Anda di halaman 1dari 23

Learning Objective

1. Tindakan pertama pada pasien bangkitan dan tatalaksanana pada status


epileptikus
Jawaban:
PERTOLONGAN PERTAMA UNTUK KEJANG DI LUAR RUMAH
SAKIT.
 Bersikaplah tenang.
 Singkirkan benda-benda yang berbahaya disekitar pasien sewaktu
kejang seperti meja,kursi,dll agar tidak terluka.
 Jangan memasukkan apa-apa dalam mulut pasien.
 Miringkan tubuh pasien agar cairan muntah atau darah tidak menutupi
jalan nafas.
 Tetap menjaganya sampai pasien sadar penuh.
 Kejang biasanya berhenti sendiri kurang dari 3 menit.
 Bila kejang lebih dari 10 menit atau terjadi berulang-ulang tanpa pulih
kesadarannya segera bawa ke Rumah Sakit / Klinik terdekat.

PERTOLONGAN PERTAMA UNTUK KEJANG OLEH DOKTER FKTP


 Dokter di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama harus mampu
menegakkan diagnosis epilepsi berdasarkan anamnesis dan pemerik-
saan fisik yang cermat. Autoanamnesis dan allo- anamnesis terhadap
pasien, orang tua atau orang yang merawat dan saksi mata yang
mengetahui kejadian diperlukan untuk menggambarkan gejala dan tanda
sebelum, selama dan sesudah bangkitan dan untuk menentukan apakah
bangkitan yang terjadi adalah suatu bangkitan epileptik atau bukan.
Apabila diagnosis epilepsi sudah ditegakkan, secara klinis maka dokter
di tingkat layanan primer harus segera merujuk pasien ke fasilitas
kesehatan ting-kat lanjut yang memiliki dokter spesialis neurologi untuk
mendapatkan penanganan lanjutan guna menentukan terapi terbaik bagi
pasien.
 Terapi Obat Anti Epilepsi (AOE) dapat diberikan oleh dokter di layanan
primer berdasarkan hasil konsultasi (ruju-kan balik) dari spesialis
neurologi kecuali pada daerah yang tidak ada dokter spesialis neurologi
dokter FKTP boleh memberi pertolongan sebelum merujuk.
 Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan kondisi bebas
bangkitan dengan efek samping seminimal mungkin sehingga
penyandang epilepsi dapat hidup secara normal dan mencapai kualitas
hidup yang optimal. Terapi penyandang epilepsi dibagi menjadi terapi
farmakologis dan non farma-kologis (edukasi dan konseling).
Keberhasilan terapi penyandang epilepsi sangat tergantung pada
kepatuhan pasien dalam menjal-ani terapi yang diberikan. Oleh karena
itu, dokter di layanan primer berperan penting dalam memantau
perkembangan terapi serta memberikan edukasi kepada penyandang
epilepsi atau keluarganya tentang penyakit yang dideritanya.
 Hasil penatalak-sanaan epilepsi hendaknya dipantau secara teren-cana
dan berkesinambungan serta dicatat pada rekam medis di lembar
pemantauan.
Tujuan tatalaksana adalah status bebas kejang tanpa efek samping. Obat-obat
lini pertama untuk epilepsi antara lain:

 Karbamazepine, untuk kejang tonik-klonik dan kejang fokal. Tidak


efektif untuk kejang absens. Dapat memperburuk kejang myok-lonik.
Dosis total 600-1200 mg dibagi menjadi 3-4 dosis per hari.
 Lamotrigine, efektif untuk kejang fokal dan kejang tonik-klonik. Dosis
100-200 mg sebagai monoterapi atau dengan asam valproat. Dosis 200-
400 mg bila digunakan bersama dengan fenitoin, fenobarbital, atau
karbamazepine.
 Asam valproat, efektif untuk kejang fokal, kejang tonik-klonik, dan
kejang absens. Dosis 400-2000 mg dibagi 1-2 dosis per hari.
 Obat-obat yang tersedia di puskesmas
 Fenobarbital, dapat dimulai dengan dosis 60mg/hari per oral
dinaikkan 30 mg setiap 2-4 minggu hingga tercapai target 90-120
mg/hari.
 Fenitoin (300-600 mg/hari per oral dibagi menjadi satu atau dua
dosis)
 Karbamazepine (800-1200 mg/ hari per oral dibagi menjadi tiga
hingga empat dosis). Obat ini merupakan obat pilihan untuk pasien
epilepsi pada kehamilan.
Terapi lain berupa terapi non-farmakologi dan terapi bedah (lobektomi dan
lesionektomi).
Referensi :
Kristanto A. Epilepsi bangkitan umum tonik-klonik di UGD RSUP Sanglah
Denpasar-Bali. Published by DiscoverSys | Intisari Sains Medis 2017; 8(1):
69-73 | doi: 10.15562/ism.v8i1.105. Open ac cess: http://isainsmedis.id/

TATALAKSANA PASIEN DENGAN STATUS EPILEPTIKUS


Prinsip penatalaksanaan SE adalah menghentikan aktivitas kejang baik
klinis maupun elektroensefalografik (EEG). Penatalaksanaan SE meliputi
penggunaan obat intravena yang poten, sehingga dapat menimbulkan efek
samping yang serius. Oleh karena itu, langkah awal adalah memastikan bahwa
pasien sedang mengalami SE. Kejang tunggal yang pulih tidak membutuhkan
tatalaksana, namun jika diagnosis SE ditegakkan harus ditatalaksana secepat
mungkin. Penilaian awal jalan napas dan oksigenasi sangat penting. Jika jalan
napas telah bebas, intubasi tidak harus segera dilakukan, tekanan darah dan
nadi harus diobservasi. Pemeriksaan neurologis dilakukan untuk mencari
tanda lesi fokal intrakranial. Langkah selanjutnya mendapatkan akses
intravena, pengambilan sampel darah untuk penilaian serum elektrolit, ureum,
glukosa, kadar obat antiepilepsi dalam darah, skrining toksisitas obat, dan
hitung darah lengkap. Infus cairan isotonik harus sudah diberikan.
Hipoglikemia merupakan pencetus status epileptikus yang reversibel, glukosa
50 ml 50% dapat diberikan jika diduga suatu hipoglikemia. Tiamin dapat
diberikan untuk mencegah ensefalopati Wernicke.
Setelah pemberian oksigen, kadar gas darah seharusnya diukur untuk
memastikan oksigenasi sudah adekuat. Asidosis, hiperpireksia, dan hipertensi
tidak perlu ditangani, karena merupakan keadaan umum pada tahap awal SE
dan akan membaik setelah penatalaksanaan umum dilakukan.
Pencitraan CT scan direkomendasikan setelah stabilisasi jalan napas
dan sirkulasi. Jika hasil pencitraan negatif, pungsi lumbal dapat
dipertimbangkan untuk menyingkirkan etiologi infeksi.
Monitoring Elektroensefalografi (EEG) Continuous EEG (cEEG)
sangat berguna pada penatalaksanaan SE di ruang intensive care unit (ICU),
dilakukan dalam satu jam sejak onset jika kejang masih berlanjut. Ini
bermanfaat untuk mempertahankan dosis obat antiepilepsi selama titrasi dan
mendeteksi berulangnya kejang. Indikasi penggunaan cEEG pada SE adalah
kejang klinis yang masih berlangsung atau SE yang tidak pulih dalam 10
menit, koma, postcardiac arrest, dugaan nonconvulsive SE pada pasien
dengan perubahan kesadaran. Durasi cEEG seharusnya paling sedikit dalam
48 jam.

TERAPI
Sampai saat ini belum ada konsensus baku penatalaksanaan SE
berkaitan dengan pemilihan obat dan dosis. Tidak ada obat yang ideal untuk
tatalaksana SE. Banyak penulis setuju bahwa lorazepam (0,1 mg/kgBB) atau
diazepam (0,15 mg/kgBB) dapat diberikan pada tahap awal, disusul fenitoin
(15-20 mg/ kgBB) atau fosfenitoin (18-20 mg/kgBB). Jika benzodiazepin dan
fenitoin gagal, fenobarbital dapat diberikan dengan dosis 20 mg/kgBB, namun
harus mendapatkan perhatian khusus karena dapat menyebabkan depresi
pernapasan. Jika kejang tetap berlanjut, pertimbangkan pemberian anestesi
umum, dapat digunakan agen seperti midazolam, propofol, atau pentobarbital.

1. Benzodiazepin
a. Diazepam
Diazepam merupakan obat pilihan pertama (level evidence A
pada banyak penelitian). Obat memasuki otak secara cepat, setelah
15-20 menit akan terdistribusi ke tubuh. Walaupun terdistribusi
cepat, eliminasi waktu paruh mendekati 24 jam. Sangat berpotensi
sedatif jika terakumulasi dalam tubuh pada pemberian berulang.
Diazepam dengan dosis 5-10 mg intravena dapat
menghentikan kejang pada sekitar 75% kasus. Diazepam dapat
diberikan secara intramuskuler atau rektal. Efek samping termasuk
depresi pernapasan, hipotensi, sedasi, iritasi jaringan lokal. Sangat
berpotensi hipotensi dan depresi napas jika diberikan bersamaan obat
antiepilepsi lain, khususnya barbiturat. Walaupun demikian,
diazepam masih merupakan obat penting dalam manajeman SE
karena efeknya yang cepat dan berspektrum luas.
b. Lorazepam
Lorazepam merupakan pilihan golongan benzodiazepin untuk
menajemen SE. Lorazepam berbeda dengan diazepam dalam
beberapa hal. Obat ini kurang larut dalam lemak dibandingkan
diazepam dengan waktu paruh dua hingga tiga jam dibandingkan
diazepam yang 15 menit, sehingga mempunyai durasi lebih lama.
Lorazepam juga mengikat reseptor GABAergic lebih kuat daripada
diazepam, sehingga durasi aksinya lebih lama. Efek antikonvulsan
lorazepam berlangsung 6-12 jam pada rentang dosis 4-8 mg. Agen ini
berspektrum luas dan berhasil menghentikan kejang pada 75-80%
kasus. Efek sampingnya sangat identik dengan diazepam. Oleh
karena itu, lorazepam juga merupakan pilihan untuk manjemen SE.
c. Midazolam
Midazolam merupakan golongan benzodiazepin yang bereaksi
cepat, penetrasi cepat melewati sawar darah otak, dan durasi yang
singkat. Midazolam dapat digunakan sebagai agen alternatif untuk
SE refrakter. Walau pun midazolam jarang merupakan pilihan per
tama untuk kejang akut di Amerika Serikat, obat ini sangat umum
digunakan di Eropa.

2. Agen Antikonvulsan
a. Fenitoin
Fenitoin merupakan salah satu obat yang efektif mengobati
kejang akut dan SE. Disamping itu, obat ini sangat efektif pada
manajemen epilepsi kronik, khususnya pada kejang umum sekunder
dan kejang parsial. Keuntungan utama fenitoin adalah efek sedasinya
yang minim. Namun, sejumlah efek samping serius dapat muncul
seperti aritmia dan hipotensi, khususnya pada pasien di atas usia 40
tahun. Efek tersebut sangat dihubungkan dengan pemberian obat
yang terlalu cepat. Di samping itu, iritasi lokal, fl ebitis, dan pusing
dapat muncul pada pemberian intravena. Fenitoin sebaiknya tidak
dicampur dengan dekstrosa 5%, melainkan salin normal untuk
menghindari pembentukan kristal.
b. Fosfenitoin
Fosfenitoin adalah pro-drug dari fenitoin yang larut dalam air
yang akan dikonversi menjadi fenitoin setelah diberikan secara
intravena. Seperti fenitoin, fosfenitoin digunakan dalam tatalaksana
kejang akut tonik-klonik umum atau parsial. Fosfenitoin dikonversi
menjadi fenitoin dalam waktu 8 sampai 15 menit. Dimetabolisme
oleh hati dan mempunyai waktu paruh 14 jam. Karena 1,5 mg
fosfenitoin ekuivalen dengan 1 mg fenitoin, maka dosis, konsentrasi,
dan kecepatan infus intravena digambarkan sebagai phenytoin
equivalent (PE). Dosis awal 15 sampai 20 mg PE per kgBB, dan
diberikan dengan kecepatan 150 mg PE per menit, kecepatan
pemberian infus tiga kali lebih cepat dari fenitoin intravena.
Fosfenitoin lebih disukai, karena bekerja lebih cepat dan iritasi
vena yang lebih minimal (menghindari risiko purple-glove syndrome
yang terjadi pada fenitoin). Efek samping dari fosfenitoin termasuk
parestesia dan pruritus, namun muncul jika diberikan dalam
pemberian yang terlalu cepat. Pemberian intravena dihubungkan
dengan hipotensi, sehingga monitoring jantung dan tekanan darah
yang ketat dilakukan. Walaupun fosfenitoin lebih baik daripada
fenitoin, namun kelemahannya adalah harga yang mahal dan tidak
terdapat di semua rumah sakit.

3. Barbiturat
a. Fenobarbital
Fenobarbital digunakan setelah benzodiazepin atau fenitoin
gagal mengontrol SE. Loading dose 15 sampai 20 mg per kgBB.
Karena fenobarbital dosis tinggi bersifat sedatif, proteksi jalan napas
sangat penting, dan risiko aspirasi merupakan perhatian khusus.
Fenobarbital intravena juga dihubungkan dengan hipotensi sistemik.
Jika dilakukan pemberian intramuskuler, maka dilakukan pada otot
besar, seperti gluteus maximus. Defi sit neurolgis permanen dapat
timbul jika diinjeksikan berdekatan dengan saraf tepi. Saat ini, untuk
penanganan SE refrakter lebih sering digunakan agen lain
(midazolam, propofol, pentobarbital) daripada fenobarbital.
b. Pentobarbital
Merupakan barbiturat kerja singkat yang bersifat sedatif,
hipnotif, dan besifat antikonvulsan. Digunakan hanya untuk SE
refrakter, jika agen lain gagal untuk menghentikan kejang. Pasien
membutuhkan intubasi dan dukungan ventilasi. Dibandingkan
fenobarbital, pentobarbital mempunyai penetrasi yang lebih cepat dan
waktu paruh yang lebih singkat, sehingga dapat sadar lebih cepat dari
koma ketika penyapihan (weaning). Efektivitas pentobarbital lebih
tinggi daripada propofol dalam mengakhiri SE refrakter. Suatu studi
mendapatkan tingkat keberhasilan pentobarbital yang tinggi (92%
dengan perbandingan 80% untuk midazolam dan 73% untuk
propofol). Namun demikian, sangat dihubungkan dengan tingginya
ke jadian hipotensi dibandingkan midazolam dan propofol (77% vs
42% dan 30%).

4. Anestesi Umum
a. Propofol
Propofol merupakan suatu senyawa fenolik yang tidak
berhubungan dengan obat antikonvulsan lain. Propofol sangat larut
dalam lemak, sehingga dapat bereaksi dengan cepat, mempunyai sifat
anestesi jika diberikan secara intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB,
sangat efektif dan nontoksik. Beberapa publikasi melaporkan
penggunaan infus jangka panjang propofol dapat di terapkan pada
SE. Propofol dapat menyebabkan depresi napas dan depresi serebral,
sehingga membutuhkan intubasi dan ventilasi. Hipotensi mungkin
membutuhkan penatalaksanaan segera. Penggunaan jangka panjang
(atau dosis tinggi >5 mg/kg/jam dalam 48 jam) dapat menyebabkan
asidosis, aritmia jantung, dan rabdomiolisis (propofol infusion
syndrome) yang fatal, khususnya pada anak usia muda, sehingga
propofol sebaiknya tidak digunakan digunakan pada kelompok ini.

Tapering off
Pada pasien yang ditatalaksana dengan infus kontinu obat
antiepilepsi harus disaraf teruskan 12 sampai 24 jam setelah kejang berhenti.
Jika selama periode tapering off terdapat kejang, maka pengobatan dengan
infus kontinu harus diperpanjang dengan memperhatikan adanya kejang baik
secara klinis maupun EEG. Jika tidak ada kejang, maka tapering off dapat
diteruskan.
Referensi :Beny Rilianto Evaluasi dan Manajemen Status Epileptikus.
CONTINUING MEDICAL ECDOUNCTAITNIUONING. RS Pekanbaru
Medical Center, Pekanbaru, Riau, Indonesia. CDK-233/ vol. 42 no. 10, th.
2015. Akreditasi PB IDI–2 SKP
2. Tatalaksana bangkitan dan mekanisme obat
Jawaban:
Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan oksigenasi otak
yang adekuat, mengakhiri kejang sesegera mungkin, mencegah kejang
berulang, dan mencari faktor penyebab. Serangan kejang umumnya
berlangsung singkat dan berhenti sendiri.

Penatalaksanaan semua tipe epilepsi dapat dibagi menjadi empat bagian:


menggunakan obat antiepilepsi, eksisi pembedahan pada focus epilepsy dan
tindakan bedah lainnya, menyingkirkan penyebab dan faktor presipitasi, dan
regulasi aktivitas fisik dan mental.

Penggunaan obat antiepilepsi sangat penting dalam pengobatan. Sekitar 70%


dari semua tipe epilepsy, bangkitannya dapat terkontrol secara sempurna.
Beberapa pilihan obat antiepilepsi untuk masing-masing tipe pada bangkitan
orang dewasa.
Tipe Bangkitan Pilihan pertama lini kedua
Fenitoin 300-400 mg/hari,
Carbamazepine 600-1200 Lamotrigine 3-500 mg/hari
Tonik-klonik
mg/hari, oxcarbazepine
Valproate 1000-3000 mg/hari
Valproat 1000-3000 mg/hari Lamotrigine 3-500 mg/hari
Carbamazepine 600-1200 Valproate 1000-3000 mg/hari
Mioklonik parsial
mg/hari, Iamotrigine,
Fenitoin 300-400 mg/hari Oxcarbazine
Ethosuximide 750-1500 mg/hari
Absence Valproate 1000-3000 mg/hari
Iamotrigine
Tidak tergolongkan Valproate 1000-3000 mg/hari Lamotrigine 3-500 mg/hari
Sumber : Ropper A and Brown RH. 2001. Adams and Victor’s principles of
neurology. New York: Mc grow hills.

Mekanisme kerja obat antiepilepsi pada prinsipnya bekerja untuk menghambat


proses inisiasi dan penyebaran kejang. Namun pada umumnya OAE lebih
cenderung bersifat membatasi proses penyebaran kejang daripada mencegah
proses inisiasi. Dengan demikian pembagian mekanisme kerja meliputi :

a. Inhibisi kanal ion Na pada membran sel akson. Contohnya: fenitoin dan
karbamazepin (pada dosis terapi), fenobarbital dan asam valproat (dosis
tinggi), Iaomotrigin, topiramat, zonisamid
b. Inhibisi kanal ion Ca tipe T pada neuron thalamus (yang berperan dalam
pace-maker untuk bangkitan cetusan listrik umum di korteks). Contoh:
Etosuksimid, asam valproat, dan clonazepam
c. Peningkatan inhibisi GABA
 Langsung pada kompleks GABA dan kompleks ion Cl. Contoh:
benzodiazepine, barbiturate.
 Menghambat degradasi GABA, yaitu dengan mempengaruhi re-uptake
dan metabolisme GABA. Contoh: tiagabin, vigabatrin, gabapentin,
as.valproat
d. Penurunan eksitasi glutamate, yakni melalui:
 Blok reseptor NMDA, misalnya Iamotrigin
 Blok reseptor AMPA, misalnya fenobarbital, topiramat

Sumber: Utama H dan Gan VHS. 2012. Farmakologi dan Terapi ed.5. Jakarta:
FKUI

3. Pemeriksaan penunjang
Jawaban:
a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering
dilakukan dan harus dilakukan pada semua pasien epilepsi untuk
menegakkan diagnosis epilepsi. Terdapat dua bentuk kelaianan pada 21
EEG, kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi
struktural di otak. Sedangkan adanya kelainan umum pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.
Rekaman EEG dikatakan abnormal bila :

1. Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di


kedua hemisfer otak
2. Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat
dibanding seharusnya
3. Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku
majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal
Pemeriksaan EEG bertujuan untuk membantu menentukan prognosis dan
penentuan perlu atau tidaknya pengobatan dengan obat anti epilepsi
(OAE).
b. Neuroimaging
Neuroimaging atau yang lebih kita kenal sebagai pemeriksaan radiologis
bertujuan untuk melihat struktur otak dengan melengkapi data EEG. Dua
pemeriksaan yang sering digunakan Computer Tomography Scan (CT
Scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Bila dibandingkan
dengan CT Scan maka MRI lebih sensitive 22 dan secara anatomik akan
tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hippocampus
kiri dan kanan.

Referensi: Sumber : Ropper A and Brown RH. 2001. Adams and Victor’s
principles of neurology. New York: Mc grow hills.

4. Diagnosis banding dari scenario


Jawaban:

Beberapa keadaan yang mirip dengan epilepsi yaitu


 Breath holding spells menunjukkan gambaran sebagai berikut: anak yang
kecewa atau ketakutan mula-mula menangis dan menghentikan
pernapasannya pada saat berakhirnya ekspirasi. Setelah beberapa detik si
anak menjadi biru, tidak sadar dan lemas, dan pada saat tersebut dapat
terjadi kejang klonik
 Night terror harus dibedakan dengan serangan epilepsy di tengah malam.
Kondisi ini merupakan gangguan tidur yang sangat mendadak. Anak
menjerit keras-keras atau mendadak melompat seperti ketakutan sesuatu.
Si anak tidak kehilangan kesadaran. Denyut nadi dan pernapasan menjadi
sangat cepat dan episode ini berlangsung kurang dari satu menit
 Tics adalah gerakan involunter yang berulang-ulang, terkoordinasi dan
gerak bentuk yang sama. Tics biasanya tampak makin jelas selama terjadi
stress emosional dan kadang-kadang disalah artikan sebagai suatu
serangan epilepsy khususnya serangan mioklonik
 Syncope adalah hilangnya kesadaran secara mendadak yang disebabkan
oleh menurunnya aliran darah ke otak. Tiga hal utama yang menyebabkan
terjadinya syncope ialah refleks pembuluh darah yang abnormal,
kegagalan refleks simpatis, dan penyakit jantung.
 Narcolepsy adalah suatu kelainan yang dicirikan oleh jatuh tertidur secara
mendadak, tak tertahankan oleh penderita, dan terjadi berulang kali.
Penderita narcolepsy dapat dibangunkan dengan mudah dan setelah banun
tidak menunjukkan kesan bingung.
 Histeri atau psudoepilepsi merupakan produk dari situasi stress yang
spesifik. Kejang yang timbul bermakna ganda. Di suatu pihak kejang
terjadi akibat perasaan cemas atau kecewa yang berlebihan, di lain pihak
merupakan upaya untuk memperoleh perhatian, pengertian dan dapat pula
sebagai upaya untuk membebaskan diri dari situasi sosial yang kurang
berkenan di hati penderita. Sifat kejang tampak aneh karena dibuat-buat.

Sumber : Harsono. 2011. Buku ajar neurologi klinis. Yogyakarta: Gadjah


mada university press

5. kriteria diagnosis kejang demam pada bayi


jawaban:

Beberapa hal dapat mengarahkan untuk dapat menentukan diagnosis kejang


demam antara lain:
a. Anamnesis, dibutuhkan beberapa informasi yang dapat mendukung
diagnosis ke arah kejang demam, seperti: (Dewanto et al, 2009, dalam
Pohan, 2010)
 Menentukan adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang, suhu
sebelum dan saat kejang, frekuensi, interval pasca kejang, penyebab
demam diluar susunan saraf pusat.
 Beberapa hal yang dapat meningkatkan risiko kejang demam, seperti
genetik, menderita penyakit tertentu yang disertai demam tinggi,
serangan kejang pertama disertai suhu dibawah 39° C.
Beberapa faktor yang memengaruhi terjadinya kejang demam berulang
adalah usia< 15 bulan saat kejang demam pertama, riwayat kejang
demam dalam keluarga, kejang segera setelah demam atau saat suhu
sudah relatif normal, riwayat demam yang sering, kejang demam
pertama berupa kejang demam akomlpeks.

b. Gambaran Klinis, yang dapat dijumpai pada pasien kejang demam adalah:
(Dewanto et al, 2009, dalam Pohan, 2010)
 Suhu tubuh mencapai 39°C.
 Anak sering kehilangan kesadaran saat kejang
 Kepala anak sering terlempar keatas, mata mendelik, tungkai dan
lengan mulai kaku, bagian tubuh anak menjadi berguncang. Gejala
kejang tergantung pada jenis kejang.
 Kulit pucat dan mungkin menjadi biru.
 Serangan terjadi beberapa menit setelah anak itu sadar.

c. Pemeriksaan fisik dan laboratorium


Kejang demam sederhana, tidak dijumpai kelainan fisik neurologi
maupun laboratorium. Pada kejang demam kompleks, dijumpai kelainan
fisik neurologi berupa hemiplegi. Pada pemeriksaan EEG didapatkan
gelombang abnormal berupa gelombang-gelombang lambat fokal
bervoltase tinggi, kenaikan aktivitas delta, relatif dengan gelombang
tajam. Perlambatan aktivitas EEG kurang mempunyai nilai prognostik,
walaupun penderita kejang demam kompleks lebih sering menunjukkan
gambaran EEG abnormal. EEG juga tidak dapat digunakan untuk
menduga kemungkinan terjadinya epilepsi di kemudian hari
(Soetomenggolo, 2000).

6. pemberian obat anti epilepsy, dosis, indikasi pemberian obat, dan efek
samping obat
Jawaban:
TERAPI status epileptikus
Sampai saat ini belum ada konsensus baku penatalaksanaan SE
berkaitan dengan pe- milihan obat dan dosis. Tidak ada obat yang ideal untuk
tatalaksana SE. Banyak penulis setuju bahwa lorazepam (0,1 mg/kgBB) atau
diazepam (0,15 mg/kgBB) dapat diberikan pada tahap awal, disusul fenitoin
(15-20 mg/ kgBB) atau fosfenitoin (18-20 mg/kgBB). Jika benzodiazepin dan
fenitoin gagal, fenobarbital dapat diberikan dengan dosis 20 mg/kgBB, namun
harus mendapatkan perhatian khusus karena dapat menyebab- kan depresi
pernapasan. Jika kejang tetap berlanjut, pertimbangkan pemberian anestesi
umum, dapat digunakan agen seperti midazolam, propofol, atau pentobarbital.
1. Benzodiazepin
a. Diazepam
Diazepam merupakan obat pilihan pertama (level evidence A pada
banyak penelitian). Obat memasuki otak secara cepat, setelah 15-20
menit akan terdistribusi ke tubuh. Walaupun terdistribusi cepat,
eliminasi waktu paruh mendekati 24 jam. Sangat berpotensi sedatif
jika terakumulasi dalam tubuh pada pemberian berulang. Diazepam
dengan dosis 5-10 mg intravena dapat menghentikan kejang pada
sekitar 75% kasus. Diazepam dapat diberikan secara intramuskuler
atau rektal. Efek samping termasuk depresi pernapasan, hipotensi,
sedasi, iritasi jaringan lokal. Sangat berpotensi hipotensi dan depresi
napas jika diberikan bersamaan obat antiepilepsi lain, khususnya
barbiturat. Walaupun demikian, diazepam masih merupakan obat
penting dalam manajeman SE karena efeknya yang cepat dan
berspektrum luas.
b. Lorazepam
Lorazepam merupakan pilihan golongan benzodiazepin untuk
menajemen SE. Lorazepam berbeda dengan diazepam dalam
beberapa hal. Obat ini kurang larut dalam lemak dibandingkan
diazepam dengan waktu paruh dua hingga tiga jam dibandingkan
diazepam yang 15 menit, sehingga mem- punyai durasi lebih lama.
Lorazepam juga mengikat reseptor GABAergic lebih kuat daripada
diazepam, sehingga durasi aksinya lebih lama. Efek antikonvulsan
lorazepam berlangsung 6-12 jam pada rentang dosis 4-8 mg. Agen ini
berspektrum luas dan berhasil menghentikan kejang pada 75-80%
kasus. Efek sampingnya sangat identik dengan diazepam. Oleh karena
itu, lorazepam juga merupakan pilihan untuk manjemen SE.
c. Midazolam
Midazolam merupakan golongan benzo- diazepin yang bereaksi
cepat, penetrasi cepat melewati sawar darah otak, dan durasi yang
singkat. Midazolam dapat digunakan sebagai agen alternatif untuk SE
refrakter. Walaup un midazolam jarang merupakan pilihan pert ama
untuk kejang akut di Amerika Serikat, obat ini sangat umum
digunakan di Eropa.

2. Agen Antikonvulsan
a. Fenitoin. Fenitoin merupakan salah satu obat yang efektif mengobati
kejang akut dan SE. Disamping itu, obat ini sangat efektif pada
manajemen epilepsi kronik, khususnya pada kejang umum sekunder
dan kejang parsial. Keuntungan utama fenitoin adalah efek sedasinya
yang minim. Namun, sejumlah efek samping serius dapat muncul
seperti aritmia dan hipotensi, khususnya pada pasien di atas usia 40
tahun. Efek tersebut sangat dihubungkan dengan pemberian obat yang
terlalu cepat. Di samping itu, iritasi lokal, fl ebitis, dan pusing dapat
muncul pada pemberian intravena. Fenitoin sebaiknya tidak dicampur
dengan dekstrosa 5%, melainkan salin normal untuk menghindari
pembentukan kristal. Fosfenitoin Fosfenitoin adalah pro-drug dari
fenitoin yang larut dalam air yang akan dikonversi menjadi fenitoin
setelah diberikan secara intravena. Seperti fenitoin, fosfenitoin di-
gunakan dalam tatalaksana kejang akut tonik-klonik umum atau
parsial. Fosfenitoin dikonversi menjadi fenitoin dalam waktu 8
sampai 15 menit. Dimetabolisme oleh hati dan mempunyai waktu
paruh 14 jam. Karena 1,5 mg fosfenitoin ekuivalen dengan 1 mg
fenitoin, maka dosis, konsentrasi, dan kecepatan infus intravena
digambarkan sebagai phenytoin equivalent (PE). Dosis awal 15
sampai 20 mg PE per kgBB, dan diberikan dengan kecepatan 150 mg
PE per menit, kecepatan pemberian infus tiga kali lebih cepat dari
fenitoin intravena. Fosfenitoin lebih disukai, karena bekerja lebih
cepat dan iritasi vena yang lebih minimal (menghindari risiko purple-
glove syndrome yang terjadi pada fenitoin). Efek samping dari
fosfenitoin termasuk parestesia dan pruritus, namun muncul jika
diberikan da- lam pemberian yang terlalu cepat. Pemberian intravena
dihubungkan dengan hipotensi, sehingga monitoring jantung dan
tekanan darah yang ketat dilakukan. Walaupun fosfenitoin lebih baik
daripada fenitoin, namun kelemahannya adalah harga yang mahal dan
tidak terdapat di semua rumah sakit.
b. Barbiturat
 Fenobarbital
Fenobarbital digunakan setelah benzo- diazepin atau fenitoin
gagal mengontrol SE. Loading dose 15 sampai 20 mg per kgBB.
Karena fenobarbital dosis tinggi bersifat sedatif, proteksi jalan
napas sangat penting, dan risiko aspirasi merupakan perhatian
khusus. Fenobarbital intravena juga di- hubungkan dengan
hipotensi sistemik. Jika dilakukan pemberian intramuskuler, maka
dilakukan pada otot besar, seperti gluteus maximus. Defi sit
neurolgis permanen dapat timbul jika diinjeksikan berdekatan
dengan
saraf tepi. Saat ini, untuk penanganan SE refrakter lebih sering
digunakan agen lain (midazolam, propofol, pentobarbital) dari-
pada fenobarbital.
Pentobarbital Merupakan barbiturat kerja singkat yang bersifat
sedatif, hipnotif, dan besifat antikonvulsan. Digunakan hanya
untuk SE refrakter, jika agen lain gagal untuk menghentikan
kejang. Pasien membutuh- kan intubasi dan dukungan ventilasi.
Dibandingkan fenobarbital, pentobarbital mempunyai penetrasi
yang lebih cepat dan waktu paruh yang lebih singkat, sehingga
dapat sadar lebih cepat dari koma ketika penyapihan (weaning).
Efektivitas pentobarbital lebih tinggi dari- pada propofol dalam
mengakhiri SE refrakter. Suatu studi mendapatkan tingkat
keberhasilan pentobarbital yang tinggi (92% dengan perbandingan
80% untuk midazolam dan 73% untuk propofol). Namun
demikian, sangat dihubungkan dengan tingginya ke jadian
hipotensi dibandingkan midazolam dan propofol (77% vs 42% dan
30%).
 Anestesi Umum Propofol1,5,11-13 Propofol merupakan suatu
senyawa fenolik yang tidak berhubungan dengan obat anti-
konvulsan lain. Propofol sangat larut dalam lemak, sehingga dapat
bereaksi dengan cepat, mempunyai sifat anestesi jika diberikan
secara intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB, sangat efektif dan
nontoksik. Beberapa publikasi melaporkan penggunaan infus
jangka pan- jang propofol dapat di terapkan pada SE.
Propofol dapat menyebabkan depresi napas dan depresi serebral,
sehingga membutuhkan intubasi dan ventilasi. Hipotensi mungkin
membutuhkan penata- laksanaan segera. Penggunaan jangka
panjang (atau dosis tinggi >5 mg/kg/jam dalam 48 jam) dapat
menyebabkan asidosis, aritmia jantung, dan rabdomiolisis
(propofol infusion syndrome) yang fatal, khususnya pada anak
usia muda, sehingga propofol sebaiknya tidak digunakan
digunakan pada kelompok ini.
Tapering off Pada pasien yang ditatalaksana dengan infus kontinu
obat antiepilepsi harus diteruskan 12 sampai 24 jam setelah kejang
berhenti. Jika selama periode tapering off terdapat kejang, maka
pengobatan dengan infus kontinu harus diperpanjang dengan
memperhatikan adanya kejang baik secara klinis maupun EEG.
Jika tidak ada kejang, maka tapering off dapat diteruskan

Referensi: Beny,R., 2015. Evaluasi dan Manajemen Status


Epileptikus.Akreditasi PB IDI–2 SKP RS Pekanbaru Medical
Center, Pekanbaru, Riau, Indonesia..Keywords: Status epilepticus,
seizure, antiepilepsy drug. CDK-233/ vol. 42 no. 10, th. 2015
Antiepilepsi

1. Hidantoin

a. Fenitoin

Fenitoin merupakan obat pilihan pertama untuk kejang umum, kejang tonik-
klonik, dan pencegahan kejang pada pasien trauma kepala/bedah
saraf.Fenitoin memiliki range terapetik sempit sehingga pada beberapa
pasien dibutuhkan pengukuran kadar obat dalam darah. Mekanisme aksi
fenitoin adalah dengan menghambat kanal sodium (Na+), yang
mengakibatkan influk (pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel
berkurang dan menghambat terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi
terus-menerus pada neuron. Dosis awal penggunaan fenitoin 5 mg/kg/hari
dan dosis pemeliharaan 20 mg/kg/hari tiap 6 jam. Efek samping yang
sering terjadi pada penggunaan fenitoin adalah depresi pada SSP, sehingga
mengakibatkan lemah, kelelahan, gangguan penglihatan (penglihatan
berganda), disfungsi korteks dan mengantuk. Pemberian fenitoin dosis
tinggi dapat menyebabkan gangguan keseimbangan tubuh dan nystagmus.
Salah satu efek samping kronis yang mungkin terjadi adalah gingival
hyperplasia (pembesaran pada gusi). Menjaga kebersihan rongga mulut
dapat mengurangi resiko gingival hyperplasia.

b. Barbiturat

a. Fenobarbital

Fenobarbital merupakan obat yang efektif untuk kejang parsial dan


kejang tonik-klonik.Efikasi, toksisitas yang rendah, serta harga yang
murah menjadikan fenobarbital obat yang penting utnuk tipe-tipe epilepsi
ini. Namun, efek sedasinya serta kecenderungannya menimbulkan
gangguan perilaku pada anak-anak telah mengurangi penggunaannya
sebagai obat utama. Aksi utama fenobarbital terletak pada
kemampuannya untuk menurunkan konduktan Na dan K. Fenobarbital
menurunkan influks kalsium dan mempunyai efek langsung terhadap
reseptor GABA. (aktivasi reseptor barbiturat akan meningkatkan durasi
pembukaan reseptor GABAA, dan meningkatkan konduktan post-sinap
klorida). Selain itu, fenobarbital juga menekan glutamate excitability dan
meningkatkan postsynaptic GABAergic inhibition . Dosis awal
penggunaan fenobarbital 1-3 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 10-20
mg/kg 1kali sehari Efek samping SSP merupakan hal yang umum terjadi
pada penggunaan fenobarbital. Efek samping lain yang mungkin terjadi
adalah kelelahan, mengantuk, sedasi, dan depresi. Penggunaan
fenobarbital pada anak-anak dapat menyebabkan hiperaktivitas.
Fenobarbital juga dapat menyebabkan kemerahan kulit, dan Stevens-
Johnson syndrome

c. Deoksibarbiturat

a. Primidon

Primidon digunakan untuk terapi kejang parsial dan kejang tonik-


klonik.Primidon mempunyai efek penurunan pada neuron eksitatori. Efek
anti kejang primidon hampir sama dengan fenobarbital, namun kurang
poten. Didalam tubuh primidon dirubah menjadi metabolit aktif yaitu
fenobarbital dan feniletilmalonamid (PEMA). PEMA dapat meningkatkan
aktifitas fenobarbotal . Dosis primidon 100-125 mg 3 kali sehari . Efek
samping yang sering terjadi antara lain adalah pusing, mengantuk,
kehilangan keseimbangan, perubahan perilaku, kemerahan dikulit, dan
impotensi .

d. Iminostilben

a. Karbamazepin

Karbamazepin secara kimia merupakan golongan antidepresan


trisiklik.Karbamazepin digunakan sebagai pilihan pertama pada terapi
kejang parsial dan tonik-klonik. Karbamazepin menghambat kanal Na+ ,
yang mengakibatkan influk (pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel
berkurang dan menghambat terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi
terus-menerus pada neuron.Dosis pada anak dengan usia kurang dari 6
tahun 10-20 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 6-12 tahun dosis awal 200 mg
2 kali sehari dan dosis pemeliharaan 400-800 mg. Sedangkan pada anak
usia lebih dari 12 tahun dan dewasa 400 mg 2 kali sehari . Efek samping
yang sering terjadi pada penggunaan karbamazepin adalah gangguan
penglihatan (penglihatan berganda), pusing, lemah, mengantuk, mual,
goyah (tidak dapat berdiri tegak) dan Hyponatremia. Resiko terjadinya
efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan usia

b. Okskarbazepin

Okskarbazepin merupakan analog keto karbamazepin.


Okskarbazepin merupakan prodrug yang didalam tubuh akan segera
dirubah menjadi bentuk aktifnya, yaitu suatu turunan 10-
monohidroksi dan dieliminasi melalui ekskresi ginjal . Okskarbazepin
digunakan untuk pengobatan kejang parsial Mekanisme aksi
okskarbazepin mirip dengan mekanisme kerja karbamazepin.. Dosis
penggunaan okskarbazepin pada anak usia 4-16 tahun 8-10mg/kg 2
kali sehari sedangkan pada dewasa, 300 mg 2 kali sehari.Efek
samping penggunaan okskarbazepin adalah pusing, mual, muntah,
sakit kepala, diare, konstipasi, dispepsia, ketidak seimbangan tubuh,
dan kecemasan. Okskarbazepin memiliki efek samping lebih ringan
dibanding dengan fenitoin, asam valproat, dan karbamazepin.
Okskarbazepin dapat menginduksi enzim CYP450.
e. Suksimid

a. Etosuksimid

Etosuksimid digunakan pada terapi kejang absens. Kanal kalsium


merupakan target dari beberapa obat antiepilepsi. Etosuksimid
menghambat pada kanal Ca2+ tipe T. Talamus berperan dalam
pembentukan ritme sentakan yang diperantarai oleh ion Ca2+ tipe T pada
kejang absens, sehingga penghambatan pada kanal tersebut akan
mengurangi sentakan pada kejang absens . Dosis etosuksimid pada anak
usia 3-6 tahun 250 mg/hari untuk dosis awal dan 20 mg/kg/hari untuk
dosis pemeliharaan. Sedangkan dosis pada anak dengan usia lebih dari 6
tahun dan dewasa 500 mg/hari . Efek samping penggunaan etosuksimid
adalah mual dan muntah, efek samping penggunaan etosuksimid yang
lain adalah ketidakseimbangan tubuh, mengantuk, gangguan pencernaan,
goyah (tidak dapat berdiri tegak), pusing dan cegukan.

f. Asam valproat

Asam valproat merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang parsial,


kejang absens, kejang mioklonik, dan kejang tonik-klonik Asam valproat
dapat meningkatkan GABA dengan menghambat degradasi nya atau
mengaktivasi sintesis GABA. Asam valproat juga berpotensi terhadap
respon GABA post sinaptik yang langsung menstabilkan membran serta
mempengaruhi kanal kalium.Dosis penggunaan asam valproat 10-15
mg/kg/hari. Efek samping yang sering terjadi adalah gangguan pencernaan
(>20%), termasuk mual, muntah, anorexia, dan peningkatan berat badan.
Efek samping lain yang mungkin ditimbulkan adalah pusing, gangguan
keseimbangan tubuh, tremor, dan kebotakan. Asam valproat mempunyai efek
gangguan kognitif yang ringan. Efek samping yang berat dari penggunaan
asam valproat adalah hepatotoksik. Hyperammonemia (gangguan
metabolisme yang ditandai dengan peningkatan kadar amonia dalam darah)
umumnya terjadi 50%, tetapi tidak sampai menyebabkan kerusakan
hati.Interaksi valproat dengan obat antiepilepsi lain merupakan salah satu
masalah terkait penggunaannya pada pasien epilepsi. Penggunaan fenitoin
dan valproat secara bersamaan dapat meningkatkan kadar fenobarbital dan
dapat memperparah efek sedasi yang dihasilkan. Valproat sendiri juga dapat
menghambat metabolisme lamotrigin, fenitoin, dan karbamazepin. Obat
yang dapat menginduksi enzim dapat meningkatkan metabolisme valproat.
Hampir 1/3 pasien mengalami efek samping obat walaupun hanya kurang
dari 5% saja yang menghentikan penggunaan obat terkait efek samping
tersebut.
g. Benzodiazepin

Benzodiazepin digunakan dalam terapi kejang . Benzodiazepin


merupakan agonis GABAA, sehingga aktivasi reseptor benzodiazepin akan
meningkatkan frekuensi pembukaan reseptor GABAA.Dosis benzodiazepin
untuk anak usia 2-5 tahun 0,5 mg/kg, anak usia 6-11 tahun 0,3 mg/kg, anak
usia 12 tahun atau lebih 0,2 mg/kg, dan dewasa 4-40 mg/hari. Efek samping
yang mungkin terjadi pada penggunaan benzodiazepin adalah cemas,
kehilangan kesadaran, pusing, depresi, mengantuk, kemerahan dikulit,
konstipasi, dan mual.

h. Obat antiepilepsi lain

a. Gabapentin

Gabapentin merupakan obat pilihan kedua untuk penanganan parsial


epilepsi walaupun kegunaan utamanya adalah untuk pengobatan nyeri
neuropati. Uji double-blind dengan kontrol plasebo pada penderita seizure
parsial yang sulit diobati menunjukkan bahwa penambahan gabapentin
pada obat antiseizure lain leibh unggul dari pada plasebo. Penurunan
nilai median seizure yang diinduksi oleh gabapentin sekitar 27%
dibandingkan dengan 12% pada plasebo.Dosis gabapentin untuk anak
usia 3-4 tahun 40 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 5-12 tahun 25-35 mg/kg
3 kali sehari, anak usia 12 tahun atau lebih dan dewasa 300 mg 3 kali
sehari.Efek samping yang sering dilaporkan adalah pusing, kelelahan,
mengantuk, dan ketidakseimbangan tubuh. Perilaku yang agresif
umumnya terjadi pada anak-anak. Beberapa pasien yang menggunakan
gabapentin mengalami peningkatan berat badan.

b. Lamotrigin

Lamotrigin merupakan obat antiepilepsi generasi baru dengan


spektrum luas yang memiliki efikasi pada parsial dan epilepsi umum
Lamotrigin tidak menginduksi atau menghambat metabolisme obat anti
epilepsi lain. Mekanisme aksi utama lamotrigin adalah blokade kanal Na,
menghambat aktivasi arus Ca2+ serta memblok pelepasan eksitasi
neurotransmiter asam amino seperti glutamat dan aspartat. Dosis
lamotrigin 25-50 mg/hari. Penggunaan lamotrigin umumnya dapat
ditoleransi pada pasien anak, dewasa, maupun pada pasien geriatri. Efek
samping yang sering dilaporkan adalah gangguan penglihatan
(penglihatan berganda), sakit kepala, pusing, dan goyah (tidak dapat
berdiri tegak). Lamotrigin dapat menyebabkan kemerahan kulit terutama
pada penggunaan awal terapi 3-4 minggu. Stevens-Johnson syndrome
juga dilaporkan setelah menggunakan lamotrigin.

Referensi:

Gidal, B.E., and Garnett, W.R., 2005, Epilepsy, in Pharmacotherapy: A


Phathophisiology Approach, Dipiro, J.T., et al (eds) McGraw Hill, New York,
1023-1048.

Lacy, Charles F., 2009, Drug Information Handbook, American Pharmacists


Association.

7. bangkitan absens, berapa usia pasien bangkitan absens, eeg, dan terapinya
jawaban:
Kejang absence umumnya berakhir 10 sampai 15 detik, segera diikuti oleh
pemulihan penuh. Setelah itu, tidak ada memori akan kejadian. Beberapa
orang memiliki puluhan episode harian, yang mengganggu sekolah atau
kegiatan sehari-hari. Paling swring pada usia 4-8 tahun dan puncak pada usia
6-7 tahun. Elektroensefalograf ialah alat yang dapat merekam aktifitas listrik
di otak melalui elektroda yang ditempatkan dikulit kepala. Kelainan EEG
yang sering dijumpai pada
penderita epilepsi disebut epileptiform discharge atau epileptiform activity.
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan
diagnosis epilepsi.Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan
umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau
metabolik. 6 Rekaman EEG dikatakan abnormal ditentukan atas dasar
adanya6 :
a. Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak.
b. Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya misal gelombang delta.
c. Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan
gelombang lambat yang timbul secara paroksimal.
Rekaman video EEG, Pemeriksaan video-EEG ini berhasil membedakan
apakah serangan kejang oleh karena epilepsi atau bukan dan biasanya selama
perekaman dilakukan secara terus-menerus dalam waktu 72 jam, sekitar 50-
70% dari hasil rekaman dapat menunjukkan gambaran serangan kejang
epilepsy
Khas eeg bangkitan absan : Pada pemeriksaan EEG akan menunjukan
gambaran yang khas yakni “spike wave” yang berfrekuensi 3 siklus per detik
yang bangkit secara menyeluruh.

Referensi: Lacy, Charles F., 2009, Drug Information Handbook, American


Pharmacists Association.

Anda mungkin juga menyukai