Anda di halaman 1dari 19

BAB V

POTENSI PARIWISATA BUDAYA


SENI PERTUNJUKAN TRADISIONAL KARO TEMBUT-TEMBUT
BERDASARKAN BENTUK, FUNGSI DAN MAKNA

5.1 Sejarah Pertemuan Tembut-Tembut Seberaya dan Pariwisata

Seni pertunjukan Tembut-Tembut maupun Gundala-Gundala Lingga dalam

aktivitas “bisnis pariwisata (dengan konsep mass tourism)” telah dimulai sejak tahun

1980-an. Pada saat itu pertunjukan tembut-tembut dilakukan pertamakali di TAHURA

(Taman Hutan Raya) Karo, mengapa? pada tahun itu, TAHURA merupakan pusat

rekreasi yang ternama di Kabupaten Karo dan Medan. Rata-rata wisatawan yang

berkunjung ke TAHURA umumnya berekreasi ke hutan, melihat binatang yang

ditangkar seperti gajah, harimau, musang dan monyet, dan menikmati seni

pertunjukan tradisional khas karo, namun pada saat ini kondisi TAHURA sebagai

pusat konservasi alam dan aktivitas pariwisata keadaanya sangat memprihatinkan.

TAHURA juga dilengkapi teater seni pertunjukan. Dari sebab itu, setiap

liburan tiba, TAHURA menjadi salah satu tempat penyaluran kreativitas seni bagi

masyarakat lokal. Saat ini TAHURA menghadapi berbagai permasalahan seperti

penebangan liar yang kerap terjadi. Dikarenakan TAHURA tidak mampu menarik

segmen pasar akibat permasalahannya, Pemerintah Kabupaten Karo akhirnya

membuat Open Stage. Open Stage Berastagi kerap digunakan untuk fasilitas festival,

pagelaran seni budaya, penyambutan orang penting hingga artis kenamaan Tidak

dipungkiri lagi, Berastagi sedari dulu memang merupakan produsen dari wisatawan

yang akan berkunjung ke berbagai destinasi di Kabupaten Karo. Maka dari itu,

berbagai seni pertunjukan tradisional yang mencangkup berbagai macam kreatifitas

dan asalnya kerap di pertunjukan di daerah ini.

54
55

5.2 Ciri-Ciri Tembut-Tembut Seberaya

Untuk menunjukkan keunikan dari tembut-tembut seberaya maka peneliti

membagi beberapa pendekatan diantaranya adalah perbedaaan bentuk, perbedaan

warna, perbedaan jumlah, perbedaan asal dan sedikit tentang perbedaan cerita yang

dibawakannya. Penelitian ini dilakukan (mengenai ciri khas tembut-tembut seberaya),

karena ada beberapa statement dari penelitian sebelumnya atau persepsi masyarakat

tanah karo bahwa terdapat 2 macam tembut-tembut/gundala-gundala di tanah karo

yaitu yang berasal dari Seberaya dan Lingga. Seluruh pelaku budaya yang

diwawancarai mengatakan secara tegas bahwa terdapat perbedaan pandangan antara

tembut-tembut dan gundala-gundala. Seluruh pelaku budaya dan masyarakat

tradisional karo (umumnya 70 tahun keatas) mengatakan bahwa kata “tembut-

tembut” sudah pasti berasal dari Seberaya dan “gundala-gundala” sudah pasti berasal

dari Lingga. Perbedaan tersebut sampai saat ini belum masuk dalam ranah penelitian.

Kurangnya koordinasi antara pelaku budaya dan masyarakat tradisional karo kepada

masyarakat karo yang serba modern sekarang ini menimbulkan banyak asumsi yang

salah terhadap tembut-tembut seberaya dan gundala-gundala lingga. Seperti pada saat

wawancara dengan Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Karo pada tanggal 18 Juli

2011, mereka (Disbudpar) tidak mengetahui apa perbedaan antara tembut-tembut,

gundala-gundala dan gana-gana. Dari prihal tersebut, peneliti simpulkan mereka

(Disbudpar) tidak mengetahui keunikan atau ciri-ciri khas yang dibawakan oleh

tembut-tembut seberaya. Maka dari itu, perbandingan ciri khas / keunikan yang

dibawakan oleh tembut-tembut seberaya didasari pada perbandingan gambar sebagai

berikut:
56

Gambar 5.1 Putri Cantik (Gundala-Gundala Lingga Dari Desa Lingga)

Gambar 5.2 Pemuda (Gundala-Gundala Lingga Dari Desa Lingga)

Gambar 5.3 Panglima (Gundala-Gundala Lingga Dari Desa Lingga

Gambar 5.4 Burung Tubinggang (Gundala-Gundala Lingga Dari Desa Lingga)

Gambar 5.5 Pementasan Ke 4 Gundala-Gundala Lingga Dari Desa Lingga)


.
57

Analisa awal dari gundala-gundala lingga ini adalah komponen penari topeng

yang dibawakan hanya ada 4 (empat) penari. Mereka menyebut karakter burung

sebagai gurda-gurdi atau tubinggang, karakter putri (yang berwarna kuning) sebagai

putri raja yang sangat cantik, karakter raja/menantu dengan topeng yang berwarna

hitam, dan karakter puanglima dengan topeng berwarna merah dengan tanda tapak

nabi sulaiman di keningnya. Mereka (pelaku budaya lingga) mengatakan tembut-

tembut tidak dapat disamakan oleh gundala-gundala lingga. Perbandingan tersebut

hanya akan melemahkan karya cipta budaya yang sudah ada sejak masa lalu. Intinya

adalah tembut-tembut sudah pasti dari seberaya dan tidak dapat disamakan dengan

gundala-gundala yang sudah pasti berasal dari lingga, sama seperti Barong Bali dan

Barong Sai Cina, kita (saran dari pelaku budaya lingga) tidak boleh membandingkan

karya cipta tersebut, mereka (tembut-tembut dan gundala-gundala) punya keunikan

yang dibawa masing-masing, dan itu sejajar sebagai karya cipta budaya, tidak ada

yang lebih baik atau lebih buruk, seperti yang diasumsikan selama ini oleh

masyarakat awam karo pada umumnya.

Dari persepsi pelaku budaya lingga tersebut, maka saya dapat menyimpulkan

bahwa tembut-tembut berbeda dengan gundala-gundala lingga. Mereka membawa

keunikan, karakter dan cerita masing-masing. Kata atau kalimat dari pelaku budaya

yang menjelaskan “tidak boleh disamakan dan mengandung keunikan masing-

masing” membawa pemahaman bahwa tembut-tembut memiliki ciri khas yang spesial

begitupun dengan gundala-gundala lingga. Dari analisa gambar dan penjelasan diatas

maka terjawablah ciri khas tembut-tembut seberaya berdasarkan perbedaaan bentuk,

perbedaan warna, perbedaan jumlah dan perbedaan asal. Namun dari segi cerita, kisah

yang dibawakannya hampir memiliki kesamaan dengan tembut-tembut yang berasal

dari Seberaya.
58

Gambar 5.6 Tembut-Tembut/Gundala-Gundala Yang Dipergunakan Oleh


Dinas Pariwisata Kabupaten Karo

Analisa awal dari gambar ini adalah corak yang diberikan pada sentuhan topeng ini

terkesan mirip, yang membedakannya hanya pada cat dan beberapa elemen ukiran

yang menandakannya. Dari segi jumlah topeng, Dinas Pariwisata Kabupaten Karo

sepertinya lebih memilih menggunakan karakter yang dibawakan oleh tembut-tembut

seberaya. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada

kepala DISPAR yang mengatakan bahwa “Lingga mendapat inspirasi dari pemahat

topeng pembuat tembut-tembut di Seberaya”. Dari pernyataan ini dapat dikatakan

bahwa DISPAR lebih memilih karakter tarian topeng Seberaya. Dari karakter cerita

yang dibawakan oleh DISPAR (seperti yang dijelaskan oleh bapak Fonda) mengikuti

perkembangan cerita universal di kalangan masyarakat umum tanah Karo (seperti

yang diterangkan oleh Adrianus G Sitepu dan Dwikora Sembiring Depari pada bab

tradisi lisan tembut-tembut).


59

Gambar 5.7 Bentuk Topeng Dari Tembut-Tembut Seberaya

5.3 Sistem Acara Pertunjukkan Tembut-Tembut (Profan Versus Sakral)

Sistem acara pertunjukkan tembut-tembut dengan sifat propan yaitu tembut-

tembut sebagai suatu pemeriah event seperti kerja tahun atau acara yang bersifat

umum, politis dan lain sebagainya. Maka ketentuan acara yang diberlakukan sejak

dari awal adalah

1. Dapat menggunakan topeng yang asli ataupun duplikasi, topeng yang asli

umumnya digunakan untuk acara yang berkaitan dengan seberaya ataupun terkait

dengan keturunan pertembut-tembut sedangkan duplikasi digunakan untuk acara-

acara yang bersifat promosi wisata dan lain sebagainya

2. Dapat menggunakan keyboard ataupun pemusik tradisional karo untuk mengiringi

tembut-tembut.

3. Dapat digunakan di dalam maupun di luar dari daerah Seberaya dengan kata lain

ketentuan penggunaan topeng dengan sifat yang propan terjadi dengan sangat

dinamis.

4. Apabila tembut-tembut (yang asli) hendak digunakan di luar daerah atau negara

maka prosesi pemotongan ayam dan lain sebagainya harus dilakukan untuk

menentramkan roh/tendi yang ada di dalam topeng tersebut sehingga dapat


60

tercipta kedamaian bagi pelaku yang akan membawa topeng maupun ketentraman

bagi pemilik topeng tersebut.

Sakral

1. Harus menggunakan topeng asli dalam pementasannya

2. Prosesi pemanggilan hujan sedari awal harus dilaksanakan di Lau Biang

(Sungai Biang), pada umumnya masyarakat Desa Seberaya mempercayai

bahwa Lau Biang memiliki unsur mistis yang tersembunyi)

3. Harus dilaksanakan di Desa Seberaya

4. Mengikut sertakan masyarakat Seberaya

5. Menggunakan prosesi adat tradisional karo yang sangat kental. Pada tahun-

tahun yang silam, prosesi pemanggilan hujan dilakukan dengan mencuci

topeng di Lau Biang dan menggunakan kata-kata yang tidak umum (jorok)

dalam proses pemanggilannya.

5.4 Perkembangan Fungsi Dan Cerita Tembut-Tembut

Seni pertunjukkan tembut-tembut seberaya diawali dari kepergian Pirei

Sembiring Depari ke Betawi atas perintah dari Kolonial Belanda yang melakukan

sayembara pemilihan pemahat terbaik di tingkat nasional. Sepulangnya Pirei dari

Betawi, terciptalah suatu inspirasi untuk membuat topeng. Inspirasi tersebut

didasarkan dari perjalanan Pirei ke kampung seberang dengan melintasi berbagai

hutan, sawah dan ladang. Menurut Idris, topeng tersebut pertama kali dibuat hanya

untuk menyimbolkan suatu keluarga karo yang harmonis, terdiri dari ayah, ibu, anak

perempuan dan anak laki-laki. Dalam arti bahwa, penciptaan pertama tembut-tembut

seberaya tidak untuk disajikan sebagai suatu upacara yang sakral namun

menunjukkan suatu kehidupan suku karo pada masanya. Idris mengatakan pembawa

kisah yang sebenarnya atas cerita tari topeng tersebut adalah burung yang disebut
61

sebagai tubinggang/ gurda-gurdi/ garuda. Burung mempunyai peran antagonis dalam

kisahnya. Dia dilambangkan sebagai bentuk hewan yang suka mengganggu, dan

dimanapun ia berada dipercayai akan ada bencana dan malapetaka terjadi.

Gambar 5.8 Atraksi Lincah Dari Tembut-Tembut Seberaya Pada Saat Pementasannya.

Tembut-tembut seberaya awalnya hanyalah sebagai sebuah seni pertunjukan

biasa, namun bahan yang digunakan untuk pembuatan tembut-tembut tersebut di

rasakan oleh penduduk pada masanya mempunyai nilai yang mistik yaitu

menggunakan kayu yang telah terkena petir/halilintar untuk ditempah menjadi

beberapa topeng. Dari prihal tersebut, digunakanlah topeng ini untuk upacara

pemanggilan hujan akibat kemarau yang panjang di Desa Seberaya. Skema cerita

yang dibawakan pada saat itu sama seperti yang diceritakan oleh Idris Sembiring

Depari. Dari kejadian inilah tercipta suatu kisah baru yang menceritakan tradisi yaitu

tata cara masyarakat seberaya dalam melaksanakan upacara pemanggilan hujan. Hal-

hal yang bersifat magis dilakukan pada masanya dengan cara mengikutsertakan dukun

kampung dan melontarkan kata-kata yang tidak lazim kepada seluruh kampung untuk

menakut-nakuti orang yang mempunyai niat yang jahat. Skema cerita yang dibawakan

oleh tembut-tembut mengalami perubahan sekitar tahun 1950-an, perubahan cerita

tersebut terjelaskan pada pandangan Dwikora dan Adrianus di halaman sebelumnya.


62

Namun secara jelas, perubahan tradisi terjadi ketika masuknya ajaran agama kristiani,

perlahan-lahan masyarakat Seberaya lebih memilih menyerahkan keputusan (terutama

untuk pemanggilan hujan) kepada roh yang lebih berkuasa di dunia yaitu Tuhan

Yesus. Perubahan fungsi pertama adalah tembut-tembut tidak lagi diperkenankan

menggunakan dukun dan mengeluarkan kata-kata yang tidak lazim (kata-kata kotor)

dan seterusnya, hingga pada perubahan fungsi berikutnya di era modern saat ini yaitu

masyarakat lebih memilih Tuhan sebagai penyelamat hidup mereka. Sekarang

tembut-tembut hanya digunakan sebagai pengumpul massa (terutama untuk kegiatan

politik pemilihan umum kepala daerah), pemeriah event semata, penyambutan tamu

penting, 17 agustus-an dan lain sebagainya, yang kemudian hanya menjadi suatu

hiburan semata. Namun hal yang menguntungkan masih terjadi secara universal yaitu

masyarakat karo tidak akan pernah lupa akan sifat mistis yang terkandung di

dalamnya hingga saat ini.

5.5 Nilai-Nilai Sosial Yang Terdapat Pada Tembut-Tembut

Nilai-Nilai Sosial yang dimaksud adalah pesan dari sang pembuat tembut-

tembut kepada orang yang menikmati seni pertunjukan ini, seperti:

1. Seberapa jahat rencana yang telah kamu susun dengan rapi, akan ada selalu

kebaikan yang akan meng-counter atau menghalangi niat jahatmu.

2. Jangan menyerah untuk melindungi orang yang ada disekelilingmu, meskipun

mereka terjebak karena tidak mendengarkan nasehatmu, tetapi kamu harus tetap

menolongnya, dan berharap dengan kesempatan kedua tersebut, dia semakin dapat

menghormati nasehat yang akan kamu berikan.

3. Seseorang yang mempunyai niat jahat tidak akan pernah berbuat baik apabila

kamu memusnahkannya, seperti panglima yang tidak membunuh tubinggang yang


63

telah melemah, panglima memberikan kesempatan untuk tubinggang untuk

berubah ke arah yang lebih baik.

4. Seperti tubinggang yang murka akibat terus menerus di ganggu oleh gadis cantik,

manusia pun mempunyai batas kesabaran yang harus diperhitungkan. Nilai yang ingin

disampaikan oleh potongan cerita ini adalah kamu harus berfikir sebelum mengganggu

dan meresahkan kehidupan orang lain tanpa memperhitungkan kekuatan yang dia

miliki, seseorang akan menjadi sangat nekat apabila kamu terus menerus mengganggu

kehidupannya, maka ciptakanlah kedamaian diantaramu.

Gambar 5.9 Tubinggang/ Gurda-Gurdi/ Garuda


Merupakan Satu-Satunya Karakter Hewan Dari Tarian Ini.

5.6 Unsur Dasar Dan Nilai Yang Tersirat Dari Tembut-Tembut

Ada beberapa elemen yang digunakan untuk pembuatan tembut-tembut

seberaya, seperti kayu, baju/pakaian, besi, warna/cat, bulu dan kulit kambing.

Berdasarkan hasil wawancara dengan keturunan pertembut-tembut seberaya, elemen

kayu merupakan unsur terpenting dalam pembuatan tembut-tembut seberaya, dan

karena itu merupakan hal terpenting, pelaku budaya tidak memperkenankan peneliti

untuk mengungkapkan kayu yang dipergunakan untuk pembuatan tembut-tembut ini.

Hal tersebut sangat logis, mengingat banyaknya duplikasi yang lebih mengarah ke

“tiruan” (mirip dengan yang asli namun tidak mempunyai nilai sejarah, nilai makna di
64

setiap pahatan dan warnanya dan nilai-nilai yang lain yang secara umum hanya

digunakan untuk kepentingan ekonomi atau koleksi semata).

Untuk pakaian, tembut-tembut seberaya tidak menggunakan bahan-bahan

dasar yang bersyarat, pakaian dengan bahan dasar apapun dapat digunakan. Namun

untuk penggunaan warna pakaian, dari keseluruhan tembut-tembut karo, yang

menggunakan warna yang spesial (dari dulu tidak pernah berubah warna yang

dipakainya) adalah Puanglima.

Gambar 5.10 Warna Pakaian Yang Digunakan Oleh Puanglima Pada Saat Pementasan.

Puanglima sedari dulu digambarkan sebagai sosok yang berilmu tinggi dan

sangat percaya diri. Maka dari itu, sentuhan warna pakaian yang digunakan adalah

merah dan hitam. Pakaian yang lainnya tidak memiliki persyaratan yang berarti

terkecuali putri/ gadis cantik, burung tubinggang dan kikir labang yang memiliki

pakaian dengan model terusan seperti gambar berikut.


65

Gambar 5.11 Memperlihatkan Model Dan Warna Pakaian Yang Digunakan Oleh Gadis Cantik Dan
Burung Tubinggang Pada Saat Pementasan.

Untuk topeng, bahan pendukung yang digunakan dan nilai yang tersirat dari

warna misalnya saja:

1. Untuk Putri/Gadis Cantik

Gambar 5.12 Topeng Putri/Gadis Cantik

Bahan pendukung yaitu besi yang terletak di anting-anting. Untuk warna, gadis

cantik mempunyai topeng yang berwarna kuning. Idris menjelaskan bahwa kuning

melambangkan seseorang dalam masyarakat karo yang cantik. Cantik yang

dimaksudkan tentu saja bukan hanya sekedar fisik namun juga kepribadiannya.

Karena kecantikannya ini, raja pase berniat untuk menculiknya dan burung gurda-
66

gurdi ingin/ berniat mengganggunya. Sedangkan makna lisan yang tertera di

dagunya merupakan sebuah simbol orang bangsawan pada masanya. Informasi

mengenai warna yang tersirat di dagu tersebut, dapat dikatakan telah hilang/punah.

Seluruh pelaku budaya tidak mengetahui secara pasti apa makna warna dan ukiran

yang terdapat di dagu gadis cantik. Dwikora menjelaskan bahwa pada saat ia kecil,

generasi ke dua pertembut-tembut pernah menjelaskan apa arti dan makna yang

tersirat tersebut, namun saat ini informasi tersebut tidak ada satupun yang

mengetahuinya, terkecuali informasi yang menjelaskan bahwa ukiran tersebut

merupakan suatu simbol seorang bangsawan.

2. Anak Perana Atau Anak Muda

Gambar 5.13 Topeng Anak Perana Atau Anak Muda

Warna pakaian yang digunakan adalah biru dan kuning. Tidak ada makna yang

tersirat dari warna pakaian ini. Simbol yang tersirat dari warna dan ukiran dagu

juga sama seperti yang disimbolkan kepada gadis cantik. Permasalahan mengenai

informasi atas makna warna dan ukiran juga telah punah.


67

3. Kikir Labang

Gambar 5.14 Topeng Kikir Labang

Bahan pendukung topeng adalah besi yang terletak di anting-anting. Untuk warna,

kikir labang mempunyai topeng yang berwarna kuning dengan gigi yang berwarna

hitam. Maksud dari gigi yang berwarna hitam tersebut dikarenakan wanita karo

pada umumnya gemar mengkonsumsi sirih. Bahan sirih tentu bukan hanya daun

sirih saja, tetapi terdapat juga tembakau, kapur dan lain sebagainya yang

mengakibatkan gigi wanita karo yang mengkonsumsi ini menjadi hitam.

4. Puanglima/Panglima

Gambar 5.15 Topeng Puanglima/Panglima

Puanglima digambarkan sebagai sosok yang berilmu tinggi dan sangat percaya

diri. Dari sebab itu, sentuhan warna pakaian yang digunakan adalah merah dan

hitam. Bahan pendukung topeng ini adalah bulu dan kulit kambing yang menjadi
68

hiasan alis, kumis dan jenggot. Kulit yang berwarna hitam, cat yang berwarna

putih di atas kepala (menandakan uban), gigi belakang yang sudah ompong dan

jenggot yang berwarna putih menandakan umur yang sudah tua dan lanjut. Idris

mengatakan kulitnya yang hitam tersebut dimaksudkan sebagai penanda bahwa

puanglima telah lama berkelana, bekerja dan bertapa di usianya. Matanya yang

tajam dan raut mukanya yang tersenyum lebar menjadi petanda ia tidak takut

dengan siapapun yang ada disekitarnya, raut mukanya pada sesi kisah

mengisyaratkan “kalau saya benar, mengapa saya harus takut, siapapun akan saya

hadapi, seandainya mati pun, toh, saya mati dalam kemenangan”. Prinsip inilah

yang membawanya pada sosok topeng yang terlihat pada gambar di halaman

sebelumnya.

5. Burung Tubinggang/ Gurda-Gurdi/ Manuk Si Gurda-Gurdi/ Garuda

Gambar 5.16 Topeng dan Pakaian Dari Burung

Peran ini merupakan satu-satunya peran dengan karakter hewan. Dalam

pementasannya, burung tubinggang merupakan sosok yang agresif, dia menyerang

siapa saja yang dia lihat. Tokoh adat seberaya mengatakan, ilustrasi yang diberikan

padanya adalah pembawa bencana dan masalah. Apabila dia datang ke kandang

ayam yang berisikan ayam-ayam yang ingin bertelur, maka seluruh telur tidak akan
69

menetas atau ayam-ayam tersebut tidak akan mengeluarkan telurnya, akan ada

keributan dan kesengsaraan di tempat ia berada. Pada saat pementasan secara lokal

(Desa Seberaya) gurda-gurdi umumnya menyerang masyarakat dengan paruhnya

atau mencambuk masyarakat yang menontonnya dengan ekornya yang panjang.

Dari struktur wajah gurda-gurdi, sangat menggambarkan raut/struktur muka

burung enggang.

5.7 Karakter Dan Gaya Tembut-Tembut

Karakter dalam tembut-tembut seberaya ada 2 yaitu karakter manusia dan

karakter hewan. Gaya yang dituangkan pun berbeda, penjelasannya sebagai berikut:

1. Putri mempunyai warna kuning terang dengan gaya yang molek. Dalam

pementasannya, gadis cantik cenderung pasif, tidak banyak bergerak (hanya

menari seperti biasa) dan tidak digunakan untuk menyerang atau menakut-

nakuti siapapun.

2. Anak perana (anak muda) mempunyai gaya yang santun. Dalam

pementasannya, anak muda cenderung menari secara berwibawa, tidak banyak

bergerak (hanya menari seperti biasa) dan tidak digunakan untuk menyerang

atau menakut-nakuti siapapun.

3. Kikir labang, mempunyai warna kuning gelap dengan gigi yang hitam. Dalam

pementasannya, kikir labang cenderung pasif, tidak banyak bergerak (hanya

menari seperti biasa) dan tidak digunakan untuk menyerang atau menakut-

nakuti siapapun.

4. Panglima/ puanglima mempunyai warna hitam yang dominan. Dalam

pementasannya, panglima/ puanglima cenderung aktif, sangat banyak

bergerak (seperti menari, melompat, menggoyang-goyangkan kepala,


70

menendang dan lain sebagainya) dan digunakan untuk menyerang atau

menakut-nakuti siapapun.

5. Burung tubinggang mempunyai warna yang terpadu (dapat dilihat pada

gambar sebelumnya) dan merupakan satu-satunya karakter hewan dalam seni

pertunjukkan ini. Dalam pementasannya, burung tubinggang cenderung aktif,

sangat banyak bergerak (seperti menari, melompat, mengibas-ngibaskan ekor

seperti seolah mencambuk orang yang menontonnya, dan lain sebagainya) dan

digunakan untuk menyerang atau menakut-nakuti siapapun.

5.8 Siapa Yang Dilibatkan Dalam Pementasan Tembut-Tembut Seberaya

Gambar 5.17 Memperlihatkan Partisipasi Masyarakat Secara Aktif Dalam Memberikan


Persembahan Kepada Topeng Sakral Ini.

Dalam pementasan tembut-tembut seberaya; pengiring musik, pertembut-

tembut dan masyarakat lokal merupakan orang-orang yang dilibatkan dan mempunyai

peran lisan yang secara otomatis terjadi dalam pementasan tembut-tembut ini. Seperti

gambar diatas, tidak ada skema yang jelas untuk masyarakat lokal, namun masyarakat

sadar terlibat dalam pementasan ini tanpa aturan, tanpa disuruh, malah memberi uang

dan sirih di sela-sela paruh burung atau di sela-sela jari pertembut-tembut. Dari
71

sinopsis ini dapat dikatakan, masyarakat secara sadar sangat menghormati tarian

topeng ini. Karena hal tersebut, maka secara langsung maupun tidak langsung

masyarakat (pada khususnya) di Desa Seberaya telah terlibat dalam pementasan seni

pertunjukkan topeng ini sedangkan pengiring musik, diberi tugas agar dapat

mengiringi tarian pertembut-tembut.

5.9 Pesona Atraksi Tembut-Tembut Seberaya

tegangan dan energi terdapat dalam beberapa komponen yaitu pengiring

musik, masyarakat lokal dan pada tembut-tembut itu sendiri. Gertakan tembut-tembut,

nilai magis yang terdapat pada tembut-tembut dan kekompakan 3 elemen diatas

membawa energi yang berbeda. Dari hasil wawancara peneliti dengan masyarakat

yang ikut menonton pementasan seni pertunjukkan tembut-tembut ini, mereka

merasakan merinding dengan suasana yang dilukiskan oleh tembut-tembut baik dari

rupa wajah maupun rupa tari yang dipentaskan pada saat kerja tahun di desa seberaya

pada tanggal 16 juni 2011 lalu.

Gambar 5.18 Suasana Pagelaran/Festival Tembut-Tembut Seberaya

Masyarakat sesekali mengeluhkan mengenai kerasnya agama dalam melemahkan sisi

budaya lokal karo, terbukti dari kata-kata pertembut-tembut sekarang ini (Dwikora)

bahwa sudah hampir 11 tahun tembut-tembut seberaya tidak lagi dipertunjukkan di

Desa Seberaya, istilah yang mereka gunakan untuk gambaran tembut-tembut ini
72

adalah “bagi belo la er tangkai” (seperti sirih yang tidak bertangkai; dia ada di dalam

tumpukan sirih tetapi tidak terhitung dan tidak tampak ada di dalamnya, karena sirih

dihitung bukan berdasarkan daunnya tetapi tangkainya, dikarenakan sirih tersebut

tidak bertangkai maka dia tidak terhitung, namun dia ada di dalam kumpulan sirih

tersebut). Dari penjelasan pelaku budaya ini, peneliti hanya dapat melihat tembut-

tembut seberaya sebagai sebuah ironi budaya. Maka dari itu, peneliti sangat

merekomendasikan kepada pembaca untuk menonton video yang telah di upload oleh

peneliti ke situs youtube.com, sebagai suatu bukti atas tegangan dan energi yang

terdapat pada prosesi upacara yang sedang berlangsung di Desa Seberaya.

Gambar 5.12 Di sebelah kiri (terlihat remaja yang sedang mengambil video dari tembut
tembut seberaya yang menari di depannya) sedangkan di sebelah kanan (terlihat seorang
wisatawan yang ikut serta di parade ini, Kepala Desa Seberaya sempat berbincang dengannya,
wisatawan inilah yang menunjukkan kelemahan bahwa permasalahannya terdapat pada
“Calendar Of Tourism Events”

Anda mungkin juga menyukai