BAB I
PENDAHULUAN
ekonomi Bali dibangun lewat keunggulan industri pariwisata, industri kerajinan kecil
dan pertanian. Eksistensi pariwisata Bali yang begitu kental dan melekat dalam
seperti perdagangan, hotel dan restoran, transportasi serta komunikasi maupun sektor-
sektor yang tidak memiliki keterkaitan secara langsung seperti keuangan, industri,
persewaan dan jasa ternyata mampu memberikan kontribusi yang tidak kecil terhadap
dengan tahun 2011 jumlah kamar yang tersedia di Bali mencapai 55.000 kamar dari
tiga jenis sarana akomodasi yaitu hotel berbintang, hotel melati dan pondok
wisata/villa, dari jumlah kamar ini sudah cukup untuk memenuhi jumlah kamar
hingga tahun 2015. Untuk menghindari adanya persaingan harga kamar yang tidak
2015 nanti. (Diparda Bali, 2011). Dari keseluruhan jumlah kamar tersebut sarana
2
akomodasi lebih banyak terkonsentrasi di Bali Selatan khususnya Kota Denpasar dan
Kabupaten Badung. Di Kabupaten Badung pada tahun 2011 jumlah kamar mencapai
36.500 atau sebesar 66% dari keseluruhan kamar yang ada di Bali. Banyaknya
jumlah kamar yang terdapat di Kabupaten Badung tidak terlepas dari adanya tiga
provinsi Bali No. 16 tahun 2009, tentang Rencana Tata Ruang Provinsi Bali,
Pemerintah Kabupaten Badung terutama dari segi ekonomi. Salah satunya adalah
perolehan pajak hotel dan restoran (PHR) yang secara signifikan telah memberikan
kontribusi yang besar bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pemerintah Kabupaten
Badung. Sektor Pariwisata Kabupaten Badung menjadi urat nadi bagi ekonomi
tahunnya. Pasalnya dari sektor pariwisata pendapatan asli daerah (PAD) yang
dihasilkan Kabupaten Badung mencapai 1,3 triliun per tahun. Sedangkan PAD
Badung tahun 2012 mencapai Rp. 2,5 triliun. Dari penghasilan PAD itu, sebanyak 22
% diberikan kepada provinsi untuk dibagikan kepada enam kabupaten dari sembilan
kabupaten di Bali. Besaran yang dibagi sekitar Rp. 144 miliar. Enam kabupaten lain
Klungkung) melalui Gubernur Bali yang bertujuan untuk memberikan rasa manfaat
permasalahan yang cukup serius bagi Bali. Selama sepuluh tahun terakhir ini
tanpa memperhatikan supply dan demand, yang menyebabkan over supply yang telah
untuk bidang usaha tertentu (termasuk hotel berbintang), serta Moratorium Gubernur
Badung sebagai tempat yang ideal untuk berinvestasi khususnya untuk akomodasi
pariwisata karena memiliki sarana dan prasarana penunjang yang cukup memadai
dibandingkan daerah lainnya. Dengan adanya kondisi ini menjadikan para investor
mencari celah untuk dapat menyiasati kebijakan tersebut, yaitu dengan membuat
sarana akomodasi pariwisata yang berbeda dari yang ada sebelumnya, namun
memiliki fasilitas dan pelayanan seperti layaknya hotel berbintang maupun hotel
melati. Vila adalah salah satu akomodasi yang dijadikan alternatif sebagai sarana
khusus dengan relung-relung pasar yang baru, dan sebagainya. Selain itu secara
global terjadi perubahan pola perjalanan wisatawan sejak dekade 90-an dari mass
tourism ke arah yang bersifat individual yang pada akhirnya membawa konsekuensi
pada perubahan pola pemilihan berbagai jenis produk wisata termasuk akomodasi.
tercermin dari pemilihan jenis akomodasi yang cenderung mengarah pada jenis
akomodasi yang lebih tenang, aman dan privat. Dari dua kecenderungan tersebut,
yakni perubahan pola perjalanan dan pelayanan yang lebih bersifat pribadi serta
alasan keamanan inilah memicu wisatawan untuk tertarik terhadap akomodasi vila
Kabupaten Badung dan Bali pada umumnya, secara tidak langsung telah memberikan
nilai lebih bagi daerah tujuan wisata daerah Bali dan Kabupaten Badung pada
khususnya. Nilai lebih tersebut terutama dalam bidang daya tarik sarana akomodasi
pariwisata yang merupakan salah satu komponen penting bagi perkembangan suatu
pariwisata akan dapat menarik minat wisatawan dari berbagai segmen pasar untuk
berkunjung ke Bali.
diketahui secara jelas karena belum adanya lembaga pemerintah maupun non
pemerintah yang melakukan pendataan mengenai keberadaan vila. Data yang cukup
lengkap mengenai keberadaan vila di Kabupaten Badung baru diketahui pada tahun
5
2006 yang diperoleh berdasarkan penelitian yang dilakukan tim Tourism Field Study
(TFS) Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali. Berdasarkan hasil sensus yang
dilakukan oleh tim tersebut diketahui bahwa jumlah vila yang terdapat di Kabupaten
Badung mencapai 642 buah vila. Pola pemanfaatan dari 642 buah vila tersebut
adalah (1) bersifat komersil sebanyak 345 buah atau 53,7% ; (2) bersifat pribadi dan
komersil sebanyak 137 buah vila atau 21,4%; (3) bersifat pribadi sebanyak 160 buah
Tabel 1.1
Pertumbuhan Jumlah Vila di Kabupaten Badung Tahun 2008 - 2011.
baik yang diperuntukkan sebagai vila komersil maupun pribadi terus mengalami
peningkatan. Dari tahun 2008 sampai tahun 2011 telah terjadi peningkatan jumlah
Kecamatan Kuta Utara. Kondisi ini menunjukkan bahwa animo masyarakat dan
investor terutama para pelaku pariwisata untuk menjadikan bangunan vila sebagai
6
Badung telah menjadi suatu trend yang lebih mengarah kepada industri pariwisata.
kecamatan lainnya di Kabupaten Badung. Hal tersebut diteliti lebih jauh agar dapat
masyarakat ?
7
Tujuan umum yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengetahui
Kuta Utara.
ekonomi masyarakat.
vila dari segi lingkungan di wilayah destinasi wisata. Kajian ini sangat penting
artinya secara akademis dan diharapkan menjadi referensi yang berharga dalam
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN
MODEL PENELITIAN
Usaha akomodasi pariwisata adalah obyek yang cukup menarik untuk diteliti
dalam bidang pariwisata, hal ini dikarenakan usaha akomodasi pariwisata merupakan
belum pernah dilaksanakan, baru hanya sebatas pendataan jumlah villa dan esensi
dapat memperoleh jawaban sementara dari penelitian ini maka perlu dilakukan suatu
kajian terhadap beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini. Beberapa
penelitian yang berkaitan dengan vila dan dampak pariwisata akan dijadikan sebagai
Penelitian tentang vila pernah dilaksanakan oleh Tim Tourism Field Study
(TFS) Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali (2006) dengan judul penelitian
Penelitian ini melihat perkembangan vila lebih disebabkan oleh terjadinya perubahan
pola perjalanan wisatawan dari mass tourism ke arah yang lebih bersifat
mengetahui karakteristik pasar dari vila dan untuk mengetahui esensi atau manfaat
dari keberadaan vila, dilihat dari sisi pemerintah dan masyarakat di sekitar vila. Hasil
10
penelitian ini secara garis besar menyatakan bahwa keberadaan vila yang tersebar di
setiap kecamatan merupakan bukti dari pentingnya sarana akomodasi yang layak dan
yang dilakukan oleh Tim TFS Sekolah Tinggi Pariwisata Bali tersebut sangat relevan
dengan penelitian yang akan dilakukan karena memiliki objek penelitian yang sama
yaitu vila yang berada di wilayah Kabupaten Badung. Hasil penelitian ini akan
dijadikan salah satu referensi data base keberadaan vila di Kabupaten Badung.
memberikan dampak yang positif dan negatif terhadap lingkungan fisik. Dampak
energi listrik antara masyarakat lokal dengan usaha wisata (2) pengambilan air bawah
tanah yang tidak terkendali (3) pemanfaatan lahan yang tidak optimal (4) kerusakan
terumbu karang (5) penurunan hasil tangkapan nelayan (6) penurunan hasil budidaya
11
rumput laut dan (7) penurunan aktivitas pertanian lahan kering. Penelitian tersebut
2.2 Konsep
digunakan beberapa konsep yang dianggap sesuai dan terkait dengan penelitian ini,
antara lain konsep pariwisata, vila, dampak pariwisata terhadap lingkungan, dan
2.2.1 Pariwisata
dari Bahasa Sansekerta yang terdiri dari dua suku kata yaitu kata pari yang berarti
bepergian, atau dalam Bahasa Inggris disebut travel. Jadi, pariwisata dapat diartikan
sebagai perjalanan yang dilakukan berkali-kali atau berputar-putar dari satu tempat ke
tempat lain. Oleh karena itu, pengertian pariwisata sesungguhnya dapat dipadankan
dengan kata tour dalam Bahasa Inggris. Sedangkan bentuk jamak atau pembentukan
kata benda untuk pariwisata adalah kepariwisataan atau dalam Bahasa Inggris disebut
tourism, yaitu hal-hal yang menyangkut pariwisata. Orang yang melakukan kegiatan
kali (berpariwisata) disebut pariwisatawan atau turis atau dalam Bahasa Inggrisnya
12
disebut tourist. Dari pengertian ini dapat dibedakan antara traveller dengan tourist,
yang mana tourist merupakan bagian dari traveller. Namun demikian, dalam bahasa
pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi
dalam jangka waktu sementara. Dari definisi wisata ini kemudian ditarik definisi
pariwisata yaitu berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas
kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin
yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara
Dari sekian banyak definisi pariwisata, maka definisi yang diberikan oleh
Burkat dan Medlik (1981) dipakai dalam penelitian ini yang menyatakan bahwa:
1. Pariwisata timbul dari pergerakan orang ke, dan tinggal di, berbagai destinasi.
2. Ada dua elemen dalam pariwisata: perjalanan ke/dari destinasi dan tinggal di
3. Perjalanan dan tinggal di tempat di luar orang tersebut biasa tinggal dan
bekerja.
13
mendapatkan gaji/upah.
pariwisata yaitu usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan
bagi wisatawan yang mengunjungi suatu tempat wisata sebagai tempat beristirahat.
sarana untuk menyediakan jasa pelayanan penginapan yang dapat dilengkapi dengan
hotel melati, dan pondok wisata. Namun sejak tahun 2006 di Kabupaten Badung
dikenal pula jenis akomodasi parwisata yang disebut kondotel atau kondominium
hotel. Pelaku usaha akomodasi pariwisata tersebut diselenggarakan oleh badan usaha
wisata yang hanya boleh diusahakan oleh koperasi dan pengusaha perorangan.
14
2.2.3 Villa
perubahan-perubahan jenis kegiatan dalam industri pariwisata. Hal ini tidak terlepas
dari keberadaan sebagian besar kegiatan industri pariwisata merupakan bidang jasa
dan pelayanan, sehingga untuk dapat memenuhi kebutuhan wisatawan yang beraneka
ragam maka diperlukan adanya inovasi-inovasi baru untuk dapat memenuhi setiap
pola konsumsi wisatawan. Jasa dan pelayanan akomodasi adalah salah satu jenis
kegiatan pariwisata yang mengalami perkembangan yang cukup pesat, dan salah
Apabila mendengar kata vila, maka yang tergambar dalam benak kita adalah
salah satu bagian dari sarana akomodasi yang berada di wilayah pedesaan dan
pemukiman yang menyewakan satu unit bangunan atau lebih. Menurut Marpaung
(2001), vila adalah suatu usaha yang dikelola dengan menyediakan jasa pelayanan
serta kamar untuk tidur bagi pejalan yang mampu membayar pantas sesuai dengan
vila juga dikemukakan oleh Tim Tourism Field Study STP Nusa Dua Bali (2006),
vila adalah rumah di luar kota yang merupakan sarana akomodasi yang dapat
Usaha Villa, Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 disebutkan bahwa villa adalah jenis
akomodasi yang terdiri dari satu atau lebih unit bangunan yang berdiri sendiri yang
15
menyediakan jasa penginapan dan jasa lainnya dengan mengutamakan privasi dan
dalam penelitian ini adalah bangunan yang dipergunakan sebagai sarana akomodasi
pariwisata yang pengusahaannya sesuai dengan jenis-jenis usaha akomodasi yang ada
local.
ruang investasi).
sosial-budaya ini dapat bersifat positif dan negatif. Dampak positif pariwisata
dunia.
wisatawan.
wisatawan.
17
pengaruh dari luar yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya. Perubahan mata
uang, nilai mata uang, gejolak politik, bahkan perubahan cuaca atau iklim bisa
mempengaruhi permintaan.
Artinya sebagian besar dari mereka ingin mengunjungi daerah yang berbeda
setiap tahunnya daripada kembali ke tempat yang sama setiap musim liburan.
yang relatif kecil. Elastisitas harga merujuk ke hubungan antara biaya yang
terlepas dari dampak-dampak yang timbul sebagai bias-bias pariwisata Bali. Sebagian
mengenai dampak pariwisata Bali terhadap sektor Ekonomi, Pisik, dan Sosial.
ketergantungannya;
Sedangkan menurut Figuerola ada enam kategori dampak sosial budaya, yaitu :
budaya pariwisata
19
Sementara itu Pizam and Milman (1984) dalam Pitana (2007) juga
piramida kependudukan)
pendapatan dan taraf hidup masyarakat dan mampu memberikan kesempatan kerja
bagi masyarakat luas. Keuntungan secara ekonomi hendaknya juga dinikmati oleh
komponen pariwisata lainnya seperti pihak swasta yang telah menanamkan modalnya
serta pemerintah sebagai bagian dari komponen pariwisata yang tidak terpisahkan
mendapatkan perhatian yang serius. Untuk itu perlu diupayakan berbagai cara agar
mampu mengembangkan serta melestarikan lingkungan baik secara fisik maupun non
fisik. Secara fisik, eksploitasi alam secara besar-besaran misalnya mengalih fungsikan
terhadap lingkungan merupakan tindakan yang keliru. Secara non fisik, kelestarian
Pengusahaan Hutan Wisata, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman
Wisata Laut.
b. Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konvensi Sumber Daya Alam dan
Ekosistemnya.
Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman
Wisata Alam.
dan kebudayaan.
e. Kebijakan pengelolaan sumber daya laut dan pesisir yang dimuat Kepmen No.
f. Hal yang sangat menentukan dalam pemanfaatan sumber daya alam dan
pada tingkat daerah juga dikeluarkan khususnya Provinsi Bali telah mengeluarkan
pedoman tentang prinsip-prinsip pengembangan objek dan daya tarik wisata (1999:
a. Mempertahan ciri khas tiap daerah (kadang kala ciri khasnya hilang akibat
renovasi).
mahal.
akomodasi.
hari.
i. Jumlah kunjungan wisatawan harus sesuai dengan daya dukung objek dan
objek dan daya tarik wisata secara rinci perlu memperhatikan beberapa hal sebagai
berikut.
dibangun terlalu dekat dengan objek dan daya tarik wisata sehingga
d. Tempat parkir minimal 50 meter dari objek dan daya tarik wisata dan
berikut.
tahun.
2. Keadaan media lingkungan pesisir dan laut yang bersih dari bahan-
4. Habitat pendukung keindahan alam, seperti air laut yang bersih, jernih,
Kebijakan pariwisata nasional dapat ditinjau dari UUD 1945 dan UU No. 9
tahun 1990, hingga 1999 dengan apa yang dinamakan Kebijakan Nasioan (National
pariwisata dalam GBHN baru dilakukan pada PELITA II tahun 1978, yaitu dalam
lahir dan timbul atas dasar pemenuhan kebutuhan kebijakan operasional di bidang
pariwisata yang bersifat lintas sektoral. UU No. 10/2009 dapat dikaitkan dengan
UUD 1945 yang diamandemen, khususnya berkaitan dengan pasal 32 dan 33, yaitu ;
berbeda. Menurut Butler (dalam Sukarsa, 1998: 68) dijelaskan ada beberapa tahap
orang yang mencintai kegiatan perjalanan wisata (travel style). Pada dasarnya
orang-orang ini menyalurkan hasrat kecintaan pada suatu tempat tujuan, dan
kesadaran wisata dan gaya juga taraf hidup masyarakat stempat mulai
terjadi.
25
4. Tahap konsilidasi dan interelasi ; pada tahap ini, tingkat pertumbuhan sudah
5. Tahap kestabilan ; pada tahap ini, jumlah wisatawan yang datang pada musim
ramai, tidak mampu lagi dilayani oleh daerah tujuan wisata. Ini disadari
wisata tersebut. Siklus hidup pariwisata yang mangacu pada pendapat Butler
sebagai berikut:
26
Number of Tourism
Discovery Local Institutionalism Stagnation,
control rejuvenation,
or decline
Stagnation
Rejuvenation
Decline
consolidation
Development
involvement
Exploration
Time
Gambar 2.3. Siklus Hidup Area Wisata Butler (1992)
terjadi perilaku spesifik pada masyarakat lokal atas pengaruh pariwisata dari
waktu ke waktu. Tingkat iritasi masyarakat menurut Doxey dapat dilihat pada
Apathy
- Visitors are taken for granted and contacts becomes more formal
(wisatawan dianggap lebih mengetahui sehingga komunikasi
menjadi lebih resmi).
Teori ini dapat digunakan untuk mengukur dampak social yang ditimbulan
atas hubungan yang terjadi antara masyarakat local dan wisatawan, adapaun
pariwisata.
a. Pendekatan Advocacy
b. Pendekatan Cautionary
Karena pariwisata baru dipandang dari satu sisi saja, ada dorongan
konflik.
c. Pendekatan Adaptasi
dangan mencari bentuk lain perkembangan pariwisata dari selama ini yang
negara atau daerah tujuan wisata. Cara berpikir baru ini berdasarkan
pandangan bahwa alam dan budaya dapat digabungkan dalam satu konteks.
pandangan selera tuan rumah maupun tamu. Contoh dari bentuk alternatif
keadaan masyarakat tuan rumah dan peka pada selera masyarakat tuan
Dengan memanfaatkan berbagai hal yang positif dan negatif dari semua
ini juga menganggap bahwa pariwisata adalah bidang penelitian yang multi-
disipliner dan cendrung menerapkan teori dan metode dari berbagai bidang
untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Konsep ini sangat tepat untuk dijadikan
landasan sebagai grand teori, tidak saja bagi kajian pengembangan pariwisata, tapi
dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan
lingkungannya secara selaras, serasi yang di istilah bali disebut dengan Tri hita
Karana.
Selain aspek-aspek tersebut, ada beberapa aspek lain yang perlu diketahui di
4) Aspek lain yang tak kalah pentingnya untuk dikaji dalam perencanaan dan
1. Wisatawan
karakteristik wisatawan yang diharpkan datang. Dari negara mana saja mereka
datang, anak muda, orang tua, pengusaha, pegawai, apa kesukaannya dan pada
2. Pengangkutan
atau jenis kendaraan yang digunakan, baik untuk membawa wisatawan dari negara
ke dareah tujuan wisata yang dituju. Selain itu, bagaimana pula dengan
32
dikunjungi.
3. Atraksi dan objek wisata yang akan dijual, apakah memenuhi tiga syarat seperti
4. Pasilitas Pelayanan
Fasilitas apa saja yang tersedia di daerah tujuan wisata tersebut seperti ;
dikunjungi.
akan dilakukan seperti ; kapan waktunya pasang iklan lewat media cetak atau
wisatawan mengetahui tiap paket wisata yang ada dan memudahkan calon
haruslah merupakan suatu kesatuan dengan pembangunan regional atau nasional dari
oleh komisi dunia untuk lingkungan hidup dan pembangunan PBB tahun 1987.
kualitas pengalaman wisatawan, kualitas sumberdaya (budaya dan alam), dan kualitas
kehidupan masyarakat.
Ada beberapa teori yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu teori
permintaan dan penawaran, teori konflik, dan teori dampak. Adapun teori tersebut
Paska peristiwa Bom Bali I tahun 2002 dan Bom Bali II pada tahun 2005
silam, animo wisatawan baik domestik maupun mancanegara tidak surut untuk
berkunjung ke Bali. Dari tingginya kunjungan ini ada trend pergeseran keinginan
wisatwan untuk menginap di tempat yang lebih nyaman, aman dan jauh dari hingar
bingar kehidupan pariwsata. Dari kondisi lapangan yang di apreisiasi oleh investor
arah Kuta Utara. Ternyata terobosan ini mendpat sambutan dari wisatawan yang
berkunjung ke Bali.
Menurut Pitana, et al. (2005:66) yang dikutip dari Richardson dan Fluker
factors). Faktor pendorong dan penarik ini merupakan faktor internal dan eksternal
pariwisata muncul dari unsur permintaan dan penawaran antara wisatawan dan daerah
tujuan wisata. Kedua unsur ini ibarat mata uang yang memiliki dua sisi yang tidak
35
bisa dipisahkan. Tanpa permintaan wisatawan, segala macam daya tarik wisata yang
ada tidak akan ada gunanya, dan sebaliknya tanpa daya tarik wisata, wisatawan tidak
laut dan udara yang semakin aman, nyaman dan murah dapat meningkatkan
transportasi udara. Hal ini sangat sesuai dengan teori permintaan dan penawaran yang
menyatakan bahwa semakin rendah harga suatu produk maka semakin banyak produk
yang dibeli oleh konsumen (Tasman dan Aima, 2005:12). Sebagai dampaknya, saat
ini pariwisata bukan hanya konsumsi eksklusif para pengusaha, petinggi negara dan
daerah, kalangan elit dan selebritis, tetapi juga konsumsi orang-orang desa yang
Permintaan wisatawan tanpa ada penawaran dan pelayanan dari daerah tujuan
(intangible), bahkan seringkali tidak dirasakan. Mulai dari pembersihan kamar hotel
yang dilakukan oleh staf room service, aneka hidangan dan cara penyajiannya yang
dilakukan oleh staf food and beverage sampai penyediaan informasi di Tourist
36
ini tidak selamanya berjalan harmonis. Lebih jauh, konflik dapat timbul dari interaksi
lainnya. Hal ini mendorong adanya analisis terhadap perilaku manusia dalam
perspektif teori konflik dalam rangka memenuhi kebutuhan laten berupa status,
kekuasaan serta sumber kekayaan, dan persediaan sumber daya pariwisata yang
terbatas.
bahwa konflik dapat terjadi antar pribadi, antar kelompok, dan dapat berfungsi positif
atau negatif. Marx menggunakan strategi perjuangan kelas yang antagonistik antara
secara sistemik. Menurut Coser dalam Suprayogo (2001), konflik adalah perselisihan
yang sedang berselisih tidak hanya berusaha memperoleh barang yang diinginkan,
terutama berkaitan dengan konflik yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan dan
37
sumber daya di Kecamatan Kuta Utara. Selain itu, teori konflik juga akan dipakai
untuk mengkaji konflik lainnya yang berkaitan dengan pariwisata, misalnya konflik
sumberdaya manusia. Solusi atas konflik dapat dijadikan dasar dalam penyusunan
raksasa yang terdiri atas sejumlah subsistem budaya, termasuk interaksi individu
dengan yang lainnya. Aksioma individu berbeda dalam berbagai cara, berbeda ide,
dalam ruang sosial. Seseorang akan mudah dipengaruhi oleh orang terdekat dari pada
akibat adanya suatu aktivitas. Perubahan tersebut dapat berupa perubahan struktur
ekonomi, struktur sosial, fisik wilayah, pola konsumsi, pola perilaku, alam dan
lingkungan hidup, teknologi, dan perubahan sistem nilai budaya. Perubahan yang
3. disadari, menduga dan mengharapkan namun semua dugaan atau prakiraan itu
Dampak suatu kegiatan yang direncanakan oleh manusia secara umum dapat
dikatagorikan sebagai dampak primer dan dampak sekunder. Dampak primer adalah
38
dampak langsung yang dihasilkan oleh suatu kegiatan, sedangkan dampak sekunder
adalah dampak lanjutan dari dampak primer. Tingkat proses perubahan dapat
berlangsung dalam skala mikro, mezo dan makro yang berlangsung dalam skala
waktu yang pendek dan sangat cepat, atau lambat yang memerlukan waktu berpuluh-
puluh tahun. Perubahan mikro terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan dalam
kelompok kecil seperti keluarga. Perubahan mezo terjadi dalam kelompok besar
berupa dampak positif dan negative. Batasan pengertian tentang dampak positif dan
1. Dampak Positif
Dampak positif dari perkembangan pariwisata baik dari segi mikro maupun
wisatwan.
2. Dampak Negatif
dengan pengelola kawasan atau daya tarik wisata, dan penolakan terhadap
dalam berbagai aspeknya, sehingga untuk melihat secara langsung dampak social
budaya masyarakat tidak begitu mudah. Meskipun industry pariwisata yang sangat
ramah dengan lingkungan tetapi tetap saja menimbulkan dampak positif dan negative
komersialisasi budaya, dan gaya hidup yang konsumtif. Hal ini yang membuat tidak
Secara umum dampak yang ditimbulkan adalah dampak positif dan dampak
meliputi: (1) terjadinya pertambahan penduduk akibat pendatang baru dari luar
konsumtif; (4) terganggunya lingkungan; (5) semakin terbatasnya lahan pertanian; (6)
Menurut Shaw and Williams dalam Ardika, (2003:25) dampak positif dari
kreativitas dan inovasi budaya, akulturasi budaya, dan revitalisasi budaya. Sedangkan
dampak negative yang sering dikawatirkan terhadap budaya masyarakat local antara
terhadap ekonomi dan social budaya masyarakat serta lingkungan fisik Kecamatan
Kuta Utara.
yang dikenal dengan teori evolusi, dimana proses evolusi dipengaruhi oleh keadaan
lingkungan alam. Teori Perubahan Budaya bersumber dari teori Sosiologi Pariwisata
dan Antropologi Pariwisata. Menurut teori perubahan, yang kuat akan dapat
bertahan hidup sementara yang lemah akan dikuasai oleh yang kuat ataupun
tersingkir dari persaingan. Bahwa segala sesuatu pasti akan mengalami perubahan.
Steward dan Harsojo (dalam Kaplan dan Manner, 2000: 63-64) adalah tokoh
yang mengembangkan teori darwin. Selanjutnya Steward yang terkenal dengan teori
Kesejajaran terutama nampak pada unsur yang primer, sedangkan unsur kebudayaan
yang sekunder tidak nampak perkembangan yang sejajar dan hanya tampak
mengemukakan bahwa perubahan yang terjadi dalam lingkungan fisik sering diikuti
perubahan yang terjadi dalam masyarakat dan budaya akan dapat mengalami
jaringan listrik, air; pembangunan hotel, restoran, toko sounier dan lain-lain, akan
jelas mengakibatkan perubahan pada lingkungan fisik. Sisi lain dari pengaruh
ditawarkan Teori Brikade dan Teori Pengelolaan Sumber Daya Berbasis Komunitas.
terjadi pula perkembangan yang sifatnya kualitatif yang terjadi pada sisi wisatawan
seperti perubahan tuntutan dan selera wisatawan, perkembangan trend produk wisata,
relung pasar yang baru, dan sebagainya (Mahadewi dan Pitana, 2008). Selain itu juga
perubahan pola perjalanan wisatawan yang terjadi sejak dekade 90-an dari mass
42
tourism ke arah yang bersifat individual pada akhirnya membawa konsekuensi pada
juga tercermin dari pemilihan jenis akomodasi yang cenderung mengarah pada jenis
akomodasi yang lebih tenang, aman dan private. Dari dua kecenderungan tersebut,
yakni perubahan pola perjalanan dan pelayanan yang lebih bersifat pribadi serta
alasan keamanan inilah memicu wisatawan untuk interes terhadap akomodasi vila
dibicarakan oleh masyarakat dan insan pariwisata karena para pengusaha pariwisata
pariwisata.
Kabupaten Badung sepertinya dapat dijadikan sebagai salah satu contoh dari
dapat dilihat dari perkembangannya yang begitu cepat dan seperti tanpa kendali.
Keberadaan vila memiliki beberapa potensi yang mendapat perhatian cukup luas dari
berbagai kalangan baik itu potensi bersifat positif ataupun negatif, seperti :
Fenomena yang terjadi di Kecamatan Kuta Utara saat ini ditandai dengan
vila ini. Dengan bantuan beberapa teori, yaitu teori konflik dan teori dampak serta
Model penelitian ini sebagaimana terlihat pada Gambar 2.1 di bawah ini :
44
Isu Global/Eksternal
1. Perkembangan pariwisata yang bersifat kuantitatif
2. Perubahan pola perjalanan wisatawan
3. Perubahan pola pemilihan berbagai produk wisata
Isu Lokal/Internal
1. Ketertarikan pada akomodasi yang tenang, aman dan privat
2. Munculnya akomodasi vila sebagai akomodasi alternatif
Rumusan Masalah
1. Dampak pembangunan vila terhadap lingkungan
Kecamatan Kuta Utara
2. Dampak pembangunan vila terhadap sosial budaya
masyarakat Kecamatan Kuta Utara.
3. Dampak pembangunan vila terhadap ekonomi masyarakat
Kecamatan Kuta Utara
Konsep-Konsep
1. Pariwisata
2. Sarana Akomodasi Landasan Teori
Pariwisata 1. Teori Permintaan dan
3. Villa Penawaran
4. Dampak Pembangunan 2. Teori Konflik
Pariwisata 3. Teori Dampak
5. Pengembangan Pariwisata 4. Teori Perubahan
6. Pengembangan Kawasan Budaya
7. Pembangunan Pariwisata
Berkelanjutan
Pembangunan Villa
di Kecamatan Kuta Utara
Rekomendasi
45
BAB III
METODE PENELITIAN
beberapa pertimbangan, yaitu: (1) memiliki persebaran jumlah vila paling banyak; (2)
dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif terhadap lingkungan fisik, (3)
merupakan salah satu dari enam kecamatan yang ada di Kabupaten Badung, Provinsi
Bali. Kecamatan Kuta Utara memiliki luas wilayah 33,86 Km2 atau sekitar 8,10%
dari luas Kabupaten Badung. Dalam monografi disebutkan Kecamatan Kuta Utara
Kelurahan Kerobokan Klod, Desa Canggu, Desa Dalung dan Desa Tibubeneng),
Pantai yang menjadi daerah tujuan wisata pendukung pesatnya pertumbuhan vila di
Kecamatan Utara yaitu Pantai Canggu, Pantai Batumejan, Pantai Pertancak, Pantai
Berawa, dan Pantai Batu Belig. Sedangkan pembangunan vila berada di Desa
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif dan
data kualitatif.
1. Data kuantitatif, yaitu data yang berbentuk angka-angka serta dapat dihitung,
vila yang terdapat di Kecamatan Kuta dan jumlah penduduk Kecamatan Kuta
Utara.
2. Data kualitatif, yaitu data yang berupa keterangan-keterangan dan tidak dapat
diangkakan atau tidak dapat diukur, antara lain: kondisi perkembangan sarana
vila, potensi ekologis dan sosial budaya Kecamatan Kuta Utara, profil sarana
Data yang didapatkan dalam penelitian ini berasal dari dua sumber, yaitu:
1. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung di lapangan yang didapatkan
Bappeda Badung, Dinas Cipta Karya Badung), para pelaku usaha vila, dan
48
wawancara ini sebagian besar data yang didapatkan adalah data kualitatif.
pengolahan data yang bersal dari beberapa sumber, baik dari instansi
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. Selain itu sumber data sekunder juga
diperoleh dari literatur teknis seperti artikel-artikel yang terkait dengan topik
Badung seperti buku Badung dalam Angka maupun dari referensi dan
penelitian berupa (1) panduan wawancara (interview guide) yang berupa daftar
sebelumnya, dan (2) ceklist untuk observasi persebaran vila dan dampak yang
ditimbulkan terhadap lingkungan fisik. Selain itu, digunakan juga alat perekam
suara, kamera, dan alat tulis lainnya yang dianggap perlu dan disesuaikan dengan
orang), Dinas Cipta Karya (1 orang), pelaku Usaha Vila (6 orang), Ketua
Asosiasi Vila se-Bali (1 orang), para kelian banjar se-Kuta Utara (12 orang),
anggota DPRD Badung (1 orang), Camat Kuta Utara dan Kepala Desa se-
Kuta Utara (7 orang). Jadi jumlah informan dalam penelitian ini adalah 30
orang.
pola, kategori, dan satuan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat
dirumuskan hipotesis kerja, seperti yang disarankan oleh data (Nazir, 1988).
untuk dideskripsikan dalam suatu kualitas yang mendekati kenyataan (Muhajir, dalam
dan pengelompokan data yang terkumpul, baik yang berupa ide, ungkapan, maupun
pengabstrakan, dan transformasi data mentah yang muncul dari hasil catatan-
kualitatif, yaitu memberikan narasi dan makna terhadap data dan informasi kualitatif,
Penyajian hasil analisis data pada penelitian ini dilakukan secara kualitatif
artinya hasil analisis akan dipaparkan sedemikian rupa dan pada bagian tertentu
diinterpretasikan sesuai dengan teori dan kerangka pemikiran yang berlaku umum.
Dengan penyajian secara formal dan informal yang demikian akan diperoleh
gambaran yang lebih jelas dan mendalam tentang penelitian yang dilakukan.
52
BAB IV
Wilayah Kabupaten Badung dalam konteks regional Bali memiliki peran yang
digerakkan oleh industri pariwisata yang perkembangannya cukup pesat dalam satu
dekade terakhir. Keindahan alam serta keunikan seni dan budaya yang dijiwai dan
bernafaskan agama Hindu, serta ditunjang oleh banyaknya objek wisata serta
berbagai sarana akomodasi bertaraf internasional seperti hotel, restaurant & bar, biro
perjalanan wisata dan adanya berbagai atraksi wisata yang terdapat di wilayah ini,
menjadikan sektor pariwisata sebagai primadona dan sumber pendapatan utama bagi
Kabupaten Badung. Lebih dari 90% pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten
Badung diperoleh dari sektor ini dan pengembangan kepariwisataan di daerah ini
pariwisata yang ada di daerahnya. Salah satu upaya tersebut adalah dengan
yang optimal. Berdasarkan Laporan Akhir RTRW Kabupaten Badung Tahun 2005,
menjadi program prioritas daerah adalah program penataan obyek wisata beserta
( Kondotel ).
terdapat pula potensi alam sebagai DTW, konservasi air tanah, industri kecil
dan kerajinan rumah tangga. Wilayah Badung Utara diarahkan pada wisata
agro dan wisata peternakan dalam arti luas. Wilayah pembangunan Badung
Kecamatan Kuta, Kuta Utara dan Kuta Selatan didominasi oleh aktivitas
2008:5).
Badung. Hal ini terbukti lebih dari 90 % pendapatan daerah Badung diperoleh
Badung memiliki dua puluh enam buah DTW alam, tujuh buah DTW budaya,
satu buah DTW remaja dan tiga buah DTW buatan. Jumlah keseluruhan
DTW di Kabupaten Badung sebanyak tiga puluh tujuh buah DTW yang
ketiga puluh tujuh daya tarik wisata tersebut diklasifikasikan menjadi wisata
alam dan wisata budaya dengan tiga kategori kelompok DTW sesuai dengan
1) Daerah tujuan wisata (DTW) yang sudah berkembang: Pantai Kuta, Pantai
Nusa Dua, Blahkiuh, Pantai Tanjung Benoa, Pantai Peti Tenget, Pantai
Suluban, Water Boom, Sangeh, Taman Ayun, Uluwatu, Pura Sada Kapal, dan
Bangkung, Taman Reptil, Pura Keraban Langit, dan Pura Puncak Tedung.
3) Daerah tujuan wisata (DTW) yang akan berkembang: Pantai Canggu, Pantai
Labuhan Sait, Tanah Wuk, Desa Petang, Air Terjun Nungnung, Pantai Geger,
Pantai Jimbaran, Wisata Agro Plaga, Pantai Berawa, Pantai Nyang Nyan,
Pantai Padang Padang, Pantai Batu Pageh, Pantai Samuh, Pantai Kedonganan,
Pantai Seseh, Alas Pala Sangeh, Taman Rekreasi Hutan, Desa Baha, Pantai
Batu Belig, Pantai Tanjung Benoa (Pulau Penyu), dan Monumen Tragedi
Kemanusiaan.
56
Kecamatan Kuta Utara merupakan salah satu dari enam kecamatan yang ada di
Kabupaten Badung. Secara geografis Kecamatan Kuta Utara terletak pada 08o38’44.2’’
Lintang Selatan dan 08o38’44.2’’ Bujur Timur. Secara administratif Kecamatan Kuta
laut. Secara umum keadaan topografi Kecamatan Kuta Utara tergolong dataran landai
yang merupakan daerah persawahan dengan pemandangan asri dan indah serta
pemukiman penduduk dan fasilitas akomodasi (villa, cottage, hotel) di sebelah utara,
selatan dan timur. Di sebelah barat, Kecamatan Kuta Utara dibatasi oleh daerah pesisir
pantai yaitu Pantai Canggu di Desa Canggu, Pantai Berawa di Desa Tibubeneng dan
Kecamatan Kuta Utara merupakan daerah dataran dan persawahan dengan material
Secara keseluruhan luas wilayah Kecamatan Kuta Utara pada tahun 2007 adalah
6.451 ha, yang terdiri dari lahan pertanian/basah 3.030 ha dan lahan kering 3.421ha.
Berdasarkan data Monografi Kecamatan Kuta Utara Tahun 2010 luas lahan pertanian
adalah 3.008ha, yang berarti lahan pertanian telah mengalami penyusutan seluas 22 ha
dalam rentan waktu tiga tahun terakhir karena adanya alih fungsi lahan pertanian
57
menjadi fasilitas penunjang pariwisata (vila, hotel, perumahan, pasar modern, dan lain-
lain). Wilayah Kuta Utara berada di ketinggian antara 0 – 352 m dari permukaan laut.
Cuacanya cukup panas, curah hujan rata-rata 250 mm dengan rincian enam bulan basah
Kecamatan Kuta Utara merupakan daerah dataran yang berupa areal pedesaan
dan persawahan sangat berpotensi sebagai salah satu daya tarik wisata. Pemandangan
indah dari sawah yang membentang luas serta suasana pedesaan yang asri merupakan
salah satu potensi yang mampu menarik minat wisatawan untuk datang berkunjung.
Obyek wisata alam lainnya yang dapat dijumpai di daerah ini adalah pantai dimana di
Kecamatan Kuta Utara terdapat beberapa pantai yang indah yaitu Pantai Petitenget,
Pantai Canggu dan Pantai Berawa dimana wisatawan dapat melakukan aktivitas wisata
4.2.3 Aksesibilitas
daerah tersebut, dengan adanya aksesibilitas yang baik, suatu kawasan akan dapat
dicapai dengan mudah. Sebagai suatu daerah yang sebagian besar pendapatan
daerahnya berasal dari sektor pariwisata, Kecamatan Kuta Utara memiliki aksesibilitas
Letak geografis Kecamatan Kuta Utara sangat strategis yang mana hanya
berjarak 15 – 20 Km dari Bandara Ngurah Rai, dan 5 Km dari ibukota propinsi. Jalan
58
di Kecamatan Kuta Utara merupakan kelas jalan kecamatan dengan kondisi jalan yang
sebagian besar masuk dalam kategori baik dengan kelas jalan dalam kategori IIIB.
Kecamatan Kuta Utara tercatat 62.481 jiwa yang terdiri dari warga negara Indonesia
(WNI) 62.327 orang dan warga negara asing (WNA) 154 orang. Dilihat dari
desa/kelurahan dengan jumlah penduduk paling banyak yaitu sebanyak 18.121 jiwa.
Kelurahan Kerobokan Kaja sebanyak 13.233 jiwa, Desa Tibubeneng sebanyak 9.813
Kuta Utara berjumlah 62.481 jiwa, tetapi yang direkapitulasi oleh perangkat kecamatan
24.844 orang. Mata pencaharian penduduk Kecamatan Kuta Utara sebagian besar
sebagai petani (34 %), sebagai pedagang (21 %), buruh bangunan (20 %), PNS (6,66
%), pengusaha sedang/besar (6 %), pengerajin industri kecil (2,50 %), pensiunan
PNS/TNI (2,45 %), buruh industri (2 %), pengangkutan (1,86 %), peternak (1,76 %)
TNI (0,31 %), buruh pertambangan (0,16 %) dan buruh perkebunan (0,06 %).
59
Tabel 4.1
Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian Pokok
di Kecamatan Kuta Utara
No Mata Pencaharian Jumlah (orang)
1 Petani 8.561
2 Nelayan 140
3 Pengusaha sedang/besar 1.507
4 Pengrajin/industri kecil 627
5 Buruh industri 501
6 Buruh bangunan 5.047
7 Buruh pertambangan 40
8 Buruh perkebunan 15
9 Pedagang 5.214
10 Pengangkutan 464
11 PNS 1.657
12 TNI 79
13 Pensiunan PNS & TNI 609
14 Peternak 438
Total 24.844
Sumber : Profil Kecamatan Kuta Utara (2010)
Sejak kasus bom Bali 1 dan 2 wisatawan yang biasanya tinggal di Kuta beralih
ke wilayah Kuta Utara. Disitulah mereka membangun vila baik untuk sendiri maupun
seperti sekarang ini, mata pencaharian utama masyarakat Kuta Utara adalah sebagai
petani (80 %), PNS dan TNI (5 %), pedagang, buruh bangunan dan lain-lain 15 %
(Sumber: Profil Kecamatan Kuta Utara Tahun 2000). Seiring dengan pesatnya
pertumbuhan pariwisata dalam sepuluh tahun terakhir ini dan dibarengi dengan
60
terjadinya alih fungsi lahan yang tidak terkendalikan maka lambat laun para petani
lainnya. Sehingga sesuai dengan data lapangan yang diperoleh hingga saat ini yang
masih menekuni mata pencaharian sebagai petani adalah 34 % (8.561 orang) dari
jumlah penduduk yang ada di Kecamatan Kuta Utara (Sesuai dengan Tabel 4.1)
61
BAB V
Hingga saat ini, banyak faktor yang terlupakan oleh pemerintah dalam
dan multidisiplin, yaitu kebijakan tersebut harus dibuat mengacu pada riset terpadu,
tidak bersifat instant, serta melalui sosialisasi sebagai proses uji publik. Bila faktor
menggembirakan seperti ramal para ahli berikut ini: “Industri yang akan bertahan di
1. Menetapkan kawasan Nusa Dua, Tuban dan Kuta (Kuta Selatan , Kuta Tengan
dan Kuta Kuta Utara ) sebagai kawasan pariwisata dan pengembangan sarana
akomodasi.
2. Mensingkrunkan penataan ruang wilayah Kabupaten dengan pengembangan
penataan ruang kawasan perkotaan Sarbagita.
3. Menetapkan kawasan perkotaan Kuta sebagai Pusat Kegiatan Nasioanal dan
Kawasan Perkotaan Benoa sebagai Pusat Kegiatan Lokal.
4. Mengembangkan sarana dan Prasarana pelayanan umum yang berkwalitas.
5. Meningkatkan kwalitas lingkungan sebagai aset utama kepariwisataan yang
berkelanjutan.
6. Mempertahankan keberadaan kawasan lindung serta mengendalikan
pembangunan pada kawasan rawan bencana.
7. Memantapkan pengelolaan kawasan pesisir dan laut secara terpadu.
(Sumber : Diparda Badung, 2011).
perhatian yang kritis dari semua pihak, salah satunya dari kalangan akademisi.
mengorbankan nilai-nilai luhur yang menjiwai kebudayaan Bali dan umat Hindu
sebagai pendukungnya.
dampak positif bagi masyarakat. Namun demikian, dibalik dampak positif itu tidak
akan pernah lepas dari sisi negatifnya, yang bila tidak ditangani dengan sungguh-
sungguh nantinya dapat berdampak negatif baik pada sektor ekonomi, fisik, maupun
sosial masyarakatnya.
Lahan di Kecamatan Kuta Utara yang merupakan lahan kering dan persawahan,
Berdasarkan Keputusan Bupati Badung No.67 Tahun 2009, tentang Rencana Detail
Tata Ruang Kecamatan Kuta Utara, pemanfaatan ruang daratan terdiri dari kawasan
limitasi, kawasan budi daya pertanian, dan kawasan budidaya non pertanian. (Sumber
fungsinya untuk pembangunan fisik di Kecamatan Kuta Utara dengan jenis peruntukan
dengan lokasi di sekitar pantai sampai dengan rencana jalan tembus ke Tanah Lot.
Tabel 4.3
Data Luas Tanah Kecamatan Kuta Utara
seperti vila, hotel, perumahan, pasar modern, dan lain-lain. Secara keseluruhan luas
wilayah Kecamatan Kuta Utara pada tahun 2007 adalah 6.451 ha, yang terdiri dari
lahan pertanian/basah 3.030 ha dan lahan kering 3.421ha. Berdasarkan data Monografi
Kecamatan Kuta Utara Tahun 2010 luas lahan pertanian adalah 3.008 ha, yang berarti
64
lahan pertanian telah mengalami penyusutan seluas 22 ha dalam rentang waktu tiga
tahun terakhir karena adanya alih fungsi lahan pertanian menjadi fasilitas penunjang
pariwisata. Dari 22 ha lahan tersebut sebagian besar sudah dibangun vila dan sebagian
ada yang belum difungsikan sehingga terkesan sebagai lahan tidur. Gambar di bawah
ini adalah salah satu vila yang ada di wilayah Kuta Utara.
Gambar 5.1 Canggu Club dan salah satu vila di Desa Kerobokan
2. Pencemaran
Pembangunan vila dan perumahan di Kuta Utara telah menyebabkan tingkat
pencemaran yang sangat tinggi. Sekitar tahun 2000-an air sungai masih bersih dan
65
bisa digunakan sebagai tempat mandi oleh warga setempat. Namun akibat
pembuangan limbah dari perumahan dan vila ke sungai mengkibatkan sungai menjadi
kotor dan tidak layak dipakai mandi. Seorang warga Desa Canggu, Nyoman Winata
“Dahulu saya biasa berendam di sungai karena airnya masih bersih tetapi
sekarang saya tidak berani lagi berendam di sungai karena airnya sudah sangat
kotor karena banyaknya sampah dari plastic dan kotoran hewan yang berasal
dari pemukiman penduduk” (Hasil wawancara tanggal 5 November 2011).
3. Abrasi pantai
Akibat pengaruh alam (arus dan gelombang) serta banjir dari hulu sungai telah
menyebabkan erosi pantai yang cukup memprihatinkan. Sehingga pasir pasir pantai
hanyut dibawa ke tengah laut, dan lama kelamaan permukaan pantai menjadi makin
curam serta mengikis lahan pertanian di sekitarnya. Hal ini tentu sangat mengancam
4. Banjir
Kerusakan daerah serapan air yang tidak tertangani dengan baik menyebabkan
sering terjadi kekeringan dan kekurangan air pada musim kemarau, dan sebaliknya
terjadi banjir pada musim hujan. Semakin sedikitnya lahan pertanian di Kuta Utara
menyebabkan wilayah Kuta Utara setiap tahun tidak pernah absen dari banjir. Hal ini
disebabkan oleh air hujan yang tidak ada yang menyerap karena permukaan tanah
langganan banjir di Kuta Utara meliputi Desa Kerobokan, perumahan Canggu Permai
warga.
sumber daya alam dan barang-barang konsumsi lainnya untuk memenuhi keperluan
hidup. Dalam pemenuhan atas barang-barang konsumsi tersebut, sikap dan tanggung
lingkungan. Tingginya penggunaan kemasan kantong plastik dan kaleng yang bersifat
undegradable (tidak terurai oleh alam) dibuang ke lingkungan begitu saja tanpa
memperhatikan dampak yang akan terjadi. Di lain pihak, sistem penanganan dan
Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah dan Bisama Kesucian Pura oleh Parisada
67
Hindu Dharma Indonesia ( PHDI ) Pusat Tahun 1994, ditetapkan mengenai ketentuan
pembangunan di sekitar tempat suci sesuai dengan jenis tempat suci tersebut,
termasuk juga wilayah sepadan pantai. Untuk Pura Sad Khayangan radiusnya adalah
5000 m dari batas luar penyengker pura, Dang Khayangan 2000 m dari batas luar
penyengker pura dan Khayangan Tiga adalah apeneleng - apenimpug dan disesuaikan
dengan hasil perareman dan awig-awig desa pekraman setempat. Dan untuk luas
sebanyak tujuh unit bangunan akomodasi pariwisata, lima unit berupa restoran dan 2
unit bangunan hotel seperti restoran Batu Beach Club, La Barca, Cozy Beach,
diantanya adalah seperti di bawah ini. Salah satu hotel di Pantai Berawa jaraknya
kurang lebih 30 meter dari garis pantai seperti gambar di bawah ini.
Jarak bangunan hotel tersebut kurang lebih 30 meter dari garis pantai yang
berarti telah melanggar sempadan pantai. Namun masyarakat Desa Adat Berawa tidak
merasa keberadaan serta sangat mendukung keberadaan hotel tersebut karena bisa
menampung tenaga kerja lokal yang cukup banyak sehingga dapat mengurangi
jumlah pengangguran yang ada di desa tersebut. Menurut keterangan Bendesa Adat
Desa Berawa, I Wayan Warsa, hotel tersebut merupakan hotel pertama yang berdiri
Kawasan Kuta Utara. Selain itu keberadaanya tidak mengganggu kegiatan prosesi
ritual keagamaan.
Salah satu hotel mangkrak di Pantai Perancak pada Gambar 5.9 di atas
jaraknya kurang lebih 50 meter dari garis pantai. Berdasarkan keterangan dari aparat
desa setempat bangunan tersebut belum memiliki ijin prinsip pembangunan vila atau
melanggar sempadan pantai dan telah dirobohkan oleh Satpol PP Kabupaten Badung.
Sebelumnya di tempat tersebut (Gambar 5.10) berdiri sebuah restoran yang belum
mengantongi ijin prinsip dan jaraknya dari bibir pantai hanya 10 meter.
Kasus yang pernah terjadi pada tahun 2009 yaitu pengurugan Loloan Yeh Poh
di Banjar Berawa, Canggu, Kuta Utara yang dilakukan oleh PT. Bali Unicorn
Coorperation (BUC). Karena kegiatan tersebut dinilai masyarakat Desa Adat Tegal
protes kepada PT. Bali Unicorn Coorperation (BUC) dan pemerintah sehingga hal ini
menimbulkan gejolak.
Bupati Badung. Mantan Gubernur Bali, Dewa Made Beratha, sangat menyambut baik
dan memberikan apresiasi positif terhadap berbagai upaya dan langkah yang telah
Yeh Poh. Dukungan yang diberikan oleh Gubernur Bali saat itu adalah didasari atas
pertimbangan karena berbagai langkah yang telah diambil baik oleh Pemkab Badung
70
dan BPN sudah sangat tepat dan sistematis sesuai dengan aspirasi yang berkembang
serta aturan yang berlaku dengan melibatkan komponen masyarakat di sekitar Loloan
Yeh Poh. Disamping itu Gubernur juga sepakat dilakukannya revisi terhadap HGB
yang dimiliki oleh PT. Bali Unicorn Coorperation (BUC). Bupati dalam pertemuan
yang dilakukan Pemkab Badung dengan Prajuru Adat dan Dinas dari Br.
Tegalgundul, Desa Kerobokan dan Canggu yang dilaksanakan tanggal 23 Mei 2009
dilakukan oleh BPN Badung terhadap sertifikat HGB milik PT. BUC saat air pasang
sudah sesuai dengan keadaan di lapangan dan tanpa ada unsur rekayasa, semua pihak
sepakat menyelesaikan persoalan loloan sampai tuntas, kurang lebih 40 % dari luas
HGB yang saat ini digenangi air diusulkan dikeluarkan dari HGB, sepakat
hanya 5 m dari Pura Dalem Perancak Desa Tibubeneng, tapi karena tanah yang
digunakan adalah merupakan tanah atau labe Pure setempat yang dikontrakkan ke
5.2 Dampak pembangunan villa terhadap sosial budaya masyarakat Kuta Utara
Utara tentu menimbulkan dampak postif dan negatif dalam tatanan kehidupan sosial
masyarakat setempat. Dampak sosial dari adanya pariwisata di Kuta Utara menjadi
sangat kompleks oleh karena heterogennya masyarakat Kuta Utara sekarang ini.
Daerah Kuta Utara yang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Badung tidak
mungkin menghindar dari adanya urbanisasi atau perpindahan penduduk dari daerah
lainnya di Indonesia. Penduduk Kuta Utara sekarang ini berasal dari hampir seluruh
menimbulkan banyak masalah sosial. Adapaun masalah sosial tersebut dapat penulis
1. Tidak semua dari masyarakat pendatang yang datang ke Kuta Utara siap dengan
sumber daya manusia (SDM) yang diperlukan dalam pariwisata. Maka akibatnya,
banyak dari mereka asal bekerja bahkan ada yang menjadi pengangguran.
laten. Berdasarkan data yang diperoleh dari Polsek Kuta Utara pada tahun 2011
Salah satu contoh tindakan kriminal yang terjadi yaitu kasus perampokan yang
serta ketidakkeadilan yang mereka alami pada tempatnya bekerja sehingga secara
Tradisi gotong royong bagi masyarakat Kuta Utara sudah dilakukan secara
turun temurun dari jaman dahulu. Kegiatan ini biasanya dilakukan pada saat kegiatan
73
yang memerlukan banyak tenaga atau orang seperti ketika mereka bekerja di sawah
dan di kebun, saat menanam padi, membangun pondasi rumah, pembangunan bale
banjar, perbaikan dan pembangunan tempat suci, membuat sesajen pada saat upacara
memborongkan atau mengupahkan pekerjaan itu kepada pemborong atau orang lain.
Pada saat pembuatan sesajen untuk kegiatan upacara mereka lebih suka membeli
sesajen kepada pedagang banten (sesajen) yang banyak dijumpai di pasar. Disamping
karena kekurangan waktu untuk membuat sesajen, mereka merasa malu minta
bantuan kepada orang lain yang dikarenakan mereka tidak pernah dan tidak mau
membantu orang lain untuk membuat sesajen dengan alasan sibuk bekerja di hotel, di
restoran dan sebagainya. Pendek kata mereka tidak mau merepotkan dan direpotkan
memenuhi keperluan hidup mereka baik jasmani maupun rohani, sehingga cenderung
hidup mereka bersifat materialistis dan lebih individu. Seperti pernyataan warga
berikut.
“Yening wenten upacara ring jero tiang numbas banten ring pasar seantukan
tiang makarya ring restoran nenten medue galah sane cukup anggen makarya
banten.” (Wawancara tanggal 7 November 2011). Artinya: Kalau ada upacara
di rumah saya membeli sesajen di pasar karena saya bekerja di restoran dan
waktu saya tidak cukup untuk membuat sesajen. Jadi dengan membeli sesajen
saya bisa konsentrasi untuk mencari uang”.
merupakan pemilik atau penggarap sawah yang menerima air irigasi dari satu sumber
74
atau bendungan tertentu. Karena pertanian di Bali mengenal tradisi basah dan tradisi
kering, maka subak di Kuta Utara dibedakan atas dua macam, yaitu subak tanah
basah (untuk pengairan sawah) dan subak abian (untuk tanah kering seperti kebun
dan ladang). Subak memiliki hak otonom untuk mengatur diri secara luas, dengan
tujuan menjamin pembagian air yang merata, untuk mengangkat kesejahteraan para
anggotanya.
menimbulkan dampak negatif terhadap keberadaan subak. Lahan dan anggota subak
di Kuta Utara semakin lama semakin sedikit, bahkan ada yang telah berubah menjadi
perumahan dan sarana pariwisata. Seorang Kelian Subak Desa Dalung, Gede
“Sejak beberapa tahun terakhir telah terjadi penurunan jumlah subak dan
anggotanya. Hal ini dikarenakan banyak anggota subak yang telah menjual
lahan pertaniannya kepada investor untuk dijadikan perumahan dan sarana
pariwisata. Bahkan ada salah satu subak di Desa Dalung yang sekarang
berubah menjadi Kota Satelit Komplek perumahan Dalung Permai”
(Wawancara tanggal 7 Nopember 2011).
Canggu Permai (Gambar 5.1) merupakan kompleks perumahan yang paling padat
fungsinya lahan pertanian menjadi sarana penunjang pariwisata dan perumahan, maka
daerah serapan air secara otomatis makin berkurang, sehingga masalah banjir menjadi
beternak seperti beternak sapi, babi, ayam dan itik. Dahulu sapi dipelihara sebagai
pembantu petani untuk membajak sawah dan sebagai tabungan yang sewaktu-waktu
bisa dijual. Babi adalah hewan piaraan bagi ibu-ibu rumah tangga sebagai konsumsi
sisa-sisa makanan rumah tangga dan sebagai sarana upacara. Babi, ayam, dan itik
adalah binatang yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat Bali karena
Setelah pembangunan vila, masyarakat petani dan peternak sapi di Kuta Utara
ternaknya di lahan kosong di sela-sela vila dan perumahan (Gambar 5.7). Kotoran-
kotoran ternak yang berserakan di sela-sela vila dan perumahan penduduk tentu
Kuta Utara banyak yang beralih profesi dari petani dan peternak menjadi calo jual
beli tanah. Kalau ini terus terjadi dikawatirkan di Kuta Utara akan tidak ada generasi
penerus yang mau menekuni bidang pertanian sehingga keindahan sawah Kuta Utara
Di beberapa daerah di kabupaten Badung hal ini telah terjadi dimana pada saat
musim panen padi sangat sulit untuk mencari tenaga kerja dari Bali, sehingga banyak
Kuta Utara.
Kecamatan Kuta Utara terkenal sebagai desa pertanian dan desa nelayan yang
memiliki banyak sekaha (kelompok kerja) seperti sekaha jukung (kelompok nelayan),
sekaha manyi (kelompok tukang panen padi), sekaha banten (kelompok tukang
sesajen), sekaha tumbeg (kelompok tukang cangkul di sawah dan di kebun), sekaha
mula (kelompok tukang tanam padi) dan sebagainya. Namun, setelah pariwisata
berkembang pesat di Kuta Utara, berangsur-angsur sekaa-sekaa itu makin sedikit dan
mendorong para anggota sekaa untuk beralih profesi dari petani dan nelayan ke
profesi bidang pariwisata. Bagi mereka yang tidak memiliki pengetahuan dan
keterampilan dalam pariwisata hal ini tentu dapat menimbulkan konflik sehingga
8.Lahan Tidur
Banyaknya lahan yang belum dibangun vila oleh para investor menyebabkan
banyak terdapat lahan tidur di Kuta Utara. Lahan pertanian yang terbengkalai
membuat lingkungan menjadi kotor dan pemandangannya yang kurang bagus karena
setempat seperti gambar 5.7 Lahan tidur tersebut tersebar di beberapa wilayah Kuta
9. Peran Perempuan
Pada masa masyarakat agraris, kaum perempuan Kuta Utara bekerja di sektor
domestik yang berperan sebagai ibu rumah tangga dan menjaga anak, sedangkan
sektor publik didominasi oleh kaum laki-laki. Namun di era pariwisata sekarang ini
kaum perempuan Kuta Utara banyak yang bekerja di sektor publik, seperti bekerja di
hotel, restoran, toko cendera mata, dan sebagainya. Hal ini dikarenakan oleh sektor
Sehingga berdampak terhadap tuntutan pendidikan yang lebih tinggi baik laki-laki
laki-laki semakin setara. Bahkan di tempat kerja, ada kaum perempuan yang memiliki
kedudukan lebih tinggi daripada kaum laki-laki, seperti pernyataan dari Ibu Mira,
“Dulu sebelum pariwisata berkembang pesat di wilayah ini ibu saya memang
melakukan kewajiban sebagai seorang ibu rumah tangga biasa yang hanya
menguraus suami dan anak. Tetapi sekarang karena pariwisata berkembang
begitu pesat saya sebagai seorang wanita tidak mau berpangku tangan
menonton pariwisata tetapi ikut berperan aktif bekerja sebagai pengusaha
rumah makan sehingga saya menngambil peran ganda baik sebagai ibu rumah
tangga maupun sebagai wanita karir ikut membantu ekonomi keluarga”
(Wawancara tanggal 4 Oktober 2011).
10. Kesenian
Kecamatan Kuta Utara memiliki beraneka ragam kesenian, meliputi seni rupa,
seni bangunan/arsitektur, dan seni kerajinan. Yang termasuk seni rupa gerak adalah
seni lukis, seni pahat, seni patung seni tari, seni tabuh. Sedangkan yang termasuk ke
perak.
keagamaan yang ada tidak terlepas dari unsur-unsur seni seperti seni tari, seni rupa,
1. Berfungsi sebagai seni wali (seni sakral), yang merupakan bagian dari upacara
keagamaan. Seni tari wali adalah seni tari yang dilakukan di pura-pura dan di
Yang dapat digolongkan seni tari wali adalah tari rejang (rejang renteng,
rejang bengkol, rejang oyod padi, rejang alus, tari Sanghiang, tari Pendet, tari
Baris upacara.
2. Berfungsi sebagai seni Bebali, seni penunjang dari upacara keagamaan. Tari
upacara di pura, atau di tempat yang ada hubungannya dengan upacara agama
3. Berfungsi sebagai seni balih-balihan, seni provan atau sekuler yang tidak ada
balihan adalah tari Kecak, Janger, Joged Bumbung dan tari Kebyar.
kesenian ini selain sebaghai wujud pelestarian budaya lokal juga diperuntukkan
80
sebagai paket konsumsi wisatawan yang tinggal di hotel dan vila seperti gambar di
bawah ini.
mempunyai aksara sendiri (aksara Bali). Peninggalan prasasti dari jaman BaliHindu
menunjukkan adanya bahasa Bali Kuno, yang agak berbeda dengan bahasa Bali
sekarang.
Majapahit masih sangat besar di pulau Bali.Bahasa Bali dapat dibedakan menjadi
dialek Bali Aga dan dialek Bali Dataran. Dialek Bali Aga umumnya dipakai oleh
81
diterjemahkan ke dalam bahasa Bali sehingga penonton bisa mengerti cerita wayang
tersebut. Bahasa Sansekerta dan Kawi adalah bahasa yang hanya dipergunakan untuk
kesenian khususnya seni suara dan tidak dipakai dalam komunikasi sehari-hari
Sansekerta dan Kawi tersebut ke dalam bahasa Bali dan dapat dimengerti oleh
penonton. Biasanya setiap upacara tiga bulanan anak/pemberian nama, upacara enam
bulanan anak (otonan) , upacara ganti nama karena nama yang lama membawa
dan kebajikan yang banyak, karena dalam pementasannya selalu ada kebajikan dan
keburukan sperti di dunia nyata. Pada awalnya kebatilan menang, namun pada
akhirnya akan selalu dikalahkan oleh yang benar. Dari sini juga bias dipetik pelajaran
adanya tokoh-tokoh seperti yang ada di dunia nyata, ada tokoh yang memiliki sifat
iri, jahat, dan ada tokoh darma, dan baik. Dari segi hiburan, wayang juga
menyuguhkan banyak lawak yang bias memancing tawa penonton. Ada dua cerita
wayang yang sangat terkenal yaitu cerita Ramayana dan Mahaberata. Cerita
Ramayana menceritakan tentang seorang istri yang setia kepada suaminya bernama
Dewi Sita. Walaupun sudah diculik oleh seorang raksasa yang sakti, dan kaya namun
dia tetap cinta dan setia menunggu suaminya dan tetap mempertahankan kesuciannya
82
sebagai seorang istri yang baik menunggu suaminya, Rama. Cerita Mahabarata
Korawa yang memiliki sifat sombong, angkuh, penipu akan kalah melawan darma
dan kebaikan karena darma akan selalu dibantu dan dilindung oleh Yang Maha
Kuasa.
sehingga sumber-sumber kesusilaan dan media komunukasi dalam bahasa Bali yang
bias didapatkan lewat wayang menjadi hilang. Sekarang sekali-sekali setiap ada
pameran mungkin ada pertunjukan wayang hiburan seperti wayang Ceng Blong.
Jarang sekali ada pertunjukan wayang dalam hubungannya dengan upacara seperti
dahulu, dan jika ada penontonnya pun sangat sedikit apalagi anak-anak yang banyak
banyak sekali benda-benda atau simbul-simbul yang sakral yang dipakai di pura
maupun yang dipakai pada saat upacara keagamaan, seperti pratima (simbul Tuhan)
yang dibuat dari uang kepeng Cina, dan nmukanya ada yang terbuat dari emas.
Patung-patung sebagai manifestasi Tuhan yang berumur tua bahkan ada yang
berumur ratusan tahun baik yang terbuat dari kayu maupun dari batu banyak dijumpai
di setiap pura atau tempat suci yang ada di Bali. Pada saat upacara agama tempat suci
dihiasi dengan alat-alat seperti penjor, lontek (bendera), ider-ider, pengangge (yang
dan dua buah patung di pintu masuknya yang menyerupai saat upacara di sebuah
pura. Hal ini tentu akan dapat mengurangi nilai kesakralan benda-benda itu serta
merta mengaburkan benda yang asli dengan yang tiruan. Jika hanya sebatas dekorasi
kenapa harus menggunakan benda atau simbul agama yang disakralkan seperti
melonjak di Kuta Utara semakin mahal dari tahun ke tahun. Dan minat investor yang
wilayah (pinggir pantai, tegalan dan sawah), seperti tabel berikut ini :
84
Wilayah Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011 Tahun 2012
Dekat 400 juta 525 juta 650 juta 725 juta 900 juta
pantai
Tegalan 225 juta 285 juta 375 juta 450 juta 600 juta
Sawah 200 juta 230 juta 275 juta 325 juta 450 juta
Keadaan ini dapat menjadi perangsang bagi sejumlah petani untuk menjual
sebagian atau seluruh sawahnya kepada investor. Karena dengan menjual tanah,
petani bisa mendapatkan hasil yang sangat tinggi dibandingkan dengan hasil bekerja
di sawah yang jauh lebih sedikit. Pada intinya perkembangan vila di Kuta Utara ibarat
pisau bermata dua yaitu dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat namun dapat
memberikan pengaruh yang positif terhadap masyarakat. Ini terbukti dari adanya
pertumbuhan ekonomi masyarakat Kuta Utara yang cukup tinggi bila dibandingkan
Kuta Utara diakibatkan oleh wisatawan yang sekarang berkunjung ke Bali lebih
senang dan merasa nyaman menginap di villa. Kesenangan wisatawan menginap atau
tinggal di villa adalah trend baru yang terjadi dalam pariwisata Bali.
dari sektor pariwisata (pegawai hotel, restauran, travel, pramuwisata, dan lain-lain),
85
maupun mereka yang tidak secara langsung bersentuhan dengan wisatawan seperti
para petani penyedia kebutuhan hotel, pelaku perbankan, buruh bangunan, dan
sebagainya, telah merasakan dampak yang positif dari pariwisata tersebut. Dampak
Pembangunan vila di Kuta Utara dapat menampung sebagian besar para pencari
kerja di Kuta Utara. Dari 62.481 jiwa penduduk Kuta Utara sebagai pedagang (21
%), pengusaha sedang/besar (6 %), buruh industri (2 %), pengangkutan (1,86 %),
pengerajin industri kecil (2,50 %). Mereka pada umumnya bekerja di bidang
Dengan adanya fasilitas penunjang pariwisata (vila) di Kuta Utara secara tidak
langsung masyarakat yang berada di sekitar kawasan tersebut juga dapat menikmati
kue pariwisata dengan membuat usaha seperti homestay (Gambar 5.9) yang bisa
disewakan kepada wisatawan dengan tarif sekitar Rp 250.000 per malam. Berikut
adalah petikan wawancara dengan Ni Wayan Warsi, salah satu pemilik homestay di
Desa Tibubeneng.
dan pembangunan vila di wilayah Kuta Utara, dari usaha home stay yang dikelolanya
Sebelumnya penghasilannya sebagai buruh tani hanya Rp. 500.000,- per bulan.
87
ekonomi dan sangat dirasakan manfaatnya bagi masyarakat setempat, karena hal ini
memberikan side effect dari bisnis pariwisata, yaitu selain ada home stay juga banyak
pariwisata. Demikian juga dengan rumah kos-kosan yang dimiliki oleh Ni Made
Darni yang tinggal di Banjar Aseman Kawan, Desa Tibubeneng ini pendapatannnya
dari mengelola rumah kontrakan ini rata-rata mencapai Rp. 2.000.000,- per bulan,
yang hanya megelola empat (4) kamar saja. Hal ini sangat membantu perekonomian
penuturannya ;
“Tiang niki sampun meduwew kos-kosan wiadin rumah kontrakan mulai th.
2007, dan hasilnya sangat membantu tyang ring keluarga. Dumun sedurung
wenten vila tyang nenten wenten karya dadi ibu rumah tangga saja. Tyang
bersyukur wenten vila iriki akeh karyawanne saking luar badung kos di desan
tyange.” (Hasil wawancara tanggal 30 September 2011).
Berikut adalah salah satu jenis rumah kontrakan yang ada di Kuta Utara.
membuka lapangan pekerjaan bagi pengelola home stay dan penyedia rumah kos-
kosan tapi juga membawa Multi fliyer effect dan bisa menumbuhkan berbagai jenis
usaha diantaranya; 1) Penyedian sarana rekreasi buat wisatwan mancanegara dan juga
domestik, 2) Usaha jasa pertamanan dan penataan kebun di villa atau Hotel, 3)
6) Money Changer, 7) Beauty Salon dan Spa, serta 8) Rumah Sakit yang memberikan
hingga sekarang ini, selain menumbuhkan berbagai jenis usaha juga sudah mampu
mengurangi pengangguran dan bisa menyerap 2500 orang tenaga kerja, dari tamatan
BAB VI
6.1 Simpulan
1. Dampak lingkungan
pertanian menjadi fasilitas penunjang pariwisata seperti vila, hotel, perumahan, pasar
modern, dan lain-lain. Pembangunan vila dan perumahan di Kuta Utara telah
menyebabkan tingkat pencemaran yang sangat tinggi. Sekitar tahun 2000-an air
sungai masih bersih dan bisa digunakan sebagai tempat mandi oleh warga setempat,
tetapi kini air sungai sudah mengalami pencemaran dari rumah tangga dan industri.
Akibat pengaruh alam (arus dan gelombang) serta banjir dari hulu sungai telah
menyebabkan erosi pantai yang cukup memprihatinkan. Sehingga pasir pasir pantai
hanyut dibawa ke tengah laut, dan lama kelamaan permukaan pantai menjadi makin
curam serta mengikis lahan pertanian di sekitarnya. Kerusakan daerah serapan air
yang tidak tertangani dengan baik menyebabkan sering terjadi kekeringan dan
kekurangan air pada musim kemarau, dan sebaliknya terjadi banjir pada musim hujan.
Peningkatan jumlah penduduk yang belum diimbangi dengan sikap serta tanggung
Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah dan Bisama Kesucian Pura oleh
2. Dampak Sosial
Banyak sumber daya manusia yang datang ke Kuta Utara tidak memiliki
kerja, demonstrasi, oleh karena adanya rasa ketidakpuasan serta ketidakkeadilan yang
mereka alami pada tempat mereka bekerja sehingga secara langsung maupun tidak
3. Dampak Ekonomi
para pencari kerja di Kuta Utara. Dari 62.481 jiwa penduduk Kuta Utara sebagai
pedagang (21 %), pengusaha sedang/besar (6 %), buruh industri (2 %), pengangkutan
(1,86 %), pengerajin industri kecil (2,50 %); Dengan adanya fasilitas penunjang
pariwisata (vila) di Kuta Utara secara tidak langsung masyarakat yang berada di
sekitar kawasan tersebut juga dapat menikmati kue pariwisata dengan membuat usaha
seperti homestay, penyediaan sarana rekreasi buat wisatawan mancanegara dan juga
domestik, usaha jasa pertamanan dan penataan kebun di villa atau hotel, merebaknya
mobil dan motor, money changer, beauty salon dan spa, serta rumah sakit yang
1. Masalah Lingkungan
tidur dan banjir harus dikaji dan dicarikan solusi untuk mencegah kerusakan
Utara dengan menanam pohon. Untuk mengurangi alih fungsi lahan pertanian
seharusnya sepengetahuan kelian subak dan mendapatkan ijin IMB dari pihak
yang berwenang. Dengan demikian Kuta Utara tetap menjadi daya tarik
wisata yang hijau dan bersih sesuai dengan misi pembangunan pariwisata Bali
pencari kerja dari luar. Peningkatan SDM dapat dilakukan melalui jalur
95
pedagang dan buruh bangunan banyak yang belum memahami arti pariwisata
penginapan.
6.2 Saran
A. Kepada Pemerintah
Kecamatan Kuta Utara sehingga masyarakat sadar terhadap peran dan manfaat
pariwisata.
3. Pemerintah Kecamatan Kuta Utara perlu bekerjasama dengan sektor swasta dan
tempat parkir, kamar mandi/toilet, akomodasi, restoran di sekitar daya tarik wisata
budaya yang ada. Khusus untuk pengadaan fasilitas akomodasi dan restoran
B. Kepada Masyarakat
masyarakat.
setempat.
7. Melihat potensi alam yang dimiliki desa-desa di Kecamatan Kuta Utara maka
perlu dikembangkan daya tarik wisata baru untuk menambah jumlah daya tarik
97
8. Perlu dibentuk lembaga atau badan pengelola daya tarik wisata budaya
potensi lokal karena ini menjadi daya tarik bagi wisatawan. Selain itu masyarakat
agar tidak mudah terpengaruh oleh budaya-budaya asing yang dibawa wisatawan,
11. Penelitian ini terbatas pada dampak pengembangan vila terhadap lingkungan di
meneliti pengembangan wisata alam, wisata agro dan wisata perdesaan atau
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2007. Buku Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Tesis, dan Desertasi.
Denpasar: Universitas Udayana.
Anonim. 1990. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konversi Sumber Daya
Alam dan Ekosistemnya. Jakarta.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung. Badung Dalam Angka. 2009. Badung.
Bukart, A.J & Medlik.,S. 1974. Tourism: Past, Pesent, and Future. London :
Heinemann.
Damanik, Janianton & Weber, Helmut F. 2006. Perencanaan Ekowisata: Dari Teori
ke Aplikasi. Yogyakarta: Andy
99
TFS. 2006. Eksistensi dan Esensi Vila dalam Pengembangan Pariwisata Kabupaten
Badung.
Tim Tourism Field Study. 2006. Eksistensi dan Esensi Vila dalam Pengembangan
Pariwisata di Kabupaten Badung. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata
Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali.
Undang Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Jakarta.
Undang Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Jakarta.
“Om Swastiastu”
Sehubungan dengan penelitian untuk Tesis yang berjudul “Dampak
Pembangunan Villa Terhadap Lingkungan di Kecamatan Kuta Utara”, pada
kesempatan ini saya mohon kesediaan Bapak/Ibu untuk membantu memberikan data
sesuai pedoman wawancara yang telah saya siapkan.
Atas kesediaan dan kerjasama Bapak/Ibu, saya mengucapkan terima kasih.
“Om Shantih, Shantih, Shantih, Om”
IDENTITAS INFORMAN :
1. Nama : ……………………………………………………………...
2. Umur : ……………………………………………………………...
4. Status : ……………………………………………………………...
5. Pendidikan : ……………………………………………………………...
6. Pekerjaan : ……………………………………………………………...
8. Alamat : ...............................................................................................
Daftar Pertanyaan :
3. Menurut yang Bapak ketahui, apakah villa ini dibangun di lahan yang sesuai
6. Adakah masalah dalam pemanfaatan energi listrik dan air tawar setelah adanya
perkembangan villa di desa ini?
7. Bagaimanakah kondisi lahan (pertanian, tegalan, hutan, perumahan) di desa ini
setelah adanya perkembangan villa di desa ini?
8. Seberapa besar alih fungsi lahan yang terjadi di desa ini yang disebabkan oleh
pembangunan villa?
9. Sepengetahuan Bapak/Ibu, apakah villa ini mengakibatkan adanya pencemaran
10. Apakah secara tidak langsung perkembangan villa ini menyebabkan terjadinya
11. Apakah Bapak/Ibu setuju dengan semakin banyaknya pembangunan villa di desa?
12. Upaya-upaya apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah desa untuk menjaga
13. Apakah keberadaan villa ini memberikan kontribusi pagi pembangunan desa ini?
104
“Om Swastiastu”
Sehubungan dengan penelitian untuk Tesis yang berjudul “Dampak
Pembangunan Villa Terhadap Lingkungan di Kecamatan Kuta Utara”, pada
kesempatan ini saya mohon kesediaan Bapak/Ibu untuk membantu memberikan data
sesuai pedoman wawancara yang telah saya siapkan.
Atas kesediaan dan kerjasama Bapak/Ibu, saya mengucapkan terima kasih.
“Om Shantih, Shantih, Shantih, Om”
IDENTITAS INFORMAN:
1. Nama : ……………………………………………………………...
2. Umur : ……………………………………………………………...
4. Instansi :……………………………………………………………….
5. Jabatan : ……………………………………………………………...
6. Alamat : ...............................................................................................
Daftar Pertanyaan :
5. Apakah ada villa yang melanggar tata ruang wilayah Kuta Utara?
8. Upaya apa yang dilakukan instansi untuk mengurangi dampak fisik yang
9. Apa bentuk pengawasan yang dilakukan oleh instansi ini untuk mengurangi