Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PRAKTIKUM LABORATORIUM LINGKUNGAN

JAR TEST

KELOMPOK 3 SELASA
Benedicta Vanessa Vanda R 1606905645
Ihsan Ramadhan 1606905664
Zatia Nurfina Kurniawan 1606886450

Asisten Praktikum : Ditta Fadhilah


Tanggal Praktikum : 16 September 2018
Tanggal Disetujui :
Nilai :
Paraf Asisten :
LABORATORIUM TEKNIK PENYEHATAN LINGKUNGAN
DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2018
I. TUJUAN
Percobaan ini bertujuan untuk:
1. Menentukan rentang dosis koagulan optimum berdasarkan kualitas air sampel, terutama pH
dan kekeruhan,
2. Melakukan percobaan proses koagulasi dan flokulasi pada skala laboratorium untuk
menentukan proses flokulasi, dan
3. Mengamati ukuran flok yang terbentuk selama berlangsungnya proses flokulasi.
II. DASAR TEORI
1. Pengertian Jar Test
Jar test merupakan tes yang biasa dilakukan di laboratorium untuk menentukan kondisi
operasi optimum pada sistem pengolahan air bersih dan air limbah. (Tim Dosen dan Laboran TL,
2013). Dengan jar test, kita dapat mengetahui dosis optimum suatu bahan kimia atau koagulan
untuk proses koagulasi dan flokulasi dalam unit pengolahan air. Pada jar test, air sampel yang
sudah diberikan rentang dosis tertentu akan mengalami pengadukan cepat untuk membentuk flok
dan juga pengadukan lambat untuk proses flokulasi. Hal yang harus diperhatikan dalam metode
jar test ialah waktu untuk pembentukan flok, ukuran flok yang terbentuk, karakteristik
pengendapan, turbiditas, penghilangan warna, dan pH setelah pengendapan. (Reynolds &
Richards, 1996)
2. Jenis-Jenis Pengadukan
Pengadukan dapat dibedakan menurut metode pengadukan dan kecepatan pengadukan:
Menurut Kecepatan Pengadukan:
Kecepatan pengadukan merupakan parameter penting dalam pengadukan yang
dinyatakan dengan gradien kecepatan. Gradien kecepatan merupakan fungsi dari tenaga yang
disuplai (P):

𝑃
𝐺= √
µ. 𝑉

Dengan:
G = gradien kecepatan
P = suplai tenaga (N.m/detik)
V = volume air yang diaduk (m3)
µ = viskositas absolut air N/detik.m2
Besarnya gradien mempengaruhi waktu pengadukan yang diperlukan. Semakin besar
gradien kecepatan maka semakin pendek waktu pengadukan yang diperlukan. Untuk menyatakan
kedua parameter tersebut, maka digunakan bilangan Camp yang merupakan hasil perkalian
gradien kecepatan dengan waktu pengadukan.
1. Pengadukan Cepat
Tujuan pengadukan cepat dalam pengolahan air adalah untuk menghasilkan turbulensi air
sehingga dapat mendispersikan bahan kimia yang akan dilarutkan dalam air. Secara umum,
pengadukan cepat adalah pengadukan yang dilakukan pada gradien kecepatan besar (300
sampai 1000 detik-1) selama 5 hingga 60 detik atau nilai GTd (bilangan Champ) berkisar 300
hingga 1700. Secara spesifik, nilai G dan td bergantung pada maksud atau sasaran pengadukan
cepat
2. Pengadukan Lambat
Tujuan pengadukan lambat dalam pengolahan air adalah untuk menghasilkan gerakan air
secara perlahan sehingga terjadi kontak antar partikel untuk membentuk gabungan partikel
hingga berukuran besar. Pengadukan lambat adalah pengadukan yang dilakukan dengan
gradien kecepatan kecil (20 sampai 100 detik-1) selama 10 hingga 60 menit atau nilai GTd
(bilangan Champ) berkisar 48000 hingga 210000. Untuk menghasilkan flok yang baik, gradien
kecepatan diturunkan secara bertahap agar flok yang telah terbentuk tidak pecah lagi dan
berkesempatan bergabung dengan yang lain membentuk gumpalan yang lebih besar
Menurut Metode Pengadukan:
1. Pengadukan Mekanis
Pengadukan mekanis adalah metoda pengadukan menggunakan alat pengaduk berupa
impeller yang digerakkan dengan motor bertenaga listrik. Umumnya pengadukan mekanis
terdiri dari motor, poros pengaduk, dan gayung pengaduk (impeller)
Tabel 1 Karakteristik Impeller

Tipe Kecepatan Dimensi Keterangan


Impeller Putaran
Paddle 20 - 150 rpm diameter: 50-80% lebar bak
lebar: 1/6-1/10 diameter paddle
Turbine 10-150 rpm diameter:30-50% lebar bak
Propeller 400-1750 rpm diameter: max. 45 cm jumlah pitch 1-
2 buah
(Sumber: (Qasim, Motley, & Zhu, 2000))
2. Pengadukan Hidrolis
Pengadukan hidrolis adalah pengadukan yang memanfaatkan gerakan air sebagai
tenaga pengadukan. Sistem pengadukan ini menggunakan energi hidrolik yang dihasilkan
dari suatu aliran hidrolik. Energi hidrolik dapat berupa energi gesek, energi potensial
(jatuhan) atau adanya lompatan hidrolik dalam suatu aliran. Beberapa contoh pengadukan
hidrolis adalah terjunan, loncatan hidrolis, parshall flume, baffle basin (baffle channel),
perforated wall, gravel bed dan sebagainya

3. Pengadukan Pneumatis
Pengadukan pneumatis adalah pengadukan yang menggunakan udara (gas) berbentuk
gelembung yang dimasukkan ke dalam air sehingga menimbulkan gerakan pengadukan
pada air (Gambar 2.3). Injeksi udara bertekanan ke dalam suatu badan air akan
menimbulkan turbulensi, akibat lepasnya gelembung udara ke permukaan air. Makin besar
tekanan udara, kecepatan gelembung udara yang dihasilkan makin besar dan diperoleh
turbulensi yang makin besar pula
(Qasim, Motley, & Zhu, 2000)
3. Koagulasi
Koagulasi merupakan proses penambahan dan pengadukan cepat suatu koagulan yang
menyebabkan destabilisasi partikel koloid padat yang tersuspensi, sehingga menyebabkan
partikel-partikel tersebut menyatu dan mulai membentuk flok. Partikel-partikel yang mengalami
koagulasi adalah partikel-partikel yang tidak dapat mengendap karena gravitasi, sehingga dalam
proses pengolahan air, diperlukan proses ini untuk menghilangkan partikel-partikel tersebut dari
air.
Partikel koloid yang mengalami koagulasi bervariasi dari ukuran 0.1 milimikron (10-7
mm) hingga 100 mikron (10-1 mm). Partikel koloid memiliki area permukaan spesifik
(perbandingan antara area permukaan dan volume) yang besar, sehingga koloid cenderung
mengadsorpsi zat disekelilingnya. Selain itu, partikel koloid memiliki gaya elektrostatik relative
terhadap lingkungan air disekitarnya. Gaya ini diakibatkan oleh ionisasi, adsorpsi ion, dan
terkadang deficit ion pada partikel (terutama koloid mineral yang banyak mengandung mineral).
Kedua karakteristik ini penting dalam prinsip terjadinya koagulasi.
Gaya elektrostatik yang terdapat pada partikel koloid berfungsi untuk mempertahankan
keadaan tersuspensi partikel tersebut. Pada kondisi tersuspensi, partikel koloid dikatakan stabil.
Stabilitas koloid dipengaruhi okeh beberapa hal, yaitu gaya tolak dari gaya elektrostatis koloid,
dan gaya Tarik hasil dari Van Der Waals. Besarnya gaya-gaya tersebut tergantung pada zeta
potential reduction partikel, yaitu potensi elektrostatis partikel pada permukaan partikel koloid.
Zeta potential reduction bergantung pada ketebalan dimana muatan partikel efektif. Semakin
besar zeta potential reduction maka akan semakin besar gaya tolak antar koloid, sehingga
semakin stabil pula koloid tersebut.
Oleh sebab itu, untuk melakukan koagulasi, keadaan stabil koloid tersebut perlu
dihilangkan, yaitu dengan mengurangi zeta potential reduction partikel tersebut. Hal tersebut
dapat diakukan dengan 3 cara, yaitu:
1. Pengurangan nilai zeta potensial sehingga gaya tarik partikel lebih besar, menyebabkan
antar partikel untuk bertabrakan
2. Pengadukan partikel dengan interparticulate bridging
3. Penyatuan partikel dengan menggunakan flok yang telah terbentuk
Saat suatu koagulan ditambahkan ke air, ion metal koagulan tersebut mengalami hidrolisis
sehingga menghasilkan ion-ion metal yang positif. Ion-ion tersebut teradsorpsi oleh permukaan
partikel koloid yang bermuatan negative. Hal ini menyebabkan reduksi nilai zeta potensial
sehingga partikel koloid terdestabilisasi. Hal ini dibantu dengan adanya dorongan dari
pengadukan lambat air.
Jenis-jenis koagulasi yang terjadi dapat dibagi menjadi 3 jenis. Koagulasi elektrokinetis
merupakan koagulasi yang terjadi karena pengurangan zeta potensial partikel, koagulasi
perikinetis merupakan koagulasi yang terjadi karena kontak antar partikel akibat gerak Brown,
dan koagulasi ortokinetis merupakan koagulasi yang terjadi karena pergerakan fluida. (Reynolds
& Richards, 1996)
4. Jenis-Jenis Koagulan
Koagulan yang paling banyak digunakan dalam pasaran adalah alumunium sulfat dan garam-
garam besi (Reynolds & Richards, 1996).
a. Alumunium Sulfat
Dalam penggunaan alumunium sulfat sebagai koagulan, dibutuhkan kadar alkalinitas
yang cukup agar alumunium sulfat dapat bereaksi membentuk flok. Alkalinitas yang
terjadi merupakan alkalinitas ion bikarbonat. Reaksi yang terjadi saat pembentukan flok:

Al2(SO)4 . 14H2O + 3Ca(HCO3)2 → 2Al(OH)2 + 14H2O + 6CO2

Apabila alkalinitas dalam air tidak cukup, maka ditambahkan kalsium hidroksida untuk
menambahkan kadar alkalinitas. Kalsium hidroksida yang ditambahkan biasanya dalam
bentuk kapur. Reaksi koagulasi dengan kalsium hidroksida:

Al2(SO)4 . 14H2O + 3Ca(HCO3)2 → 2Al(OH)2 + 3CaSO4 + 14H2O

Selain dengan kapur, penambahan sodium karbonat juga dapat digunakan untuk
menambahkan alkalinitas air. pH optimum untuk penggunaan alumunium sulfat adalah
sekitar 5-8, dimana alumunium tidak larut pada pH tersebut.

b. Ferrous Sulfate
Untuk bereaksi dengan baik, ferrous sulfate membutuhkan alkalinitas ion hidroksida.
Apabila air berkekurangan, maka biasanya ditambahkan Ca(OH)2 untuk menaikkan pH
sehingga ion Fe berpresipitasi sebagai besi hidroksida. Reaksi koagulasi ferrous sulfate
adalah sebagai berikut:

2FeSO4 . 7H2O + 2Ca(OH)2 + ½ O2 → 2Fe(OH)3 + 2CaSO4 + 13H2O

Reaksi optimum terjadi pada pH kisaran 9,5. Ferrous sulfate lebih mahal ketimbang
alumunium sulfat, dan flok yang terbentuk lebih padat dan cepat mengendap. Terkadang
penambahan tembaga terklorinasi ditambahkan untuk mengoksidasi besi:

3FeSO4 . 7H2O + 1,5 Cl2 → Fe2(SO4)3 + FeCl3 + 21H2O

Reaksi tersebut terjadi pada kondisi pH serendah 4,0.

c. Ferric Sulfate
Ferric sulfate merupakan salah satu produk hasil reaksi ferrous sulfate dan tembaga
terklorinasi. Reaksi yang terjadi pada koagulasi adalah:
Fe2(SO4)3 + 3Ca(HCO3)2 → 2Fe(OH)2 + 3CaSO4 + 6CO2

Reaksi tersebut menghasilkan flok yang padat dan cepat mengendap. pH optimum untuk
menggunakan ferric sulfate adalah 4-12.

d. Ferric Chloride
Reaksi koagulasi dengan ferric chloride dengan alkalinitas bikarbonat:

2FeCl3 + 3Ca(HCO3)2 → 2Fe(OH)2 + 3CaSO4 + 6CO2

pH optimum untuk menggunakan koagulan ini adalah 4-12. Flok yang terbentuk dari
penggunaan koagulan ini padat dan cepat mengendap.

e. Lime (Kapur)
Kapur banyak digunakan untuk koagulasi dalam pengolahan air limbah. Slaked lime atau
milk of lime atau Ca(OH)2 dihasilkan dari mereaksi CaO (quicklime) dengan air. Hydrated
lime dibuat dari 82% hingga 99% Ca(OH)2 digunakan dalam bentuk bubuk.

5. Flokulasi
Flokulasi merupakan suatu proses penggumpalan partikel-partikel terdestabilisasi
menjadi flok dengan ukuran yang memungkinkan untuk dapat dipisahkan oleh sedimentasi dan
filtrasi. Proses flokulasi ini juga bertujuan untuk mempercepat proses penggabungan flok-flok
yang terbentuk pada proses koagulasi (Chicarito, 2013).
Tingkat penyelesaian pada proses flokulasi bergantung pada tingkat kesulitan dan
kecepatan sebuah agregat mikroflok untuk membentuk partikel flok besar dan jumlah tumbukan
antarpartikel. Selain itu, tingkat penyelesaian juga bergantung pada karakteristik flok, yaitu
gradien kecepatan (G), dan nilai GT (Culp & Culp, 1978). Nilai dari parameter GT berhubungan
dengan jumlah tumbukan yang terjadi pada proses flokulasi. Parameter lain yang lebih akurat,
GCT, dimana C merupakan rasio volume flok dengan total volume air yang diflokulasikan. Jika
gradien kecepatan flokulasi terlalu besar, gaya gesek akan mencegah pembentukan flok besar.
Sebaliknya, jika gradien kecepatan tidak mencukupi, maka tidak akan terjadi tumbukan
antarpartikel yang cukup dan flok yang sesuai tidak akan terbentuk. Selanjutnya, bila air yang
digunakan sulit untuk mengental, flok akan menjadi rentan dan gradien kecepatan akhir yang
lebih kecil dari 5fps/ft kemungkinan akan dibutuhkan. Akan tetapi, bila air dapat mengental
dengan mudah, flok yang kuat umumnya dihasilkan dan gradien kecepatan akhir dapat bernilai
10fps/ft (AWWA, 1969, 1990).

6. Aplikasi Jar Test di Bidang Teknik Lingkungan


Jar Test memberikan informasi tentang efek konsentrasi koagulan, pencampuran air
baku, dan parameter kualitas air seperti pH dan alkalinitas pada proses koagulasi. Jar Test juga
sering digunakan untuk mendesain fasilitas pengolahan air dan dalam operasi pengolahan air.
Dengan mengetahui jenis dan konsentrasi koagulan yang optimum, dapat ditentukan desain dan
metode operasi pengolahan air secara efektif dan efisien (Reynolds & Richards, 1996).

III. ALAT & BAHAN


1. Alat
a. 1 buah alat Jar Test
b. 5 buah beaker glass 1000 ml
c. 1 buah beaker glass 250 ml
d. 1 buah pHmeter
e. Pengukur waktu/stopwatch
f. 1 buah turbidimeter
g. 2 buah kuvet
h. 1 buah gelas ukur 5 ml
i. 10 buah kertas timbang
j. 1 buah timbangan digital
k. 1 buah pipet 25 ml
l. 1 buah bulb
m. 1 buah spatula
2. Bahan
a. Sampel air Danau Mahoni 4,5 L
b. Koagulan (Tawas, FeCl3, PAC)
c. Air suling
d. Kaolin

IV. CARA KERJA

1. Menambahkan 2. Mengukur 3. Menimbang tawas 4. Menuangkan air


kaolin dan kekeruhan air sesuai rentangnya sampel ke 4 beaker
menghomogenk sampel dengan (30, 40, 50, dan glass masing-
an air sampel turbidimeter 60 mg/l) masing 500 ml
(minimal 100
NTU)

5. Menuangkan 6. Mengaduk cepat 7. Mengaduk lambat 8. Mendiamkan


koagulan ke air sampel dengan air sampel dengan selama 10 menit
dalam beaker kecepatan 100 kecepatan 40 rpm
glass rpm selama 60 selama 20 menit
detik

9. Mengukur 10. Membuat grafik 11. Membuat rentang 12. Mengulangi


kekeruhan dan kekeruhan vs dosis baru langkah 4-9
pH pada menit dosis untuk berdasarkan dosis
ke 10, 20, dan menentukan dosis optimum
30 menit optimum

V. DATA PENGAMATAN

Hasil Pengujian dengan Koagulan Tawas Tahap 1


Kekeruhan Awal: 139 NTU
Tabel 2. Hasil Pengamatan nilai pH dan Kekeruhan Air dengan Koagulan Tawas Tahap 1

Waktu
Kekeruhan
Beaker no. Pengendapan Dosis (mg/l) pH R
(NTU)
(menit)
1 30 7,4 6,2 132,8
2 40 6,9 3,74 135,26
10
3 50 6,7 5,3 133,7
4 60 6,7 3,14 135,86
1 30 6,6 6,14 126,66
2 40 6,8 3,58 131,68
20
3 50 6,8 5,52 128,18
4 60 6,8 2,86 133
1 30 6,8 6,45 120,21
2 40 6,8 3,14 128,54
30
3 50 6,8 5,08 123,1
4 60 6,5 2,87 130,13
(sumber: Penulis, 2018)
Hasil Pengujian dengan Koagulan Tawas Tahap 2
Kekeruhan Awal: 139 NTU
Tabel 3. Hasil Pengamatan nilai pH dan Kekeruhan Air dengan Koagulan Tawas Tahap 2

Waktu
Kekeruhan
Beaker no. Pengendapan Dosis (mg/l) pH R
(NTU)
(menit)
1 30 7,3 3,15 135,85
2 40 7,4 4,34 134,66
10
3 50 7,3 4,07 134,93
4 60 7,3 2,26 136,74
1 30 7,2 3,18 132,67
2 40 7,3 3,29 131,37
20
3 50 7,2 2,61 132,32
4 60 7,2 1,9 134,84
1 30 7,1 2,98 129,69
2 40 7 2,68 128,69
30
3 50 7 2,65 129,67
4 60 6,8 1,52 133,32
(sumber: Penulis, 2018)

VI. PENGOLAHAN DATA

Penentuan Rentang Dosis dengan Sampel 500 ml:

30 𝑚𝑔 1 500 𝑚𝑙
Dosis 1: 30 mg/l = 𝑥 1000 𝑔𝑟 𝑥 1000 𝑚𝑙 = 0,015 𝑔𝑟𝑎𝑚
𝑙
40 𝑚𝑔 1 500 𝑚𝑙
Dosis 2: 40 mg/l = 𝑥 1000 𝑔𝑟 𝑥 1000 𝑚𝑙 = 0,020 𝑔𝑟𝑎𝑚
𝑙

50 𝑚𝑔 1 500 𝑚𝑙
Dosis 3: 50 mg/l = 𝑥 1000 𝑔𝑟 𝑥 1000 𝑚𝑙 = 0,025 𝑔𝑟𝑎𝑚
𝑙

60 𝑚𝑔 1 500 𝑚𝑙
Dosis 4: 60 mg/l = 𝑥 1000 𝑔𝑟 𝑥 1000 𝑚𝑙 = 0,030 𝑔𝑟𝑎𝑚
𝑙
Grafik Pengolahan Data Koagulan Tawas

Tawas Tahap 1
7

4 Menit 10
Menit 20
3
Menit 30
2

0
0 10 20 30 40 50 60 70

Grafik 1. Hubungan Kekeruhan dan Dosis Koagulan Tawas

(sumber: Penulis, 2018)

Tawas Tahap 2
5
4.5
4
3.5
3
Menit 10
2.5
Menit 20
2
Menit 30
1.5
1
0.5
0
50 55 65 70

Grafik 2. Hubungan Kekeruhan dan Dosis Koagulan Tawas

(sumber: Penulis, 2018)


Berdasarkan grafik, didapatkan bahwa dosis optimum untuk menjernihkan air sampel dengan
tawas adalah sebesar 70 mg/l.

Penentuan Rentang Dosis berdasarkan Dosis Optimum:

50 𝑚𝑔 1 500 𝑚𝑙
Dosis 1: 50 mg/l = 𝑥 1000 𝑔𝑟 𝑥 1000 𝑚𝑙 = 0,025 𝑔𝑟𝑎𝑚
𝑙
55 𝑚𝑔 1 500 𝑚𝑙
Dosis 2: 55 mg/l = 𝑥 1000 𝑔𝑟 𝑥 1000 𝑚𝑙 = 0,0225 𝑔𝑟𝑎𝑚
𝑙

65 𝑚𝑔 1 500 𝑚𝑙
Dosis 3: 65 mg/l = 𝑥 1000 𝑔𝑟 𝑥 1000 𝑚𝑙 = 0,0325𝑔𝑟𝑎𝑚
𝑙

70 𝑚𝑔 1 500 𝑚𝑙
Dosis 4: 70 mg/l = 𝑥 1000 𝑔𝑟 𝑥 1000 𝑚𝑙 = 0,035 𝑔𝑟𝑎𝑚
𝑙

Grafik Perbandingan Jenis Koagulan Tawas, FeCl3, dan PAC

10 Menit
35

30

25

20 Tawas
FeCl3
15
PAC
10

0
0 10 20 30 40 50 60 70 80

Grafik 3. Perbandingan Nilai Kekeruhan terhadap Dosis beberapa Jenis Koagulan pada Waktu
Pengendapan 10 Menit
(sumber: Penulis dan Kelompok lainnya, 2018)
20 Menit
35

30

25

20 Tawas
FeCl3
15
PAC
10

0
0 10 20 30 40 50 60 70 80

Grafik 4. Perbandingan Nilai Kekeruhan terhadap Dosis beberapa Jenis Koagulan pada Waktu
Pengendapan 20 Menit

(sumber: Penulis dan Kelompok Lainnya, 2018)

30 Menit
35

30

25

20 Tawas
FeCl3
15
PAC
10

0
0 10 20 30 40 50 60 70 80

Grafik 5. Perbandingan Nilai Kekeruhan terhadap Dosis beberapa Jenis Koagulan pada Waktu
Pengendapan 30 Menit

(sumber: Penulis dan Kelompok Lainnya, 2018)

VII. ANALISA
• Analisa Percobaan
Percobaan Jar Test ini bertujuan untuk mengetahui dosis koagulan mana yang paling
optimum berdasarkan kualitas air sampel terutama pH dan kekeruhan serta melakukan
percobaan proses koagulasi dan flokulasi dalam skala laboratorium. Praktikan tidak
mengukur temperatur sampel dikarenakan temperatur sampel dianggap sama dengan nilai
temperatur laboratorium. Parameter yang diukur adalah pH dan kekeruhan dikarenakan
parameter tersebut dapat diukur dengan mudah menggunakan pH meter dan turbidimeter.
Dosis koagulan dikatakan optimum pada satu jenis kekeruhan jika kekeruhan akhir sampel
air semakin turun. Parameter pH diperhitungkan untuk menentukan range pH optimum pada
suatu koagulan. Percobaan dilakukan pada hari Selasa tanggal 16 Oktober 2018. Air sampel
yang digunakan adalah air sampel danau Mahoni. Pada praktikum ini, koagulan yang
digunakan adalah tawas.
Sebelum memulai praktikum, praktikan terlebih dahulu sudah mengambil air sampel
danau Mahoni pada hari Senin dengan menggunakan ember dan cidukan. Saat akan
mengambil air sampel, ember harus dibilas sepenuhnya dengan air danau agar air sampel yang
diambil tidak tercampur dengan air lainnya. Setelah itu ember diisi penuh dengan air sampel
dan dibawa ke Laboratorium Lingkungan
Saat melakukan praktikum Jar Test, hal pertama yang dilakukan praktikan ialah
menimbang tawas sesuai dengan dosis yang diberikan menggunakan timbangan digital.
Rentang dosis yang diberikan ialah 30 mg/L, 40 mg/L, 50 mg/L, dan 60 mg/L. Dengan
menggunakan rumus:
(𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠) 𝑚𝑔 1 500 𝑚𝑙
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑇𝑎𝑤𝑎𝑠 = 𝑥 𝑥
𝑙 1000 𝑔𝑟 1000 𝑚𝑙
Diperoleh berat tawas sebesar 0,015 gram untuk dosis 30 mg/L, 0,02 gram untuk dosis 40
mg/L, 0,025 gram untuk dosis 50 mg/L, serta 0,03 gram untuk dosis 60 mg/L. Praktikan
menggunakan selembar kertas sebagai alas saat menimbang. Tidak lupa praktikan
mengkalibrasi timbangan terlebih dahulu setelah kertas diletakkan di atas timbangan. Saat
menimbang tawas, praktikan lainnya menuangkan 500 mL air sampel pada empat beaker
glass yang berbeda lalu mengukur kekeruhan air sampel dengan turbidimeter. Apabila
kekeruhan air sampel dirasa kurang maka praktikan akan menambahkan kaolin pada masing
masing beaker glass. Karena kekeruhan yang didapat lebih besar dari 100 NTU, yaitu sebesar
139 NTU, praktikan tidak menambahkan kaolin pada air sampel. Air sampel harus cukup
keruh agar pembentukan flok flok pada air sampel dapat diamati dengan lebih mudah. Selain
itu, koagulasi dan flokulasi akan lebih mudah terjadi pada tingkat turbiditas yang lebih tinggi
(Reynolds & Richards, 1996) dikarenakan turbiditas tersebut menambahkan konsentrasi
partikel untuk pengendapan. Dengan flok yang lebih besar, maka proses selanjutnya yaitu
sedimentasi akan lebih cepat.
Setelah menimbang tawas, praktikan segera memasukkan tawas ke dalam masing masing
beaker glass yang sudah dilabeli dengan dosis yang berbeda-beda. Hal ini dilakukan agar
tidak ada tawas yang tertiup angin sehingga akan mempengaruhi hasil praktikum. Setelah
memasukkan tawas, praktikan membilas kertas timbang dengan air sampel agar seluruh tawas
yang ditimbang masuk ke dalam air sampel.
Selanjutnya, seluruh beaker glass diletakkan ke dalam alat Jar Test. Alat Jar Test
kemudian dinyalakan dan praktikan mengatur kecepatan 100 rpm untuk satu menit pertama.
Pengadukan cepat ini merupakan proses koagulasi dimana koagulan akan tercampur merata
sehingga terbentuk inti flok yang berukuran kecil. Pada proses ini, sifat koloid yang umumnya
stabil akan menjadi tidak stabil (destabilisasi koloid) akibat penambahan koagulan dan
pengadukan cepat. Setelah satu menit, kecepatan pengadukan diturunkan menjadi 40 rpm
selama 20 menit. Pengadukan lambat ini merupakan proses flokulasi dimana inti inti flok
yang sudah terbentuk akan berinteraksi dan membentuk inti flok yang lebih besar. Hal ini
bertujuan agar partikel koloid lebih mudah mengendap. Pengadukan lambat juga dilakukan
agar inti flok tidak pecah.
Setelah 20 menit pengadukan lambat, beaker glass dikeluarkan dari alat Jar Test dan
didiamkan selama 30 menit. Hal ini bertujuan agar inti flok mengendap seluruhnya di dasar
beaker glass. Setiap 10 menit sekali, praktikan akan mengecek pH serta kekeruhan air sampel
sehingga total praktikan melakukan tiga kali pengecekan untuk masing masing beaker glass.
Untuk mengecek pH, praktikan mencelupkan pH meter ke dalam beaker glass secara hati-hati
agar flok yang terbentuk tidak pecah.
Praktikan menggunakan turbidimeter untuk mengukur kekeruhan air sampel. Praktikan
mengambil air sampel dengan pipet volume 10 mL dan bulb lalu memasukkannya ke dalam
kuvet hingga batas yang sudah ditentukan. Pengambilan air sampel ini juga harus dilakukan
dengan hati-hati agar flok yang terbentuk tidak pecah. Sampel air yang diambil adalah sampel
air yang berada di permukaan dan tidak boleh ada flok yang terambil dikarenakan hal ini akan
mengubah nilai pH dan kekeruhan secara perlahan. Setelah dimasukkan ke dalam kuvet,
kuvet dibersihkan terlebih dahulu dengan tissue agar kuvet steril dan dimasukkan ke dalam
turbidimeter. Hasil pH dan kekeruhan kemudian dicatat dan dilihat dosis mana yang
menghilangkan kekeruhan paling banyak. Hasil pH diukur untuk menentukan pH optimum
dari masing masing dosis koagulan
Dari hasil percobaan pertama, praktikan akan mendapatkan dosis koagulan optimum.
Kemudian praktikan membuat rentang baru dari dosis koagulan optimum dengan 4 variasi
yang berbeda dengan mengurangi dosis koagulan 5 mg/l dan 10 mg/l juga menambah dosis
koagulan sebanyak 5 mg/l dan 10 mg/l. Hal ini dimaksudkan agar dosis koagulan yang didapat
menjadi lebih presisi. Setelah ditentukan rentang dosis yang baru, praktikan melakukan hal
yang sama pada percobaan pertama dan mencatat hasilnya.
• Analisa Hasil
Setelah melakukan praktikum, praktikan memperoleh berbagai data seperti pH dan
kekeruhan. Praktikan juga mendapatkan nilai delta R untuk mengetahui besar penyisihan
yang dilakukan oleh koagulan tawas. Nilai delta R tersebut praktikan dapatkan dengan
menghitung besar penyisihan dari hasil pengukuran tingkat kekeruhan pada setiap waktu
pengendapan 10 menit, 20 menit, dan 30 menit terhadap tingkat kekeruhan awal 139 NTU.
Pada percobaan tahap 1 praktikan mendapatkan rentang pH sebesar 6,7 – 7,4 untuk
waktu pengendapan 10 menit; 6,6 – 6,8 untuk waktu pengendapan 20 menit; dan 6,5 – 6,8
untuk waktu pengendapan 30 menit. Hal tersebut sesuai dengan sifat tawas yang bekerja
optimum pada rentang pH 4,5 – 8,0 dan dapat bereaksi membentuk flok apabila alkalinitas
sampel mencukupi, sehingga air sampel danau Mahoni yang digunakan memiliki tingkat
alkalinitas yang cukup. Praktikan juga mendapatkan nilai kekeruhan pada dosis tawas 30
mg/l, 40 mg/l, 50 mg/l, dan 60 mg/l, untuk setiap waktu pengendapan 10 menit, 20 menit, dan
30 menit seperti pada tabel 2. Terlihat bahwa semakin lama waktu pengendapan, semakin
rendah nilai kekeruhan yang didapatkan. Akan tetapi, pada dosis tawas 30 mg/l untuk waktu
pengendapan 30 menit dan dosis tawas 50 mg/l untuk waktu pengendapan 20 menit, terjadi
peningkatan nilai kekeruhan yang dapat disebabkan oleh terambilnya flok pada saat dilakukan
pemipetan.
Sedangkan pada percobaan tahap 2 praktikan mendapatan rentang pH sebesar 7,3 – 7,4
untuk waktu pengendapan 10 menit; 7,2 – 7,3 untuk waktu pengendapan 20 menit; dan 6,8 –
7,1 untuk waktu pengendapan 30 menit. Seperti pada percobaan 1, rentang pH tersebut sesuai
dengan rentang optimum pH tawas. Rentang pH yang praktikan peroleh termasuk asam
karena koagulan tawas (Al2(SO4)3) yang praktikan gunakan bereaksi dengan Ca(HCO3)2 dan
menghasilkan karbon dioksida sehingga dapat menurunkan nilai pH sesuai dengan
persamaan:
Al2(SO)4 . 14H2O + 3Ca(HCO3)2 → 2Al(OH)2 + 14H2O + 6CO2.
Berdasarkan Grafik 1 pada percobaan tahap 1 diperoleh dosis koagulan tawas optimum,
yaitu pada dosis 60 mg/l. Hal tersebut dikarenakan nilai kekeruhan terendah yang diperoleh
jika dibandingkan dengan dosis lainnya, yaitu 2,86 NTU. Selain itu, nilai delta R terbesar
untuk waktu pengendapan 30 menit juga diperoleh pada dosis 60 mg/l, yaitu sebesar 130,13
NTU

Pada percobaan tahap 2 praktikan menggunakan rentangan baru dari dosis 60 mg/l tawas
percobaan 1. Praktikan mengurangi dosis 60 mg/l sebanyak 5 mg/l dan 10 mg/l. Selain itu,
praktikan juga menambah dosis 60 mg/l sebanyak 5 mg/l dan 10 mg/l sehingga didapat
rentang dosis tawas baru 50 mg/l, 55 mg/l, 65 mg/l, dan 70 mg/l. Berdasarkan Grafik 2 terlihat
bahwa pada tawas dengan dosis 70 mg/l diperoleh nilai kekeruhan terendah yaitu sebesar 1,52
NTU pada waktu pengendapan 30 menit. Selain itu, nilai delta R terbesar untuk waktu
pengendapan 30 menit juga diperoleh pada dosis 70 mg/l, yaitu sebesar 133,32 NTU.
Berikut praktikan sertakan tabel penurunan nilai kekeruhan pada tahap kedua untuk setiap
koagulan:
Tabel 4 Penurunan Kekeruhan Percobaan Tahap 2 pada setiap Koagulan tiap 10 menit
Jenis Koagulan
Tawas (Kekeruhan Awal: 139 NTU) FeCl3 (Kekeruhan Awal: 119 NTU) PAC (Kekeruhan Awal: 176 NTU)
Waktu
Kekeru
Beaker Pengen Dosis Kekeruhan Dosis Kekeruhan Dosis
pH R pH R pH han R
no. dapan (mg/l) (NTU) (mg/l) (NTU) (mg/l)
(NTU)
(menit)
1 50 7,3 3,15 135,85 10 7,3 33,7 85,3 60 7,1 21 155
2 55 7,4 4,34 134,66 15 7,3 39 80 65 7,3 13,6 162,4
10
3 65 7,3 4,07 134,93 25 7,2 20,5 98,5 75 7,3 2,75 173,25
4 70 7,3 2,26 136,74 30 7,3 24,5 94,5 80 7,4 7,43 168,57
1 50 7,2 3,18 132,67 10 7,3 28,6 56,7 60 7,3 16,3 147,57
2 55 7,3 3,29 131,37 15 7,3 32,3 47,7 65 7,3 11,7 146,1
20
3 65 7,2 2,61 132,32 25 7,2 25,3 73,2 75 7,3 2,91 161,55
4 70 7,2 1,9 134,84 30 7,3 20,2 74,3 80 7,1 6,74 165,66
1 50 7,1 2,98 129,69 10 7,4 28,7 28 60 7,1 14,2 140,83
2 55 7 2,68 128,69 15 7,3 29,7 18 65 7,1 11,8 131,9
30
3 65 7 2,65 129,67 25 7,2 22,6 50,6 75 7,2 1,93 149,75
4 70 6,8 1,52 133,32 30 7,3 19,2 55,1 80 7,2 6,7 163,73
(sumber: Penulis dan Kelompok Lainnya, 2018)

Setelah melakukan percobaan tahap 1 dan 2, praktikan membandingkan hasil dari kedua
percobaan. Nilai kekeruhan pada percobaan tahap 1 cenderung lebih tinggi jika dibandingkan
dengan nilai kekeruhan pada tahap 2. Hal tersebut terlihat pada rentangan nilai kekeruhan
yang diperoleh pada percobaan 1 yaitu berkisar antara 2,86 – 6,2 NTU. Sedangkan pada
percobaan tahap 2 nilai kekeruhan yang diperoleh berkisar antara 1,52 – 4,34 NTU. Selain
itu, terdapat juga perbedaan nilai kekeruhan pada dosis tawas yang sama, yaitu 50 mg/l. Pada
percobaan tahap 1 rentang nilai kekeruhan dosis tawas 50 mg/l berkisar antara 5,08 – 5,52
NTU; sedangkan pada percobaan tahap 2 rentang nilai kekeruhan dosis tawas 50 mg/l berkisar
antara 2,98 – 3,18 NTU. Dapat dilihat bahwa pada rentang dosis tahap kedua, nilai kekeruhan
menjadi lebih rendah dibandingkan dengan percobaan tahap 1 sehingga pada rentang dosis kedua
dinilai lebih efektif untuk menurunkan tingkat kekeruhan sampel.
Selanjutnya, praktikan membandingkan koagulan tawas yang digunakan dengan dua
jenis koagulan lainnya, yaitu FeCl3 dan PAC. Untuk koagulan FeCl3, nilai kekeruhan awal
sampel sebesar 119 NTU dan rentang dosis FeCl3 yang digunakan adalah 20 mg/l, 30 mg/l,
40 mg/l, dan 50 mg/l. Nilai kekeruhan pada koagulan FeCl3 setelah dilakukan proses
koagulasi dan flokulasi cenderung fluktuatif karena dari dosis 20 mg/l ke 30 mg/l mengalami
kenaikan nilai kekeruhan dari rentang 20,6 – 22,5 NTU menjadi 28,6 – 32,9 NTU . Sedangkan
dari dosis 30 mg/l hingga 50 mg/l mengalami penurunan nilai kekeruhan ke rentang 22,3 –
25,5 NTU. Pada waktu pengendapan 30 menit, penurunan kekeruhan terbesar terdapat pada
dosis 20 mg/l, yaitu hingga 20,6 NTU dan R sebesar 54 NTU.
Untuk koagulan PAC, nilai kekeruhan awal sampel sebesar 176 NTU dan rentang dosis
PAC yang digunakan adalah 40 mg/l, 50 mg/l, 60 mg/l, dan 70 mg/l. Nilai kekeruhan pada
koagulan PAC setelah dilakukan proses koagulasi dan flokulasi, walaupun terdapat kenaikan
nilai kekeruhan pada dosis 60 mg/l saat waktu pengendapan 30 menit, secara keseluruhan
cenderung menurun pada setiap dosisnya. Pada waktu pengendapan 20 menit, penurunan
kekeruhan terbesar terdapat pada dosis 60 mg/l, yaitu hingga 1,33 NTU dan R sebesar
169,79 NTU. Terlihat bahwa pada koagulan PAC terjadi penurunan kekeruhan paling
signifikan yaitu dari 176 NTU menjadi 1,33 NTU dengan dosis 60 mg/l. Oleh karena itu,
koagulan PAC praktikan anggap sebagai koagulan yang optimum untuk proses koagulasi dan
flokulasi.
Apabila dibandingkan dengan kekeruhan awal, maka pada koagulan PAC terjadi
penurunan sebesar 155 NTU, koagulan tawas 135,85 NTU , dan pada koagulan FeCl3 sebesar
85,3 NTU. Dapat dilihat bahwa dengan koagulan PAC terjadi penurunan kekeruhan awal
yang paling besar apabila dibandingkan dengan koagulan-koagulan lainnya.
Untuk nilai pH, tidak terlihat banyak perbedaan yang signifikan diantara ketiga
koagulan, dimana semua air yang telah diberi perlakuan memiliki rentang yang mirip, yaitu
sekitar 7,1-7,3. Sehingga dalam penentuan jenis koagulan yang akan dipakai, lebih
dipertimbangkan nilai penurunan kekeruhan.

• Analisa Kesalahan
Pada praktikum Jar Test, terjadi beberapa kesalahan yang dapat mempengaruhi hasil yang
diperoleh, yaitu:
1. Ketika praktikan menimbang tawas dengan timbangan digital, praktikan tidak
menimbang tawas secara akurat. Misalkan praktikan hendak menimbang 0,025 gr
tawas, tetapi tawas yang praktikan ambil massanya sedikit kurang atau lebih dari
0,025gr.
2. Pada proses flokulasi terdapat alat pengaduk yang ketinggiannya berbeda dengan alat-
alat pengaduk lainnya sehingga tidak seluruh bagian pengaduk menyentuh air sampel
dan kecepatan pengadukan cenderung sedikit lebih cepat.
3. Pada saat praktikan hendak memipet dari air sampel, tombol exhaust bulb tidak
sengaja terpencet dan sebagian flok yang telah mengendap di dasar beaker glass
menjadi berhamburan.
4. Pada saat praktikan hendak memipet sampel juga, terdapat kemungkinan terambilnya
flok dengan pipet sehingga mempengaruhi nilai kekeruhan yang diukur.

VIII. KESIMPULAN
Pada praktikum Jar Test, dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Percobaan Jar Test bertujuan untuk mengetahui dosis koagulan mana yang paling
optimum berdasarkan kualitas air sampel terutama pH dan kekeruhan serta melakukan
percobaan proses koagulasi dan flokulasi dalam skala laboratorium.
2. Koagulan digunakan untuk membantu proses penggumpalan dan pembentukan flok
pada air sampel danau Mahoni
3. Jenis-jenis koagulan yang digunakan yaitu tawas (Al2(SO4)3), besi(III) klorida
(FeCl3), dan Poly Aluminum Chloride (PAC).
4. Nilai awal kekeruhan sampel air danau Mahoni adalah sebesar 139 NTU.
5. Koagulan yang paling optimum untuk menurunkan nilai kekeruhan air sampel Danau
Mahoni adalah PAC dengan dosis 60 mg/l, yaitu dari 176 NTU turun hingga 1,33
NTU.

IX. DAFTAR PUSTAKA


AWWA. (1969, 1990). Water Treatment Plant Design. New York: American Water Works
Association.
Chicarito, E. (2013, November 12). Koagulasi dan-flokulasi (1) . Retrieved from Slideshare:
https://www.slideshare.net/eckomanhunian/koagulasi-danflokulasi-1
Culp, R., & Culp, G. (1978). Handbook of Advanced Wastewater Treatment. Van Nostrand Reinhold.
Jogjakarta, P. K. (2012). Metode Pengambilan Contoh Air. Jogjakarta.
PP No. 82 Tahun 2001. (n.d.).
Qasim, S., Motley, E., & Zhu, G. (2000). Water Work Engineering : Planning, Design, ad Operation.
Texas: Prentice Hall PTR.
Reynolds, T., & Richards, P. (1996). Unit Operations and Processes in Environmental Engineering.
Boston: PWS Publishing Company.
Reynolds, T., & Richards, P. (1996). Unit Operations and Processes in Environmental Engineering.
Boston: PWS Publishing Company.
RI, K. K. (2002). PerMenKes no. 907.
Tim Dosen dan Laboran TL. (2013). Jar Test. In T. D. TL, Modul Praktikum Laboratorium
Lingkungan (p. 31). Depok: UI.
X. LAMPIRAN

Gambar 1. Proses Koagulasi dan Flokulasi pada Alat Jar Test


Sumber: Dokumentasi Penulis, 2018

Gambar 2 Proses Pengendapan Flok yang Telah Terbentuk


Sumber: Dokumentasi Penulis, 2018

Anda mungkin juga menyukai