Dermatitis
Dermatitis
TERAPI
Sampai saat ini belum ada konsensus baku penatalaksanaan SE
berkaitan dengan pemilihan obat dan dosis. Tidak ada obat yang ideal untuk
tatalaksana SE. Banyak penulis setuju bahwa lorazepam (0,1 mg/kgBB) atau
diazepam (0,15 mg/kgBB) dapat diberikan pada tahap awal, disusul fenitoin
(15-20 mg/ kgBB) atau fosfenitoin (18-20 mg/kgBB). Jika benzodiazepin dan
fenitoin gagal, fenobarbital dapat diberikan dengan dosis 20 mg/kgBB, namun
harus mendapatkan perhatian khusus karena dapat menyebabkan depresi
pernapasan. Jika kejang tetap berlanjut, pertimbangkan pemberian anestesi
umum, dapat digunakan agen seperti midazolam, propofol, atau pentobarbital.
1. Benzodiazepin
a. Diazepam
Diazepam merupakan obat pilihan pertama (level evidence A
pada banyak penelitian). Obat memasuki otak secara cepat, setelah
15-20 menit akan terdistribusi ke tubuh. Walaupun terdistribusi
cepat, eliminasi waktu paruh mendekati 24 jam. Sangat berpotensi
sedatif jika terakumulasi dalam tubuh pada pemberian berulang.
Diazepam dengan dosis 5-10 mg intravena dapat
menghentikan kejang pada sekitar 75% kasus. Diazepam dapat
diberikan secara intramuskuler atau rektal. Efek samping termasuk
depresi pernapasan, hipotensi, sedasi, iritasi jaringan lokal. Sangat
berpotensi hipotensi dan depresi napas jika diberikan bersamaan obat
antiepilepsi lain, khususnya barbiturat. Walaupun demikian,
diazepam masih merupakan obat penting dalam manajeman SE
karena efeknya yang cepat dan berspektrum luas.
b. Lorazepam
Lorazepam merupakan pilihan golongan benzodiazepin untuk
menajemen SE. Lorazepam berbeda dengan diazepam dalam
beberapa hal. Obat ini kurang larut dalam lemak dibandingkan
diazepam dengan waktu paruh dua hingga tiga jam dibandingkan
diazepam yang 15 menit, sehingga mempunyai durasi lebih lama.
Lorazepam juga mengikat reseptor GABAergic lebih kuat daripada
diazepam, sehingga durasi aksinya lebih lama. Efek antikonvulsan
lorazepam berlangsung 6-12 jam pada rentang dosis 4-8 mg. Agen ini
berspektrum luas dan berhasil menghentikan kejang pada 75-80%
kasus. Efek sampingnya sangat identik dengan diazepam. Oleh
karena itu, lorazepam juga merupakan pilihan untuk manjemen SE.
c. Midazolam
Midazolam merupakan golongan benzodiazepin yang bereaksi
cepat, penetrasi cepat melewati sawar darah otak, dan durasi yang
singkat. Midazolam dapat digunakan sebagai agen alternatif untuk
SE refrakter. Walau pun midazolam jarang merupakan pilihan per
tama untuk kejang akut di Amerika Serikat, obat ini sangat umum
digunakan di Eropa.
2. Agen Antikonvulsan
a. Fenitoin
Fenitoin merupakan salah satu obat yang efektif mengobati
kejang akut dan SE. Disamping itu, obat ini sangat efektif pada
manajemen epilepsi kronik, khususnya pada kejang umum sekunder
dan kejang parsial. Keuntungan utama fenitoin adalah efek sedasinya
yang minim. Namun, sejumlah efek samping serius dapat muncul
seperti aritmia dan hipotensi, khususnya pada pasien di atas usia 40
tahun. Efek tersebut sangat dihubungkan dengan pemberian obat
yang terlalu cepat. Di samping itu, iritasi lokal, fl ebitis, dan pusing
dapat muncul pada pemberian intravena. Fenitoin sebaiknya tidak
dicampur dengan dekstrosa 5%, melainkan salin normal untuk
menghindari pembentukan kristal.
b. Fosfenitoin
Fosfenitoin adalah pro-drug dari fenitoin yang larut dalam air
yang akan dikonversi menjadi fenitoin setelah diberikan secara
intravena. Seperti fenitoin, fosfenitoin digunakan dalam tatalaksana
kejang akut tonik-klonik umum atau parsial. Fosfenitoin dikonversi
menjadi fenitoin dalam waktu 8 sampai 15 menit. Dimetabolisme
oleh hati dan mempunyai waktu paruh 14 jam. Karena 1,5 mg
fosfenitoin ekuivalen dengan 1 mg fenitoin, maka dosis, konsentrasi,
dan kecepatan infus intravena digambarkan sebagai phenytoin
equivalent (PE). Dosis awal 15 sampai 20 mg PE per kgBB, dan
diberikan dengan kecepatan 150 mg PE per menit, kecepatan
pemberian infus tiga kali lebih cepat dari fenitoin intravena.
Fosfenitoin lebih disukai, karena bekerja lebih cepat dan iritasi
vena yang lebih minimal (menghindari risiko purple-glove syndrome
yang terjadi pada fenitoin). Efek samping dari fosfenitoin termasuk
parestesia dan pruritus, namun muncul jika diberikan dalam
pemberian yang terlalu cepat. Pemberian intravena dihubungkan
dengan hipotensi, sehingga monitoring jantung dan tekanan darah
yang ketat dilakukan. Walaupun fosfenitoin lebih baik daripada
fenitoin, namun kelemahannya adalah harga yang mahal dan tidak
terdapat di semua rumah sakit.
3. Barbiturat
a. Fenobarbital
Fenobarbital digunakan setelah benzodiazepin atau fenitoin
gagal mengontrol SE. Loading dose 15 sampai 20 mg per kgBB.
Karena fenobarbital dosis tinggi bersifat sedatif, proteksi jalan napas
sangat penting, dan risiko aspirasi merupakan perhatian khusus.
Fenobarbital intravena juga dihubungkan dengan hipotensi sistemik.
Jika dilakukan pemberian intramuskuler, maka dilakukan pada otot
besar, seperti gluteus maximus. Defi sit neurolgis permanen dapat
timbul jika diinjeksikan berdekatan dengan saraf tepi. Saat ini, untuk
penanganan SE refrakter lebih sering digunakan agen lain
(midazolam, propofol, pentobarbital) daripada fenobarbital.
b. Pentobarbital
Merupakan barbiturat kerja singkat yang bersifat sedatif,
hipnotif, dan besifat antikonvulsan. Digunakan hanya untuk SE
refrakter, jika agen lain gagal untuk menghentikan kejang. Pasien
membutuhkan intubasi dan dukungan ventilasi. Dibandingkan
fenobarbital, pentobarbital mempunyai penetrasi yang lebih cepat dan
waktu paruh yang lebih singkat, sehingga dapat sadar lebih cepat dari
koma ketika penyapihan (weaning). Efektivitas pentobarbital lebih
tinggi daripada propofol dalam mengakhiri SE refrakter. Suatu studi
mendapatkan tingkat keberhasilan pentobarbital yang tinggi (92%
dengan perbandingan 80% untuk midazolam dan 73% untuk
propofol). Namun demikian, sangat dihubungkan dengan tingginya
ke jadian hipotensi dibandingkan midazolam dan propofol (77% vs
42% dan 30%).
4. Anestesi Umum
a. Propofol
Propofol merupakan suatu senyawa fenolik yang tidak
berhubungan dengan obat antikonvulsan lain. Propofol sangat larut
dalam lemak, sehingga dapat bereaksi dengan cepat, mempunyai sifat
anestesi jika diberikan secara intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB,
sangat efektif dan nontoksik. Beberapa publikasi melaporkan
penggunaan infus jangka panjang propofol dapat di terapkan pada
SE. Propofol dapat menyebabkan depresi napas dan depresi serebral,
sehingga membutuhkan intubasi dan ventilasi. Hipotensi mungkin
membutuhkan penatalaksanaan segera. Penggunaan jangka panjang
(atau dosis tinggi >5 mg/kg/jam dalam 48 jam) dapat menyebabkan
asidosis, aritmia jantung, dan rabdomiolisis (propofol infusion
syndrome) yang fatal, khususnya pada anak usia muda, sehingga
propofol sebaiknya tidak digunakan digunakan pada kelompok ini.
Tapering off
Pada pasien yang ditatalaksana dengan infus kontinu obat
antiepilepsi harus disaraf teruskan 12 sampai 24 jam setelah kejang berhenti.
Jika selama periode tapering off terdapat kejang, maka pengobatan dengan
infus kontinu harus diperpanjang dengan memperhatikan adanya kejang baik
secara klinis maupun EEG. Jika tidak ada kejang, maka tapering off dapat
diteruskan.
Referensi :Beny Rilianto Evaluasi dan Manajemen Status Epileptikus.
CONTINUING MEDICAL ECDOUNCTAITNIUONING. RS Pekanbaru
Medical Center, Pekanbaru, Riau, Indonesia. CDK-233/ vol. 42 no. 10, th.
2015. Akreditasi PB IDI–2 SKP
2. Tatalaksana bangkitan dan mekanisme obat
Jawaban:
Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan oksigenasi otak
yang adekuat, mengakhiri kejang sesegera mungkin, mencegah kejang
berulang, dan mencari faktor penyebab. Serangan kejang umumnya
berlangsung singkat dan berhenti sendiri.
a. Inhibisi kanal ion Na pada membran sel akson. Contohnya: fenitoin dan
karbamazepin (pada dosis terapi), fenobarbital dan asam valproat (dosis
tinggi), Iaomotrigin, topiramat, zonisamid
b. Inhibisi kanal ion Ca tipe T pada neuron thalamus (yang berperan dalam
pace-maker untuk bangkitan cetusan listrik umum di korteks). Contoh:
Etosuksimid, asam valproat, dan clonazepam
c. Peningkatan inhibisi GABA
Langsung pada kompleks GABA dan kompleks ion Cl. Contoh:
benzodiazepine, barbiturate.
Menghambat degradasi GABA, yaitu dengan mempengaruhi re-uptake
dan metabolisme GABA. Contoh: tiagabin, vigabatrin, gabapentin,
as.valproat
d. Penurunan eksitasi glutamate, yakni melalui:
Blok reseptor NMDA, misalnya Iamotrigin
Blok reseptor AMPA, misalnya fenobarbital, topiramat
Sumber: Utama H dan Gan VHS. 2012. Farmakologi dan Terapi ed.5. Jakarta:
FKUI
3. Pemeriksaan penunjang
Jawaban:
a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering
dilakukan dan harus dilakukan pada semua pasien epilepsi untuk
menegakkan diagnosis epilepsi. Terdapat dua bentuk kelaianan pada 21
EEG, kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi
struktural di otak. Sedangkan adanya kelainan umum pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.
Rekaman EEG dikatakan abnormal bila :
Referensi: Sumber : Ropper A and Brown RH. 2001. Adams and Victor’s
principles of neurology. New York: Mc grow hills.
b. Gambaran Klinis, yang dapat dijumpai pada pasien kejang demam adalah:
(Dewanto et al, 2009, dalam Pohan, 2010)
Suhu tubuh mencapai 39°C.
Anak sering kehilangan kesadaran saat kejang
Kepala anak sering terlempar keatas, mata mendelik, tungkai dan
lengan mulai kaku, bagian tubuh anak menjadi berguncang. Gejala
kejang tergantung pada jenis kejang.
Kulit pucat dan mungkin menjadi biru.
Serangan terjadi beberapa menit setelah anak itu sadar.
6. pemberian obat anti epilepsy, dosis, indikasi pemberian obat, dan efek
samping obat
Jawaban:
TERAPI status epileptikus
Sampai saat ini belum ada konsensus baku penatalaksanaan SE
berkaitan dengan pe- milihan obat dan dosis. Tidak ada obat yang ideal untuk
tatalaksana SE. Banyak penulis setuju bahwa lorazepam (0,1 mg/kgBB) atau
diazepam (0,15 mg/kgBB) dapat diberikan pada tahap awal, disusul fenitoin
(15-20 mg/ kgBB) atau fosfenitoin (18-20 mg/kgBB). Jika benzodiazepin dan
fenitoin gagal, fenobarbital dapat diberikan dengan dosis 20 mg/kgBB, namun
harus mendapatkan perhatian khusus karena dapat menyebab- kan depresi
pernapasan. Jika kejang tetap berlanjut, pertimbangkan pemberian anestesi
umum, dapat digunakan agen seperti midazolam, propofol, atau pentobarbital.
1. Benzodiazepin
a. Diazepam
Diazepam merupakan obat pilihan pertama (level evidence A pada
banyak penelitian). Obat memasuki otak secara cepat, setelah 15-20
menit akan terdistribusi ke tubuh. Walaupun terdistribusi cepat,
eliminasi waktu paruh mendekati 24 jam. Sangat berpotensi sedatif
jika terakumulasi dalam tubuh pada pemberian berulang. Diazepam
dengan dosis 5-10 mg intravena dapat menghentikan kejang pada
sekitar 75% kasus. Diazepam dapat diberikan secara intramuskuler
atau rektal. Efek samping termasuk depresi pernapasan, hipotensi,
sedasi, iritasi jaringan lokal. Sangat berpotensi hipotensi dan depresi
napas jika diberikan bersamaan obat antiepilepsi lain, khususnya
barbiturat. Walaupun demikian, diazepam masih merupakan obat
penting dalam manajeman SE karena efeknya yang cepat dan
berspektrum luas.
b. Lorazepam
Lorazepam merupakan pilihan golongan benzodiazepin untuk
menajemen SE. Lorazepam berbeda dengan diazepam dalam
beberapa hal. Obat ini kurang larut dalam lemak dibandingkan
diazepam dengan waktu paruh dua hingga tiga jam dibandingkan
diazepam yang 15 menit, sehingga mem- punyai durasi lebih lama.
Lorazepam juga mengikat reseptor GABAergic lebih kuat daripada
diazepam, sehingga durasi aksinya lebih lama. Efek antikonvulsan
lorazepam berlangsung 6-12 jam pada rentang dosis 4-8 mg. Agen ini
berspektrum luas dan berhasil menghentikan kejang pada 75-80%
kasus. Efek sampingnya sangat identik dengan diazepam. Oleh karena
itu, lorazepam juga merupakan pilihan untuk manjemen SE.
c. Midazolam
Midazolam merupakan golongan benzo- diazepin yang bereaksi
cepat, penetrasi cepat melewati sawar darah otak, dan durasi yang
singkat. Midazolam dapat digunakan sebagai agen alternatif untuk SE
refrakter. Walaup un midazolam jarang merupakan pilihan pert ama
untuk kejang akut di Amerika Serikat, obat ini sangat umum
digunakan di Eropa.
2. Agen Antikonvulsan
a. Fenitoin. Fenitoin merupakan salah satu obat yang efektif mengobati
kejang akut dan SE. Disamping itu, obat ini sangat efektif pada
manajemen epilepsi kronik, khususnya pada kejang umum sekunder
dan kejang parsial. Keuntungan utama fenitoin adalah efek sedasinya
yang minim. Namun, sejumlah efek samping serius dapat muncul
seperti aritmia dan hipotensi, khususnya pada pasien di atas usia 40
tahun. Efek tersebut sangat dihubungkan dengan pemberian obat yang
terlalu cepat. Di samping itu, iritasi lokal, fl ebitis, dan pusing dapat
muncul pada pemberian intravena. Fenitoin sebaiknya tidak dicampur
dengan dekstrosa 5%, melainkan salin normal untuk menghindari
pembentukan kristal. Fosfenitoin Fosfenitoin adalah pro-drug dari
fenitoin yang larut dalam air yang akan dikonversi menjadi fenitoin
setelah diberikan secara intravena. Seperti fenitoin, fosfenitoin di-
gunakan dalam tatalaksana kejang akut tonik-klonik umum atau
parsial. Fosfenitoin dikonversi menjadi fenitoin dalam waktu 8
sampai 15 menit. Dimetabolisme oleh hati dan mempunyai waktu
paruh 14 jam. Karena 1,5 mg fosfenitoin ekuivalen dengan 1 mg
fenitoin, maka dosis, konsentrasi, dan kecepatan infus intravena
digambarkan sebagai phenytoin equivalent (PE). Dosis awal 15
sampai 20 mg PE per kgBB, dan diberikan dengan kecepatan 150 mg
PE per menit, kecepatan pemberian infus tiga kali lebih cepat dari
fenitoin intravena. Fosfenitoin lebih disukai, karena bekerja lebih
cepat dan iritasi vena yang lebih minimal (menghindari risiko purple-
glove syndrome yang terjadi pada fenitoin). Efek samping dari
fosfenitoin termasuk parestesia dan pruritus, namun muncul jika
diberikan da- lam pemberian yang terlalu cepat. Pemberian intravena
dihubungkan dengan hipotensi, sehingga monitoring jantung dan
tekanan darah yang ketat dilakukan. Walaupun fosfenitoin lebih baik
daripada fenitoin, namun kelemahannya adalah harga yang mahal dan
tidak terdapat di semua rumah sakit.
b. Barbiturat
Fenobarbital
Fenobarbital digunakan setelah benzo- diazepin atau fenitoin
gagal mengontrol SE. Loading dose 15 sampai 20 mg per kgBB.
Karena fenobarbital dosis tinggi bersifat sedatif, proteksi jalan
napas sangat penting, dan risiko aspirasi merupakan perhatian
khusus. Fenobarbital intravena juga di- hubungkan dengan
hipotensi sistemik. Jika dilakukan pemberian intramuskuler, maka
dilakukan pada otot besar, seperti gluteus maximus. Defi sit
neurolgis permanen dapat timbul jika diinjeksikan berdekatan
dengan
saraf tepi. Saat ini, untuk penanganan SE refrakter lebih sering
digunakan agen lain (midazolam, propofol, pentobarbital) dari-
pada fenobarbital.
Pentobarbital Merupakan barbiturat kerja singkat yang bersifat
sedatif, hipnotif, dan besifat antikonvulsan. Digunakan hanya
untuk SE refrakter, jika agen lain gagal untuk menghentikan
kejang. Pasien membutuh- kan intubasi dan dukungan ventilasi.
Dibandingkan fenobarbital, pentobarbital mempunyai penetrasi
yang lebih cepat dan waktu paruh yang lebih singkat, sehingga
dapat sadar lebih cepat dari koma ketika penyapihan (weaning).
Efektivitas pentobarbital lebih tinggi dari- pada propofol dalam
mengakhiri SE refrakter. Suatu studi mendapatkan tingkat
keberhasilan pentobarbital yang tinggi (92% dengan perbandingan
80% untuk midazolam dan 73% untuk propofol). Namun
demikian, sangat dihubungkan dengan tingginya ke jadian
hipotensi dibandingkan midazolam dan propofol (77% vs 42% dan
30%).
Anestesi Umum Propofol1,5,11-13 Propofol merupakan suatu
senyawa fenolik yang tidak berhubungan dengan obat anti-
konvulsan lain. Propofol sangat larut dalam lemak, sehingga dapat
bereaksi dengan cepat, mempunyai sifat anestesi jika diberikan
secara intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB, sangat efektif dan
nontoksik. Beberapa publikasi melaporkan penggunaan infus
jangka pan- jang propofol dapat di terapkan pada SE.
Propofol dapat menyebabkan depresi napas dan depresi serebral,
sehingga membutuhkan intubasi dan ventilasi. Hipotensi mungkin
membutuhkan penata- laksanaan segera. Penggunaan jangka
panjang (atau dosis tinggi >5 mg/kg/jam dalam 48 jam) dapat
menyebabkan asidosis, aritmia jantung, dan rabdomiolisis
(propofol infusion syndrome) yang fatal, khususnya pada anak
usia muda, sehingga propofol sebaiknya tidak digunakan
digunakan pada kelompok ini.
Tapering off Pada pasien yang ditatalaksana dengan infus kontinu
obat antiepilepsi harus diteruskan 12 sampai 24 jam setelah kejang
berhenti. Jika selama periode tapering off terdapat kejang, maka
pengobatan dengan infus kontinu harus diperpanjang dengan
memperhatikan adanya kejang baik secara klinis maupun EEG.
Jika tidak ada kejang, maka tapering off dapat diteruskan
1. Hidantoin
a. Fenitoin
Fenitoin merupakan obat pilihan pertama untuk kejang umum, kejang tonik-
klonik, dan pencegahan kejang pada pasien trauma kepala/bedah
saraf.Fenitoin memiliki range terapetik sempit sehingga pada beberapa
pasien dibutuhkan pengukuran kadar obat dalam darah. Mekanisme aksi
fenitoin adalah dengan menghambat kanal sodium (Na+), yang
mengakibatkan influk (pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel
berkurang dan menghambat terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi
terus-menerus pada neuron. Dosis awal penggunaan fenitoin 5 mg/kg/hari
dan dosis pemeliharaan 20 mg/kg/hari tiap 6 jam. Efek samping yang
sering terjadi pada penggunaan fenitoin adalah depresi pada SSP, sehingga
mengakibatkan lemah, kelelahan, gangguan penglihatan (penglihatan
berganda), disfungsi korteks dan mengantuk. Pemberian fenitoin dosis
tinggi dapat menyebabkan gangguan keseimbangan tubuh dan nystagmus.
Salah satu efek samping kronis yang mungkin terjadi adalah gingival
hyperplasia (pembesaran pada gusi). Menjaga kebersihan rongga mulut
dapat mengurangi resiko gingival hyperplasia.
b. Barbiturat
a. Fenobarbital
c. Deoksibarbiturat
a. Primidon
d. Iminostilben
a. Karbamazepin
b. Okskarbazepin
a. Etosuksimid
f. Asam valproat
a. Gabapentin
b. Lamotrigin
Referensi:
7. bangkitan absens, berapa usia pasien bangkitan absens, eeg, dan terapinya
jawaban:
Kejang absence umumnya berakhir 10 sampai 15 detik, segera diikuti oleh
pemulihan penuh. Setelah itu, tidak ada memori akan kejadian. Beberapa
orang memiliki puluhan episode harian, yang mengganggu sekolah atau
kegiatan sehari-hari. Paling swring pada usia 4-8 tahun dan puncak pada usia
6-7 tahun. Elektroensefalograf ialah alat yang dapat merekam aktifitas listrik
di otak melalui elektroda yang ditempatkan dikulit kepala. Kelainan EEG
yang sering dijumpai pada
penderita epilepsi disebut epileptiform discharge atau epileptiform activity.
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan
diagnosis epilepsi.Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan
umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau
metabolik. 6 Rekaman EEG dikatakan abnormal ditentukan atas dasar
adanya6 :
a. Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak.
b. Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya misal gelombang delta.
c. Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan
gelombang lambat yang timbul secara paroksimal.
Rekaman video EEG, Pemeriksaan video-EEG ini berhasil membedakan
apakah serangan kejang oleh karena epilepsi atau bukan dan biasanya selama
perekaman dilakukan secara terus-menerus dalam waktu 72 jam, sekitar 50-
70% dari hasil rekaman dapat menunjukkan gambaran serangan kejang
epilepsy
Khas eeg bangkitan absan : Pada pemeriksaan EEG akan menunjukan
gambaran yang khas yakni “spike wave” yang berfrekuensi 3 siklus per detik
yang bangkit secara menyeluruh.