Anda di halaman 1dari 5

 Etiologi

1. Faktor genetik
Penelitian pada keluarga didapatkan gangguan depresi mayor dan gangguan bipolar
terkait erat dengan hubungan saudara; juga pada anak kembar, suatu bukti adanya kerentanan
biologik, pada genetik keluarga tersebut. Data genetik dengan kuat menyatakan bahwa suatu
faktor penting di dalam perkembangan gangguan mood adalah genetika. Tetapi, pola
penurunan genetika adalah jelas melalui mekanisme yang kompleks. Bukan saja tidak
mungkin untuk menyingkirkan efek psikososial, tetapi faktor non genetik kemungkinan
memainkan peranan kausatif dalam perkembangan gangguan mood pada sekurangnya
beberapa orang. Penelitian keluarga menemukan bahwa sanak saudara derajat pertama dari
penderita gangguan depresif berat berkemungkinan 2 sampai 3 kali lebih besar daripada sanak
saudara derajat pertama.
2. Faktor Biokmia
Sejumlah besar penelitian telah melaporkan berbagai kelainan di dalam metabolit
amin biogenik yang mencakup neurotransmitter norepinefrin, serotonin dan dopamine.
Penelitian lain juga disebutkan bahwa selain faktor neurotransmitter yang telah disebutkan di
atas, ada beberapa penyebab lain yang dapat mencetuskan timbulnya depresi yaitu
neurotransmitter asam amino khususnya GABA (Gamma-Aminobutyric Acid) dan peptida
neuroaktif, regulasi neurendokrin dan neuroanatomis. Regulasi neuroendokrin, gangguan
mood dapat disebabkan terutama oleh adanya kelainan pada sumbu adrenal, tiroid dan
hormon pertumbuhan. Selain itu kelainan lain yang telah digambarkan pada pasien dengan
gangguan mood adalah penurunan sekresi nocturnal melantonin, penurunan pelepasan
prolaktin terhadap pemberian tryptophan, penurunan kadar dasar FSH (Follicle Stimullating
Hormon) dan LH (Luteinizing Hormon), dan penurunan kadar testosteron pada laki-laki.
Ada dua hipotesis terjadinya depresi secara biokimia, yaitu:
a.Hipotesis Katekolamin
Beberapa penyakit depresi berhubungan dengan defisiensi katekolamin pada reseptor
otak. Reserpin yang menekan amina otak diketahui kadang-kadang menimbulkan depresi
lambat.Disamping itu, MHPG (Metabolit primer noradrenalin otak) menurun dalam urin
pasien depresi sewaktu mereka mengalami episode depresi dan meningkat di saat mereka
gembira.
b.Hipotesis Indolamin
Hipotesis indolamin membuat pernyataan serupa untuk 5-hidroxitriptamin (5 HT).
metabolit utamnya asam 5-hidroksi indolasetat (5HIAA) menurun dalam LCS pasien
depresi, dan 5 HIAA rendah pada otak pasien yang bunuh diri. L-Triptofan, yang
mempunyai efek antidepresi meningkatkan 5HT otak.
3. Faktor Hormon
Kelainan depresi mayor dihubungkan dengan hipersekresi kortisol dan kegagalan
menekan sekresi kortisol sesudah pemberian dexametason. Pasien depresi resisten terhadap
penekanan dexametason dan hasil abnormal ini didapatkan pada sekitar 50% pasien, terutama
pada pasien dengan depresi bipolar, waham dan ada riwayat penyakit ini dalam keluarga. 7
Wanita dua kali lebih sering dihubungkan dengan pruerperium atau menopause. Bunuh diri
dan saat masuk rumah sakit biasanya sebelum menstruasi. Selama penyakit afektif
berlangsung sering timbul amenore. Hal ini menggambarkan bahwa gangguan endokrin
mungkin merupakan faktor penting dalam menentukan etiologi.
4. Faktor Kepribadian Premorbid
Personalitas siklotimik menjadi sasaran gangguan afek ringan selama hidupnya,
keadaan ini tidak berhubungan dengan penyebab eksterna. Kepribadian depresi ditunjukkan
dengan perilaku murung, pesimis dan kurang bersemangat. Personalitas hipomania
berperilaku lebih riang, energetik dan lebih ramah dari rata-rata. Mereka dengan rasa percaya
diri rendah, senantiasa melihat dirinya dan dunia luar dengan penilaian pesimistik. Jika
mereka mengalami stres besar, mereka cenderung akan mengalami depresi. Para psikolog
menyatakan bahwa mereka yang mengalami gangguan depresif mempunyai riwayat
pembelajaran depresi dalam pertumbuhan perkembangan dirinya. Mereka belajar seperti
model yang mereka tiru dalam keluarga, ketika menghadapi masalah psikologik maka respon
mereka meniru perasaan, pikiran dan perilaku gangguan depresif. Orang belajar dengan
proses adaptif dan maladaptif ketika menghadapi stres kehidupan dalam kehidupannya di
keluarga, sekolah, sosial dan lingkungan kerjanya.
5. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan mempengaruhi perkembangan psikologik dan usaha seseorang
mengatasi masalah. Faktor pembelajaran sosial juga menerangkan kepada kita mengapa
masalah psikologik kejadiannya lebih sering muncul pada anggota keluarga dari generasi ke
generasi. Jika anak dibesarkan dalam suasana pesimistik, dimana dorongan untuk
keberhasilan jarang atau tidak biasa, maka anak itu akan tumbuh dan berkembang dengan
kerentanan tinggi terhadap gangguan depresif. Enam bulan sebelum depresi, pasien depresi
mengalami lebih banyak peristiwa dalam hidupnya. Mereka merasa kejadian ini tidak
memuaskan dan mereka keluar dari lingkungan social. 80% serangan pertama depresi
didahului oleh stress, tetapi angka ini akan jatuh menjadi hanya 50% pada serangan
berikutnya. Pasien depresi diketahui juga lebih sering pada anak yang kehilangan orang tua
di masa kanak-kanak dibandingkan dengan populasi lainnya. Menurut Freud, kehilangan
obyek cinta, seperti orang yang dicintai, pekerjaan tempatnya berdedikasi, hubungan relasi,
harta, sakit terminal, sakit kronis dan krisis dalam keluarga merupakan pemicu episode
gangguan depresif. Seringkali kombinasi faktor biologik, psikologik dan lingkungan
merupakan campuran yang membuat gangguan depresif muncul. Satu pengamatan klinis yang
telah lama direplikasi adalah bahwa peristiwa kehidupan yang menyebabkan stress lebih
sering mendahului episode pertama gangguan mood daripada episode selanjutnya. Satu teori
yang diajukan untuk menjelaskan pengamatan tersebut adalah bahwa stress yang menyertai
episode pertama menyebabkan perubahan biologi otak yang bertahan lama. Perubahan yang
bertahan lama tersebut dapat meyebabkan perubahan keadaan fungsional berbagai
neurotransmitter dan sistem pemberi sinyal intraneuronal. Hasil akhir dari perubahan tersebut
akan menyebabkan seseorang berada pada resiko yang lebih tinggi untuk menderita episode
gangguan mood selanjutnya, bahkan tanpa adanya stresor external.
 Faktor Resiko Penggunaan Obat Antidepresan pada Kehamilan

Pemakaian obat-obat bebas dan resep perlu diperhatikan sepanjang kehamilan sampai
masa nifas. Pemakaian fisiologik pada ibu terjadi selama masa kehamilan mempengaruhi
kerja obat dan pemakaiannya. Termasuk pengaruh dari hormon-hormon steroid yang beredar
dalam sirkulasi pada metabolisme obat dalam hati, ekskresi obat melalui ginjal yang lebih
cepat karena peningkatan filtrasi glomerulus dan peningkatan perfusi ginjal, pengenceran obat
karena jumlah darah dalam sirkulasi ibu yang meningkat, dan perubahan-perubahan dalam
klirens obat pada akhir kehamilan menyebabkan penurunan kadar serum dan konsentrasi obat
dalam jaringan dengan demikian obat yang diresepkan secara terapetik tidak dapat diberikan
dengan dosis yang lebih rendah (Kee,J.L,1996).

Pedoman pemberian obat selama kehamilan harus memperhatikan bahwa keuntungan


yang didapat dengan pemberian jauh melebihi resiko jangka pendek maupun panjang terhadap
ibu dan janin. Perlu dilakukan pemilihan obat secara hati-hati dan pemantauan untuk
mendapatkan dosis efektif terendah untuk interval yang pendek dengan mempertimbangan
peubahan-perubahan yang berkaitan denagn fisiologi kehamilan (Kee,J.L,1996).

1. Farmakokinetik Obat pada kehamilan


Perubahan fisiologi selama kehamilan dan menyusui dapat berpengaruh terhadap
kinetika obat dalam ibu hamil dan menyusui yang kemungkinan berdampak terhadap
perubahan respon ibu hamil terhadap obat yang diminum. Dengan demikian, perlu
pemahaman yang baik mengenai obat apa saja yang relatif tidak aman hingga harus
dihindari selama kehamilan ataupun menyusui agar tidak merugikan ibu dan janin
yang dikandung ataupun bayinya (Anonim, 2006). Selama kehamilan dosis obat yang
diberikan harus diusahakan serendah mungkin untuk meminimalkan potensi efek
toksik terhadap janin. Bila pengobatan harus diberikan, maka penting untuk
menurunkan sampai kadar terendah yang masih efektif sesaat sebelum terjadi konsepsi
pada kehamilan yang direncanakan, atau selama trisemester pertama. Bila obat
berpotensi menyebabkan efek putus obat pada janin, dosis dapat diturunkan mencapai
akhir masa kehamilan. Contohnya pengobatan dengan anti psikotik dan antidepresan.
Namun, perubahan farmakokinetika selama kehamilan mungkin memerlukan
peningkatan dosis bagi obat-obat tertentu. Pemahaman yang baik terhadap perubahan
ini penting untuk menetapkan dosis paling tepat bagi pasien yang sedang hamil
(Aslam et al., 2001).
2. Obat yang Berpengaruh pada Janin dan Neonatus
Teratogen adalah bahan apa pun yang diberikan kepada ibu hamil, yang dapat
menyebabkan atau berpengaruh terhaddap malformasi atau kelainan fungsi fisiologis
atau pun perkembangan jiwa janin atau pada anak setelah lahir. Namun, hanya
beberapa obat saja yang digunakan menunjukan efek yang membahayakan terhadap
janin. Contoh obat anti kejang yang hanya memiliki efek teratogenik pada kurang dari
10% janin yang terpapar obat tersebut (Aslam et al., 2003).

Daftar Pustaka

Anonim, 2006, Modul Pelatihan Penggunaan Obat Rasional, hal 23 – 46, Departemen
kesehatan RI: Jakarta.

Aslam, Mohamed, 2003, Penggunaan Obat pada Masa Kehamilan dan Menyusui, dalam:
Aslam, M., dan Tan, C. K., Farmasi Klinis (Clinical Pharmacy), Elex Media
Komputindo, Jakarta.
Kee, J. L. & Hayes, E. R., 1996, Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan, Edisi
Pertama, Jakarta, EGC, 326.

Anda mungkin juga menyukai