Anda di halaman 1dari 9

1.

Karakter Ionik pada senyawa kovalen

Ikatan kovalen adalah ikatan yang terjadi karena adanya penggunaan bersama
pasangan elektron. Unsur yang dapat mengalami ikatan kovalen memiliki syarat
yaitu :
a. Memiliki elektronegativitas yang tinggi
b. Bukan elektropositif yang kuat
c. Memiliki elektronegativitas yang sama.

Contoh senyawa yang terbentuk melalui ikatan kovalen antara lain HCl, Cl 2, N2, dan
lain-lain. Berdasarkan contoh senyawa kovalen di atas dapat diamati adanya
perbedaan interaksi awan elektron antara senyawa kovalen yang memiliki
elektronegativitas sejenis dengan senyawa kovalen yang memiliki perbedaan nilai
elektronegativitas. Pada senyawa HCl, terdapat perbedaan nilai elektronegativitas
antara atom H (EN = 2,20) dan atom Cl (EN = 3,16), sehingga arah awan elektron
tampak seperti gambar di bawah ini :

Sedangkan pada senyawa kovalen yang tidak memiliki perbedaan elektronegativitas,


misalnya pada senyawa Cl2, awan elektron akan tampak seperti gambar di bawah ini:

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa senyawa kovalen yang
memiliki perbedaan elektronegativitas mengalami pembagian elektron yang tidak
merata sehingga akan terbentuk muatan parsial positif dan negatif. Kondisi ini disebut
sebagai ikatan kovalen polar. Adanya ikatan kovalen polar mengakibatkan suatu
senyawa kovalen memiliki sifat yang mendekati ikatan ionik. Kedekatan sifat ini
dapat dilihat berdasarkan nilai prosentase karakter ionik yang diperoleh dari
persamaan :

% ionic = {1 - exp[-(0.25)(Xa-Xb)2]} x 100

Dimana :
Xa = elektronegativitas unsur A

Xb = elektronegativitas unsur B

Persen karakter ionik juga dapat dilihat berdasarkan grafik hubungan % ionic
terhadap perbedaan elektronegativitas seperti tersaji pada gambar di bawah ini

Berikut adalah contoh cara penentuan % karakter ionik melalui perhitungan dan
melalui grafik:

a. Persen karakter ionik dari senyawa HCl


Diketahui : XH = 2,20
XCl = 3,16
XCl - XH = 3,16 – 2,20 = 0,96

%Ionik = {1 - exp[-(0.25)(Xa-Xb)2]} x 100


= {1 – exp[-(0,25)(0,96)2]} x 100
= 20,578 %
% Kovalen = (100 – 20,578) % = 79,422%
b. Persen karakter ionik NaCl
Diketahui : XNa = 0,93
XCl = 3,16
XCl - XNa = 3,16 – 0,93 = 2,23

% Ionik = {1 - exp[-(0.25)(Xa-Xb)2]} x 100


= {1 – exp[-(0,25)(2,23)2]} x 100
= 71,15%
% Kovalen = (100 – 71,15) % = 28,85%

Berdasarkan contoh di atas, maka dapat disimpulkan bahwa semakin besar perbedaan
elektronegativitas maka akan meningkatkan nilai persen karakter ionik. Kenaikan
persen karakter ionik akan mengakibatkan suatu senyawa lebih dekat pada ikatan
ionik, apabila nilai karakter ionik ≥ 50% maka senyawa tersebut cenderung memiliki
ikatan ionik daripada ikatan kovalen. Persen karakter ionik ini dapat berhubungan
dengan kelarutan suatu senyawa dalam pelarut polar. Garam NaCl memiliki persen
karakter ionik sebasar 71,15% mengakibatkan kelarutan dalam air sangat tinggi yaitu
35,9 g/100 mL karena NaCl akan terionisasi sempurna, sedangkan HCl yang memiliki
nilai persen karakter ionik sebesar 20,578% akan terlarut dalam air namun tidak
terionisasi sempurna sehingga kepekatan HCl dalam air hanya mencapai 38% saja.

2. Efek Shielding menurut aturan Slater

Pada atom yang memiliki elektron lebih dari satu, energi tingkat tertentu sulit untuk
diprediksi secara kuantitatif. Hal ini disebabkan karena setiap elektron akan menjadi
perisai bagi elektron yang jauh dari inti sehingga mengakibatkan daya tarik inti
terhadap elektron terjauh melemah (Efek Shielding). Berikut adalah gambar adanya
efek shielding :

Adanya efek shielding ini mengakibatkan terjadinya overlap antara tingkat energi
yang memiliki nilai n sama tetapi l berbeda dimana pada penulisan konfigurasi
elektron orbital 4s ditulis terlebih dahulu dibandingkan 3d, dan 5s sebelum 4d, begitu
seterusnya. Berikut ini adalah gambar overlapping tingkat energi akibat efek
shielding.
Melalui aturan Slater maka dapat diketahui nilai muatan inti efektif (Z*) yang
menyatakan ukuran daya tarik inti terhadap elektron. Muatan inti efektif (Z*) dapat
dihitung berdasarkan persamaan :
Z* = Z – S
Dimana :
Z = Muatan inti
S = Konstanta shielding

Aturan Slater yaitu :


1. Konfigurasi elektron pada atom ditulis sesuai nilai n, yaitu : (1s) (2s 2p) (3s 3p)
(3d) (4s 4p) (4d) (4f) dan seterusnya.
2. Elektron pada tingkat energi tinggi tidak memberikan efek shielding pada elektron
yang berada pada tingkat energi rendah.
3. Untuk ns atau np elektron valensi, berlaku:
a. Elektron yang berada pada ns dan np group yang sama memberikan kontribusi
0.35 kecuali untuk 1s yaitu 0.30
b. Elektron pada n – 1 memberikan kontribusi 0.85
c. Elektron pada n – 2 atau tingkat energi yang lebih rendah memberikan
kontribusi 1.00
4. Untuk nd atau nf elektron valensi, berlaku:
a. Elektron pada nd dan nf group yang sama memberikan kontribusi 0.35
b. Elektron pada penulisan sebelah kiri (dalam konfigurasi elektron) memberikan
kontribusi 1.00

Contoh I :

Unsur Oksigen O = 1s2 2s2 2p4
Maka Z* untuk elektron terluar adalah :
Z* = Z – S
= 8 – [(2 x 0.85)] – [(5 x 0.35)]
= 4.55
Keterangan : 2 elektron dari orbital 1s memberikan kontribusi 0.85 sedangkan
5 elektron dari orbital 2s dan 2p memberikan kontribusi 0.35. elektron terakhir
tidak diikutsertakan dalam perhitungan.

Unsur Ni = 1s2 2s2 2p6 3s2 3p6 3d8 4s2
Z* untuk elektron terluar pada 3d adalah :
Z* = Z – S
= 28 – [(18 x 1.00)] – [(7 x 0.35)]
= 7.55
Z* untuk elektron terluar pada 4s adalah :
Z* = Z – S
= 28 – [(10 x 1.00)] – [(16 x 0.85)] – [(1 x 0.35)]
= 4.05
Keterangan : Nilai Z* dari elektron terluar 3d lebih besar dari nilai Z* dari
elektron terluar 4s, oleh sebab itu saat membentuk kation Ni 2+ lebih disukai
konfigurasi [Ar]3d8 daripada konfigurasi [Ar]3d6 4s2.

Contoh II :

Unsur Be = 1s2 2s2
Jari – jari atom = 112 pm
Z* = Z – S
Z* = 4 – [(2 x 0.85)] – [(1 x 0.35)]
Z* = 1.95

Unsur Mg = 1s2 2s2 2p6 3s2
Jari – jari atom = 160 pm
Z* = Z – S
Z* = 12 – [(2 x 1.00)] – [(8 x 0.85)] – [(1 x 0.35)]
Z* = 2.85

Unsur Ca = 1s2 2s2 2p6 3s2 3p6 4s2
Jari – jari atom = 197 pm
Z* = Z – S
Z* = 20 – [(10 x 1.00)] – [(8 x 0.85)] – [(1 x 0.35)]
Z* = 2.85
Kesimpulan : Berdasarkan perhitungan Z* pada contoh II tersebut dapat diketahui
bahwa dalam satu golongan pada sistem periodik unsur jari – jari atom bertambah
besar dikarenakan peningkatan efek shielding yang mengakibatkan tarikan inti atom
terhadap elektron terluar semakin berkurang. Meskipun nilai Z* Ca sama dengan
Z*Mg, atom Ca memiliki lebih banyak orbital elektron yaitu sampai kulit ke-4
sedangkan Mg hanya sampai kulit ke-3, sehingga meskipun nilai Z* sama ukuran
atom Ca lebih besar daripada Mg.

3. Electronic structure (Pengaruh VBT dan VSEPR terhadap prediksi bentuk


molekul)
Valence bond theory (VBT) merupakan teori dasar yang digunakan untuk
menjelaskan pembentukan elektron ikatan. Teori ini menjelaskan pembentukan ikatan
menggunakan hibridisasi orbital dan pasangan elektron (electron-dot) pada molekul
sederhana. Contoh penjelasan aplikasi VBT dapat dilihat melalui pembentukan
molekul PF5 seperti berikut ini :
2 2 6 2 3
15P = 1s 2s 2p 3s 3p

3s 3p 3d

9F = 1s2 2s2 2p5

3s 3p

Hibridisasi sp3d:

Atom P memiliki orbital d kosong yang dapat digunakan untuk melakukan hibridisasi,
sehingga walaupun seharusnya P hanya dapat membentuk 3 ikatan maka dengan
adanya orbital 3d kosong memungkinkan terjadinya hibridisasi orbital yang berakibat
P dapat membentuk 5 ikatan elektron. Berdasarkan VSEPRT maka PF 5 memiliki
bentuk molekul trigonal bipiramidal dengan rincian sudut sebagai berikut :

Bentuk molekul terhadap bentuk molekul senyawa lain yang memiliki hibridisasi
serupa selanjutnya dapat diamati dengan melakukan peninjuan melalui teori Valence
Shell Electron Pair Repulsion (VSEPR) untuk melengkapi tinjauan teori VBT. Teori
VSEPR adalah teori yang digunakan untuk memprediksikan bentuk molekul
berdasarkan pengaruh electron pair electrostatic repulsion. Pada teori VSEPR ini
terdapat penghitungan Steric Number (SN) yang menyatakan kontribusi kedudukan
atom atau lone pair electron di sekitar atom pusat terhadap bentuk molekul. Steric
Number (SN) dapat dihitung melalui rumus berikut :
AXmEn
A = atom pusat
X = atom yang berada di sekitar atom pusat
E = Lone pair electron
SN = m + n

Contoh :

O C O
X=2
E=0
SN = m + n
=2+0
=2
Pada CO2, elektron akan berada tepat pada ikatan rangkap yang terbentuk
antara C dan O, adanya efek repulsion pada ikatan rangkap tersebut
mengakibatkan bentuk molekul CO2 adalah linear.

CH4 (Metana)
X=4
E=0
SN = m + n
=4+0
=4
Pada molekul CH4 terbentuk 4 ikatan yang serupa antara atom pusat dengan
atom disekelilingnya. Keempat ikatan ini akan menempatkan diri sehingga
mencapai halangan sterik paling kecil yaitu dalam bentuk molekul tetrahedral
dengan sudut 109,5o. Pada kondisi ini ikatan-ikatan tersebut berada pada
kondisi stabil.

H2O
X=2
E=2
SN = m + n
=2+2
=4
Pada molekul H2O terdapat 4 pasangan elektron disekitar atom pusat.
Pasangan elektron disekitar atom pusat tersebut meliputi 2 pasang elektron
ikatan dan 2 lone pair electron. Seharusnya molekul H2O memiliki bentuk
molekul tetrahedral seperti CH4, tetapi adanya keterlibatan 2 lone pair electron
yang terkonsentrasi disekitar atom pusat O mengakibatkan pasangan elektron
bebas tersebut menempati ruang yang cukup besar (tidak ada halangan dari
atom lain) dibandingkan pasangan elektron ikatan. Efek tolakan yang
diberikan oleh lone pair – bond pair lebih besar dibandingkan efek tolakan
yang diberikan oleh bond pair – bond pair sehingga bentuk yang tercapai pada
molekul H2O adalah bentuk bengkok (V shape) dengan sudut 104,5o.

H2S
X=2
E=2
SN = m + n
=2+2
=4
Pada molekul H2S terdapat 4 pasangan elektron disekitar atom pusat yang
terdiri atas 2 pasangan elektron ikatan dan 2 lone pair electron. Molekul ini
memiliki bentuk molekul bengkok seperti pada molekul H2O. Namun, sudut
ikatan yang terbentuk pada molekul H2S berbeda dari sudut ikatan molekul
H2O. Pada molekul H2S sudut ikatan yaitu sebesar 91,5o sedangkan sudut
ikatan H2O adalah 104,5o. Perbedaan sudut ikat ini dapat ditinjau dari
keelektronegatifan atom O yang lebih besar daripada atom S sehingga pada
molekul H2O elektron-elektron akan cenderung mendekati atom pusat
sehingga menimbulkan efek tolakan yang lebih besar dibandingkan molekul
H2S. Selain itu, bila ditinjau dari konfigurasi elektron, atom O hanya
menyediakan orbital hingga kulit ke-2 yaitu 2s dan 2p sedangkan atom S
menyediakan orbital hingga kulit ke-3 yaitu 3s, 3p, dan 3d (walaupun orbital
3d tidak terisi elektron). Hal ini terkait dengan besarnya energy gap yang
terlibat dalam hibridisasi sp3, pada atom O energy gap s-p tidak terlalu besar
sehingga untuk melakukan hibridisasi sp3 lebih mudah, sedangkan pada atom
S energy gap s-p cukup besar sehingga hibridisasi sp3 sulit terjadi. Pada
molekul H2S tidak terjadi hibridisasi tetapi penggunaan elektron p untuk
berikatan. Ukuran atom S juga mempengaruhi bentuk molekul pada H 2S
dimana ukuran atom S yang lebih besar dibandingkan atom O mengakibatkan
ikatan antara S – H semakin panjang dan lone pair electron semakin besar. Hal
ini mendorong peningkatan efek tolakan yang ditimbulkan oleh lone pair –
bond pair.

Anda mungkin juga menyukai