara sendiri maupun bersama-
sama dengan orang lain, baik di tempat
umum atau tertutup, untuk menjalankan
agama dan kepercayaannya dalam
kegiatan ibadah, pentaatan,
pengamalan, dan pengajaran.” (Pasal 18
ayat 1 UU no 12 tahun 2005). Pasal
inimenjelaskan bahwa setiap orang
berhak menetapkann agamanya sendiri
atau pemikirannya sendiri dan
kebebasan untuk beribadah di tempat
umum maupun tertutup.
4 Tanpa paksaan “Tidak seorang pun dapat dipaksa
dalam menganut sehingga terganggu kebebasannya
agama / untuk menganut atau menetapkan
kepercayaan agama atau kepercayaannya sesuai
dengan pilihannya.” (Pasal 18 ayat 2 UU
no 12 tahun 2005). Pasal ini
menjelaskan bahwa tidak ada seorang
pun yang bisa memaksa seseorang
sehingga kegiatan beribadah orang itu
trganggu
Jual beli yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan syariat agama Islam. Prinsip jual beli
dalam Islam, tidak boleh merugikan salah satu pihak, baik penjual ataupun pembeli. Jual beli
harus dilakukan atas dasar suka sama suka, bukan karena paksaan. Hal ini dijelaskan oleh Allah
dalam surat an-Nisa’ ayat 29.
yang Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan batil
melainkan dengan jalan jual beli suka sama suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa : 29)
(2)Jual beli dilakukan atas kemauan sendiri (tidak dipaksa). Dalam Surah an-Nisaa’ ayat 29
Allah berfirman:
اض َ يَأَيُّ َها الَّذيْنَ ٰا َمنُ ْواﻻَ تَأ ْ ُكلُ ْوا أ َ ْم َوآلَ ُك ْم بَ ْي َن ُك ْم با ْلبَاطل اﻻَّ أ َ ْن ت َ ُك ْونَ ت َج
ٍ ارة ً َع ْن ت َ َر
م ْن ُك ْم
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil (tidak benar) kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama
suka di antara kamu. (Q.S. an-Nisaa’: 29)
(4)Barang yang dijual dapat diserahterimakan sehingga tidak terjadi penipuan dalam jual beli.
(5)Barang yang dijual dapat diketahui dengan jelas baik ukuran, bentuk, sifat dan bentuknya oleh
penjual dan pembeli.
c)Ijab kabul
Ijab adalah pernyataan penjual barang sedangkan Kabul adalah perkataan pembeli barang.
Dengan demikian, ijab kabul merupakan kesepakatan antara penjual dan pembeli atas dasar suka
sama suka. Ijab dan kabul dikatakan sah apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
(1)Kabul harus sesuai dengan ijab;
(2)Ada kesepakatan antara ijab dengan kabul pada barang yang ditentukan mengenai ukuran dan
harganya;
(3)Akad tidak dikaitkan dengan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan akad, misalnya:
“Buku ini akan saya jual kepadamu Rp 10.000,00 jika saya menemukan uang”.
(4)Akad tidak boleh berselang lama, karena hal itu masih berupa janji.
5.Membedakan jual beli yang diperbolehkan dan jual beli yang dilarang
Jual beli yang diperbolehkan dalam Islam adalah :
a. telah memenuhi rukun dan syarat dalam jual beli
b. jenis barang yang dijual halal
c. jenis barangnya suci
d. barang yang dijual memiliki manfaat
e. atas dasar suka sama suka bukan karena paksaan
f. saling menguntungkan
Adapun bentuk-bentuk jual beli yang terlarang dalam agama Islam karena merugikan masyarakat
di antaranya sebagai berikut:
a. memperjualbelikan barang-barang yang haram
b. jual beli barang untuk mengacaukan pasar
c. jual beli barang curian
d. jual beli dengan syarat tertentu
e. jual beli yang mengandung unsur tipuan
f. jual beli barang yang belum jelas misalnya menjual ikan dalam kolam
g. jual beli barang untuk ditimbun
6. Khiyar
Dalam jual beli sering terjadi penyesalan di antara penjual dan pembeli. Penyesalan ini terjadi
karena kurang hati-hati, tergesa-gesa atau sebab lainnya. Untuk menghindari penyesalan dalam
jual beli, maka Islam memberikan jalan dengan khiyar. Khiyar adalah hak untuk meneruskan jual
beli atau membatalkannya. Maksudnya, baik penjual atau pembeli mempunyai kesempatan untuk
mengambil keputusan apakah meneruskan jual beli atau membatalkannya dalam waktu tertentu
atau karena sebab tertentu. Khiyar dalam jual beli ada tiga macam yaitu:
(1)Khiyar majlis
Khiyar majlis adalah hak bagi penjual dan pembeli yang melakukan akad jual beli untuk
membatalkan atau meneruskan akad jual beli selama mereka masih belum berpisah dari tempat
akad. Apabila keduanya telah berpisah dari satu majlis, maka hilanglah hak khiyar majlis ini.
Rasulullah SAW bersabda:
(2)Khiyar syarat
Khiyar syarat adalah suatu keadaan yang membolehkan salah seorang atau masing-masing orang
yang melakukan akad untuk membatalkan atau menetapkan jual belinya setelah
mempertimbangkan dalam 1, 2, atau 3 hari. Setelah waktu yang ditentukan tiba, maka jual beli
harus segera ditegaskan untuk dilanjutkan atau dibatalkan. Waktu khiyar syarat selama 3 hari 3
malam terhitung waktu akad. Sabda Rasulullah Muhammad SAW:
(3)Khiyar ‘aibi
Khiyar ‘aibi adalah hak untuk memilih meneruskan atau membatalkan jual beli karena ada cacat
atau kerusakan pada barang yang tidak kelihatan pada saat ijab kabul. Pada masa sekarang, untuk
memberikan pelayanan yang memuaskan kepada pembeli, para produsen dan penjual barang
biasanya memberikan jaminan produk atau garansi. Pemberian garansi juga dimaksudkan untuk
menghindari adanya kekecewaan pembeli terhadap barang yang dibelinya. Berkaitan dengan
khiyar ‘aibi ini, Rasulullah SAW memberikan tuntunan dengan sabdanya :
ام ع ْندَهُ َماشَآ َء هللاُ ا َ ْن يُقي َْم َ ي هللاُ َع ْن َها ا َ َّن َرجُﻼً ا ْبتَا
َ ع ﻏُﻼَ ًما فَا َ َق َ شةُ َرض َ َع ْن َعائ
رواه ابو.سلَّ َم فَ َردَّهُ َعلَيْه َ صلَّى هللاُ َعلَيْه َو َ ص َمهُ الَى النَّبي َ ﺛ ُ َّم َو َجدَ به
َ ع ْيبًا فَخَا
داود
Artinya:
Dari Aisyah r.a. berkata bahwasanya seorang laki-laki telah membeli seorang budak, budak itu
tinggal beberapa lama dengan dia, kemudian kedapatan bahwa budak itu ada cacatnya, terus
dia angkat perkara itu dihadapan Rasulullah saw. Putusan dari beliau, budak itu dikembalikan
kepada penjual (H.R. Abu Dawud)
Khiyar diperbolehkan oleh Rasulullah Muhammad SAW karena memiliki manfaat. Di antara
manfaat khiyar adalah untuk menghindari adanya rasa tidak puas terhadap barang yang dibeli,
menghindari penipuan, dan untuk membina ukhuwah antara penjual dan pembeli. Dengan
adanya khiyar, penjual dan pembeli merasa puas.
Demikian artikel tentang pengertian jual beli, hukum jual beli, rukun jual beli, syarat jual beli
serta khiyar semoga dapat menambah wawasan kita bersama. Pembahasan lain berkaitan dengan
agama Islam dapat anda baca di artikel kami yang lain
http://basicartikel.blogspot.com/2013/04/pengertian-jual-beli-dan-ruang.html
A. Pengertian Jual-Beli
Secara bahasa al-ba’ (menjual) berarti “mempertukarkan sesuatu dengan sesuatu”. Dan
merupakan sebuah nama yang mencakup pengertian terhadap kebalikannya yakni al-syira’
(membeli). Demikian al-ba’ sering diterjemahkan dengan “jual-beli”.
Ibn Qudamah menyampaikan sebagai berikut: “Mempertukarkan harta dengan harta denga
tujuan pemilikan dan penyerahan milik”.
Landasan syara’
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Qs. Al-Baqarah: 275)
اي الكسب أطيب ؟ فقد عمل الرجل بيده وكل بيع مبرور:سئل النبى صلى هللا عليه وسلم
B. Rukun Jual-Beli
Dalam menetapkan rukun jual beli diantara para ulama terjadi perbedaan. Menurut Ulama
Hanafiah, rukun jual beli adalah ijab Qabul yang menunjukkan pertukaran barang secara ridha
baik ucapan maupun perbuatan.
C. Syarat Jual-Beli
Sah atau tidaknya akad jual beli bergantung pada pemenuhan syarat dan rukunnya. Dari sudut
pandangan ini, jumhur fuqaha membagi hukum jual beli menjadi dua, yaitu shahih dan ghairu
shahih. Sedangkan menurut Hanafiyah dibagi menjadi tiga, yaitu shahih, bathil, fasid.
Menurut Hanafi, jual beli yang bathil adalah jual beli yang tidak memenuhi rukun dan tidak
diperkenankan oleh syara’. Sedangkan jual beli fasid adalah jual beli yang secara prinsip tidak
bertentangan dengan syara’ namun terdapat sifat-sifat tertentu yang menghalangi keabsahannya.
Dari aspek obyeknya, jual beli dibedakan menjadi empat macam, yaitu:
Bai’ al-Muqayyadah
Yaitu jual beli barang dengan barang yang biasa disebut jual beli barter.
Bai’ al-Muthlaq
Yaitu jual beli barang dengan barang lain secara tangguh atau menjual barang dengan harga
secara mutlak.
Bai’ al-Sharf
Yaitu menjualbelikan alat pembayaran dengan yang lainnya.
Bai’ al-Salam
Dalam hal ini barang yang diakadkan bukan berfungsi sebagai mabi’ melainkan berupa dain
(tanggungan)Hal ini ditunjukkan dengan adanya jual beli di dunia maya, contoh jual beli lewat
internet, online dan lain-lain. Jual beli barang najis seperti anjing, babi, dan sebagainya. Dalam
Islam segala sesuatunya telah diatur dalam Al-Qur'an dan as-Sunnah. Begitu juga dalam Al-
Qur'an dan as-sunnah dan dijelaskan dalam kitab-kitab fiqh.
http://adibahafrahnisa.blogspot.com/2013/06/pengertian-rukun-syarat-dan-macam-jual.html