Anda di halaman 1dari 105

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bali sebagai salah satu propinsi di Indonesia memiliki karakteristik struktur

perekonomian yang unik dibandingkan dengan propinsi lain di mana pilar-pilar

ekonomi Bali dibangun lewat keunggulan industri pariwisata, industri kerajinan kecil

dan pertanian. Eksistensi pariwisata Bali yang begitu kental dan melekat dalam

segala aktivitas masyarakatnya tentu telah memberikan peluang akan berkembangnya

usaha-usaha pariwisata sehingga dapat memberikan pelayanan terbaik bagi

wisatawan yang datang ke Bali. Dukungan industri pariwisata di Bali mengakibatkan

sektor-sektor yang memiliki keterkaitan secara langsung dengan industri pariwisata

seperti perdagangan, hotel dan restoran, transportasi serta komunikasi maupun sektor-

sektor yang tidak memiliki keterkaitan secara langsung seperti keuangan, industri,

persewaan dan jasa ternyata mampu memberikan kontribusi yang tidak kecil terhadap

Pendapatan Asli Daerah Bali (Erawan, 1994).

Dengan begitu pesatnya perkembangan pariwisata di daerah Bali, maka

menjadikan perkembangan sarana akomodasi juga mengalami peningkatan. Sampai

dengan tahun 2011 jumlah kamar yang tersedia di Bali mencapai 55.000 kamar dari

tiga jenis sarana akomodasi yaitu hotel berbintang, hotel melati dan pondok

wisata/villa, dari jumlah kamar ini sudah cukup untuk memenuhi jumlah kamar

hingga tahun 2015. Untuk menghindari adanya persaingan harga kamar yang tidak

sehat/saling menjatuhkan harga kamar, pemerintah diharapkan mengeluarkan

moratorium penghentian pembangunan fasilitas akomodasi penginapan sampai tahun

2015 nanti. (Diparda Bali, 2011). Dari keseluruhan jumlah kamar tersebut sarana
2

akomodasi lebih banyak terkonsentrasi di Bali Selatan khususnya Kota Denpasar dan

Kabupaten Badung. Di Kabupaten Badung pada tahun 2011 jumlah kamar mencapai

36.500 atau sebesar 66% dari keseluruhan kamar yang ada di Bali. Banyaknya

jumlah kamar yang terdapat di Kabupaten Badung tidak terlepas dari adanya tiga

kawasan pariwisata yang sudah berkembang, yaitu berdasarkan Peraturan Daerah

provinsi Bali No. 16 tahun 2009, tentang Rencana Tata Ruang Provinsi Bali,

ditetapkan Kawasan Nusa Dua, Kawasan Tuban dan Kawasan Kuta.

Sarana akomodasi telah memberikan manfaat yang cukup besar bagi

Pemerintah Kabupaten Badung terutama dari segi ekonomi. Salah satunya adalah

perolehan pajak hotel dan restoran (PHR) yang secara signifikan telah memberikan

kontribusi yang besar bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pemerintah Kabupaten

Badung. Sektor Pariwisata Kabupaten Badung menjadi urat nadi bagi ekonomi

daerah yang dikunjungi jutaan wisatwan mancanegara maupun domestik tiap

tahunnya. Pasalnya dari sektor pariwisata pendapatan asli daerah (PAD) yang

dihasilkan Kabupaten Badung mencapai 1,3 triliun per tahun. Sedangkan PAD

Badung tahun 2012 mencapai Rp. 2,5 triliun. Dari penghasilan PAD itu, sebanyak 22

% diberikan kepada provinsi untuk dibagikan kepada enam kabupaten dari sembilan

kabupaten di Bali. Besaran yang dibagi sekitar Rp. 144 miliar. Enam kabupaten lain

di Bali (Kabupaten Tabanan, Bangli, Karangasem, Jembrana, Buleleng dan

Klungkung) melalui Gubernur Bali yang bertujuan untuk memberikan rasa manfaat

yang sama dari adanya pembangunan pariwisata. (BPS Badung, 2011).


3

Selain manfaat ekonomi, pembangunan sarana pariwisata telah menjadi suatu

permasalahan yang cukup serius bagi Bali. Selama sepuluh tahun terakhir ini

pembangunan fasilitas kepariwisataan terutama hotel dan restoran terlalu dipacu

tanpa memperhatikan supply dan demand, yang menyebabkan over supply yang telah

mengarah pada persaingan tidak sehat. Dengan dasar pertimbangan memperhatikan

jumlah kamar akomodasi yang tersedia, Pemerintah Propinsi Bali mengeluarkan

Surat Edaran Gubernur Bali No.570/1124/BPKMD mengenai penghentian sementara

untuk bidang usaha tertentu (termasuk hotel berbintang), serta Moratorium Gubernur

Bali No.556.2/8702/Binpproda mengenai perihal pembatasan pembangunan hotel

baru di Kabupaten Badung dan Kotamadya Denpasar.

Walaupun demikian, para investor masih menganggap wilayah Kabupaten

Badung sebagai tempat yang ideal untuk berinvestasi khususnya untuk akomodasi

pariwisata karena memiliki sarana dan prasarana penunjang yang cukup memadai

dibandingkan daerah lainnya. Dengan adanya kondisi ini menjadikan para investor

mencari celah untuk dapat menyiasati kebijakan tersebut, yaitu dengan membuat

sarana akomodasi pariwisata yang berbeda dari yang ada sebelumnya, namun

memiliki fasilitas dan pelayanan seperti layaknya hotel berbintang maupun hotel

melati. Vila adalah salah satu akomodasi yang dijadikan alternatif sebagai sarana

akomodasi pariwisata yang pada perkembangannya menjadi suatu sarana akomodasi

pariwisata yang banyak diminati oleh wisatawan.

Menurut Mahadewi dan Pitana (2008), sejalan dengan perkembangan

kuantitatif jumlah wisatawan, telah terjadi pula perkembangan yang bersifat

kualitatif seperti perubahan tuntutan dan selera wisatawan, perkembangan trend

produk wisata, diversifikasi produk dan layanan, berkembangnya pada minat-minat


4

khusus dengan relung-relung pasar yang baru, dan sebagainya. Selain itu secara

global terjadi perubahan pola perjalanan wisatawan sejak dekade 90-an dari mass

tourism ke arah yang bersifat individual yang pada akhirnya membawa konsekuensi

pada perubahan pola pemilihan berbagai jenis produk wisata termasuk akomodasi.

Adanya peristiwa pengeboman dan serangan teroris telah menimbulkan

ketakutan bagi sebagian wisatawan sehingga mengakibatkan mereka cenderung untuk

menghindari tempat-tempat terkonsentrasinya wisatawan asing. Hal tersebut juga

tercermin dari pemilihan jenis akomodasi yang cenderung mengarah pada jenis

akomodasi yang lebih tenang, aman dan privat. Dari dua kecenderungan tersebut,

yakni perubahan pola perjalanan dan pelayanan yang lebih bersifat pribadi serta

alasan keamanan inilah memicu wisatawan untuk tertarik terhadap akomodasi vila

yang juga mempengaruhi permintaan terhadap usaha akomodasi ini.

Keberadaan vila yang menjadi suatu fenomena dalam industri pariwisata di

Kabupaten Badung dan Bali pada umumnya, secara tidak langsung telah memberikan

nilai lebih bagi daerah tujuan wisata daerah Bali dan Kabupaten Badung pada

khususnya. Nilai lebih tersebut terutama dalam bidang daya tarik sarana akomodasi

pariwisata yang merupakan salah satu komponen penting bagi perkembangan suatu

daerah tujuan wisata. Dengan tersedianya berbagai pilihan sarana akomodasi

pariwisata akan dapat menarik minat wisatawan dari berbagai segmen pasar untuk

berkunjung ke Bali.

Perkembangan jumlah vila di Kabupaten Badung sampai tahun 2005 tidak

diketahui secara jelas karena belum adanya lembaga pemerintah maupun non

pemerintah yang melakukan pendataan mengenai keberadaan vila. Data yang cukup

lengkap mengenai keberadaan vila di Kabupaten Badung baru diketahui pada tahun
5

2006 yang diperoleh berdasarkan penelitian yang dilakukan tim Tourism Field Study

(TFS) Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali. Berdasarkan hasil sensus yang

dilakukan oleh tim tersebut diketahui bahwa jumlah vila yang terdapat di Kabupaten

Badung mencapai 642 buah vila. Pola pemanfaatan dari 642 buah vila tersebut

adalah (1) bersifat komersil sebanyak 345 buah atau 53,7% ; (2) bersifat pribadi dan

komersil sebanyak 137 buah vila atau 21,4%; (3) bersifat pribadi sebanyak 160 buah

atau 24,9%. (Tim TFS, 2006).

Tabel 1.1
Pertumbuhan Jumlah Vila di Kabupaten Badung Tahun 2008 - 2011.

No Peruntukan Vila Tahun Tahun Tahun Tahun


2008 2009 2010 2011
Bln : 12 Bln : 12 Bln : 12
1 Komersil 355 385 410 424

2 Komersil dan 140 150 155 170


Pribadi
3 Pribadi 170 182 189 196

Jumlah 655 724 754 790


Sumber: Diparda Badung 2011.

Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa jumlah pembangunan vila

baik yang diperuntukkan sebagai vila komersil maupun pribadi terus mengalami

peningkatan. Dari tahun 2008 sampai tahun 2011 telah terjadi peningkatan jumlah

vila sebanyak 135 buah vila.

Pembangunan vila di Kabupaten Badung paling banyak terdapat di

Kecamatan Kuta Utara. Kondisi ini menunjukkan bahwa animo masyarakat dan

investor terutama para pelaku pariwisata untuk menjadikan bangunan vila sebagai
6

sarana akomodasi pariwisata masih sangat tinggi. Pembangunan vila di Kabupaten

Badung telah menjadi suatu trend yang lebih mengarah kepada industri pariwisata.

Fenomena inilah yang menarik untuk dikaji, untuk mengungkapkan lebih

dalam tentang dampak pembangunan vila terhadap lingkungan di Kecamatan Kuta

Utara sebagai wilayah dengan pembangunan vila terbanyak dibandingkan empat

kecamatan lainnya di Kabupaten Badung. Hal tersebut diteliti lebih jauh agar dapat

diidentifikasi dampak-dampak negatif yang muncul sedini mungkin yang nantinya

dapat direkomendasikan kepada seluruh stakeholders pariwisata dalam perencanaan

pembangunan pariwisata di Kabupaten Badung.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan sebelumnya, maka dapat

dirumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana dampak yang ditimbulkan pembangunan vila terhadap lingkungan

di Kecamatan Kuta Utara ?

2. Bagaimana dampak yang ditimbulkan pembangunan vila terhadap sosial

budaya masyarakat Kecamatan Kuta Utara ?

3. Bagaimana dampak yang ditimbulkan pembangunan vila terhadap ekonomi

masyarakat ?
7

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengetahui

dampak pembangunan usaha akomodasi vila terhadap lingkungan di Kecamatan

Kuta Utara.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan pembangunan vila terhadap

lingkungan di Kecamatan Kuta Utara.

2. Untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan pembangunan vila terhadap sosial

budaya masyarakat Kecamatan Kuta Utara

3. Untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan pembangunan vila terhadap

ekonomi masyarakat.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan

terutama dalam menganalisis dampak pembangunan fasilitas pariwisata khususnya

vila dari segi lingkungan di wilayah destinasi wisata. Kajian ini sangat penting

artinya secara akademis dan diharapkan menjadi referensi yang berharga dalam

penelitian destinasi wisata.

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan pemikiran terutama kepada

masyarakat lokal, pengambil keputusan dan kebijakan seperti; Bappeda, Dinas


8

Pariwisata Provinsi Bali, Pemerintah Kabupaten Badung, investor, dan stakeholders

pariwisata yang ikut terlibat dalam perencanaan pengembangan industri

kepariwisataan di Kabupaten Badung pada khususnya dan di Bali pada umumnya


9

BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN
MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Usaha akomodasi pariwisata adalah obyek yang cukup menarik untuk diteliti

dalam bidang pariwisata, hal ini dikarenakan usaha akomodasi pariwisata merupakan

komponen utama dari keberadaan suatu daerah pariwisata. Penelitian tentang

dampak pariwisata khususnya dampak pembangunan vila terhadap lingkungan fisik

belum pernah dilaksanakan, baru hanya sebatas pendataan jumlah villa dan esensi

pembangunan vila dalam pengembangan pariwisata di Kabupaten Badung. Untuk

dapat memperoleh jawaban sementara dari penelitian ini maka perlu dilakukan suatu

kajian terhadap beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini. Beberapa

penelitian yang berkaitan dengan vila dan dampak pariwisata akan dijadikan sebagai

kajian pustaka bagi penelitian ini.

Penelitian tentang vila pernah dilaksanakan oleh Tim Tourism Field Study

(TFS) Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali (2006) dengan judul penelitian

”Eksistensi dan Esensi Vila dalam Pengembangan Pariwisata di Kabupaten Badung”.

Penelitian ini melihat perkembangan vila lebih disebabkan oleh terjadinya perubahan

pola perjalanan wisatawan dari mass tourism ke arah yang lebih bersifat

privat/individual dengan pelayanan yang bersifat pribadi serta alasan keamanan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui eksistensi vila di Kabupaten Badung,

mengetahui karakteristik pasar dari vila dan untuk mengetahui esensi atau manfaat

dari keberadaan vila, dilihat dari sisi pemerintah dan masyarakat di sekitar vila. Hasil
10

penelitian ini secara garis besar menyatakan bahwa keberadaan vila yang tersebar di

setiap kecamatan merupakan bukti dari pentingnya sarana akomodasi yang layak dan

mampu memberikan kenyamanan bagi wisatawan yang berkunjung ke Bali. Esensi

vila memberikan dampak yang positif bagi pembangunan pariwisata di Kabupaten

Badung secara langsung ataupun tidak langsung khususnya untuk sektor

perekonomian masyarakat serta PAD bagi pemerintah Kabupaten Badung. Penelitian

yang dilakukan oleh Tim TFS Sekolah Tinggi Pariwisata Bali tersebut sangat relevan

dengan penelitian yang akan dilakukan karena memiliki objek penelitian yang sama

yaitu vila yang berada di wilayah Kabupaten Badung. Hasil penelitian ini akan

dijadikan salah satu referensi data base keberadaan vila di Kabupaten Badung.

Penelitian lain sehubungan dengan dampak pariwisata adalah penelitian

tentang dampak perkembangan kepariwisataan di Nusa Lembongan dilakukan oleh

Sumariadhi (2009). Penelitian ini menemukan bahwa perkembangan pariwisata di

destinasi pariwisata Nusa Lembongan menimbulkan dampak positif dan negatif

terhadap lingkungan fisik, lingkungan sosial budaya, dan lingkungan ekonomi.

Dalam penelitian ini ditemukan bahwa perkembangan pariwisata di Nusa Lembongan

memberikan dampak yang positif dan negatif terhadap lingkungan fisik. Dampak

positif perkembangan pariwisata di Nusa Lembongan terhadap lingkungan fisik

adalah kesadaran dalam pengolahan limbah, pelestarian pesisir pantai, penghijauan

dan penataan lingkungan sekitar vila. Sedangkan dampak negatif perkembangan

pariwisata terhadap lingkungan fisik adalah (1) ketimpangan dalam pemanfaatan

energi listrik antara masyarakat lokal dengan usaha wisata (2) pengambilan air bawah

tanah yang tidak terkendali (3) pemanfaatan lahan yang tidak optimal (4) kerusakan

terumbu karang (5) penurunan hasil tangkapan nelayan (6) penurunan hasil budidaya
11

rumput laut dan (7) penurunan aktivitas pertanian lahan kering. Penelitian tersebut

memberikan pijakan dalam menganalisis dampak pariwisata secara lebih

komprehensif, yaitu meneliti dampak positif dan dampak negatif pariwisata

khususnya ditinjau dari segi lingkungan fisik.

2.2 Konsep

Untuk mengkaji dampak pembangunan vila di Kecamatan Kuta Utara

digunakan beberapa konsep yang dianggap sesuai dan terkait dengan penelitian ini,

antara lain konsep pariwisata, vila, dampak pariwisata terhadap lingkungan, dan

pembangunan pariwisata berkelanjutan.

2.2.1 Pariwisata

Secara etimologis, Yoeti (2002) menyatakan bahwa kata pariwisata berasal

dari Bahasa Sansekerta yang terdiri dari dua suku kata yaitu kata pari yang berarti

banyak, berkali-kali, atau berputar-putar dan wisata yang berarti perjalanan,

bepergian, atau dalam Bahasa Inggris disebut travel. Jadi, pariwisata dapat diartikan

sebagai perjalanan yang dilakukan berkali-kali atau berputar-putar dari satu tempat ke

tempat lain. Oleh karena itu, pengertian pariwisata sesungguhnya dapat dipadankan

dengan kata tour dalam Bahasa Inggris. Sedangkan bentuk jamak atau pembentukan

kata benda untuk pariwisata adalah kepariwisataan atau dalam Bahasa Inggris disebut

tourism, yaitu hal-hal yang menyangkut pariwisata. Orang yang melakukan kegiatan

perjalanan (wisata) disebut wisatawan atau dalam Bahasa Inggrisnya disebut

traveller. Sedangkan orang yang melakukan perjalanan berputar-putar atau berkali-

kali (berpariwisata) disebut pariwisatawan atau turis atau dalam Bahasa Inggrisnya
12

disebut tourist. Dari pengertian ini dapat dibedakan antara traveller dengan tourist,

yang mana tourist merupakan bagian dari traveller. Namun demikian, dalam bahasa

Indonesia, baik traveller maupun tourist keduanya disebut wisatawan karena

pariwisatawan sangat tidak lazim digunakan.

Undang-Undang Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan

mendefinisikan wisata sebagai kegiatan perjalanan dilakukan oleh seseorang atau

sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi,

pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi

dalam jangka waktu sementara. Dari definisi wisata ini kemudian ditarik definisi

pariwisata yaitu berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas

serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan

pemerintah daerah. Akhirnya, kepariwisataan didefinisikan sebagai keseluruhan

kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin

yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara

wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, pemerintah, pemerintah

daerah, dan pengusaha.

Dari sekian banyak definisi pariwisata, maka definisi yang diberikan oleh

Burkat dan Medlik (1981) dipakai dalam penelitian ini yang menyatakan bahwa:

1. Pariwisata timbul dari pergerakan orang ke, dan tinggal di, berbagai destinasi.

2. Ada dua elemen dalam pariwisata: perjalanan ke/dari destinasi dan tinggal di

destinasi beserta aktivitas yang dilaksanakan di sana.

3. Perjalanan dan tinggal di tempat di luar orang tersebut biasa tinggal dan

bekerja.
13

4. Pergerakan ke destinasi bersifat sementara, jangka pendek, dan kembali dalam

beberapa hari, minggu, atau bulan.

5. Di tujuan yang dikunjungi bertujuan selain untuk tinggal permanen dan

mendapatkan gaji/upah.

2.2.2. Sarana Akomodasi Pariwisata

Keberadaan sarana akomodasi pariwisata memiliki peran yang penting bagi

suatu kawasan pariwisata. Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang

Kepariwisataan sarana akomodasi pariwisata dimasukkan ke dalam salah satu usaha

pariwisata yaitu usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan

kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan pariwisata. Peningkatan jumlah

kunjungan wisatawan akan memberikan efek bertambahnya jumlah sarana akomodasi

pariwisata, hal ini dikarenakan akomodasi pariwisata merupakan kebutuhan primer

bagi wisatawan yang mengunjungi suatu tempat wisata sebagai tempat beristirahat.

Sarana akomodasi pariwisata menurut Keputusan Menteri Pariwisata, Pos dan

Telekomunikasi No. : 98/HK.103/MPPT-87 (dikutip dari Gelgel, 2006 : 53) adalah

sarana untuk menyediakan jasa pelayanan penginapan yang dapat dilengkapi dengan

pelayanan, makan, minum serta jasa lainnya.

Jenis-jenis usaha akomodasi pariwisata di Indonesia terdiri dari usaha hotel,

hotel melati, dan pondok wisata. Namun sejak tahun 2006 di Kabupaten Badung

dikenal pula jenis akomodasi parwisata yang disebut kondotel atau kondominium

hotel. Pelaku usaha akomodasi pariwisata tersebut diselenggarakan oleh badan usaha

berbentuk perseroan terbatas atau koperasi, dikecualikan terhadap usaha pondok

wisata yang hanya boleh diusahakan oleh koperasi dan pengusaha perorangan.
14

2.2.3 Villa

Pesatnya pembangunan industri pariwisata telah membawa dampak bagi

perubahan-perubahan jenis kegiatan dalam industri pariwisata. Hal ini tidak terlepas

dari keberadaan sebagian besar kegiatan industri pariwisata merupakan bidang jasa

dan pelayanan, sehingga untuk dapat memenuhi kebutuhan wisatawan yang beraneka

ragam maka diperlukan adanya inovasi-inovasi baru untuk dapat memenuhi setiap

pola konsumsi wisatawan. Jasa dan pelayanan akomodasi adalah salah satu jenis

kegiatan pariwisata yang mengalami perkembangan yang cukup pesat, dan salah

satunya adalah akomodasi vila.

Apabila mendengar kata vila, maka yang tergambar dalam benak kita adalah

bangunan mewah yang dijadikan rumah peristirahatan bagi orang-oarang perkotaan

sebagai tempat peristirahatan yang dipergunakan sewaktu-waktu. Vila merupakan

salah satu bagian dari sarana akomodasi yang berada di wilayah pedesaan dan

pemukiman yang menyewakan satu unit bangunan atau lebih. Menurut Marpaung

(2001), vila adalah suatu usaha yang dikelola dengan menyediakan jasa pelayanan

serta kamar untuk tidur bagi pejalan yang mampu membayar pantas sesuai dengan

fasilitas yang ditawarkan dengan membuat perjanjian khusus. Sedangkan pengertian

vila juga dikemukakan oleh Tim Tourism Field Study STP Nusa Dua Bali (2006),

vila adalah rumah di luar kota yang merupakan sarana akomodasi yang dapat

digunakan untuk pribadi maupun disewakan kepada wisatawan yang mampu

membayar pantas sesuai dengan fasilitas yang ditawarkan.

Menurut Peraturan Menteri Kebudayaan Dan Pariwisata Tentang Standar

Usaha Villa, Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 disebutkan bahwa villa adalah jenis

akomodasi yang terdiri dari satu atau lebih unit bangunan yang berdiri sendiri yang
15

menyediakan jasa penginapan dan jasa lainnya dengan mengutamakan privasi dan

pelayanan yang dikelola secara profesional dengan memenuhi persyaratan sesuai

dengan peraturan perundang-undangan.

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa vila yang dimaksudkan

dalam penelitian ini adalah bangunan yang dipergunakan sebagai sarana akomodasi

pariwisata yang pengusahaannya sesuai dengan jenis-jenis usaha akomodasi yang ada

di Indonesia seperti hotel, hotel melati, pondok wisata dan kondotel.

2.2.4 Dampak Pembangunan Pariwisata

Adhika (2004) dalam materi kuliah Perencanaan Pariwisata menyatakan, dampak-

dampak pengembangan pariwisata dapat dilihat dari beberapa sisi:

1. Dampak fisik, yaitu dampak pembangunan dan pengembangan pariwisata

yang berhubungan dengan pembangunan fisik. Adapun dampak fisik

pengembangan pariwisata meliputi: fisik alami, dan lingkungan fisik binaan

(rekayasa menciptakan lingkungan yang menarik). Lebih lanjut dikatakan,

berkembangnya fisik kawasan dipengaruhi oleh empat faktor utama, yaitu:

perubahan penyediaan fasilitas (resort dan transportasi), perubahan perilaku

dan sikap wisatawan, perilaku pengambilan keputusan, antisipasi penduduk

local.

Sedangkan karakter dan perkembangan fisik, dipengaruhi oleh:

• Kondisi fisik alami ( topografi, vegetasi, flora fauna, lingkungan).

• Struktur dan pengembangan ekonomi kawasan: (perkembangan ekonomi,

ruang investasi).

• Organisasi dan struktur sosial (budaya lokal, pendidikan, orsos, persepsi)

organisasi politik ( Peraturan dan UU, insentif, organisasi pariwisata).


16

• Tingkat pengembangan kawasan.

2. Dampak sosial-budaya pembangunan pariwisata, yaitu dampak

pengembangan pariwisata terhadap sosial budaya masyarakat. Dampak

sosial-budaya ini dapat bersifat positif dan negatif. Dampak positif pariwisata

terhadap sosial budaya diantaranya:

1.Meningkatnya kualitas warisan budaya.

2.Meningkatnya usaha pelestarian bahasa tradisional.

3.Berkembangnya pasar kerajinan tradisional.

4.Berkembangnya bentuk dan disain kerajinan tradisional.

5.Meningkatnya pemahaman tentang gaya hidup bangsa-bangsa lain di

dunia.

6.Adopsi nilai dan perilaku positif dari wisatawan.

7.Pengalaman bergaul dan bekerja dengan orang dari masyarakat luar.

Sedangkan dampak negatif pariwisata terhadap sosial-budaya yaitu:

1. Bangunan tidak lagi bergaya arsitektur tradisional.

2. Adanya tekanan terhadap bahasa tradisional (banyaknya kosa kata

asing dalam bahasa tradisional.

3. Produk produksi lokal digantikan oleh produk yang digemari

wisatawan.

4. Berubahnya bentuk kerajinan tradisional sesuai selera wisatawan.

5. Berubahnya gaya hidup masyarakat seperti mengkomsumsi fast food.

6. Hilangnya kepercayaan sebab harus berperilaku sebagai pelayan

wisatawan.
17

7. Meningkatnya kejahatan prostitusi, dll. (Suryawan, 2004. Materi

Kuliah Pariwisata Budaya)

3. Dampak Ekonomi pengembangan pariwisata

Mill (2000) dalam bukunya The Tourism International Business menyatakan:


ciri-ciri ekonomi pariwisata menjelaskan jenis-jenis pengaruh yang ditimbulkan oleh
pariwisata terhadap sebuah komunitas dicirikan dalam lima hal yang berbeda, yaitu:
1. Produk pariwisata tidak dapat disimpan;

2. Permintaannya sangat tergantung pada musim. Ini berarti pada bulan-bulan

tertentu ada aktivitas yang tinggi sementara pada bulan-bulan lainnya

aktivitasnya secara bisnis rendah. Permintaan dipengaruhi oleh pengaruh-

pengaruh dari luar yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya. Perubahan mata

uang, nilai mata uang, gejolak politik, bahkan perubahan cuaca atau iklim bisa

mempengaruhi permintaan.

3. Permintaan adalah sebuah fungsi dari banyak motivasi yang kompleks.

Wisatawan melakukan perjalanan berdasarkan lebih dari satu alasan saja.

Artinya sebagian besar dari mereka ingin mengunjungi daerah yang berbeda

setiap tahunnya daripada kembali ke tempat yang sama setiap musim liburan.

4. Pariwisata berhubungan erat dengan biaya dan pendapatan yang elastis.

Permintaan akan sangat dipengaruhi oleh perubahan biaya dan pendapatan

yang relatif kecil. Elastisitas harga merujuk ke hubungan antara biaya yang

dikenakan dan jumlah permintaan.(Mill, 2000: 168).

Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa keberhasilan Masyarakat dan

Pemerintah Bali dalam pembangunan dan pengembangan pariwisata tidak akan

terlepas dari dampak-dampak yang timbul sebagai bias-bias pariwisata Bali. Sebagian

dari dampak-dampak tersebut berkorelasi positif terhadap tatanan perikehidupan


18

masyarakat Bali, namun sebagian lainnya berkorelasi negatif. Berikut diuraikan

mengenai dampak pariwisata Bali terhadap sektor Ekonomi, Pisik, dan Sosial.

Cohen (1984) dalam Pitana dan Gayatri (2007) mengelompokkan dampak

sosial budaya pariwisata ke dalam sepuluh kelompok besar, yaitu:

1. dampak terhadap keterkaitan dan keterlibatan antara masyarakat setempat

dengan masyarakat yang lebih luas, termasuk tingkat otonomi atau

ketergantungannya;

2. dampak terhadap hubungan interpersonal antara anggota masyarakat;

3. dampak terhadap dasar-dasar organisasi/kelembagaan sosial;

4. dampak terhadap migrasi dari dan ke daerah pariwisata;

5. dampak terhadap ritme kehidupan sosial masyarakat;

6. dampak terhadap pola pembagian kerja;

7. dampak terhadap stratifikasi dan mobilitas sosial;

8. dampak terhadap distribusi pengaruh dan kekuasaan;

9. dampak terhadap meningkatnya penyimpangan-penyimpangan sosial; dan

10. dampak terhadap bidang kesenian dan adat istiadat.

Sedangkan menurut Figuerola ada enam kategori dampak sosial budaya, yaitu :

1. dampak terhadap struktur demografi,

2. dampak terhadap bentuk dan tipe mata pencaharian

3. dampak terhadap transformasi nilai

4. dampak terhadap gaya hidup tradisional

5. dampak terhadap pola konsumsi

6. dampak terhadap pembangunan masyarakat yang merupakan manfaat sosial

budaya pariwisata
19

Sementara itu Pizam and Milman (1984) dalam Pitana (2007) juga

mengklasifikasikan dampak sosial budaya pariwisata atas enam, yaitu :

1. dampak terhadap aspek demografis (junmlah penduduk, umur, perubahan

piramida kependudukan)

2. dampak terhadap mata pencaharian (perubahan pekerjaan, distribusi pekerjaan)

3. dampak terhadap aspek budaya (tradisi, keagamaan, bahasa)

4. dampak terhadap tansformasi norma (nilai, moral, peranan seks)

5. dampak terhadap modifikasi pola konsumsi (infrastruktur, komunitas)

6. Dampak terhadap lingkungan (polusi, kemacetan lalu lintas)

2.2.5 Pengembangan Ekonomi Pariwisata dan Lingkungan

Pariwisata yang dikembangkan pada suatu daerah hendaknya mampu

memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakatnya seperti mampu meningkatkan

pendapatan dan taraf hidup masyarakat dan mampu memberikan kesempatan kerja

bagi masyarakat luas. Keuntungan secara ekonomi hendaknya juga dinikmati oleh

komponen pariwisata lainnya seperti pihak swasta yang telah menanamkan modalnya

serta pemerintah sebagai bagian dari komponen pariwisata yang tidak terpisahkan

satu dengan yang lainnya.

Lingkungan sebagai salah satu komponen terpenting dalam pariwisata perlu

mendapatkan perhatian yang serius. Untuk itu perlu diupayakan berbagai cara agar

mampu mengembangkan serta melestarikan lingkungan baik secara fisik maupun non

fisik. Secara fisik, eksploitasi alam secara besar-besaran misalnya mengalih fungsikan

lahan pertanian produktif untuk tujuan pariwisata tanpa memperhatikan dampaknya

terhadap lingkungan merupakan tindakan yang keliru. Secara non fisik, kelestarian

lingkungan juga perlu dijaga dari berbagai pencemaran yang merugikan.


20

Dalam menciptakan iklim usaha dan peluang ekonomi yang profesional

dengan memanfaatkan kegiatan wisata alam, pemerintah telah mengeluarkan berbagai

kebijakan. Beberapa kebijakan pemerintah terkait dengan memanfaatkan kegiatan

wisata alam antara lain ;

a. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 68/Kpts-II/1989 tentang

Pengusahaan Hutan Wisata, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman

Wisata Laut.

b. Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konvensi Sumber Daya Alam dan

Ekosistemnya.

c. Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata

Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman

Wisata Alam.

d. Kebudayaan, Kehutanan, Kelautan, Perikanan, Pertanahan, Tata Ruang,

Lingkungan Hidup dan Otonomi daerah merupakan sebagaian sektor yang

sangat terkait dengan pariwisata. Dilihat dari sisi kebudayaan, kebijakan

Undang-Undang No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (BCB)

beserta turunannya menjelaskan bahwa BCB tertentu dapat dimanfaatkan

untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan

dan kebudayaan.

e. Kebijakan pengelolaan sumber daya laut dan pesisir yang dimuat Kepmen No.

41/2000 yang kurang terpadu dengan UU NO. 22/1999, belum sepenuhnya

mengatur hak nelayan di bidang ekonomi, lingkungan sosial, budaya termasuk

pengakuan hak adat oleh Negara.


21

f. Hal yang sangat menentukan dalam pemanfaatan sumber daya alam dan

peruntukannya adalah UU NO. 24/1992 tentang penataan ruang merupakan

landasan ketentuan tentang segi-segi pemanfaatan ruang untuk berbagai

kepentingan termasuk kepariwisataan.

Disamping kebijakan pada tingkat nasional seperti tersebut di atas, kebijakan

pada tingkat daerah juga dikeluarkan khususnya Provinsi Bali telah mengeluarkan

pedoman tentang prinsip-prinsip pengembangan objek dan daya tarik wisata (1999:

11) yang isinya antara lain.

a. Mempertahan ciri khas tiap daerah (kadang kala ciri khasnya hilang akibat

renovasi).

b. Direncanakan sesuai kepentingan lokal pariwisata.

c. Memuaskan bagi wisatawan yang mengadakan perjalanan jauh/biaya

mahal.

d. Menghindari sekecil mungkin pencemaran lingkungan dan kebudayaan.

e. Kemudahan pencapaian dan mempunyai hubungan yang mudah dengan

akomodasi.

f. Layak sesuai dengan lingkungan atau daerahnya.

g. Penganekaragaman atraksi dikembangkan seseuai dengan lingkungan.

h. Biaya pengembangan disesuaikan proyeksi kunjungan wisatawan sehari-

hari.

i. Jumlah kunjungan wisatawan harus sesuai dengan daya dukung objek dan

daya tarik wisata.

j. Perencanaan didasarkan kepada ciri-ciri yang spesific dan pengembangan

disesuaikan dengan keautentikannya.


22

Sementara itu, Suswantoro (1997:88-89) menjelaskan bahwa pengembangan

objek dan daya tarik wisata secara rinci perlu memperhatikan beberapa hal sebagai

berikut.

a. Fasilitas perdagangan dan fasilitas lainnya tidak diperkenankan

dibangun terlalu dekat dengan objek dan daya tarik wisata sehingga

mutu objek tidak tercemar.

b. Fasilitas komersial dibangun diintegrasikan dengan tempat parkir.

c. Perencanaan tempat komersial berorientasi pada orang-orang pejalan

kaki, memperhatikan hal-hal yang terbaik dimana akan dibutuhkan

banyak kios-kios (jalur melingkar).

d. Tempat parkir minimal 50 meter dari objek dan daya tarik wisata dan

ditutup dengan pepohonan (penghijauan).

e. Menjual cindramata khas objek setempat anatara lain, kerajinan,

lukisan, dan hasil pertanian.

Menurut Sugiarta (1995 dalam Keraf, 2000: 7) lebih khusus menjelaskan

persyaratan pengembangan wisata bahari agar bisa berkesinambungan adalah sebagai

berikut.

1. Tersedianya keadaan musim (cuaca) yang baik (kondusif) sepanjang

tahun.

2. Keadaan media lingkungan pesisir dan laut yang bersih dari bahan-

bahan pencemar serta higeinis.

3. Suasana pantai yang alami, dimana diosertai pula dengan penerapan

peraturan (norma-norma pantai lestari), khususnya dalam


23

pembangunan sarana dan prasarana fisik, ekonomi, dan sosial yang

menyatu dengan lingkungan alam.

4. Habitat pendukung keindahan alam, seperti air laut yang bersih, jernih,

dan ekosistem terumbu karang yang masih alami.

5. Gelombang dan laut yang memadai (tidak terlalu besar).

6. Kemungkinan aksesibilitas yang tinggi.

7. Tersedianya fasilitas penunjang seperti art shop, sarana kuliner,

akomodasi dan hiburan.

Kebijakan pariwisata nasional dapat ditinjau dari UUD 1945 dan UU No. 9

tahun 1990, hingga 1999 dengan apa yang dinamakan Kebijakan Nasioan (National

Policy) tertuang dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Pencantuman

pariwisata dalam GBHN baru dilakukan pada PELITA II tahun 1978, yaitu dalam

Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978 tentang GBHN. Kedudukan UU No. 9/1990

dalam perundang-undangan nasional merupakan undang-undang non organik yang

lahir dan timbul atas dasar pemenuhan kebutuhan kebijakan operasional di bidang

pariwisata yang bersifat lintas sektoral. UU No. 10/2009 dapat dikaitkan dengan

UUD 1945 yang diamandemen, khususnya berkaitan dengan pasal 32 dan 33, yaitu ;

kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengemabngkan nilai-nilai budayanya,

demokrasi ekonomi keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

2.2.6 Pola Pengembangan Kawasan Wisata

Tahapan perkembangan pariwisata membawa implikasi serta dampak yang

berbeda. Menurut Butler (dalam Sukarsa, 1998: 68) dijelaskan ada beberapa tahap

yang dilaksanakan dalam perencanaan pengembangan kawasan wisata.


24

1. Tahap penemuan; pada tahap ini orang-orang melakukan perjalanan ke suatau

wilayah ini biasanya dilakukan oleh pengembara, penjelajah, pelancong atau

orang yang mencintai kegiatan perjalanan wisata (travel style). Pada dasarnya

orang-orang ini menyalurkan hasrat kecintaan pada suatu tempat tujuan, dan

para pengembara, penjelajah, dan pelancong ini tidak memiliki pengharapan

untuk diperlakukan secara profesional.

2. Tahap keterlibatan; pada tahap ini, inisiatif masyarakat lokal menyediakan

fasilitas wisatawan, kemudian promosi daerah wisata dimulai dibantu dengan

keterlibatan pemerintah. Hasilnya, terjadi peningkatan jumlah wisatawaan.

Tipe wisatawan yang berkunjungpun mulai berubah, fasilitas

kepariwisataanpun mulai bermunculan. Ini terjadi karena tipe wisatawan

berbeda dan sudah menginginkan pelayanan yang profesional. Sementara itu

kesadaran wisata dan gaya juga taraf hidup masyarakat stempat mulai

mengalami peningkatan sehingga pemerintahpun mulai ikut campur dalam

pembangunan prasarana dan sarana kepariwisataan. Namun demikian dalam

pengelolaan berbagai fasilitas kepariwisataan tersebut semua itu dilakukan

semata-mata sebagai tanggapan dan inisiatif lokal yang bersifat spontan,

belum terkoordinasi dan memenuhi standar kepariwisataan.

3. Tahap pengembangan dan pembangunan ; pada tahap ini, jumlah wisatawan

yang datang meningkat tajam. Pada musim puncak wisatawan bisa

menyamai, bahkan melebihi jumlah penduduk lokal. Investor luar

berdatangan memperbahurui fasilitas. Sejalan dengan meningkatnya jumlah

dan popularitas daerah pariwisata, masalah-masalah rusaknya fasilitas mulai

terjadi.
25

4. Tahap konsilidasi dan interelasi ; pada tahap ini, tingkat pertumbuhan sudah

mulai menurun walaupun jumlah wisatawan masih relatif meningkat. Daerah

pariwisata belum berpengalaman mengatasi masalah dan kecendrungan

terjadinya monopoli sangat kuat.

5. Tahap kestabilan ; pada tahap ini, jumlah wisatawan yang datang pada musim

ramai, tidak mampu lagi dilayani oleh daerah tujuan wisata. Ini disadari

bahwa kunjungan ualangan wisatawan dan pemanfaatan bisnis dan

komponen-komponen lain pendukungnya sangat dibutuhkan untuk

mempertahankan jumlah wisatawan yang berkunjung. Daerah tujuan wisata

mungkin mengalami lingkungan, sosial dan ekonomi.

6. Tahap penurunan kualitas (decline) atau kelahiran baru (rejuvenation) ;

pengunjung kehilangan daerah tujuan wisata yang diketahui semula dan

menjadi resort baru. Kepemilikan berpeluang kuat untuk berubah, dan

fasilitas-fasilitas pariwisata, seperti akomodasi akan berubah

pemanfaatannya. Akhirnya pengambil kebijakan mengakui tingkatan ini dan

memutuskan untuk di kembangkan sebagai ”kelahiran baru”. Selanjutnya

terjadi kebijakan baru dalam berbagai bidang seperti pemanfaatan,

pemasaran, saluran distribusi, dan meninjau kembali posisi daerah tujuan

wisata tersebut. Siklus hidup pariwisata yang mangacu pada pendapat Butler

sebagai berikut:
26

Number of Tourism
Discovery Local Institutionalism Stagnation,
control rejuvenation,
or decline
Stagnation
Rejuvenation

Decline
consolidation

Development

involvement

Exploration
Time
Gambar 2.3. Siklus Hidup Area Wisata Butler (1992)

Mengacu pada siklus hidup area wisata di atas, dikaitkan dengan

pembangunan dan perkembangan pariwisata dan penyediaan fasilitas

akomodasi, wilayah Kuta Utara berada pada tatanan tahap pengembangan

(developement). Ini dapat dilihat dari pembangunan sarana dan prasarana

pariwisata yang terus dilakukan di wilayah Kuta Utara.

Dari teori Tahapan Pengembangan Pariwisata (tourism life cycle)

kemudian dikaitkan dengan dampak social yang terjadi pada tahap

pengembangan daerah wisata, Doxey (Ryan, 1991:136) menyimpulkan bahwa

terjadi perilaku spesifik pada masyarakat lokal atas pengaruh pariwisata dari

waktu ke waktu. Tingkat iritasi masyarakat menurut Doxey dapat dilihat pada

gambar 2.4 berikut:


27

Euphoria - Visitor are welcome and there is little planning (masyarakat


menerima kehadiran wisatawan, namun perencaan pariwisata
masih kurang).

Apathy
- Visitors are taken for granted and contacts becomes more formal
(wisatawan dianggap lebih mengetahui sehingga komunikasi
menjadi lebih resmi).

Annoyance - Saturations is approached and local people have misgivings.


Planning attempt to control via increasing infrastructure rather
than limiting growth . (kejenuhan akibat kekwatiran masyarakat
lokal. Perencanaan pariwisata dilakukan dengan cara melakukan
control pembangunan infrastuktur dibandingkan dengan
mambatasi pertumbuhan pariwisata).

Antagonism - Open expression of irritation and planning is remedial yet


promotion is increased to offset the deteriorating of theresort
(kejengkelan masyarakat sudah ditujukkan dalam bentuk gangguan
kepada wisatawan).

Teori ini dapat digunakan untuk mengukur dampak social yang ditimbulan

atas hubungan yang terjadi antara masyarakat local dan wisatawan, adapaun

tahapan dari model Doxey, yaitu ;

1) Tingkat euphoria (persaan bangga rohani dan jasmani), dimana pada

awal perkembangannya wisatawan disambut gembira dan pariwisata

dianggap sebagai pembawa manfaat ekonomi bagi masyarakat local.

2) Tingkat apathy (sikap acuh tak acuh), volume kunjungan wisatawan

bertambah, pariwisata dianggap bukan sesuatu yang baru. Wisatawan

tidak lagi menggunakan bahasa masyarakat local dan hubungan yang

terjadi lebih formal. Sikap masyarakat local lebih apatis terhadap

pariwisata.

3) Tingkat annoyance (sikap terganggu/terusik), berbagai permasalahan

muncul dalam pariwisata mulai dari kemacetan, bertambahnya


28

kepadatan penduduk pendatang. Masyarakat local merasa mereka

mengalami marginalisasi dalam pariwisata.

4) Tingkat antagonism/xenophobia (rasa benci/pertentangan), pariwisata

dengan berbagai fasilitasmya dianggap sebagai penyebab berbagai

permasalahan yang menimpa masyarakat local, baik masalah social,

maupun ekonomi. Pada tahapan ini kegiatan pariwisata mengalami

kemandegan dan telah melampaui daya dukung (over capacity).

Perencanaan, strategi pengelolaan, dan evaluasi yang

berkesinambungan dapat dilaksanakan melalui beberapa pendekatan

pariwisata. Pendekatan-pendekatan pariwisata tersebut menurut Spilane

dalam Da Costa (2004: 21) adalah sebagai berikut.

a. Pendekatan Advocacy

Pendekatan ini mendukung pariwisata dan menekankan keuntungan

ekonomis pariwisata. Potensi pariwisata bisa dipakai untuk mendukung

macam-macam kegiatan ekonomis, menciptakan lapangan kerja baru,

memperoleh devisa asing yang dibutuhkan bagi pembangunan.

Perkembangan pendekatan ini mencapai puncaknya pada tahun 1960-an

dan mearik perhatian baru dunia pariwisata internasional dan nasional.

b. Pendekatan Cautionary

Karena pariwisata baru dipandang dari satu sisi saja, ada dorongan

untuk memunculkan pendekatan lain yang kemudian dikenal sebagai

pendekatan cautionary. Pendekatan ini muncul pada tahun 1970-an, baik

yang mempertanyakan maupun menolak sama sekali pendekatan advocacy.

Mereka yang berada pada sisi pendekatan cautionary menekankan bahwa


29

pariwisata dapat mengakibatkan banyak kerugian (disbenefits) dalam

berbagai aspek sosio-ekonomi, seperti menimbulakan lapangan kerja

musiman dan kasar/rendahan, mengakibatkan bocornya devisa asing,

menyebabkan komersialisasi budaya, serta menyebabkan berbagai macam

konflik.

c. Pendekatan Adaptasi

Pendekatan advocacy dan pendekatan cautionary saling bertentangan,

sehingga muncul bentuk pendekatan baru yang menyadari bahwa

pariwisata mempunyai unsur baik positif ataupun negatif. Pendekatan

adaptacy menyebutkan bahwa pengaruh negatif pariwisata dapat dikontrol

dangan mencari bentuk lain perkembangan pariwisata dari selama ini yang

sudah dikenal secara umum, atau dengan menyesuaikan pariwisata dengan

negara atau daerah tujuan wisata. Cara berpikir baru ini berdasarkan

pandangan bahwa alam dan budaya dapat digabungkan dalam satu konteks.

Oleh karena itu, pendekatan ini mengusulkan strategi seperti pembangunan

berskala kecil, pariwisata yang terkontrrol, pariwisata yang dapat bertahan

lam (sustainable), pariwisata dengan cara menikmati kehidupan

masyarakat setempat, dan pariwisata yang berkaitan dengan ekologi (eco-

tourism). Pendekatan ini membuat manusia sadar akan bahanyanya

pariwisata massa (mass tourism). Oleh karena itu, pendektan ini

mengusulkan beraneka ragam bentuk alternatif untuk mengembangkan

pariwisata. Penganut ini juga mengusulkan bentuk pariwisata dengan

pandangan selera tuan rumah maupun tamu. Contoh dari bentuk alternatif

ini adalah pariwisata perkebunan (agricultural tourism), pariwisata yang


30

melibatkan seluruh masyarakat (community tourism), pariwisata dalam

skala kecil (cottage tourism), pariwisata untuk menimkati keramahan

(gentle tourism), pariwisata yang memiliki kekhasan tertentu (indigenous

tourism), pariwisata untuk rekreasi (recreational tourism), pariwisata yang

bertanggung jawab (responsible tourism), pariwisata desa (rural tourism),

pariwisata olah raga (sport tourism), dan pariwisata lingkungan (eco-

tourism). Semua altrnatif di atas dikenal sebagai pendekatan development.

Alternatif ini menganggap bahwa pariwisata dapat disusuaikan dengan

keadaan masyarakat tuan rumah dan peka pada selera masyarakat tuan

rumah. Dapat dipercaya bahwa perkembangan tersebut sebtulnya

mempengaruhi pilihan wisatawan terhadap daerah tujuan wisata dan

demikian juga cara kehidupan mereka di daerah wisata, dan bentuk

pariwisata alternatif ini mengurangi jurang pemisah antara hak dan

tanggung jawab dari tamu, tuan rumah dan perantaranya.

d. Pendekatan Knowledge Based

Pendekatan ini adalah pandangan yang berdasarkan ilmu pengetahuan.

Dengan memanfaatkan berbagai hal yang positif dan negatif dari semua

pandangan tersebut. Pendekatan ini menggunakan pandangan yang

sistematis terhadap pariwisata. Selain itu, pendekatan

ini juga menganggap bahwa pariwisata adalah bidang penelitian yang multi-

disipliner dan cendrung menerapkan teori dan metode dari berbagai bidang

yang berkaitan dengan pariwisata. Pendekatan knowlege based ini secara

selektif menggabungkan ketiga pendekatan lain dengan masing-masing

memberikan subangan sendiri.


31

Selain itu dalam perencanaan dan pembangunan pariwisata konsep

pembangunan berkelanjutn (sustainable development), yaitu pembangunan yang

memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang

untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Konsep ini sangat tepat untuk dijadikan

landasan sebagai grand teori, tidak saja bagi kajian pengembangan pariwisata, tapi

juga untuk keseluruhan sektor pembangunan. Konsep ini tidak semata-mata

menekankan kesejahteraan materiil yang ditumpukan pada manfaat ekonomi, tetapi

juga menekankan pentingnya pariwisata bagi peningkatan hubungan mansusia

dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan

lingkungannya secara selaras, serasi yang di istilah bali disebut dengan Tri hita

Karana.

Selain aspek-aspek tersebut, ada beberapa aspek lain yang perlu diketahui di

dalam merencanakan dan mengembangkan kawasan wisata. Menurut Yoeti (1997: 2-

4) Aspek lain yang tak kalah pentingnya untuk dikaji dalam perencanaan dan

pengembangan pariwisata adalah :

1. Wisatawan

Pengembangan pariwisata harus didahului dengan penelitian tentang

karakteristik wisatawan yang diharpkan datang. Dari negara mana saja mereka

datang, anak muda, orang tua, pengusaha, pegawai, apa kesukaannya dan pada

musim apa mereka melakukan perjalanan.

2. Pengangkutan

Penelitian selanjutnya adalah bagaimana fasilitas transportasi yang tersadia

atau jenis kendaraan yang digunakan, baik untuk membawa wisatawan dari negara

ke dareah tujuan wisata yang dituju. Selain itu, bagaimana pula dengan
32

transportasi lokal kalau melakukan perjalanan wisata di daerah tujuan yang

dikunjungi.

3. Atraksi dan objek wisata yang akan dijual, apakah memenuhi tiga syarat seperti

a. Apa yang dapat dilihat (something to see)

b. Apa yang dapat dilakukan (something to do)

c. Apa yang dapat dibeli (something to buy)

4. Pasilitas Pelayanan

Fasilitas apa saja yang tersedia di daerah tujuan wisata tersebut seperti ;

akomodasi, perhotelan, restaurant, pelayanan umum (bank, money changers,

kantor pos, telepon/teleks/faksimili/internet) di daerah tujuan wisata yang akan

dikunjungi.

5. Informasi dan Promosi

Calon wisatawan perlu memperoleh informasi tentang daerah tujuan wisata

yang akan dikunjunginya. Untuk itu diperlukan cara-cara promosi/publikasi yang

akan dilakukan seperti ; kapan waktunya pasang iklan lewat media cetak atau

elektronik (TV& Radio), dimana tempat yang cocok untuk memasang

spanduk/balihoo, kemana leaflets/brochures harus disebarkan, sehingga calon

wisatawan mengetahui tiap paket wisata yang ada dan memudahkan calon

wisatawan dalam mengambil keputusan.

Maka dengan demikian prinsip keseluruhan pengembangan pariwisata

haruslah merupakan suatu kesatuan dengan pembangunan regional atau nasional dari

pembangunan perekonomian negara. Oleh karena itu perencanaan pengembangan dan

pembangunan kepariwisataan hendaknya termasuk dalam kerangka kerja dari


33

pembangunan ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan yang menghendaki

pendekatan terpadu (integrated-approach) dengan sektor lainnya.

2.2.7 Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan

Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) diperkenalkan

oleh komisi dunia untuk lingkungan hidup dan pembangunan PBB tahun 1987.

Konsep ini diperkenalkan sebagai usaha mengantisipasi eksploitasi sumber daya

secara berlebihan. Dengan konsep ini diharapkan pembangunan dilaksanakan untuk

memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini tanpa menghambat atau mengurangi

kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya.(Schouten, 1992

dalam Sumariadhi, 2009).

Konsep pembangunan berkelanjutan kemudian masuk pada sektor pariwisata

sehingga dalam beberapa tulisan mengenai pariwisata ditemukan istilah

pembangunan pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism development). Dalam

kaitannya dengan pariwisata, pembangunan berkelanjutan mesti mempertimbangkan

kualitas pengalaman wisatawan, kualitas sumberdaya (budaya dan alam), dan kualitas

kehidupan masyarakat.

Konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan akan digunakan untuk

membantu menganalisis dampak pariwisata yang terjadi. Pesatnya pembangunan

usaha akomodasi villa di Kecamatan Kuta Utara berdampak pada kualitas

pengalaman wisatawan, kualitas sumberdaya yang ada, serta kualitas kehidupan

masyarakat. Kualitas yang baik akan membantu mewujudkan pembangunan

pariwisata berkelanjutan di Kecamatan Kuta Utara.


34

2.3 Landasan Teori

Ada beberapa teori yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu teori

permintaan dan penawaran, teori konflik, dan teori dampak. Adapun teori tersebut

dijelaskan secara lebih terperinci sebagai berikut:

2.3.1 Teori Permintaan dan Penawaran

Paska peristiwa Bom Bali I tahun 2002 dan Bom Bali II pada tahun 2005

silam, animo wisatawan baik domestik maupun mancanegara tidak surut untuk

berkunjung ke Bali. Dari tingginya kunjungan ini ada trend pergeseran keinginan

wisatwan untuk menginap di tempat yang lebih nyaman, aman dan jauh dari hingar

bingar kehidupan pariwsata. Dari kondisi lapangan yang di apreisiasi oleh investor

maka terjadi pengembangan pembangunan tempat akomodasi dari Kuta Selatan ke

arah Kuta Utara. Ternyata terobosan ini mendpat sambutan dari wisatawan yang

berkunjung ke Bali.

Menurut Pitana, et al. (2005:66) yang dikutip dari Richardson dan Fluker

(2004), keputusan seseorang untuk melakukan perjalanan wisata dipengeruhi oleh

kuatnya faktor-faktor pendorong (push factors) dan faktor-faktor penarik (pull

factors). Faktor pendorong dan penarik ini merupakan faktor internal dan eksternal

yang memotivasi wisatawan untuk melakukan perjalanan. Faktor pendorong

umumnya bersifat sosial-psikologis (person-specific motivation), sedangkan faktor

penarik merupakan destination-specific attributes.

Sedangkan menurut Damanik dan Weber (2006:2-14), dari sisi ekonomi,

pariwisata muncul dari unsur permintaan dan penawaran antara wisatawan dan daerah

tujuan wisata. Kedua unsur ini ibarat mata uang yang memiliki dua sisi yang tidak
35

bisa dipisahkan. Tanpa permintaan wisatawan, segala macam daya tarik wisata yang

ada tidak akan ada gunanya, dan sebaliknya tanpa daya tarik wisata, wisatawan tidak

akan ada tempat untuk melakukan perjalanan wisata.

Awalnya permintaan wisatawan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti

ketersediaan waktu luang dan peningkatan pendapatan. Dengan semakin banyaknya

waktu luang dan pendapatan akan meningkatkan keinginan wisatawan untuk

melakukan perjalanan wisata. Diikuti dengan kemajuan teknologi tranportasi darat,

laut dan udara yang semakin aman, nyaman dan murah dapat meningkatkan

kemampuan masyarakat kelas bawah dan menengah masuk ke dalam pasar

transportasi udara. Hal ini sangat sesuai dengan teori permintaan dan penawaran yang

menyatakan bahwa semakin rendah harga suatu produk maka semakin banyak produk

yang dibeli oleh konsumen (Tasman dan Aima, 2005:12). Sebagai dampaknya, saat

ini pariwisata bukan hanya konsumsi eksklusif para pengusaha, petinggi negara dan

daerah, kalangan elit dan selebritis, tetapi juga konsumsi orang-orang desa yang

memiliki distribusi pekerjaan dan pendapatan yang semakin baik.

Permintaan wisatawan tanpa ada penawaran dan pelayanan dari daerah tujuan

wisata belum cukup menjamin perjalanan wisata. Penawaran wisata adalah

menyangkut semua produk yang ditawarkan kepada wisatawan, sedangkan jasa

adalah layanan yang diterima wisatawan ketika mereka memanfaatkan atau

menkonsumsi produk tersebut. Pelayanan pariwisata biasanya tidak tampak

(intangible), bahkan seringkali tidak dirasakan. Mulai dari pembersihan kamar hotel

yang dilakukan oleh staf room service, aneka hidangan dan cara penyajiannya yang

dilakukan oleh staf food and beverage sampai penyediaan informasi di Tourist
36

Information Centre, semuanya merupakan bentuk jasa penawaran pariwisata

(Damanik dan Weber, 2006:11).

2.3.2 Teori Konflik

Pariwisata melibatkan berbagai komponen di dalamnya dalam rangka

menyediakan jasa bagi wisatawan. Dalam interaksi komponen-komponen pariwisata

ini tidak selamanya berjalan harmonis. Lebih jauh, konflik dapat timbul dari interaksi

atau hubungan antara satu komponen pariwisata dengan komponen pariwisata

lainnya. Hal ini mendorong adanya analisis terhadap perilaku manusia dalam

perspektif teori konflik dalam rangka memenuhi kebutuhan laten berupa status,

kekuasaan serta sumber kekayaan, dan persediaan sumber daya pariwisata yang

terbatas.

Teori konflik yang dikembangkan Dahrendorf bersifat multifaset, artinya

bahwa konflik dapat terjadi antar pribadi, antar kelompok, dan dapat berfungsi positif

atau negatif. Marx menggunakan strategi perjuangan kelas yang antagonistik antara

proletar dengan borjuis, menjadikan konflik sebagai strategi perjuangan, tidak

multifaset seperti Dahrendorf, melainkan diangkat menjadi strategi mengkonflikkan

secara sistemik. Menurut Coser dalam Suprayogo (2001), konflik adalah perselisihan

mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, kekuasaan dan

sumber-sumber kekayaan dan persediaan yang tidak mencukupi, dan pihak-pihak

yang sedang berselisih tidak hanya berusaha memperoleh barang yang diinginkan,

tetapi juga memojokkan, merugikan atau menghancurkan lawan mereka.

Teori konflik ini akan diaplikasikan untuk mengkaji dampak pariwisata,

terutama berkaitan dengan konflik yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan dan
37

sumber daya di Kecamatan Kuta Utara. Selain itu, teori konflik juga akan dipakai

untuk mengkaji konflik lainnya yang berkaitan dengan pariwisata, misalnya konflik

sumberdaya manusia. Solusi atas konflik dapat dijadikan dasar dalam penyusunan

strategi meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif.

2.3.3 Teori Dampak

Teori dampak dinamika sosial (Dynamics Sosial Impact Theori)

dikembangkan oleh Bibb Latane yaitu mengibaratkan masyarakat sebagai komunikasi

raksasa yang terdiri atas sejumlah subsistem budaya, termasuk interaksi individu

dengan yang lainnya. Aksioma individu berbeda dalam berbagai cara, berbeda ide,

kepercayaan, kebiasaan, dan perilaku. Mereka berinteraksi dengan yang lainnya

dalam ruang sosial. Seseorang akan mudah dipengaruhi oleh orang terdekat dari pada

orang yang tidak dikenal dan akan menimbulkan perubahan-perubahan sistem

komunikasi (Widiastuti, 2008).

Menurut Soemarwoto (2005), dampak adalah suatu perubahan yang terjadi

akibat adanya suatu aktivitas. Perubahan tersebut dapat berupa perubahan struktur

ekonomi, struktur sosial, fisik wilayah, pola konsumsi, pola perilaku, alam dan

lingkungan hidup, teknologi, dan perubahan sistem nilai budaya. Perubahan yang

terjadi akibat suatu aktivitas/proyek (Wardi, 2005) adalah

1. sering disadari, diduga, dan diharapkan (perubahan kentara/manifest).

2. tidak disadari, tidak diduga, tidak diharapkan (porse laten)

3. disadari, menduga dan mengharapkan namun semua dugaan atau prakiraan itu

ternyata keliru sama sekali (kontraproduktif).

Dampak suatu kegiatan yang direncanakan oleh manusia secara umum dapat

dikatagorikan sebagai dampak primer dan dampak sekunder. Dampak primer adalah
38

dampak langsung yang dihasilkan oleh suatu kegiatan, sedangkan dampak sekunder

adalah dampak lanjutan dari dampak primer. Tingkat proses perubahan dapat

berlangsung dalam skala mikro, mezo dan makro yang berlangsung dalam skala

waktu yang pendek dan sangat cepat, atau lambat yang memerlukan waktu berpuluh-

puluh tahun. Perubahan mikro terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan dalam

kelompok kecil seperti keluarga. Perubahan mezo terjadi dalam kelompok besar

seperti birokrasi, komunitas desa. Sedangkan perubahan makro merupakan

perubahan paling luas seperti di tingkat regional, kawasan dan sebagainya.

Dampak lingkungan, ekonomi dan social budaya merupakan dampak yang

timbul sehubungan dengan kegiatan pariwisata. Dampak-dampak tersebut dapat

berupa dampak positif dan negative. Batasan pengertian tentang dampak positif dan

negative dijelaskan sebagai berikut.

1. Dampak Positif

Dampak positif dari perkembangan pariwisata baik dari segi mikro maupun

makro menimbulkan peningkatan perolehan devisa suatu Negara, peningkatan

APBN dan PAD suatu daerah, peningkatan pendapatan perkapita penduduk

suatu daerah yang secara tidak langsung berdampak pada kesejahteraan

masyarakat setempat. Berkembangnya kebudayaan masyarakat sekaligus juga

sebagai upaya dalam pelestarian budaya yang bisa dijadikan konsumsi

wisatwan.

2. Dampak Negatif

Dampak negative social-budaya pengembangan pariwisata meliputi:

komodifikasi, peniruan, profanisasi, perselisihan antara masyarakat local


39

dengan pengelola kawasan atau daya tarik wisata, dan penolakan terhadap

keberadaan kawasan atau daya tarik wisata.

Menurut Pitana dan Gayatri (2005:109-115), pariwisata membawa berbagai

dampak terhadap masyarakat setempat. Bahkan pariwisata dikatakan mempunyai

energi dobrak yang mampu membuat masyarakat setempat mengalami metamorphose

dalam berbagai aspeknya, sehingga untuk melihat secara langsung dampak social

budaya masyarakat tidak begitu mudah. Meskipun industry pariwisata yang sangat

ramah dengan lingkungan tetapi tetap saja menimbulkan dampak positif dan negative

terhadap kehidupan masyarakat secara menyeluruh seperti social budaya masyarakat.

Dampak positif yang ditimbulkan seperti meningkatkan pendapatan masyarakat dan

pemerintah, membuka lapangan kerja, memotivasi bangkitnya budaya local untuk

kepentingan pariwisata. Sedangkan dampak negatifnya seperti: modifikasi budaya,

komersialisasi budaya, dan gaya hidup yang konsumtif. Hal ini yang membuat tidak

harmonisnya hubungan antara anggota masysrakat.

Secara umum dampak yang ditimbulkan adalah dampak positif dan dampak

negative. Dampak positif dari pengembangan pariwisata meliputi: (1) memperluas

lapangan kerja; (2) bertambahnya kesempatan berusaha; (3) meningkatkan

pendapatan; (4) terpeliharanya kebudayaan setempat; (5) dikenalnya kebudayaan

setempat oleh wisatawan. Sedangkan dampak negative dari pariwisata tersebut

meliputi: (1) terjadinya pertambahan penduduk akibat pendatang baru dari luar

daerah; (2) terjadinya komersialisasi budaya; (3) berkembangnya pola hidup

konsumtif; (4) terganggunya lingkungan; (5) semakin terbatasnya lahan pertanian; (6)

terdesaknya masyarakat setempat (Spillane, 1989:47).


40

Menurut Shaw and Williams dalam Ardika, (2003:25) dampak positif dari

kegiatan pariwisata terhadap budaya masyarakat lokal antara lain: munculnya

kreativitas dan inovasi budaya, akulturasi budaya, dan revitalisasi budaya. Sedangkan

dampak negative yang sering dikawatirkan terhadap budaya masyarakat local antara

lain proses komodifikasi, peniruan dan profanisasi.

Teori dampak ini akan dipergunakan untuk mengetahui perubahan-perubahan

yang ditimbulkan dari maraknya pembangunan vila di Kecamatan Kuta Utara

terhadap ekonomi dan social budaya masyarakat serta lingkungan fisik Kecamatan

Kuta Utara.

2.3.4 Teori Perubahan Budaya

Perkembangan teori perubahan budaya, sangat dipengaruhi oleh teori Darwin

yang dikenal dengan teori evolusi, dimana proses evolusi dipengaruhi oleh keadaan

lingkungan alam. Teori Perubahan Budaya bersumber dari teori Sosiologi Pariwisata

dan Antropologi Pariwisata. Menurut teori perubahan, yang kuat akan dapat

bertahan hidup sementara yang lemah akan dikuasai oleh yang kuat ataupun

tersingkir dari persaingan. Bahwa segala sesuatu pasti akan mengalami perubahan.

Steward dan Harsojo (dalam Kaplan dan Manner, 2000: 63-64) adalah tokoh

yang mengembangkan teori darwin. Selanjutnya Steward yang terkenal dengan teori

evolusionisme multilinear mengemukakan bahwa proses perkembangan berbagai

kebudayaan itu memperlihatkan adanya beberapa proses perkembangan yang sejajar.

Kesejajaran terutama nampak pada unsur yang primer, sedangkan unsur kebudayaan

yang sekunder tidak nampak perkembangan yang sejajar dan hanya tampak

perkembangan yang khas. Proses perkembangan yang sejajar mengenai beberapa


41

unsur kebudayaan primer disebabkan karena lingkungan tertentu memaksa terjadi

perkembangan ke arah itu.

Stark (1987:440) salah satu pendukung teori perubahan budaya,

mengemukakan bahwa perubahan yang terjadi dalam lingkungan fisik sering diikuti

dengan perubahan sosial budaya masyarakat. Kaplan (2000:84) mensinyalir bahwa

perubahan yang terjadi dalam masyarakat dan budaya akan dapat mengalami

transformasi secara drastis. Pengembangan pariwisata tentu diikuti dengan

pembangunan prasarana dan sarana penunjang seperti, pembangunan jalan raya,

jaringan listrik, air; pembangunan hotel, restoran, toko sounier dan lain-lain, akan

jelas mengakibatkan perubahan pada lingkungan fisik. Sisi lain dari pengaruh

pengembangan pariwisata dapat berimplikasi pada pergeseran pola hidup dari

bertani ke industri pariwisata.

Untuk meminimalisir kecenderungan terjadi perubahan drastis baik fisik

maupun non fisik sebagai akibat dari pembangunan kepariwisataan, maka

ditawarkan Teori Brikade dan Teori Pengelolaan Sumber Daya Berbasis Komunitas.

2.4 Model Penelitian

Penelitian ini didasari oleh adanya perkembangan yang bersifat kuantitatif,

terjadi pula perkembangan yang sifatnya kualitatif yang terjadi pada sisi wisatawan

seperti perubahan tuntutan dan selera wisatawan, perkembangan trend produk wisata,

diversifikasi produk dan layanan, berkembangnya minat-minat khusus dengan relung-

relung pasar yang baru, dan sebagainya (Mahadewi dan Pitana, 2008). Selain itu juga

perubahan pola perjalanan wisatawan yang terjadi sejak dekade 90-an dari mass
42

tourism ke arah yang bersifat individual pada akhirnya membawa konsekuensi pada

perubahan pola pemilihan berbagai jenis produk wisata termasuk akomodasi.

Adanya berbagai peristiwa pengeboman dan serangan teroris telah

menimbulkan ketakutan bagi sebagian wisatawan mengakibatkan mereka cenderung

untuk menghindari tempat-tempat terkonsentrasinya wisatawan asing. Hal tersebut

juga tercermin dari pemilihan jenis akomodasi yang cenderung mengarah pada jenis

akomodasi yang lebih tenang, aman dan private. Dari dua kecenderungan tersebut,

yakni perubahan pola perjalanan dan pelayanan yang lebih bersifat pribadi serta

alasan keamanan inilah memicu wisatawan untuk interes terhadap akomodasi vila

yang juga mempengaruhi permintaan terhadap usaha akomodasi ini.

Pembangunan usaha akomodasi vila menjadi suatu fenomena yang hangat

dibicarakan oleh masyarakat dan insan pariwisata karena para pengusaha pariwisata

dan investor berlomba-lomba membangun vila untuk memenuhi tuntutan trend

pariwisata.

Perkembangan bangunan vila sebagai sarana akomodasi pariwisata di

Kabupaten Badung sepertinya dapat dijadikan sebagai salah satu contoh dari

perkembangan industri pariwisata yang tidak direncanakan sebelumnya, hal tersebut

dapat dilihat dari perkembangannya yang begitu cepat dan seperti tanpa kendali.

Keberadaan vila memiliki beberapa potensi yang mendapat perhatian cukup luas dari

berbagai kalangan baik itu potensi bersifat positif ataupun negatif, seperti :

pertumbuhan fisik, peruntukan, pelanggaran, perijinan, dan sebagainya.

Fenomena yang terjadi di Kecamatan Kuta Utara saat ini ditandai dengan

menjamurnya pembangunan akomodasi vila, ditengarai dapat menimbulkan dampak

terhadap lingkungan dan adanya respon masyarakat terhadap dampak pembangunan


43

vila ini. Dengan bantuan beberapa teori, yaitu teori konflik dan teori dampak serta

konsep-konsep, seperti: konsep pariwisata, konsep vila, konsep dampak pariwisata

terhadap lingkungan, konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan dan akhirnya

dianalisa dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif, maka akan dapat

diketahui dampak positif dan negatif perkembangan pariwisata terhadap lingkungan.

Model penelitian ini sebagaimana terlihat pada Gambar 2.1 di bawah ini :
44

Pembangunan Villa di Kabupaten Badung

Isu Global/Eksternal
1. Perkembangan pariwisata yang bersifat kuantitatif
2. Perubahan pola perjalanan wisatawan
3. Perubahan pola pemilihan berbagai produk wisata

Isu Lokal/Internal
1. Ketertarikan pada akomodasi yang tenang, aman dan privat
2. Munculnya akomodasi vila sebagai akomodasi alternatif

Maraknya Pembangunan Akomodasi Vila di Kab.Badung

Rumusan Masalah
1. Dampak pembangunan vila terhadap lingkungan
Kecamatan Kuta Utara
2. Dampak pembangunan vila terhadap sosial budaya
masyarakat Kecamatan Kuta Utara.
3. Dampak pembangunan vila terhadap ekonomi masyarakat
Kecamatan Kuta Utara

Konsep-Konsep
1. Pariwisata
2. Sarana Akomodasi Landasan Teori
Pariwisata 1. Teori Permintaan dan
3. Villa Penawaran
4. Dampak Pembangunan 2. Teori Konflik
Pariwisata 3. Teori Dampak
5. Pengembangan Pariwisata 4. Teori Perubahan
6. Pengembangan Kawasan Budaya
7. Pembangunan Pariwisata
Berkelanjutan

Pembangunan Villa
di Kecamatan Kuta Utara

Rekomendasi
45

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif

(naturalistik) yaitu penggambaran dan penjelasan yang cermat terhadap fenomena

alam lingkungan tertentu dengan mengkaji secara kualitatif khususnya dampak

pembangunan vila terhadap lingkungan fisik .

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive), yang didasarkan atas

beberapa pertimbangan, yaitu: (1) memiliki persebaran jumlah vila paling banyak; (2)

maraknya pembangunan akomodasi vila di wilayah ini ditengarai telah menimbulkan

dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif terhadap lingkungan fisik, (3)

sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian menyangkut dampak

pembangunan vila khususnya di Kecamatan Kuta Utara.

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Kuta Utara. Kecamatan Kuta Utara

merupakan salah satu dari enam kecamatan yang ada di Kabupaten Badung, Provinsi

Bali. Kecamatan Kuta Utara memiliki luas wilayah 33,86 Km2 atau sekitar 8,10%

dari luas Kabupaten Badung. Dalam monografi disebutkan Kecamatan Kuta Utara

terbagi atas enam desa/kelurahan (Kelurahan Kerobokan, Kelurahan Kerobokan Kaja,

Kelurahan Kerobokan Klod, Desa Canggu, Desa Dalung dan Desa Tibubeneng),

delapan desa adat, 35 banjar dinas dan 45 lingkungan.


46

Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian


47

Pantai yang menjadi daerah tujuan wisata pendukung pesatnya pertumbuhan vila di

Kecamatan Utara yaitu Pantai Canggu, Pantai Batumejan, Pantai Pertancak, Pantai

Berawa, dan Pantai Batu Belig. Sedangkan pembangunan vila berada di Desa

Tibubeneng, Desa Canggu dan Desa Kerobokan Tengah dan Kelod.

3.3 Jenis dan Sumber Data

3.3.1 Jenis Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif dan

data kualitatif.

1. Data kuantitatif, yaitu data yang berbentuk angka-angka serta dapat dihitung,

antara lain: jumlah sarana akomodasi wisata di Kabupaten Badung, jumlah

vila yang terdapat di Kecamatan Kuta dan jumlah penduduk Kecamatan Kuta

Utara.

2. Data kualitatif, yaitu data yang berupa keterangan-keterangan dan tidak dapat

diangkakan atau tidak dapat diukur, antara lain: kondisi perkembangan sarana

vila, potensi ekologis dan sosial budaya Kecamatan Kuta Utara, profil sarana

akomodasi di Kecamatan Kuta Utara, kondisi dan situasi lingkungan sekitar di

Kecamatan Kuta Utara.

3.3.2 Sumber Data

Data yang didapatkan dalam penelitian ini berasal dari dua sumber, yaitu:

1. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung di lapangan yang didapatkan

melalui observasi dan wawancara mendalam dengan informan-informan

antara lain dengan pihak pemerintah Kabupaten Badung (Diparda Badung,

Bappeda Badung, Dinas Cipta Karya Badung), para pelaku usaha vila, dan
48

komponen masyarakat, serta dengan pihak-pihak yang memiliki pengetahuan,

mendalami situasi dan mengetahui informasi dengan obyek penelitian. Dari

wawancara ini sebagian besar data yang didapatkan adalah data kualitatif.

2. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui pengumpulan dan

pengolahan data yang bersal dari beberapa sumber, baik dari instansi

pemerintah seperti Dinas Pariwisata Kabupaten Badung, Bappeda Badung dan

Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. Selain itu sumber data sekunder juga

diperoleh dari literatur teknis seperti artikel-artikel yang terkait dengan topik

penelitian, dokumen-dokumen resmi yang diterbitkan pemerintah Kabupaten

Badung seperti buku Badung dalam Angka maupun dari referensi dan

berbagai buku atau perpustakaan.

3.4. Instrumen Penelitian

Untuk mendapatkan data agar lebih akurat, peneliti menggunakan instrumen

penelitian berupa (1) panduan wawancara (interview guide) yang berupa daftar

beberapa pertanyaan pokok dengan pertanyaan-pertanyaan yang sudah disiapkan

sebelumnya, dan (2) ceklist untuk observasi persebaran vila dan dampak yang

ditimbulkan terhadap lingkungan fisik. Selain itu, digunakan juga alat perekam

suara, kamera, dan alat tulis lainnya yang dianggap perlu dan disesuaikan dengan

situasi di lokasi penelitian.

3.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan cara:

1. Observasi, yaitu pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan

langsung ke lokasi penelitian untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang

objek yang diteliti. Observasi dilakukan dengan cara melakukan pengamatan


49

di beberapa lokasi pembangunan vila di Kecamatan Kuta Utara untuk

mengidentifikasi dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan fisik baik

yang bersifat positif maupun negatif.

2. Wawancara terstruktur adalah pengumpulan data dengan cara melakukan

tanya-jawab dengan informan atau responden yang telah ditetapkan. Metode

yang digunakan dalam penentuan informan adalah metode purposive, yaitu

cara penentuan informan dilakukan dengan sengaja berdasarkan tujuan dan

maksud tertentu agar keterangan yang diberikan dapat lebih

dipertanggungjawabkan (Sugiyono, 2003). Informan yang dipilih ditetapkan

memiliki kriteria yaitu mereka yang mengetahui kedalaman informasi

sehubungan dengan masalah yang diteliti. Informan kunci (key informan)

dalam penelitian ini adalah tokoh-tokoh yang dianggap mengetahui objek

penelitian yang dilakukan, sehingga data dampak pembangunan vila terhadap

lingkungan fisik di Kuta Utara menjadi lengkap. Adapun jumlah informan

dalam penelitian ini adalah Diparda Badung (1 orang), Bappeda Badung (1

orang), Dinas Cipta Karya (1 orang), pelaku Usaha Vila (6 orang), Ketua

Asosiasi Vila se-Bali (1 orang), para kelian banjar se-Kuta Utara (12 orang),

anggota DPRD Badung (1 orang), Camat Kuta Utara dan Kepala Desa se-

Kuta Utara (7 orang). Jadi jumlah informan dalam penelitian ini adalah 30

orang.

3. Studi kepustakaan, yaitu pengumpulan data dengan menelaah buku-buku atau

literatur-literatur yang berhubungan dengan penelitian ini.


50

3.6 Metode dan Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan ke dalam

pola, kategori, dan satuan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat

dirumuskan hipotesis kerja, seperti yang disarankan oleh data (Nazir, 1988).

Dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif, yaitu menggambarkan suatu

fenomena kemudian mengkaitkannya dengan fenomena lain melalui interpretasi

untuk dideskripsikan dalam suatu kualitas yang mendekati kenyataan (Muhajir, dalam

Suryasih, 2003). Dalam analisis deskriptif kualitatif akan melakukan penyederhanaan

dan pengelompokan data yang terkumpul, baik yang berupa ide, ungkapan, maupun

pandangan ke dalam kelompok-kelompok sesuai dengan fenomena yang diamati.

Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut.

1. Reduksi data dilakukan dengan pemilihan, pemusatan, penyederhanaan,

pengabstrakan, dan transformasi data mentah yang muncul dari hasil catatan-

catatan tertulis di lapangan. Reduksi data merupakan suatu analisis guna

mempertajam, mengklasifikasi, membuang yang tidak perlu, dan

mengkategorisasi data, sehingga dapat ditarik simpulan.

2. Penyajian data dilakukan dengan mengkonstruksi kembali data yang telah

direduksi dan disajikan dalam bentuk teks naratif.

3. Penarikan simpulan dilakukan dengan melakukan penafsiran mengenai isi

ringkasan dari pembahasan.

Dalam penelitian ini digunakan teknik analisis data, yaitu: deskriptif

kualitatif, yaitu memberikan narasi dan makna terhadap data dan informasi kualitatif,

sehingga mampu memberikan gambaran atau deskripsi terhadap fenomena dampak

pembangunan vila terhadap lingkungan fisik.


51

3.7 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Penyajian hasil analisis data pada penelitian ini dilakukan secara kualitatif

melalui penyampaian dalam bentuk verbal dengan teknik deskriptif interpretatif,

artinya hasil analisis akan dipaparkan sedemikian rupa dan pada bagian tertentu

diinterpretasikan sesuai dengan teori dan kerangka pemikiran yang berlaku umum.

Dengan penyajian secara formal dan informal yang demikian akan diperoleh

gambaran yang lebih jelas dan mendalam tentang penelitian yang dilakukan.
52

BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Arah Kebijakan Kepariwisataan Kabupaten Badung

Wilayah Kabupaten Badung dalam konteks regional Bali memiliki peran yang

cukup berpengaruh terhadap wilayah lain, terutama di bidang ekonomi yang

digerakkan oleh industri pariwisata yang perkembangannya cukup pesat dalam satu

dekade terakhir. Keindahan alam serta keunikan seni dan budaya yang dijiwai dan

bernafaskan agama Hindu, serta ditunjang oleh banyaknya objek wisata serta

berbagai sarana akomodasi bertaraf internasional seperti hotel, restaurant & bar, biro

perjalanan wisata dan adanya berbagai atraksi wisata yang terdapat di wilayah ini,

menjadikan sektor pariwisata sebagai primadona dan sumber pendapatan utama bagi

Kabupaten Badung. Lebih dari 90% pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten

Badung diperoleh dari sektor ini dan pengembangan kepariwisataan di daerah ini

dilakukan secara selektif dengan selalu berpedoman pada pengembangan pariwisata

dan pelestarian budaya.

Sebagai salah satu daerah yang mengembangkan pariwisata, Pemerintah

Kabupaten Badung secara terus menerus berupaya untuk mengoptimalkan potensi

pariwisata yang ada di daerahnya. Salah satu upaya tersebut adalah dengan

mengeluarkan kebijakan-kebijakan di bidang kepariwisataan sebagai upaya

melaksanakan pengendalian dari pembangunan pariwisata dengan tujuan agar

pembangunan pariwisata yang terjadi di Kabupaten Badung dapat mencapai hasil

yang optimal. Berdasarkan Laporan Akhir RTRW Kabupaten Badung Tahun 2005,

pembangunan pariwisata ditetapkan sebagai salah satu prioritas pembangunan dengan


53

tetap menekankan pada pembangunan pariwisata budaya dengan mengoptimalkan

potensi-potensi daerah seperti pertanian dan perkebunan. Dalam Rencana Strategik

Daerah (RENSTRADA) Kabupaten Badung, salah satu kebijakan pariwisata yang

menjadi program prioritas daerah adalah program penataan obyek wisata beserta

sarana dan prasarananya.

Selain kebijakan yang dituangkan dalam bentuk strategi pembangunan,

Pemerintah Kabupaten Badung juga menetapkan kebijakan-kebijakan normatif guna

mendukung pelaksanaan strategi-strategi kebijakan kepariwisataan. Kebijakan-

kebijakan normatif tersebut dalam bentuk perturan perundang-undangan seperti

peraturan daerah, peraturan bupati dan keputusan bupati. Beberapa kebijakan

Pemerintah Kabupaten Badung dalam bidang kepariwisataan yang diatur dalam

peraturan perundang-undangan daerah sebagai berikut :

1. Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung No. 11 Tahun

1996 tentang Ijin Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum.

2. Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung No. 12 Tahun

1996 tentang Ijin Usaha Restoran.

3. Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung No. 13 Tahun

1996 tentang Ijin Usaha Rumah Makan.

4. Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung No. 14 Tahun

1996 tentang Ijin Usaha Hotel Melati.

5. Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung No.16 Tahun1996

tentang Ijin Usaha Bar.

6. Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung No.17 Tahun

1996 tentang Ijin Usaha Jasa Boga.


54

7. Peraturan Bupati Badung No. 22 Tahun 2007 tentang Penataan

Akomodasi Pariwisata Kabupaten Badung.

8. Peraturan Bupati Badung No. 1 Tahun 2008 tentang Kondominium Hotel

( Kondotel ).

Arah kebijakan pembangunan di Kabupaten Badung terbagi menjadi 3 (tiga)

wilayah pembangunan yaitu Badung Utara, Badung Tengah, dan Badung

Selatan. Wilayah Badung Utara yang meliputi: Kecamatan Petang dan

Kecamatan Abiansemal dengan dominasi aktivitas pada sektor perkebunan

diarahkan pada komoditas ekspor dan penunjang pariwisata. Selain itu,

terdapat pula potensi alam sebagai DTW, konservasi air tanah, industri kecil

dan kerajinan rumah tangga. Wilayah Badung Utara diarahkan pada wisata

agro dan wisata peternakan dalam arti luas. Wilayah pembangunan Badung

Tengah meliputi Kecamatan Mengwi dengan dominasi aktivitas pertanian

tanaman pangan, pariwisata, pengembangan fisik kota dan sebagainya.

Pengembangan potensi kepariwisataan Badung Tengah diarahkan pada

pariwisata budaya. Wilayah pembangunan Badung Selatan yang meliputi

Kecamatan Kuta, Kuta Utara dan Kuta Selatan didominasi oleh aktivitas

pariwisata, perdagangan, pusat pendidikan dan lain-lain (Disparda Badung,

2008:5).

Sektor pariwisata merupakan sektor unggulan yang dimiliki Kabupaten

Badung. Hal ini terbukti lebih dari 90 % pendapatan daerah Badung diperoleh

dari sektor Pariwisata. Pengembangan kepariwisataan selalu berpedoman pada

pariwisata budaya, potensi alam, sarana rekreasi lainnya merupakan

penunjang kepariwisataan (Disparda Badung, 2008:5).


55

Berdasarkan Peraturan Bupati Badung Nomor: 7 Tahun 2005 tentang Daya

Tarik Wisata (DTW) di Kabupaten Badung, hingga tahun 2008 Kabupaten

Badung memiliki dua puluh enam buah DTW alam, tujuh buah DTW budaya,

satu buah DTW remaja dan tiga buah DTW buatan. Jumlah keseluruhan

DTW di Kabupaten Badung sebanyak tiga puluh tujuh buah DTW yang

tersebar pada enam kecamatan. (Disparda Badung, 2008:17). Kemudian

ketiga puluh tujuh daya tarik wisata tersebut diklasifikasikan menjadi wisata

alam dan wisata budaya dengan tiga kategori kelompok DTW sesuai dengan

tingkat perkembangannya, yaitu;

1) Daerah tujuan wisata (DTW) yang sudah berkembang: Pantai Kuta, Pantai

Nusa Dua, Blahkiuh, Pantai Tanjung Benoa, Pantai Peti Tenget, Pantai

Suluban, Water Boom, Sangeh, Taman Ayun, Uluwatu, Pura Sada Kapal, dan

Garuda Wisnu Kencana (GWK)

2) Daerah tujuan wisata (DTW) yang belum berkembang: Jembatan Tukad

Bangkung, Taman Reptil, Pura Keraban Langit, dan Pura Puncak Tedung.

3) Daerah tujuan wisata (DTW) yang akan berkembang: Pantai Canggu, Pantai

Labuhan Sait, Tanah Wuk, Desa Petang, Air Terjun Nungnung, Pantai Geger,

Pantai Jimbaran, Wisata Agro Plaga, Pantai Berawa, Pantai Nyang Nyan,

Pantai Padang Padang, Pantai Batu Pageh, Pantai Samuh, Pantai Kedonganan,

Pantai Seseh, Alas Pala Sangeh, Taman Rekreasi Hutan, Desa Baha, Pantai

Batu Belig, Pantai Tanjung Benoa (Pulau Penyu), dan Monumen Tragedi

Kemanusiaan.
56

4.2 Profil Kecamatan Kuta Utara

4.2.1 Letak Geografis Kecamatan Kuta Utara

Kecamatan Kuta Utara merupakan salah satu dari enam kecamatan yang ada di

Kabupaten Badung. Secara geografis Kecamatan Kuta Utara terletak pada 08o38’44.2’’

Lintang Selatan dan 08o38’44.2’’ Bujur Timur. Secara administratif Kecamatan Kuta

Utara memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut :

Sebelah Utara : Kecamatan Mengwi

Sebelah Timur : Kotamadya Denpasar

Sebelah Selatan : Samudra Indonesia

Sebelah Barat : Kecamatan Mengwi

Kecamatan Kuta Utara terletak pada ketinggian 65 meter di atas permukaan

laut. Secara umum keadaan topografi Kecamatan Kuta Utara tergolong dataran landai

yang merupakan daerah persawahan dengan pemandangan asri dan indah serta

pemukiman penduduk dan fasilitas akomodasi (villa, cottage, hotel) di sebelah utara,

selatan dan timur. Di sebelah barat, Kecamatan Kuta Utara dibatasi oleh daerah pesisir

pantai yaitu Pantai Canggu di Desa Canggu, Pantai Berawa di Desa Tibubeneng dan

Pantai Petitenget di Kelurahan Kerobokan. Secara umum, konfigurasi lahan

Kecamatan Kuta Utara merupakan daerah dataran dan persawahan dengan material

tanah berupa tanah sawah.

Secara keseluruhan luas wilayah Kecamatan Kuta Utara pada tahun 2007 adalah

6.451 ha, yang terdiri dari lahan pertanian/basah 3.030 ha dan lahan kering 3.421ha.

Berdasarkan data Monografi Kecamatan Kuta Utara Tahun 2010 luas lahan pertanian

adalah 3.008ha, yang berarti lahan pertanian telah mengalami penyusutan seluas 22 ha

dalam rentan waktu tiga tahun terakhir karena adanya alih fungsi lahan pertanian
57

menjadi fasilitas penunjang pariwisata (vila, hotel, perumahan, pasar modern, dan lain-

lain). Wilayah Kuta Utara berada di ketinggian antara 0 – 352 m dari permukaan laut.

Cuacanya cukup panas, curah hujan rata-rata 250 mm dengan rincian enam bulan basah

dan enam bulan kering. Topografinya datar antara 0 – 5 derajat.

4.2.2 Potensi Wisata

Kecamatan Kuta Utara merupakan daerah dataran yang berupa areal pedesaan

dan persawahan sangat berpotensi sebagai salah satu daya tarik wisata. Pemandangan

indah dari sawah yang membentang luas serta suasana pedesaan yang asri merupakan

salah satu potensi yang mampu menarik minat wisatawan untuk datang berkunjung.

Obyek wisata alam lainnya yang dapat dijumpai di daerah ini adalah pantai dimana di

Kecamatan Kuta Utara terdapat beberapa pantai yang indah yaitu Pantai Petitenget,

Pantai Canggu dan Pantai Berawa dimana wisatawan dapat melakukan aktivitas wisata

seperti rekreasi, berenang, surfing, dan fotografi.

4.2.3 Aksesibilitas

Aksesibilitas merupakan faktor yang sangat penting bagi perkembangan suatu

kawasan dalam berbagai bidang, khususnya dalam bidang pariwisata. Kemudahan

dalam aksesibilitas akan semakin meningkatkan minat wisatawan untuk berkunjung ke

daerah tersebut, dengan adanya aksesibilitas yang baik, suatu kawasan akan dapat

dicapai dengan mudah. Sebagai suatu daerah yang sebagian besar pendapatan

daerahnya berasal dari sektor pariwisata, Kecamatan Kuta Utara memiliki aksesibilitas

yang memadai yang memudahkan wisatawan di dalam mengunjuni berbagai obyek

maupun daya tarik wisata yang terdapat di daerah ini.

Letak geografis Kecamatan Kuta Utara sangat strategis yang mana hanya

berjarak 15 – 20 Km dari Bandara Ngurah Rai, dan 5 Km dari ibukota propinsi. Jalan
58

di Kecamatan Kuta Utara merupakan kelas jalan kecamatan dengan kondisi jalan yang

sebagian besar masuk dalam kategori baik dengan kelas jalan dalam kategori IIIB.

4.2.4 Keadaan Demografi Kecamatan Kuta Utara

Berdasarkan Monografi Kecamatan Kuta Utara (2011), jumlah penduduk

Kecamatan Kuta Utara tercatat 62.481 jiwa yang terdiri dari warga negara Indonesia

(WNI) 62.327 orang dan warga negara asing (WNA) 154 orang. Dilihat dari

penyebaran penduduk antar desa/kelurahan, tercatat bahwa Desa Dalung merupakan

desa/kelurahan dengan jumlah penduduk paling banyak yaitu sebanyak 18.121 jiwa.

Kelurahan Kerobokan Kaja sebanyak 13.233 jiwa, Desa Tibubeneng sebanyak 9.813

jiwa, Kelurahan Kerobokan sebanyak 7.945 jiwa, Kelurahan Kerobokan Kelod

sebanyak 7.863 jiwa dan Desa Canggu.352 jiwa.

Berdasarkan Profil Kecamatan Kuta Utara (2011), jumlah penduduk Kecamatan

Kuta Utara berjumlah 62.481 jiwa, tetapi yang direkapitulasi oleh perangkat kecamatan

dalam menghitung jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian hanya berjumlah

24.844 orang. Mata pencaharian penduduk Kecamatan Kuta Utara sebagian besar

sebagai petani (34 %), sebagai pedagang (21 %), buruh bangunan (20 %), PNS (6,66

%), pengusaha sedang/besar (6 %), pengerajin industri kecil (2,50 %), pensiunan

PNS/TNI (2,45 %), buruh industri (2 %), pengangkutan (1,86 %), peternak (1,76 %)

TNI (0,31 %), buruh pertambangan (0,16 %) dan buruh perkebunan (0,06 %).
59

Tabel 4.1
Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian Pokok
di Kecamatan Kuta Utara
No Mata Pencaharian Jumlah (orang)
1 Petani 8.561
2 Nelayan 140
3 Pengusaha sedang/besar 1.507
4 Pengrajin/industri kecil 627
5 Buruh industri 501
6 Buruh bangunan 5.047
7 Buruh pertambangan 40
8 Buruh perkebunan 15
9 Pedagang 5.214
10 Pengangkutan 464
11 PNS 1.657
12 TNI 79
13 Pensiunan PNS & TNI 609
14 Peternak 438
Total 24.844
Sumber : Profil Kecamatan Kuta Utara (2010)

Sejak kasus bom Bali 1 dan 2 wisatawan yang biasanya tinggal di Kuta beralih

ke wilayah Kuta Utara. Disitulah mereka membangun vila baik untuk sendiri maupun

untuk disewakan karena disitu mereka mendapatkan keamanan dan kenyamanan.

Dengan berkembangnya pariwisata di Kuta Utara maka lahan pertanian produktif

beralih fungsi menjadi fasilitas pendukung pariwisata. Sebelum pariwisata berkembang

seperti sekarang ini, mata pencaharian utama masyarakat Kuta Utara adalah sebagai

petani (80 %), PNS dan TNI (5 %), pedagang, buruh bangunan dan lain-lain 15 %

(Sumber: Profil Kecamatan Kuta Utara Tahun 2000). Seiring dengan pesatnya

pertumbuhan pariwisata dalam sepuluh tahun terakhir ini dan dibarengi dengan
60

terjadinya alih fungsi lahan yang tidak terkendalikan maka lambat laun para petani

kehilangan lahan garapannya dan mengalihkan profesinya ke bidang-bidang yang

lainnya. Sehingga sesuai dengan data lapangan yang diperoleh hingga saat ini yang

masih menekuni mata pencaharian sebagai petani adalah 34 % (8.561 orang) dari

jumlah penduduk yang ada di Kecamatan Kuta Utara (Sesuai dengan Tabel 4.1)
61

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hingga saat ini, banyak faktor yang terlupakan oleh pemerintah dalam

menetapkan suatu kebijakan termasuk di bidang pariwisata yang sangat multisektor

dan multidisiplin, yaitu kebijakan tersebut harus dibuat mengacu pada riset terpadu,

tidak bersifat instant, serta melalui sosialisasi sebagai proses uji publik. Bila faktor

tersebut menjadi kepedulian bersama, perkembangan pariwisata ke depan akan sangat

menggembirakan seperti ramal para ahli berikut ini: “Industri yang akan bertahan di

masa depan adalah industri yang bergerak di bidang pariwisata”.

Berdasarkan Peraturan Bupati Badung No. 7 Tahun 2005 tanggal 7 Pebruari

2005 tentang Pengembangan Kawasan Wisata dan Obyek Wisata, di Kabupaten

Badung terdapat sebnyak 33 obyek wisata di semua kecamatan, dan kebijakan

pengembangan wilayah Badung Selatan, antara lain :

1. Menetapkan kawasan Nusa Dua, Tuban dan Kuta (Kuta Selatan , Kuta Tengan
dan Kuta Kuta Utara ) sebagai kawasan pariwisata dan pengembangan sarana
akomodasi.
2. Mensingkrunkan penataan ruang wilayah Kabupaten dengan pengembangan
penataan ruang kawasan perkotaan Sarbagita.
3. Menetapkan kawasan perkotaan Kuta sebagai Pusat Kegiatan Nasioanal dan
Kawasan Perkotaan Benoa sebagai Pusat Kegiatan Lokal.
4. Mengembangkan sarana dan Prasarana pelayanan umum yang berkwalitas.
5. Meningkatkan kwalitas lingkungan sebagai aset utama kepariwisataan yang
berkelanjutan.
6. Mempertahankan keberadaan kawasan lindung serta mengendalikan
pembangunan pada kawasan rawan bencana.
7. Memantapkan pengelolaan kawasan pesisir dan laut secara terpadu.
(Sumber : Diparda Badung, 2011).

Pembangunan Bali, khususnya di bidang kepariwisataan patut mendapat

perhatian yang kritis dari semua pihak, salah satunya dari kalangan akademisi.

Dengan perhatian yang sungguh-sungguh, pembangunan kepariwisataan diharapkan


62

dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat tanpa

mengorbankan nilai-nilai luhur yang menjiwai kebudayaan Bali dan umat Hindu

sebagai pendukungnya.

Semua pihak menyadari bahwa pembangunan pariwisata di Bali memberikan

dampak positif bagi masyarakat. Namun demikian, dibalik dampak positif itu tidak

akan pernah lepas dari sisi negatifnya, yang bila tidak ditangani dengan sungguh-

sungguh nantinya dapat berdampak negatif baik pada sektor ekonomi, fisik, maupun

sosial masyarakatnya.

5.1 Dampak Pembangunan Vila terhadap Lingkungan Kuta Utara

Lahan di Kecamatan Kuta Utara yang merupakan lahan kering dan persawahan,

sebagian besar digunakan untuk sektor pariwisata, pemukiman dan pertanian.

Berdasarkan Keputusan Bupati Badung No.67 Tahun 2009, tentang Rencana Detail

Tata Ruang Kecamatan Kuta Utara, pemanfaatan ruang daratan terdiri dari kawasan

limitasi, kawasan budi daya pertanian, dan kawasan budidaya non pertanian. (Sumber

Dinas Cipta Karya Kabupaten Badung, 2011).

Kawasan budidaya non pertanian merupakan kawasan yang ditetapkan

fungsinya untuk pembangunan fisik di Kecamatan Kuta Utara dengan jenis peruntukan

untuk perumahan, akomodasi wisata, serta perdagangan dan jasa. Pengembangan

akomodasi diarahkan di Kelurahan Kerobokan Kelod, Desa Tibubeneng, dan Canggu

dengan lokasi di sekitar pantai sampai dengan rencana jalan tembus ke Tanah Lot.

Untuk pengembangan usaha/kegiatan dengan luas lahan di atas 5000 m2 pada

peruntukan kawasan akomodasi wisata diwajibkan untuk menyediakan fasilitas utama


63

berupa akomodasi (penginapan) dengan perbandingan maksimal 70% untuk akomodasi

dan 30% untuk fasilitas penunjang akomodasi.

Tabel 4.3
Data Luas Tanah Kecamatan Kuta Utara

Luas Lahan (Ha)

No Wilayah Kerja Sawah Perumahan dan Tegalan

1 Kerobokan 143 464,00

2 Kerobokan Kelod 266 180,00

3 Kerobokan Kaja 120 606,00

4 Dalung 339 415,95

5 Canggu 372 709,00

6 Tibubeneng 362 263,25

Jumlah 3.030 3.421

Sumber: Balai Penyuluhan Pertanian Kuta Utara Tahun 2009

Perkembangan vila di Kecamatan Kuta Utara telah membawa dampak

terhadap lingkungan Kuta Utara seperti berikut.

1. Alih fungsi lahan pertanian

Dengan pesatnya perkembangan pariwisata di Kecamatan Kuta Utara

mengakibatkan alih fungsi lahan pertanian menjadi fasilitas penunjang pariwisata

seperti vila, hotel, perumahan, pasar modern, dan lain-lain. Secara keseluruhan luas

wilayah Kecamatan Kuta Utara pada tahun 2007 adalah 6.451 ha, yang terdiri dari

lahan pertanian/basah 3.030 ha dan lahan kering 3.421ha. Berdasarkan data Monografi

Kecamatan Kuta Utara Tahun 2010 luas lahan pertanian adalah 3.008 ha, yang berarti
64

lahan pertanian telah mengalami penyusutan seluas 22 ha dalam rentang waktu tiga

tahun terakhir karena adanya alih fungsi lahan pertanian menjadi fasilitas penunjang

pariwisata. Dari 22 ha lahan tersebut sebagian besar sudah dibangun vila dan sebagian

ada yang belum difungsikan sehingga terkesan sebagai lahan tidur. Gambar di bawah

ini adalah salah satu vila yang ada di wilayah Kuta Utara.

Gambar 5.1 Canggu Club dan salah satu vila di Desa Kerobokan

2. Pencemaran
Pembangunan vila dan perumahan di Kuta Utara telah menyebabkan tingkat

pencemaran yang sangat tinggi. Sekitar tahun 2000-an air sungai masih bersih dan
65

bisa digunakan sebagai tempat mandi oleh warga setempat. Namun akibat

pembuangan limbah dari perumahan dan vila ke sungai mengkibatkan sungai menjadi

kotor dan tidak layak dipakai mandi. Seorang warga Desa Canggu, Nyoman Winata

mengatakan sebagai berikut.

“Dahulu saya biasa berendam di sungai karena airnya masih bersih tetapi
sekarang saya tidak berani lagi berendam di sungai karena airnya sudah sangat
kotor karena banyaknya sampah dari plastic dan kotoran hewan yang berasal
dari pemukiman penduduk” (Hasil wawancara tanggal 5 November 2011).

Selain mencemari sungai sampah-sampah perumahan juga akhirnya

mencemari pantai di Kuta Utara sehingga dapat mengurangi keindahan panorama

pantai di Kuta Utara seperti terlihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 5.2 Pencemaran di pantai Berawa

3. Abrasi pantai

Akibat pengaruh alam (arus dan gelombang) serta banjir dari hulu sungai telah

menyebabkan erosi pantai yang cukup memprihatinkan. Sehingga pasir pasir pantai

hanyut dibawa ke tengah laut, dan lama kelamaan permukaan pantai menjadi makin

curam serta mengikis lahan pertanian di sekitarnya. Hal ini tentu sangat mengancam

keberadaan lahan-lahan pertanian di pinggir pantai Kuta Utara.


66

4. Banjir

Kerusakan daerah serapan air yang tidak tertangani dengan baik menyebabkan

sering terjadi kekeringan dan kekurangan air pada musim kemarau, dan sebaliknya

terjadi banjir pada musim hujan. Semakin sedikitnya lahan pertanian di Kuta Utara

menyebabkan semakin berkurangnya lahan serapan di wilayah tersebut. Hal ini

menyebabkan wilayah Kuta Utara setiap tahun tidak pernah absen dari banjir. Hal ini

disebabkan oleh air hujan yang tidak ada yang menyerap karena permukaan tanah

telah dipenuhi dengan bangunan-bangunan yang bersemen. Wilayah-wilayah

langganan banjir di Kuta Utara meliputi Desa Kerobokan, perumahan Canggu Permai

dan Dalung Permai. Dampaknya terhadap masyarakat dapat menghambat aktivitas

warga.

5. Sampah dan Limbah

Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan peningkatan permintaan atas

sumber daya alam dan barang-barang konsumsi lainnya untuk memenuhi keperluan

hidup. Dalam pemenuhan atas barang-barang konsumsi tersebut, sikap dan tanggung

jawab masysrakat masih belum mengarah pada pola-pola yang berwawasan

lingkungan. Tingginya penggunaan kemasan kantong plastik dan kaleng yang bersifat

undegradable (tidak terurai oleh alam) dibuang ke lingkungan begitu saja tanpa

memperhatikan dampak yang akan terjadi. Di lain pihak, sistem penanganan dan

pengelolaan sampah dan limbah di perkotaan belum mengalami kemajuan yang

berarti, sehingga volume sampah terus mengalami peningkata.

6. Pelanggaran terhadap Sempadan Pantai

Sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor : 3 Tahun 2008

Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah dan Bisama Kesucian Pura oleh Parisada
67

Hindu Dharma Indonesia ( PHDI ) Pusat Tahun 1994, ditetapkan mengenai ketentuan

pembangunan di sekitar tempat suci sesuai dengan jenis tempat suci tersebut,

termasuk juga wilayah sepadan pantai. Untuk Pura Sad Khayangan radiusnya adalah

5000 m dari batas luar penyengker pura, Dang Khayangan 2000 m dari batas luar

penyengker pura dan Khayangan Tiga adalah apeneleng - apenimpug dan disesuaikan

dengan hasil perareman dan awig-awig desa pekraman setempat. Dan untuk luas

jarak sepadan pantai yaitu 200 m dari batas luar bangunan.

Maraknya pelanggaran tata ruang sempadan pantai di Kuta Utara terbukti

sebanyak tujuh unit bangunan akomodasi pariwisata, lima unit berupa restoran dan 2

unit bangunan hotel seperti restoran Batu Beach Club, La Barca, Cozy Beach,

Warung Pantai dan Cantina (Sumber: Nusa Bali.com).

Berdasarkan pengamatan di lapangan ditemukan beberapa bangunan yang

ditengarai melakukan pelanggaran sempadan pantai di Kecamatan Kuta Utara

diantanya adalah seperti di bawah ini. Salah satu hotel di Pantai Berawa jaraknya

kurang lebih 30 meter dari garis pantai seperti gambar di bawah ini.

Gambar: 5. 3 Salah satu hotel di Pantai Berawa


68

Jarak bangunan hotel tersebut kurang lebih 30 meter dari garis pantai yang

berarti telah melanggar sempadan pantai. Namun masyarakat Desa Adat Berawa tidak

merasa keberadaan serta sangat mendukung keberadaan hotel tersebut karena bisa

menampung tenaga kerja lokal yang cukup banyak sehingga dapat mengurangi

jumlah pengangguran yang ada di desa tersebut. Menurut keterangan Bendesa Adat

Desa Berawa, I Wayan Warsa, hotel tersebut merupakan hotel pertama yang berdiri

di wilayah Desa Tibubeneng yang menjadi cikal bakal berkembangnya pariwisata di

Kawasan Kuta Utara. Selain itu keberadaanya tidak mengganggu kegiatan prosesi

ritual keagamaan.

Gambar: 5. 4 Salah satu hotel di Pantai Perancak

Salah satu hotel mangkrak di Pantai Perancak pada Gambar 5.9 di atas

jaraknya kurang lebih 50 meter dari garis pantai. Berdasarkan keterangan dari aparat

desa setempat bangunan tersebut belum memiliki ijin prinsip pembangunan vila atau

hotel sehingga untuk sementara waktu pembangunannya dihentikan sampai

menunggu proses pengurusan ijin lebih lanjut.


69

Gambar: 5. 5 Salah satu bangunan di Pantai Petitenget

Salah satu bangunan yang berlokasi di kawasan Pantai Petitenget yang

melanggar sempadan pantai dan telah dirobohkan oleh Satpol PP Kabupaten Badung.

Sebelumnya di tempat tersebut (Gambar 5.10) berdiri sebuah restoran yang belum

mengantongi ijin prinsip dan jaraknya dari bibir pantai hanya 10 meter.

Kasus yang pernah terjadi pada tahun 2009 yaitu pengurugan Loloan Yeh Poh

di Banjar Berawa, Canggu, Kuta Utara yang dilakukan oleh PT. Bali Unicorn

Coorperation (BUC). Karena kegiatan tersebut dinilai masyarakat Desa Adat Tegal

Gundul akan dapat mengganggu kegiatan keagamaan maka masyarakat melakukan

protes kepada PT. Bali Unicorn Coorperation (BUC) dan pemerintah sehingga hal ini

menimbulkan gejolak.

Terkait upaya penyelesaian Loloan Yeh Poh Gubernur mendukung langkah

Bupati Badung. Mantan Gubernur Bali, Dewa Made Beratha, sangat menyambut baik

dan memberikan apresiasi positif terhadap berbagai upaya dan langkah yang telah

dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Badung dalam menyikapi persoalan Loloan

Yeh Poh. Dukungan yang diberikan oleh Gubernur Bali saat itu adalah didasari atas

pertimbangan karena berbagai langkah yang telah diambil baik oleh Pemkab Badung
70

dan BPN sudah sangat tepat dan sistematis sesuai dengan aspirasi yang berkembang

serta aturan yang berlaku dengan melibatkan komponen masyarakat di sekitar Loloan

Yeh Poh. Disamping itu Gubernur juga sepakat dilakukannya revisi terhadap HGB

yang dimiliki oleh PT. Bali Unicorn Coorperation (BUC). Bupati dalam pertemuan

yang dilakukan Pemkab Badung dengan Prajuru Adat dan Dinas dari Br.

Tegalgundul, Desa Kerobokan dan Canggu yang dilaksanakan tanggal 23 Mei 2009

menghasilkan beberapa kesepakatan diantaranya hasil pengukuran ulang yang

dilakukan oleh BPN Badung terhadap sertifikat HGB milik PT. BUC saat air pasang

sudah sesuai dengan keadaan di lapangan dan tanpa ada unsur rekayasa, semua pihak

sepakat menyelesaikan persoalan loloan sampai tuntas, kurang lebih 40 % dari luas

HGB yang saat ini digenangi air diusulkan dikeluarkan dari HGB, sepakat

mempertahankan kawasan limitasi dan tempat-tempat upacara serta akan

mengadakan pertemuan lanjutan dengan pihak investor. (Sumber: Hasil wawancara

dengan Kelian Dinas Banjar Tegal Gundul, Wayan Suryanto).

7. Pelanggaran terhadap Bangunan Suci

Bangunan Villa yang melanggar ketentuan pembangunan yaitu jaraknya

hanya 5 m dari Pura Dalem Perancak Desa Tibubeneng, tapi karena tanah yang

digunakan adalah merupakan tanah atau labe Pure setempat yang dikontrakkan ke

investor sehingga masyarakat tidak mempermasalahkan keberadaanya, termasuk juga

pemerintah Kabupaten Badung akhirnya memberikan rekomendasi untuk

memperbolehkan berdirinya bangunan ini.


71

Gambar: 5.6 Salah satu bangunan villa jaraknya hanya 5 m dari


Pure Dalem Perancak.

5.2 Dampak pembangunan villa terhadap sosial budaya masyarakat Kuta Utara

Perkembangan pariwisata yang sangat pesat di wilayah Kecamatan Kuta

Utara tentu menimbulkan dampak postif dan negatif dalam tatanan kehidupan sosial

masyarakat setempat. Dampak sosial dari adanya pariwisata di Kuta Utara menjadi

sangat kompleks oleh karena heterogennya masyarakat Kuta Utara sekarang ini.

Daerah Kuta Utara yang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Badung tidak

mungkin menghindar dari adanya urbanisasi atau perpindahan penduduk dari daerah

lainnya di Indonesia. Penduduk Kuta Utara sekarang ini berasal dari hampir seluruh

propinsi di Indoneia. Mereka berbondong-bondong ke Kuta Utara untuk bekerja guna

menyambung hidup mereka. Sebagian besar dari mereka menggantungkan hidupnya

dari sektor pariwisata.

Dengan adanya perpindahan penduduk seperti ini, tentunya akan

menimbulkan banyak masalah sosial. Adapaun masalah sosial tersebut dapat penulis

gambarkan sebagai berikut:


72

1. Tidak semua dari masyarakat pendatang yang datang ke Kuta Utara siap dengan

sumber daya manusia (SDM) yang diperlukan dalam pariwisata. Maka akibatnya,

banyak dari mereka asal bekerja bahkan ada yang menjadi pengangguran.

Sehingga untuk menyambung hidup, mereka terpaksa melakukan segala cara

sehingga hal ini menimbulkan masalah sosial yang sangat rumit.

2. Tingkat kriminalitas dan kerawanan social meningkat

Pencopetan, perampokan dan pembunuhan, peredaran obat-obatan terlarang,

prostitusi, perjudian, penipuan yang semuanya menimbulkan masalah sosial

laten. Berdasarkan data yang diperoleh dari Polsek Kuta Utara pada tahun 2011

terjadi 33 kasus tindak kejahatan/pidana di Kecamatan Kuta Utara. Kasus-kasus

tersebut meliputi ; 4 kasus perampokan dan pembunuhan, 5 kasus pencurian, 6

kasus pencopetan, 10 penggelapan mobil sewaan (penipuan), 4 kasus narkoba dan

4 kasus perjudian (togel) (Sumber : Kanit Reserse Polsek Kuta Utara).

Salah satu contoh tindakan kriminal yang terjadi yaitu kasus perampokan yang

yang disertai dengan pembunuhan terhadap wisatawan Belanda yang terjadi di

salah satu villa di Banjar Berawa-Tibubeneng.

3. Sering terjadinya benturan-benturan antara individu pelaku pariwisata.

4. Adanya pemogokan kerja, demonstrasi, oleh karena adanya rasa ketidakpuasan

serta ketidakkeadilan yang mereka alami pada tempatnya bekerja sehingga secara

langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada tatanan kehidupan sosial

masyarakat Kuta Utara.

5. Sistem Gotong Royong

Tradisi gotong royong bagi masyarakat Kuta Utara sudah dilakukan secara

turun temurun dari jaman dahulu. Kegiatan ini biasanya dilakukan pada saat kegiatan
73

yang memerlukan banyak tenaga atau orang seperti ketika mereka bekerja di sawah

dan di kebun, saat menanam padi, membangun pondasi rumah, pembangunan bale

banjar, perbaikan dan pembangunan tempat suci, membuat sesajen pada saat upacara

di pura, rumah pribadi dan di banjar.

Setelah pariwisata berkembang sangat jarang dijumpai kegiatan gotong

royong di Kuta Utara. Saat membangun rumah, mereka lebih cenderung

memborongkan atau mengupahkan pekerjaan itu kepada pemborong atau orang lain.

Pada saat pembuatan sesajen untuk kegiatan upacara mereka lebih suka membeli

sesajen kepada pedagang banten (sesajen) yang banyak dijumpai di pasar. Disamping

karena kekurangan waktu untuk membuat sesajen, mereka merasa malu minta

bantuan kepada orang lain yang dikarenakan mereka tidak pernah dan tidak mau

membantu orang lain untuk membuat sesajen dengan alasan sibuk bekerja di hotel, di

restoran dan sebagainya. Pendek kata mereka tidak mau merepotkan dan direpotkan

oleh orang lain, cukup konsentrasi mencari uang sebanyak-banyaknya untuk

memenuhi keperluan hidup mereka baik jasmani maupun rohani, sehingga cenderung

hidup mereka bersifat materialistis dan lebih individu. Seperti pernyataan warga

Tibubeneng, Nyonya Warsiki yang bekerja sebagai karyawan restoran sebagai

berikut.

“Yening wenten upacara ring jero tiang numbas banten ring pasar seantukan
tiang makarya ring restoran nenten medue galah sane cukup anggen makarya
banten.” (Wawancara tanggal 7 November 2011). Artinya: Kalau ada upacara
di rumah saya membeli sesajen di pasar karena saya bekerja di restoran dan
waktu saya tidak cukup untuk membuat sesajen. Jadi dengan membeli sesajen
saya bisa konsentrasi untuk mencari uang”.

6. Sistem Subak dan Irigasi

Subak merupakan organisasi pertanian dalam hal pengairan yang anggotanya

merupakan pemilik atau penggarap sawah yang menerima air irigasi dari satu sumber
74

atau bendungan tertentu. Karena pertanian di Bali mengenal tradisi basah dan tradisi

kering, maka subak di Kuta Utara dibedakan atas dua macam, yaitu subak tanah

basah (untuk pengairan sawah) dan subak abian (untuk tanah kering seperti kebun

dan ladang). Subak memiliki hak otonom untuk mengatur diri secara luas, dengan

tujuan menjamin pembagian air yang merata, untuk mengangkat kesejahteraan para

anggotanya.

Namun dengan pertumbuhan pembangunan villa di Kuta Utara ternyata

menimbulkan dampak negatif terhadap keberadaan subak. Lahan dan anggota subak

di Kuta Utara semakin lama semakin sedikit, bahkan ada yang telah berubah menjadi

perumahan dan sarana pariwisata. Seorang Kelian Subak Desa Dalung, Gede

Kawijaya, mengatakan sebagai berikut.

“Sejak beberapa tahun terakhir telah terjadi penurunan jumlah subak dan
anggotanya. Hal ini dikarenakan banyak anggota subak yang telah menjual
lahan pertaniannya kepada investor untuk dijadikan perumahan dan sarana
pariwisata. Bahkan ada salah satu subak di Desa Dalung yang sekarang
berubah menjadi Kota Satelit Komplek perumahan Dalung Permai”
(Wawancara tanggal 7 Nopember 2011).

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan perumahan Dalung Permai dan

Canggu Permai (Gambar 5.1) merupakan kompleks perumahan yang paling padat

dibandingkan dengan perumahan lainnya di Kuta Utara.


75

Gambar 5.1 Perumahan Canggu Permai di Kuta Utara


Dengan makin sedikit organisasi subak maka tidak lagi ada kepedulian dari

petani penggarap untuk memperhatikan kelancaran saluran irigasi, dengan beralih

fungsinya lahan pertanian menjadi sarana penunjang pariwisata dan perumahan, maka

daerah serapan air secara otomatis makin berkurang, sehingga masalah banjir menjadi

langganan wilayah Kuta Utara, khususnya di kompleks perumahan.

7. Mata Pencaharian Penduduk

Selain mata pencaharian sebagai petani, mata pencaharaian lainnya yang

berangsur-angsur hilang bagi masyarakat Kuta Utara adalah mata pencaharian

beternak seperti beternak sapi, babi, ayam dan itik. Dahulu sapi dipelihara sebagai

pembantu petani untuk membajak sawah dan sebagai tabungan yang sewaktu-waktu

bisa dijual. Babi adalah hewan piaraan bagi ibu-ibu rumah tangga sebagai konsumsi

sisa-sisa makanan rumah tangga dan sebagai sarana upacara. Babi, ayam, dan itik

adalah binatang yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat Bali karena

sangat dibutuhkan untuk keperluan upacara adat dan agama.

Setelah pembangunan vila, masyarakat petani dan peternak sapi di Kuta Utara

kehilangan lahan untuk mengembalakan ternak, sehingga mereka mengembalakan


76

ternaknya di lahan kosong di sela-sela vila dan perumahan (Gambar 5.7). Kotoran-

kotoran ternak yang berserakan di sela-sela vila dan perumahan penduduk tentu

sangat mengganggu kebersihan dan keindahan lingkungan di Kuta Utara. Masyarakat

Kuta Utara banyak yang beralih profesi dari petani dan peternak menjadi calo jual

beli tanah. Kalau ini terus terjadi dikawatirkan di Kuta Utara akan tidak ada generasi

penerus yang mau menekuni bidang pertanian sehingga keindahan sawah Kuta Utara

akan tinggal cerita.

Di beberapa daerah di kabupaten Badung hal ini telah terjadi dimana pada saat

musim panen padi sangat sulit untuk mencari tenaga kerja dari Bali, sehingga banyak

tenaga-tenaga kerja didatangkan dari Pulau Jawa. Dengan kedatangan tenaga-tenaga

musiman tersebut akan lebih memperparah persoalan kependudukan dan kamtibnas di

Kuta Utara.

Kecamatan Kuta Utara terkenal sebagai desa pertanian dan desa nelayan yang

memiliki banyak sekaha (kelompok kerja) seperti sekaha jukung (kelompok nelayan),

sekaha manyi (kelompok tukang panen padi), sekaha banten (kelompok tukang

sesajen), sekaha tumbeg (kelompok tukang cangkul di sawah dan di kebun), sekaha

mula (kelompok tukang tanam padi) dan sebagainya. Namun, setelah pariwisata

berkembang pesat di Kuta Utara, berangsur-angsur sekaa-sekaa itu makin sedikit dan

mendorong para anggota sekaa untuk beralih profesi dari petani dan nelayan ke

profesi bidang pariwisata. Bagi mereka yang tidak memiliki pengetahuan dan

keterampilan dalam pariwisata hal ini tentu dapat menimbulkan konflik sehingga

banyak dari mereka menjadi pengangguran dan menjual lahan pertaniannya.


77

8.Lahan Tidur

Banyaknya lahan yang belum dibangun vila oleh para investor menyebabkan

banyak terdapat lahan tidur di Kuta Utara. Lahan pertanian yang terbengkalai

membuat lingkungan menjadi kotor dan pemandangannya yang kurang bagus karena

banyak dimanfaatkan sebagai tempat menggembalakan ternak bagi para petani

setempat seperti gambar 5.7 Lahan tidur tersebut tersebar di beberapa wilayah Kuta

Utara seperti Desa Tibubeneng dan Canggu.

Gambar 5.7 Lahan tidur di Kuta Utara.

9. Peran Perempuan

Pada masa masyarakat agraris, kaum perempuan Kuta Utara bekerja di sektor

domestik yang berperan sebagai ibu rumah tangga dan menjaga anak, sedangkan

sektor publik didominasi oleh kaum laki-laki. Namun di era pariwisata sekarang ini

kaum perempuan Kuta Utara banyak yang bekerja di sektor publik, seperti bekerja di

hotel, restoran, toko cendera mata, dan sebagainya. Hal ini dikarenakan oleh sektor

pariwisata telah mengakibatkan kebutuhan rumah tangga yang semakin tinggi


78

disamping menuntut tenaga-tenaga kerja terampil baik laki-laki maupun perempuan.

Sehingga berdampak terhadap tuntutan pendidikan yang lebih tinggi baik laki-laki

maupun perempuan yang dapat mengantarkan kedudukan kaum perempuan dengan

laki-laki semakin setara. Bahkan di tempat kerja, ada kaum perempuan yang memiliki

kedudukan lebih tinggi daripada kaum laki-laki, seperti pernyataan dari Ibu Mira,

seorang wanita karir yang bergerak di bidang usaha rumah makan.

“Dulu sebelum pariwisata berkembang pesat di wilayah ini ibu saya memang
melakukan kewajiban sebagai seorang ibu rumah tangga biasa yang hanya
menguraus suami dan anak. Tetapi sekarang karena pariwisata berkembang
begitu pesat saya sebagai seorang wanita tidak mau berpangku tangan
menonton pariwisata tetapi ikut berperan aktif bekerja sebagai pengusaha
rumah makan sehingga saya menngambil peran ganda baik sebagai ibu rumah
tangga maupun sebagai wanita karir ikut membantu ekonomi keluarga”
(Wawancara tanggal 4 Oktober 2011).

10. Kesenian

Kecamatan Kuta Utara memiliki beraneka ragam kesenian, meliputi seni rupa,

seni bangunan/arsitektur, dan seni kerajinan. Yang termasuk seni rupa gerak adalah

seni lukis, seni pahat, seni patung seni tari, seni tabuh. Sedangkan yang termasuk ke

dalam seni kerajinan adalah anyam-anyaman, tenun-tenunan, keramik, emas, dan

perak.

Seni budaya merupakan bagian terpenting dalam kehidupan sehari-hari

masyarakat, maupun kehidupan keagamnaan agama Hindu. Sebagian besar upacara

keagamaan yang ada tidak terlepas dari unsur-unsur seni seperti seni tari, seni rupa,

dan seni lainnya. Fungsi seni ada tiga bagian, yaitu:

1. Berfungsi sebagai seni wali (seni sakral), yang merupakan bagian dari upacara

keagamaan. Seni tari wali adalah seni tari yang dilakukan di pura-pura dan di

tempat- tempat yang ada hubungannya dengan upacara agama Hindu.


79

Yang dapat digolongkan seni tari wali adalah tari rejang (rejang renteng,

rejang bengkol, rejang oyod padi, rejang alus, tari Sanghiang, tari Pendet, tari

Baris upacara.

2. Berfungsi sebagai seni Bebali, seni penunjang dari upacara keagamaan. Tari

Bebali digolongkan sebagai tari yang sering digunakan sebagai penunjang

upacara di pura, atau di tempat yang ada hubungannya dengan upacara agama

Hindu. Yang termasuk tari Bebali adalah tari Barong, Calonarang,Gambuh,

Parwa, Wayang Wong, Cupak, Arja, Basur dan Topeng Sidakarya.

3. Berfungsi sebagai seni balih-balihan, seni provan atau sekuler yang tidak ada

sangkut pautnya dengan upacara keagamaan. Yang termasuk tari Balih-

balihan adalah tari Kecak, Janger, Joged Bumbung dan tari Kebyar.

Gambar 5.8 Stand kesenian Joged Bumbung di Kuta Utara.

Karena kepariwisataan Kecamatan Kuta Utara sudah berkembang maka

muncul beberapa sekaa kesenian di daerah tersebut. Keberadaan sekaa-sekaa

kesenian ini selain sebaghai wujud pelestarian budaya lokal juga diperuntukkan
80

sebagai paket konsumsi wisatawan yang tinggal di hotel dan vila seperti gambar di

bawah ini.

Gambar 5.9 Pertunjukan Tari Legong di sebuah restoran.

11. Bahasa Bali

Masyarakat Bali mempunyai bahasa sendiri, yaitu bahasa Bali, yang

merupakan kelompok bahasa Bali-Sasak, termasuk keluarga bahasa Indonesia Barat,

mempunyai aksara sendiri (aksara Bali). Peninggalan prasasti dari jaman BaliHindu

menunjukkan adanya bahasa Bali Kuno, yang agak berbeda dengan bahasa Bali

sekarang.

Bahasa Bali mengandung kosa kata Sansekerta, pada masa pengaruh

Majapahit masih sangat besar di pulau Bali.Bahasa Bali dapat dibedakan menjadi

dialek Bali Aga dan dialek Bali Dataran. Dialek Bali Aga umumnya dipakai oleh
81

masyarakat yang tinggal di pegunungan dan desa-desa, sedangkan dialek Bali

Dataran digunakan di daerah dataran atau pesisir.

Dahulu, pementasan wayang kulit yang di pimpin seorang dalang

menggunakan bahasa Sansekerta, bahasa Kawi (Jawa Kuno) dan kemudian

diterjemahkan ke dalam bahasa Bali sehingga penonton bisa mengerti cerita wayang

tersebut. Bahasa Sansekerta dan Kawi adalah bahasa yang hanya dipergunakan untuk

kesenian khususnya seni suara dan tidak dipakai dalam komunikasi sehari-hari

sehingga dalam pementasan wayang ada peran yang menerjemahkan bahasa

Sansekerta dan Kawi tersebut ke dalam bahasa Bali dan dapat dimengerti oleh

penonton. Biasanya setiap upacara tiga bulanan anak/pemberian nama, upacara enam

bulanan anak (otonan) , upacara ganti nama karena nama yang lama membawa

penderitaan atau sakit-sakitan, upacara membayar kaul/janji kepada leluhur terhadap

permintaan yang sudah terpenuhi masyarakat Bali sering menggunakan wayang

sebagai sarananya. Melalui wayang masyarakat dapat belajar nilai-nilai kesusilaan

dan kebajikan yang banyak, karena dalam pementasannya selalu ada kebajikan dan

keburukan sperti di dunia nyata. Pada awalnya kebatilan menang, namun pada

akhirnya akan selalu dikalahkan oleh yang benar. Dari sini juga bias dipetik pelajaran

adanya tokoh-tokoh seperti yang ada di dunia nyata, ada tokoh yang memiliki sifat

iri, jahat, dan ada tokoh darma, dan baik. Dari segi hiburan, wayang juga

menyuguhkan banyak lawak yang bias memancing tawa penonton. Ada dua cerita

wayang yang sangat terkenal yaitu cerita Ramayana dan Mahaberata. Cerita

Ramayana menceritakan tentang seorang istri yang setia kepada suaminya bernama

Dewi Sita. Walaupun sudah diculik oleh seorang raksasa yang sakti, dan kaya namun

dia tetap cinta dan setia menunggu suaminya dan tetap mempertahankan kesuciannya
82

sebagai seorang istri yang baik menunggu suaminya, Rama. Cerita Mahabarata

menceritakan sebuah perang saudara antara Pandawa deangan Korawa. Keluarga

Korawa yang memiliki sifat sombong, angkuh, penipu akan kalah melawan darma

dan kebaikan karena darma akan selalu dibantu dan dilindung oleh Yang Maha

Kuasa.

Semenjak pariwisata berkembang semakin jarang saja kita bias melihat

pertunjukan wayang. Dan juga pementasan wayang semakin kurang diminati

sehingga sumber-sumber kesusilaan dan media komunukasi dalam bahasa Bali yang

bias didapatkan lewat wayang menjadi hilang. Sekarang sekali-sekali setiap ada

pameran mungkin ada pertunjukan wayang hiburan seperti wayang Ceng Blong.

Jarang sekali ada pertunjukan wayang dalam hubungannya dengan upacara seperti

dahulu, dan jika ada penontonnya pun sangat sedikit apalagi anak-anak yang banyak

tidak mengerti bahasa Bali.

12. Benda-benda sakral

Bali yang sebagin besar penduduknya menganut agama Hindu memiliki

banyak sekali benda-benda atau simbul-simbul yang sakral yang dipakai di pura

maupun yang dipakai pada saat upacara keagamaan, seperti pratima (simbul Tuhan)

yang dibuat dari uang kepeng Cina, dan nmukanya ada yang terbuat dari emas.

Patung-patung sebagai manifestasi Tuhan yang berumur tua bahkan ada yang

berumur ratusan tahun baik yang terbuat dari kayu maupun dari batu banyak dijumpai

di setiap pura atau tempat suci yang ada di Bali. Pada saat upacara agama tempat suci

dihiasi dengan alat-alat seperti penjor, lontek (bendera), ider-ider, pengangge (yang

terbuat dari kain perada atau kain cat emas.


83

Semenjak perkembangan pariwisata di Kuta Utara banyak vila dan sarana

pariwisata yang menggunakan benda-benda kuno seperti patung-patung tua sebagai

benda-benda dekorasi. Hampir di setiap restoran terpancang penjor, lontek, payung

dan dua buah patung di pintu masuknya yang menyerupai saat upacara di sebuah

pura. Hal ini tentu akan dapat mengurangi nilai kesakralan benda-benda itu serta

merta mengaburkan benda yang asli dengan yang tiruan. Jika hanya sebatas dekorasi

kenapa harus menggunakan benda atau simbul agama yang disakralkan seperti

Gambar 5.10 berikut.

Gambar 5.10 Patung-patung Budha di sebuah vila di Pantai Berawa

13. Harga tanah

Dengan pertumbuhan vila dan berkembangnya kawasan Kuta Utara sebagai

sarana pembangunan fasilitas perumahan dan pariwisata mengakibatkan harga tanah

melonjak di Kuta Utara semakin mahal dari tahun ke tahun. Dan minat investor yang

berminat berinvestasi untuk menanamkan modalnya di wilayah Kuta Utara sangat

tinggi, secara otomatis mengakibatkan harga tanah tidak bisa dibendung.

Perkembangan harga tanah di wilayah Kuta Utara digolongkan ke dalam 3 jenis

wilayah (pinggir pantai, tegalan dan sawah), seperti tabel berikut ini :
84

Tabel 4.4 Harga tanah di Kecamatan Kuta Utara

Harga Tanah / are (dlm Jutaan Rp.)

Wilayah Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011 Tahun 2012

Dekat 400 juta 525 juta 650 juta 725 juta 900 juta
pantai
Tegalan 225 juta 285 juta 375 juta 450 juta 600 juta

Sawah 200 juta 230 juta 275 juta 325 juta 450 juta

Sumber : Bali Property, 2012

Keadaan ini dapat menjadi perangsang bagi sejumlah petani untuk menjual

sebagian atau seluruh sawahnya kepada investor. Karena dengan menjual tanah,

petani bisa mendapatkan hasil yang sangat tinggi dibandingkan dengan hasil bekerja

di sawah yang jauh lebih sedikit. Pada intinya perkembangan vila di Kuta Utara ibarat

pisau bermata dua yaitu dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat namun dapat

menghabiskan lahan pertanian masyarakat.

5.3 Dampak Pembangunan Vila terhadap Ekonomi

Secara umum pertumbuhan dan pengembangan pariwisata di Kuta Utara telah

memberikan pengaruh yang positif terhadap masyarakat. Ini terbukti dari adanya

pertumbuhan ekonomi masyarakat Kuta Utara yang cukup tinggi bila dibandingkan

dengan daerah-daerah lainnya di Bali. Pesatnya pertumbuhan ekonomi masyarakat

Kuta Utara diakibatkan oleh wisatawan yang sekarang berkunjung ke Bali lebih

senang dan merasa nyaman menginap di villa. Kesenangan wisatawan menginap atau

tinggal di villa adalah trend baru yang terjadi dalam pariwisata Bali.

Bagi masyarakat terutama yang secara langsung menggantungkan hidupnya

dari sektor pariwisata (pegawai hotel, restauran, travel, pramuwisata, dan lain-lain),
85

maupun mereka yang tidak secara langsung bersentuhan dengan wisatawan seperti

para petani penyedia kebutuhan hotel, pelaku perbankan, buruh bangunan, dan

sebagainya, telah merasakan dampak yang positif dari pariwisata tersebut. Dampak

positif tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut.

1. Membuka lowongan kerja

Pembangunan vila di Kuta Utara dapat menampung sebagian besar para pencari

kerja di Kuta Utara. Dari 62.481 jiwa penduduk Kuta Utara sebagai pedagang (21

%), pengusaha sedang/besar (6 %), buruh industri (2 %), pengangkutan (1,86 %),

pengerajin industri kecil (2,50 %). Mereka pada umumnya bekerja di bidang

pariwisata dan non-pariwisata seperti usaha vila, restoran, laundry, taman

rekreasi, transportasi, menyewakan papan selancar, menjual makanan dan

minuman, sebagai pedagang acung, tukang kebun dan security (keamanan).

Dengan demikian otomatis dapat mengurangi pengangguran di Kuta Utara.

Gambar 5.11 Usaha penyewaan papan selancar di pantai Berawa.


86

2. Meningkatkan pendapatan masyarakat

Dengan adanya fasilitas penunjang pariwisata (vila) di Kuta Utara secara tidak

langsung masyarakat yang berada di sekitar kawasan tersebut juga dapat menikmati

kue pariwisata dengan membuat usaha seperti homestay (Gambar 5.9) yang bisa

disewakan kepada wisatawan dengan tarif sekitar Rp 250.000 per malam. Berikut

adalah petikan wawancara dengan Ni Wayan Warsi, salah satu pemilik homestay di

Desa Tibubeneng.

“Tiang merasakan pariwisata puniki bisa membantu ekonomi tiang ring


keluarga, seantukan tiang madue homesay puniki taler dados penopang
kehidupan ekonomi tiange mangkin. Tiang mangkin prasida nyekolahang
panak nganti kuliah saking hasil homestay niki” (Hasil wawancara tanggal 30
September 2011).

Gambar 5.12 Homestay milik Ni Wayan Warsi dari Desa Tibubeneng.

Ni Wayan Warsi sangat merasakan dampak dari perkembangan pariwisata

dan pembangunan vila di wilayah Kuta Utara, dari usaha home stay yang dikelolanya

sekarang mampu meberikan pendapatan rata-rata Rp. 5.000.000,- per bulan.

Sebelumnya penghasilannya sebagai buruh tani hanya Rp. 500.000,- per bulan.
87

Dengan hadirnya parwisata di Kecamatan Kuta Utara membawa dampak

ekonomi dan sangat dirasakan manfaatnya bagi masyarakat setempat, karena hal ini

memberikan side effect dari bisnis pariwisata, yaitu selain ada home stay juga banyak

muncul rumah kos-kosan yang disediakan oleh masyarakat setempat untuk

memberikan tempat tinggal bagi karyawan-karyawati yang bekerja di industri

pariwisata. Demikian juga dengan rumah kos-kosan yang dimiliki oleh Ni Made

Darni yang tinggal di Banjar Aseman Kawan, Desa Tibubeneng ini pendapatannnya

dari mengelola rumah kontrakan ini rata-rata mencapai Rp. 2.000.000,- per bulan,

yang hanya megelola empat (4) kamar saja. Hal ini sangat membantu perekonomian

keluarganya, sehingga mampu menopang kehidupan ekonomi keluarganya. Berikut

penuturannya ;

“Tiang niki sampun meduwew kos-kosan wiadin rumah kontrakan mulai th.
2007, dan hasilnya sangat membantu tyang ring keluarga. Dumun sedurung
wenten vila tyang nenten wenten karya dadi ibu rumah tangga saja. Tyang
bersyukur wenten vila iriki akeh karyawanne saking luar badung kos di desan
tyange.” (Hasil wawancara tanggal 30 September 2011).
Berikut adalah salah satu jenis rumah kontrakan yang ada di Kuta Utara.

Gambar 5.13 Rumah milik Ni Made Darni yang tinggal Desa


Tibubeneng.
88

Sesuai dengan pengamatan di lapangan dampak ekonomi pariwisata tidak saja

membuka lapangan pekerjaan bagi pengelola home stay dan penyedia rumah kos-

kosan tapi juga membawa Multi fliyer effect dan bisa menumbuhkan berbagai jenis

usaha diantaranya; 1) Penyedian sarana rekreasi buat wisatwan mancanegara dan juga

domestik, 2) Usaha jasa pertamanan dan penataan kebun di villa atau Hotel, 3)

Merebaknya Bussiness Waralaba yang merambah ke Kecamatan Kuta Utara, 4)

Berkembangnya Pasar-pasar tradisional, 5) Usaha jasa penyewaan Mobil dan Motor,

6) Money Changer, 7) Beauty Salon dan Spa, serta 8) Rumah Sakit yang memberikan

jasa Medis kepada wisatawan.

Berikut adalah bentuk-bentuk usaha yang sudah berkembang di kecamatan

Kuta utara, sesuai gambar di bawah ini.

Gambar 5.14 Taman Rekreasi di Kuta Utara.

Gambar 5.15 Usaha Tanaman Hias dan Landscape di Kuta Utara.


89

Gambar 5.16 Salah satu Alfa mart di Kuta Utara.

Gambar 5.17 Pasar Tradisional di Kuta Utara.

Gambar 5.18 Usaha penyewaan Kendaraan di Kuta Utara.


90

Gambar 5.19 Usaha Money Changer di Kuta Utara

Gambar 5.20 Usaha Money Changer di Kuta Utara

Gambar 5.21 Usaha Rumah sakit di Kuta Utara.


91

Berkembang industri pariwisata di Kecamatan Kuta Utara mulai tahun 2005

hingga sekarang ini, selain menumbuhkan berbagai jenis usaha juga sudah mampu

mengurangi pengangguran dan bisa menyerap 2500 orang tenaga kerja, dari tamatan

SMA, Diploma dan Sarjana. Mereka tersebar di berbagai tempat seperti,

restaurant/rumah makan, penginapan/vila, jasa transportasi, rumah sakit, dll.

(Sumber : Monografi Kuta Utara, 2011).


92

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Perkembangan vila di Kecamatan Kuta Utara menimbulkan dampak

lingkungan, sosial, dan ekonomi. Dengan adanya perpindahan penduduk

menimbulkan masalah sosial. sebagai berikut:

1. Dampak lingkungan

Perkembangan vila di Kecamatan Kuta Utara mengakibatkan alih fungsi lahan

pertanian menjadi fasilitas penunjang pariwisata seperti vila, hotel, perumahan, pasar

modern, dan lain-lain. Pembangunan vila dan perumahan di Kuta Utara telah

menyebabkan tingkat pencemaran yang sangat tinggi. Sekitar tahun 2000-an air

sungai masih bersih dan bisa digunakan sebagai tempat mandi oleh warga setempat,

tetapi kini air sungai sudah mengalami pencemaran dari rumah tangga dan industri.

Akibat pengaruh alam (arus dan gelombang) serta banjir dari hulu sungai telah

menyebabkan erosi pantai yang cukup memprihatinkan. Sehingga pasir pasir pantai

hanyut dibawa ke tengah laut, dan lama kelamaan permukaan pantai menjadi makin

curam serta mengikis lahan pertanian di sekitarnya. Kerusakan daerah serapan air

yang tidak tertangani dengan baik menyebabkan sering terjadi kekeringan dan

kekurangan air pada musim kemarau, dan sebaliknya terjadi banjir pada musim hujan.

Peningkatan jumlah penduduk yang belum diimbangi dengan sikap serta tanggung

jawab masyarakat yang mengarah pada pola-pola pelestarian lingkungan

mengakibatkan masyarakat masih membuang sampah dan limbah secara

sembarangan. Adanya pelanggaran terhadap sepadan pantai, sehingga investor

membangun tidak sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor : 3


93

Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah dan Bisama Kesucian Pura oleh

Parisada Hindu Dharma Indonesia ( PHDI ) Pusat Tahun 1994.

2. Dampak Sosial

Banyak sumber daya manusia yang datang ke Kuta Utara tidak memiliki

keterampilan yang memadai sehingga mereka menjadi pengangguran, meningkatnya

tingkat kriminalitas seperti pencopetan, perampokan, peredaran obat-obatan terlarang,

prostitusi, perjudian yang semuanya menimbulkan masalah sosial laten, sering

terjadinya benturan-benturan antara individu pelaku pariwisata, adanya pemogokan

kerja, demonstrasi, oleh karena adanya rasa ketidakpuasan serta ketidakkeadilan yang

mereka alami pada tempat mereka bekerja sehingga secara langsung maupun tidak

langsung berpengaruh pada tatanan kehidupan sosial masyarakat Kuta Utara.

3. Dampak Ekonomi

Pembangunan vila di Kecamatan Kuta Utara dapat membawa dampak

terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat, seperti dapat menampung sebagian besar

para pencari kerja di Kuta Utara. Dari 62.481 jiwa penduduk Kuta Utara sebagai

pedagang (21 %), pengusaha sedang/besar (6 %), buruh industri (2 %), pengangkutan

(1,86 %), pengerajin industri kecil (2,50 %); Dengan adanya fasilitas penunjang

pariwisata (vila) di Kuta Utara secara tidak langsung masyarakat yang berada di

sekitar kawasan tersebut juga dapat menikmati kue pariwisata dengan membuat usaha

seperti homestay, penyediaan sarana rekreasi buat wisatawan mancanegara dan juga

domestik, usaha jasa pertamanan dan penataan kebun di villa atau hotel, merebaknya

bussiness waralaba, berkembangnya pasar-pasar tradisional, usaha jasa penyewaan

mobil dan motor, money changer, beauty salon dan spa, serta rumah sakit yang

memberikan jasa medis kepada wisatawan, dan lain-lain.


94

4. Masalah perkembangan pariwisata di Kuta Utara dan upaya penanggulannya.

1. Masalah Lingkungan

Kerusakan lingkungan yang telah terjadi seperti pencemaran, lahan

tidur dan banjir harus dikaji dan dicarikan solusi untuk mencegah kerusakan

lebih lanjut. Pada tingkat pemerintah, yang diperlukan adalah Amdal

kawasan, seperti Rencana Kawasan Kuta Utara, tetapi yang benar-benar

dilaksanakan. Evaluasi terhadap Amdal yang telah dikeluarkan harus

dilakukan evaluasi untuk mengecek seandainya ada pelanggaran, dan

memberikan sangsi kepada mereka yang melakukan pelanggaran tersebut.

Untuk mengurangi kerusakan lingkungan, Kelian Adat Umalas Desa

Kerobokan, I Made Sukadana, mengatakan bahwa para pemilik vila ikut

melakukan penghijauan dan menjaga kelestarian lingkungan di wilayah Kuta

Utara dengan menanam pohon. Untuk mengurangi alih fungsi lahan pertanian

menjadi vila, Pekaseh Desa Kerobokan Kelod, Made Reda, mengatakan

bahwa petani dilarang untuk menjual sawah dan pembangunan vila

seharusnya sepengetahuan kelian subak dan mendapatkan ijin IMB dari pihak

yang berwenang. Dengan demikian Kuta Utara tetap menjadi daya tarik

wisata yang hijau dan bersih sesuai dengan misi pembangunan pariwisata Bali

yaitu go green and clean.

2. Masalah sumber daya manusia (SDM)

Sebagai akibat perubahan mata pencaharaian dari petani ke bidang

pariwisata, masyarakat Kuta Utara perlu ditingkatkan pendidikan dan

keterampilannya di bidang pariwisata agar tidak kalah bersaing dengan para

pencari kerja dari luar. Peningkatan SDM dapat dilakukan melalui jalur
95

pendidikan formal dan informal. Jalur formal dilakukan melalui pendidikan

pada lembaga-lembaga pendidikan kepariwisataan mulai dari sekolah

kejuruan sampai tingkat magister, sedangkan jalur informal dapat dilakukan

melalui pelatihan-pelatihan pada industry pariwisata baik di hotel-hotel

maupun di restoran. Di Kabupaten Badung terdapat beberapa sekolah dan

perguruan tinggi perhotelan dan pariwisata yang dapat membantu

meningkatkan kualitas SDM di bidang pariwisata.

Kehidupan masyarakat KutaUtara yang sebagian besar sebagai petani,

pedagang dan buruh bangunan banyak yang belum memahami arti pariwisata

karena itu perlu disosialisasikan kepada mereka tentang pentingnya

Sapta/tujuh Pesona dalam pariwisata seperti keamanan, ketertiban,

kebersihan, kesejukan, keindahan, keramahtamahan dan kenangan. Dengan

sosialisasi Sapta Pesona secara teratur dan terprogram akan dapat

meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pariwisata.

Dari hasil pengamatan di lapangan ditemukan bahwa kerusakan

lingkungan dan pelanggaran pembangunan yang ada di wilayah Kuta Utara

lebih banyak disebabkan oleh ulah masyarakatnya sendiri karena investor

mendapatkan perlindungan dari Desa pekraman yang menggunakan tanah

ulayat atau catu pure sebagai sarana pembangunan fasilitas akomodasi

penginapan.

6.2 Saran

Dari hasil pembahasan, dapat disarankan hal-hal sebagai berikut kepada

Pemerintah, Masyarakat dan Pelaku pariwisata (stake holder pariwisata):


96

A. Kepada Pemerintah

1. Berdasarkan RTRW pemerintah mempunyai dan atau mengeluarkan kebijakan

dan peraturan-peraturan yang menyangkut pengembangan dan pembangunan

pariwisata di Kuta Utara.

2. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Badung agar secara kontinyu

memberikan penyuluhan kepariwisataan kepada masyarakat Desa-desa di

Kecamatan Kuta Utara sehingga masyarakat sadar terhadap peran dan manfaat

pariwisata.

3. Pemerintah Kecamatan Kuta Utara perlu bekerjasama dengan sektor swasta dan

masyarakat melakukan pembangunan fasilitas penunjang pariwisata seperti

tempat parkir, kamar mandi/toilet, akomodasi, restoran di sekitar daya tarik wisata

budaya yang ada. Khusus untuk pengadaan fasilitas akomodasi dan restoran

sebaiknya dalam ukuran kecil dan jumlah terbatas.

B. Kepada Masyarakat

4. Desa Pakraman berperan aktif dalam melindungi hak kepemilikan tanah

masyarakat.

5. Masyarakat sebaiknya mengontrakkan lahan/tanah kepada investor daripada

menjualnya, sehingga masyarakat selain mendapatkan uang dari hasil kontrakan

dan tanahnya juga masih menjadi milik sendiri.

6. Dalam pengembangan pariwisata, investor hendaknya melibatkan masyarakat

setempat.

7. Melihat potensi alam yang dimiliki desa-desa di Kecamatan Kuta Utara maka

perlu dikembangkan daya tarik wisata baru untuk menambah jumlah daya tarik
97

wisata budaya di Kabupaten Badung, bukan mengeksploitasi lahan

pertanian/lahan subur untuk keperluan sarana pariwisata.

8. Perlu dibentuk lembaga atau badan pengelola daya tarik wisata budaya

Kecamatan Kuta Utara.

9. Masyarakat Kuta Utara ikut menjaga keamanan lingkungan dengan melakukan

penjagaan pada pos-pos keamanan lingkungan dengan sistem ronda, dan

penertiban penduduk pendatang, dan tuan rumah diwajibkan melaporkan penyewa

rumah kepada aparat desa.

10. Dalam upaya pengembangan pariwisata masyarakat harus tetap mempertahankan

potensi lokal karena ini menjadi daya tarik bagi wisatawan. Selain itu masyarakat

agar tidak mudah terpengaruh oleh budaya-budaya asing yang dibawa wisatawan,

terutama budaya-budaya yang tidak sesuai dengan budaya masyarakat.

11. Penelitian ini terbatas pada dampak pengembangan vila terhadap lingkungan di

Kecamatan Kuta Utara, maka kepada peneliti berikutnya disarankan untuk

meneliti pengembangan wisata alam, wisata agro dan wisata perdesaan atau

pariwisata alternative lainnya sesuai dengan kondisi alam dan lingkungan di

Kecamatan Kuta Utara agar pengembangan pariwisata di wilayah ini menjadi

lebih terarah dan lebih baik.


98

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2007. Buku Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Tesis, dan Desertasi.
Denpasar: Universitas Udayana.

Anonim. 2009. Surat Edaran Gubernur Bali No. 570/1124/BPKMD mengenai


Penghentian Sementara untuk Bidang Usaha Tertentu (termasuk hotel
berbintang) halaman 3. Denpasar.

Anonim.2009. Moratorium Bubernur Bali No. 556.2/8702/Binporda mengenai


perihal pembatasan pembangunan hotel baru di Kabupaten Badung dan
Kotamadya Denpasar (halaman 3). Denpasar.

Anonim. 1987. Keputusan Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi No.


98/HK.103/MPPT-87. Jakarta.

Anonim.2008. Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata tentang Standar


Usaha Vila. Jakarta.

Anonim.1989. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 68/Kpts-II/1989 tentang


Penguisahaan Hutan Wisata, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan
Taman Wisata Laut. Jakarta.

Anonim. 1994. Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1994 tentang Pengusahaan


Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman nacisnal, Taman Hutan Raya,
dan Taman wisata Alam. Jakarta.

Anonim. 1999. Pedoman tentang Prinsip-Prinsip Pengembangan Objek dan Daya


Tarik Wisata (materi kuliah Perencanaan). Denpasar : Universitas Udayana.

Anonim. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2009 tentang


Kepariwisataan. Jakarta

Anonim. 1990. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konversi Sumber Daya
Alam dan Ekosistemnya. Jakarta.

Anonim. 2011. Monografi Kecamatan Kuta Utara Tahun 2011. Badung.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung. Badung Dalam Angka. 2009. Badung.
Bukart, A.J & Medlik.,S. 1974. Tourism: Past, Pesent, and Future. London :
Heinemann.
Damanik, Janianton & Weber, Helmut F. 2006. Perencanaan Ekowisata: Dari Teori
ke Aplikasi. Yogyakarta: Andy
99

Dinas Pariwisata Propinsi Bali. 2011. Statistik Pariwisata Bali. Denpasar.


Erawan, I Nyoman. 1994. Pariwisata dan Pembangunan Ekonomi (Bali Sebagai
Kasus). Denpasar : Upada Sastra.
Kusmayadi & E. Sugiarto. 2000. Metodelogi Penelitian Dalam Bidang
Kepariwisataan. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Mahadewi, N.M.E & Pitana, I Gde. 2008. Pengembangan Ekowisata Konvensi
Konsep dan Implementasi. dalam Ekoturisme Teori dan Praktek. Nias :
BRR-NAD.
Marpaung, H. 2002. Pengetahuan Kepariwisataan. Bandung : Alfabeta.
Paturusi, S.A. 2008. Perencanaan Kawasan Pariwisata. Denpasar : Udayana
University Press.
Pitana, I G & Putu G. Gayatri. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta: Penerbit
Andi
Pitana, I G & I K S Diarta. 2009. Pengantar Ilmu Pariwisata. Yogyakarta : Penerbit
Andi.
Sumariadhi, W. 2009. ”Dampak dan Strategi Pengendalian Perkembangan Pariwisata
di Destinasi Pariwisata Nusa Lembongan”. (Tesis). Denpasar : Universitas
Udayana.
Suryasih. 2003. ”Pengembangan Pariwisata Perdesaan” (Tesis). Denpasar: Program
Magister Kajian Pariwisata, Universitas Udayana.

Soekanto, S. 1983. Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat. Jakarta:


Rajawali.
Sugiyono., 2003. Metode Penelitian Bisnis. Bandung : Alfabeta.
Tasman, Aulia dan Aima, Havidz. 2005. Ekonomi Manajerial Suatu Pendekatan
Matematis. Jakarta: Chandra Pratama.

TFS. 2006. Eksistensi dan Esensi Vila dalam Pengembangan Pariwisata Kabupaten
Badung.

Tim Tourism Field Study. 2006. Eksistensi dan Esensi Vila dalam Pengembangan
Pariwisata di Kabupaten Badung. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata
Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali.

Undang Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Jakarta.
Undang Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Jakarta.

Wardiyanta. 2006. Metoda Penelitian Pariwisata. Yogyakarta : Penerbit ANDI.


100

Widiastuti, T. 2008. Komunika, Perbandingan Perspektif Disiplin dan Tradisi


Dalam Komunikasi Antar Manusia. Jakarta : Sinar Grafika.

Woinarski, Lisa. 2002. Pulau Serangan: Dampak Pembangunan pada Lingkungan


dan Masyarakat. Kerjasama antara Universitas Muhammadiyah Malang
dengan Australian Consortium For In-Country Indonesian Studies. Malang.
Yoeti A. H. O. 2002. Perencanaan Strategis Pemasaran Daerah Tujuan Wisata.
Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
101

Lampiran 1: Daftar Informan


No Nama Jabatan
1 Nyoman Warsiki Warga Desa Tibubeneng
2 I Nengah Lana Warga/tokoh masyarakat Desa Canggu
3 I Wayan Kodiana Warga/tokoh masyarakat Desa Canggu
5 Gede Kawijaya Kelian Subak Desa Dalung
6 Mira Pengusaha rumah makan di Desa
Kerobokan
7 Nyoman Winata Warga/tokoh masyarakat Desa Canggu
8 I Gede Meindra Paewatha Warga/tokoh masyarakat Desa Tibubeneng
9 I Wayan Darta Warga/tokoh masyarakat Desa Canggu
10 Ni wayan Warsi Pemilik homestay di Desa Tibubeneng
11 I Made Sukadana Kelian Adat Umalas Desa Kerobokan
12 Made Reda Pekaseh Desa Kerobokan Kelod
13 I Made Diana Kelian Dinas Br. Aseman Kawan Desa
Tibubeneng
14 I Wayan Iwan Riana Warga/tokoh masyarakat Desa Tibubeneng
15 I Wayan Sudimiana Perangkat Desa Tibubeneng
16 I Ketut Suamba Kepala Lingkungan Desa Kerobokan Kelod
17 I Made Gelarnyana Warga/tokoh masyarakat Desa Kerobokan
Kelod (Mantan Wakil Ketua DPRD Kab.
Badung)
18 I Gusti Made Kaler Sudana, Kepala Desa Kerobokan
SH
19 I Gede Rai Mandara Sidi, SH Kepala Desa Kerobokan Kaja
20 I Nyoman Alit Wiranata, SH Staff Disparda Kabupaten Badung
21 I Ketut Gede Arta, AP, SH, Staff Disparda Kabupaten Badung
M. Si
22 I Wayan Martha Wijaya Koordinator Pembangunan Desa Canggu
Kusuma
23 I Gede Suraharja, SH Kepala Desa Tibubeneng
102

Lampiran 2: Pedoman Wawancara

A. Untuk Kepala Desa/Lurah)

PROGRAM MAGISTER S2 KAJIAN PARIWISATA


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA

Bapak/Ibu yang terhormat,

“Om Swastiastu”
Sehubungan dengan penelitian untuk Tesis yang berjudul “Dampak
Pembangunan Villa Terhadap Lingkungan di Kecamatan Kuta Utara”, pada
kesempatan ini saya mohon kesediaan Bapak/Ibu untuk membantu memberikan data
sesuai pedoman wawancara yang telah saya siapkan.
Atas kesediaan dan kerjasama Bapak/Ibu, saya mengucapkan terima kasih.
“Om Shantih, Shantih, Shantih, Om”

Denpasar, Aprl 2010


Peneliti,

I Nyoman Redi Wijaya

IDENTITAS INFORMAN :

1. Nama : ……………………………………………………………...

2. Umur : ……………………………………………………………...

3. Jenis Kelamin : ……………………………………………………………...

4. Status : ……………………………………………………………...

5. Pendidikan : ……………………………………………………………...

6. Pekerjaan : ……………………………………………………………...

8. Alamat : ...............................................................................................

Daftar Pertanyaan :

1. Berapa jumlah villa yang terdapat di desa/kelurahan ini?

2. Di daerah mana saja persebaran pembangunan villa ini?


103

3. Menurut yang Bapak ketahui, apakah villa ini dibangun di lahan yang sesuai

untuk peruntukan kawasn pariwisata?

4. Apakah villa tersebut melanggar tata ruang di desa ini?

5. Menurut pendapat Bapak/Ibu, adakah dampak pembangunan villa terhadap

lingkungan fisik di desa ini?

6. Adakah masalah dalam pemanfaatan energi listrik dan air tawar setelah adanya
perkembangan villa di desa ini?
7. Bagaimanakah kondisi lahan (pertanian, tegalan, hutan, perumahan) di desa ini
setelah adanya perkembangan villa di desa ini?
8. Seberapa besar alih fungsi lahan yang terjadi di desa ini yang disebabkan oleh
pembangunan villa?
9. Sepengetahuan Bapak/Ibu, apakah villa ini mengakibatkan adanya pencemaran

(bau, air, bunyi) terhadap lingkungan?

10. Apakah secara tidak langsung perkembangan villa ini menyebabkan terjadinya

kemacetan lalu lintas?

11. Apakah Bapak/Ibu setuju dengan semakin banyaknya pembangunan villa di desa?

12. Upaya-upaya apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah desa untuk menjaga

kelestarian lingkungan desa sehubungan dengan maraknya penjualan laha-lahan

pertanian untuk pembangunan villa?

13. Apakah keberadaan villa ini memberikan kontribusi pagi pembangunan desa ini?
104

B. Untuk Instansi Terkait)

PROGRAM MAGISTER S2 KAJIAN PARIWISATA


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA

Bapak/Ibu yang terhormat,

“Om Swastiastu”
Sehubungan dengan penelitian untuk Tesis yang berjudul “Dampak
Pembangunan Villa Terhadap Lingkungan di Kecamatan Kuta Utara”, pada
kesempatan ini saya mohon kesediaan Bapak/Ibu untuk membantu memberikan data
sesuai pedoman wawancara yang telah saya siapkan.
Atas kesediaan dan kerjasama Bapak/Ibu, saya mengucapkan terima kasih.
“Om Shantih, Shantih, Shantih, Om”

Denpasar, April 2010


Peneliti,

I Nyoman Redi Wijaya

IDENTITAS INFORMAN:

1. Nama : ……………………………………………………………...

2. Umur : ……………………………………………………………...

3. Jenis Kelamin : ……………………………………………………………...

4. Instansi :……………………………………………………………….

5. Jabatan : ……………………………………………………………...

6. Alamat : ...............................................................................................

Daftar Pertanyaan :

1. Berapa jumlah villa yang terdapat di Kecamatan Kuta Utara?

2. Bagaimana pendapat Bapak, tentang maraknya pembangunan villa di

Kecamatan Kuta Utara?

3. Bagaimana tentang tata ruang wilayah Kuta Utara?


105

4. Menurut Bapak, apakah lokasi pembangunan villa telah sesuai untuk

peruntukan lahan untuk kawasan pariwisata?

5. Apakah ada villa yang melanggar tata ruang wilayah Kuta Utara?

6. Apakah ada dampak perkembangan villa terhadap lingkungan fisik di Kuta

Utara? (Masalah air, pencemaran, alih fungsi lahan, kemacetan)?

7. Bagaimana respon masyarakat terhadap dampak fisik yang ditimblkan dari

perkembangan villa di Kuta Utara?

8. Upaya apa yang dilakukan instansi untuk mengurangi dampak fisik yang

ditimbulkan oleh perkembangan villa?

9. Apa bentuk pengawasan yang dilakukan oleh instansi ini untuk mengurangi

dampak terhadap lingkungan fisik yan muncul?

Anda mungkin juga menyukai