Anda di halaman 1dari 12

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

A. Obstructive Jaundice
1. Definisi
Ikterus merupakan perubahan warna kulit atau sclera mata dari putih ke
kuning. Hal ini berlaku apabila terjadi akumulasi bilirubin yang berlebihan
dalam sistem tubuh karena terjadi kerusakan hati yang mencegah pembuangan
bilirubin dari dalam darah. Ikterus juga bisa disebabkan oleh tersumbatnya
saluran empedu yang menurunkan aliran empedu dan bilirubin dari hati kedalam
usus.
Istilah jaundice berasal dari bahasa Perancis “jaune”, yang berarti
“kuning” atau ikterus (berasal dari bahasa Yunani, icteros) menunjukkan
pewarnaan kuning pada kulit, sklera atau membran mukosa sebagai akibat
penumpukan bilirubin yang berlebihan pada jaringan.
Obstruksi jaundice dapat terjadi akibat adanya hambatan saluran
empedu. Sumbatan saluran empedu dapat terjadi karena kelainan pada dinding
saluran misalnya adanya tumor atau penyempitan karena trauma (iatrogenik).
Batu empedu dan cacing ascaris sering dijumpai sebagai penyebab sumbatan di
dalam lumen saluran. Pankreatitis, tumor kaput pankreas, tumor kandung
empedu di daerah ligamentum hepatoduodenale dapat menekan saluran empedu
dari luar menimbulkan gangguan aliran empedu.
2. Patofisiologi
Ikterus obstruksi terjadi apabila :
1) Terjadinya gangguan ekskresi bilirubin dari sel-sel parenkim hepar ke
sinusoid. Hal ini disebut ikterus obstruksi intra hepatal. Biasanya tidak
disertai dengan dilatasi saluran empedu. Obstruksi ini bukan merupakan
kasus bedah.
2) Terjadi sumbatan pada saluran empedu ekstra hepatal. Hal ini disebut
sebagai ikterus obstruksi ekstra hepatal. Oleh karena adanya sumbatan maka
akan terjadi dilatasi pada saluran empedu . Karena adanya obstruksi pada
saluran empedu maka terjadi refluks bilirubin direk (bilirubin terkonyugasi
atau bilirubin II) dari saluran empedu ke dalam darah sehingga
menyebabkan terjadinya peningkatan kadar bilirubin direk dalam darah.
Bilirubin direk larut dalam air, tidak toksik dan hanya terikat lemah pada
albumin. Oleh karena kelarutan dan ikatan yang lemah pada albumin maka
bilirubin direk dapat diekskresikan melalui ginjal ke dalam urine yang
menyebabkan warna urine gelap seperti teh pekat. Urobilin feses berkurang
sehingga feses berwarna pucat seperti dempul (akholis). Karena terjadi
peningkatan kadar garam-garam empedu maka kulit terasa gatal-gatal
(pruritus).
3. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang timbul antara lain:
1) Ikterus
Hal ini disebabkan penumpukkan bilirubin terkonjugasi yang ada dalam
darah yang merupakan pigmen warna empedu.
2) Nyeri perut kanan atas
Nyeri yang dirasakan tergantung dari penyebab dan beratnya obstruktif dan
dapat ditemukan nyeri tekan pada perut kanan atas.
3) Warna urin gelap (Bilirubin terkonjugasi)
Urin yang berwarna gelap karena adanya bilirubin dalam urin.
4) Feces seperti dempul (pucat/akholis)
Hal ini disebabkan karena adanya sumbatan aliran empedu ke usus yang
mengakibatkan bilirubin di usus berkurang atau bahkan tidak ada sehingga
tidak terbentuk urobilinogen yang membuat feces berwarna pucat.
5) Pruritus yang menetap
Adanya pruritus menunjukkan terakumulasinya garam empedu di subkutan
yang menyebabkan rasa gatal.
6) Anoreksia, nausea dan penurunan berat badan
Gejala ini menunjukkan adanya gangguan pada traktus gastrointestinal.
7) Demam dan rigors
8) Pembesaran hepar dan kandung empedu
B. Acute Liver Failure
1. Definisi
Definisi asli dari fulminant liver failure oleh Trey dan Davidson pada 1959
menetapkan suatu onset ensefalopati hepatik dalam 8 minggu dari gejala
pertama sakit, pada pasien tanpa penyakit hati yang sedang berlangsung.
Definisi yang lebih luas termasuk pasien dengan onset penyakit menjadi
ensefalopati selama 26 minggu, walaupun pada mayoritas kasus terjadi dalam
durasi lebih pendek. Satu klasifikasi yang lebih luas membedakan acute liver
failure menjadi hiperakut, akut, dan subakut berdasarkan interval antara
jaundice dan ensefalopati.
Klasifikasi lainnya mengelompokkan liver failure menjadi fulminant,
subfulminant, dan late-onset hepatic failure. Fulminant hepatic failure yaitu saat
mulainya jaundice menjadi ensefalopati kurang dari 2 minggu dan subfulminant
hepatic failure saat lebih dari 2 minggu. Late onset liver failure saat
perkembangannya lebih dari 8 minggu (tetapi kurang dari 24 minggu) setelah
gejala pertama.
2. Patofisiologi
Mekanisme kerusakan hati yang berkontribusi terhadap ALF dapat
diklasifikasikan menjadi dua kelompok. Pertama, patogen dan zat beracun
langsung merusak organel seluler atau memicu sel sinyal jalur kaskade, yang
mengganggu homeostasis intraseluler. Intervensi jalur ini bisa mencegah ALF.
Kedua, respon imun (termasuk bawaan dan adaptif), akhirnya berkumpul
di jalur kematian sel hati termasuk apoptosis, autofagi, nekrosis dan nekroptosis
(juga dikenal sebagai nekrosis terprogram) menyebabkan cedera hati yang
dimediasi imun.
ALF dapat disebabkan oleh toksin, penyakit infeksi, metabolik dan
genetik, tapi terlepas dari etiologi, ALF ditandai dengan hilangnya fungsi
hepatosit secara besar dan konfluen. Tingkat kematian sel hepatosit dapat
menjadi biomarker keparahan ALF, dan mungkin digunakan sebagai prediktor
hasil ALF.
ALF dikaitkan dengan respon imun masif, dengan perekrutan sel-sel
inflamasi dari sirkulasi perifer ke hati, aktivasi reseptor stres dan kematian, dan
pembersihan debris apoptosis /nekrosis, yang mengarah pada peradangan dan
cedera hati. Zimmer mann et al dalam Sowa J et al menggambarkan pentingnya
makrofag hati (sel Kupffer) dan monosit dalam patogenesis ALF. Ketika
diaktifkan oleh sinyal bahaya, sel-sel ini mensekresikan sitokin proinflamasi
TNFa dan meningkatkan ekspresi FasL yang meningkatkan kematian hepatosit.
Apoptosis dapat dipicu oleh reseptor Fas dimediasi sinyal serta rangsangan
berbeda yang memprovokasi stres sel. Semua rangsangan ini berkumpul pada
pengaktifan caspase 3 yang mengarah ke degradasi DNA internucleosomal,
kondensasi kromatin, penyusutan sel, dan pembentukan badan-badan apoptosis
kecil yang difagositosis oleh makrofag. Hati sangat sensitif terhadap Fas-
induced apoptosis.
Sel imun yang teraktifasi, serta hepatosit yang mulai mati dan sel stroma
mampu mensekresi kemokin yang mengarah pada perekrutan dan retensi efektor
sel T dan NK yang memperkuat respon inflamasi lebih lanjut.
Kapasitas regeneratif hati tergantung pada jenis kelamin pasien, usia,
berat badan, dan riwayat penyakit hati. Mediator penting dari regenerasi hati
termasuk sitokin, faktor pertumbuhan dan jalur metabolik untuk pasokan energi.
Pada hati dewasa, kebanyakan hepatosit berada dalam fase G 0 dari siklus sel dan
non-proliferasi. Setelah stimulasi dengan sitokin proinflamasi tumor necrosis
factor α (TNFα) dan interleukin-6 (IL-6), faktor pertumbuhan seperti
transforming-growth factor -α (TGFα), epidermal growth factor (EGF) dan
hepatocyte growth actor (HGF) dapat menginduksi proliferasi hepatosit. TNF
dan IL-6 juga menyebabkan jalur downstream yang terkait dengan NF dan
STAT3 signaling . Kedua faktor transkripsi yang wajib untuk koordinasi respon
inflamasi terhadap cedera hati dan proliferasi hepatosit.
TNFa, IL-1 dan IL-6 juga merupakan mediator penting dari sirkulasi
hiperdinamik dengan mengubah sintesis nitric oxide pada ALF. Gagal ginjal,
ensefalopati, dan edema otak adalah hasil dari perubahan patofisiologis.
Penurunan sintesis urea hati, insufisiensi ginjal, keadaan katabolik dari sistem
muskuloskeletal dan gangguan sawar darah-otak menyebabkan akumulasi
amonia dan perubahan perfusi lokal, yang menginduksi edema otak di ALF.
Risiko edema otak meningkat seiring dengan peningkatan ensefalopati. Setelah
kematian sel hati akut dan masif, pelepasan sitokin proinflamasi dan material
intraseluler menghasilkan penurunan tekanan darah sistemik yang menyebabkan
penurunan sirkulasi splanknikus. Gagal ginjal pada pasien ALF umum terjadi,
sampai dengan 70%. Berkurangnya fungsi kualitatif dan kuantitatif trombosit,
dan sintesis faktor prothrombotic yang tidak adekuat adalah penyebab
koagulopati. Leukopenia dan gangguan sintesis faktor komplemen pada pasien
ALF meningkatkan risiko infeksi, yang mungkin mengakibatkan sepsis. Dengan
penurunan glukoneogenesis hati, hipoglikemia sering terjadi pada pasien dengan
ALF.
3. Manifestasi Klinis
Pasien dengan gagal hati akut biasanya mengalami gejala non-spesifik
seperti mual, muntah, dan malaise, ikterik, dan tanda-tanda ensefalopati hati,
berkembang relatif cepat.2 Ikterik biasanya merupakan gejala pertama dari gagal
hati, manandakan mulainya ALF.16 Hati sering menyusut akibat hilangnya
massa hati dan dapat sekecil 600 g dalam ukuran (normal sekitar 1600 g).
Penurunan fungsi hepatoselular mengganggu sintesis faktor pembekuan dan
glukosa menyebabkan koagulopati dan hipoglikemia. Asidosis metabolik terjadi
karena penurunan clearance dan peningkatan produksi laktat. Takikardi,
hipotensi, hiperventilasi, demam, dan tanda-tanda respon inflamasi sistemik
dapat terjadi. Pemindahan pasien ke pusat spesialisasi hati dengan layanan
transplantasi harus dilakukan lebih awal. Adanya ensefalopati memerlukan
transfer langsung ke fasilitas transplantasi kecuali bila terdapat kontraindikasi.
Pasien dengan onset insufisiensi hati yang lebih bertahap (selama
beberapa minggu, dan disebut subfulminan, subakut, atau late onset) jarang
terjadi edema serebral. Asites, edema dan gagal ginjal lebih mungkin dalam
keadaan ini, prognosis tergantung pada etiologi yang mendasarinya. Pasien yang
bertahan hidup tanpa transplantasi biasanya memiliki pemulihan lengkap.
Perbedaan dari penyakit hati kronis

Perhatian terhadap adanya riwayat penyakit hati, durasi gejala dan


adanya kekerasan hati ditandai splenomegali dan vascular spiders pada kulit.
Pada pasien dengan bukti penyakit hati kronis, lakukan evaluasi penuh untuk
penyebab potensial dekompensasi. Infeksi, perdarahan gastrointestinal,
dehidrasi, obat penenang dan alkohol adalah penyebab umum.

C. Acute Kidney Injury


1. Definisi
Acute Kidney Injury (AKI) adalah penurunan cepat (dalam jam hingga
minggu) laju filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel,
diikuti kegagalan ginjal untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/
tanpa gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Acute Dialysis Quality
Initia- tive (ADQI) yang beranggotakan para nefrolog dan intensivis di Amerika
pada tahun 2002 sepakat mengganti istilah ARF menjadi AKI. Penggantian
istilah renal menjadi kidney diharapkan dapat membantu pemahaman
masyarakat awam, sedangkan penggantian istilah failure menjadi injury
dianggap lebih tepat menggambarkan patologi gangguan ginjal.
Evaluasi dan manajemen awal pasien dengan cedera ginjal akut (AKI) harus
mencakup: 1) sebuah assessment penyebab yang berkontribusi dalam cedera
ginjal, 2) penilaian terhadap perjalanan klinis termasuk komorbiditas, 3)
penilaian yang cermat pada status volume, dan 4) langkah-langkah terapi yang
tepat yang dirancang untuk mengatasi atau mencegah memburuknya fungsional
atau struktural abnormali ginjal. Penilaian awal pasien dengan AKI klasik
termasuk perbedaan antara prerenal, renal, dan penyebab pasca-renal.
Akut kidney injury (AKI) ditandai dengan penurunan mendadak fungsi ginjal
yang terjadi dalam beberapa jam sampai hari. Diagnosis AKI saat ini dibuat atas
dasar adanya kreatinin serum yang meningkat dan blood urea nitrogen (BUN)
dan urine output yang menurun, meskipun terdapat keterbatasan. Perlu dicatat
bahwa perubahan BUN dan serum kreatinin dapat mewakili tidak hanya cedera
ginjal, tetapi juga respon normal dari ginjal ke deplesi volume ekstraseluler atau
penurunan aliran darah ginjal.
Cedera ginjal akut didefinisikan ketika salah satu dari kriteria berikut
terpenuhi :
 Serum kreatinin naik sebesar ≥ 0,3 mg/dL atau ≥ 26μmol /L dalam
waktu 48 jam atau
 Serum kreatinin meningkat ≥ 1,5 kali lipat dari nilai referensi, yang
diketahui atau dianggap telah terjadi dalam waktu satu minggu atau
 Output urine <0.5ml/kg/hr untuk> 6 jam berturut-turut
Dalam keadaan normal aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerolus
relatif konstan yang diatur oleh suatu mekanisme yang disebut otoregulasi.
Dua mekanisme yang berperan dalam autoregulasi ini adalah:

a. Reseptor regangan miogenik dalam otot polos vascular arteriol aferen

b. Timbal balik tubuloglomerular

Selain itu norepinefrin, angiotensin II, dan hormon lain juga dapat
mempengaruhi autoregulasi. Pada gagal ginjal pre-renal yang utama
disebabkan oleh hipoperfusi ginjal. Pada keadaan hipovolemi akan terjadi
penurunan tekanan darah, yang akan mengaktivasi baroreseptor
kardiovaskular yang selanjutnya mengaktifasi sistim saraf simpatis, sistim
rennin-angiotensin serta merangsang pelepasan vasopressin dan endothelin-I
(ET-1), yang merupakan mekanisme tubuh untuk mempertahankan tekanan
darah dan curah jantung serta perfusi serebral. Pada keadaan ini mekanisme
otoregulasi ginjal akan mempertahankan aliran darah ginjal dan laju filtrasi
glomerulus (LFG) dengan vasodilatasi arteriol afferent yang dipengaruhi
oleh reflek miogenik, prostaglandin dan nitric oxide (NO), serta
vasokonstriksi arteriol afferent yang terutama dipengaruhi oleh angiotensin-
II dan ET-1. Ada tiga patofisiologi utama dari penyebab acute kidney injury
(AKI) :

1. Penurunan perfusi ginjal (pre-renal)

2. Penyakit intrinsik ginjal (renal)

3. Obstruksi renal akut (post renal)

D. Anoreksia Gerietri
1. Definisi

Anoreksia adalah tidak adanya selera makan atau individu tersebut tidak

tertarik untuk menelan makanan. Pada istilah klinik, anoreksia total adalah

hilangnya rasa lapar yang diakibatkan proses patologis. Anoreksia biasanya

berkaitan dengan proses penyakit yang secara langsung menghambat atau

menekan pusat lapar atau merangsang aktivitas pusat kenyang. Oleh karena

anoreksia berkaitan dengan banyak proses penyakit, maka tugas utama tenaga

medis adalah menentukan apakah anoreksia yang terjadi pada pasien bersifat

patologik atau fisiologik/psikologik, dan mengoreksi penyebab utamanya.

Anoreksia dapat terjadi karena penurunan selera makan (anoreksia sejati) atau

terjadi karena faktor lain yang tidak mempengaruhi selera makan

(pseudoanoreksia). Penurunan selera makan yang bersifat sementara dapat terjadi

karena rasa takut, latihan berat, atau perubahan menu makanan.


Geriatri adalah cabang ilmu kedokteran yang mengobati kondisi dan

penyakit yang dikaitkan dengan proses menua dan usia lanjut (6). Batas umur

untuk usia lanjut dari waktu ke waktu berbeda. WHO membagi umur tua sebagai

berikut:

a. Umur lanjut (elderly): 60-74 tahun

b. Umur tua (old): 75-90 tahun

c. Umur sangat tua (very-old): > 90 tahun

2. Malnutrisi karena anoreksia geriatric

Seorang lanjut usia selalu dalam keadaan risiko malnutrisi karena terjadi

penurunan asupan makanan karena adanya perubahan fungsi usus, metabolisme

yang tidak efektif, kegagalan homeostasis dan defek utilisasi nutrien. Keadaan

tersebut diperberat dengan ko-insidensi dari penyakit akut atau kronik, trauma,

keadaan hiperkatabolik, infeksi dan terapi obat yang dapat mengubah kebutuhan

nutrisi. Banyak faktor bisa menyebabkan deteriorasi status gizi yang

menyebabkan kegagalan perbaikan jaringan dan fungsi kekebalan sehingga dari

keadaan tersebut perbaikan menjadi sulit atau tidak mungkin terjadi. Tujuan hidup

manusia ialah menjadi tua tetapi tetap sehat sehingga keadaan patologik pun

dicoba untuk disembuhkan untuk mempertahankan healthy aging karena proses

patologik mempercepat penderita meninggal dunia.

Apabila seseorang berhasil mencapai usia lanjut, maka salah satu upaya

utama adalah status gizi yang bersangkuan dipertahankan pada kondisi optimum

agar kualitas kehidupan yang bersangkutan tetap baik. Perubahan status gizi pada

lansia disebabkan perubahan lingkungan atau kondisi kesehatan. Covinsky dan

kawan-kawan meneliti hubungan antara kajian klinis status gizi dan outcome tidak

baik pada penderita tua yang dirawat di rumah sakit dan mendapatkan hasil dari

219 penderita yang diteliti 24,4% malnutrisi sedang dan 16,3% malnutrisi berat.
Penderita dengan malnutrisi berat lebih banyak meninggal dalam waktu 90 hari

setelah meninggalkan rumah sakit dibanding penderita yang malnutrisi sedang

maupun gizi baik (31,7%, 23,3% dan 12,3%).

Malnutrisi pada lansia terutama malnutrisi energi protein adalah suatu

keadaan kekurangan energi dan atau protein untuk memenuhi kebutuhan

metabolik. Malnutrisi energi protein (MEP) biasanya berkembang karena

berkurangnya asupan diet kalori atau protein, meningkatnya kebutuhan metabolik

sebagai hasil dari keadaan sakit atau trauma atau peningkatan pelepasan nutrient.

Mempertahankan status gizi dalam keadaan optimal merupakan komponen

penting dalam penanganan geriatri paripurna, terlebih karena keadaan malnutrisi

akut berhubungan dengan outcome peningkatan komplikasi penyakit dan

perburukan kesehatan. Status gizi yang jelek dan MEP berhubungan dengan

perubahan imunitas, penyembuhan luka terganggu, penurunan status fungsional,

peningkatan penggunaan fasilitas kesehatan dan peningkatan angka mortalitas.

3. Patofisiologi anoreksia geriatric

Regulasi pencernaan makanan adalah suatu yang sangat kompleks, dengan

berbagai mekanisme untuk memastikan proses pencernaan makanan tetap

optimal. Secara garis besar, pemasukan makanan diregulasi oleh pusat makan

yang bekerjasama dengan sistem pengaturan nafsu makan perifer. Sistem pusat

pengaturan makan akan menerima stimulasi dari sinyal sel lemak perifer (leptin),

nutrisi yg diabsorbsi dan hormon yang bersirkulasi. Pada studi yang dilakukan

pada manusia dan binatang menunjukan bahwa perubahan pada berbagai macam

sistem diatas terjadi pada proses penuaan, yang menghasilkan proses anoreksia

geriatri. Beberapa studi pada binatang dan manusia berusia tua telah memberikan

petunjuk tentang kemungkinan patogenesis fisiologi anoreksia geriatric.


Ketika glukosa dan triacilgliserol masuk ke duodenum orang muda,

menyebabkan pengurangan rasa lapar dan pemasukan makanan. Ketika nutrisi

masuk lewat duodenum pada orang tua / lansia, pengurangan pada rasa lapar dan

pemasukan makanan lebih sedikit ditemukan. Hal ini menyebabkan peningkatan

rasa lapar yang terlihat di orang dewasa selama pencernaan makanan terjadi

bukan karena tidak banyaknya sinyal pengatur rasa makan atau peningkatan

respon untuk mengabsorbsi nutrisi di usus halus, tetapi karena adanya sinyal nafsu

makan lain yang berasal dari lambung.

Colesistokinin adalah prototipe hormon penstimulasi nafsu makan dan

bertanggung jawab untuk 10-20 persen sinyal yang bertanggung jawab untuk

penyetop makan pada manusia. Penelitian pada binatang telah menunjukkan

peningkatan efek nafsu makan pada colesistokinin pada orang dewasa bila

dibandingkan pada binatang yang muda. Konsentrasi colesistokinin di sirkulasi

menunjukkan peningkatan pada lansia, tapi satu penelitian menunjukkan hal ini

terjadi hanya pada lansia dengan anorexia dan konsentrasi colesistokinin akan

normal pada orang muda setelah berat badan kembali ke batas normal. Peran

penting colesistokinin pada regulasi lapar pada orang muda dan tua masih belum

pasti pada saat ini. Opioid feeding drive dimediasi sebagian besar oleh dynorphin,

yang memeran peran penting untuk transport lemak pada binatang dan manusia,

penelitian pada tikus menunjukkan menurunnya kemampuan opioid untuk

meningkatkan pemasukan makanan pada binatang tua. Hal ini menurunkan

efektivitas untuk mengurangi reseptor opioid yang terjadi karena pertambahan

usia.

Anda mungkin juga menyukai