Pandangan sinis terhadap agama, seperti yang dilontarkan oleh Karl Marx
atau Friederich Nietzsche, menjadi eksemplar dari gejala memudarnya pesona
agama. Agama yang diangankan dapat mengangkat harkat dan martabat manusia
serta menciptakan tatanan yang adil, bagi mereka, nonsense dan tak masuk akal.
Agama, sejatinya, telah menjadi milik orang-orang tertentu, yakni elit agama
pembela status quo dan pemuja etos mistis yang tak rasional. Agama menjadi
tempat pelarian, dalih, dan pembunuh sadis ego. Walaupun kritik ini persisnya
diarahkan kepada Kristen di Barat, namun geger dan resonasinya tak kalah
dahsyat menimpa agama-agama lain secara keseluruhan.2
Menjelang umur lima tahun, Hanafi kecil mulai menghafal Al-Qur’an, beberapa
bulan dia lalui bersama gurunya Syaikh Sayyid di Jalan Al-Benhawi, kompleks
Bab Al-Sya’riyah, sebuah kawasan di Kairo bagian selatan. Pada 1961 M,
disertasinya tentang ushul fiqih dinyatakan sebagai karya ilmiah terbaik di Mesir.
Disertasi setebal 900 halaman itu dia deri judul “Essai sur la methode d’Exegese”
(Esai tentang Metode Penafsiran). Sementara karya ilmiah yang berhasil dia tulis
selama jenjang akademisnya sebanyak tiga macam, yaitu:
4 Ibid.
5 M. Aunul Abied Shah, Islam Garda Depan: Mosaik Pemikir Islam Timur Tengah (Bandung:
Mizan, 2001), 219-221.
Teologi Pembebasan
6 Hasan Hanafi, Agama, Kekerasan, dan Islam Kontemporer (Yogyakarta: Jendela, 2001), 92-93.
7 Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama (Bandung: Mizan, 1999),
84-85.
10 Ibid., 86-87.
11 Ibid., 90-91.
12 Budhy Munawar, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta: Paramadina,
2001), 331.
13 Ibid.
14 Ibid., 335.
15 Ibid., 336.
16 Ibid.
17 Ibid.
18 Ibid., 336-337.
19 Ibid., 337.
20 Ibid., 339.
“Dan Kami berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini,
dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang
kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu
Termasuk orang-orang yang zalim. (QS. Al-Baqarah (2): 35)”22
21 Eko Prasetyo, Islam Kiri Melawan Kapitalisme Modal-Dari Wacana Menuju Gerakan
(Yogyakarta: Insist Press, 2002), xviii.
22 Khoirul Faizin, Atas Nama Peradaban: Catatan Reflektif Tentang Islam dan Isu-Isu
Modernitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), 34-35
23 Ibid., 38.
24 Asghar Ali Engimeer, Islam dan Pembebasan (Yogyakarta: Lkis, 1987), 112.
25 Ibid., 112-113.
26 Ibid., 115-116.
Dari semua ciri khas di atas, para teolog pembebasan seperti Gustavo
Gutierrez yang mencetuskan gerakannya pada tahun 1973 dan Pieris pada 1979,
menegaskan bahwa yang menjadi pusat teologi pembebasan bukanlah sekadar isi,
akan tetapi lebih difokuskan pada metode (cara). Teologi pembebasan bukan
merupakan kebijakan dan bukan pula pengetahuan rasional, akan tetapi refleksi
kritis atas praksis yang diterangi oleh iman. Oleh karena itu, metode yang dipakai
haruslah bertolak dari hal praksis, refleksi kritis atasnya yang diterangi Kitab
Suci, dan kemudian berkomitmen untuk praksis.28
Menurut Asghar Ali Engineer, yang dibutuhkan umat Islam bukan sekadar
sebuah teologi transformatif , akan tetapi teologi radikal transformatif yang dia
istilahkan dengan teologi pembebasan Islam (Islam dan Pembebasan, 1993).29
Teologi Islam juga harus terbuka bagi pemikiran sekular, bagi sains-sains
kontemporer: filsafat, sejarah, sosiologi, ekonomi, sekalipun berasal dari
pemikiran materialis dan ateis. Pertama, karena untuk menolak matereialisme dan
ateisme kita harus memahami terlebih dahulu hakekatnya. Selanjutnya, karena
materialisme ateis, sebagaimana yang baru saja kita lihat jauh dari mengeliminasi
segala spiritualitas dan kesemestaaan.30
27 Ahmad Fuad Fanani, Islam Mazhab Kritis: Menggagas Keberagamaan Liberatif (Jakarta: PT
Kompas Media Nusantara, 2004), 55.
28 Ibid.
29 Ibid., 56.
30 Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-
IsuGlobal (Jakarta: Paramadina, 2001), 513.
Berbagai problema umat Islam Indonesia, dan dalam hal ini umat Islam di
mana saja, ialah kesenjangan yang cukup parah antara ajaran dan kenyataan.
Dahulu Bung Karno menyeru umat Islam untuk “menggali api Islam”, karena
agaknya dia melihat bahwa kaum Muslim saat itu, mungkin sampai sekarang,
hanya mewarisi “”abu dan “arang” yang mati dan statis dari warisan kultural
mereka. Kiranya, kutipan-kutipan panjang tersebut banyak menopang
kepercayaan kaum Muslim tentang Islam, khususnya kaum Muslim dari kalangan
“modernis” dan kaum Muslim yang menghayati secara mendalam “api” Islam.
Tetapi, barangkali yang lebih penting lagi ialah bahwa perspektif semacam itu
dapat dijadikan sebagai titik tolak untuk melihat problema umat Islam di
Indonesia dewasa ini berkenaan dengan sumbangan yang dapat mereka berikan
kepada penumbuhan dinamis nilai keindonesiaan dengan bahan-bahan yang ada
dalam ajaran agama mereka sendiri. Dan yang amat diperlukan oleh umat Islam,
melalui para sarjananya, ialah keberanian untuk menelaah kembali ajaran-ajaran
Islam yang mapan(sebagai hasil interaksi sosial dalam sejarah),dan mengukurnya
kembali, dengan yardstrick, sumber suci Islam sendiri, yaitu Al-Qur’an dan
Cukup disayangkan bahwa kaum Nahdliyin yang tidak sejalan, atau malah
menentang, gagasan Post-Tradisionalisme Islam belum memiliki saluran ide-ide
secara tertulis baik berupa majalah ataupun surat kabar. Kasus perlawanan seorang
kyai di Wonosobo tersebut, sebagaimana dilukiskan Ulil, sangat mungkin tidak
sendirian. Kyai-kyai yang belum tersentuh angin pembaruan kemungkinan besar
tidak menyetujui gagasan anak-anak muda yang maju tersebut. Namun
ketidaksetujuannya itu tidak disalurkan melalui karya tulis, tetapi dengan cara
Penutup
34 Ibid., 141-142.
35 Ibid.
36 Azyumardi Azra, IslamReformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 1999), v.
37 Budhy Munawar, Argumen Islam untuk Liberalisme (Jakarta: PT Grasindo, 2010), 139.
Faizin, Khoirul. Atas Nama Peradaban: Catatan Reflektif Tentang Islam dan Isu-
Isu Modernitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.
Shah, M. Aunul Abied. Islam Garda Depan: Mosaik Pemikir Islam Timur Tengah.
Bandung: Mizan, 2001.
Shihab, Alwi. Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama. Bandung:
Mizan, 1999.