Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini, semakin banyak kasus pelecehan seksual dan perkosaan yang menimpa
anak-anak dan remaja. Kasus pelecehan seksual dan perkosaan sebagian besar menimpa
anak-anak dan remaja putri. Kasus pelecehan seksual dan perkosaan dimulai dari anak-
anak yang masih di bawah umur (Anonim, 2006), pelecehan seks di sekolah (Anonim,
2006), bahkan kepala sekolah yang seharusnya memberi contoh pada murid-muridnya
melakukan pelecehan seksual kepada siswi-siswinya (Anonim,2007), walikota yang
menghamili ABG (Anonim, 2007), hingga personel tentara perdamaian pun melakukan
pelecehan seksual (Anonim, 2006).
Pelecehan seksual pada dasarnya adalah setiap bentuk perilaku yang memiliki
muatan seksual yang dilakukan seseorang atau sejumlah orang namun tidak disukai dan
tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan akibat negatif,
seperti: rasa malu, tersinggung, terhina, marah, kehilangan harga diri, kehilangan kesucian,
dan sebagainya, pada diri orang yang menjadi korban (Supardi, S.& Sadarjoen, 2006).
Walaupun sebagian besar korban pelecehan seksual dan perkosaan adalah wanita,
akan tetapi dalam beberapa kasus, laki-laki juga dapat menjadi korban pelecehan seksual
yang umumnya dilakukan oleh laki-laki juga. Pada sebagian besar kasus, perkosaan
dilakukan oleh orang sudah sangat dikenal korban, misalnya teman dekat, kekasih, saudara,
ayah (tiri maupun kandung), guru, pemuka agama, atasan, dan sebagainya. Sedangkan
sebagian kasus lainnya, perkosaan dilakukan oleh orang-orang yang baru dikenal dan
semula nampak sebagai orang baik-baik yang menawarkan bantuan, misalnya
mengantarkan korban ke suatu tempat.
Menurut Sadarjoen dalam tulisannya yang dimuat dalam sebuah situs internet,
pelecehan seksual yang terjadi pada anak, memang tidak sesederhana dampak
psikologisnya. Anak akan diliputi perasaan dendam, marah, penuh kebencian yang tadinya
ditujukan kepada orang yang melecehkannya dan kemudian menyebar kepada obyek-
obyek atau orang-orang lain (Supardi, S.& Sadarjoen, 2006).
Pelecehan seksual dan perkosaan dapat menimbulkan efek trauma yang mendalam
pada para korbannya. Korban pelecehan seksual dan perkosaan juga dapat mengalami
gangguan stres akibat pengalaman traumatis yang telah dialaminya. Gangguan stres yang

1
dialami korban pelecehan seksual dan perkosaan seringkali disebut Gangguan Stres Pasca
Trauma (Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)).

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari pemerkosaan?
2. Apa saja tanda dan gejala dari pasien korban pemerkosaan?
3. Apa saja masalah – masalah yang berkaitan dengan pasien korban pemerkosaan ?
4. Bagaimana pengobatan pada pasien dengan korban pemerkosaan ?
5. Bagaimana proses asuhan keperawatan pada pasien korban pemerkosaan ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Apa pengertian dari pemerkosaan
2. Untuk mengetahui Apa saja tanda dan gejala dari pasien korban pemerkosaan
3. Untuk mengetahui Apa saja masalah – masalah yang berkaitan dengan pasien korban
pemerkosaan
4. Untuk mengetahui Bagaimana penatalaksaan pada pasien dengan korban
pemerkosaan
5. Untuk mengetahui Bagaimana proses asuhan keperawatan pada pasien korban
pemerkosaan

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Perkosaan (rape) merupakan bagian dari tindakan kekerasan (violence), sedangkan
kekerasan dapat berupa kekerasan secara fisik, mental, emosional dan hal-hal yang sangat
menakutkan pada korban. Perkosaan adalah suatu penetrasi penembusan penis ke vagina
perempuan yang tidak dikehendaki, tanpa persetujuan dan tindakan itu diikuti dengan
pemaksaan baik fisik maupun mental.
Pengertian pemerkosaan berdasarkan Pasal 381 RUU KUHP :
1. Seorang laki-laki dengan perempuan bersetubuh, bertentangan dengan kehendaknya,
tanpa persetubuhan atau dengan persetubuhan yang dicapai melalui ancaman atau
percaya Ia suaminya atau wanita dibawah 14 tahun dianggap perkosaan.
2. Dalam keadaan ayat (1), memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut
perempuan, benda bukan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus perempuan.
Kalimat korban perkosaan menurut arti leksikal dan gramatikal adalah suatu
kejadian, perbuatan jahat, atau akibat suatu kejadian, atau perbuatan jahat. Perkosaan
adalah Menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan, menggagahi,
merogol. (Mendikbud,2010: 525, 757).

B. Gangguan Stres Pasca Trauma


Seorang psikiater di Jakarta yang bernama W. Roan menyatakan trauma berarti
cidera, kerusakan jaringan, luka atau shock. Sementara trauma psikis, dalam Psikologi
diartikan sebagai kecemasan hebat dan mendadak akibat suatu peristiwa dilingkungan
seseorang yang melampaui batas kemampuannya untuk bertahan, mengatasi atau
menghindar (Roan, W., 2003).
Gangguan stress pasca trauma (Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)) merupakan
suatu sindrom kecemasan, labilitas autonomic, ketidakrentanan emosional, dan kilas balik
dari pengalaman yang amat pedih itu setelah stress fisik maupun emosi yang melampaui
batas ketahanan orang biasa (Kaplan et al., 1997). Menurut National Institute of Mental
Health (NIMH), definisi PTSD adalah gangguan berupa kecemasan yang bisa timbul
setelah seseorang mengalami suatu peristiwa yang mengancam keselamatan jiwa atau
fisiknya. Peristiwa yang menimbulkan trauma ini bisa berupa serangan kekerasan,
bencana alam yang menimpa manusia, kecelakaan atau perang (Anonim, 2005)

3
Sedangkan Hikmat mengatakan bahwa PTSD adalah sebuah kondisi yang muncul
setelah pengalaman luar biasa yang mencekam, mengerikan, dan mengancam jiwa
seseorang seperti bencana alam, kecelakaan hebat, sexual abuse (kekerasan seksual), atau
perang (Hikmat, 2005).

C. Tanda dan Gejala


1. Terdapat stressor yang berat dan jelas (kekerasan, perkosaan), yang akan
menimbulkan gejala penderitaan yang berarti bagi hampir setiap orang.
2. Penghayatan yang berulang-ulang dari trauma itu yang dibuktikan oleh terdapatnya
paling sedikit satu dari hal berikut :
 ingatan berulang dan menonjol tentang peristiwa itu;
 mimpi-mimpi berulang dari peristiwa itu;
 timbulnya secara tiba-tiba perilaku atau perasaan seolah-olah peristiwa
traumatik itu sedang timbul kembali, karena berkaitan dengan suatu gagasan
atau stimulus/rangsangan lingkungan.
3. Penumpulan respons terhadap atau berkurangnya hubungan dengan dunia luar
(“psychic numbing” atau “anesthesia emotional”) yang dimulai beberapa waktu
sesudah trauma, dan dinyatakan paling sedikit satu dari hal berikut :
 berkurangnya secara jelas minat terhadap satu atau lebih aktivitas yang cukup
berarti;
 perasaan terlepas atau terasing dari orang lain;
 afek (alam perasaan) yang menyempit (constricted affect) atau afek depresif
(murung, sedih, putus asa).
4. Paling sedikit ada dua dari gejala-gejala berikut ini yang tidak ada sebelum trauma
terjadi, yaitu :
 kewaspadaan atau reaksi terkejut yang berlebihan;
 gangguan tidur (disertai mimpi-mimpi yang menggelisahkan);
 perasaan bersalah karena lolos dari bahaya maut, sedangkan orang lain tidak,
atau merasa bersalah tentang perbuatan yang dilakukannya agar tetap hidup;
 hendaya (impairment) daya ingat atau kesukaran konsentrasi
 penghindaran diri dari aktivitas yang membangkitkan ingatan tentang peristiwa
traumatik itu;

4
 peningkatan gejala-gejala apabila dihadapkan pada peristiwa yang
menyimbolkan atau menyerupai peristiwa traumatik itu

D. Batasan Karakteristik
1. Fase akut
a. Respons somatic
 Peka rangsang gastrointerstinal (mual, muntah, anoreksia)
 Ketidaknyamanan genitourinarius (nyeri, pruritus)
 Ketegangan otot-otot rangka (spasme, nyeri).
b. Respons psikologis
 Menyangkal
 Syok emosional
 Marah
 Takut – akan mengalami kesepian, atau pemerkosa akan kembali
 Rasa bersalah
 Panik melihat pemerkosa atau adegan penyerangan
c. Respons seksual
 Tidak percaya pada laki-laki
 Perubahan dalam perilaku seksual

2. Fase jangka panjang


Setiap respons pada fase akut dapat berlanjut jika tidak pernah terjadi resolusi
a. Respons psikologis
 Fobia
 Mimpi buruk atau gangguan tidur
 Ansietas
 Depresi

E. Permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan korban pemerkosaan


1. Panic attack (serangan panik)
Anak / remaja yang mempunyai pengalaman trauma dapat mengalami serangan
panik ketika dihadapkan / menghadapi sesuatu yang mengingatkan mereka pada
trauma. Serangan panik meliputi perasaan yang kuat atas ketakutan atau perasaan tidak

5
nyaman yang menyertai gejala fisik maupun psikologis. Gejala fisik meliputi jantung
berdebar-debar, berkeringat, gemetar, sesak nafas, sakit dada, sakit perut, pusing,
merasa kedinginan, badan panas, mati rasa.
2. Perilaku menghindar
Menghindari hal-hal yang dapat mengingatkan penderita pada kejadian traumatis.
Kadang-kadang penderita mengaitkan semua kejadian dalam seluruh kehidupannya
setiap hari dengan kejadian trauma, padahal kondisi kehidupan sekarang jauh dari
kondisi trauma yang pernah dialaminya. Hal ini seringkali menjadi lebih parah
sehingga penderita menjadi takut untuk keluar rumah dan harus ditemani oleh orang
lain jika harus keluar rumah.
3. Depresi
Banyak orang menjadi depresi setelah mengalami pengalaman trauma dan
menjadi tidak tertarik dengan hal-hal yang disenanginya sebelum peristiwa trauma.
Mereka mengembangkan perasaan-perasaan yang tidak benar, perasaan bersalah,
menyalahkan diri sendiri, dan merasa bahwa peristiwa yang dialaminya adalah
merupakan kesalahannya, walaupun semua itu tidak benar.
4. Membunuh pikiran dan perasaan
Kadang-kadang orang yang depresi berat merasa bahwa kehidupannya sudah
tidak berharga. Hasil penelitian menjelaskan bahwa 50 % korban kejahatan
mempunyai pikiran untuk bunuh diri. Jika anda dan orang yang terdekat dengan anda
mempunyai pemikiran untuk bunuh diri setelah mengalami peristiwa traumatik,
segeralah mencari pertolongan dan berkonsultasi dengan para profesional.
5. Merasa disisihkan dan sendiri
Perlunya dukungan dari lingkungan sosialnya tetapi mereka seringkali merasa
sendiri dan terpisah. Karena perasaan mereka tersebut, penderita kesulitan untuk
berhubungan dengan orang lain dan mendapatkan pertolongan. Penderita susah untuk
percaya bahwa orang lain dapat memahami apa yang telah dia alami.
6. Merasa tidak percaya dan dikhianati
Setelah mengalami pengalaman yang menyedihkan, penderita mungkin
kehilangan kepercayaan dengan orang lain dan merasa dikhianati atau ditipu oleh
dunia, nasib atau oleh Tuhan.
7. Mudah marah
Marah dan mudah tersinggung adalah reaksi yang umum diantara penderita
trauma. Tentu saja kita dapat salah kapan saja, khususnya ketika penderita merasa

6
tersakiti, marah adalah suatu reaksi yang wajar dan dapat dibenarkan. Bagaimanapun,
kemarahan yang berlebihan dapat mempengaruhi proses penyembuhan dan
menghambat penderita untuk berinteraksi dengan orang lain di rumah dan di tempat
terapi.
8. Gangguan yang berarti dalam kehidupan sehari-hari
Beberapa gangguan yang terkait dengan fungsi sosial dan gangguan di sekolah
dalam jangka waktu yang lama setelah trauma. Seorang korban kejahatan mungkin
menjadi sangat takut untuk tinggal sendirian. Penderita mungkin kehilangan
kemampuannya dalam berkonsentrasi dan melakukan tugasnya di sekolah. Bantuan
perawatan pada penderita sangat penting agar permasalahan tidak berkembang lebih
lanjut.
9. Persepsi dan kepercayaan yang aneh
Adakalanya seseorang yang telah mengalami trauma yang menjengkelkan,
seringkali untuk sementara dapat mengembangkan ide atau persepsi yang aneh
(misalnya : percaya bahwa dia bisa berkomunikasi atau melihat orang-orang yang
sudah meninggal). Walaupun gejala ini menakutkan dan menyerupai halusinasi dan
khayalan, gejala tersebut seringkali bersifat sementara dan hilang dengan sendirinya.

F. Kemungkinan perilaku anak-anak dan remaja yang mengalami trauma :

Saat perlu ditangani


Reaksi ketika sedang
Usia Korban Akibat yang normal oleh tenaga
stress
profesional

Menghisap jempol, Keinginan


Menangis tidak
mengompol, kurang menyendiri secara
terkontrol
dapat mengontrol diri berlebihan

Tidak mengenal waktu. Gemetaran karena Tidak ada respon


Ingin menunjukkan ketakutan, tidak bisa terhadap perhatian
1-5 tahun
kemandirian bergerak khusus

Takut gelap atau


binatang, sehingga Berlarian ketakutan
merasa terteror di malam tanpa arah
hari

7
Terlalu ketakutan dan
Tidak mau lepas dari
tidak mau ditinggal
pegangan orang tua
sendirian

Perilaku agresif (kembali


Rasa ingin tahu,
menghisap jari atau
eksploratif
mengompol lagi)

Tidak dapat menahan


Amat sensitif dengan
kencing maupun buang
suara dan cuaca
air besar

Kesulitan bicara Bingung, panik

Perubahan selera makan Sulit makan

Perilaku regresif yang


5-11 tahun Rasa gelisah, ketakutan jelas terlihat (menjadi
lebih kekanak-kanakan)

Mengeluh Gangguan tidur

Senang menempel
kepada orang tua atau Ketakutan akan cuaca
yang dianggap dekat

Pusing, mual, timbul


Pertanyaan yang agresif masalah penglihatan dan
pendengaran

Berkompetisi dengan
sebayanya/saudaranya Ketakutan yang tidak
untuk mencari perhatian beralasan
orang tua/guru

Menolak untuk masuk


Menghindar atau malas sekolah, tidak bisa
ke sekolah konsentrasi, dan senang
berkelahi

Mimpi buruk, dan takut Tidak dapat beraktivitas


gelap dengan baik

8
Menyendiri dari kawan-
kawan

Hilang minat/konsentrasi
di sekolah

Remaja awal Disorientasi dan lupa


Gangguan tidur Menarik diri, menyendiri
(11-14 tahun) terhadap sesuatu

Depresi, kesedihan, dan Depresi berat dan


Tidak ada nafsu makan membayangkan bunuh tidak mau ketemu
diri orang

Menjadi pemberontak di
Memakai obat-obatan
rumah atau tidak mau Perilaku agresif
terlarang
mengerjakan tugasnya

Permasalahan kesehatan Tidak bisa merawat


(kulit, buang air besar, Depresi dirinya (makan,
pegal-pegal, pusing) minum, mandi)

Masalah psikosomatis
Remaja
(gatal, sulit buang air Bingung
(14-18 tahun)
besar, asma)

Halusinasi, ketakutan
Menarik diri dan
Pusing/perasaan tertekan akan membunuh diri
menyendiri
sendiri atau orang lain

Perilaku antisosial Tidak dapat


Gangguan selera makan (mencuri, agresif, dan memutuskan hal-hal
dan tidur mencari perhatian yang paling mudah
dengan bertingkah) sekalipun

Mulai
mengidentifikasikan diri Menarik diri dan tidur
Terlalu
dengan kawan sebaya, terlalu pulas atau
terobsesi/dikuasai
ingin menyendiri dengan ketakutan di waktu
oleh satu pikiran
menghindar dari acara malam
keluarga

9
Protes, apatis
Perilaku yang tidak
Depresi
bertanggung jawab
Tidak bisa berkonsentrasi

G. Penatalaksanaan
Ada dua macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan korban pemerkosaan, yaitu
dengan menggunakan farmakoterapi dan psikoterapi.
1. Farmakoterapi
Mulai terapi obat hanya dalam hal kelanjutan pengobatan pasien yang sudah
dikenal. Terapi dengan anti depresiva pada gangguan stress pasca traumatik ini masih
kontroversial. Obat yang biasa digunakan adalah benzodiazepin, litium, camcolit dan
zat pemblok beta – seperti propranolol, klonidin, dan karbamazepin. Obat tersebut
biasanya diresepkan sebagai obat yang sudah diberikan sejak lama dan kini dilanjutkan
sesuai yang diprogramkan, dengan kekecualian, yaitu benzodiazepin – contoh,
estazolam 0,5 – 1 mg per os, Oksanazepam10-30 mg per os, Diazepam (valium) 5 –
10 mg per os, Klonazepam 0,25 – 0,5 mg per os, atau Lorazepam 1- 2 mg per os atau
IM – juga dapat digunakan dalam UGD atau kamar praktek terhadap ansietas yang
gawat dan agitasi yang timbul bersama gangguan stres pasca traumatik tersebut
(Kaplan et al, 1997).
2. Psikoterapi
 Anxiety Management
Pada anxiety management, terapis akan mengajarkan beberapa ketrampilan
untuk membantu mengatasi gejala korban pemerkosaan dengan lebih baik
melalui :
 Relaxation Training : Yaitu belajar untuk mengontrol ketakutan dan kecemasan
secara sistematis dan merelaksasikan kelompok otot-otot utama.
 Breathing retraining : Yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan-
lahan, santai dan menghindari bernafas dengan tergesa-gesa yang menimbulkan
perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik seperti jantung
berdebar dan sakit kepala.

10
 Positive thinking dan self-talk : Yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran
negatif dan mengganti dengan pikiran positif ketika menghadapi hal-hal yang
membuat stress (stresor).

 Assertiveness Training : Yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan,


opini dan emosi tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain.
 Thought Stopping : Yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita
sedang memikirkan hal-hal yang membuat kita stress (Anonim, 2005).
 Cognitive therapy : Terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak
rasional yang mengganggu emosi dan mengganggu kegiatan-kegiatan kita.
Misalnya seorang korban kejahatan mungkin menyalahkan diri sendiri karena
tidak hati-hati. Tujuan kognitif terapi adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran
yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional
untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih
realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang (Anonim, 2005).
 Exposure therapy : Pada exposure terapi, terapis membantu menghadapi situasi
yang khusus, orang lain, obyek, memori atau emosi yang mengingatkan pada
trauma dan menimbulkan ketakutan yang tidak realistik dalam kehidupan sehari-
hari. Terapi ini dapat berjalan dengan dua cara :
 Exposure in the imagination : Terapis bertanya kepada penderita untuk
mengulang-ulang cerita secara detail kenangan-kenangan traumatis sampai
mereka tidak mengalami hambatan untuk menceritakannya.
 Exposure in reality : Terapis membantu untuk menghadapi situasi yang
sekarang aman tetapi ingin dihindari karena menyebabkan ketakutan yang
sangat kuat (misalnya : kembali ke rumah setelah terjadi perampokan di rumah).
Ketakutan itu akan bertambah kuat jika kita berusaha untuk mengingat situasi
tersebut dibanding berusaha untuk melupakannya. Pengulangan situasi yang
disertai penyadaran yang berulang-ulang akan membantu kita menyadari bahwa
situasi lampau yang menakutkan tidak lagi berbahaya dan kita dapat
mengatasinya (Anonim, 2005).
 Play therapy : Terapi bermain digunakan untuk menerapi anak-anak dengan
trauma. Terapis menggunakan permainan untuk memulai topik yang tidak dapat
dimulai secara langsung. Hal ini dapat membantu anak-anak untuk lebih merasa
nyaman dalam berproses dengan pengalaman traumatiknya (Anonim, 2005).

11
 Support Group Therapy : Seluruh peserta dalam Support Group Therapy
merupakan korban perkosaan, yang mempunyai pengalaman serupa (misalnya
korban bencana tsunami, korban gempa bumi) dimana dalam proses terapi
mereka saling menceritakan tentang pengalaman traumatis mereka, kemdian
mereka saling memberi penguatan satu sama lain (Swalm, 2005).
 Terapi Bicara : Sejumlah studi penelitian membuktikan bahwa terapi berupa
saling berbagi cerita mengenai trauma mampu memperbaiki kondisi kejiwaan
penderita. Dengan berbagi pengalaman, korban bisa memperingan beban pikiran
dan kejiwaan yang dipendamnya selama ini. Bertukar cerita dengan sesama
penderita membuat mereka merasa senasib, bahkan merasa dirinya lebih baik
dari orang lain. Kondisi ini memicu seseorang untuk bangkit dari trauma yang
dideritanya dan melawan kecemasan (Anonim, 2005).

H. Beban Psikologis dan Kesehatan Korban Pemerkosaan


Kondisi, dampak, dan tantangan yang dihadapi tiap korban pemerkosaan berbeda satu
sama lain. Merasa takut, cemas, panik, shock, atau bersalah adalah hal yang wajar. Luka
yang mereka rasakan dapat menetap dan berdampak hingga seumur hidup. Banyak korban
yang merasa kehilangan kepercayaan diri dan kendali atas hidup mereka sendiri. Hal ini
juga dapat membuat mereka kesulitan mengungkapkan yang terjadi pada diri mereka,
meski cerita mereka sangat dibutuhkan untuk menindak pelaku. Berbagai perasaan yang
campur aduk dan situasi rumit tersebut akan membawa dampak bagi kesehatan dan
psikologis mereka.
1. Beban Psikologis
Tindak pemerkosaan pasti mendatangkan trauma bagi yang mengalaminya.
Respons tiap orang terhadap pemerkosaan yang menimpanya pasti berbeda dengan
munculnya berbagai perasaan yang menjadi satu dan bahkan dapat baru terlihat lama
setelah peristiwa tersebut terjadi. Berikut ini adalah beberapa perubahan psikologis
yang umumnya dialami korban.
a. Menyalahkan diri sendiri
Sikap menyalahkan diri sendiri adalah kondisi yang paling umum dialami
korban pemerkosaan. Sikap inilah yang paling menghambat proses penyembuhan.
Korban pemerkosaan dapat berisiko menyalahkan diri sendiri karena dua hal:
 Menyalahkan diri karena perilaku. Mereka menganggap ada yang salah dalam
tindakan mereka sehingga akhirnya mengalami tindakan pemerkosaan.

12
Mereka akan terus merasa untuk seharusnya berperilaku berbeda sehingga
tidak diperkosa.
 Menyalahkan diri karena merasa ada sesuatu yang salah di dalam diri mereka
sendiri sehingga mereka pantas mendapatkan perlakuan kasar.
Sayangnya orang-orang terdekat, seperti pasangan, belum tentu dapat
mendukung pulihnya kondisi pasien. Sebagian kerabat korban mungkin merasa
tidak dapat menerima kenyataan atau justru menyalahkan sehingga korban makin
berada dalam posisi yang sulit.
Kebanyakan korban pemerkosaan juga tidak dapat dengan mudah diyakinkan
bahwa ini bukanlah salah mereka. Rasa malu ini kemudian berhubungan erat
dengan gangguan lain, seperti pola makan, kecemasan, depresi, mengonsumsi
minuman keras dan obat-obatan terlarang, serta gangguan mental lain. Kondisi ini
dapat diatasi dengan terapi perilaku kognitif dalam melakukan reka ulang proses
penyusunan fakta dan logika dalam pikiran.
b. Bunuh diri
Kondisi stres pascatrauma membuat korban pemerkosaan lebih berisiko
untuk memutuskan bunuh diri. Tindakan ini terutama dipicu oleh rasa malu dan
merasa tidak berharga.
c. Kriminalisasi korban pemerkosaan
Pada budaya dan kelompok masyarakat tertentu, korban pemerkosaan dapat
menjadi korban untuk kedua kalinya karena dianggap telah berdosa dan tidak
layak hidup. Mereka diasingkan dari masyarakat, tidak diperbolehkan menikah,
atau diceraikan (jika telah menikah). Dalam kelompok masyarakat lain,
kriminalisasi pun dapat terjadi ketika korban disalahkan karena dianggap perilaku
atau cara berpakaiannya yang menjadi penyebab diperkosa.
Selain itu, korban berisiko mengalami hal-hal lain seperti depresi, merasa
seakan-akan peristiwa tersebut terulang terus-menerus, sering merasa cemas dan
panik, mengalami gangguan tidur dan sering bermimpi buruk, sering menangis,
menyendiri, menghindari pertemuan dengan orang lain, atau sebaliknya tidak mau
ditinggal sendiri. Ada kalanya mereka menarik diri dan menjadi pendiam, atau
justru menjadi pemarah.

13
2. Efek terhadap Fisik Korban
Selain luka psikologis, korban pemerkosaan membawa luka pada tubuhnya.
Sebagian mungkin terlihat, namun sebagian lagi barangkali baru dapat dideteksi
beberapa waktu kemudian.
Sementara secara fisik mereka dapat terlihat mengalami perubahan pola makan
atau gangguan pola makan. Tubuh mereka bisa terlihat tidak terawat, berat badan
turun, dan luka pada tubuh seperti memar atau cedera pada vagina.
Berikut beberapa kondisi yang umum terjadi pada korban pemerkosaan:
a. Penyakit menular seksual (PMS)
Penetrasi vagina yang dipaksakan membuat terjadinya luka yang
membuat virus dapat masuk melalui mukosa vagina. Kondisi ini lebih rawan
terjadi pada anak atau remaja yang lapisan mukosa vaginanya belum terbentuk
dengan kuat.
Meski belum ada tanda-tanda yang terasa, namun korban pemerkosaan
sebaiknya memeriksakan diri untuk mendeteksi kemungkinan terkena
penyakit menular seksual. Infeksi seperti HIV (virus yang menyebabkan AIDS)
dapat ditangani dengan post-exposure prophylaxis (PEP), yaitu perawatan
profilaksis setelah tubuh terpapar penyakit. Namun perawatan ini harus
dilakukan sesegera mungkin.
b. Penyakit lain
Selain penyakit menular seksual, korban perkosaan umumnya menderita
konsekuensi yang berpengaruh pada kesehatan mereka:
 Peradangan pada vagina atau vaginitis.
 Infeksi atau pendarahan pada vagina atau anus.
 Gangguan hasrat seksual hipoaktif (hypoactive sexual desire
disorder/HSDD): keengganan esktrem untuk berhubungan seksual atau
justru menghindari semua atau hampir semua kontak seksual.
 Nyeri saat berhubungan seksual, disebut juga dyspareunia.
 Vaginismus: kondisi yang memengaruhi kemampuan wanita untuk
merespons penetrasi ke vagina akibat otot vagina yang berkontraksi di luar
kontrol.
 Infeksi kantong kemih.
 Nyeri panggul kronis.

14
c. Kehamilan yang tidak diinginkan
Kehamilan adalah salah satu kondisi dan konsekuensi terberat yang mungkin
terjadi pada korban pemerkosaan. Belum berhasil menyembuhkan diri sendiri,
mereka harus dihadapkan pada kenyataan adanya kehidupan lain di dalam
tubuhnya yang sebenarnya tidak mereka harapkan. Kondisi psikologis wanita
yang buruk dapat membuat bayi berisiko tinggi mengalami kondisi kelainan atau
lahir prematur.
Dampak fisik mungkin dapat sembuh dalam waktu lebih singkat. Namun
dampak psikologis dapat membekas lebih lama. Peran keluarga, kerabat, dokter,
dan terapis akan menjadi kunci dari kesembuhan dan ketenangan bagi mereka
yang menjadi korban pemerkosaan.

PROSES ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian
Menurut Doenges et.al (2007) pengkajian anak yang mengalami penganiayaan seksual
(sexual abuse) antara lain :
1. Aktivitas atau istirahat : Masalah tidur (misalnya tidak dapat tidur atau tidur
berlebihan, mimpi buruk, berjalan saat tidur, tidur di tempat yang asing, keletihan.
2. Integritas ego
a. Pencapaian diri negatif, menyalahkan diri sendiri/meminta ampun karena
tindakannya terhadap orang tua.
b. Harga diri rendah (pelaku/korban penganiayaan seksual yang selamat)
c. Perasaan bersalah, marah, takut dan malu, putus asa dan atau tidak berdaya
d. Minimisasi atau penyangkalan signifikasi perilaku (mekanisme pertahanan yang
paling dominan/menonjol)
e. Penghindaran atau takut pada orang, tempat, objek tertentu, sikap menunduk,
takut (terutama jika ada pelaku)
f. Melaporkan faktor stres (misalnya keluarga tidak bekerja, perubahan finansial,
pola hidup, perselisihan dalam pernikahan)
g. Permusuhan terhadap/objek/tidak percaya pada orang lain
3. Eliminasi
a. Enuresisi, enkopresis.
b. Infeksi saluran kemih yang berulang.

15
c. Perubahan tonus sfingter.
4. Makan dan minum : Muntah sering, perubahan selera makan (anoreksia), makan
berlebihan, perubahan berat badan, kegagalan memperoleh berat badan yang sesuai .
5. Hygiene
a. Mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan kondisi cuaca (penganiayaan
seksual) atau tidak adekuat memberi perlindungan.
b. Mandi berlebihan/ansietas (penganiayaan seksual), penampilan kotor/tidak
terpelihara.
6. Neurosensori
a. Perilaku ekstrem (tingkah laku sangat agresif/menuntut), sangat amuk atau
pasivitas dan menarik diri, perilaku tidak sesuai dengan usia
b. Status mental : memori tidak sadar, periode amnesia, lap[oran adanya pengingatan
kembali. Pikiran tidak terorganisasi, kesulitan konsentrasi/membuat keputusan.
Afek tidak sesuai, mungkin sangat waspada, cemas dan depresi.
c. Perubahan alam perasaan, kepribadian ganda, cinta, kebaikan dan penyesalan
yang dalam setelah penganiayaan seksual terjadi.
d. Kecemburuan patologis, pengendalian impuls yang buruk, ketrampilan koping
terbatas, kurang empati terhadap orang lain.
e. Membantung. Menghisap jempol atau perilaku kebiasaan lain : gelisah (korban
selamat).
f. Manifestasi psikiatrik (misal : fenomena disosiatif meliputi kepribadian ganda
(penganiayaan seksual), gangguan kepribadian ambang (koeban inses dewasa)
g. Adanya defisit neurologis/kerusakaan SSP tanpa tanda-tanda cedera eksternal
7. Nyeri atau ketidaknyamanan
a. Bergantung pada cedera/bentuk penganiayaan seksual
b. Berbagai keluhan somatik (misalnya nyeri perut, nyeri panggul kronis, spastik
kolon, sakit kepala)
8. Keamanan
a. Memar, tanda bekas gigitan, bilur pada kulit, terbakar (tersiran air panas, rokok)
ada bagian botak di kepala, laserasi, perdarahan yang tidak wajar, ruam/gatal di
area genital, fisura anal, goresan kulit, hemoroid, jaringan parut, perubahan tonus
sfingter.
b. Cedera berulang, riwayat bermacam kecelakaan, fraktur/ cedera internal.

16
c. Perilaku mencederai diri sendiri (bunuh diri), keterlibatan dalam aktivitas dengan
risiko tinggi
d. Kurangnya pengawasan sesuai usia, tidak ada perhatian yang dapat menghindari
bahaya di dalam rumah
9. Seksualitas
a. Perubahan kewaspadaan/aktivitas seksual, meliputi masturbasi kompulsif,
permainan seks dewasa sebelum waktunya, kecenderungan mengulang atau
melakukan kembali pengalaman inses. Kecurigaan yang berlebihan tentang seks,
secara seksual menganiaya anak lain.
b. Perdarahan vagina , laserasi himen linier, bagian mukosa berlendir.
c. Adanya PMS, vaginitis, kutil genital atau kehamilan (terutama pada anak).
10. Interaksi sosial
Menarik diri dari rumah, pola interaksi dalam keluarga secara verbal kurang
responsif, peningkatan penggunaan perintah langsung dan pernyataan kritik,
penurunan penghargaan atau pengakuan verbal, merasa rendah diri. Pencapaian
prestasi di sekolah rendah atau prestasi di sekolah menurun.

B. Pohon Masalah

Isolasi social

Disfungsi seksualitas

Harga diri rendah

17
C. Intervensi Keperawatan
1. Harga diri rendah situasional
Tujuan dan Kriteria Hasil
NOC
 Body Image, disiturbed
 Coping, ineffective
 Personal identity, disturbed
 Health behavior, risk
 Self esteem situasional, low
Kriteria Hasil :
 Adaptasi terhadap ketunadayaan fisik : respon adaptif klien terhadap tantangan
fungsional penting akibat ketunadayaan fisik
 Resolusi berduka : penyesuaian dengan kehilangan aktual atau kehilangan yang
akan terjadi
 Penyesuaian psikososial : perubahan hidup : respon psikososial adaptiv
individu terhadap perubahan bermakna dalam hidup
 Menunjukkan Penilaian pribadi tentang harga diri
 Mengungkapkan penerimaan diri
 Komunikasi terbuka
 Mengatakan optimisme tentang masa depan
 Menggunakan strategi koping efektif
Intervensi Keperawatan
NIC
a. Self Esteem Enhancement
 Tunjukan rasa percaya diri terhadap kemampuan pasien untuk mengatasi
situasi
 Dorong pasien mengidentifikasi kekuatan dirinya
 Ajarkan keterampilan perilaku yang positif melalui bermain peran, model
peran, diskusi
 Dukung peningkatan tanggung jawab diri, jika diperlukan
 Buat statement positif terhadap pasien
 Monitor frekuensi komunikasi verbal pasien yang negative
 Dukung pasien untuk menerima tantangan baru
 Kaji alasan-alasan untuk mengkritik atau menyalahkan diri sendiri

18
 Kolaborasi dengan sumber-sumber lain (petugas dinas social, perawat
spesialis klinis, dan layanan keagamaan)
b. Counseling
 Menggunakan proses pertolongan interakftif yang berfokus pada
kebutuhan, masalah, atau perasaan pasien dan orang terdekat untuk
meningkatkan atau mendukung koping pemecahan masalah
c. Coping Enhancement
d. Body Image enhancement

2. Disfungsi seksualitas
Tujuan dan Kriteria Hasil
NOC
 Sexuality pattern, ineffective
 Self-esteem situasional low
 Rape trauma syndrome silent
 Reaction
 Knowledge : sexual functioning
Kriteria Hasil
 Pemulihan dan penganiayaan seksual
 Perubahan fisik dengan penuaan dari wanita dan pria
 Pengenalan dan penerimaan identitas seksual pribadi
 Mengetahui masalah reproduksi
 Control resiko penyakit menular seksual (PMS)
 Fungsi seksual : integrase aspek fisik,sosio emosi, dan intelektual ekspresi dan
ferforma seksual
 Menunjukan dapat beradaptasi dengan dengan ketidakmampuan fisik
mengontrol kecemasan
 Menunjukan pemulihan dari penganiayaan : seksual
 Mengungkapkan secara verbal pemahaman tentang pembatasan indikasi medis
 Meminta informasi yang dibutuhkan tentang perubahan fungsi seksual
penggunaan kontrasepsi yang efektif

19
Intervensi Keperawatan
NIC
 Membangun hubungan teraupetik, berdasarkan kepercayaan danrasa hormat
 Menetapkan panjang hubungan konseling
 Menyediakan privasi dan menjamin kerahasiaan
 Menginformasikan pasien diawal hubungan bahwa seksualitas adalah bagian
penting dari kehidupan dan bahwa penyakit, obat – obatan dan stress ( atau
masalah lain/pasien mengalami peristiwa) sering mengubah fungsi seksual
 Memberikan informasi tentang fungsi seksual. Sesuai :
 Kata pengantar pertanyaan tentang seksualitas dengan pernyataan yang
memberitahu pasien bahwa banyak orang mengalami kesulitan seksual
 Mulailah dengan topik – topik sensitive paling dan melanjutkan kelebih sensitive
 Diskusikan efek dari situasi penyakit/kesehatan pada seksualitas
 Diskusikan efek obat tentang seksualitas
 Diskusikan efek dan perubahan seksualitas pada orang lain yang signifikan
 Diskusikan tingkat pengetahuan pasien tentang seksualitas pada umumnya
 Dorong pasien untuk verbalisasi ketakutan dan mengjukan pertanyaan
 Mengidentifikasi tujuan pembelajaran yang diperlukan untuk mencapai tujuan
 Diskusikan diperlukan modifikasi dalam aktivitas seksual
 Membantu pasien untuk mengekspresikan kesedihan dan kemarahan tentang
perubahan dalam fungsi tubuh / penampilan
 Hindari menmpilkan keengganan untuk bagian tubuh yang berubah
 Perkenalkan pasien untuk model peran positif yang telah berhasil menaklukan
masalah yang sama
 Berikan informasi actual tentang mitos seksual danmis informasi yang pasien
dapat verbalisasi
 Diskusikan bentuk – bentuk alternatif dari ekspresi seksual yang diterima pasien
 Anjurkan pasien hanya pada teknik yang kompatible dengan nilai – nilai /
keyakinan
 Anjurkan pasien tentang penggunaan obat – obatan untuk meningkatkan
kemampuan untuk melakukan hubungan seksual
 Tentukan jumlah bersalah seksual yang berhubungan dengan persepsi pasien dan
faktor – faktor penyebab penyakit

20
 Hindari prematur mengakhiri diskusi perasaan bersalah, behkan ketika ini
tampaknya tidak masuk akal
 Sertakan pasangan / pasangan seksual dalam konseling sebanyak mungkin
 Gunakan humor dan dorong pasien untuk menggunakan humor untuk
menghilangakn kecemasan dan rasa malu
 Memberikan jaminan bahwa praktik seksual saat ini dan baru sehat
 Memberikan jaminan dan izin untuk bereksperimen dengan bentuk – bentuk
alternative dan ekspresi seksual
 Memberiak arahan atau konsultasi dengan anggota lain dan tim kesehatan
 Merujuk pasien ke terapi seks

3. isolasi social
Tujuan dan Kriteria Hasil
NOC
 Social interaction skills
 Stress level
 Sosial support
 Post-Trauma Syndrome
Kriteria Hasil :
 Iklim sosial keluarga : lingkungan yang mendukung yang bercirikan hubungan
dan tujuan anggota keluarga
 Partisipasi waktu luang : menggunakan aktivitas yang menarik, menyenangkan,
dan menenangkan untuk meningkat kesejahteraan
 Keseimbangan pada perasaan : mampu menyesuaikan terhadap emosi sebagai
respon terhadap keadaan tertentu
 Keparahan kesepian : mengendalikan keparahan respon emosi, sosial atau
eksistensi terhadap isolasi.
 Penyesuaian yang tepat terhadap tekanan emosi sebagai respon terhadap
keadaan tertentu
 Tingkat persepsi positif tentang status kesehatan dan status hidup individu
 Partisipasi dalam bermain, penggunaan aktivitas oleh anak usia 1-11 tahun untuk
meningkatkan kesenangan, hiburan, dan perkembangan
 Meningkatkan hubungan yang efektif dalam perilaku pribadi, Interaksi sosial
dengan orang, kelompok, atau organisasi

21
 Ketersediaan dan peningkatakan pemberian aktual bantuan yang andal dari
orang lain
 Mengungkapkan penurunan perasaan atau pengalaman diasingkan

Intervensi Keperawatan
NIC
a. Socialization enhacement
 Fasilitasi dukungan kepada pasien oleh keluarga, teman dan komunitas
 Dukung hubungan dengan orang lain yang mempunyai minat dan tujuan
yang sama
 Dorong melakukan aktivitas sosial dan komunitas
 Berikan uji pembatasan interpersonal
 Berikan umpan balik tentang peningkatan dalam perawatan dan
penampilan diri atau aktivitas lain
 Hadapkan pasien pada hambatan penilaian, jika memungkinkan
 Dukung pasien untuk mengubah lingkungan seperti pergi jalan-jalan dan
bioskop
 Fasilitasi pasien yang mempunyai penurunan sensory seperti penggunaan
kacamata dan alat pendengaran
 Fasilitasi pasien untuk berpartisipasi dalam diskusi dengan group kecil
 Membantu pasien mengembangkan atau meningkatkan keterampilan
sosial interpersonal
 Kurangi stigma isolasi dengan menghormati martabat pasien
 Gali kekuatan dan kelemahan pasien dalam berinteraksi sosial

22
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ketika seseorang mengalami kekerasan atau pelecehan secara seksual baik itu secara
fisik maupun psikologis, maka kejadian tersebut dapat menimbulkan suatu trauma yang
sangat mendalam dalam diri seseorang tersebut terutama pada anak-anak dan remaja. Dan
kejadian traumatis tersebut dapat mengakibatkan gangguan secara mental, yaitu Post
Traumatic Stress Disorder (PTSD). Tingkatan gangguan stress pasca trauma berbeda-beda
bergantung pada seberapa parah kejadian tersebut mempengaruhi kondisi psikologis dari
korban.
Untuk menyembuhkan gangguan stress pasca trauma pada korban kekerasan atau
pelecehan seksual diperlukan bantuan baik secara medis maupun psikologis, agar korban
tidak merasa tertekan lagi dan bisa hidup secara normal kembali seperti sebelum kejadian
trauma. Dan pendampingan itu sendiri juga harus dengan metode-metode yang benar
sehingga dalam menjalani penyembuhan atau terapi korban tidak mengalami tekanan-
tekanan baru yang diakibatkan dari proses pendampingan itu sendiri.

B. Saran
Diharapakan setelah membaca makalah ini, pembaca mampu mengetahui, memahami
tentang asuhan keperawatan pada anak dengan korban pemerkosaan serta mampu
menerapkannya.
Kami mengetahui masih banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh sebab itu kami
mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun untuk makalah selanjutnya.

23
DAFTAR PUSTAKA

Kusumawati dan Hartono . 2010 . Buku Ajar Keperawatan Jiwa . Jakarta : Salemba Medika
Stuart dan Sundeen . 2005 . Buku Keperawatan Jiwa . Jakarta : EGC .
Keliat Budi Ana. 1999. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa edisi I. Jakarta : EGC
Nita Fitria. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan untuk 7 Diagnosis Keperawatan Jiwa Berat.
Jakarta: Salemba Medika.
Rasmun, (2001). Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan
Keluarga. Konsep, Teori, Asuhan Keperawatan dan Analisa Proses Interaksi
(API). Jakarta : fajar Interpratama.
Yosep , iyus. 2011. Keperawatan Jiwa. Bandung : PT. Refika Aditama

24

Anda mungkin juga menyukai