PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan merupakan proses yang diupayakan secara terus menerus secara tersencana
untuk menuju suatu perubahan yang lebih baik demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di
dalam suatu pembangunan, pemerintah mengupayakan untuk mengakomodasi seluruh kebutuhan
dan kepentingan masyarakat yang sangat banyak baik jumlah maupun ragamnya dengan
memperhatikan prioritas kebutuhan dan kepentingan masyarakat banyak yang harus didahulukan
serta memperhatikan sumber daya yang tersedia dalam rangka mensejahterakan masyarakat.
Konsep pembangunan biasanya melekat dalam konteks kajian suatu perubahan,
pembangunan disini diartikan sebagai bentuk perubahan yang sifatnya direncanakan, setiap orang
atau kelompok orang tentu akan mengharapkan perubahan yang mempunyai bentuk lebih baik
bahkan sempurna dari keadaan yang sebelumnya. Salah satu indikator keberhasilan pelaksanaan
pembangunan yang dapat dijadikan tolok ukur secara makro ialah pertumbuhan ekonomi yang
dicerminkan dari perubahan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dalam suatu wilayah.
Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi suatu wilayah menandakan semakin baik kegiatan ekonomi
di peroleh dari laju pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan (Todaro dan Smith, 2008).
Berangkat dari penelitian Sodik et al (2007) yang menyatakan bahwa keseluruhan pola
kemampuan regional sebagai hasil pembawaan dari lingkungan sosial dan ekonomi sehingga
menentukan pola aktivitas dalam meraih tujuan tercermin dalam karakteristik regional yang
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yaitu berupa aspek-aspek atau kualitas regional yang terdiri
dari angkatan kerja, penduduk, modal manusia (pendidikan), inflasi dan ekspor netto.
Menurut Safi’i (2009:16) beberapa hal yang perlu diketahui sebelum memulai perencanaan
pembangunan adalah ketersediaan sumberdaya yang ada, tujuan dan sasaran yang hendak dicapai,
kebijakan dan cara yang digunakan untuk mewujudkan tujuan tersebut, penjabaran dalam program
dan kegiatan serta memperhitungkan aspek waktu dalam pencapaian tujuan tersebut.
Pemerintah telah menetapkan regulasi mengenai pembangunan daerah yang diatur pada
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
sebagai pedoman bagi Pemerintah Daerah dalam melaksanakan perencanaan pembangunan di
daerah. Otonomi daerah ini dimaksudkan untuk memberikan kewenangan pemerintah daerah
dalam mengelola daerahnya sendiri, termasuk juga dalam bidang perekonomian, karena
1
pemerintah daerah di anggap lebih mengenal daerahnya masingmasing sehingga akan lebih bisa
mengembangkan daerahnya melalui otonomi daerag yang di berikan. Disentralisasi pembangunan
di pusatkan di daerah-daerah di maksudkan untuk mengembangkan daerah supaya lebih
berkembang terutama di bidang perekonomian daerah itu sendiri.
Mekanisme perencanaan pembangunan daerah dilaksanakan secara berjenjang yakni mulai
dari lingkup rendah pada tingkat desa/kelurahan, kemudian dilanjutkan dengan tingkat yang lebih
tinggi seperti kabupaten/kota. Tahapan tersebut berfungsi untuk menjaring aspirasi masyarakat,
mengidentifikasi permasalahan, menampung usulan-usulan kegiatan pembangunan, membahas
dan menghasilkan daftar prioritas usulan-usulan kegiatan pembangunan yang dilaksanakan pada
tahun anggaran berikutnya. Sehingga diharapkan dapat menghasilkan suatu perencanaan
pembangunan yang sempurna yakni dapat mencakup semua bidang pembangunan secara
proporsional dan sesuai dengan yang dikehendaki masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
2
2.1 Pembangunan Daerah dan Otonomi
Indonesia mempunyai fondasi semangat kebangsaan yang kuat di tengah realitas
keberagaman. Hal ini bisa dilihat dari sejarah pendirian negara yang diperoleh dari penyatuan
kedaulatan kebangsaan-kebangsaan kecil di daerah. Oleh karena itu, pengakuan terhadap
keberadaan entitas masyarakat daerah di era kemerdekaan melalui kebijakan desentralisasi
menjadi mandat sejarah yang sulit dielakkan. Semenjak awal kemerdekaan sampai sekarang telah
terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kebijakan otonomi
daerah, yakni:
3
Pembangunan daerah
Pembangunan Daerah merupakan suatu usaha yang sistematik dari berbagai pelaku, baik
umum, pemerintah, swasta, maupun kelompok masyarakat lainnya pada tingkatan yang berbeda
untuk menghadapi saling ketergantungan dan keterkaitan aspek fisik, sosial ekonomi dan aspek
lingkungan lainnya sehingga peluang baru untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah
dapat ditangkap secara berkelanjutan.
Otonomi Daerah
Otonomi daerah pada dasarnya merupakan upaya untuk mewujudkan tercapainya salah
satu tujuan negara, yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pemerataan pelaksanaan
pembangunan dan hasil-hasilnya. Daerah memilki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk
memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakatyang
bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Tujuan pemberian otonomi daerah yaitu untuk
memungkinkan daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk
meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan (Kuncoro, 2004).
Hubungan Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal
Kebijakan mengenai otonomi daerah tentunya diiringi dengan adanya asas desentralisasi.
Desentralisasi merupakan pengotonomian, yakni proses memberikan otonomi kepada masyarakat
dalam wilayah tertentu. Kaitan desentralisasi dan otonomi daerah seperti yang diungkapkan oleh
Gerald S. Maryanow (2003) yaitu merupakan dua sisi dari satu mata uang. Desentralisasi tersebut
tentunya mencakup penyerahan wewenang dalam mengelola keuangan daerahnya. Sehingga salah
satu konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah yakni adanya kebijakan desentralisasi fiskal.
4
kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal
serta agama dan bidang- bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan
menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang ditetapkan dengan undang-
undang. Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan dipilih bersama
pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan oleh DPRD. Daerah diberi kewenangan untuk
melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, pendidikan dan
5
pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar,
prosedur yang ditetapkan pemerintah. Kepada Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas,
sedangkan pada propinsi otonomi yang terbatas. Kewenangan yang ada pada propinsi adalah
otonomi yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, yakni serangkaian kewenangan yang tidak
efektif dan efisien kalau diselenggarakan dengan pola kerjasama antar Kabupaten atau Kota.
Bupati/Walikota, Asisten Sekwilda, Kantor Wilayah dan Kandep dihapus. Kepala Daerah
sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD, dan DPRD dapat meminta Kepala Daerahnya
berhenti apabila pertanggungjawaban Kepala daerah setelah 2 (dua) kali tidak dapat diterima oleh
DPRD. Pengelolaan berbagai aspek oleh Pemerintah Daerah ini memerlukan pengawasan dari
berbagai pihak terutama dari masyarakat di daerah sendiri yang mengetahui kondisi yang benar-
benar terjadi di lapangan. Karena kebebasan dalam pengambilan keputusan rawan terjadi
penyimpangan sehingga perlu adanya kontrol untuk mencegah adanya penyimpangan tersebut.
Karena wewenang ini adalah bagian dari amanah yang diberikan rakyat dan negara untuk
mengurusi wilayah.Juga karena adanya ketimpangan-ketimpangan.
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses saat pemerintah daerah dan masyarakat
mengelola sumber daya yang ada dan selanjutnya membentuk suatu pola kemitraan antara
pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan
merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut.
6
(Lincolin Arsyad, 1999). Masalah pokok dalam pembangunan daerah berada pada penekanan
terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang berdasarkan pada kekhasan daerah yang
bersangkutan (endogenous development) dengan menggunakan potensi sumberdaya manusia,
kelembagaan, dan sumberdaya fisik secara lokal (daerah). Sehingga kita peru melakukan
pengambilan inisiatif-inisiatif yang berasal dari daerah tersebut dalam proses pembangunan untuk
menciptakan kesempatan kerja baru dan merangsang kegiatan ekonomi.
Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses, yaitu proses yang mencakup
pembentukan-pembentukan institusi baru, pembangunan industri-industri alternatif, perbaikam
kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan produk dan jasa yang lebih baik, identifikasi
pasar-pasar baru, dan pengembangan perusahaan-perusahan baru. Ada beberapa indikator untuk
menganalisis derajat kesenjangan dalam pembangunan ekonomi antarprovinsi, yaitu produk
domestik regional bruto (PDRB) per provinsi dalam pembentukan PDB nasional, PDRB atau
pengeluaran konsumsi rumah tangga rata-rata per kapita, indeks pembangunan manusia (IPM),
kontribusi sektoral terhadap pembentukan PDRB, dan tingkat kemiskinan.
Distribusi PDB Nasional menurut provinsi merupakan indikator utama di antara indikator
lain yang umum untuk mengukur derajat penyebaran dari hasil pembangunan ekonomi di suatu
negara. Jika PDRB relatif sama antar povinsi, maka PDB nasional relatif merata antar provinsi,
sehingga ketimpangan pembangunan antar provinsi relatif kecil.
7
3. Konsumsi rumah Tangga per Kapita antar Provinsi
Pengeluran Konsumsi C Rumah Tangga (RT) per kapita per provinsi merupakan salah satu
indikator alternatif yang dapat dijadikan ukuran untuk melihat perbedaan dalam tingkat
kesejahteraan penduduk atntar provinsi. Konsepnya adalah semakin tinggi pendapatan per kapita
suatu daerah, maka akan semakin tinggi juga pengeluaran konsumsi per kaita di daerah tersebut.
Dalam hal ini juga terdapat 2 asumsi, yaitu sifat menabung dari masyarakat tidak berubah (S
terhadap PDRB tidak berubah) dan pangsa kredit di dalam RT juga konstan. Tinggi rendahnya
pengeluara C RT tidak dapat selalu mencerminkan tinggi rendahnya pendapatan per kapita di suatu
daerah, tanpa kedua asumsi tersebut. Dengan memakai data BPS mengenai pengeluaran riil C RT
per kapita, ditemukan adanya polarisasi dalam distribusi C RT per kapita antarprovinsi. Sebagian
wilayah di Indonesia memiliki tingkat C RT per kapita yang rendah, lewat hal ini dapat dikatakan
menjadi refleksi dari kenyataan bahwa sebagian daerah di Indonesia masih belum menikmati
pembangunan ekonomi.
Perbedaan dalam derajat pemerataan provinsi dapat diukur dengan distribusi pendapatan C
menurut kelompok populasi per provinsi. Tingkat ketimpangan dikatakan tinggi jika 40%
penduduk berpendapatan rendah (berpengeluaran rendah), hanya menikmati pendapatan kurang
dari 12% dai seluruh pendapatan. Jika 40% penduduk berpendapatan rendah dapat menikmati
kurang dari 12% sampai dengan 17% dari seluru pendapatan, maka hal ini berarti telah terjadi
ketimpangan sedang. Dan bila 40% penduduk berpendapatan rendah menikmati lebuh dari 17%
dari seluruh pendapatan penduduk, tingkat ketimpangan rendah.
8
mencakup penetapan tujuan pembentukan dana cadangan, program dan kegiatan yang akan
dibiayai dari dana cadangan, besaran dan rincian tahunan dana cadangan yang harus dianggarkan
dan ditransfer ke rekening dana cadangan, sumber dana cadangan dan tahun anggaran pelaksanaan
dana cadangan.
2. Sumber Pendanaan Dana Cadangan
Pembentukan Dana Cadangan Daerah bersumber dari kontribusi tahunan penerimaan
APBD, kecuali dari Dana Alokasi Khusus, Pinjaman Daerah dan Dana Darurat yang berasal dari
Pemerintah. Dengan demikian, pemenuhannya bersumber dari Penerimaan Pendapatan Asli
Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak.
Sumber pendanaan ini sama dengan sumber pendanaan untuk belanja operasional (recurrent
expenditures) sehingga menimbulkan terjadinya persaingan yang lebih ketat dalam
mengalokasikan sumberdaya yang terbatas. Pemda belum diberikan kewenangan untuk
menggunakan “kebijakan fiskal” seperti kebijakan pajak dan retribusi untuk mendanai
program/kegiatan tertentu seperti halnya di negara2 maju. Secara faktual, kebijakan pajak bumi
dan bangunan (PBB) masih ditangani oleh Pusat, meskipun sesungguhnya sangat potensial bagi
pembangunan daerah.
Harus pula dipahami bahwa dana cadangan tidak boleh dibentuk dari pinjaman daerah. Hal
ini tersirat dari pengertian dan tujuan ditariknya pinjaman daerah, yakni untuk mendanai program
dan kegiatan berupa investasi yang menghasilkan aliran kas masuk (cash inflow) dan digunakan
nantinya untuk pelayanan publik. Aliran kas masuk ini nantinya digunakan untuk mendanai
pembayaran pokok pinjaman dan bunga dari pinjaman yang bersangkutan.
3. Pengelolaan Dana Cadangan
Dana cadangan haruslah dikelola dengan baik, sehingga selama masa “penumpukkan”
sampai saat dinilai cukup untuk digunakan dapat lebih produktif. Dalam hal ini, kebijakan harus
diarahkan pada upaya memberdayakan “idle money” dalam bentuk dana cadangan. Batasan tegas
untuk pengelolaan dana cadangan ini adalah bahwa dana tersebut tidak boleh digunakan untuk
tujuan selain yang telah ditetapkan dalam Perda tentang Pembentukan Dana Cadangan. Pengertian
dari kata “digunakan” adalah dijadikan sebagai input (masukan) untuk aktifitas di SKPD/SKPKD
Pemda. Jika dana cadangan belum digunakan maka dapat “diberdayakan” untuk memperoleh hasil
(return) berupa bunga atau dividen. Misalnya, diinvestasikan dalam bentuk deposito, SBI, atau
9
SUN. Namun, hasil yang diperoleh haruslah dimasukkan ke dalam rekening dana cadangan
sebagai penambah dana cadangan tersebut.
Jenis Dan Jangka Waktu Pinjaman
1. Pinjaman Jangka Pendek
Merupakan Pinjaman Daerah dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun anggaran dan
Kewajiban pembayaran kembali Pinjaman Jangka Pendek yang meliputi pokok pinjaman, bunga,
dan/atau kewajiban lainnya seluruhnya harus dilunasi dalam tahun anggaran yang berkenaan.
2. Pinjaman jangka Menengah
Merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu lebih dari satu tahun anggaran dan
kewajiban pembayaran kembali pinjaman (pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain) harus dilunasi
dalam kurun waktu yang tidak melebihi sisa masa jabatan kepala daerah yang bersangkutan.
3. Pinjaman Jangka Panjang
Kewajiban pembayaran kembali Pinjaman Jangka Panjang yang meliputi pokok pinjaman,
bunga, dan/atau kewajiban lain seluruhnya harus dilunasi pada tahun anggaran berikutnya sesuai
dengan persyaratan perjanjian pinjaman yang bersangkutan.
2.4 Sumber-sumber Potensial Pendapatan Suatu Daerah
Penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdir atas pendapatan daerah dan
pembiayaan. Pendapatan satu daerah terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan
lain-lain pendapatan, sedangkan pembiayaannya bisa bersumber dari sisa lebih perhitungan
anggara daerah, penerimaan pinjaman daerah, dana cadangan daerah dan hasil penjualan kekayaan
daerah yang dipisahkan. Pembiacaraan selanjutnya meliputi masing-masing komponen dari
pendapatan daerah dan sumber pembiayaan daerah yang berasal dari pinjaman, karena sumber
pembiayaan lainny sudah diangga cukup jelas
Bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah (yang meliputi hasil penjualan kekayaan
daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro,pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tkar rupiah
terhadap mata uang asing, dan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan
dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh Daerah). Dalam upaya meningkatkan PAD,
pemerintah daerah dilarang menetapkan peraturan tentang pendapatan yang menghemat mobilitas
10
penduduk, lalu lintas barang dan jasa antardaerah, dan kegiatan impor/ekspor, sehingga
menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Ketentuan mengenai pajak daerah, retribusi daerah, dan hasil
pengrlolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dilaksanakan sesuai dengan peratura perundang-
undangan
2. Dana Perimbangan.
Dana perimbangan terdiri atas: (i) dana bagi hasil. (ii) dana alokasi, dan (iii) dana alokasi
khusus, yang jumlahnya ditetapkan setiap tahun anggaran dalam APBN
(i) Dana Bagi Hasil
Dana Bagi Hasil. Dana ini bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Dana baginhasil
yang bersumber dari pajak terdiri atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak
Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 dibagi antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota
sebagai pada Tabel 10.1. Sedangkan dana bagi hasil dari sumber daya alam yang berasal dari:
kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi,
dan pertambangan gas bumi dibagi sebagai pada Tabel 10.2.
Table 10.1: Pembagian dana bagi hasil dari pajak antar pemerintah
Table 10.2 : Pembagian dana bagi hasil dari sumber daya alam antar pemerintah
11
-Provinsi sumber daya 20% 16% 32%
hutan (PSDH) 32% rata1)
60%2) - 40%3)
-Dana reboisasi
Dana bagi hasil dari - - -
pertamb. Umum 64%
- Penerimaan iuran 20% 16% 32%
tetap
- Royalti 20% 16% 32% lain4)
Dana bagi hasil perikanan:
-Penerimaan pungutan
20% - 80%5)
pengusahaan
-Penerimaan pungutan hasil
Dana bagi hasil minyak 0,5%6)
bumi 84,5% 3% 6% penghasil
(setelah dikurangi pajak)7) 6% lainnya4)
Dana bagi hasil pertam. Gas 0,5%6)
bumi7) 69,5% 6% 12% penghasil
(setelah dikurangi pajak) 12% lainnya 4)
Dana bagi hasil 32% penghasil
20% 16%
pertambangan panas bumi 32% lainnya 4)
12
Jumlah ini adalah untuk seluruh provinsi dan seluruh kabupaten/kota. Dasar untuk menentukan
berapa jumlah DAU yang diterima oleh satu daerah (provinsi,kabupaten/kota) adalah apa yang
disebut celah fiscal dan alokasi dasar. Celah fiscal adalah kebutuhan fiksal dikurangi dengan
kapasitas fiscal, sedangkan alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil
Daerah
Kebutuhan Fiskal daerah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan
fungsi layanan dasar umum. Setiap kebutuhan pendanaan diukur secara berturut-turut dengan
jumlah penduduk, luas wilayah, indeks kemahalan kontruksi, produk domestik regional bruto per
kapita, dan indeks pembangunan manusia. Kapasitas fiscal daerah merupakan sumber pendanaan
daerah yang berasal dari PAD dan dana bagi hasil. Proporsi DAU antara daerah provinsi dan
kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan rasio kewenagan antara provinsi dan kabupaten/kota. DAU
atas dasar celah fiskal untuk satu daerah provinsi yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh
daerah provinsi. Bobot daerah provinsi merupakan perbandingan antara celah fiskal daerah
provinsi yang bersangkutan dan total celah berlaku juga untuk daerah kabupaten/kota
Daerah yang memiliki nilai celah fiskal sama dengan nol (kebutuhan fiskalnya=kapasitas
fiskalnya) menerima DAU sebesar alokasi dasar. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negative
dan nilai negatif tersebut lebih kecil dari alokasi dasar menerima DAU sebesar alokasi daerah
setelah dikurangi nilai celah fiskal. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif
tersebut sama atau lebih bsar dari alokasi dasar tidak menerima DAU
Tabel 10.4: DAU Provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia, 2006-2008 (miliar Rp)
13
kemampuan keuangan daerah dalam APBN. Kriteria khusus ditetapkan dengan
mempertimbangkan peraturan perundang-undangan dan karakteristik daerah. Dan criteria teknis
ditetapkan oleh kementrian Negara/dapertemen teknis. Daerah penerimaan DAK wajib
menyediakan dana pendamping sekurang-kurangnya 10% dari alokasi DAK. Dana pendamping
tersebut dianggarkan dalam APBN. Daerah dengan kemampuan fiskal tertentu tidak diwajibkan
menyediakan dana pendamping.
Tabel 10.5: DAK provinsi dan kabupaten di Indonesia, 2006-2008 (miliar Rp)
3. Lain-lain Pendapatan
Lain-lain Pendapatan terdiri atas pendapatan hibah dn pendapatan dana darurat.
Pendapatan hibah merupakan bantuan yang tidak mengikat. Hibah kepada daerah yang bersumber
dari luar negeri dilakukan melalui pemerintah pusat. Hibah dituangkan dalam satu naskah
penjanjian antara pemerintah daerah dan pemberi hibah. Hibah digunakan sesuai dengan naskah
perjanjian. Tata cara emberian, penerimaan, dan penggunaan hibah, baik dari dalam negeri maupn
luar negeri diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pemerintah mengalokaskan dana darurat yang berasalah dari APBN untuk keperluan
mendesak yang diakibatkan oleh bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa yang tidak dapat
ditanggunglangi oleh daerah dengan menggunakan suber APBD. Keadaan yang dapat digolongkan
sebagai bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa ditetapkan oleh pada daerah yang
dinyatakan mengalami kriris solvabilitas. Daerah dinyatakan mengalami krisis solvabilitas
berdasarka evaluasi pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Krisis solvabilitas
ditetapkan oleh pemerintahan setlah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat
Tabel 10.6: Dana lain-lain yang sah di Indonesia, 2006-2008 (miliar Rp)
14
2. Seluruh kabupaten/kota 2.693 20.125 18.602
3. Indonesia (jumlah) 7.859 26.439 25.918
4. Pertumbuhan untuk - 236,42% -1,97%
Indonesia
15
bersangkutan. Pinjaman jangka pendek ini hanya dapat dipergunakan untuk menutup
kekurangan arus kas dan dapat dilaksanakan tanpa minta persetujuan DPRD.
2. Pinjaman jangka menengah, yang merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu lebih dari
satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok
pinjaman, bunga, dan biaya lain harus dilunasi dalam kurun waktu yang tidak melebihi sisa
masa jabatan kepala daerah yang bersangkutan. Pinjaman jenis ini dipergunakan untuk
membiayai penyediaan layanan umum yang tidak menghasilkan penerimaan dan harus
mendapatkan persetujuan DPRD sebelumnya.
3. Pinjaman jangka panjang, merupakan pinjaman daerah dalam jangaka waktu lebih dari satu
tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman,
bunga, dan biaya lain harus dilunasi pada tahun-tahun anggaran berikutnya sesuai dengan
persyaratan perjanjian pinjaman yang bersangkutan. Pinjaman jenis ini dipergunakan untuk
membiayai proyek investasi yang menghasilkan penerimaan dan harus mendapatkan
persetujuan DPRD sebelumnya.
Persyaratan pinjaman. Pemerintah daerah yang ingin mendapatkan pinjaman harus
memperhatikan beberapa ketentuan dan persyaratan, yakni:
1. Pendapatan daerah dan/atau barang milik daerah, serta pinjaman dari pihak lain tidak boleh
dipakai sebagai jaminan;
2. Pemerintah derah yang bersangkutan tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian
pinjaman yang berasal dari pemerintah pusat.
3. Jumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi 75%
(tujuh puluh lima persen) dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya;
4. Rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman ditetapkan oleh
pemerintah pusat; dan Oblogasi daerah. Pemerintah daerah dapat menerbitkan obligasi daerah
dalam mata uang rupiah di pasar modal domestik yang nilai nominalnya pada saat jatuh tempo
sama dengan nilai nominalnya pada saat diterbitkan. Proyek yang dibiayai dari obligasi daerah
beserta barang milik daerah yang melekat dalam proyek tersebut dapat dijadikan jaminan untuk
obligasi daerah yang akan dikeluarkan. Pemerintah pusat tidak menjamin obligasi daerah.
Prosedur dan pengelolaan penertiban obligasi daerah. Penerbitan obligasi daerah
ditetapkan dengan peraturan daerah, di mana ditentukan bahwa kepala daerah terlebih dahulu harus
mendapatkan persetujuan DPRD dan dari pemerintah pusat. Persetujuan tersebut hanya diberikan
16
atas nilai bersih maksimal obligasi daerah yang akan diterbitkan pada saat penetapan APBD. Nilai
tersebut harus telah meliputi pembayaran semua kewajiban bunga dan pokok yang timbul sebagai
akibat penerbitan obligasi daerah dimaksud.
Penerbitan obligasi daerah wajib mengikuti peraturan perundang-undangan di bidang pasar
modal, yang antara lain harus mencantumkan:
a. nilai nominal;
b. tanggal jatuh tempo;
c. tanggal pembayaran bunga;
d. tingkat bunga (kupon);
e. frekuensi pembayaran bunga;
f. cara perhitungan pembayaran bunga
g. ketentuan tentang hak untuk membeli kembali obligasi daerah sebelum jatuh tempo; dan
h. ketentuan tentang pengalihan kepemilikan.
Pengelolaan obligasi daerah diselenggarakan oleh kepala daerah yang sekurang-kurangnya
meliputi:
a. penetapan strategi dan kebijakan pengelolaan obligasi daerah termasuk kebijakan
pengendalian risiko;
b. perencanaan dan penetapan struktur portofolio pinjaman daerah;
c. penerbitan obligasi daerah;
d. penjualan obligasi daerah melalui lelang;
e. pembelian kembali obligasi daerah sebelum jatuh tempo;
f. pelunasan pada saat jatuh tempo; dan
g. pertanggungjawaban.
Hasil penjualan obligasiderah dan peruntukannya. Pemerintah daerah dapat
mengeluarkan obligasi daerah untuk membiayai investasi sektor publik yang menghasilkan
penerimaan dan memberikan manfaat bagi masyarakat. Penerimaan dari investasi sektor publik
yang dibiayai melalui obligasi daerah digunakan untuk membiayai kewajibanbunga dan pokok
obligasi daerah terkait dan sisanya disetorkan ke kas daerah. Dana untuk membayar bunga dan
pokok pinjaman disediakan dalam APBD setiap tahun sampai dengan berakhirnya kewajiban
tersebut. Dalam hal pembayaran bunga dimaksud melebihi perkiraan dana yang disediakan,
17
Kepala Daerah melalukan pembayaran dan menyampaikan realisasi pembayaran tersebut kepada
DPRD dalam pembahasan Perubahan APBD.
Pelaporan dan Sanksi. Seluruh kewajiban pinjaman daerah yang jatuh tempo wajib
dianggarkan dalam APBD tahun anggaran yang bersangkutan dan pemerintah daerah wajib
melaporkan posisi kumulatif pinjaman dan kewajiban pinjaman kepada pemerintah pusat setiap
semester dalam tahun anggaran berjalan. Kalau laporan tersebut tidak dibuat, pemerintah pusat
dapat menunda penyaluran dana perimbangan yang menjadi hak pemerintah daerah yang
bersangkutan. Sedangkan kalau pemerintah daerah tidak memenuhi kewajiban membayar
pinjaman kepada pemerintah pusat, kewajiban membayar pinjaman tersebut diperhitungkan
dengan DAU dan/atau Dana Bagi Hasil dari penerimaan negara yang menjadi hak pemerintah
daerah yang bersangkutan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pinjaman daerah termasuk obligasi
daerah diatur dengan Peraturan Pemerintah.
18
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Pembangunan Daerah merupakan suatu usaha yang sistematik dari berbagai pelaku untuk
menghadapi saling ketergantungan dan keterkaitan di berbagai aspek sehingga peluang baru untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah dapat ditangkap secara berkelanjutan. Otonomi
daerah merupakan upaya untuk mewujudkan tercapainya salah satu tujuan negara, yaitu
peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pemerataan pelaksanaan pembangunan dan hasil-
hasilnya. Salah satu konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah yakni adanya kebijakan
desentralisasi fiskal. Masalah pokok dalam pembangunan daerah berada pada penekanan terhadap
kebijakan-kebijakan pembangunan yang berdasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan
(endogenous development).
19
DAFTAR PUSTAKA
https://www.bi.go.id/id/publikasi/jurnal-
ekonomi/Documents/YesiHSupartoyoJenTatuhReckyHESendouw.pdf. (diakses pada tanggal 30
Agustus 2018)
20