Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia sebagai mahluk pencari kebenaran dalam perenungannya
akan menemukan tiga bentuk eksistensi, yaitu agama, ilmu pengetahuan,
dan filsafat. Agama mengantarkan manusia kepada kebahagiaan abadi.
Ilmu pengetahuan mengantarkan pada kebenaran, dan filsafat membuka
jalan untuk mencari kebenaran.

Filsafat merupakan suatu analisa secara hati-hati terhadap


penalaran-penalaran mengenai suatu masalah, dan penyusunan secara
sengaja serta sistematis atas suatu sudut pandangan yang menjadi dasar
suatu tindakan. Sesungguhnya kegiatan kefilsafatan merupakan
perenungan atau pemikiran.

Sebagai “Mater-Scientiarium” atau induk dari ilmu pengetahuan


tentunya filsafat tidak lepas dari sejarahnya yang panjang. Mulai dari filsafat
purba sampai modern. Filsafat modern merupakan sebuah titik baru bagi
perkembangan filsafat dimana sering diidentikan dengan zaman
empirisisme dan rasionalisme. Berdarasarkan hal tersebut maka materi
dalam makalah ini adalah tentang “Sejarah dan Pembentukan Filsatat
Modern”.
Dalam dunia sejarah pastilah dikenal suatu periode atau masa. Suatu periode
atau masa dibuat untuk mempermudah analisis sejarah. Suatu masa atau
periode biasanya digolongkan berdasarkan ciri-ciri atau tanda-tanda yang
menjadi identitas utama pada kurun waktu tertentu. Begitupun juga dengan
filsafat, dimana dalam sejarah filsafat digolongkan menjadi beberapa
periode.

Dalam hal ini, sentral utama studi penulis adalah “Filsafat Modern”.
Dari beberapa sumber literatur yang ada, terjadi perbedaan dalam penetapan
waktu dimulainya filsafat modern. Ada yang mengatakan bahwa filsafat
modern dimulai dari abad 17 Masehi sampai abad 19 Masehi dan ada juga
yang mengatakan bahwa filsafat modern dimulai pada abad ke 15 sampai
abad 19 Masehi. Dalam filsafat modern ada 2 golongan pemikiran yang
lahir pada saat itu yaitu ;Rasionalisme dan Emprisme

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar belakang di atas, maka rumusan masalah
makalah ini adalah :
1. Kapan dimulainya periode filsafat moderen?
2. Apa ciri dari filsafat modern?
3. Bagaimana proses perkembangan filsafat modern?
4. Siapa saja tokoh filsafat modern?
5. Apa saja teori-teori filsapat modern?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan makalah di atas, maka tujuan pada makalah
ini adalah :

1. Untuk mengetahui waktu dimulainya filsafat moderen.


2. Untuk mengetahui ciri dari filsafat modern.
3. Untuk mengetahui proses perkembangan filsafat modern
4. Untuk mengetahui tokoh filsafat modern.
5. Untuk mengetahui teori-teori filsapat modern
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Rasionalisme

2.1.1 Pengertian Rasionalisme


Rasionalisme adalah suatu paham yang menganggap bahwa
semua ilmu pengetahuan itu diperoleh melalui proses berpikir secara
rasional dan sistematis. Paham ini ingin mengatakan bahwa
sebenarnya ilmu itu sudah tertanam dibenak umat manusia tinggal
bagaimana caranya manusia itu dapat menggali dan memahami semua
itu secara akal atau rasio. Secara ringkas, cara ini telah memberikan
suatu kerangka berpikir secara koheran dan logis. Dengan metode
berpikir deduksi, metode ini menghantarkan kita pada suatu
pemahaman mengenai suatu objek tertentu yang kita kaji. Dalam
proses penelitian misalnya, kita mengenal adanya hipotesis sebagai
dugaan sementara yang menjadi pedoman kita selama proses
penelitian. Disini rasionalis lah yang memnghasilakan hipotesis
tersebut.

Hanya saja, dalam proses penggalian ilmu pengetahuan


tersebut ternyata rasionalisme ini belum mampu memberikan hal yang
konkret yang dapat kita lihat secara kasat mata. Semua yang disajikan
adalah dalam bentuk yang abstrak, inilah yang menjadi titik kelemahan
dalam rasionalisme. Bertolak belakang dengan paham empirisme yang
menyakini bahwasanya ilmu pengetahuan yang kita peroleh adalah
dalam bentuk pengalaman semua yang kita peroleh melalui panca
indera.

2.1.2 Sejarah Munculnya Rasionalisme


Usaha manusia untuk memberi kemandirian kepada akal
sebagaimana yang telah dirintis oleh para pemikir renaisans, masih
berlanjut terus sampai abad ke-17. Abad ke-17 adalah era dimulainya
pemikiran-pemikiran kefilsafatan dalam artian yang sebenarnya.
Semakin lama manusia semakin menaruh kepercayaan yang besar
terhadap kemampuan akal, bahkan diyakini bahwa dengan kemampuan
akal segala macam persoalan dapat dijelaskan, semua permasalahan
dapat dipahami dan dipecahkan termasuk seluruh masalah kemanusiaan.
Keyakinan yang berlebihan terhadap kemampuan akal telah
berimplikasi kepada perang terhadap mereka yang malas
mempergunakan akalnya, terhadap kepercayaan yang bersifat dogmatis
seperti yang terjadi pada abad pertengahan, terhadap norma-norma yang
bersifat tradisi dan terhadap apa saja yang tidak masuk akal termasuk
keyakinan-keyakinan dan serta semua anggapan yang tidak rasional
.
Dengan kekuasaan akal tersebut, orang berharap akan lahir suatu
dunia baru yang lebih sempurna, dipimpin dan dikendalikan oleh akal
sehat manusia. Kepercayaan terhadap akal ini sangat jelas terlihat dalam
bidang filsafat, yaitu dalam bentuk suatu keinginan untuk menyusun
secara a priori suatu sistem keputusan akal yang luas dan tingkat tinggi.
Corak berpikir yang sangat mendewakan kemampuan akal dalam
filsafat dikenal dengan nama aliran rasionalisme

2.1.3 .Tokoh–Tokoh Rasionalis dan Pemikirannya

1. Rene Descartes (1596-1650)


Juga adalah pendiri filsafat modern. Rene Descartes
dijuluki sebagai Bapak Filsafat Modern. Ungkapannya yang
terkenal adalah “Co Ergo Sum” (Aku berpikir maka aku ada).
Ungkapan ini mempunyai makna lebih dalam dari sekedar
pengertian harfiah. Dengan ungkapan itu hendak dinyatakan
metode yang dianut Descrates yakni metode kesangsian.
Deskrates mengatakan bahwa segalanya harus disangsikan
secara radikal dan tidak boleh diterima begitu saja. Jika suatu
kebenaran tahan terhadap kesangsian (artinya tidak disangsikan
lagi), itulah kebenaran yang sesungguhnya dan harus menjadi
fondamen bagi ilmu pengetahuan.

Itulah sebabnya Cogito Ergo Sum harus diartikan


sebagai : saya yang sedang sangsi, ada. Bagi Descrates, berpikir
berarti menyadari. Jika saya menyangsikan maka saya
menyadari sungguh-sungguh bahwa saya menyangsikan.
Kebenaran itu pasti sebab saya mengerti dengan jelas dan
terpilah-pilah (clearly and distinctly).

Menurut Descartes, dalam diri manusia terdapat tiga


ide bawaan sejak lahir, yaitu : pikiran, Tuhan, dan keluasan.
Itulah yang merupakan kebenaran. Menurutnya juga manusia
tediri dari jiwa (pemikiran) dan tubuh (keluasan). Tubuh adalah
mesin yang dijalankan jiwa. Dengan pandangan seperti ini,
Descartes mengakui dualisme dalam manusia.

2. Baruch de Spinoza (1632-1677)


Seperti halnya Descartez, ia bertumpu pada rasio
sebagai sarana menemukan kebenaran, terutama di bidang
epistomologi. Ia menggunakan metode matematis yang bertolak
dari aksioma untuk menemukan kebenaran faktual. Aksioma
merupakan pengertian-pengertian yang kebenarannya tidak
perlu dibuktikan lagi karena sudah jelas dan pasti. Perbedaan
yang mencolok antara pemikiran Spinoza dan Descartes adalah
di bidang ontologi (mengenai hakikat realitas). Descartes adalah
seorang dualist yang mengajarkan ada dua realitas yang hakiki,
yaitu pemikiran (cogitatio) dan keluasan (extentio).

Sementara Spinoza adalah seorang monist yang


mengajarkan hanya ada satu realitas hakiki, yaitu substansi
yang tidak lain adalah Tuhan. Itulah sebabnya pendirian
Spinoza disebut panteisme: Tuhan disamakan dengan segala
sesuatu yang ada. Ia beranggapan pula bahwa satu substansi
itu mempunyai ciri yang tak terhingga jumlahnya dan setiap
ciri mengekspresikan hakekat Tuhan seluruhnya. Tetapi kita
hanya mengenal dua ciri saja: pemikiran dan keluasaan. Pada
manusia kedua ciri tersebut terdapat bersama-sama pemikiran
(jiwa) dan serentak juga keluasaan (tubuh). Karena itulah buat
Spinoza tidak lagi sesuatu persoalan mengenai hubungan jiwa
dengan tubuh, karena jiwa dan tubuh hanya merupakan dua
aspek yang menyangkut substansi yang sama. Sebenarnya
tidak pernah dalam sejarah filsafat kesatuan manusia begitu
sangat ditekankan seperti pada Spinoza. Bukunya yang paling
penting “Ethica, ordine geometrico demonstrate (Etika yang
dibuktikan dengan cara geometris)” baru diterbitkan setelah ia
meninggal.

3. Gottfried Wilhelm von Leibniz (1646-1716)


Bersama dengan Descartes dan Spinoza, Leibniz
juga meyakini bahwa hanya dengan menggunakan rasionya
manusia menemukan kebenaran. Yang membedakan Leibniz
dari Descartes dan Spinoza adalah pada bidang ontologi,
Leibniz adalah pluralis. Menurut Leibniz, hakiki itu bukan
satu, dua, melainkan tak terhingga jumlahnya, dan substansi
hakiki yang tak terhingga jumlahnya itu disebut sebagai
“Monade”. Menurut dia monade-monade tidak bersifat
jasmani dan tidak dapat dibagi-bagi. Jiwa merupakan suatu
monade, tetapi juga materi terdiri dari banyak monade. Dalam
suatu kalimat yang kemudian terkenal ia mengatakan:
“Monade-monade tidak mempunyai jendela-jendela, tempat
sesuatu bisa masuk atau keluar.” Itu berarti bahwa semua
monade harus dianggap tertutup, sebagimana “cogito”, atau
kesadaran yang hanya mengenal dirinya dan ide-ide yang ada
padanya sedangkan yang lainnya dikenal secara tidak
langsung melalui ide-ide tersebut.
4. Johann Bernhard Basedow (11 September 1724- 25 Juli 1790)
J.B. Basedow berpandangan bahwa pendidikan harus
membentuk kebijaksanaan, kesusilaan, dan kebahagiaan.
Karena itu, saat ia mendirikan sekolah Philantropinum. Motto
yang ia gunakan untuk sekolahnya adalah “everything
according to nature /semua berjalan sesuai kehendak alam.”
Siswa kaya dan miskin diberi pendidikan bersama
menggunakan bahasa Jerman sebagai bahasa pengantarnya,
bukan bahasa Latin ataupun bahasa Yunani. Sekolahnya juga
mengajarkan kerajinan tangan, menekankan permainan fisik
dan olahraga, serta seragamnya dibuat sangat sederhana dan
nyaman. Selain itu, dia juga adalah penulis “Elementarwerk”,
sebuah buku teks bergambar bagi anak-anak yang sangat
populer.

Tahun 1753 ia ditunjuk menjadi profesor filsafat


moral dan belles-lettres di Sorø Akademy, Denmark. Ia
membuktikan dirinya sebagai pendidik yang sangat populer
dan dipanggil untuk memberi kuliah Theologi. Namun, dirinya
yang tanpa rasa takut dan pandangannya yang anti-
kemapanan, serta publikasi bukunya di tahun 1758 yang
berjudul “Practische Philosophie” (Filsafat Praktis) yang
secara gamblang membuka dirinya sebagai seorang non-
ortodok, memaksanya untuk turun jabatan dan pindah ke
Altona. Dia tidak lagi diberi izin mengajar, meski demikian
usahanya untuk mereformasi pendidikan di Jerman tidak
terhenti.

5. Christian Wolff (1679-1754)


Pemikiran Wolff pada dasarnya merupakan
pengembangan dari filsafat Leibniz dengan menerapkannya
terhadap segala bidang ilmu pengetahuan. Ia mengupayakan
supaya filsafat menjadi ilmu pengetahuan yang pasti. Untuk
itu, filsafat harus disertai dengan pengertian-pengertian yang
jelas dan bukti-bukti yang kuat. Suatu sistem filsafat haruslah
berisi gagasan-gagasan yang jelas dan penguraian yang baik.
Wolff berjasa dalam membuat filsafat menarik perhatian
masyarakat umum.

6. Blaise Pascal (1623-1662)


Ia mengemukakan bahwa sorang filsuf harus mampu
menyelami keadaan manusia yang konkret dihadapi orang
demi orang, dari penyelaman itu maka filsuf akan menginderai
bahwa realitas itu pada hakekatnya adalah suatu rahasia. Akal-
rasio akan memberi pengetahuan kepada manusia tentang
rahasia itu, tetapi akal tidak dapat merumuskannya dalam
pengertian-pengertian yang memadai. Karena ciri khas
manusia terdapat pada bagaimana manusia mewujudkan suatu
kesatuan dari dua hal yang berbeda, tubuh dan jiwa. Untuk
menghadapi hal tersebut manusia selalu dihadapkan pada
suatu keadaan di mana ia harus mampu mengambil keputusan.
Sedangkan dalam pengambilan keputusan tidak hanya rasio
yang berfungsi, melainkan juga hati. Padahal hati letaknya
terdapat di dalam akal. Selajutnya hati dihadapkan dengan
Tuhan.Sehingga dalam pengambilan keputusan manusia tidak
dapat terlepas dari Tuhan.

Menurut Pascal terdapat tiga macam tertib: tertib


bendawi, rohani dan kasih. Di dalam tertib bendawi terdapat
hal-hal yang lebih besar dan kecil, yang lebih kaya dan lebih
miskin, yang lebih berkuasa dan lebih kurang kuasa, dll. Di
dalam tertib rohani terdapat yang terbesar atau yang terkaya
dan terkuasa. Kebesaran rohani tidak dapat dijangkau oleh
besarnya tertib bendawi. Sebaliknya kebesaran rohani tiada
berarti di dalam tertib kasih. Roh tidak dapat mengenal
kesucian yang hanya dapat dilihat oleh Tuhan dan para
malaikat. Tiada tubuh yang menghasilkan gagasan karena
gagasan tidak termasuk tertib bendawi. Sebaliknya tiada tubuh
dan tiada roh dapat mengasihi dalam arti sebenarnya, karena
kasih termasuk tertib yang lainnya.

7. Nicolas Malebranche (1638-1715)


Ia adalah orang perancis yang berusaha untuk
memperdamaikan fisafat baru yang dirintis Descrates dengan
pemikiran kristiani, terlebih pemikiran Augustinus. Tentang
masalah substansi ia mengikuti ajaran Descrates bahwa ada
sua substansi, yaitu pemikiran dan keluasan. Tetapi tentang
hubungan antara jiwa dan tubuh ia mempunyai suatu
pemecahan tersendiri. Pendiriannya dalam bidang ini biasanya
dinamakan okasionalisme (occasion=kesempatan). Ia
mempertahankan dengan tegas bahwa jiwa tidak dapat
mempengaruhi tubuh dan sebagainya. Tetapi pada kesempatan
terjadinya perubahan dalam tubuh, Tuhan menyebabkan
perubahan yang sesuai dengannya dalam jiwa.
2.2 Empirisme

2.2.1. Pengertian Empirisme


Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang
berpendapat bahwa empiri atau pengalamanlah yang menjadi sumber
pengetahuan. Akal bukanlah sumber pengetahuan, akan tetapi akal
berfungsi mengolah data-data yang diperoleh dari pengalaman.
Metode yang digunakan adalah metode induktif. Jika rasionalisme
menonjolkan “aku” yang metafisik, maka empirisme menonjolkan
“aku” yang empiris.

2.2.2. Sejarah Munculnya Empirisme


Para pemikir di Inggris bergerak ke arah yang berbeda
dengan tema yang telah dirintis oleh Descartes. Mereka lebih mengikuti
Jejak Francis Bacon, yaitu aliran empirisme. Empirisme adalah suatu
doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam
memperoleh pengetahuan dan pengetahuan itu sendiri dan mengecilkan
peran akal. Istilah empirisme diambil dari bahasa yunani empeiria yang
berarti pengalaman. Sebagai suatu doktrin, empirisme adalah lawan
rasionalisme. Akan tetapi tidak berarti bahwa rasionalisme ditolak sama
sekali. Dapat dikatakan bahwa rasionalisme dipergunakan dalam
kerangka empirisme, atau rasionalisme dilihat dalam bingkai
empirisme
.
Penganut empirisme, pengenalan atau pengetahuan
diperoleh melalui pengalaman. Pengalaman adalah awal dari segala
pengetahuan, juga awal pengetahuan tentang asas-asas yang diperoleh
dan diteguhkan oleh pengalaman. Segala pengetahuan diturunkan dari
pengalaman. Dengan demikian, hanya pengalamanlah yang memberi
jaminan kepastian.

2.2.3. Tokoh – TokohEmpirisme dan Pemikirannya.


1) Francis Bacon (1561-1625)
Ia mengajarkan metode induksi sebagai cara memperoleh
kebenaran, yaitu bahwa kebenaran yang berlaku umum harus
bertolak dari fakta-fakta yang bersifat khusus. “Perlunya observasi
dan eksperimentasi dalam menemukan pengetahuan yang benar
memutlakkan adanya pengamatan indrawi” merupakan ajaran
Bacon.
2) Thomas Hobbes (1588-1679)
Pemikiran filsuf ini sering disebut sebagai realisme yang naif
karena pandangannya yang sensualistik. Tulisan Hobbes yang
sangat berpengaruh adalah di bidang sosial politik yakni teori
kontrak kerja. Bentuk negara Monarki absolut oleh Hobbes
dianggap paling cocok untuk mengatasi keadaan alamiah manusia
yang penuh pertikaian dan peperangan.

3) John Loche (1632-1704)


Dalam teori pengetahuannya, Loche memahamkan emperia
atau pengalaman dengan cakupan lebih luas dibandingkan
pemahaman Hobbes. Ajarannya tentang sosial politik yang sangat
berpengaruh adalah konsepsi tentang hak-hak dasar yang harus
dilindungi. Sementara itu konsepsinya bahwa kekuasaan negara
perlu dibagi ke dalam 3 bidang kekuasaan menjadi cikal bakal
pemikiran Montesquieu, yakni teori trias politika.

4) George Barkeley (12 Maret 1685-14 Januari 1753)


Ia adalah seorang filsuf Irlandia yang juga menjabat sebagai
uskup di Gereja Anglikan. Bersama John Locke dan David Hume,
ia tergolong sebagai filsuf empiris Inggris yang terkenal. Berkeley
mengembangkan suatu pandangan tentang pengenalan visual
tentang jarak dan ruang. Selain itu, ia juga mengembangkan sistem
metafisik yang serupa dengan idealisme untuk melawan pandangan
skeptisisme. Inti pandangan filsafat Berkeley adalah tentang
“pengenalan”. Menurut Berkeley, pengamatan terjadi bukan
karena hubungan antara subyek yang mengamati dan obyek yang
diamati. Pengamatan justru terjadi karena hubungan pengamatan
antara pengamatan indra yang satu dengan pengamatan indra yang
lain. Misalnya, jika seseorang mengamati meja, hal itu
dimungkinkan karena ada hubungan antara indra pelihat dan indra
peraba. Indra penglihatan hanya mampu menunjukkan ada warna
meja, sedangkan bentuk meja didapat dari indra peraba. Kedua
indra tersebut juga tidak menunjukkan jarak antara meja dengan
orang itu, sebab yang memungkinkan pengenalan jarak adalah
indra lain dan pengalaman. Dengan demikian, Berkeley
mengatakan bahwa pengenalan hanya mungkin terhadap sesuatu
yang kongkret.

5) J.J. Rousseau (1712-1778)


Ia adalah seorang tokoh pendidikan yang berpandangan
bahwa seorang anak harus dididik sesuai dengan kemampuannya
atau kesiapannya menerima pendidikan. Tulisan-tulisan Rousseau
dapat dikatakan sebagai faktor penting dalam pertumbuhan
sosialisme, romantisme, totaliterisme, anti-rasionalisme juga
berpengaruh terhadap teori pendidikan modern. Ia juga sebagai
penyumbang bagi ide-ide modern menuju demokrasi dan
persamaan serta perintis ke arah pecahnya Revolusi Perancis. Jika
semboyan revolusi menjadi liberte, egalite, fraternite (kebebasan,
persamaan, persaudaraan) dan jika kedaulatan rakyat sangat
ditekankan, maka akan terasalah pengaruh dari Rousseau. Selain
itu cita-citanya mempesona banyak orang “Kembali ke alam,
hiduplah sederhana, bersungguh-sungguh”.

6) David Hume (1711-1776)


Menurut Hume, pengetahuan itu bersumber dari pengalaman
yang diterima oleh kesan indrawi, sehingga untuk menemukan
sebuah pengetahuan diperlukan pengalaman. Dengan demikian,
bahwa untuk membuktikan sebuah kebenaran akan pengetahuan
itu memerlukan penelitian di lapangan, observasi, percobaan yang
mana dengan cara-cara seperti itulah merupakan titik tolak dari
pengetahuan manusia.

Selanjutnya, Hume menerapkan teori empirismenya dalam


mengkaji eksistensi Tuhan, dan mengungkapkan bahwa Tuhan
yang menurut orang rasionalisme memang sudah ada dalam alam
bawaan sebenarnya tidak nyata. Menurut Hume, pengetahuan akan
Tuhan merupakan sebuah hal yang tidak dapat dibuktikan karena
tidak adanya kesan pengalaman yang dirasakan akan Tuhan.
Persoalan Tuhan merupakan persoalan yang berkaitan dengan
metafisika. Pembahasan dalam metafisika tidak bisa didekati
dengan pembuktian menuntut adanya suatu yang empiris dan
nyata. Jauh dari kritik destruktif terhadap metafisika dan teologi,
Hume memberi analisis yang kontruktif yang membuka
kemungkinan-kemungkinan baru sambil membuat orang sadar
akan kebutuhan mendasarkan teori pada fakta pengalaman.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan terdahulu dapat disimpulkan beberapa hal
sebagai berikut:

Perbedaan Pemikiran Rasionalisme dan Empirisme

Rasionalisme Empirisme
Berasal dari pencernaan rasio, akal budi, dan wahyu dari Tuhan (a priori)
Lebih menekankan pada pengalaman indrawi (a posteriori), baik lahiriah
(sensation) maupun batiniah (reflection)
Berpandangan bahwa akal pikiran adalah sumber pengetahuan
Berpandangan bahwa pengalaman adalah satu-satunya sumber pengetahuan
bagi manusia
Menggunakan metode kesangsian Menggunakan metode observasi, dengan
instrumen-instrumen pengetahuan diantaranya
Menggunakan matematika analisis sebagai metode pengujian
Menggunakan ilmu alam sebagai metode pengujian

3.2 Saran
Berdasarkan studi pustaka yang penulis lakukan, penulis menyaran
agar diperjelasnya penentuan dimulainya periode filsafat modern agar
ketika ada studi pustaka tentang filsafat modern ini tidak akan ada lagi
kebingungan karena adanya perbedaan tentang waktu kapan dimulainya
peride fisafat modern
DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Asmoro. Filsafat Umum. Cet. V; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,


2003.
Anees, Bambang Q- dan Radea Juli A. Hambali. Filsafat Untuk Umum. Cet. I;
Jakarta: Prenada Media, 2003.
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Cet. IX; Yogyakarta: Kanisius,
1993.
Ravertz, Jerome R. The Philosophy of Science. Diterjemahkan oleh Saut Pasaribu
dengan judul Filsafat Ilmu, Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan.Cet. I;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Mustansyir, Rizal dan Misnal Munir. Filsafat Ilmu. Cet. VII; Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008.
Nakosteen, Mehdi. History of Islamic Origins of Western Education A. D. 800-
1350 with an Introduction to Medieval Muslim Education. Diterjemahkan oleh
Joko S. Kahhar dan Supriyanto Abdullah dengan judul Kontribusi Islam atas
dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis abad kemasan Islam. Cet. I; Surabaya:
Risalah Gusti, 1996.
Suriasumantri, Jujun S. Ilmu dalam perspektif. Cet. XVI; Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2003.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum. Cet. VI; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1998.
Titus, Harold H., et al. Living Issues in philosophy. Diterjemahkan oleh H.M.
Rasjidi dengan judul Persoalan-Persoalan Filsafat. Cet. I; Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1984.
Kattsoff, Louis O. Pengantar Filsafat (Terjemah Soejono Soemargono).
Yogyakarta: Tiara Wacana. 2004
Salam, Burhanudin. Pengantar Filsafat. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Kata pengantar

Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha


Esa, karena telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan
sehingga makalah ini bisa selesai pada waktunya.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada teman-teman yang telah


berkontribusi dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun
dengan baik dan rapi.

Penulis berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para


pembaca. Namun terlepas dari itu, penulis memahami bahwa makalah ini masih
jauh dari kata sempurna, sehingga penulis sangat mengharapkan kritik serta saran
yang bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik
lagi.

Penulis
Daftar isi

Daftar Isi ………………………………………………………..……………...…i


Kata Pengantar ………………………………………………………….............ii

Bab I pendahuluan ………………………………………………………....……1


A. Latar belakang …………………..………………………………………..……1
B. Rumusan masalah …………………………………………………….......……1
C. Tujuan ………………………………………………………………................2

Bab II Pembahasan .........................………………………………….………....3


A. Rasionalisme ……...………………………………………………..…….........3
 Pengertian Rasionalisme..............................................................................3
 Sejarah munculnya Rasionalisme.................................................................3
 Tokoh-tokoh dan pemikirnya.......................................................................4
B. Emperialisme..................……………………………………..……..………….5
 Pengertian Emperisme.............................................................................8
 Sejarah munculnya Emperisme................................................................8
 Tokoh-tokoh dan pemikirnya.......................................................................8

Bab III Kesimpulan dan Saran ………………………………………….….....11


A. Kesimpulan ……………………………………………………………….…..11
B. Saran ……………………………………………………………………...…..11

Daftar pustaka …………….…………………………………....……………….iii


MAKALAH

SUMBER PENGETAHUAN ANTARA RASIONALISME DAN


EMPIRISME

OLEH :
FITRI AYU NINGSIH
91831290610001

KESEHATAN MASYARAKAT
INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN AVICENNA
KENDARI 2018/2019

Anda mungkin juga menyukai