Anda di halaman 1dari 15

Ciri-ciri kemerdekaan beragama antara lain:

(1) Kebebasan Memeluk Agama


Penjelasan: “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” (Pasal 22 ayat 1 UU no 39 tahun 1999). Pasal
tersebut menjelaskan bahwa kemerdekaan beragama terjadi ketika setiap orang bebas dan tanpa
halangan / ancaman dari orang lain untuk beribadah sesuai agama dan kepercayaan masing-
masing.

(2) Negara Menjamin Kemerdekaan Warganya untuk Beribadah


Penjelasan: “Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing,
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” (Pasal 22 ayat 2 UU no 39
tahun 1999). Pasal tersebut menjelaskan bahwa Negara harus menjamin warganya untuk tetap
aman dalam melaksanakan ibadah sesuai agamanya masing-masing tanpa ada paksaan atau
pelarangan dari orang lain.

(3) Kebebasan untuk menetapkan agama atas pilihan sendiri


Penjelasan: “Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini
mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan
kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum
atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan,
pengamalan, dan pengajaran.” (Pasal 18 ayat 1 UU no 12 tahun 2005). Pasal inimenjelaskan
bahwa setiap orang berhak menetapkann agamanya sendiri atau pemikirannya sendiri dan
kebebasan untuk beribadah di tempat umum maupun tertutup.

(4) Tanpa paksaan dalam menganut agama / kepercayaan


Penjelasan: “Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk
menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.” (Pasal 18
ayat 2 UU no 12 tahun 2005). Pasal ini menjelaskan bahwa tidak ada seorang pun yang bisa
memaksa seseorang sehingga kegiatan beribadah orang itu terganggu

(5) Hanya ketentuan hukum yang bisa membatasi seseorang dalam menentukan agama /
kepercayaan
Penjelasan: “Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya
dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi
keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar
orang lain.” (Pasal 18 ayat 3 UU no 12 tahun 2005). Pasal ini menjelaskan bahwa yang dapat
membatasi seseorang untuk menjalankan dan atau menentukan agama adalah hukum. Jadi, selain
hukum , tidak ada yang bisa memaksakan kehendak orang lain untuk menjalankan dan
menentukan agama / kepercayaan.

(6) Pendidikan agama harus sesuai dengan keyakinan masing-masing individu


Penjelasan: “Negara Pihak dalam Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua
dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral
bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.” (Pasal 18 ayat 4 UU no 12
tahun 2005).
Pasal ini mejelaskan bahwa Negara peserta konvenan internasional tentang hak-hak sipil dan
politik ini harus menghormati kebebasan orang tua untuk memastikan kesesuaian antara
pendidikan agama dengan agama yang dianut.

Kebebasan Memeluk Agama

“Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.” (Pasal 22 ayat 1 UU no 39 tahun 1999). Pasal tersebut menjelaskan bahwa
kemerdekaan beragama terjadi ketika setiap orang bebas dan tanpa halangan / ancaman dari orang lain
untuk beribadah sesuai agama dan kepercayaan masing-masing.

Negara Menjamin Kemerdekaan Warganya untuk Beribadah

“Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” (Pasal 22 ayat 2 UU no 39 tahun 1999). Pasal tersebut
menjelaskan bahwa Negara harus menjamin warganya untuk tetap aman dalam melaksanakan ibadah
sesuai agamanya masing-masing tanpa ada paksaan atau pelarangan dari orang lain.

Kebebasan untuk menetapkan agama atas pilihan sendiri

“Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan
untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan
agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.” (Pasal 18
ayat 1 UU no 12 tahun 2005). Pasal inimenjelaskan bahwa setiap orang berhak menetapkann agamanya
sendiri atau pemikirannya sendiri dan kebebasan untuk beribadah di tempat umum maupun tertutup.

Tanpa paksaan dalam menganut agama / kepercayaan

“Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan
agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.”(Pasal 18 ayat 2 UU no 12 tahun 2005). Pasal ini
menjelaskan bahwa tidak ada seorang pun yang bisa memaksa seseorang sehingga kegiatan beribadah
orang itu trganggu

Hanya ketentuan hukum yang bisa membatasi seseorang dalam menentukan agama / kepercayaan

“Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi
oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban,
kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.” (Pasal 18 ayat 3
UU no 12 tahun 2005). Pasal ini menjelaskan bahwa yang dapat membatasi seseorang untuk
menjalankan dan atau menentukan agama adalah hukum. Jadi, selain hukum , tidak ada yang bisa
memaksakan kehendak orang lain untuk menjalankan dan menentukan agama / kepercayaan.

Pendidikan agama harus sesuai dengan keyakinan masing-masing individu

“Negara Pihak dalam Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan apabila diakui,
wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka
sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.” (Pasal 18 ayat 4 UU no 12 tahun 2005).

Pasal ini mejelaskan bahwa Negara peserta konvenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik ini
harus menghormati kebebasan orang tua untuk memastikan kesesuaian antara pendidika
No Ciri-ciri
Kemerdekaan Penjelasan
Beragama
1 Kebebasan “Setiap orang bebas memeluk agamanya
Memeluk Agama masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.” (Pasal 22 ayat 1 UU no 39 tahun
1999). Pasal tersebut menjelaskan
bahwa kemerdekaan beragama terjadi
ketika setiap orang bebas dan tanpa
halangan / ancaman dari orang lain
untuk beribadah sesuai agama dan
kepercayaan masing-masing.
2 Negara “Negara menjamin kemerdekaan setiap
Menjamin orang memeluk agamanya masing-
Kemerdekaan masing, dan untuk beribadat menurut
Warganya untuk agamanya dan kepercayaannya itu.”
Beribadah (Pasal 22 ayat 2 UU no 39 tahun 1999).
Pasal tersebut menjelaskan bahwa
Negara harus menjamin warganya untuk
tetap aman dalam melaksanakan ibadah
sesuai agamanya masing-masing tanpa
ada paksaan atau pelarangan dari orang
lain.
3 Kebebasan “Setiap orang berhak atas kebebasan
untuk berpikir, keyakinan dan beragama. Hak
menetapkan ini mencakup kebebasan untuk
agama atas menetapkan agama atau kepercayaan
pilihan sendiri atas pilihannya sendiri, dan kebebasan,
baik secara sendiri maupun bersama-
sama dengan orang lain, baik di tempat
umum atau tertutup, untuk menjalankan
agama dan kepercayaannya dalam
kegiatan ibadah, pentaatan,
pengamalan, dan pengajaran.” (Pasal 18
ayat 1 UU no 12 tahun 2005). Pasal
inimenjelaskan bahwa setiap orang
berhak menetapkann agamanya sendiri
atau pemikirannya sendiri dan
kebebasan untuk beribadah di tempat
umum maupun tertutup.
4 Tanpa paksaan “Tidak seorang pun dapat dipaksa
dalam menganut sehingga terganggu kebebasannya
agama / untuk menganut atau menetapkan
kepercayaan agama atau kepercayaannya sesuai
dengan pilihannya.” (Pasal 18 ayat 2 UU
no 12 tahun 2005). Pasal ini
menjelaskan bahwa tidak ada seorang
pun yang bisa memaksa seseorang
sehingga kegiatan beribadah orang itu
trganggu

5 Hanya ketentuan “Kebebasan menjalankan dan


hukum yang bisa menentukan agama atau kepercayaan
membatasi seseorang hanya dapat dibatasi oleh
seseorang dalam ketentuan berdasarkan hukum, dan yang
menentukan diperlukan untuk melindungi keamanan,
agama / ketertiban, kesehatan, atau moral
kepercayaan masyarakat, atau hak-hak dan
kebebasan mendasar orang lain.” (Pasal
18 ayat 3 UU no 12 tahun 2005). Pasal
ini menjelaskan bahwa yang dapat
membatasi seseorang untuk
menjalankan dan atau menentukan
agama adalah hukum. Jadi, selain
hukum , tidak ada yang bisa
memaksakan kehendak orang lain untuk
menjalankan dan menentukan agama /
kepercayaan.
6 Pendidikan “Negara Pihak dalam Kovenan ini
agama harus berjanji untuk menghormati kebebasan
sesuai dengan orang tua dan apabila diakui, wali hukum
keyakinan yang sah, untuk memastikan bahwa
masing-masing pendidikan agama dan moral bagi anak-
individu anak mereka sesuai dengan keyakinan
mereka sendiri.” (Pasal 18 ayat 4 UU no
12 tahun 2005).
Pasal ini mejelaskan bahwa Negara
peserta konvenan internasional tentang
hak-hak sipil dan politik ini harus
menghormati kebebasan orang tua untuk
memastikan kesesuaian antara
pendidikan agama dengan agama yang
dianut.
1. Pengertian Jual Beli
Jual beli menurut bahasa artinya pertukaran atau saling menukar. Sedangkan menurut pengertian
fikih, jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang yang lain dengan rukun dan syarat
tertentu. Jual beli juga dapat diartikan menukar uang dengan barang yang diinginkan sesuai
dengan rukun dan syarat tertentu. Setelah jual beli dilakukan secara sah, barang yang dijual
menjadi milik pembeli sedangkan uang yang dibayarkan pembeli sebagai pengganti harga
barang, menjadi milik penjual.
Suatu ketika Rasulullah Muhammad SAW ditanya oleh seorang sahabat tentang pekerjaan yang
paling baik. Beliau menjawab, pekerjaan terbaik adalah pekerjaan yang dilakukan dengan
tangannya sendiri dan jual beli yang dilakukan dengan baik. Jual beli hendaknya dilakukan oleh
pedagang yang mengerti ilmu fiqih. Hal ini untuk menghindari terjadinya penipuan dari ke dua
belah pihak. Khalifah Umar bin Khattab, sangat memperhatikan jual beli yang terjadi di pasar.
Beliau mengusir pedagang yang tidak memiliki pengetahuan ilmu fiqih karena takut jual beli
yang dilakukan tidak sesuai dengan hukum Islam.
Pada masa sekarang, cara melakukan jual beli mengalami perkembangan. Di pasar swalayan
ataupun mall, para pembeli dapat memilih dan mengambil barang yang dibutuhkan tanpa
berhadapan dengan penjual. Pernyataan penjual (ijab) diwujudkan dalam daftar harga barang
atau label harga pada barang yang dijual sedangkan pernyataan pembeli (kabul) berupa tindakan
pembeli membayar barang-barang yang diambilnya.
2. Hukum Jual Beli
Jual beli sudah ada sejak dulu, meskipun bentuknya berbeda. Jual beli juga dibenarkan dan
berlaku sejak zaman Rasulullah Muhammad SAW sampai sekarang. Jual beli mengalami
perkembangan seiring pemikiran dan pemenuhan kebutuhan manusia. Jual beli yang ada di
masyarakat di antaranya adalah: a) jual beli barter (tukar menukar barang dengan barang); b)
money charger (pertukaran mata uang); c) jual beli kontan (langsung dibayar tunai); d) jual beli
dengan cara mengangsur (kredit); e) jual beli dengan cara lelang (ditawarkan kepada masyarakat
umum untuk mendapat harga tertinggi).
Berbagai macam bentuk jual beli tersebut harus dilakukan sesuai hukum jual beli dalam agama
Islam. Hukum asal jual beli adalah mubah (boleh). Allah SWT telah menghalalkan praktik jual
beli sesuai ketentuan dan syari’at-Nya. Dalam Surah al-Baqarah ayat 275 Allah SWT berfirman:

‫َوأ َ َح َّل هللاُ ْال َب ْي َع َو َح َّر َم الربﯜا‬


Artinya :
…Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…(Q.S. al-Baqarah: 275)

Jual beli yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan syariat agama Islam. Prinsip jual beli
dalam Islam, tidak boleh merugikan salah satu pihak, baik penjual ataupun pembeli. Jual beli
harus dilakukan atas dasar suka sama suka, bukan karena paksaan. Hal ini dijelaskan oleh Allah
dalam surat an-Nisa’ ayat 29.
yang Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan batil
melainkan dengan jalan jual beli suka sama suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa : 29)

Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda:

ٍ ‫سلَّ َم انَّ َما ْال َب ْي ُع َع ْن ت ََر‬


‫ رواه ابن ماجه‬.‫اض‬ َ ‫صلَّى هللاَ َعلَيْه َو‬ ُ ‫ قَا َل َر‬: ‫سعيْد ْال ُخدْري َيقُ ْو ُل‬
َ ‫س ْو ُل هللا‬ َ ‫َع ْن أَبي‬
Artinya :
Dari Abi Sa’id al-Khudri berkata, Rasulullah SAW bersabda: sesungguhnya jual beli itu
didasarkan atas saling meridai.(H.R. Ibnu Maajah).

Hukum jual beli ada 4 macam, yaitu:


(1)Mubah (boleh), merupakan hukum asal jual beli;
(2)Wajib, apabila menjual merupakan keharusan, misalnya menjual barang untuk membayar
hutang;
(3)Sunah, misalnya menjual barang kepada sahabat atau orang yang sangat memerlukan barang
yang dijual;
(4)Haram, misalnya menjual barang yang dilarang untuk diperjualbelikan. Menjual barang untuk
maksiat, jual beli untuk menyakiti seseorang, jual beli untuk merusak harga pasar, dan jual beli
dengan tujuan merusak ketentraman masyarakat.

3.Rukun Jual Beli


Jual beli dinyatakan sah apabila memenuhi rukun dan syarat jual beli. Rukun jual beli berarti
sesuatu yang harus ada dalam jual beli. Apabila salah satu rukun jual beli tidak terpenuhi, maka
jual beli tidak dapat dilakukan. Menurut sebagian besar ulama, rukun jual beli ada empat
macam, yaitu:
a)Penjual dan pembeli
b)Benda yang dijual
c)Alat tukar yang sah (uang)
d)Ijab Kabul
Ijab adalah perkataan penjual dalam menawarkan barang dagangan, misalnya: “Saya jual barang
ini seharga Rp 5.000,00”. Sedangkan kabul adalah perkataan pembeli dalam menerima jual beli,
misalnya: “Saya beli barang itu seharga Rp 5.000,00”. Imam Nawawi berpendapat, bahwa ijab
dan kabul tidak harus diucapkan, tetapi menurut adat kebiasaan yang sudah berlaku. Hal ini
sangat sesuai dengan transaksi jual beli yang terjadi saat ini di pasar swalayan. Pembeli cukup
mengambil barang yang diperlukan kemudian dibawa ke kasir untuk dibayar.

4. Syarat sah jual beli


Jual beli dikatakan sah, apabila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Persyaratan itu untuk
menghindari timbulnya perselisihan antara penjual dan pembeli akibat adanya kecurangan dalam
jual beli. Bentuk kecurangan dalam jual beli misalnya dengan mengurangi timbangan,
mencampur barang yang berkualitas baik dengan barang yang berkualitas lebih rendah
kemudian dijual dengan harga barang yang berkualitas baik. Rasulullah Muhammad SAW
melarang jual beli yang mengandung unsur tipuan. Oleh karena itu seorang pedagang dituntut
untuk berlaku jujur dalam menjual dagangannya. Adapun syarat sah jual beli adalah sebagai
berikut:
a)Penjual dan pembeli
(1)Jual beli dilakukan oleh orang yang berakal agar tidak tertipu dalam jual beli. Allah
swt.berfirman dalam surah an-Nisaa’ ayat 5 :
‫سفَ َها َء اَ ْم َوالَ ُك ُم الَّتى َج َع َل هللاُ لَ ُك ْم قيَ ًما‬
ُّ ‫َوﻻَ تُؤْ ت ُ ْواال‬
Artinya:
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka
yang ada dalam kekuasaan) kamu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupanmu.(Q.S.an-
Nisaa’:5)

(2)Jual beli dilakukan atas kemauan sendiri (tidak dipaksa). Dalam Surah an-Nisaa’ ayat 29
Allah berfirman:

‫اض‬ َ ‫يَأَيُّ َها الَّذيْنَ ٰا َمنُ ْواﻻَ تَأ ْ ُكلُ ْوا أ َ ْم َوآلَ ُك ْم بَ ْي َن ُك ْم با ْلبَاطل اﻻَّ أ َ ْن ت َ ُك ْونَ ت َج‬
ٍ ‫ارة ً َع ْن ت َ َر‬
‫م ْن ُك ْم‬

Artinya:

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil (tidak benar) kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama
suka di antara kamu. (Q.S. an-Nisaa’: 29)

(3)Barang yang diperjualbelikan memiliki manfaat (tidak mubazir)


(4)Penjual dan pembeli sudah balihg atau dewasa, akan tetapi anak-anak yang belum baligh
dibolehkan melakukan jual beli untuk barang-barang yang bernilai kecil, misalnya jual beli buku
dan koran.
b)Syarat uang dan barang yang dijual
(1)Keadaan barang suci atau dapat disucikan.
(2)Barang yang dijual memiliki manfaat.
(3)Barang yang dijual adalah milik penjual atau milik orang lain yang dipercayakan kepadanya
untuk dijual. Rasulullah bersabda:

‫ﻻَ بَ ْي َع اﻻَّ ف ْي َما ت ُ ْملكُ رواه ابو داود‬


Artinya :
Tidak Sah jual beli kecuali pada barang yang dimiliki.(H.R. Abu Daud dari Amr bin Syu’aib)

(4)Barang yang dijual dapat diserahterimakan sehingga tidak terjadi penipuan dalam jual beli.
(5)Barang yang dijual dapat diketahui dengan jelas baik ukuran, bentuk, sifat dan bentuknya oleh
penjual dan pembeli.
c)Ijab kabul
Ijab adalah pernyataan penjual barang sedangkan Kabul adalah perkataan pembeli barang.
Dengan demikian, ijab kabul merupakan kesepakatan antara penjual dan pembeli atas dasar suka
sama suka. Ijab dan kabul dikatakan sah apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
(1)Kabul harus sesuai dengan ijab;
(2)Ada kesepakatan antara ijab dengan kabul pada barang yang ditentukan mengenai ukuran dan
harganya;
(3)Akad tidak dikaitkan dengan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan akad, misalnya:
“Buku ini akan saya jual kepadamu Rp 10.000,00 jika saya menemukan uang”.
(4)Akad tidak boleh berselang lama, karena hal itu masih berupa janji.

5.Membedakan jual beli yang diperbolehkan dan jual beli yang dilarang
Jual beli yang diperbolehkan dalam Islam adalah :
a. telah memenuhi rukun dan syarat dalam jual beli
b. jenis barang yang dijual halal
c. jenis barangnya suci
d. barang yang dijual memiliki manfaat
e. atas dasar suka sama suka bukan karena paksaan
f. saling menguntungkan
Adapun bentuk-bentuk jual beli yang terlarang dalam agama Islam karena merugikan masyarakat
di antaranya sebagai berikut:
a. memperjualbelikan barang-barang yang haram
b. jual beli barang untuk mengacaukan pasar
c. jual beli barang curian
d. jual beli dengan syarat tertentu
e. jual beli yang mengandung unsur tipuan
f. jual beli barang yang belum jelas misalnya menjual ikan dalam kolam
g. jual beli barang untuk ditimbun

6. Khiyar
Dalam jual beli sering terjadi penyesalan di antara penjual dan pembeli. Penyesalan ini terjadi
karena kurang hati-hati, tergesa-gesa atau sebab lainnya. Untuk menghindari penyesalan dalam
jual beli, maka Islam memberikan jalan dengan khiyar. Khiyar adalah hak untuk meneruskan jual
beli atau membatalkannya. Maksudnya, baik penjual atau pembeli mempunyai kesempatan untuk
mengambil keputusan apakah meneruskan jual beli atau membatalkannya dalam waktu tertentu
atau karena sebab tertentu. Khiyar dalam jual beli ada tiga macam yaitu:
(1)Khiyar majlis
Khiyar majlis adalah hak bagi penjual dan pembeli yang melakukan akad jual beli untuk
membatalkan atau meneruskan akad jual beli selama mereka masih belum berpisah dari tempat
akad. Apabila keduanya telah berpisah dari satu majlis, maka hilanglah hak khiyar majlis ini.
Rasulullah SAW bersabda:

‫ رواه البخرى‬.‫ا َ ْل َبي َعان ب ْالخ َيار َما لَ ْم يَتَفَ َّرّقَّا‬


Artinya:
Dua orang yang berjual beli, boleh memilih (akan meneruskan jual beli atau tidak) selama
keduanya belum berpisah dari tempat akad. (H.R. Bukhori dari Hakim bin Hizam)

(2)Khiyar syarat
Khiyar syarat adalah suatu keadaan yang membolehkan salah seorang atau masing-masing orang
yang melakukan akad untuk membatalkan atau menetapkan jual belinya setelah
mempertimbangkan dalam 1, 2, atau 3 hari. Setelah waktu yang ditentukan tiba, maka jual beli
harus segera ditegaskan untuk dilanjutkan atau dibatalkan. Waktu khiyar syarat selama 3 hari 3
malam terhitung waktu akad. Sabda Rasulullah Muhammad SAW:

َ َ‫ت في ُك ُّل س ْل َع ٍة ا ْبت َ ْعت َ َها با ْلخيَارﺛَﻼ‬


‫ رواه ابن ماجه‬.‫ث لَيَا ٍل‬ َ ‫ا َ ْن‬
Artinya:
Engkau boleh berkhiyar pada semua barang yang telah engkau beli selama tiga hari tiga
malam.(H.R. Ibnu Majah dari Muhammah bin Yahya bin Hibban)

(3)Khiyar ‘aibi
Khiyar ‘aibi adalah hak untuk memilih meneruskan atau membatalkan jual beli karena ada cacat
atau kerusakan pada barang yang tidak kelihatan pada saat ijab kabul. Pada masa sekarang, untuk
memberikan pelayanan yang memuaskan kepada pembeli, para produsen dan penjual barang
biasanya memberikan jaminan produk atau garansi. Pemberian garansi juga dimaksudkan untuk
menghindari adanya kekecewaan pembeli terhadap barang yang dibelinya. Berkaitan dengan
khiyar ‘aibi ini, Rasulullah SAW memberikan tuntunan dengan sabdanya :

‫ام ع ْندَهُ َماشَآ َء هللاُ ا َ ْن يُقي َْم‬ َ ‫ي هللاُ َع ْن َها ا َ َّن َرجُﻼً ا ْبتَا‬
َ ‫ع ﻏُﻼَ ًما فَا َ َق‬ َ ‫شةُ َرض‬ َ ‫َع ْن َعائ‬
‫ رواه ابو‬.‫سلَّ َم فَ َردَّهُ َعلَيْه‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَيْه َو‬ َ ‫ص َمهُ الَى النَّبي‬ َ ‫ﺛ ُ َّم َو َجدَ به‬
َ ‫ع ْيبًا فَخَا‬
‫داود‬
Artinya:
Dari Aisyah r.a. berkata bahwasanya seorang laki-laki telah membeli seorang budak, budak itu
tinggal beberapa lama dengan dia, kemudian kedapatan bahwa budak itu ada cacatnya, terus
dia angkat perkara itu dihadapan Rasulullah saw. Putusan dari beliau, budak itu dikembalikan
kepada penjual (H.R. Abu Dawud)

Khiyar diperbolehkan oleh Rasulullah Muhammad SAW karena memiliki manfaat. Di antara
manfaat khiyar adalah untuk menghindari adanya rasa tidak puas terhadap barang yang dibeli,
menghindari penipuan, dan untuk membina ukhuwah antara penjual dan pembeli. Dengan
adanya khiyar, penjual dan pembeli merasa puas.

Demikian artikel tentang pengertian jual beli, hukum jual beli, rukun jual beli, syarat jual beli
serta khiyar semoga dapat menambah wawasan kita bersama. Pembahasan lain berkaitan dengan
agama Islam dapat anda baca di artikel kami yang lain

 Rukun Jual Beli


 Apakah Alam Akherat Itu Ada?
 Tentang Metode dan Dakwah dalam Islam
 Tentang Haid, Hukum dan Permasalahannya

http://basicartikel.blogspot.com/2013/04/pengertian-jual-beli-dan-ruang.html
A. Pengertian Jual-Beli

Secara bahasa al-ba’ (menjual) berarti “mempertukarkan sesuatu dengan sesuatu”. Dan
merupakan sebuah nama yang mencakup pengertian terhadap kebalikannya yakni al-syira’
(membeli). Demikian al-ba’ sering diterjemahkan dengan “jual-beli”.

Menurut etimologi jual-beli diartikan

‫مقابلة الشيئ بالشيئ‬.

“Pertukaran sesuatu dengan sesuatu yang lain”.

Menurut terminologi, para fuqaha menyampaikan pendapatnya berbeda-beda: Menurut Imam


Nawawi dalam al-Majmu’

‫مقاباة بال بمال تمليكا‬.

“Pertukaran harta dengan harta untuk tujuan kepemilikan”.

Ibn Qudamah menyampaikan sebagai berikut: “Mempertukarkan harta dengan harta denga
tujuan pemilikan dan penyerahan milik”.

Landasan syara’

‫الربَا (البقرة‬ َّ ‫وأ َ َح َّل‬:


ِّ ‫َّللاُ ا ْلبَ ْي َع َوح ََّر َم‬ َ 275)

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Qs. Al-Baqarah: 275)

‫ اي الكسب أطيب ؟ فقد عمل الرجل بيده وكل بيع مبرور‬:‫سئل النبى صلى هللا عليه وسلم‬

B. Rukun Jual-Beli

Dalam menetapkan rukun jual beli diantara para ulama terjadi perbedaan. Menurut Ulama
Hanafiah, rukun jual beli adalah ijab Qabul yang menunjukkan pertukaran barang secara ridha
baik ucapan maupun perbuatan.

Menurut Jumhur Ulama ada empat rukun jual beli, yaitu:


Pihak penjual (Ba’i)
Pihak pembeli (mustari)
Ijab Qabul (Sighat)
Obyek jual beli (Ma’qus alaih)

C. Syarat Jual-Beli

1. Syarat jual beli menurut madzhab Hanafiyah


Dalam akad jual beli harus disempurnakan empat (4) syarat, yaitu:
Syarat In’iqad (dibolehkan oleh syar’i)
Syarat Nafadz (harus milik pribadi sepenuhnya)
Syarat Umum (terbebas dari cacat)
Syarat Luzum (Syarat yang membebaskan dari khiyar)

2. Syarat jual beli menurut madzhab Malikiyah


Malikiyah merumuskan 3 macam syarat jual beli, yaitu:
Aqid
Sighat
Obyek Jual Beli

3. Syarat jual beli menurut madzhab Syafi’iyah


Syafi’iyah merumuskan dua kelompok persyaratan jual beli, yaitu:
Ijab Qabul
Obyek Jual beli.

4. Menurut Madzhab Hanabilah


Madzhab Hanabilah merumuskan tiga kategori syarat jual beli, yaitu:
Aqid
Sighat
Obyek Jual Beli.

Contoh-contoh kasus jual beli kaitannya dengan pemenuhan persyaratan:

Ba’i al-Muaththah (jual beli dengan saling memberi dan menerima)


Yakni kasus jual beli dimana dua pihak sepakat atas penukaran barang dan harga sehingga
masing-masing menerima dan menyerahkan hak dan kewajiban tanpa disertai ijab dan qabul.
Jual beli anak kecil yang mumayyiz
Ba’i al-Mukrih (jual beli orang yang dipaksa)
Ba’i al-Taljiah
Yakni jual beli yang disamarkan atau dinisbatkan kepada pihak ketiga karena adanya
kekhawatiran timbulnya penganiayaan dari pihak lain atas sebagian hartanya.
Ba’i al-Fudhuliy
Yakni jual beli yang dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai kewenangan (wilayah)
atasnya.

D. Obyek Jual Beli Mabi’ dan Tsaman

Hanafiyah membedakan obyek jual-beli menjadi dua, yaitu:

Mabi’ (barang yang dijual(


Yaitu sesuatu yang dapat dikenali (dapat dibedakan) melalui sejumlah kriteria tertentu.
Tsaman (harga)
Yaitu sesuatu yang tidak dapat dikenali (tidak dapat dibedakan dari lainnya) melalui kriteria
tertentu.
Perbedaan antara Tsaman, Qimah dan Dain:
Tsaman adalah harga yang disepakati oleh kedua belah pihak dalam sebuah akad, sedangkan
Qimah adalah harga (nilai) yang berlaku secara umum. Adapun Dain adalah harga yang
dibabankan kepada pihak lain karena sebab-sebab iltizam.

E. Jual Beli Bathil dan Fasid

Sah atau tidaknya akad jual beli bergantung pada pemenuhan syarat dan rukunnya. Dari sudut
pandangan ini, jumhur fuqaha membagi hukum jual beli menjadi dua, yaitu shahih dan ghairu
shahih. Sedangkan menurut Hanafiyah dibagi menjadi tiga, yaitu shahih, bathil, fasid.

Menurut Hanafi, jual beli yang bathil adalah jual beli yang tidak memenuhi rukun dan tidak
diperkenankan oleh syara’. Sedangkan jual beli fasid adalah jual beli yang secara prinsip tidak
bertentangan dengan syara’ namun terdapat sifat-sifat tertentu yang menghalangi keabsahannya.

Contoh kasus jual beli yang fasid dan bathil.

Bai’ al-Ma’dum (jual beli atas barang yang tidak ada(


Seluruh madzhab sepakat atas batalnya jual beli ini. Seperti jual beli janin di dalam perut
induknya dan jual beli buah yang belum tampak.
Bai’ al-Ma’juz al-Taslim (jual beli barang yang tidak mungkin dapat disunnahkan)
Kesepakatan seluruh imam madzhab bahwasanya jual beli seperti ini tidak sah. Contoh jual beli
burung terbang di udara, budak yang melarikan diri, ikan dalam sungai dan lain-lain.
Bai’ al-Gharar
Yakni jual beli yang mengandung tipu daya yang merugikan salah satu pihak karena barang yang
diperjualbelikan tidak dapat dipastikan adanya, atau tidak dapat dipastikan jumlah dan
ukurannya, atau tidak mungkin dapat diserahterimakan. Menurut Jumhur, jual beli fasid
dipandang tidak berlaku dan sama sekali tidak menimbulkan peralihan hak milik meskipun pihak
pembeli telah menguasai barang yang diperjualbelikan.

F. Pembagian Macam-macam Jual Beli

Dari aspek obyeknya, jual beli dibedakan menjadi empat macam, yaitu:

Bai’ al-Muqayyadah
Yaitu jual beli barang dengan barang yang biasa disebut jual beli barter.
Bai’ al-Muthlaq
Yaitu jual beli barang dengan barang lain secara tangguh atau menjual barang dengan harga
secara mutlak.
Bai’ al-Sharf
Yaitu menjualbelikan alat pembayaran dengan yang lainnya.
Bai’ al-Salam
Dalam hal ini barang yang diakadkan bukan berfungsi sebagai mabi’ melainkan berupa dain
(tanggungan)Hal ini ditunjukkan dengan adanya jual beli di dunia maya, contoh jual beli lewat
internet, online dan lain-lain. Jual beli barang najis seperti anjing, babi, dan sebagainya. Dalam
Islam segala sesuatunya telah diatur dalam Al-Qur'an dan as-Sunnah. Begitu juga dalam Al-
Qur'an dan as-sunnah dan dijelaskan dalam kitab-kitab fiqh.
http://adibahafrahnisa.blogspot.com/2013/06/pengertian-rukun-syarat-dan-macam-jual.html

Anda mungkin juga menyukai