Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Darah memegang peranan inti dalam kehidupan manusia. Darah beredar dalam
pembuluh darah membentuk suatu sistem sirkulasi, dengan jantung sebagai
pompanya. Darah mengalir membawa oksigen untuk metabolisme sel dan berbagai
zat lain yang dibutuhkan oleh tubuh. Gangguan pada darah atau sirkulasinya tentu
membawa dampak yang sangat serius bagi tubuh.1
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit
(red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya membawa oksigen dalam
jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carryng capacity). Anemia
hanyalah kumpulan gejala yang disebabkan oleh berbagai penyebab. Pada dasarnya
anemia disebabkan oleh gangguan pembentukaan eritrosit oleh sumsum tulang,
kehilangan darah keluar dari tubuh (perdarahan), dan proses penghancuran eritrosit
dalam tubuh sebelum waktunya.2

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Case ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di bagian IKA
RSUD Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi dan diharapkan agar dapat menambah
pengetahuan penulis serta sebagai bahan informasi bagi para pembaca, khususnya
kalangan medis, tentang Anemia Hemolitik

1.2.2 Tujuan Khusus


Tujuan penulisan dari case ini adalah untuk mengetahui defenisi, etiologi,
patofisiologi, gambaran klinis, diagnosis, dan penatalaksanaan dari Anemia
Hemolitik.

1.3 Metode Penulisan


Case ini dibuat dengan metode tinjauan kepustakaan yang merujuk pada
berbagai literatur.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANEMIA
2.1.1 Definisi Anemia
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit
(red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen
dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity).3

2.1.2 Kriteria Anemia


Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan massa
eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Harga
normal hemoglobin sangat bervariasi secara fisiologik tergantung pada umur, jenis
kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat tinggal.
2.1.3 Etiologi dan Klasifikasi Anemia
Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh bermacam
penyebab. Pada dasarnya anemia disebabkan oleh:
1. Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang
2. Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan)
3. Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya
(hemolisis)
Klasifikasi lain yang untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran
morfologis dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi
ini anemia dibagi menjadi 3 golongan:
a. Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV < 80 fl dan MCH < 27 pg
b. Anemia normokromik normositer, bila MCH 80-95 fl dan MCH 27-34 pg
c. Anemia makrositer, bila MCV > 95 fl.

1. Klasifikasi anemia menurut etiopaatogenesis


a) Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang
i. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
 Anemia defisiensi besi
 Anemia defisiensi asam folat
 Anemia defisiensi vitamin B12
ii. Gangguan penggunaan (utilaasi) besi

2
 Anemia akibat penyakit kroni
 Anemia sideroblastik
iii. Kerusakan sumsum tulang
 Anemia aplastik
 Anemia mieloptisik
 Anemia pada keganasan hematologi
 Anemia diseritropoietik
 Anemia pada sindrom mielodisplati
 Anemia kibat kekurangan eritropoietin: anemia pada gagal ginjal
kronik
b) Anemia akibat hemoragi
i. Anemia pasca perdarahan akut
ii. Anemia akibat perdarahan kronik
c) Anemia hemolitik
i. Anemia hemolitik intrkorpuskular
 Gangguan membran eritrosit
 Gangguan enzim eritrosit (enzimopati) : anemia akibat defisiensi
G6PD
 Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
 Thalasemia
 Hemoglobunopati struktural: HbS, HbE, dll
ii. Anemia hemolitik ekstrakorpuskular
 Anemia hemolitik autoimun
 Anemia hemolitik mikroangiopati
 Lain-lain
d) Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang
kompleks

2. Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi


a) Anemia hipokromik mikrositer
i. Anemia defisiensi besi
ii. Thalasemia mayor
iii. Anemia akibat penyakit kronik
iv. Anemia sideroblastik

3
b) Anemia normokromik normositer
i. Anemia pasca perdarahan akut
ii. Anemia aplastik
iii. Anemia hemolitik didapat
iv. Anemia akibat penyakit kronik
v. Anemia pada gagal ginjal kronik
vi. Anemia pada sindrom mielodisplastik
vii. Anemia pada keganasan hematologik
c) Anemia makrositer
i. Bentuk megaloblasti
 Anemia defisiensi asam folat
 Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
ii. Bentuk non-megaloblastik
 Anemia pada penyakit hati kronik
 Anemia pada hipotiroidisme
 Anemia pada sindrom mirlodisplastik

2.1.4 Patofisiologi dan Gejala Anemia


Gejala umum anemia akan timbul karena:
a. Anoksia organ
b. Mekanisme kompensasi tubuh terhadap berkurangnya daya angkut oksigen
Gejala umum anemia menjjadi jelas (anemia simtomatik) apabila kadar
hemoglobin telah turun dibawah 7 g/dl. Berat ringannya gejala umum anemia
tergantung pada:
a. Derajat penurunan hemoglobin
b. Kecepatan penurunan hemoglobin
c. Usia
d. Adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya.

Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala:


a. Gejala umum anemia
Disebut juga sindrom anemia. Sindrom anemia terdiri daari rasa lemah, lesu
dan cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus), mata berkunangkunang, kaki
terasa dingin, sesak napas dan dispepsia.

4
Pada pemeriksaan pasien tampak pucat, yang mudah dilihat pada
konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan di bawah kuku.

b. Gejala khas masing-masing anemia

i. Anemia defisiensi besi : disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis


dan kuku sendok(koilonychia)
ii. Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologik pada defisiensi
vitamin B12.
iii. Anemia hemolitik : ikterus, splenomegali dan hepatomegali
iv. Anemia aplastik : perdarahan dan tanda-tanda infeksi

c. Gejala penyakit dasar


Gejala akibat infeksi cacing tambang. Sakit perut, pembengkakan parotis dan
warna kuning pada telapak tangan. Pada kasus tertentu sering gejala penyakit
dasar lebih dominan, seperti misalnya pada anemia akibat penyakit kronik oleh
karena artritis reumatoid.
Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting
pada kasus anaemia untuk mengarahkan diagnosis anemia. Tetapi umumnya
diagnosis anemia memerlukan pemeriksaan laboratorium.

2.1.5 Pemeriksaan untuk diagnosis anemia


A. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium merupakan penunjang diagnostic pokok dalam
diagnosis anemia. Pemeriksaan ini terdiri dari 1). Pemeriksaan penyaring
(screening test); 2). Pemeriksaan darah seri anemia; 3). Pemeriksaan sumsum
tulang; 4). Pemeriksaan khusus.
B. Pemeriksaan penyaring
Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari pengukuran kadar
hemoglobin, indeks eritrosit dan hapusan darah tepi .
C. Pemeriksaan Darah Seri Anemia
Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung
retikulosit dan laju endap darah.
D. Pemeriksaan Sumsum Tulang
Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang sangat berharga
mengenai keadaan sistem hematopoesis.

5
E. Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada :
 Anemia defisiensi besi : serum iron,. TIBC (total iron binding capacity),
saturasi transferin, protoporfirin eritrosit, feritin serum, reseptor transferin dan
pengecatan besi pada sumsum tulang (perl’s stain)
 Anemia megaloblastik : folat serum, vitamin B12 serum, tes supresi
deoksiuredin dan tes Schilling
 Anemia hemolitik : bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis hemoglobin
dan lain-lain.
 Anemia aplastik : biopsi sumsum tulang

2.1.6 Pendekatan Diagnosis


Anemia hanyalah suatu sindrom, bukan suatu kesatuan penyakit (disease
entity), yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dasar (underlying disease).
a. Pendekatan Diagnosis Anemia
Terdapat bermacam-macam cara pendekatan diagnosis anemia, antara
lain adalah pendekatan tradisional, pendekatan morfologi, fungsional dan
probalistik, serta pendekatan klinis.
b. Pendekatan Tradisional, Morfologi, Fungsional dan Probabilistik
Pendekatan tradisional adalah pembuatan diagnosis berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, hasil laboratorium, yang setelah dianalisis dan
sintesis maka disimpulkan sebagai sebuah diagnostik, baik diagnostik tentatif
ataupun diagnosis definitif.
Dari aspek morfologi maka anemia berdasarkan hapusan darah tepi atau
indeks eritrosit diklasifikasikan menjadi anemia hipokromik mikrositer,
anemia normokromik normositer dan anemia makrositer. Pendekatan
fungsional berdasarkan pada fenomena apakah anemia disebabkan karena
penurunan produksi eritrosit di sumsum tulang (yang bisa dilihat dari
penurunan angka retikulosit), ataukah akibat kehilangan darah atau
hemolisis, ( yang ditandai oleh peningkatan angka retikulosit)

6
c. Pendekata Probabilistik atau Pendekatan Berdasarkan Pola Etiologi
anemia
Di daerah tropis anemia defisiensi besi merupakan penyebab tersering
disusul oleh anemia akibat penyakit kronik dan thalassemia. Pada perempuan
hamil karena defisiensi folat perlu juga mendapat perhatian .
d. Pendekatan Klinis
Dalam pendekatan klinis yang menjadi perhatian adalah :
a) kecepatan timbulnya penyakit (awitan anemia)
b) Berat ringannya derajat anemia
c) Gejala yang menonjol
e. Pendekatan Berdasarkan awitan penyakit
Anemia yang timbul cepat (dalam beberapa hari sampai minggu)
biasanya disebabkan oleh :
a) Perdarahan akut
b) Anemia hemolitik yang didapat seperti halnya pada IAHA
terjadi penurunan hb>1 g/dl perminggu.

Anemia yang timbul secara lambat biasanya disebabkan oleh :


a) Anemia defisiensi besi
b) Anemia defisiensi folat atau vitamin B12
c) Anemia akibat penyakit kronik
d) Anemia hemolitik kronik yang bersifat kongenital

f. Pendekatan berdasarkan beratnya anemia


a) Anemia berat biasanya disebabkan oleh :
b) Anemia defisiensi besi
c) Anemia aplastik
d) Anemia pada leukemia akut
e) Anemia hemolitik didapat atau congenital seperti misalnya
pada thalassemia mayor
f) Anemia pasca perdarahan akut
g) Anemia pada gagal ginjal kronik stadium terminal

7
g. Pendekatan BerdasarkanSifat Gejala Anemia
Sifat-sifat gejala anemia dapat dipakai untuk membantu diagnosis.
Gejala anemia yang menonjol dibandingkangejala penyakit dasar dijumpai
pada anemia defisiensi besi,anemia aplastik, anemia hemolitik. Sedangkan
pada anemia akibat penyakit kronis dan anemia sekunder lainnya (anemia
akibat penyakit sistemik, penyakit hati atau ginjal), gejala-gejala penyakit
dasar sering lebih menonjol.

h. Pendekatan Daignostik Berdasarkan Tuntunan Hasil Laboratorium


Pendekatan diagnosis dengan cara menggabungkan hasil penilaian klinis
dan laboratorik merupakan cara yang ideal tetapi memerlukan fasilitas dan
keterampilan klinis yang cukup.

2.1.7 Pendekatan Terapi


Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi pada pasien anemia
ialah :
a. Pengobatan hendaknya diberikan berdasarkan diagnosis definitif yang telah
ditegakkan terlebih dahulu
b. Pemberian hematinik tanpa indikasi yang jelas tidak dianjurkan
c. Pengobatan anemia dapat berupa :
i. Terapi untuk keadaan darurat seperti misalnya pada perdarahm akut
akibat anemia aplastik yang mengancam jiwa pasien, atau pada anemia
pasce perdarahan akut yang disertai gangguan hemodinamik
ii. Terapi suportif
iii. Terapi yang khas untuk masing-masing anemia
iv. Terapi kausal untuk mengobati penyakit dasar yang menyebabkan
anemia tersebut.
d. Dalam keadaan diaman diagnosis definitive tidak dapat ditegakkan , kita
terpaksa memberikan terapi percobaan (terapi ex juvantivus)
e. Transfusi diberukan pada anemi pasca perdarahan akut dengan tanda-tanda
gangguan hemodinamik.

8
2.2 ANEMIA HEMOLITIK
2.2.1 Defenisi
Anemia hemolitik didefinisikan sebagai suatu kerusakan sel eritrosit yang lebih
awal. Bila tingkat kerusakan lebih cepat dari kapasitas sumsum tulang untuk
memproduksi sel eritrosit maka akan menimbulkan anemia. Umur eritrosit normal
rata-rata 110-120 hari, setiap hari terjadi kerusakan sel eritrosit 1 % dari jumlah
eritrosit dari jumlah eritrosit yang ada dan diikuti oleh pembentukan oleh sumsum
tulang. Selain terjadi proses hemolisis, umur eritrosit lebih pendek dan diikuti oleh
aktivitas yang meningkat dari sumsum tulang ditandai dengan meningkatnya jumlah
retikulosit tanpa disertai adanya perdarahan yang nyata.4

2.2.2 Epidemiologi
Sferositosis herediter merupakan anemia hemolitik yang sangat berpengaruh di
Eropa Barat, terjadi sekitar 1 dari 5000 individu. Sferositosis mengenai demua jenis
etnis namun pada ras non kaukasian tidak diketahui. Sferositosis herediter paling
sering diturunkan secara dominan autosomal. Pada beberapa kasus, sferositosis
herediter mungkin disebabkan karena mutasi atau anomali sitogenik.5
Di Amerika, prevalensi eliptospirosis kira-kira 3-5 per 10.000. eliptospirosis
paling sering pada orang Afrika dan Amerika. Eliptospirosis sering terjadi pada
daerah dengan endemik malaria. Di Afrika pada area ekuator, eliptospirosis terjadi
sekitar 20,6%. Bentuk lain dari penyakit ini ditemukan pada Asia Tenggara yang
ditemukan sekitar 30% darai populasi. Penyakit ini diturunkan secara dominan
autosomal.6
Defisiensi G6PD dilaporkan di seluruh dunia. Frekuensi tertinggi terjadi pada
daerah tropis dan subtropis. Telah dilaporkan lebih dari 350 varian. Ada banyak
variasi pada expresi klinis pada varian enzim.7
Talasemia merupakan sindroma kelainan darah herediter yang paling sering
terjadi di dunia, sanagt umum terjadi di sepanjang sabuk talasemia yang sebagian
besar wilayahnya merupakan endemis malaria. Gen talasemia sangat luas tersebar dan
kelainan ini diyakini merupakan penyakit genetik manusia yang paling prevalen. Di
beberapa Asia Tenggara sebanyak 40% dari populasi memiliki satu atau lebih gen
talasemia. Daerah geografi dimana talasemia merupakan prevalen yang sangat paralel
dengan Plasmodium falciparum dulunya merupakan endemik.8

9
Insiden anemia hemolitik autoimun kira-kira 1 dari 80.000 populasi. Pada
perempuan predominan terjadi tipe idiopatik. Tipe sekunder terjadi peningkatan pada
umur 45 tahun dimana variasi idiopatik terjadi sepanjang hidup. 7,9
Kelainan hemolitik yang terpenting dalam praktek pediatrik adalah eritroblastosis
fetalis pada bayi baru lahir yang disebabkan oleh trnsfer transplasenta antibodi ibu
yang aktif terhadap eritrosit janin, yaitu anemia hemolitik isoimun. Eritroblastosis
fetalis disebut Hemolitik Disease of the Newborn (HDN).10

2.2.3 Etiologi dan Klasifikasi


Anemia hemolitik di dalam klinik dibagi menurut faktor penyebabnya :
 Anemia hemolitik defek imun :
- Anemia hemolitik “warm antibody”
- Anemia hemolitik “cold antibody”
 Anemia hemolitik defek membrane :
- Sferositosis heriditer
- Eliptositosis heriditer
- Stomatosis heriditer
- Paroksismal nocturnal hemoglobinuria

Penyakit anemia hemolitik dapat dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu:


1. Golongan dengan penyebab hemolisis yang terdapat dalam eritrosit sendiri.
Umumnya peneyebab hemiolisis ini adalah kelainan bawaan (kongenital).
2. Golongan dengan penyebab hemolisis ekstraseluler. Biasanya penyebabnya
merupakan faktor yang di dapat (acquired).4

Gangguan intrakorpuskular (kongenital)


Kelainan ini umumnya disebabkan karena adanya gangguan metabolisme
dalam eritrosit itu sendiri. Keadaan ini dapat digolongkan menjadi 3, yaitu:
1. Gangguan pada struktur dinding eritrosit
Gangguan pada struktur didnding eritrosit terbagi menjadi:
a. Sferositosis
Kelainan kongenital ini sering terjadi pada orang Eropa Barat. Pada
penyakit ini umur eritrosit lebih pendek, kecil, bundar dan resistensinya

10
terhadap NaCl hipotonis menjadi rendah. Limpa membesar dan sering terjadi
ikterus.jumlah retikulosit menjadi meningkat. Hemolisis diduga disebabkan
karena kelainan membran eritrosit. Pada anak gejala anemia lebih menyolok
dibanding ikterus. Kelainan radiologis ditemukan pada anak yang telah lama
menderita penyakit ini. 40-80% penderita sferositosis ditemukan kolelitiasis.
b. Ovalositosis (eliptositosis)
Pada penyakit ini 50-90% eritrositnya berbentuk oval. Penyakit ini
diturunkan secara dominan menurut hukum Mendel. Hemolisis tidak seberat
sferositosis. Splenektomi biasanya dapat mengurangi hemolisis.
c. A-beta lipoproteinemia
Pada penyakit ini terjadi kelainan bentuk eritrosit. Diduga kelainan
bentuk ini disebabkan oleh kelainan komposisi lemak pada dinding sel.
d. Gangguan pembentukan nukleotida
Kelainan ini menyebabkan dinding eritrosit mudah pecah, misalnya pada
panmielopatia tipe fanconi.

2. Gangguan enzim yang mengakibatkan kelainan metabolisme dalam


eritrosit.
Setiap gangguan metabolisme dalam eritrosit akan menyebabkan umur
erotrosit menjadi pendek dan timbul anemia hemolitik.
a. Defisiensi glucose-6-Phosphate-Dehydrogenase (G-6PD)
Defisiensi G-6PD ditemukan pada berbagai bangsa di dunia. Kekurangan
enzim ini menyebabkan glutation tidak tereduksi. Glutation dalam keadaan
tereduksi diduga penting untuk melindungi eritrosit dari setiap oksidasi,
terutama obat-obatan. Penyakit ini diturunkan secara dominan melalui
kromosom X. Proses hemolitik dapat timbul akibat atau pada:
- Obat-obatan. (asetosal, piramidon, sulfa, obat anti malaria, dll)
- Memakan kacang babi
- Bayi baru lahir.
b. Defisiensi glutation reduktase
Kadang disertai trombopenia dan leukopenia.
c. Defisiensi glutation
Penyakit ini diturunkan secara resesif dan jarang ditemukan.
d. Defisiensi piruvat kinase

11
Pada bentuk homozigot terjadi lebih berat. Khasnya terjadi peninggian
kadar 2,3 difosfogliserat.
e. Defisiensi Triose Phosphate Isomerase
Gejala mirip dengan sferositosis, tetapi tidak terdapat fragilitas osmotik
dan hasil darah tepi tidak ditemukan sferositosis. Pada keadaan homozigot
terjadi lebih berat dan bayi akan meninggal di tahun pertama kehidupannya.
f. Defisiensi Difosfogliserat Mutase
g. Defisiensi heksokinase
h. Defisiensi gliseraldehid-3-fosfat dehidrogenase

3. Hemoglobinopatia
Hemoglobin orang dewasa normal terdiri dari HbA yang merupakan 98%
dari seluruh hemoglobinnya. HbA2 yang tidak lebih dari 2% dan HbF yang tidak
lebih dari 3%. Pada bayi baru lahir HbF merupakan bagian terbesar dari
hemoglobinnya (95%), kemudianntrasi HbF akan menurun, sehingga pada umur 1
tahun telah mencapai keadaan normal. Terdapat 2 golongan besar gangguan
pembentukan hemoglobin yaitu:
a. Gangguan struktural pembentukan hemoglobin (hemoglibin abnormal)
misalnya HbS, HbE dan lain-lain.
Kelainan hemoglobin ini ditentukan oleh adanya kelainan genetik yang
dapat mengenai HbA, HbA2 atau HbF. Pada penyakit ini terjadi pergantian
asam amino dalam rantai polipeptida pada tempat-tempat tertentu atau tidak
adanya asam amino atau beberapa asam amino pada tempat-tempat tersebut.
Kelainan yang paling sering terjadi pada rantai β dan δ.
b. Gangguan jumlah (salah satu atau beberapa rantai globin misalnya
talasemia.
Talasemia merupakan penyakit anemia hemolitik yang herediter yang
diturunkan secara resesif . Di Indonesia, talasemia merupakan penyakit
terbanyak di antara golongan anemia hemolitik dengan penyebab
intrekorpuskuler.
Secara klinis talasemia dibagi menjadi 2 golongan yaitu talasemia mayor
(homozigot) yang memberikan gejala klinis yang khas dan talasemia minor
yang biasanya tidak memberi gejala.

12
Gangguan ekstrakorpuskuler (acquired)
Gangguan ini biasanya didapat yang dapat disebabkan oleh:
1. Obat-obatan, racun ular, jamur, bahan kimia (bensin, saponin,air), toksin
(hemolisin) Streptococcus, virus, malaria, luka bakar.
2. Hipersplenisme. Pembesaran limpa apapun sebabnya dapat menyebabkan
penghancuran erotrosit.
3. Anemia oleh karena terjadinya penghancuran eritrosit akibat terjadinya
reaksi antigen-antibodi seperti:
a. Antagonisme ABO atau inkompatibilitas golongan darah lain seperti
Rhesus dan MN
b. Alergen atau hapten yang berasal dari luar tubuh, tapi dalam tubuh
melekat pada permukaan eritrosityang merangsang pembuatan anti yang
kemudian menimbulkan reaksi antigen-antibodi yang menyebabkan hemolisis.
c. Hemolisis akibat proses autoimun.4

2.2.4 Etiopatogenesis
Proses hematopoesis pada embrio janin terjadi diberbagai tempat, termasuk hati,
limpa,timus,kelenjar getah bening, dan sumsum tulang. Sejak lahir sepanjang sisa
hidupnya terutama di sumsum dan sebagian kecil di kelenjar getah bening.11
Dalam keadaan normal, sel-sel darah merah yang sudah tua difagositosis oleh sel-
sel retikuloendotelial, dan hemoglobin diuraikan menjadi komponen-komponen
esensialnya. Besi yang didapat dikembalikan ke transferin untuk pembentukan sel
darah merah baru dan asam-asam amino dari bagian globin molekul dikembalikan ke
kompartemen asam amino umum. Cincin protoporfirin pada heme diuraikan di
jembatan alfa metana dan karbon alfanya dikeluarkan sebagai karbon monoksida
melalui ekspirasi. Tetrapirol yang tersisa meninggalkan sel retikuloendotelial sebagai
bilirubin indirek dan menjadi hati, tempat zat ini terkonjugasi untuk ekskresi di
empedu. Dui usus, biliruin glukoronida diubah menjadi urobilinogen untuk eksresi di
tinja dan urin.2,4
Hemolisis dapat terjadi intravaskuler dan ekstravaskuler. Pada hemolisis
intravaskuler, destruksi eritrosit terjadi langsung di sirkulasi darah. Sel-sel darah
merah juga dapat mengalami hemolisis intravaskuler disertai pembebasan hemoglobin
dalam sirkulasi. Tetramer hemoglobin bebas tidak stabil dan cepat terurai menjadi
dimer alfa-beta, yang berikatan dengan haptoglobulin dan disingkarkan oleh hati.
13
Hemoglobin juga dapat teroksidasi menjadi methemoglobin dan terurai menjadi
gugus globin dan heme. Sampai pada tahap tertentu, heme bebas dapat terikat oleh
hemopeksin dan atau albumin untuk selanjutnya dibersihkan oleh hepatosit. Kedua
jalur ini membantu tubuh menghemat besi untuk menunjang hematopoiesis. Apabila
haptoglobin telah habis dipakai, maka dimer hemoglobinyang tidak terikat akan di
eksresikan oleh ginjal sebagai hemoglobin bebas, methemoglobin, atau
hemosiderin.2,11
Hemolisis yang lebih sering adalah hemolisis ekstravaskuler. Pada hemolisis
ekstravaskuler destruksi sel eritrosit dilakukan oleh sistem retikuloendotelial karena
sel eritrosit yang telah mengalami perubahan membran tidak dapat melintasi sistem
retikuloendotelial sehingga difagositosis dan dihancurkan oleh makrofag.2
Sejumlah bahan dan kelainan dengan kemampuan dapat merusak eritrosit yang
dapat menyebabkan destruksi prematur eritrosit. Di antara yang paling jelas telah di
pastikan adalah antibodi yang berikatan dengan anemia hemolitik. Ciri khas penyakit
ini adalah dengan uji Coombs direk positif, yang menunjukkan imunoglobulin atau
komponen komplemen yang menyelubungi permukaan eritrosit. Kelainan hemolitik
yang terpenting dalam praktek pediatrik adalah penyakit hemolitik bayi baru
lahir( eritroblastosis fetalis) atau HDN yang disebabkan oleh transfer transplasenta
antibodi ibu yang aktif terhadap eritrosit janin, yaitu anemia hemolitik isoimun.2
Pada Hemolytic Disease of the Newborn (HDN) sering terjadi ketika ibu dengan
Rh(-) mempunyai anak dari seorang pria yang memiliki Rh(+). Ketika Rh bayi (+)
seperti ayahnya, masalah dapat terjadi jika sel darah merah si bayi dengan Rh(+)
sebagai benda asing. Sistem imun ibu kemudian menyimpan antibodi tersebutketika
benda asing itu muncul kembali, bahkan pada saat kehamilan berikutnya. Sekarang
Rh ibu terpapar.10
Pada anemia hemolitik autoimun, antibodi abnormal ditujukan kepada eritrosit,
tetapi mekanisme patogenesisnya belum jelas. Autoantibodi mungkin dihasilkan oleh
respon imun yang tidak serasi terhadap antigen eritrosit. Atau, agen infeksi dapat
dengan sesuatu cara mengubah membran eritrosit sehingga menjadi “asing” atau
antigenik terhadap hospes.2

2.2.5 Diagnosis
Semua jenis anemia hemolitik ditandai dengan:
1. Peningkatan laju destruksi sel darah merah
14
2. Peningkatan kompensatorik eritropoiesis yang menyebabkan retikulositosis
3. Retensi produk destruksi sel darah merah oleh tubuh termasuk zat besi.
Karena zat besi dihemat dan mudah di daur ulang, regenerasi sel darah merah
dapat mengimbangi hemolisis. Oleh karena itu, anemia ini hampir selalu berkaitan
dengan hiperplasia aritroid mencolok di dalam sumsum tulang dan meningkatnya
hitung retikulosit di darah tepi. Apabila anemia berat dapat terjadi hematopoiesis
ekstramedularis di limpa, hati, dan kelenjar getah bening. Apapun mekanismenya,
hemolisis intravaskuler bermanifestasi sebagai hemoglobinemia, hemoglobinuria,
jaundice dan hemosiderinuria. 1,11

Gejala umum penyakit ini disebabkan oleh adanya penghancuran eritrosit dan
keaktifan sumsum tulang untuk mengadakan kompensasi terhadap penghancuran
tersebut. Bergantung pada fungsi hepar, akibat pengancuran eritrosit berlebihan itu
dapat menyebabkan peninggian kdar bilirubin atau tidak. Sumsum tulang dapt
membentuk 6-8 kali lebih banyak eritropoietik daripada biasa, sehingga dalam darah
tepi dijumpai banyak sekali eritrosit berinti, jumlah retikulosit meninggi, polikromasi.
Bahkan sering terjadi eritropoiesis ekstrameduler. Kekurangan bahan sebagai
pembentuk seperti vitamin, protein dan lain-lain atau adanya infeksi dapat
menyebabkan gangguan pada keseimbangan antara penghancuran dan pembentukan
sistem eritropoietik, sehingga keadaan ini dapat menimbulkan krisis aplastik.4

Limpa umumnya membesar karena organ ini menjadi tempat penyimpanan


eritrosit yang dihancurkan dan tempat pembuatan sel darah ekstrameduler. Pada
anemia hemolitik yang kronis terdapat kelainan tulang rangka akibat hiperplasia
sumsum tulang.4

2.2.6 Manifestasi Klinis


Salah satu dari tanda yang paling sering di kaitkan dengan anemia adalah pucat.
Keadaan ini umumnya diakibatkan karena berkurangnya volume darah, berkurangnya
hemoglobin dan vasokonstriksi untuk memaksimalkan pengiriman O2 ke organ-organ
vital. Dispneu, nafas pendek dan cepat lelah waktu melakukan aktifitas jasmani
merupakan manifestasi berkurangnya pengirirman O2. Sakit kepala, pusing, pingsan
dan tinitus (telinga berdengung) dapat mencerminkan berkurangnya oksigenasi pada
sistem saraf pusat.6

15
Pemeriksaan fisik:
- Tampak pucat dan ikterus
- Tidak ditemukan perdarahan dan limfadenopati
- Dapat ditemukan hepatosplenomegali.1

Pemeriksaan penunjang:

Hemoglobin, hematokrit, indeks eritrosit, DDR, hapusan darah tepi, analisa


Hb, Coombs test, tesfragilitas osmotik, urin rutin, feses rutin, pemeriksaan enzim-
enzim.1

Orang dengan anemia hemolitik yang ringan mungkin tidak membutuhkan


pengobatan khusus selama kondisinya tidak jelek. Seseorang dengan anemia
hemolitik berat biasanya membutuhkan pengobatan berkelanjutan. Anemia
hemolitik yang berat dapat menjadi fatal jika tidak diobati dengan tepat.

Tujuan pengobatan anemia hemolitik meliputi:


· Menurunkan atau menghentikan penghancuran sel darah merah.
· Meningkatkan jumlah sel darah merah
· Mengobati penyebab yang mendasari penyakit.

Pengobatan tergantung pada tipe, penyebab dan beratnya anemia hemolitik.


Dokter mungkin mempertimbangkan umur, kondisi kesehatan dan riwayat
kesehatan.

a. Transfusi darah
Transfusi darah digunakan untuk mengobati anemia hemolitik berat.
b. Obat-obatan
Obat-obatan dapat memperbaiki beberapa tipe anemia hemolitik, khususnya
anemia hemolitik karena autoimun. Kortikosteroid seperti prednison dapat menekan
sistem imun atau membatasi kemampuannya untuk membentuk antibodi terhadap sel
darah merah.
Jika tidak berespon terhadap kortikosteroid, maka dapat diganti dengan obat lain
yang dapat menekan sistem imun misalnya rituximab dan siklosporin.
Jika ter jadi anemia sel sabit yang berat maka diberikan hydroxiurea. Obat ini
mempercepat pembentukan fetal hemoglobin. Fetal hemoglobin membantu mencegah
pembentukan sel sabit pada sel darah merah.

16
c. Plasmapheresis
Plasmapheresis merupakan prosedur untuk menghilangkan antibodi dari darah.
Pengobatan ini mungkin membantu jika pengobatan lain untuk anemia imun tidak
bekerja.
d. Operasi
Beberapa oarang dengan anemia hemolitik mungkin memerlukan operasi untuk
mengangkat limpa.limpa pada orang normal yang sehat membantu melawan infeksi
dan menyaring sel darah yang telah tua dan menghancurkannya. Pembesaaran atau
penyakit pada limpa dapat menghilangkan lebih banyak sel darah merah dari jumlah
yang normal sehingga menyebabkan anemia. Pengankatan limpa dapat menghentikan
atau menurunkan jumlah sel darah merah yang mengalami destruksi.
e. Transpalantasi stem sel darah dan sumsum tulang belakang
Pada beberapa tipe anemia hemolitik seperti talasemia, sumsum tulang tidak
dapat membentuk sel darah merah yang sehat. Sel darah merah yang terbentuk dapat
dihancurkan sebelum waktunya. Transplantasi darah dan sumsum tulang mungkin
dapat dipertimbangkan untuk mengobati jenis anemia hemolitik ini.transplantasi ini
mengganti stem sel yang rusak dengan stem sel yang sehat dari donor.
F. Perubahan pola hidup
Jika seseorang menderita anemia hemolitik dengan antibodi reaktif terhadap
dingin, coba untuk hindari temperatur dingin. Seseorang yang lahir dengan defisiensi
G6PD harus menghindari hal yang dapat mencetuskan anemia misalnya fava beans,
naftalena, dan obat-obatan tertentu.1

17
BAB III
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama/Inisial : An. H
Jenis Kelamin : Perempuan
Tgl Lahir/Umur : 19-10-2012/ 6 tahun 0 bulan
Alamat : Payakumbuh
Tanggal Masuk : 25 Oktober 2018
Tanggal Periksa : 26 Oktober 2018

2. Anamnesis (Alloanamnesis)
Keluhan Utama
Pucat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit

Riwayat Penyakit Sekarang


o Cepat lelah sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit
o Pucat sejak 1 hari yang lalu, terlihat pada wajah, bibir, telapak tangan dan
telapak kaki
o Nafsu makan baik
o Batuk tidak ada
o Demam tidak ada
o Perdarahan hidung, gusi dan saluran cerna tidak ada
o Kebiruan pada kulit tidak ada
o Mual muntah tidak ada
o Sesak napas tidak ada,
o Kejang tidak ada.
o BAK warna dan frekuensi normal.
o BAB warna dan konsistensi normal.

Riwayat Penyakit Dahulu


o Pasien telah dikenal menderita thalassemia sejak usia 9 bulan

Riwayat Penyakit Keluarga


o Tidak ada keluarga yang mempunyai riwayat anemia
18
Riwayat Persalinan
Lama Hamil : 38-39 minggu
Cara Lahir : Sectio caesaria
Indikasi : Bekas SC 1x
Kondisi saat Lahir : Langsung Menangis
Berat Lahir : 3300 gram
Panjang Lahir : 49 cm
Ditolong Oleh : Dokter
Kesan : Riwayat kehamilan dan persalinan normal

Riwayat Makanan dan Minuman


* Bayi :
ASI : 0 – 12 bulan
Bubur susu : 6 bulan
Nasi tim : 9 bulan
Susu Formula : 7 bulan - 2 tahun
* Anak :
Makanan utama : nasi 3x/hari, menghabiskan 1 porsi
Daging : 2x/minggu
Ikan : 3x/minggu
Telur : 4x/minggu
Sayur : 3x/minggu
Buah : 2x/minggu
Kesan : Kualitas dan kuantitas makanan cukup

Riwayat Imunisasi
Imunisasi Umur
BCG -
Hep B -
-
-
Polio -

19
-
-
Hib -
-
-
DPT -
-
-
Campak -

Kesan : Imunisasi Dasar tidak diberikan

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan


Pertumbuhan dan Perkembangan Umur

Ketawa 4 bulan
Miring 3 bulan
Tengkurap 4 bulan
Duduk 6 bulan
Merangkak 6 bulan
Berdiri 7 bulan
Berjalan 12 bulan
Berlari 16 bulan
Gigi pertama 8 bulan
Bicara 12 bulan

Kesan : Pertumbuhan dan Perkembangan sesuai usia

Riwayat Keluarga
Nama : - Ayah : Hari Wibowo
- Ibu : Teti
Umur : - Ayah : 47 tahun
- Ibu : 48 tahun

20
Pekerjaan : - Ayah : Wiraswasta
- Ibu : Wiraswasta
Pendidikan : - Ayah : S1
- Ibu : SMA
Saudara kandung :
1. Perempuan, 16 tahun, sehat
2. Laki-laki, 13 tahun, sehat
3. Laki-laki, 10 tahun, sehat
4. Perempuan, 8 tahun, sehat
5. Perempuan, 6 tahun, sakit

Riwayat Perumahan & Lingkungan


Rumah/tempat tinggal : Rumah permanen
Sumber Air Minum : Air sumur
Buang Air Besar : WC di dalam rumah
Pekarangan : Pekarangan bersih
Sampah : Dibuang
Kesan : Higiene dan Sanitasi cukup baik

3. Pemeriksaan Fisik
 Keadaan Umum : Sakit Sedang
 Kesadaran : Compos Mentis Cooperative
 Tekanan Darah : 90/50 mmHg
 Nadi : 87 x/ menit
 Pernafasan : 23 x / menit
 Suhu : 36,60 C
 Edema : Tidak ada
 Ikterus : Tidak ada
 Anemia : Ada
 Sianosis : Tidak ada
 Berat Badan : 21 kg
 Tinggi Badan : 111 cm
 BB/U : 105 %

21
 TB/U : 96,5 %
 BB/TB : 110 % Kesan : Gizi baik

Status Generalisata :
 Kepala : Normocephal
 Rambut : Hitam, tidak mudah rontok
 Mata : Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik
 Telinga : Sekret tidak ada
 Hidung : Sekret tidak ada, septum deviasi tidak ada
 Tenggorokan : Tonsil ukuran T1-T1 tidak hiperemis
 Mulut : Bibir tampak pucat
 Leher : Tidak ada pembesaran KGB dan kelenjar tiroid
Thorax
 Paru
Inspeksi : Normochest, simetris kiri dan kanan dalam keadaan statis dan
dinamis
Palpasi : Fremitus taktil kiri dan kanan sama
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikular, ronki tidak ada, wheezing tidak ada
 Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba 1 jari lateral linea midclavicularis sinistra RIC V
Perkusi : Batas atas : RIC II linea sternalis sinistra
Batas kanan : linea sternalis dextra
Batas kiri : 1 jari lateral linea midlavicularis sinistra RIC IV
Auskultasi : Irama reguler, murmur tidak ada, gallop tidak ada
 Abdomen
Inspeksi : Distensi tidak ada
Palpasi : Hepar teraba ukuran 1/2, 1/3 tepi tajam,konsistensi kenyal,
permukaan rata, dan tidak terdapat nyeri tekan. Lien teraba
Schuffer 3, tepi tajam,konsistensi kenyal, permukaan
rata, dan tidak terdapat nyeri tekan.
Nyeri Tekan , Nyeri lepas tidak ada

22
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Genitalia : Tidak ada kelainan
 Ekstremitas : Atas : Akral hangat, CRT < 2 detik
Bawah : Akral hangat, CRT < 2 detik
 Refleks Fisiologis :
Reflek biceps : Ada
Reflek triceps : Ada
Reflek patella : Ada
Reflek achiless : Ada

 Reflek patologis :
Babinsky : Tidak Ada
Chadok : Tidak Ada
Openheim : Tidak Ada
Gordon : Tidak Ada
Scuffer : Tidak Ada
4. Laboratorium Sederhana
Hb : 7,2 g/dL
Hematokrit : 23,6 %
Eritrosit : 3.160.000/uL
MCV : 70,6 fL
MCH : 24,4 pg
Leukosit : 4.860 / mm3
Trombosit : 117.000/ mm3
Basofil :0%
Eosinofil : 0%
Neutrofil Batang : 5 %
Neutrofil Segmen : 50 %
Limfosit : 44 %
Monosit :1%
LED : 37 mm/jam
Urine : Warna urin kuning

23
5. Diagnosis Kerja :
Thalasemia
6. Diagnosis Banding :
Anemia Defisiensi Besi
Anemia Siderosblastik

7. Pemeriksaan Anjuran:
- Hapusan darah tepi
- Tes coombs
- Analisa Hb

8. Penatalaksanaan
- IVFD RL 20 tpm
- Rencana transfusi PRC/ WE 2 x 200 cc
- Lasix 20 mg (diantara transfusi)

9. Prognosis
Quo ad Vitam : Dubia ad Bonam
Quo ad Sanationam : Dubia ad Bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad Bonam

Follow Up
Hari/tanggal Perkembangan Terapi

Jumat / 26 S/- Pucat (+) P/ -IVFD RL20 tpm


Oktober 2018
- Demam (-)

- Sesak nafas (-)

-Nafsu makan baik

- Mual muntah (-)

- BAB BAK normal

24
O/ KU KES TD N P T BB

Sedang CMC 90/50 85 22 36,5 21,5kg

Kepala : rambut hitam tidak mudah rontok

Mata : konjungtiva anemis (+/+) sclera ikterik (-/-)

Hidung : Sekret tidak ada, septum deviasi


tidak ada

Thorax
Paru
Inspeksi : Normochest, simetris kiri dan
kanan dalam keadaan statis dan
dinamis
Palpasi : Fremitus taktil kiri dan kanan sama
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikular, ronki tidak ada,
wheezing tidak ada
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba 1 jari lateral linea
midclavicularis sinistra RIC V
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Irama reguler, murmur tidak
ada, gallop tidak ada
Abdomen
Inspeksi : Distensi tidak ada
Palpasi : Hepar teraba ukuran 1/2, 1/3
Lien teraba Schuffer 3,
Nyeri Tekan , Nyeri lepas tidak ada
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat, CRT<2’’

A/ Thalasemia

25
BAB IV
DISKUSI KASUS

Telah dirawat seorang anak laki-laki berumur 5 tahun 3 bulan yang dirawat di
bangsal anak RS Dr. Achmad Mochtar Bukittinngi dengan diagnosis kerja Anemia
Hemolitik ec Susp. Thalasemia. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan laboratorium sederhana.

Berdasarkan anamnesis didapatkan keluhan utama pucat sejak 1 minggu sebelum


masuk rumah sakit, yang dapat dipikirkan yaitu penyakit anemia, thalasemia,
idiopatik trombositopenia, penyakit keganasan yang menyerang sumsum tulang
belakang, karena beberapa penyakit ini menunjukkan gejala pucat. Riwayat penyakit
sekarang pasien merasakan letih sejak 2 minggu SMRS. Pucat mulai terlihat sejak 1
minggu yang lalu. Nafsu makan menurun sejak 1 minggu yang lalu. Batuk sejak 3
hari yang lalu, batuk berdahak. Demam sejak 1 hari yang lalu, demam timbul
mendadak, tidak naik turun, tidak disertai menggigil. Mual muntah tidak ada. BAK
warna dan frekuensi normal. BAB warna dan konsistensi normal. Sesak nafas tidak
ada, jantung berdebar dan kejang tidak ada. Dari keluhan diatas menunjukkan gejala
dari anemia. Pasien sudah dikenal anemia sejak 7 bulan yang lalu dan sudah
mendapatkan transfusi sebanyak dua kali dan terakhir transfusi 3 bulan yang lalu.

Dari riwayat penyakit keluarga didapatkan ada riwayat anemia dari keluarga
ayah, yaitu kakak ayah pasien. Pada keluarga tidak ada menderita penyakit keganasan,
hal ini dapat menyingkirkan pucat pasien karena penyakit pada sumsum tulang.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan dalam batas normal pada pemeriksaan umum.
Pada pemeriksaan lokalis, mata didapatkan konjungtiva anemis kiri dan kanan dan
pemeriksaan abdomen didapatkan hepar teraba 1/2-1/4 dan lien teraba Scuffner 2.
berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan tanda anemia yaitu konjungtiva anemis dan
disertai pembesaran organ berupa hepar dan lien yang merujuk kepada anemia
hemolitik. Organ membesar sebagai bentuk respon untuk pembentukan sel-sel darah

26
baru sebagai pengganti sel-sel darah yang telah rusak/hancur. Limpa umumnya
membesar karena organ ini menjadi tempat penyimpanan eritrosit yang dihancurkan
dan tempat pembuatan sel darah ekstrameduler

Pemeriksaan laboratorium, Hb 7,7 g/dl, dengan kesan anemia sedang. Leukosit


23.000/ul dan LED 37 mm/jam. Dari hasil analisa HB yang telah dilakukan di prodia
dan hasilnya tidak sesuai dengan pembawa sifat thalasemia beta. Jadi anemia karena
thalasemia beta bisa disingkirkan.
Pasien diberikan terapi transfusi darah PRC 2 x 150 cc, karena pada saat akan
melakukan transfusi pasien demam, maka diberikan paracetamol tab 3 x 150 mg PO.
Dan diberikan lasix injeksi 15 mg saat transfusi. Pasien dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan darah tepi untuk mengetahui proses hemolitik berupa sferositosis,
polikromasi maupun poikilositosis, sel eritrosit berinti, retikulositopeni pada awal
anemia. Tes Coombs juga diperlukan untuk pemeriksaan Direct Antiglobulin Test
(DAT) yang apabila positif menunjukan adanya antibodi permukaan atau komplemen
permukaan sel eritrosit.

27
28
29
30

Anda mungkin juga menyukai