PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Case ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di bagian IKA
RSUD Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi dan diharapkan agar dapat menambah
pengetahuan penulis serta sebagai bahan informasi bagi para pembaca, khususnya
kalangan medis, tentang Anemia Hemolitik
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANEMIA
2.1.1 Definisi Anemia
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit
(red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen
dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity).3
2
Anemia akibat penyakit kroni
Anemia sideroblastik
iii. Kerusakan sumsum tulang
Anemia aplastik
Anemia mieloptisik
Anemia pada keganasan hematologi
Anemia diseritropoietik
Anemia pada sindrom mielodisplati
Anemia kibat kekurangan eritropoietin: anemia pada gagal ginjal
kronik
b) Anemia akibat hemoragi
i. Anemia pasca perdarahan akut
ii. Anemia akibat perdarahan kronik
c) Anemia hemolitik
i. Anemia hemolitik intrkorpuskular
Gangguan membran eritrosit
Gangguan enzim eritrosit (enzimopati) : anemia akibat defisiensi
G6PD
Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
Thalasemia
Hemoglobunopati struktural: HbS, HbE, dll
ii. Anemia hemolitik ekstrakorpuskular
Anemia hemolitik autoimun
Anemia hemolitik mikroangiopati
Lain-lain
d) Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang
kompleks
3
b) Anemia normokromik normositer
i. Anemia pasca perdarahan akut
ii. Anemia aplastik
iii. Anemia hemolitik didapat
iv. Anemia akibat penyakit kronik
v. Anemia pada gagal ginjal kronik
vi. Anemia pada sindrom mielodisplastik
vii. Anemia pada keganasan hematologik
c) Anemia makrositer
i. Bentuk megaloblasti
Anemia defisiensi asam folat
Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
ii. Bentuk non-megaloblastik
Anemia pada penyakit hati kronik
Anemia pada hipotiroidisme
Anemia pada sindrom mirlodisplastik
4
Pada pemeriksaan pasien tampak pucat, yang mudah dilihat pada
konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan di bawah kuku.
5
E. Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada :
Anemia defisiensi besi : serum iron,. TIBC (total iron binding capacity),
saturasi transferin, protoporfirin eritrosit, feritin serum, reseptor transferin dan
pengecatan besi pada sumsum tulang (perl’s stain)
Anemia megaloblastik : folat serum, vitamin B12 serum, tes supresi
deoksiuredin dan tes Schilling
Anemia hemolitik : bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis hemoglobin
dan lain-lain.
Anemia aplastik : biopsi sumsum tulang
6
c. Pendekata Probabilistik atau Pendekatan Berdasarkan Pola Etiologi
anemia
Di daerah tropis anemia defisiensi besi merupakan penyebab tersering
disusul oleh anemia akibat penyakit kronik dan thalassemia. Pada perempuan
hamil karena defisiensi folat perlu juga mendapat perhatian .
d. Pendekatan Klinis
Dalam pendekatan klinis yang menjadi perhatian adalah :
a) kecepatan timbulnya penyakit (awitan anemia)
b) Berat ringannya derajat anemia
c) Gejala yang menonjol
e. Pendekatan Berdasarkan awitan penyakit
Anemia yang timbul cepat (dalam beberapa hari sampai minggu)
biasanya disebabkan oleh :
a) Perdarahan akut
b) Anemia hemolitik yang didapat seperti halnya pada IAHA
terjadi penurunan hb>1 g/dl perminggu.
7
g. Pendekatan BerdasarkanSifat Gejala Anemia
Sifat-sifat gejala anemia dapat dipakai untuk membantu diagnosis.
Gejala anemia yang menonjol dibandingkangejala penyakit dasar dijumpai
pada anemia defisiensi besi,anemia aplastik, anemia hemolitik. Sedangkan
pada anemia akibat penyakit kronis dan anemia sekunder lainnya (anemia
akibat penyakit sistemik, penyakit hati atau ginjal), gejala-gejala penyakit
dasar sering lebih menonjol.
8
2.2 ANEMIA HEMOLITIK
2.2.1 Defenisi
Anemia hemolitik didefinisikan sebagai suatu kerusakan sel eritrosit yang lebih
awal. Bila tingkat kerusakan lebih cepat dari kapasitas sumsum tulang untuk
memproduksi sel eritrosit maka akan menimbulkan anemia. Umur eritrosit normal
rata-rata 110-120 hari, setiap hari terjadi kerusakan sel eritrosit 1 % dari jumlah
eritrosit dari jumlah eritrosit yang ada dan diikuti oleh pembentukan oleh sumsum
tulang. Selain terjadi proses hemolisis, umur eritrosit lebih pendek dan diikuti oleh
aktivitas yang meningkat dari sumsum tulang ditandai dengan meningkatnya jumlah
retikulosit tanpa disertai adanya perdarahan yang nyata.4
2.2.2 Epidemiologi
Sferositosis herediter merupakan anemia hemolitik yang sangat berpengaruh di
Eropa Barat, terjadi sekitar 1 dari 5000 individu. Sferositosis mengenai demua jenis
etnis namun pada ras non kaukasian tidak diketahui. Sferositosis herediter paling
sering diturunkan secara dominan autosomal. Pada beberapa kasus, sferositosis
herediter mungkin disebabkan karena mutasi atau anomali sitogenik.5
Di Amerika, prevalensi eliptospirosis kira-kira 3-5 per 10.000. eliptospirosis
paling sering pada orang Afrika dan Amerika. Eliptospirosis sering terjadi pada
daerah dengan endemik malaria. Di Afrika pada area ekuator, eliptospirosis terjadi
sekitar 20,6%. Bentuk lain dari penyakit ini ditemukan pada Asia Tenggara yang
ditemukan sekitar 30% darai populasi. Penyakit ini diturunkan secara dominan
autosomal.6
Defisiensi G6PD dilaporkan di seluruh dunia. Frekuensi tertinggi terjadi pada
daerah tropis dan subtropis. Telah dilaporkan lebih dari 350 varian. Ada banyak
variasi pada expresi klinis pada varian enzim.7
Talasemia merupakan sindroma kelainan darah herediter yang paling sering
terjadi di dunia, sanagt umum terjadi di sepanjang sabuk talasemia yang sebagian
besar wilayahnya merupakan endemis malaria. Gen talasemia sangat luas tersebar dan
kelainan ini diyakini merupakan penyakit genetik manusia yang paling prevalen. Di
beberapa Asia Tenggara sebanyak 40% dari populasi memiliki satu atau lebih gen
talasemia. Daerah geografi dimana talasemia merupakan prevalen yang sangat paralel
dengan Plasmodium falciparum dulunya merupakan endemik.8
9
Insiden anemia hemolitik autoimun kira-kira 1 dari 80.000 populasi. Pada
perempuan predominan terjadi tipe idiopatik. Tipe sekunder terjadi peningkatan pada
umur 45 tahun dimana variasi idiopatik terjadi sepanjang hidup. 7,9
Kelainan hemolitik yang terpenting dalam praktek pediatrik adalah eritroblastosis
fetalis pada bayi baru lahir yang disebabkan oleh trnsfer transplasenta antibodi ibu
yang aktif terhadap eritrosit janin, yaitu anemia hemolitik isoimun. Eritroblastosis
fetalis disebut Hemolitik Disease of the Newborn (HDN).10
10
terhadap NaCl hipotonis menjadi rendah. Limpa membesar dan sering terjadi
ikterus.jumlah retikulosit menjadi meningkat. Hemolisis diduga disebabkan
karena kelainan membran eritrosit. Pada anak gejala anemia lebih menyolok
dibanding ikterus. Kelainan radiologis ditemukan pada anak yang telah lama
menderita penyakit ini. 40-80% penderita sferositosis ditemukan kolelitiasis.
b. Ovalositosis (eliptositosis)
Pada penyakit ini 50-90% eritrositnya berbentuk oval. Penyakit ini
diturunkan secara dominan menurut hukum Mendel. Hemolisis tidak seberat
sferositosis. Splenektomi biasanya dapat mengurangi hemolisis.
c. A-beta lipoproteinemia
Pada penyakit ini terjadi kelainan bentuk eritrosit. Diduga kelainan
bentuk ini disebabkan oleh kelainan komposisi lemak pada dinding sel.
d. Gangguan pembentukan nukleotida
Kelainan ini menyebabkan dinding eritrosit mudah pecah, misalnya pada
panmielopatia tipe fanconi.
11
Pada bentuk homozigot terjadi lebih berat. Khasnya terjadi peninggian
kadar 2,3 difosfogliserat.
e. Defisiensi Triose Phosphate Isomerase
Gejala mirip dengan sferositosis, tetapi tidak terdapat fragilitas osmotik
dan hasil darah tepi tidak ditemukan sferositosis. Pada keadaan homozigot
terjadi lebih berat dan bayi akan meninggal di tahun pertama kehidupannya.
f. Defisiensi Difosfogliserat Mutase
g. Defisiensi heksokinase
h. Defisiensi gliseraldehid-3-fosfat dehidrogenase
3. Hemoglobinopatia
Hemoglobin orang dewasa normal terdiri dari HbA yang merupakan 98%
dari seluruh hemoglobinnya. HbA2 yang tidak lebih dari 2% dan HbF yang tidak
lebih dari 3%. Pada bayi baru lahir HbF merupakan bagian terbesar dari
hemoglobinnya (95%), kemudianntrasi HbF akan menurun, sehingga pada umur 1
tahun telah mencapai keadaan normal. Terdapat 2 golongan besar gangguan
pembentukan hemoglobin yaitu:
a. Gangguan struktural pembentukan hemoglobin (hemoglibin abnormal)
misalnya HbS, HbE dan lain-lain.
Kelainan hemoglobin ini ditentukan oleh adanya kelainan genetik yang
dapat mengenai HbA, HbA2 atau HbF. Pada penyakit ini terjadi pergantian
asam amino dalam rantai polipeptida pada tempat-tempat tertentu atau tidak
adanya asam amino atau beberapa asam amino pada tempat-tempat tersebut.
Kelainan yang paling sering terjadi pada rantai β dan δ.
b. Gangguan jumlah (salah satu atau beberapa rantai globin misalnya
talasemia.
Talasemia merupakan penyakit anemia hemolitik yang herediter yang
diturunkan secara resesif . Di Indonesia, talasemia merupakan penyakit
terbanyak di antara golongan anemia hemolitik dengan penyebab
intrekorpuskuler.
Secara klinis talasemia dibagi menjadi 2 golongan yaitu talasemia mayor
(homozigot) yang memberikan gejala klinis yang khas dan talasemia minor
yang biasanya tidak memberi gejala.
12
Gangguan ekstrakorpuskuler (acquired)
Gangguan ini biasanya didapat yang dapat disebabkan oleh:
1. Obat-obatan, racun ular, jamur, bahan kimia (bensin, saponin,air), toksin
(hemolisin) Streptococcus, virus, malaria, luka bakar.
2. Hipersplenisme. Pembesaran limpa apapun sebabnya dapat menyebabkan
penghancuran erotrosit.
3. Anemia oleh karena terjadinya penghancuran eritrosit akibat terjadinya
reaksi antigen-antibodi seperti:
a. Antagonisme ABO atau inkompatibilitas golongan darah lain seperti
Rhesus dan MN
b. Alergen atau hapten yang berasal dari luar tubuh, tapi dalam tubuh
melekat pada permukaan eritrosityang merangsang pembuatan anti yang
kemudian menimbulkan reaksi antigen-antibodi yang menyebabkan hemolisis.
c. Hemolisis akibat proses autoimun.4
2.2.4 Etiopatogenesis
Proses hematopoesis pada embrio janin terjadi diberbagai tempat, termasuk hati,
limpa,timus,kelenjar getah bening, dan sumsum tulang. Sejak lahir sepanjang sisa
hidupnya terutama di sumsum dan sebagian kecil di kelenjar getah bening.11
Dalam keadaan normal, sel-sel darah merah yang sudah tua difagositosis oleh sel-
sel retikuloendotelial, dan hemoglobin diuraikan menjadi komponen-komponen
esensialnya. Besi yang didapat dikembalikan ke transferin untuk pembentukan sel
darah merah baru dan asam-asam amino dari bagian globin molekul dikembalikan ke
kompartemen asam amino umum. Cincin protoporfirin pada heme diuraikan di
jembatan alfa metana dan karbon alfanya dikeluarkan sebagai karbon monoksida
melalui ekspirasi. Tetrapirol yang tersisa meninggalkan sel retikuloendotelial sebagai
bilirubin indirek dan menjadi hati, tempat zat ini terkonjugasi untuk ekskresi di
empedu. Dui usus, biliruin glukoronida diubah menjadi urobilinogen untuk eksresi di
tinja dan urin.2,4
Hemolisis dapat terjadi intravaskuler dan ekstravaskuler. Pada hemolisis
intravaskuler, destruksi eritrosit terjadi langsung di sirkulasi darah. Sel-sel darah
merah juga dapat mengalami hemolisis intravaskuler disertai pembebasan hemoglobin
dalam sirkulasi. Tetramer hemoglobin bebas tidak stabil dan cepat terurai menjadi
dimer alfa-beta, yang berikatan dengan haptoglobulin dan disingkarkan oleh hati.
13
Hemoglobin juga dapat teroksidasi menjadi methemoglobin dan terurai menjadi
gugus globin dan heme. Sampai pada tahap tertentu, heme bebas dapat terikat oleh
hemopeksin dan atau albumin untuk selanjutnya dibersihkan oleh hepatosit. Kedua
jalur ini membantu tubuh menghemat besi untuk menunjang hematopoiesis. Apabila
haptoglobin telah habis dipakai, maka dimer hemoglobinyang tidak terikat akan di
eksresikan oleh ginjal sebagai hemoglobin bebas, methemoglobin, atau
hemosiderin.2,11
Hemolisis yang lebih sering adalah hemolisis ekstravaskuler. Pada hemolisis
ekstravaskuler destruksi sel eritrosit dilakukan oleh sistem retikuloendotelial karena
sel eritrosit yang telah mengalami perubahan membran tidak dapat melintasi sistem
retikuloendotelial sehingga difagositosis dan dihancurkan oleh makrofag.2
Sejumlah bahan dan kelainan dengan kemampuan dapat merusak eritrosit yang
dapat menyebabkan destruksi prematur eritrosit. Di antara yang paling jelas telah di
pastikan adalah antibodi yang berikatan dengan anemia hemolitik. Ciri khas penyakit
ini adalah dengan uji Coombs direk positif, yang menunjukkan imunoglobulin atau
komponen komplemen yang menyelubungi permukaan eritrosit. Kelainan hemolitik
yang terpenting dalam praktek pediatrik adalah penyakit hemolitik bayi baru
lahir( eritroblastosis fetalis) atau HDN yang disebabkan oleh transfer transplasenta
antibodi ibu yang aktif terhadap eritrosit janin, yaitu anemia hemolitik isoimun.2
Pada Hemolytic Disease of the Newborn (HDN) sering terjadi ketika ibu dengan
Rh(-) mempunyai anak dari seorang pria yang memiliki Rh(+). Ketika Rh bayi (+)
seperti ayahnya, masalah dapat terjadi jika sel darah merah si bayi dengan Rh(+)
sebagai benda asing. Sistem imun ibu kemudian menyimpan antibodi tersebutketika
benda asing itu muncul kembali, bahkan pada saat kehamilan berikutnya. Sekarang
Rh ibu terpapar.10
Pada anemia hemolitik autoimun, antibodi abnormal ditujukan kepada eritrosit,
tetapi mekanisme patogenesisnya belum jelas. Autoantibodi mungkin dihasilkan oleh
respon imun yang tidak serasi terhadap antigen eritrosit. Atau, agen infeksi dapat
dengan sesuatu cara mengubah membran eritrosit sehingga menjadi “asing” atau
antigenik terhadap hospes.2
2.2.5 Diagnosis
Semua jenis anemia hemolitik ditandai dengan:
1. Peningkatan laju destruksi sel darah merah
14
2. Peningkatan kompensatorik eritropoiesis yang menyebabkan retikulositosis
3. Retensi produk destruksi sel darah merah oleh tubuh termasuk zat besi.
Karena zat besi dihemat dan mudah di daur ulang, regenerasi sel darah merah
dapat mengimbangi hemolisis. Oleh karena itu, anemia ini hampir selalu berkaitan
dengan hiperplasia aritroid mencolok di dalam sumsum tulang dan meningkatnya
hitung retikulosit di darah tepi. Apabila anemia berat dapat terjadi hematopoiesis
ekstramedularis di limpa, hati, dan kelenjar getah bening. Apapun mekanismenya,
hemolisis intravaskuler bermanifestasi sebagai hemoglobinemia, hemoglobinuria,
jaundice dan hemosiderinuria. 1,11
Gejala umum penyakit ini disebabkan oleh adanya penghancuran eritrosit dan
keaktifan sumsum tulang untuk mengadakan kompensasi terhadap penghancuran
tersebut. Bergantung pada fungsi hepar, akibat pengancuran eritrosit berlebihan itu
dapat menyebabkan peninggian kdar bilirubin atau tidak. Sumsum tulang dapt
membentuk 6-8 kali lebih banyak eritropoietik daripada biasa, sehingga dalam darah
tepi dijumpai banyak sekali eritrosit berinti, jumlah retikulosit meninggi, polikromasi.
Bahkan sering terjadi eritropoiesis ekstrameduler. Kekurangan bahan sebagai
pembentuk seperti vitamin, protein dan lain-lain atau adanya infeksi dapat
menyebabkan gangguan pada keseimbangan antara penghancuran dan pembentukan
sistem eritropoietik, sehingga keadaan ini dapat menimbulkan krisis aplastik.4
15
Pemeriksaan fisik:
- Tampak pucat dan ikterus
- Tidak ditemukan perdarahan dan limfadenopati
- Dapat ditemukan hepatosplenomegali.1
Pemeriksaan penunjang:
a. Transfusi darah
Transfusi darah digunakan untuk mengobati anemia hemolitik berat.
b. Obat-obatan
Obat-obatan dapat memperbaiki beberapa tipe anemia hemolitik, khususnya
anemia hemolitik karena autoimun. Kortikosteroid seperti prednison dapat menekan
sistem imun atau membatasi kemampuannya untuk membentuk antibodi terhadap sel
darah merah.
Jika tidak berespon terhadap kortikosteroid, maka dapat diganti dengan obat lain
yang dapat menekan sistem imun misalnya rituximab dan siklosporin.
Jika ter jadi anemia sel sabit yang berat maka diberikan hydroxiurea. Obat ini
mempercepat pembentukan fetal hemoglobin. Fetal hemoglobin membantu mencegah
pembentukan sel sabit pada sel darah merah.
16
c. Plasmapheresis
Plasmapheresis merupakan prosedur untuk menghilangkan antibodi dari darah.
Pengobatan ini mungkin membantu jika pengobatan lain untuk anemia imun tidak
bekerja.
d. Operasi
Beberapa oarang dengan anemia hemolitik mungkin memerlukan operasi untuk
mengangkat limpa.limpa pada orang normal yang sehat membantu melawan infeksi
dan menyaring sel darah yang telah tua dan menghancurkannya. Pembesaaran atau
penyakit pada limpa dapat menghilangkan lebih banyak sel darah merah dari jumlah
yang normal sehingga menyebabkan anemia. Pengankatan limpa dapat menghentikan
atau menurunkan jumlah sel darah merah yang mengalami destruksi.
e. Transpalantasi stem sel darah dan sumsum tulang belakang
Pada beberapa tipe anemia hemolitik seperti talasemia, sumsum tulang tidak
dapat membentuk sel darah merah yang sehat. Sel darah merah yang terbentuk dapat
dihancurkan sebelum waktunya. Transplantasi darah dan sumsum tulang mungkin
dapat dipertimbangkan untuk mengobati jenis anemia hemolitik ini.transplantasi ini
mengganti stem sel yang rusak dengan stem sel yang sehat dari donor.
F. Perubahan pola hidup
Jika seseorang menderita anemia hemolitik dengan antibodi reaktif terhadap
dingin, coba untuk hindari temperatur dingin. Seseorang yang lahir dengan defisiensi
G6PD harus menghindari hal yang dapat mencetuskan anemia misalnya fava beans,
naftalena, dan obat-obatan tertentu.1
17
BAB III
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama/Inisial : An. H
Jenis Kelamin : Perempuan
Tgl Lahir/Umur : 19-10-2012/ 6 tahun 0 bulan
Alamat : Payakumbuh
Tanggal Masuk : 25 Oktober 2018
Tanggal Periksa : 26 Oktober 2018
2. Anamnesis (Alloanamnesis)
Keluhan Utama
Pucat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit
Riwayat Imunisasi
Imunisasi Umur
BCG -
Hep B -
-
-
Polio -
19
-
-
Hib -
-
-
DPT -
-
-
Campak -
Ketawa 4 bulan
Miring 3 bulan
Tengkurap 4 bulan
Duduk 6 bulan
Merangkak 6 bulan
Berdiri 7 bulan
Berjalan 12 bulan
Berlari 16 bulan
Gigi pertama 8 bulan
Bicara 12 bulan
Riwayat Keluarga
Nama : - Ayah : Hari Wibowo
- Ibu : Teti
Umur : - Ayah : 47 tahun
- Ibu : 48 tahun
20
Pekerjaan : - Ayah : Wiraswasta
- Ibu : Wiraswasta
Pendidikan : - Ayah : S1
- Ibu : SMA
Saudara kandung :
1. Perempuan, 16 tahun, sehat
2. Laki-laki, 13 tahun, sehat
3. Laki-laki, 10 tahun, sehat
4. Perempuan, 8 tahun, sehat
5. Perempuan, 6 tahun, sakit
3. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis Cooperative
Tekanan Darah : 90/50 mmHg
Nadi : 87 x/ menit
Pernafasan : 23 x / menit
Suhu : 36,60 C
Edema : Tidak ada
Ikterus : Tidak ada
Anemia : Ada
Sianosis : Tidak ada
Berat Badan : 21 kg
Tinggi Badan : 111 cm
BB/U : 105 %
21
TB/U : 96,5 %
BB/TB : 110 % Kesan : Gizi baik
Status Generalisata :
Kepala : Normocephal
Rambut : Hitam, tidak mudah rontok
Mata : Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik
Telinga : Sekret tidak ada
Hidung : Sekret tidak ada, septum deviasi tidak ada
Tenggorokan : Tonsil ukuran T1-T1 tidak hiperemis
Mulut : Bibir tampak pucat
Leher : Tidak ada pembesaran KGB dan kelenjar tiroid
Thorax
Paru
Inspeksi : Normochest, simetris kiri dan kanan dalam keadaan statis dan
dinamis
Palpasi : Fremitus taktil kiri dan kanan sama
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikular, ronki tidak ada, wheezing tidak ada
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba 1 jari lateral linea midclavicularis sinistra RIC V
Perkusi : Batas atas : RIC II linea sternalis sinistra
Batas kanan : linea sternalis dextra
Batas kiri : 1 jari lateral linea midlavicularis sinistra RIC IV
Auskultasi : Irama reguler, murmur tidak ada, gallop tidak ada
Abdomen
Inspeksi : Distensi tidak ada
Palpasi : Hepar teraba ukuran 1/2, 1/3 tepi tajam,konsistensi kenyal,
permukaan rata, dan tidak terdapat nyeri tekan. Lien teraba
Schuffer 3, tepi tajam,konsistensi kenyal, permukaan
rata, dan tidak terdapat nyeri tekan.
Nyeri Tekan , Nyeri lepas tidak ada
22
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Genitalia : Tidak ada kelainan
Ekstremitas : Atas : Akral hangat, CRT < 2 detik
Bawah : Akral hangat, CRT < 2 detik
Refleks Fisiologis :
Reflek biceps : Ada
Reflek triceps : Ada
Reflek patella : Ada
Reflek achiless : Ada
Reflek patologis :
Babinsky : Tidak Ada
Chadok : Tidak Ada
Openheim : Tidak Ada
Gordon : Tidak Ada
Scuffer : Tidak Ada
4. Laboratorium Sederhana
Hb : 7,2 g/dL
Hematokrit : 23,6 %
Eritrosit : 3.160.000/uL
MCV : 70,6 fL
MCH : 24,4 pg
Leukosit : 4.860 / mm3
Trombosit : 117.000/ mm3
Basofil :0%
Eosinofil : 0%
Neutrofil Batang : 5 %
Neutrofil Segmen : 50 %
Limfosit : 44 %
Monosit :1%
LED : 37 mm/jam
Urine : Warna urin kuning
23
5. Diagnosis Kerja :
Thalasemia
6. Diagnosis Banding :
Anemia Defisiensi Besi
Anemia Siderosblastik
7. Pemeriksaan Anjuran:
- Hapusan darah tepi
- Tes coombs
- Analisa Hb
8. Penatalaksanaan
- IVFD RL 20 tpm
- Rencana transfusi PRC/ WE 2 x 200 cc
- Lasix 20 mg (diantara transfusi)
9. Prognosis
Quo ad Vitam : Dubia ad Bonam
Quo ad Sanationam : Dubia ad Bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad Bonam
Follow Up
Hari/tanggal Perkembangan Terapi
24
O/ KU KES TD N P T BB
Thorax
Paru
Inspeksi : Normochest, simetris kiri dan
kanan dalam keadaan statis dan
dinamis
Palpasi : Fremitus taktil kiri dan kanan sama
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikular, ronki tidak ada,
wheezing tidak ada
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba 1 jari lateral linea
midclavicularis sinistra RIC V
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Irama reguler, murmur tidak
ada, gallop tidak ada
Abdomen
Inspeksi : Distensi tidak ada
Palpasi : Hepar teraba ukuran 1/2, 1/3
Lien teraba Schuffer 3,
Nyeri Tekan , Nyeri lepas tidak ada
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat, CRT<2’’
A/ Thalasemia
25
BAB IV
DISKUSI KASUS
Telah dirawat seorang anak laki-laki berumur 5 tahun 3 bulan yang dirawat di
bangsal anak RS Dr. Achmad Mochtar Bukittinngi dengan diagnosis kerja Anemia
Hemolitik ec Susp. Thalasemia. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan laboratorium sederhana.
Dari riwayat penyakit keluarga didapatkan ada riwayat anemia dari keluarga
ayah, yaitu kakak ayah pasien. Pada keluarga tidak ada menderita penyakit keganasan,
hal ini dapat menyingkirkan pucat pasien karena penyakit pada sumsum tulang.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan dalam batas normal pada pemeriksaan umum.
Pada pemeriksaan lokalis, mata didapatkan konjungtiva anemis kiri dan kanan dan
pemeriksaan abdomen didapatkan hepar teraba 1/2-1/4 dan lien teraba Scuffner 2.
berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan tanda anemia yaitu konjungtiva anemis dan
disertai pembesaran organ berupa hepar dan lien yang merujuk kepada anemia
hemolitik. Organ membesar sebagai bentuk respon untuk pembentukan sel-sel darah
26
baru sebagai pengganti sel-sel darah yang telah rusak/hancur. Limpa umumnya
membesar karena organ ini menjadi tempat penyimpanan eritrosit yang dihancurkan
dan tempat pembuatan sel darah ekstrameduler
27
28
29
30