Anda di halaman 1dari 11

Tugas Dr. dr. Endang Herliyanti Darmani, Sp.

KK, FINSDV

Nama : Ridha Faisal

NIM : 1608437703

A. PENATALAKSANAAN URTIKARIA KRONIK

Urtikaria dibagi menjadi urtikaria akut dan uritikaria kronik. Urtikaria akut terjadi bila

serangan berlangsung kurang dari 6 minggu atau berlangsung selama 4 minggu tetapi timbul

setiap hari dan lesi akan menghilang dalam waktu kurang dari 24 jam. Sedangkan urtikaria

kronik terjadi bila serangan berlangsung lebih dari 6 minggu dan lesi akan berlangsung selama 4-

36 jam.

Identifikasi dan menghilangkan


penyebab.
Mengurangi faktor non spesifik yang memperberat
vasodilatasi kulit
NAstress emosional)
(alkohol, aspirin, olahraga,
AntihistaminCH1 non
sedatif
NA
AntihistaminCH1 non
sedatif
+
Tambahan obat:
antihistamin H1 pada
malam hari,
Antihistamin H1 +
antidepresan
kostikosteroid oral
trisiklik, antihistamin
jangka pendek +
H2.
pencarian/penangan
an untuk urtikaria
karena vaskulitis,
faktor tekanan, dan
NAC: not adequately
lain-lain + dicoba
controlled obat lain
Gambar 13. Pedoman Penatalaksanaan Urtikaria Kronik.20
Penatalaksanaan Urtikaria Kronik
1. Hindari faktor pencetus seperti obat-obatan, makanan, trauma fisik.
2. Medikamentosa
Terapi medikamentosa bersifat simtomatis. Obat lini pertama adalah antihistamine
generasi II (Nonsedating second-generation) loratadine,cetirizine. Sebagai alternatif dapat
dipilih antihistamine generasi terbaru; fexofenadine HCl, desloratadine, levo-cetirizine.Waktu
pemberian antihistamine sebaiknya mengikuti ritme diurnal urtikaria. Penambahan antihistamine
AH2 (simetidin) pada beberapa kasus memberikan perbaikan. Jika pruritus menonjol pada
malam hari bahkan tidak jarang penderita cemas maka dapat ditambahkan antihistamine generasi
klasik / I sekali sehari pada malam hari. Apabila semua tahapan terapi yang diberikan tersebut
belum memberikan hasil dapat diberikan kortikosteroid, dan pemberiannya tidak lebih dari 3
minggu. Penggunaan antagonis leukotrin (zafirlukast, montelukast ) belum banyak ada bukti-
bukti klinis. Pada kasus-kasus yang resisten terhadap mod malitas terapi diatas; dapat dicoba
pemberian cyclosporin dosis rendah ; 2.5 – 3 mg per Kg BB per hari, dengan dosis maksimal 6
mg / Kg BB per hari.
Pemberian levothyroxine pada penderita yang mempunyai antibodi antithyroide
meskipun penderita dalam kondisi euthyroid. Plasmapheresisdapat dipertimbangkan pada
penderita yang menunjukkan adanya antibodi terhadap reseptor IgE.
Tatalaksana idiopatik kronik atau autoimun urtikaria/angioudem
Respon Antihistamin non-sedatif
Satu agen atau kombinasi pada 2 – 4 kali dosis rekomendasi untuk
rhinitis

Respon tidak adekuat :


Respon 1. Antihistamin lain dengan dosis maksimal
Pertahankan dosis pada Contoh : hydroxazine atau
urtikaria ringan – tidak perlu diphenhydramine 25 – 50 mg (5 x sehari)
dihilangkan 2. H2 antagonist + Leucotriene antagonist

Insufficient response

Penggunnan siklosporin dan steorid


secara bersamaan dengan dosis
maksimum 15 mg/hari. Penurunan dosis
Adanya
secara bertahapriwayat
sampai tidak penggunaan
dibutuhkan 1. Steroid dosis rendah perhari (10
kortikosteroid
lagi atau memiliki hipertensi, mg prednisone atau setaranya)
diabetes, osteoporosis, striae yang parah, atau alternatif steroid (20 – 25mg
obesitas 2x sehari) dengan penurunan
dosis secara perlahan 5 mg dan 1
mg tablet prednison
2. Siklosporin merupakan alternatif
#1

Inaktif siklosporin atau efek Respon baik dengan steroid Respon cukup terhadap
samping inhibitor : steroid
Penurunan dosis setiap 2-3
 Steroid dosis rendah minggu masih bisa ditoleransi Siklosporine – respon
 Methotrexate untuk urtikaria ringan ; pertama diperoleh,
penggunaan mingguan angioudem jarang menghilangkan
 Gamma globulin IV kortikosteroid
 Plasmaphareisi untuk sub
group autoimun
B. PROSES REAKSI HISTAMINE DAN ANTIHISTAMINE

HISTAMINE

Histamin adalah senyawa normal yang ada dalam jaringan tubuh, yaitu pada jaringan sel

mast dan peredaran basofil, yang berperan terhadap berbagai proses fisiologis yang penting.

Histamin dikeluarkan dari tempat pengikatan ion pada kompleks heparin-heparin dalam sel

mast sebagai hasil reaksi antigen-antibodi bila ada rangsangan senyawa allergen. Senyawa

allergen dapat berupa spora, debu rumah, sinar UV, cuaca, racun, tripsin, dan enzim proteolitik

lain, deterjen, zat warna, obat makanan dan beberapa turunan amina. Histamin merupakan

produk dekarboksilasi dari asam amino histidin.

Pelepasan histamine terjadi akibat :

 Rusaknya sel

Histamine banyak dibentuk di jaringan yang sedang berkembang dengan cepat atau

sedang dalam proses perbaikan, misalnya luka

 Senyawa kimia

Banyak obat atau zat kimia bersifat antigenic,sehingga akan melepaskan histamine dari

sel mast dan basofil. Contohnya adalah enzim kemotripsin, fosfolipase, dan tripsin.

 Reaksi hipersensitivitas

Pada orang normal, histamine yang keluar dirusak oleh enzim histamin dan diamin

oksidase sehingga histamine tidak mencapai reseptor Histamin. Sedangkan pada

penderita yang sensitif terhadap histamine atau mudah terkena alergi jumlah enzim-

enzim tersebut lebih rendah daripada keadaan normal.

Histamin berinteraksi dengan reseptor yang spesifik pada berbagai jaringan target.

Reseptor histamine dibagi menjadi histamine 1 (H-1) dan histamine 2 (H-2). Pengaruh histamin
terhadap sel pada berbagai jaringan tergantung pada fungsi sel dan rasio reseptor H-1 : H-2.

stimulasi reseptor H-1 menimbulkan :

 Vasokonstriksi pembuluh-pembuluh yang lebih besar

 Kontraksi oto bronkus, otot usus dan otot uterus

 Kontraksi sel-sel otot polos

 Kenaikan aliran limfe

Stimulasi reseptor H-2 menimbulkan :

 Dilatasi pembuluh paru-paru

 Meningkatkan frekuensi jantung dan kenaikan kontraktilitas jantung

 Kenaikan sekresi kelenjar terutama dalam mukosa lambung

ANTIHISTAMIN

Antihistamin adalah obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan kerja histamin

dalam tubuh melalui mekanisme penghambatan bersaing pada reseptor H-1, H-2 dan H-3. Efek

antihistamin bukan suatu reaksi antigen antibodi karena tidak dapat menetralkan atau mengubah

efek histamin yang sudah terjadi. Antihistamin pada umumnya tidak dapat mencegah produksi

histamin. Antihistamin bekerja terutama dengan menghambat secara bersaing interaksi histamin

dengan reseptor khas.

Antihistamin sebagai penghambat dapat mengurangi degranulasi sel mast yang dihasilkan

dari pemicuan imunologis oleh interaksi antigen IgE. Cromolyn dan Nedocromil diduga

mempunyai efek tersebut dan digunakan pada pengobatan asma, walaupun mekanisme

molekuler yang mendasari efek tersebut belum diketahui hingga saat ini.

Berdasarkan hambatan pada reseptor khas antihistamin dibagi menjadi tiga kelompok yaitu :

 Antagonis H-1, terutama digunakan untuk pengobatan gejala-gejalal akibat reaksi alergi
 Antagonis H-2, digunakan untuk mengurangi sekresi asam lambung pada pengobatan

penderita pada tukak lambung

 Antagonis H-3, sampai sekarang belum digunakan untuk pengobatan, masih dalam

penelitian lebih lanjut dan kemungkinan berguna dalam pengaturan kardiovaskuler,

pengobatan alergi dan kelainan mental

Antagonis Reseptos H-1

Antagonis reseptor H-1 adalah senyawa yang secara kompetitif menghambat histamin

pada reseptor H-1 dan telah digunakan secara klinis dalam beberapa tahun. Beberapa tersedia

untuk dijual bebas, baik sebagai tunggal maupun di dalam formulasi kombinasi seperti pil flu

dan pil untuk membantu tidur.

Antagonis H-1 sering disebut antihistamin klasik atau antihistamin H-1. antagonis H-1

menghambat efek histamin dengan cara antagonisme kompetitif yang reversibel pada reseptor H-

1. Mereka mempunyai kemampuan yang diabaikan pada reseptor H-2 dan kecil pada reseptor H-

3, contohnya : induksi kontraksi yang disebabkan histamin pada otot polos bronkioler ataupun

saluran cerna dapat dihambat secara lengkap oleh agen-agen tersebut, tetapi efek pada sekresi

asam lambung dan jantung tidak termodifikasi. Antagonis H-1 dibagi menjadi agen generasi

pertama dan generasi kedua.

 Antagonis H-1 generasi pertama

Antagonis H-1 generasi pertama mempunyai efek sedatif yang relatif kuat, karena agen

generasi pertama lebih mempunyai sifat menghambat reseptor autonom. Sedangkan antagonis H-

1 generasi kedua kurang bersifat sedatif disebabkan distribusinya yang tidak lengkap dalam

sistem saraf pusat.


Antagonis H-1 generasi pertama mempunyai banyak efek yang tidak berhubungan

dengan penghambatan terhadap efek histamin. Sejumlah besar efek tersebut diduga dihasilkan

dari kesamaan struktur umumnya dengan struktur obat yang mempunyai efek pada kolinoseptor

muskarinik, adrenoreseptor-α, serotonin dan situs reseptor anestetika lokal. Beberapa dari efek

tersebut mempunyai nilai terapeutik dan beberapa lainnya tidak dikehendaki.

Efek yang tidak disebabkan oleh penghambatan reseptor histamin :

1. Efek sedasi

Efek umum dari antagonis H-1 generasi pertama adalah efek sedasi. Tetapi

intensitas efek tersebut bervariasi. Efeknya cukup besar pada beberapa agen

membuatnya sebagai bantuan tidur dan tidak cocok digunakan di siang hari. Efek

tersebut menyerupai beberapa obat antimuskarinik.

2. Efek antimual dan antimuntah

Beberapa antagonis H-1 generasi pertama mempunyai aktivitas mampu mencegah

terjadinya motion sickness. Contoh obatnya : Doxylamine.

 Antagonis histamin 1 generasi 2

Pada reaksi alergi, alergen (semacam antigen) berinteraksi dan membentuk ikatan silang

dengan permukaan dari antibodi IgE pada sel mast dan basofil. Ketika terjadi kompleks sel mast

antibodi-antigen, akan memacu terjadinya degranulasi dan pelepasan histamin (dan mediator

lainnya) dari dalam sel mast maupun basofil. Setelah dilepaskan,histamin dapat bereaksi

(menimbulkan efek) pada jaringan yang terdapat reseptor histamin.

Proses release histamin tidak terjadi secara langsung, melainkan diawali dengan transduksi

signal. Proses transduksi signal adalah proses masuknya signal ke dalam sel sehingga membuat
sel bereaksi dan menimbulkan efek. Ketika alergen masuk pertama kali ke dalam tubuh, TH-2

limfosit akan mengeluarkan IL-4, IL-4 menghasilkan signal yang merangsang B-sel (suatu sel

limfosit) untuk menghasilkan antibodi IgE. Ketika alergen menyerang untuk yang kedua kalinya,

IgE berikatan dengan alergen dan dibawa menuju sel mast. Pada sel mast kompleks IgE-alergen

akan terikat pada reseptor Fcε (Epsilon-C reseptor). Ikatan ini akan menghasilkan signal ke dalam

sel yang akan mengaktifkan enzim fosfolipase. Fosfolipase akan mengubah phosphatidylinositol

4,5-bisphosphate (PIP2) menjadi inositol 1,4,5-triphosphate (IP3) yang akan memobilisasi

Ca2+ dari organel penyimpan dalam sel mast. Ca2+ merupakan second messenger bagi terjadinya

kontraksi otot atau sel. Second messenger inilah yang memacu proses degranulasi sel mast

sehingga histamin akan terlepas.

Histamin bereaksi pada reseptor H-1, dapat menyebabkan pruritus (gatal-gatal),

vasodilatasi, hipotensi, wajah memerah, pusing, takikardia, bronkokonstriksi, menaikkan

permeabilitas vaskular, rasa sakit dan lain-lain. Histamin merupakan produk dekarboksilasi dari

asan amino histidin. Histamin terdapat dalam sel mast dan leukosit basofil dalam bentuk tidak

aktif secara biologik dan disimpan terikat dalam heparin dan protein basa. Histamin akan

dibebaskan pada reaksi hipersensitivitas pada rusaknya sel dan akibat senyawa kimia.

Antihistamin adalah obat yang mampu mengusir histamin secara kompetitif dari reseptornya

sehingga mampu meniadakan histamin.

Reseptor H-1 disebut juga metabotropik G-protein coupled reseptor. G-protein yang

terdapat dalam reseptor H-1 menghasilkan fosfolipase dan fosfatidylinositol. Kedua senyawa

inilah yang bertindak sebagai penunjuk jalan histamine sampai ke reseptor H-1. Pelepasan

histamin dapat diinduksi oleh produksi enzim prostaglandin sintase. Sebagai akibatnya terjadi

pelepasan histamine yang berlebihan sehingga menyebabkan vasodilatasi karena histamine


menginduksi endotel vaskuler yang menghasilkan cGMP di otot polos. cGMP inilah yang

menyebabkan vasodilatasi. Efek ini dapat dihilangkan dengan adanya antagonis histamin H-1

dimana mekanisme kerjanya bersifat inhibitor kompetitif terhadap reseptor-reseptor histamin.

Antagonis histamin H-1 terdiri dari 3 generasi : generasi 1,generasi 2 dan generasi 3. Perbedaan

antara generasi 1 dan generasi 2 terletak pada efek samping yang ditimbulkan, generasi 1

menimbulkan efek sedatif sedangkan generasi 2 pada umumnya non sedatif karena generasi 2

pada umumnya tidak dapat menembus blood brain barrier (bersifat lipofobik dan bulky),

sehingga tidak mempengaruhi sistem saraf pusat. Selain itu, antihistamin H-1 generasi 2 bersifat

spesifik karena hanya terikat pada reseptor H-1. Beberapa obat generasi 2 dapat menghambat

pelepasan mediator histamin oleh sel mast.

Obat antihistamin H-1 generasi 2 tidak bisa digolongkan berdasarkan struktur kimianya

karena meskipun memiliki struktur kimia dasar yang sama, obat tersebut masih memiliki gugus

fungsional tambahan yang berbeda. Contoh : sterfenadine, aztemizole, nuratadine, ketotifen,

levokaloastin, mempunyai cincin piperidin tetapi tidak dapat dimasukkan dalam satu golongan

karena mempunyai gugus fungsional tambahan yang berbeda.

Efek samping antagonis histamin H-1 G2 :

– Allergic – photosensitivity, anaphylactic shock, drug rash, dermatitis

– Central nervous system* – somnolence / drowsiness, headache fatigue, sedation

– Respiratory** – dry mouth, nose and throat (cetirizine, loratadine)

– Gastrointestinal** – nausea, vomiting, abdominal distress (cetirizine, fexofenadine)

Obat-obat antagonis histamin H-1 G2 :

 Cetirizine (Zyrtex)
Cetirizine HCl merupakan antagonis reseptor H-1. Nama kimianya adalah (±) – [2-[4-[(4-

chlorophenyl)phenylmethyl]-1-piperazinyl]ethoxy]acetic acid. Rumus empirisnya adalah

C12H25C4N2O3.2HCl dan Bmnya 461,82. Cetirizine dapat menurunkan jumlah histamin dengan

mengurangi jumlah produksi prostaglandin dan menghambat migrasi basofil yang diinduksi oleh

antigen. Indikasi : seasonal allergic rhinitis (karena pollen, rumput). Perennial allergic rhinitis

(karena debu, bulu binatang, dan jamur). Chronic urticaria. Efek samping : anoreksia,

tachycardia, migraine, konstipasi, dehidrasi.

 Fexofenadine

Fexofenadine HCl (paten: Allegra dan Telfast) adalah suatu obat antihistamin yang

digunakan untuk pengobatan demam dan gejala alergi yang mirip lainnya. Obat ini merupakan

obat alternatif dari terfenadine yang memiliki kontra indikasi yang serius. Fexofenadine seperti

antagonis H1 generasi 2 dan 3 lainnya, tidak dapat melewati blood brain barrier dan kurang

menyebabkan efek sedative dibandingkan dengan obat generasi 1. kerja dari obat ini adalah

sebagai antagonis dari reseptor H1.

Indikasi : seasonal allergic rhinitis, chronic idiopathic urticaria.

Efek samping : dizziness, back pain, cough, stomach discomfort, pain in extremity.

Kontraindikasi : pada pasien dengan hipersensitifitas dengan fexofenadine dan beberapa aksus

lainnya yang jarang terjadi menyebabkan angiodema, sesak nafas, kemerahan pada kulit dan

anafilaksis.

Terdapat obat-obat generasi dua yang dapat mengakibatkan cardiotoxic seperti

astemizole. Obat astemizole dapat berikatan dengan potassium (K) channel, yang merupakan

reglator potensial membrane sel. Ikatan ini dapat menyebabkan terganggunya fungsi potassium

channel menyebabkan Long QT Syndrome. Long DT Syndrome merupakan perpanjangan dari


QT interval. Apabila QT interval panjang, secara otomatis ritme jantung akan menurun, disebut

juga dengan bradycardia. Bradycardia akan menyebabkan kurangnya supply oksigen dalam

tubuh dan juga penyumbatan aliran darah (heart block).

Anda mungkin juga menyukai