Anda di halaman 1dari 16

Pendahuluan

Realitas keagamaan pada abad modern ini, dapat dikatakan, mengalami


nasib yang memrihatinkan dan tragis. Sejak awal munculnya modernitas, agama
menjadi sasaran kritik yang paling empuk. Agama, di tengah masyarakat yang
menjunjung rasionalitas, seolah dipinggirkan. Agama yang selama ini tampak
anggun dan berwibawa, dianggap hal yang kurang begitu penting. Agama, bagi
masyarakat modern, tidak pantas untuk tampil di ruang publik, ia harus rela
diasingkan dari hiruk-pikuk peradaban masyarakat modern yang sekuler.1

Pandangan sinis terhadap agama, seperti yang dilontarkan oleh Karl Marx
atau Friederich Nietzsche, menjadi eksemplar dari gejala memudarnya pesona
agama. Agama yang diangankan dapat mengangkat harkat dan martabat manusia
serta menciptakan tatanan yang adil, bagi mereka, nonsense dan tak masuk akal.
Agama, sejatinya, telah menjadi milik orang-orang tertentu, yakni elit agama
pembela status quo dan pemuja etos mistis yang tak rasional. Agama menjadi
tempat pelarian, dalih, dan pembunuh sadis ego. Walaupun kritik ini persisnya
diarahkan kepada Kristen di Barat, namun geger dan resonasinya tak kalah
dahsyat menimpa agama-agama lain secara keseluruhan.2

Di tengah kritik-kritik tajam itu, di penghujung abad ke-20 ini, tak


disangka-sangka, agama ternyata tampil sebagai kekuatan revolusioner yang
tegas-tegas membela mereka yang tertindas. Munculnya teologi pembebasan di
Amerika Latin serta Revolusi Islam di Iran dan Libya misalnya, membukakan
mata masyarakat modern akan potensi emansipatif agama dan patahnya klaim-
klaim negatif terhadapnya. Sebuah kenyataan mengagumkan. Ini selanjutnya
menggugah dan mengilhami para pemikir Islam untuk menemukan kembali
‘kesejatian agama’ yang selama ini kabur.3

1 Muhammad In’am Esha, RethinkingKalam: Sejarah Sosial Pengetahuan Islam, Mencermati


Dinamika dan Aras Perkembangan Kalam Islam Kontemporer (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2006),
80.
2 Ibid., 80-81.
3 Ibid., 81.

Kajian Islam dan Teologi Pembebasan | 1


Asghar Ali Engineer, diilhami oleh Revolusi Iran, secara lugas
menawarkan ‘teologi pembebasan’. Lewat kecanggihan analisis sosologisnya
Roger Garaudy, seorang Muslim penganut marxisme, Engineer dengan cakap
membangun pemikirannya tentang teologi pembebasan.4

Biografi Intelektual Hassan Hanafi5


Hassan Hanafi dilahirkan di kota Kairo, Fenruari 1935 M. Keluarganya
berasal dari Bani Suwayf, sebuah provinsi yang berada di Mesir dalam, dan
berurban ke Kairo, ibu kota Mesir. Mereka mempunyai darah keturunam Maroko.
Kakeknya berasal dari Maroko, sementara neneknya dari kabilah bani Mur yang
diantaranya, menurunkan bani Gamal ‘Abd Al-Nasser, Presiden Mesir kedua.
Kakeknya memutuskan untuk menetap di Mesir setelah menikahi neneknya,saat
singgah di Mesir Tengah, ketika pulang dari perjalanan menunaikan ibadah haji.

Menjelang umur lima tahun, Hanafi kecil mulai menghafal Al-Qur’an, beberapa
bulan dia lalui bersama gurunya Syaikh Sayyid di Jalan Al-Benhawi, kompleks
Bab Al-Sya’riyah, sebuah kawasan di Kairo bagian selatan. Pada 1961 M,
disertasinya tentang ushul fiqih dinyatakan sebagai karya ilmiah terbaik di Mesir.
Disertasi setebal 900 halaman itu dia deri judul “Essai sur la methode d’Exegese”
(Esai tentang Metode Penafsiran). Sementara karya ilmiah yang berhasil dia tulis
selama jenjang akademisnya sebanyak tiga macam, yaitu:

1. Essai sur la methode d’Exegese (Esai tentang Metode Penafsiran), yang


memperoleh hadiah sebagai karya ilmiah terbaik di Mesir.
2. L’Exegese de la phenomenologie (Tafsir Fenomenologi).
3. La phenomenoloie de l’Exegese (Fenomenologi Tafsir).

Hanafi adalah pelopor pendirian organisasi Himpunan Filosof Mesir yang


berdiri pada 1986 dengan diketuai oleh Dr. Abu Al-Wafa’ Al-Taftazani, yang
kemudian digantikan oleh Dr. Mahmud Hamdi Zauzuq, Menteri Agama Mesir
sekarang. Sementara Hanafi bertindak sebagai Sekretaris Jenderalnya.

4 Ibid.
5 M. Aunul Abied Shah, Islam Garda Depan: Mosaik Pemikir Islam Timur Tengah (Bandung:
Mizan, 2001), 219-221.

Kajian Islam dan Teologi Pembebasan | 2


Beberapa seminar tentang filsafat, baik nasional maupun internasional
selalu dia ikuti. Dan dalam pergumulannya dengan para pemikir Muslim
kontemporer lainnya, dia sering mendapatkan “sandungan”, meski tidak sedikit
para pemikir yang mengacungkan jempol buatnya. Label-label seperti mulhid,
sekular maupun bravo ‘alaik (great) pun sudah akrab di telinganya. Toh dia terus
maju berjuang membela kaum lemah yang tertindas.

Teologi Pembebasan

Islam menjadi identitas yang sempurna untuk kepentingan dan


kesejahteraan antar individu, komunitas dan inter komunitas. Inisiatif dan
kreatifitas individual menjadi penekanan utama. Kebutuhan komitmen sosial
secara simultan dibangun. Persamaan inter komunitas dan kerja sama antar
masyarakat juga diperkokoh. Persatuan antar individu, komunitas dan inter
komunitas merupakan refleksi dari prinsip universal, menyatukan seluruh
kompenen masyarakat dalam kesatuan perikemanusiaan. Persatuaan dan
keberagaman, identitas dan diferensitas merupakan dua paradigma kenyataan.6

Cobb memperkenalkan teologi transformatif yang dinilainya merupakan


penyempurnaan dari teologi pluralis. Teologi transformatif seirama teologi
pluralis dalam sikap respek dan apresiatif terhadap kearifan dan kebajikan yang
diajarkan agama-agama besar. Namun teologi transformatif tidak berhenti pada
sikap “hidup berdampingan secara damai dengan agama-agama lain.” Lebih jauh
penganut Kristen harus mampu melakukan transformatif diri dengan sikap terbuka
untuk belajar dan menggali kearifan agama dan tradisi lain. Cobb menambahkan
teologi transformatif ini bukan hal baru dalam sejarah perkembangan agama
Kristen. Transformasi ideologis dalam skala besar telah terjadi pada masa formatif
Kristen dengan merasuknya kearifan Helenisme Yahudi dalam tubuh ajaran
Kristen. Transformasi yang cukup cepat lagi radikal juga terjadi masa kini.7

6 Hasan Hanafi, Agama, Kekerasan, dan Islam Kontemporer (Yogyakarta: Jendela, 2001), 92-93.
7 Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama (Bandung: Mizan, 1999),
84-85.

Kajian Islam dan Teologi Pembebasan | 3


“Islam adalah agama pembebasan”, demikian khalayak sering
mengatakannya. Klaim yang tidak berlebihan, jika kita cermati asal mula Islam
yang dibawa Muhammad ini. Diantara misi penting yang diemban Islam adalah
membela, menyelamatkan, membebaskan, memuliakan, dan melindungi orang-
orang tertindas. Islam muncul di Makkah, dan kelompok pertama yang
mengapresiasi secara positif kehadirannya adalah mereka yang tertindas, kaum
miskin, dan para budak. Hanya sebagian kecil saja kelompok awal yang masuk
Islam yang berasal dari kalangan bangsawandan hartawan, dan itu pun orang-
orang yang peduli terhadap orang kecil.8

Islam lahir dari lingkungan perdagangan di Mekkah. Sebuah kota besar


pusat perdagangan Internasional. Praktek monopoli dan akumulasi kapital
mewarnai keseharian para pedagangnya. Etos kapitalis ini telah menciptakan
kesenjangan yang menganga antara si kaya dan si miskin, antara pemodal dan
pekerja. Maka, ketika Nabi diutus dengan seruan yang mengedepankan
kesetaraan, keadilan, dan pembelaan kepada kaum tertindas, tak urung lagi,
mendapat perlawanan yang luar biasa keras dari kaum kapitalis Mekkah,
saudagar-saudagar suku Quraisy dan suku-suku lainnya.9

Islam adalah agama yang bertujuan mewujudkan nilai-nilai persaudaraan


universal (universal brotherhood), kesetaraan (equality), dan keadilan sosial
(social justice). Benar jika analisis menyebutkan, sebenarnya yang ditentang dan
dilawan dari Nabi saw. bukan ajarannya tentang Tuhan sebab, al-Qur’an pun
mengatakan, mereka telah mengenal Tuhan (QS. 31:25), tetapi seruannya untuk
membarui tatanan sosial ekonomi masyarakat. Muhammad tidak mengenalkan
Tuhan baru bagi masyarakat Mekkah, tetapi membenahi pemahaman mereka
tentang ketuhanan dan kemanusiaan. Rahman (2000: 2-3) menjelaskan, yang
sangat monumental dari Muhammad adalah seruannya kepada humanisme dan
keadilan sosial ekonomi sekuat dan seintens ajakannya kepada tauhid. Ajakannya
kepada kemanusiaan dan keadilan sosial ekonomi inilah, sebenarnya, yang

8 Esha, Rethinking Kalam., 85-86.


9 Ibid., 86.

Kajian Islam dan Teologi Pembebasan | 4


menjadi ancaman serius bagi status quo kaum kapitalis dan aristokrat Mekkah
kala itu.10

“Teologi pembebasan lebih dari sekedar teologi rasional”, demikian


Engineer. Artinya, teologi pembebasan harus tidak menyibukkan diri pada aras
pemikiran murni spekulatif yang ambigu semata, namun mengembangkan
paradigma praksis sosialnya sebagai instrumen kokoh dalam membebaskan umat
manusia dari cengkraman penindasan, memberi motivasi bertindak revolusioner
dalam menghadapi tirani, eksploitasi, dan penganiayaan. Teologi pembebasan
memberikan keyakinan penuh pada rakyat untuk merubah kondisi-kondisi yang
ada agar menjadi lebih baik, ketimbang harus bersifat apatis dan pasif. Tologi
pembebasan lahir dari rahim agama, yang pernah sekali oleh Marx dianggap
candu masyarakat, telah mengubah kesadaran agama menjadi alat perjuangan
yang kuat dan sungguh-sungguh demi sebuah perubahan yang revolusioner.11

Pemikiran keagamaan transformatif adalah pemikiran baru, Meskipun


gagasan dasarnya sudah lama yakni, menghendaki agar kaum Muslim
menciptakan tata sosio moral yang adil dan egaliter, dalam rangka menghilangkan
penyelewengan di atas dunia, fasd fi al-ardl, tetapi cara pelaksanaan gagasan
tersebut jelas berbeda, karena dipertimbangkan aspek sosiologis dan ilmu-ilmu
sosial lainnya.12

Dalam pemikiran keagamaan transformatif, diyakini pertama kali bahwa,


“manusia ditwntukan oleh lingkungannya”. Itulah sebabnya, mengusahakan
tujuan transformatif dan egalitarianisme, dilakukan dengan: “mengubah dunia
untuk mengubah manusia, bukan merubah manusia untuk mengubah dunia.”13

Teologi transformatif (sebagai paradigma radikal)mencoba melihat proses


imperialisme budaya (dalam perilaku, selera, gaya hidup, dan tata nilai
masyarakat) dalam ideologi modernisasi, sekaligus mencari alternatif bagaimana

10 Ibid., 86-87.
11 Ibid., 90-91.
12 Budhy Munawar, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta: Paramadina,
2001), 331.
13 Ibid.

Kajian Islam dan Teologi Pembebasan | 5


masyarakat mampu mengontrol mode of production (hubungan-hubungan
produksi) dan segala bentuk produksi ideologi dan informasi dalam masyarakat,
sehingga masyarakat diharapkan bisa merealisasikan potensi-potensi dirinya-
tujuan spiritualitas itu-secara maksimal, tanpa hambatan struktural.14

Teologi transformatif sebagai bentuk keterlibatan agama di masa depan di


Indonesia, memang masih baru dan sedang mencari bentuk. Tetapi kiranya, inilah
bentuk teologi sosial baru Islam di Indonesia yang sekarang sedang merambah
menghadapi berbagai macam bentuk hegemoni kapitalisme yang terbungkus
dalam ideologi modernisasi.15

Teologi transformatif merupakan bentuk teologi yang berangkat dari


tradisi ilmu sosial kritis. Pada umumnya, kalangan “teolog-teolog” yang bervisi
transformatif ini, diinspirasikan oleh paradigma teori sosial yang dalam bahasa
Kuntowijoyo menganggap struktur sosial sangat menentukan bentuk-bentuk
struktur teknik dan struktur budaya.16.

Obsesi teoologi transformatif adalah ingin menganalisis penyebab


kemiskinan, keterbelakangan, dan kemunduran umat dari sudut pandang
struktural. Selama ini, teologi modernisasi sudah memecahkan problem tersebut
dengan menunjukkan bahwa “ada yang salah” dalam berteologi selama ini. Dalam
bahasa retorikanya, pada dasarnya keterbelakangan dan kemunduran umat
disebabkan oleh sikap fatalistik, dan penyerahan diri kepada nasib, atau karena
etos kerja yang rendah.17

Kritik teologi transformatif adalah: bahwa keterbelakangan bukan


disebabkan faktor-faktor teologis, budaya, atau mentalis, tetapi lebih disebabkan
oleh akibat “ketidakadilan hubungan antara dunia maju dan dunia ketiga, yang
berwatak imperialisme pada tingkat global , dan bentuk-bentuk eksploitasi serta

14 Ibid., 335.
15 Ibid., 336.
16 Ibid.
17 Ibid.

Kajian Islam dan Teologi Pembebasan | 6


hubungan-hubungan yang tidak adil pada tingkat lokal, yang dijalankan melalui
hubungan dan cara produksi yang menghisap.”18

Teologi transformatif tidaklah memisahkan antara teologi dan analisis


sosial, bahkan menyatukan dalam daur dialektis: dari kritik ideologis, ke kritik
tafsir, kemudian mencari tafsir alternatif dan mewujudkan dalam tindakan
praksis sosial sebagai praksis teologis. Dengan demikian, kalangan teologi
transformatif berusaha memanfaatkan, sekaligus mensintesakan berbagai analisis
sosial dan tafsir Kitab Suci atas realitas soaial keagamaan dewasa ini.19

Karena itu, peran teologi transformatif ini dalam proses pembangunan


adalah memberikan “kritik ideologi” atas usaha-usaha dominasi alat-alat produksi,
dominasi teknologi, dan dominasi makna, yang didasari ataukah tidak, telah
menjadi bagian dari strategi pembangunan developmentalisme, yang biasa disebut
dengan “pertumbuhan plus” (growth plus development strategy). Nah, tafsir yang
berupa kritik ideologis inilah yang akan dimasuki dalam analisis yang
dikembangkan oleh kalangan teologi transformatif ini. Dengan begitu, semakin
kuatlah pemikiran teologi yang bervisi transformatif, yang tekanannya bukan lagi
mengusahakan masyaraakat ke arah kemodernan, tetapi lebih mentransformasikan
struktur-struktur sosial kemasyarakatan yang menindas, ke arah struktur sosial
yang lebih fungsional dan humanis, demi perealisasian martabat manusia.20

Golongan Islam transformatif atau yang dilabeli sebagai golongan Islam


kiri ini sering disingkirkan oleh golongan Islam lain, bahkan sering dianggap
“diluar” Islam. Oleh karena itu, kelompok transformatif perlu merekonstruksi
teologi mereka dan mensosialisasikannya pada umat Islam luas. Umat Islam,
terutama kelompok miskin tertindas, di era Globalisasi kapitalisme akan
menghadapi gelombang pemiskinan struktural yang belum pernah mereka alami
sebelumnya. Kalau begitu Golongan muslim miskin itu membutuhkan teologi,
paradigma dan analisis sosial yang memihak pada mereka, itulah teologi bagi

18 Ibid., 336-337.
19 Ibid., 337.
20 Ibid., 339.

Kajian Islam dan Teologi Pembebasan | 7


kaum tertindas, teologi yang membebaskan mereka dari ketertindasan dan
eksploitasi global.21

Islam sejak awal ditargetkan sebagai agama pembebasan, terutama


pembebasan terhadap kaum perempuan. Bisa dibayangkan, bagaimana masyarakat
Arab yang misoginis dan dikenal sering membunuh anak perempuan tiba-tiba
diperintah untuk melakukan pesta syukuran (‘aqiqah) atas kelahiran anak
perempuan, meskipun baru sebatas seekor kambing untuk anak perempuan dan
dua ekor kambing bagi anak laki-laki. Dan lagi, bagaimana suatu masyarakat yang
tidak mengenal konsep ahli waris dan saksi perempuan, tiba-tiba kaum
perempuannya dianugerahi hak waris dan hak persaksian, kendati baru dalam
batas satu berbanding dua untuk anak laki-laki. Dan juga, perempuan yang mati
terbunuh tiba-tiba harus juga mendapatkan bagian dari denda (diyat), meskipun
masih sebatas seperdua dari yang diperoleh laki-laki. Sebut juga misalnya,
bagaimana perempuan yang tadinya dimitoskan sebagai “pelengkap” keinginan
laki-laki (Adam) tiba-tiba diakui setara di depan Allah dan mempunyai hak serta
kewajiban yang sama sebagai penghuni surga (QS. Al-Baqarah (2): 35)

‫ث هشقئتماَ ولَ تهتقرباَ ههذهه‬ ‫ه‬


‫ك اًقلهنِنَجْةه هوتكلُ مقنِتههاَ هرهغدداً هحقي ت ت ه ه هه ه‬ ‫هوقَتتقلهنِاَ هياَ آهدتم اًقستكقن أهنق ه‬
‫ت هوهزقوتج ه‬
‫هه‬ ‫ه‬
‫اًلنَجْشهجهرهة فهتتهتكوُهناَ مهن اًلنَجْظاَلم ه‬
‫ي‬

“Dan Kami berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini,
dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang
kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu
Termasuk orang-orang yang zalim. (QS. Al-Baqarah (2): 35)”22

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi


nilai sebuah kesetaraan, antara laki-laki dan perempuan. Bahkan Islam,

21 Eko Prasetyo, Islam Kiri Melawan Kapitalisme Modal-Dari Wacana Menuju Gerakan
(Yogyakarta: Insist Press, 2002), xviii.
22 Khoirul Faizin, Atas Nama Peradaban: Catatan Reflektif Tentang Islam dan Isu-Isu
Modernitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), 34-35

Kajian Islam dan Teologi Pembebasan | 8


merupakan sebuah agama yang secara khusus hadir untuk “memerdekakan” kaum
perempuan. Persoalan yang kini layak untuk direnungkan dan dijawab oleh
perempuan adalah benarkah perempuan mampu menunjukkan eksistensinya
sebagaimana yang dikonsepsikan oleh Al-Qur’an? Atau, sampai kapan perempuan
masih dengan kesadarannya sengaja menempatkan dirinya sebagai objek dan
bukan subjek atas semua persoalan kemasyarakatan?23

Ciri utama dari Teologi Pembebasan adalah pengakuan terhadap perlunya


memperjuangkan secara serius problem bipolaritas spiritual-materiil kehidupan
manusia dengan penyusunan kembali tatanan sosial sekarang in imenjadi tatanan
yang tidak eksploitatif, adil, dan egaliter. Seperti dijelaskan Roger Garaudy,
agama “sebagai metode pengambilan jarak (detachment) secara kritis dari yang
sudah baku, suatu instrument untuk mencari dan membuat kemungkinan-
kemungkinan baru, telah menjadi apologetik, dan menjadi ideologi justifikasi.”24

Teologi Pembebasan harus mendorong sikap kritis terhadap sesuatu yang


sudah baku dan harus terus berusaha secara konstan untuk menjelajahi
kemungkinan-kemungkinan baru. Kehidupan dengan suatu kekayaan spiritual
tidak bisa hidup dalam “masyarakat satu dimensi” yang menolak usaha apa pun
untuk keluar dan merealisasikan kemungkinan-kemungkinan baru guna
menambah dimensi-dimensi baru. Teologi yang berkembang selama abad
pertengahan tidak bisa melayani kebutuhan masyarakat modern yang sangat
kompleks. Dengan daya dorongnya sendiri, masyarakat industri telah
menimbulkan perubahan-perubahan yang cepat dalam bidang materiil dan juga di
bidang ilmu pengetahuan. Seorang spesialis menulis:

“Sekarang ini ilmu pengetahuan berkembang pesat, jumlah


pengetahuan manusia akan menjadi empat kali lebih besar. Ketika
seseorang meninggalkan universitas, saat itu juga ia seolah baru lahir.

23 Ibid., 38.
24 Asghar Ali Engimeer, Islam dan Pembebasan (Yogyakarta: Lkis, 1987), 112.

Kajian Islam dan Teologi Pembebasan | 9


Ketika ia berumur lima puluh tahun, 97% dari apa yang ia ketahuiakan
ditemukan sepanjang sisa umurnya.”25

Konsep kebebasan adalah unsur dasar Teologi Pembebasan. Kebebasan


untuk memilih dan kebebasan untuk keluar (transendensi diri) menuju kondisi
kehidupan yang lebih baik dan juga untuk menghubungkan dirinya dengan
kondisi yang berubah-ubah secara berarti. Bentuk tidak sepenting tujuan dan
ketentuan akhir, yang berfungsi untuk mencapai yang Mahabesar, yang
sesungguhnya dan yang Mahaagung. Teologi Pembebasan memberikan manusia
kebebasan ini untuk melampaui situasi kekiniannya dalam rangka
mengaktualisasikan potensi-potensi kehidupan yang baru dalam kerangka kerja
sejarah. Sebaliknya, orang semata-mata akan tetap mempertahankan esensi-esensi.
Secara signifikan Tillich menyebutkan:

“Sejarah menggambarkan rangkaian potensi-potensi itu, namun


dengan kualifikasi tertentu: ia menggambarkannya sebagaimana potensi-
potensi itu tampil di bawah kondisi-kondisi keberadaan dan dalam
ambiguitas kehidupan. Tanpa pencerahan potensi-potensi manusia (istilah
yang umum, potensi-potensi kehidupan), laporan-laporan sejarah tidak
akan melaporkan peristiwa-peristiwa yang berarti. Tanpa perwujudan unik
dari potensi-potensi ini, ia tidak akan tampil dalam sejarah. Ia akan tetap
menjadi esensi-esensi yang murni. Meski demikian, keduanya signifikan,
sebab di samping keduanya berada di atas sejarah dan unik, keduanya
sekaligus juga berada dalam sejarah.”26

Semua kelompok teologi pembebasan itu mempunyai cirri khas yang


berupaya menggeser secara radikal ajaran tradisional Gereja Katolik dan
Protestan. Ciri khas tersebut antara lain adalah gugatan terhadap kapitalisme;
penggunaan analisis marxisme, pilihan khusus bagi kaum miskin; pengembangan
basis-basis kelompok; suatu pembacaan baru terhadap Alkitab; dan perlawanan

25 Ibid., 112-113.
26 Ibid., 115-116.

Kajian Islam dan Teologi Pembebasan | 10


terhadap pemberhalaan kepercayaaan keagamaan maupun sosial (Teologi
Pembebasan, 2000).27

Dari semua ciri khas di atas, para teolog pembebasan seperti Gustavo
Gutierrez yang mencetuskan gerakannya pada tahun 1973 dan Pieris pada 1979,
menegaskan bahwa yang menjadi pusat teologi pembebasan bukanlah sekadar isi,
akan tetapi lebih difokuskan pada metode (cara). Teologi pembebasan bukan
merupakan kebijakan dan bukan pula pengetahuan rasional, akan tetapi refleksi
kritis atas praksis yang diterangi oleh iman. Oleh karena itu, metode yang dipakai
haruslah bertolak dari hal praksis, refleksi kritis atasnya yang diterangi Kitab
Suci, dan kemudian berkomitmen untuk praksis.28

Menurut Asghar Ali Engineer, yang dibutuhkan umat Islam bukan sekadar
sebuah teologi transformatif , akan tetapi teologi radikal transformatif yang dia
istilahkan dengan teologi pembebasan Islam (Islam dan Pembebasan, 1993).29

Teologi Islam juga harus terbuka bagi pemikiran sekular, bagi sains-sains
kontemporer: filsafat, sejarah, sosiologi, ekonomi, sekalipun berasal dari
pemikiran materialis dan ateis. Pertama, karena untuk menolak matereialisme dan
ateisme kita harus memahami terlebih dahulu hakekatnya. Selanjutnya, karena
materialisme ateis, sebagaimana yang baru saja kita lihat jauh dari mengeliminasi
segala spiritualitas dan kesemestaaan.30

Ada dua penyebab utama yang memengaruhi pembaruan pemikiran islam


Indonesia, yakni faktor internal umat islam, yakni terjadinya modernisasi dan
sekularisasi pendidikan Islam di kalangan santri, dan sekularisasi kaum santri
dalam orientasi pekerjaan. Akibat dari faktor pertama, berpengaruh pada model-
model pendidikan serta pengajaran di perguruan tinggi Islam khususnya, dan
pendidikan dan pengajaran di perguruan tinggi umum. Di sekolah umum

27 Ahmad Fuad Fanani, Islam Mazhab Kritis: Menggagas Keberagamaan Liberatif (Jakarta: PT
Kompas Media Nusantara, 2004), 55.
28 Ibid.
29 Ibid., 56.
30 Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-
IsuGlobal (Jakarta: Paramadina, 2001), 513.

Kajian Islam dan Teologi Pembebasan | 11


menyebabkan adanya pengajaran Islam, khususnya era 1990-an. Kedua, faktor
eksternal Islam, yakni terjadinya perubahan global akibat perkembangan teknologi
dan informasi. Akibat dari perkembangan teknologi dan informasi menjadikan
batas-batas dunia semakin tipis, hampir seluruh kejadian yang terjadi di belahan
dunia dapat dinikmati dalam jeda waktu yang tidak terlalu lama, bahkan secara
langsung.peristiwa pemboman WTC, perang Irak, Perang Mujahiddin di
Afghanistan, pemberontakan di Moro dan seterusnya dapat dinikmati secara
langsung oleh umat Islam Indonesia. Kapitalisme dunia atau kapitalisme global
berpengaruh secara nyata dalam alam pikir umat Islam.Umat Islam tidak mungkin
lagi untuk menutup diri dalam ruang yang kosong dan hampa. Di situ pula
pemikiran Islam kemudian bersentuhan dengan masalah-masalah riil yang
dihadapi umat Islam secara mondial sekaligus secara lokal/nasional
keindonesiaan.31

Berbagai problema umat Islam Indonesia, dan dalam hal ini umat Islam di
mana saja, ialah kesenjangan yang cukup parah antara ajaran dan kenyataan.
Dahulu Bung Karno menyeru umat Islam untuk “menggali api Islam”, karena
agaknya dia melihat bahwa kaum Muslim saat itu, mungkin sampai sekarang,
hanya mewarisi “”abu dan “arang” yang mati dan statis dari warisan kultural
mereka. Kiranya, kutipan-kutipan panjang tersebut banyak menopang
kepercayaan kaum Muslim tentang Islam, khususnya kaum Muslim dari kalangan
“modernis” dan kaum Muslim yang menghayati secara mendalam “api” Islam.
Tetapi, barangkali yang lebih penting lagi ialah bahwa perspektif semacam itu
dapat dijadikan sebagai titik tolak untuk melihat problema umat Islam di
Indonesia dewasa ini berkenaan dengan sumbangan yang dapat mereka berikan
kepada penumbuhan dinamis nilai keindonesiaan dengan bahan-bahan yang ada
dalam ajaran agama mereka sendiri. Dan yang amat diperlukan oleh umat Islam,
melalui para sarjananya, ialah keberanian untuk menelaah kembali ajaran-ajaran
Islam yang mapan(sebagai hasil interaksi sosial dalam sejarah),dan mengukurnya
kembali, dengan yardstrick, sumber suci Islam sendiri, yaitu Al-Qur’an dan

31 Zuly Qodir, Pembaharuan Pemikiran Islam: Wacana Intelektual Indonesia (Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 2006), 3.

Kajian Islam dan Teologi Pembebasan | 12


Sunnah. Tapi, barangkali hal itu akan berarti tuntutan untuk melakukan
mujahadah, dengan memikirkan kembali makna Islam, umat, syari’at, dan lain-
lain.32

Kalau di daerah perkotaan-urban ide-ide pembaruan tradisi disambut dengan


gegap gempita, fenomena sebaliknya dating dari kantung-kantung NU yang belum
tersentuh dengan perguruan tinggi. Sebuah sketsa kecil tanggapan kaum
Nahdliyin terhadap fenomena liberasi pemikiran diceritakan Ulil Abshar Abdalla
(1999:83-86) dalam bukunya Membakar Rumah Tuhan. Secara jujur Ulil
menceritakan kemarahan seorang kyai pimpinan sebuah pesantren yang
menganggapaktivis muda NU yang tergabung dalam PMII sebagai “maling
kundang”, untuk lebih lengkapnya mari kita cermati temuan Ulil tentang respon
seorang kyai di bawah ini:

Seorang kyai di sebuah pesantren di Wonosobo marah besar, karena anak-


anak NU yang berhimpun dalam PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia), menunjukkan kecenderungan yang kian radikal serta berpikir
liberal. Seluruh mahasiswa yang mondok di pesantrennya dilarang masuk
dalam organisasi itu. Ia menuduh organisasi itu telah “murtad” dari tradisi
NU yang lebih moderat, menekankan harmoni serta bersikap akomodatif.33

Cukup disayangkan bahwa kaum Nahdliyin yang tidak sejalan, atau malah
menentang, gagasan Post-Tradisionalisme Islam belum memiliki saluran ide-ide
secara tertulis baik berupa majalah ataupun surat kabar. Kasus perlawanan seorang
kyai di Wonosobo tersebut, sebagaimana dilukiskan Ulil, sangat mungkin tidak
sendirian. Kyai-kyai yang belum tersentuh angin pembaruan kemungkinan besar
tidak menyetujui gagasan anak-anak muda yang maju tersebut. Namun
ketidaksetujuannya itu tidak disalurkan melalui karya tulis, tetapi dengan cara

32 Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: PT Mizan Pustaka,


2008), 61.
33 Muhammad Ali, Islam Muda: Liberal, Post-Puritan, Post-Tradisional (Yogyakarta: Aperion
Philotes, 2006), 141.

Kajian Islam dan Teologi Pembebasan | 13


mendoktrin para santri di pesantrennya agar tidak berhubungan, apalagi memasuki
PMII ketika di perguruan tinggi.34

Situasi demikian sebenarnya tidak produktif bagi masa depan pemikiran


NU sendiri, sebab alur pemikirannya hanya berjalan satu arah. Proses dialektika
pemikiran diantara pijak-pihak yang berseberangan tidak berjalan, sehingga
sangat sulit mencari solusi atas permasalahan-permasalahan yang berkembang.35

Penutup

Dalam globalisasi yang sangat intens menjelang millennium ketiga, Islam


di Indonesia mengalami berbagai perkembangan yang menarik untuk dicermati.
Sebagian perkembangan itu pada dasarnya merupakan kontinuitas dari tradisi dan
aktualisasi historis yang muncul dalam perjalanan Islam selama berabad-abad di
Indonesia. Sebagian perkembangan lainnya menampilkan perubahan-perubahan
yang cukup signifikan jika tidak dapat disebut “transformasi” dalam perjalanan
Islam di negeri ini, apalagi setelah terjadi “reformasi” yang kemudian disusul
runtuhnya kekuasaan Presiden Soeharto pada Mei 1998.36

“jangan kebablasan berfikir”, menjadi tidak relevan. Kebebasan tidak bisa


diukur kecuali dengan kebebasan orang lain. Karena pada akhirnya nanti
kebebasan tersebut akan dibatasi oleh kebebasan orang lain. Berfikir liberal
(hurriyyah al-tafkir) itu penting, dan merupakan tuntutan al-Qur’an.37

34 Ibid., 141-142.
35 Ibid.
36 Azyumardi Azra, IslamReformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 1999), v.
37 Budhy Munawar, Argumen Islam untuk Liberalisme (Jakarta: PT Grasindo, 2010), 139.

Kajian Islam dan Teologi Pembebasan | 14


DAFTAR PUSTAKA

Ali, Muhammad. Islam Muda: Liberal, Post-Puritan, Post-Tradisionl.


Yogyakarta: Aperion Philotes, 2006.

Azra, Azyumardi. IslamReformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan. Jakarta: PT


RajaGrafindo Persada, 1999.

Engineer, Asghar Ali. Islam dan Pembebasan. Yogyakarta: LkiS, 1987.

Esha, Muhammad In’am. Sejarah Sosial Pengetahuan Islam, Mencermati


Dinamika dan Aras Perkembangan Kalam Islam Kontemporer.
Yogyakarta: eLSAQ Press, 2006.

Faizin, Khoirul. Atas Nama Peradaban: Catatan Reflektif Tentang Islam dan Isu-
Isu Modernitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.

Fanani, Ahmad Fuad. Islam Mazhab Kritis: Menggagas Keberagamaan Liberatif.


Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2004.

Hanafi, Hassan. Agama, Kekerasan, dan Islam Kontemporer. Yogyakarta: Jendela,


2001.

Kurzman, Charles. Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer Tentang


Isu-IsuGlobal. Jakarta: Paramadina, 2001.

Madjid, Nurcholish. Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung: PT Mizan


Pustaka, 2008.

Munawar, Budhy. Argumen Islam untuk Liberalisme. Jakarta: PT Grasindo, 2010.

---------. Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. Jakarta: Paramadina,


2001.

Prasetyo, Eko. Islam Kiri Melawan Kapitalisme Modal-Dari Wacana Menuju


Gerakan. Yogyakarta: Insist Press, 2002.

Qodir, Zuly. Pembaharuan Pemikiran Islam: Wacana Intelektual Indonesia.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.

Shah, M. Aunul Abied. Islam Garda Depan: Mosaik Pemikir Islam Timur Tengah.
Bandung: Mizan, 2001.

Shihab, Alwi. Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama. Bandung:
Mizan, 1999.

Kajian Islam dan Teologi Pembebasan | 15


Kajian Islam dan Teologi Pembebasan | 16

Anda mungkin juga menyukai