Anda di halaman 1dari 9

BAB 1

PENDAHULUAN

Menurut Vitruvius di dalam bukunya Ten Books of Architecture, arsitektur


merupakan gabungan dari ketiga aspek ini: firmity (kekuatan, atau bisa dianggap
sebagai struktur), venustas (keindahan atau estetika), dan utility (utilitas). Karya
arsitektur dibangun sebagai tanggapan manusia atas lingkungannya, dan
memberikan makna baru atas apa yang dibangunnya tersebut. Makna yang
dimaksud dapat berupa konsepsi atau pengertian akan hubungan yang teratur dan
tak teratur antara unsur-unsur-unsur bangunan dan sistem-sistem dan reaksi
terhadap arti yang ditimbulkannya (D.K. Ching, 2000); termasuk di dalamnya
berupa konsep religiositas dan spiritualitas. Dalam bab ini akan membahas rumah
duka sebagai karya arsitektur yang memberi makna religiositas dan spiritualitas
atas kematian. Dimulai dari paparan mengenai kematian dan kaitannya dengan
makna religiositas dan spiritualitas, pandangan iman Kristen dalam memaknai
kematian, dan peranan serta permasalahan rumah duka (secara arsitektur)
memberi makna religiositas dan spiritualitas atas kematian.

1.1. Kematian
Sepanjang sejarah peradaban manusia berupaya untuk menanggapi hal-hal yang
bersifat transenden atau melampaui dirinya melalui apa yang dapat dibuatnya,
termasuk melalui karya arsitektur. Salah satu aspek kebudayaan yang bersifat
transenden dan ditanggapi adalah bagaimana manusia mengejawantahkan makna
kematian di dalam karya arsitektur. Kematian dipandang sebagai keterpisahan
seseorang dari komunitas tempat ia pernah hidup dan adanya penghormatan yang
mendalam pada orang yang telah meninggal tersebut. Hal ini terbukti dari adanya
peninggalan berupa megalit (batu besar) yang membentuk konfigurasi seperti
bentuk makam: menhir, dolmen, punden berundak, dan lain-lain. Megalit-megalit
dengan bentuk makam seperti itu dipercaya sebagai makam para pendahulu
(nenek moyang) dan hingga sekarang memiliki keterkaitan dengan asal-usul

1
keberadaan masyarakat setempat. Hal ini berarti adanya interaksi antara orang
yang meninggal dengan komunitas di mana orang tersebut pernah hidup.

Gambar 1 - Orang Nias di Sumatera Utara sedang memindahkan megalit. Foto diambil
sekitar tahun 1915. Penarikan batu ―Darodaro‖ untuk almarhum Saoenigeho dari Bawamatalua,
Pulau Nias. Batu yang berasal dari dasar sungai ini ditarik menempuh jarak 3 km yang
dimungkinkan dengan penggunaan konstruksi alat penarik khusus. Batu besar (megalit), kadang
dihias dengan bagus, adalah bagian dari budaya di Nias. Di Nias dapat dijumpai patung batu besar,
kursi batu untuk kepala suku, serta meja batu tempat pengadilan. Ada juga batu besar yang
dibutuhkan untuk memperingati kematian orang penting. Sewaktu batu untuk tujuan peringatan
tersebut dipasang, biasanya diadakan pula suatu pesta ritual yang bertujuan melapangkan jalan
orang meninggal tersebut untuk bergabung dengan nenek moyangnya di kehidupan setelah
kematiannya. Pada foto terlihat bahwa batu ditarik ke atas. Konon dibutuhkan 525 orang selama
tiga hari untuk mendirikan batu ini di Desa Bawemataluo. (P. Boomgaard, 2001) —
Sumber:http://en.wikipedia.org

Kematian selain dipandang dari segi antropo-sosiologi, juga menarik manusia


untuk memandang kematian dari segi religiositas yang transenden dan melampaui
dirinya. Sejak dulu manusia berupaya untuk mencari jawaban atas apa yang
terjadi setelah seseorang meninggal. Kepercayaan-kepercayaan kuno mengatakan
adanya perjalanan yang ditempuh oleh orang yang telah meninggal setelah
peristiwa kematian. Di dalam agama-agama Abraham (Ibrahim)—Yahudi,

2
Kristen, dan Islam—kematian dipercaya sebagai awal mula kehidupan selanjutnya
setelah adanya kebangkitan tubuh jasmani. Selain itu, di agama-agama dan
kepercayaan-kepercayaan lain diyakini pula bahwa di balik kematian merupakan
siklus kehidupan berikutnya yang akan dijalani oleh orang yang meninggal
tersebut.

1.2. Kematian menurut iman Kristen


Pada zaman modern, makna kematian memiliki kaitan yang erat dengan iman
yang diyakini dan ditanggapi melalui ibadah dan ritual pemakaman sesuai dengan
tata cara agama atau adat yang berlaku. Kematian di dalam iman Kristen erat
kaitannya dengan doktrin yang membahas mengenai manusia, dosa,
ketidakberdayaan manusia atas kuasa dosa, dan Allah sendiri di dalam Yesus yang
berinisiatif menyelamatkan manusia dari kuasa dosa.

Manusia diciptakan oleh Allah untuk dapat menikmati persekutuan yang erat
dengan-Nya. Namun kejatuhan manusia ke dalam dosa mengakibatkan manusia
tidak dapat menikmati hubungan ini karena Allah adalah kudus dan tidak dapat
bersekutu dengan dosa. Dosa menjadi penghalang hubungan manusia dengan
Allah, dan mempunyai konsekuensi berupa kematian jasmani seperti yang ditulis
di dalam Alkitab: ―Lalu firman-Nya kepada manusia itu: ... sampai engkau
kembali menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu
dan engkau akan kembali menjadi debu.‖ – Kejadian 3:17a, 19.

Gambar 2 – Ilustrasi kondisi manusia sebelum jatuh ke dalam dosa: menikmati persekutuan yang
erat dengan Tuhan tanpa penghalang.

3
Gambar 3 – Ilustrasi kondisi manusia setelah jatuh ke dalam dosa: terpisah dari Tuhan, kematian
rohani, serta kematian jasmani sebagai kutuk karena dosa.
Manusia di dalam statusnya sebagai manusia berdosa tidak bisa menyelamatkan
dirinya sendiri atas kuasa kematian akibat dosa yang memisahkan hubungannya
dengan Allah. Oleh karena itu manusia membutuhkan anugerah Allah yang
menyatakan diri-Nya di dalam Yesus sebagai pemenuhan janji keselamatan Allah
untuk menyelamatkan manusia yang berdosa. Penyataan Allah di dalam diri
Yesus inilah yang menjadi solusi atas ketidakberdayaan manusia mengatasi dosa:
Allah menyatakan diri-Nya melalui Yesus, berkarya di dunia sebagai manusia
tanpa dosa. Klimaks karya penyelamatan Allah diwujudkan melalui Yesus dengan
cara mati menanggung dosa manusia di atas kayu salib, mati menaklukkan dosa
dan konsekuensinya (kematian/maut), dan bangkit sebagai wujud kemenangan
atas maut tersebut.

Gambar 4 – Ilustrasi penyelamatan oleh Tuhan di dalam diri Yesus menjembatani hubungan
manusia dan Tuhan yang sebelumnya rusak karena dosa.

4
Kematian di dalam iman Kristen menjelaskan bahwa kematian jasmani
merupakan hal yang tidak bisa terelakkan dan dialami oleh semua manusia,
namun terselesaikan oleh kematian Yesus di kayu salib serta kebangkitan-Nya
yang menunjukkan kemenangan-Nya atas kuasa maut. Hal ini juga diteguhkan
melalui pernyataan Yesus, kesaksian atas diri-Nya sendiri yang menjamin bahwa
hubungan persekutuan manusia dengan Allah—sebagaimana tujuan awal manusia
diciptakan—dipenuhi dan dipulihkan melalui diri Yesus:

―Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah
mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang
percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang
kekal.‖
– Yohanes 3:16
Kata Yesus kepadanya: ―Akulah jalan dan kebenaran dan hidup.
Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak
melalui Aku.‖
– Yohanes 14:6
Pernyataan Yesus inilah yang menjadi dasar iman Kristen akan adanya kepastian
mengenai hidup kekal setelah kematian jasmani yang akan dilewati oleh setiap
orang percaya1. Persekutuan dengan Allah (Bapa) dipenuhi melalui Yesus (Anak) 2
yang menanggung dosa manusia melalui kematian dan kebangkitan-Nya. ―Hidup
yang kekal‖ yang dimaksud oleh Yesus merupakan kehidupan yang akan diterima
oleh setiap orang yang percaya kepada-Nya.

Setelah kematian Yesus di kayu salib dan kebangkitan-Nya dari alam


kematian/maut, Ia naik ke sorga disaksikan oleh banyak orang dan berkarya
melalui Roh Kudus yang turun dan bermukim di dalam diri orang percaya,
memberi kekuatan peneguhan akan pengharapan atas kehidupan kekal yang
diterima orang percaya.

1
―Orang percaya‖ merupakan istilah yang digunakan merujuk kepada orang yang
percaya/mengimani kematian dan kebangkitan Yesus (Kristus); atau merujuk juga kepada orang
Kristen secara umum.
2
Konsep Allah sebagai Bapa (Bapak) dan Yesus (Anak) diperkenalkan oleh Yesus sendiri sebagai
wujud hubungan Yesus dengan Allah yang sangat dekat – doktrin Trinitas/Tritunggal di dalam
iman Kristen.

5
1.3. Pemakaman menurut iman Kristen
Berangkat dari keyakinan iman seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tata cara
penguburan di dalam iman kristiani menunjukkan hal tersebut. Meskipun di dalam
Alkitab tidak disebutkan mengenai tata cara penguburan orang yang telah
meninggal, bapa-bapa gereja sebagai peletak awal sejarah gereja menuliskannya
dalam konstitusi gereja sehingga dapat menjadi panduan bagi jemaatnya. Dalam
sejarah gereja, tata cara penguburan orang kristiani baik Kristen maupun Katolik
memiliki tata cara yang kurang lebih sama. Tata cara penguburan berupa
serangkaian misa/kebaktian penghiburan yang dipimpin oleh pendeta di mana
orang yang meninggal tersebut berjemaat. Misa/kebaktian penghiburan dapat
diselenggarakan di gereja, rumah, atau pun rumah duka; dan waktunya dapat
diatur sesuai dengan permintaan keluarga. Dalam kasus tertentu, misa/kebaktian
penghiburan dapat diselenggarakan beberapa hari setelah orang tersebut
dinyatakan meninggal dan setelah seluruh anggota keluarga dapat hadir.

Misa/kebaktian penghiburan diperuntukkan bagi keluarga dan orang-orang


terdekat untuk ―melepas‖ kepergian orang yang telah meninggal; dan terdiri atas
doa-doa, nyanyian penghiburan, pembacaan ayat Alkitab, serta khotbah singkat
oleh pendeta. Seluruh tata cara misa/kebaktian bertujuan menghibur keluarga dan
orang-orang yang ditinggalkan, serta meneguhkan akan janji keselamatan dan
kepastian hidup kekal di dalam Yesus.

1.4. Rumah duka dan permasalahannya


Rumah duka merupakan rumah yang ditujukan untuk menyediakan jasa pelayanan
kedukaan bagi orang yang telah meninggal beserta keluarganya. Jasa pelayanan
mencakup upacara dan tata cara perpisahan dengan orang yang meninggal, sesuai
dengan kepercayaan dan keyakinan keluarga yang ditinggalkan. Di Indonesia,
pelayanan kedukaan biasanya melayani keluarga dari latar belakang keyakinan:
Kristen, Tionghoa, dan Islam—meskipun jarang dilakukan karena umumnya umat
Muslim segera memakamkan orang yang meninggal setelah didoakan
(dishalatkan) di mesjid.

6
Rumah duka juga mencakup jasa pelayanan pemakaman dengan latar belakang
agama/keyakinan yang beragam. Oleh karena itu rumah duka yang ada biasanya
dirancang secara umum, tidak menggambarkan filosofi/makna kematian dari
agama/keyakinan tertentu secara khusus. Rumah duka hanya dirancang dengan
memenuhi persyaratan teknis seperti kebutuhan luasan ruang sesuai jumlah orang,
pencahayaan setempat secara umum, serta akustika dan pengudaraan yang tidak
memadai; sehingga rancangan ruangan tidak terkonsep sesuai kaidah arsitektural
dan tata cara pemakaman menurut agama/keyakinan.

Dari segi tata ruang, rumah duka yang ada dirancang dengan tidak
memperhitungkan kaidah estetika atau keindahan sehingga makna religiositas dan
spiritualitas tidak terlihat. Di beberapa rumah duka yang menyediakan ruangan
dengan kapasitas seratus orang atau lebih, masalah struktur dan tata ruang tidak
terselesaikan dengan baik. Penempatan kolom di tengah barisan tempat duduk,
konfigurasi denah dan tata letak (layout) yang tidak tepat, serta perancangan
elemen tata ruang dalam (interior) tidak diselesaikan dengan baik sehingga
mengganggu konsentrasi dan fokus jemaat dalam mengikuti misa/kebaktian
penghiburan. Secara spesifik, perancangan tata ruang dalam rumah duka yang
sudah ada belum memenuhi persyaratan arsitektural dari segi keindahan.

Di Yogyakarta, rumah duka yang ada terletak di dalam kawasan rumah sakit yang
juga menyediakan tempat bagi pelayanan kedukaan berupa ruang misa/kebaktian.
Ruang misa/kebaktian yang dimaksud berupa bangunan yang biasanya terletak di
bagian samping atau belakang di kawasan rumah sakit, dengan tipologi bangunan
seperti ruko (rumah-toko) dan dirancang dengan hanya mengedepankan aspek
fungsi. Aspek fungsi yang dimaksud berupa penyediaan ruang dengan luasan
tertentu, tanpa memperhitungkan proporsi, skala, dan keindahan; serta pewadahan
kegiatan yang nampak (kasat mata) tanpa pengejawantahan makna religiositas dan
spiritualitas (khususnya iman Kristen—sebagai pengguna ruang misa/kebaktian)
dalam penyelesaian arsitektur.

7
Gambar 5 – Kondisi rumah duka yang dirancang secara umum dan tidak diselesaikan dengan
pemaknaan konsep kematian di dalam religiositas dan spiritualitas.
Sumber: www.sheepgateministry.com, www.pustakalewi.net, gmidistrik1.blogspot.com,
nathanaelrenanto.blogspot.com

1.5. Tujuan penulisan


Tujuan tulisan ini adalah untuk merumuskan konsep rancangan rumah duka yang
mengedepankan aspek religiositas dan spiritualitas iman kristiani.

1.6. Metode penulisan


Metode penulisan dalam perumusan konsep rancangan rumah duka ini meliputi:

1. Identifikasi masalah; memuat aspek-aspek permasalahan


arsitektural yang terdapat di rumah duka pada umumnya di
kota Yogyakarta.

2. Analisis; berupa uraian permasalahan arsitektural rumah duka


dan kaitannya dengan konsep religiositas dan spiritualitas iman
kristiani di dalam memaknai kematian.

8
3. Sintesis; yaitu perumusan konsep rancangan yang memadukan
fungsi rumah duka dan konsep iman kristiani dalam memaknai
kematian.

1.7. Sistematika penulisan


Sistematika penulisan akan dibagi menjadi bab-bab yang memuat:

1. Pendahuluan (Bab I) berupa pengantar;

2. Landasan Teori (Bab II) membahas teori dan referensi yang


terkait dengan aspek religiositas dan spiritualitas di dalam iman
kristiani serta makna kematian di dalamnya,

3. Studi Literatur (Bab III) membahas mengenai persyaratan


kegiatan dan program ruang di rumah duka;

4. Analisis Tapak (Bab IV) yang memuat analisis eksternal dan


internal tapak sebagai lokasi di mana rumah duka tersebut akan
dirancang; berdasarkan teori dan referensi di Bab II.

5. Perumusan Konsep Rancangan (Bab V) yang berisikan


pernyataan konsep mikro hingga makro, dengan pendekatan
ketentuan yang dibahas di Bab II dan Bab III.

1.8. Keaslian penulisan


Sejauh pengamatan penulis belum ditemui landasan konseptual perancangan
Tugas Akhir dengan pendekatan aspek religiositas dan spiritualitas.

Anda mungkin juga menyukai