Anda di halaman 1dari 6

Laporan Pendahuluan SLE ( Systemic Lupus Erythematosus)

A. DEFINISI
1. SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh
banyak faktor (Isenberg and Horsfall, 1998) .
2. SLE (Sistemisc Lupus Erythematosus) adalah penyakti radang multisistem yang
sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan
fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai
macam autoantibodi dalam tubuh. (Albar, 2003)
3. Penyakit lupus merupakan penyakit sistem daya tahan, atau penyakit auto imun,
dimana tubuh pasien lupus membentuk antibodi yang salah arah, merusak organ
tubuh sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit.
Antibodi seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri ataupun virus yang masuk ke
dalam tubuh.
4. Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah suatu penyakit yang tidak jelas etiologinya,
yaitu terjadinya kerusakan jaringan dan sel akibat autoantibodi dan kompleks imun
yang ditunjukkan kepada salah satu atau lebih komponen inti sel. Prevalensi
penyakit ini pada wanita usia subur adalah sekitar 1 dari 500. Angka kelangsungan
hidup 10 dan 20 tahun masing-masing adalah 75 dan 50 persen, dengan infeksi,
kekambuhan lupus, kegagalan organ ujung (end-organ), dan penyakit kardiovaskular
merupakan penyebab utama kematian. (Kenneth J. Leveno, dkk, 2009)
B. EPIDEMIOLOGI
Penderita SLE diperkirakan mencapai 5 juta orang di seluruh dunia (Yayasan Lupus Indonesia).
Prevalensi pada berbagai populasi berbeda-beda bervariasi antara 3 – 400 orang per 100.000
penduduk (Albar, 2003). SLE lebih sering ditemukan pada ras-ras tertentu seperti bangsa Afrika
– Amerika, Cina, dan mungkin juga Filipina.
Di Amerika, prevalensi SLE kira-kira 1 kasus per 2000 populasi dan insiden berkisar 1 kasus per
10.000 populasi (Bartels, 2006). Prevalensi penderita SLE di Cina adalah 1 :1000 (Isenberg and
Horsfall,1998). Meskipun bangsa Afrika yang hidup di Amerika mempunyai prevalensi yang
tinggi terhadap SLE, penyakit ini ternyata sangat jarang ditemukan pada orang kulit hitam yang
hidup di Afrika. Di Inggris, SLE mempunyai prevalensi 12 kasus per 100.000 populasi, sedangkan
di Swedia 39 kasus per 100.000 populasi.
Di Indonesia sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan
sama dengan jumlah penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus
Indonesia). Berdasarkan hasil survey, data morbiditas penderita SLE di RSU Dr. Soetomo
Surabaya selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi penyakit ini menempati urutan
keempat setelah osteoartritis, reumatoid artritis, dan low back pain.
C. ETIOLOGI
 Faktor genetic memiliki peranan yang sangat penting dalam kerentanan penyakit
SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE memiliki kerabat dekat yang menderita SLE juga.
 Faktor lingkungan, yakni sinar UV yang mengubah struktur DNA di daerah yang
terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta
menginduksi apoptosis dari sel keratonosit.
 SLE dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang
memiliki gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak
terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan
degan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga
tubuh membentuk kompleks antibodi antinuclear (ANA) untuk menyaring benda
asing tersebut. (Herfindal et al, 2000)
 Infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan
mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel
B limfosit non spesifik yang akan memicu terjadinya SLE. (Herfindal et al, 2000)
D. PATOFISIOLOGI
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan
autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara
lain: faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya
terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat
tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat
antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE-
akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor
yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi
akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut
berulang kembali.
E. KLASIFIKASI
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, systemic lupus
erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
1. Discoid Lupus >> Dikenal sebagai Cutaneus Lupus, yaitu penyakit lupus yang
menyerang kulit. Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas
eritema yang meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini
timbul di kulit kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini
dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan
parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn,
2005).
2. Systemic Lupus Erythematosus >> Adalah penyakit lupus yang menyerang
kebanyakan sistem di dalam tubuh, seperti kulit, sendi, darah, paru-paru, ginjal,
hati otak dan sistem saraf. SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi
multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan
dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan
sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003).
Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein
intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan
(Albar, 2003) melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998)
3. Lupus yang diinduksi oleh obat >> Lupus yang disebabkan oleh induksi obat
tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4
menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh
sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal
ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks
antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut. Gejala-
gejalanya biasanya menghilang setelah pemakaian obat dihentikan (Herfindal et al.,
2000).
F. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE adalah rasa lelah, malaise,
demam, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan (Hahn, 2005).
1. Sistem Muskuloskeletal >> Artralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi, nyeri
tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
2. Sistem integumen >> Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-
kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa
pipi atau palatum durum.
3. Sistem cardiac >> Perikarditis merupakan manifestasi cardiac.
4. Sistem pencernaan >> Nyeri abdomen terdapat pada 25 % kasus SLE, mungkin
disertai mual (muntah jarang) dan diare. Gejala menghilang dengan cepat jika
gangguan sistemiknya mendapat pengobatan adekuat. Nyeri yang timbul mungkin
disebabkan oleh peritonitis steril atau arteritis pembuluh darah kecil mesenterium
dan usus yang mengakibatkan ulserasi usus. Arteritis dapat juga menimbulkan
pankreatitis.
5. Sistem pernafasan >> Efusi pieura unilateral ringan lebih sering terjadi daripada
yang bilateral. Mungkin ditemukan sel LE (lamp. dalam cairan pleura. Biasanya efusi
menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat. Diagnosis pneumonitis
penyakit SLE baru dapat ditegakkan jika faktor-faktor lain seperti infeksi virus,
jamur, tuberkulosis dan sebagainya telah disingkirkan.
6. Sistem vaskuler >> Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi
papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
7. Sistem perkemihan >> Kelainan ginjal ditemukan pada 68 % kasus SLE. Manifestasi
paling sering ialah proteinuria dan atau hematuria. Hipertensi, sindrom nefrotik
dan kegagalan ginjal jarang terjadi; hanya terdapat pada 25 % kasus SLE yang
urinnya menunjukkan kelainan. Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal, yaitu
nefritis penyakit SLE difus dan nefritis penyakit SLE membranosa. Nefritis penyakit
SLE difus merupakan kelauanan yang paling berat. Klinis biasanya tampak sebagai
sindrom nefrotik, hipertensi serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat.
Nefritis penyakit SLE membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan
sindrom nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang
mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi progresif. Kelainan ginjal lain yang
mungkin ditemukan pada SLE ialah pielonefritis kronik, tuberkulosis ginjal dan
sebagainya. Gagal ginjal merupakan salah satu penyebab kematian SLE kronik.
8. Sistem saraf >> Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup
seluruh bentuk penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.
G. PEMERIKSAAN
Pemeriksaan menurut Betz (2002), Catzel(1995), Hartman(1994), antara lain :
 Pemeriksaan Fisik
 Meliputi pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal, integument dan vaskuler.
 Inspeksi : bentuk kepala, leher dan thorax simetris atau tidak, tampak bengkak &
kemerahan pada metacarpophalangaeal dextra & sinistra atau tidak, tampak
adanya deformitas dan tampak adanya lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam
berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi pasien atau tidak.
Ada ruam pada wajah dan leher klien atau tidak.
 Palpasi : raba apa ada pembesaran kelenjar dan terdapat massa atau tidak,
pergerakan nafasnya normal atau tidak, ada nyeri tekan atau tidak di daerah
abdomen dan daerah ekstremitas atas maupun bawahnya, serta raba ada krepitasi
atau tidak pada ekstremitas atas maupun bawah klien. Ada oedema atau tidak dan
suhu teraba hangat atau tidak.
 Perkusi: suara ketuknya sonor atau timpani.
H. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil pemeriksaan darah.
Gejala yang klasik mencakup demam, keletihans ecara penurunan berat badan dan
kemungkinan pula arthritis, pleuritis dan perikarditis. Tidak ada 1 terlaboratorium
megungkapkan anemia yang sedang hingga berat, trombositopenia, leukositosis atau
leucopenia dan antibody antinukleus yang positif. Tes imunologi diagnostik lainnya mungkin
tetapi tidak memastikan diagnostik
Anti ds DNA
 Batas normal : 70 – 200 iu/mL
 Negatif : < 70 iu/mL
 Positif : > 200 iu/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65-80% penderita denga SLE aktif dan jarang pada penderita
dengan penyakit lain. Jumblah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar
rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderitadengan penyakit reumatik dan lain-lain,
hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun
dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama
Lupus glomerulonetritis. Jumlahnya mendekati negativ pada penyakit SLE yang tenang.
Antinuklear antibodies ( ANA )
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimunyang lain. ANA adalah sekelompok
antibody protein yang beraksi menyerang inti dari suatu sel. Ana cukup sensitif untuk
mendektisi adanya SLE , hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE tetapi ANA tidak
spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan
penyakit tersebut. Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumblah
ANA diperkirakan menurun.
Jika hasil test negativ, maka pasien belum tentu negativ terhadap SLE karena harus
dipertimbangkan juga data klinis dan test laboratorium yang lain, jika hasil test posotof maka
sebaiknya dilakukan test laboratorium yang lain tetapi jika hasil test negativ maka sebaiknya
dilakukan test serelogi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita
SLE. ANA dapat meliputi anti-smith ( anti SM ). Anti RNP/antiribonukleo protein.
Pemeriksaan khusus:
 Biopsi ginjal
 Biopsi kulit
Pemeriksaan imunofluoresensi direk menunjukan deposit IgG granular pada dermaepidermal
junction, baik pada lesi kulit yang aktif (90%) maupun pada kulit yang tidak terkena (70%).

I. PENATALAKSANAAN
Penderita SLE tidak dapat sembuh sempurna (sangat jarang didapatkan remisi yang sempurna).
Terapi terdiri dari terapi suportif yaitu diet tinggi kalori tinggi protein dan pemberian vitamin.
Beberapa prinsip dasar tindakan pencegahan eksaserbasi pada SLE, yaitu:
 Monitoring teratur
 Penghematan energi dengan istirahat terjadwal dan tidur cukup
 Fotoproteksi dengan menghindari kontak sinar matahari atau dengan pemberian
sun screen lotion untuk mengurangi kontak dengan sinar matahari
 Atasi infeksi dengan terapi pencegahan pemberian vaksin dan antibiotik yang
adekuat.
 Rencanakan kehamilan/hindari kehamilan.

obat – obatan yang biasa digunakan pada SLE adalah sebagai berikut:
1. Nonsteroid anti inflamatori drugs {NSAIDS} >> NSAIDS berguna karena
kemampuanya sebagai analgesic, antipiretik dan inflamasi. Obat ini berguna untuk
mengatasi SLE dengan demam dan arthralgia/arthiritis. Aspirin adalah salah satu
yang paling banyak diteliti kegunaannya. Ibuferon idometasin cukup efektif untuk
mengobati SLE dengan arthiritisdan pleuritis, dalam kombinasi dengan steroid dan
antimanalria. Keterbatasan obat ini adalah efek samping yang lebih sedikit,
diharapkan dapat mengatasi hal ini, saying belum ada penelitian mengenai
efektifitasnya pada SLE. Efek samping dari OAINS adalah: reaksi hipersensivitas,
gangguan renal, retensi cairan, meningitis aseptik.
2. Korticosteroid >> Cara kerja steroid pada SLE adalah melalui mekanisme
antiinflamasi dan amunosuprefh dari berbagai jenis steroid yang paling sering
digunakan adalah pprednison dan multipred nisinosolon. Pada SLE yang ringan
yang tidak dapat dikontrol oleh NSAID dan antimalaria, diberikan prednison 2,5 mg
samapai 5 mg,. Dosis ini ditingkatkan 20% 1 sampai 2 minggu tergantung dari
respon klinis. Pada SLE yang akut dan yang mengancam jiwa langsung diberikan
steroid, NSAID dan antimalariatidak efektif pada keadaan itu. Manifestasi serius SLE
yang membaik de ngan steroid antara lain: vaskulitis, dermatitis berat miocarditis,
lupus pneumonitis, glomerulonefritis, anemia haomolitik, neufropati perifer dan
kasus lupus.Pada SLE aktif dan berat, terdapat beberapa regment pembenan
steroid:
a. Regmen I : daily oral short acting {predmison, prednisolon, multiprednisolon} dosis:
1-2mg/kgBB/hari dimulai dari dosis terbagi, lalu diturunkan secara bertahap sesuai
dengan perbaikan klinis dan laboratories. Regimen ini sangat cepat mengontrol
penyakit ini, 5-10 hari untuk manifestasi hamatologis atau saraf atau vaskulitis, 3-
10 minggu untuk glumerulonefritis
b. Regimen II : methyprednisolon intravena, dosis : 500-1000mg/hari,
selama 3-5 minggu atau 30 mg/kgBB/hari selama 3 hari. Regimen
mungkin sangat cepat mengontrol penyakit lebih cepat dari pada
terapi oral setiap hari, tetapi efek yang hanyan bersifat sementara,
sehingga tidak digunakan untuk terapi SLE jangka lama
c. Regimen III : Kombinasi regimen 1 dan 2 obat sitoksit ezayhioprine
cyclophos phamide.
d. Setelah kelainan klinis menjadi tenang dosis diturunkan dengan
kecepatan 2,5-5 mg/minggu sampai dicapai maintenance dose.
3. Antimalaria >> Efektifitas antimalaria terhadap SLE yang mengenai kulit dan sendi
telah lama diketahui dan obat ini telah dianggap sebagai obat pilihan pertama
untuk cara mengganggu pemoresan antigen dimakrofag dan sel pengaji antigen
yang lain dengan peningkatan PH di dalam vakuolalisosomal. Juga menghamabat
dan mengabsorbsi sinar UV, bebera penelitian melaporkan bahwa antimalaria
dapat menurunkan kolestrol total, HDL, LDL. Pada penderita SLE yang menerima
steroidmaupun yang tidak. Terdapat 3 obat antimalaria yang tersedia,
hidroksikolokulin. Dosis 200-400mg/hari, klorokuin dan efek sampingnya lebih
ringan. Efek samping antimalaria yang paling sering adalah efek pada saluran
pencernaan, kembung, mual dan muntah. Efek samping lain adalah timbulnya
ruam, toksisitas retin dan neurologis
4. Methoreksat >> Methoreksat adalah antagonis folat yang jika diberikan dalam
dosis untuk penyakit rematik efek imunosupresifinyalebih lemah dari pada obat
alkilating atau zat hioprin . methorekxate dosis rendah mingguan 7,5-15mg, efektif
sebagai “steroid spring agent” dan dapat diterima baik oleh penderita, terutama
pada manifestasi klinis dan muskluskletal.
Efek samping yang paling seringdipakai adalah: lekopenia, ulkus oral, toksisitas gastrointestinal
dan hepaktotoksitas. Untuk pemantauan efek samping diperlukan pemeriksaan darah lengkap,
tes fungsi ginjal dan hepar pada penderita dengan efek samping gastrointestinal, pemberian
asam folat 5mg tiap minggu akan mengurangi efek tersebut.

Anda mungkin juga menyukai