Anda di halaman 1dari 2

Menurut Farmakope Indonesia V, pengujian sterilitas dapat dilakukan dengan dua metode

yaitu inokulasi langsung dan filtrasi membran. Metode inokulasi langsung yang tercantum pada
literatur dilakukan secara aseptis. Sejumlah tertentu bahan diinokulasikan dari tiap wadah uji ke
dalam tabung media. Namun pada pengujian ini dilakukan modifikasi untuk memungkinkan
dilakukan pengujian dengan metode inokulasi langsung. Sediaan diinokulasikan ke dalam media
dengan menggunakan cakram yang dicelupkan ke dalam sediaan kemudian letakkan pada
permukaan media. Sediaan salep mata kloramfenikol perlu diencerkan terlebih dahulu mengingat
terdapat kandungan bahan antimikroba yaitu kloramfenikol. Selain itu proses membuka petri,
mencelupkan cakram pada sediaan, menempelkan cakram pada media, dan menutup petri
dilakukan di dekat api bunsen untuk mecegah masuknya kontaminan ke dalam sediaan dan media.
(Depkes RI, 2014).

Setelah seluruh sediaan diinokulasikan pada media, proses selanjutnya adalah inkubasi di
dalam oven dengan suhu 370C. Pengamatan dilakukan sebanyak 4 kali. Pada pengamatan hari ke-
0 belum ditemukan koloni mikroba pada daerah 1 (infus dekstrosa), daerah 2 (injeksi fenitoin),
daerah 3 (salep mata kloramfenikol) dan daerah 4 (kontrol) serta pada kontrol media. Pada hari
ke-1, daerah 1 (infuse dextrosa), daerah 2 (injeksi penitoin), dan daerah 3 (salep mata
kloramfenikol), dengan pengamatan mata telanjang ditemukan jamur berwarna putih susu dengan
jumlah yang sedikit. sedangkan daerah 4 (kontrol cakram) tidak terdapat pertumbuhan mikroba.
Pada hari ke-2, terdapat pertumbuhan jamur berwarna putih seperti kapas dengan jumlah yang
masih sedikit seperti pada hari ke-1. Pada pengamatan yang terakhir, daerah 1 (infus dekstrosa)
dan daerah 3 (salep mata kloramfenikol), pertumbuhan mikroba seperti biasa pada hari sebelumnya
sedangkan pada daerah 2 (injeksi fenitoin) terdapat pertumbuhan jamur berwarna putih seperti
kapas yang bertambah.
Dalam sediaan yang dibuat semuanya mengandung mikroorganisme karena disebabkan oleh
kontaminasi lingkungan dari personil itu sendiri, tapi pada injeksi fenitoin ditemukan koloni jamur
dengan jumlah yang berubah pada hari terakhir pengamatan. Pada pembuatan sediaan injeksi
fenitoin, sebelumnya dilakukan sterilisasi alat dan kemasan yang digunakan dan setelah sediaan
jadi dilakukan sterilisasi akhir menggunakan autoklaf (suhu 121°C selama 15 menit) dengan tujuan
mengurangi jumlah mikroorganisme di dalam sediaan. Namun pada sediaan injeksi fenitoin
ternyata mengandung mikroorganisme yang ditunjukkan oleh hasil positif pada uji sterilitas. Hasil
positif ini dapat disebabkan oleh kontaminasi dari lingkungan dan juga personel pada saat evaluasi
fisik terhadap sediaan tersebut. Evaluasi fisik dilakukan terhadap salah satu sediaan injeksi fenitoin
yang dibuat dengan menggunakan prosedur inokulasi langsung dalam media NA. Media NA yang
digunakan dapat menyebabkan sediaan injeksi fenitoin terkontaminasi mikroba dari media, karena
pada kontrol media saat uji sterilitas ditemukan adanya kontaminasi mikroorganisme sehingga
sediaan injeksi fenitoin tidak memenuhi persyaratan steril.
Kontrol berfungsi untuk menjamin bahwa hasil pengujian sterilitas sediaan steril absah.
Ketidakabsahan hasil pada pengujian sterilitas disebabkan oleh kontaminasi mikroba sehingga
pada kontrol tidak ditemukan pertumbuhan mikroba. Apabila media yang digunakan
terkontaminasi, maka hasil yang ditunjukkan menjadi bias yaitu apakah pertumbuhan mikroba
yang ditemukan pada sediaan memang berasal dari sediaan tersebut ataukah berasal dari media
yang terkontaminasi. Kontrol yang digunakan dalam uji sterilitas ini adalah kontrol cakram dan
kontrol media.
Kontrol cakram menunjukkan hasil negatif pada pengamatan hari pertama hingga hari
terakhir. Sebelum kontrol cakram digunakan untuk uji sterilitas terlebih dahulu disterilisasi
menggunakan autoclaf (suhu 121°C selama 15 menit) sehingga dapat menghindari kontaminasi
mikroba. Biasanya adanya koloni jamur yang tumbuh pada media dapat disebabkan fasilitas atau
alat yang digunakan dalam pembuatan media tidak terjamin sterilitasnya, prosedur pengujian
tidak memadai atau teknik aseptik tidak dilakukan dengan baik. Maka seharusnya dilakukan
pengulangan pengujian sesuai dengan prosedur yang tertera pada Farmakope Indonesia IV.

Anda mungkin juga menyukai