Anda di halaman 1dari 24

'Menghadapi Stigma MOOI Indie', 47

Lukisan Bunawijaya Dipajang di Jakarta


Kamis, 21 Des 2017 13:20 WIB · Tia Agnes - detikHOT
'Menghadapi Stigma MOOI Indie', 47
Lukisan Bunawijaya Dipajang di Jakarta Foto:
Galeri Nasional Indonesia
Jakarta - Bunawijaya dikenal sebagai
seniman yang masuk dunia seni rupa sekitar
20 tahun yang lalu. Tak pernah menjalani
pendidikan formal seni rupa, dia justru eksis
berkarier dan menghadapi stigma MOOI Indie
di antara gaya abstrak dan seni instalasi yang
berkembang saat ini. Dikuratori oleh Jim
Supangkat, pameran yang dibuka pada Selasa
(19/11) lalu, itu menampilkan 47 lukisan
karya Bunawijaya serta dilengkapi oleh interaksi dengan Eldwin Pradipta. Jim Supangkat
mengatakan Bunawijaya bisa bertahan dan berada di posisi antara 'pendatang' yang tidak terpental.
"Bunawijaya bahkan bisa mempertahankan pandangan-pandangannya dan tidak terpengaruh
wacana-wacana dominan di dunia seni rupa, termasuk stigma MOOI Indië," ujar Jim Supangkat
dalam keterangan yang diterima, Kamis (21/12/2017).
Bunawijaya kerap melukis
lukisan pemandangan alam. Di
zaman kemerdekaan, lukisan
pemandangan alam malah disebut-
sebut 'lukisan pinggir jalan' karena
dijajakan di taman-taman kota dan
emperan toko. "Dalam menghadapi
stigma Mooi Indië, Bunawijaya tak
gentar. Ia tidak ikut-ikutan membuat
lukisan abstrak, atau karya instalasi.
Ia tetap melukis pemandangan alam karena ia pencinta alam," kata dia. Lukisan-lukisan
Bunawijaya yang dipamerkan kali ini mulai dari landscap-idiom lalu merambah seascape yang
digunakan untuk menampilkan misteri alam. Sampai lukisan rekaan realitas alam yang tidak ada
dalam kenyataan. Sebelum dipajang di Galeri Nasional Indonesia, karya Bunawijaya dipamerkan
di Selasar Sunaryo Art Space Bandung pada 10 November lalu. Eksibisi menghadirkan 47 lukisan
karya Bunawijaya dan interaksi dengan Eldwin Pradipta dalam video projection berjudul "New
Seascape".

(tia/tia)
Bunawijaya Gelar Pameran Tunggal di Galeri
Nasional
Rabu, 20 Desember 2017 14:54

Warta Kota/Feryanto Hadi


Salah satu lukisan karya seniman
Bunawijaya yang dipamerkan di
Gedung A Galeri Nasional Indonesia,
Jalan Medan Merdeka Timur No. 14
Jakarta Pusat, mulai 19 Desember
hingga 5 Januari 2017.

Galeri Nasional Indonesia menggelar


pameran lukisan karya seniman
Bunawijaya. Bertempat di Gedung A
Galeri Nasional Indonesia, Jalan Medan
Merdeka Timur No. 14 Jakarta Pusat,
sebanyak 47 karya akan dipajang mulai 19 Desember hingga 5 Januari 2018.

Bunawijaya, anggota masyarakat yang masuk dunia seni rupa sekitar 20 tahun lalu dengan
maksud menjadi pelukis. Bunawijaya tidak pernah menjalani pendidikan formal di bidang seni
rupa. Ia tidak bergaul dengan para seniman sebelumnya, dan, ia bukan kolektor yang biasanya
dekat dengan para seniman. Karena itu seperti anggota masyarakat lain, Bunawijaya tidak
mengenal berbagai wacana seni rupa yang memang tidak pernah meluas ke masyarakat
(menunjukkan kesenjangan dunia seni rupa dengan masyarakat). Begitulah tulisan Jim Supangkat
dalam kuratorialnya.

Sebagai kurator, Jim mengungkap bahwa biasanya “para pendatang” seperti Bunawijaya
tidak bertahan lama di dunia seni rupa, terpaksa menyingkir. "Namun Bunawijaya bisa bertahan
dan termasuk di antara sangat sedikit pendatang yang tidak terpental. Bunawijaya bahkan bisa
mempertahankan pandangan-pandangannya dan tidak terpengaruh wacana-wacana dominan di
dunia seni rupa, termasuk stigma Mooi Indië," jelas Jim Supangat, Rabu (20/12/2017).

Lukisan pemandangan alam seperti karya Bunawijaya, dicemooh sejak zaman kolonial
sebagai lukisan mooi Indië (Hindia molek) yang dibuat sekadar untuk memenuhi kebutuhan orang-
orang Belanda membawa pulang kenangan tentang keindahan Hindia Belanda. "Pada zaman
kemerdekaan, lukisan-lukisan pemandangan alam ini malah disebut-sebut lukisan pinggir jalan
karena dijajakan di taman-taman kota dan emperan toko-toko," imbuhnya.
Dalam menghadapi stigma Mooi Indië, Bunawijaya tak gentar. Ia tidak ikut-ikutan
membuat lukisan abstrak, atau karya instalasi. Ia tetap melukis pemandangan alam karena ia
pencinta alam. Dengan keyakinan yang tidak terdominasi ini, Bunawijaya ternyata bisa
menampilkan karya-karya bermakna seperti terlihat pada pameran ini, Pameran Tunggal
Bunawijaya “Menghadapi Stigma Mooi Indië”. Dalam pameran ini, ditunjukkan lukisan-lukisan
representasi perkembangan kekaryaan Bunawijaya, juga kiprahnya di dunia seni rupa yang mampu
bertahan hingga saat ini.

Mulai dari lukisan pemandangan alam atau landscape–idiom yang lazim digunakan untuk
menyajikan keindahan yang membangkitkan rasa nyaman– karena ia seorang pemburu dan
pencinta alam yang sering keluar-masuk hutan. Kemudian merambah ke seascape, idiom yang
sering digunakan untuk menampilkan misteri alam. Di sini, Bunawijaya mulai melukis langit,
awan dan horizon.

Ia tidak lagi harus menjelajahi alam untuk mencari obyek lukisan, Bunawijaya kini juga
menggunakan literatur dan hasil fotografi di jaringan internet. Kecenderungan baru itu membuat
lukisan-lukisan Bunawijaya sesudah 2015 tidak lagi menyalin realitas alam. Lukisan-lukisannya
menampilkan rekaan realitas alam yang tidak ada dalam kenyataan. Untuk menegaskan
perkembangan tersebut, pameran tunggal Bunawijaya pada 2017 ini dilengkapi interaksi dengan
Eldwin Pradipta yang dikenal sebagai seniman video.

Karya Bunawijaya dan interaksi dengan Eldwin Pradipta dalam Pameran Tunggal
Bunawijaya “Menghadapi Stigma Mooi Indië” merupakan pameran keliling, karena sebelumnya
sebagian karya-karya tersebut telah dipamerkan di Selasar Sunaryo Art Space Bandung, pada 10
November – 10 Desember 2017. Kala itu, pameran sekaligus dibarengi peluncuran buku "Buna,
Suka Duka Sang Kelana" terbitan KPG yang ditulis oleh Jean Couteau.

Sumber : http://wartakota.tribunnews.com/2017/12/20/bunawijaya-gelar-pameran-tunggal-di-
galeri-nasional?page=2
Kesetiaan Bunawijaya pada Mooi Indie
Rabu, 20 Desember 2017 11:59 WIB
Reportase : Bayu Adji Prihammanda
Editor : Admin
Pelukis Bunawijaya. (HARIAN NASIONAL | BAYU ADJI PRIHAMMANDA)

Mooi Indie (Hindia Molek) acap kali


dianggap karya seni rupa bernilai rendah. Pada
zaman Hindia Belanda, istilah Mooi Indie
ditujukan pada lukisan tentang keindahan
alam Nusantara untuk kesenangan para
petinggi saja.

Tak sampai di situ, stigma negatif tentang


Mooi Indie terus berlanjut pada zaman
kemerdekaan. Lukisan pemandangan
disetarakan dengan lukisan pinggir jalan.

Namun, ketika para seniman mulai meninggalkan Mooi Indie dalam perspektif karya dan
beralih membuat lukisan abstrak, Bunawijaya tetap bertahan melukis pemandangan alam.
Itu dibuktikannya dalam pameran tunggal bertema Menghadapi Stigma Mooi Indie yang
menampilkan 47 karya Bunawijaya. Pameran juga menampilkan karya interaksi bersama Eldwin
Pradipta di Galeri Nasional, 19 Desember2017-5 Januari 2018.

Kurator pameran Jim Supangat mengatakan, selama 20 tahun berkarya, Bunawijaya tak
pernah gentar menghadapi stigma negatif Mooi Indie. Menurutnya, Buna tetap melukis sebagai
dirinya sendiri bukan berdasarkan wacana yang berkembang.
"Karena dia pencinta alam secara otomatis dia melukis pemandangan alam," katanya saat
konferensi pers di Jakarta, Selasa (19/12).

Ketika Buna masuk dunia seni rupa, kata Jim, ia memang agak dicemooh. Jim mengatakan,
Buna bukanlah seniman yang datang dari institusi maupun kalangan seniman. Buna adalah
masyarakat biasa yang masuk ke dunia seni rupa. Namun, ketika hampir semua pelukis
menyingkir, Buna tetap mempertahankan gaya seni rupanya.
Sementara, Bunawijaya mengatakan, dirinya tetap bertahan melukis alam karena memang alam
memberikannya ketenangan. "Karena saya mencintai alam. Alam itu begitu indahnya," katanya.
Menurutnya, selain memberikan ketenangan, melukis alam juga memberikan kebahagiaan bagi
orang yang melihatnya.

Sumber : http://www.harnas.co/2017/12/20/kesetiaan-bunawijaya-pada-mooi-indie
Selasar Sunaryo Art Space : Pameran Tunggal
Bunawijaya “Menghadapi Stigma Mooi
Indië”
by Koran Yogya · November 7, 2017

10 – 26 November 2017 | Bale Tonggoh SSAS


19 Desember 2017 – 5 Januari 2018 | Galeri Nasional Indonesia
Kurator: Jim Supangkat

Pembukaan Pameran
Jumat 10 November 2017
19.00 WIB | Bale Tonggoh
Selasar Sunaryo Art Space

 Kiri: Bunawijaya,
Lingkaran Kaki Langit IV.
Acrylic and Fiber Resin on
Canvas, diameter 170 cm,
2017.
 Kanan: Eldwin
Pradipta, New Seascape.
Video Projection, diameter
350 cm, 2017.

Pada zaman kolonial lukisan pemandangan alam dijuluki lukisan mooi Indië (Hindia
molek) yang sekadar memenuhi kebutuhan orang-orang Belanda membawa pulang kenang-
kenangan tentang keindahan Hindia Belanda. Pada zaman kemerdekaan, lukisan ini malah disebut-
sebut, “lukisan pinggir jalan.” Hal ini disebabkan uraian S. Sudjojono yang menyederhanakan seni
lukis pemandangan alam sebagai, “Semua serba bagus dan romantis, tenang dan damai. Lukisan-
lukisan tadi tidak lain hanya mengandung satu arti: Mooi Indië.

” Kekaburan itu membuat kritik mooi Indië menyasar secara liar wacana seni lukis
pemandangan alam. Bersamaan dengan ini ujaran sinis mooi Indië yang menempel pada lukisan-
lukisan mereka, merusak citra lukisan pemandangan alam dan menjadi stigma wacana seni lukis
pemandangan alam pada sejarah seni rupa Indonesia. Sampai sekarang. Stigma mooi Indië itulah
yang dihadapi Bunawijaya. Ia pencinta alam yang melukis pemandangan alam. Seperti lukisan
pemandangan alam lain, lukisannya dianggap sejenis lukisan mooi Indië. Adanya stigma itu tidak
membuat Bunawijaya berhenti.

Ia memutuskan untuk terus melukis berdasarkan keyakinannya sendiri, dan survived.


Sesudah 2015 lukisan-lukisannya memperlihatkan perhatian pada langit, awan dan horison. Untuk
menampilkan ketiganya ia mulai menjelajahi seascape, idiom yang sering digunakan untuk
menampilkan misteri alam. Ia meninggalkan landscape, idiom yang lazim digunakan untuk
menyajikan keindahan yang membangkitkan rasa nyaman. Pada perkembangan baru ini
ungkapannya berpangkal pada ide dan imajinasi di mana pengalaman merasakan keindahan bisa
lebih intensif bersentuhan dengan renungan, bahkan pemikiran.

Menegaskan perkembangan itu, pameran tunggal Bunawijaya pada 2017 ini dilengkapi
interaksi dengan Eldwin Pradipta, yang dikenal sebagai seniman video. Eldwin Pradipta
mengangkat gambaran pada seri lukisan seascape Bunawijaya, kemudian menggerakkan awan,
riak-riak laut, dan, ombak yang menerpa batu karang di pusat seascape untuk menampilkan rekaan
realitas yang tidak ada dalam kenyataan. Komunike

Sumber : https://koranyogya.com/selasar-sunaryo-art-space-pameran-tunggal-bunawijaya-
menghadapi-stigma-mooi-indie/
Pameran tunggal Bunawijaya 'Menghadapi
Stigma Mooi Indie' hadir di Selasar Sunaryo
Pameran ini disusun sebagai pameran keliling yang dimulai dari SSAS, Bandung kemudian ke
Galeri Nasional Indonesia, Jakarta.

Pameran tunggal Bunawijaya. ©2016 Merdeka.com Reporter : Astri Agustina | Senin, 06


November 2017 11:05
Bandung - Pada zaman kolonial lukisan
pemandangan alam dijuluki lukisan mooi IndieÌ (Hindia
molek) yang sekadar memenuhi kebutuhan orang-orang
Belanda membawa pulang kenang-kenangan tentang
keindahan Hindia Belanda. Pada zaman kemerdekaan,
lukisan ini malah disebut-sebut, “lukisan pinggir
jalan.”.

Dari siaran berita yang diterima Merdeka Bandung, hal


tersebut disebabkan uraian S. Sudjojono yang
menyederhanakan seni lukis pemandangan alam sebagai, “Semua serba bagus dan romantis,
tenang dan damai. Lukisan- lukisan tadi tidak lain hanya mengandung satu arti: Mooi Indie.”
Kekaburan itu membuat kritik mooi IndieÌ menyasar secara liar wacana seni lukis pemandangan
alam.

Bersamaan dengan ini ujaran sinis mooi Indie yang menempel pada lukisan-lukisan
mereka, merusak citra lukisan pemandangan alam dan menjadi stigma wacana seni lukis
pemandangan alam pada sejarah seni rupa Indonesia. Sampai sekarang. Stigma mooi Indie itulah
yang dihadapi Bunawijaya. Ia pencinta alam yang melukis pemandangan alam. Seperti lukisan
pemandangan alam lain, lukisannya dianggap sejenis lukisan mooi IndieÌ. Adanya stigma itu tidak
membuat Bunawijaya berhenti. Ia memutuskan untuk terus melukis berdasarkan keyakinannya
sendiri, dan survived.

Sesudah 2015 lukisan-lukisannya memperlihatkan perhatian pada langit, awan dan


horison. Untuk menampilkan ketiganya ia mulai menjelajahi seascape, idiom yang sering
digunakan untuk menampilkan misteri alam. Ia meninggalkan landscape, idiom yang lazim
digunakan untuk menyajikan keindahan yang membangkitkan rasa nyaman. Pada perkembangan
baru ini ungkapannya berpangkal pada ide dan imajinasi di mana pengalaman merasakan
keindahan bisa lebih intensif bersentuhan dengan renungan, bahkan pemikiran. Menegaskan
perkembangan itu, pameran tunggal Bunawijaya pada 2017 ini dilengkapi interaksi dengan Eldwin
Pradipta, yang dikenal sebagai seniman video.

Eldwin Pradipta mengangkat gambaran pada seri lukisan seascape Bunawijaya, kemudian
menggerakkan awan, riak-riak laut, dan, ombak yang menerpa batu karang di pusat seascape untuk
menampilkan rekaan realitas yang tidak ada dalam kenyataan. Pameran ini disusun sebagai
pameran keliling yang dimulai dari SSAS, Bandung kemudian ke Galeri Nasional Indonesia,
Jakarta. Selain pameran, budayawan Jean Couteau juga akan membedah buku biografi “Buna,
Suka Duka Sang Kelana” untuk mengenalkan lebih jauh riwayat hidup dan petualangan
Bunawijaya di dunia seni rupa. Diselenggarakan di Selasar Sunaryo Art Galery, pameran ini akan
berlangsung hingga 26 November 2017. Rencananya, pameran sendiri akan dibuka mulai Jumat
(10/11) mendatang.

Sumber : https://bandung.merdeka.com/gaya-hidup/pameran-tunggal-bunawijaya-menghadapi-
stigma-mooi-indie-hadir-di-selasar-sunaryo-171106g.html
Pameran Tunggal Bunawijaya di Galeri
Nasional
Desember 19 / 2017
22:07 WIB
Oleh : Ilman A. Sudarwan
Salah satu lukisan Bunawijaya - Istimewa
Editor : M. Syahran W. Lubis

Bisnis.com, JAKARTA - Pameran tunggal


seniman Bunawijaya resmi dibuka pada Selasa
(19/12/2017) malam di Galeri Nasional, Jakarta.
Pameran bertajuk Menghadapi Stiga Mooi Indie
tersebut menampilkan 47 lukisan karya
Bunawijaya. Beberapa dari karyanya sudah pernah
dipamerkan di Bandung, Jawa Barat.

Dalam pameran ini ada juga karya video art


yang dibuat oleh seniman Edwin Pradipta. Masih
dengan nafas yang sama, karya Edwin juga masih
menampilkan gambaran yang senada dengan karya
Bunawijaya secara keseluruhan. Pameran ini dikuratori oleh kurator senior Jim Supangkat. Dalam
catatan kuratorialnya, Jim menuliskan bahwa Bunawijaya adalah segelintir seniman yang tetap
konsisten berkarya tanpa terpengaruh oleh permasalahan wacana di dunia seni rupa Indonesia.

"Bunawijaya tidak mengenal berbagai wacana seni rupa yang memang tidak pernah meluas
ke masyarakat [menunjukkan kesenjangan dunia seni rupa dengan masyrakat]," tulisnya. Karya-
karya yang ditampilkan akan merepresentasikan perkembangan Bunawijaya sebagai seorang
seniman. Dari mulai pemandangan alam yang serba hijau dan asri sampai lukisan pemandangan
yang mulai bicara tentang laut. Eksplorasi teknik juga akan semakin terlihat dalam karya-karya
tersebut.

Pameran ini akan dilangsungkan selama kurang dari satu bulan. Pameran ini akan berakhir
pada 5 Januari 2018 mendatang. Bagi Anda yang berminat, bisa datang tanpa mengeluarkan
sepeserpun. Pameran ini akan terpotong libur natal dan tahun baru.

Sumber : http://lifestyle.bisnis.com/read/20171219/230/719970/pameran-tunggal-bunawijaya-di-
galeri-nasional
Pameran Tunggal Bunawijaya Bertajuk
Menghadapi Stigma Mooi Indi Dihelat di
Galnas
Desember 19 / 2017
16:59 WIB
Oleh : Dika Irawan

Pelukis Bunawijaya

Bisnis.com, JAKARTA – Pameran


tunggal Bunawijaya akan dihelat di Galeri
Nasional Indonesia, Jakara, pada 19 – 5 Januari
2018. Pameran tersebut menampilkan 47
lukisan karya Bunawijaya serta interaksi dengan
Eldwin Pradipta dalam proyek video berjudul
New Seascape.

Kurator Pameran Jim Supangkat


mencatat Bunawijaya adalah anggota
masyarakat yang masuk dunia seni rupa sekitar
20 tahun lalu dengan maksud menjadi pelukis.
Bunawijaya tidak pernah menjalani pendidikan formal di bidang seni rupa. Dia tidak bergaul
dengan para seniman sebelumnya, dan, ia bukan kolektor yang biasanya dekat dengan para
seniman.

“Karena itu seperti anggota masyarakat lain, Bunawijaya tidak mengenal berbagai wacana
seni rupa yang memang tidak pernah meluas ke masyarakat,” katanya dalam keterangan tertulis,
Selasa (19/12/2017). Jim mengungkap bahwa biasanya “para pendatang” seperti Bunawijaya tidak
bertahan lama di dunia seni rupa, terpaksa menyingkir. Namun, Bunawijaya bisa bertahan dan
termasuk di antara sangat sedikit “pendatang” yang tidak terpental. Sebaliknya, Bunawijaya
bahkan bisa mempertahankan pandangan-pandangannya dan tidak terpengaruh wacana-wacana
dominan di dunia seni rupa, termasuk stigma Mooi Indië.

Lukisan pemandangan alam seperti karya Bunawijaya, dicemooh sejak zaman kolonial
sebagai lukisan mooi Indië (Hindia molek) yang dibuat sekadar untuk memenuhi kebutuhan orang-
orang Belanda membawa pulang kenangan tentang keindahan Hindia Belanda. Pada zaman
kemerdekaan, lukisan-lukisan pemandangan alam ini malah disebut-sebut “lukisan pinggir jalan”
karena dijajakan di taman-taman kota dan emperan toko-toko. Dalam menghadapi stigma Mooi
Indië, Bunawijaya tak gentar. Dia tidak ikut-ikutan membuat lukisan abstrak, atau karya instalasi.
Dia tetap melukis pemandangan alam karena dia pencinta alam. Dengan keyakinan yang tidak
terdominasi ini, Bunawijaya ternyata bisa menampilkan karya-karya bermakna seperti terlihat
pada pameran ini, Pameran Tunggal Bunawijaya “Menghadapi Stigma Mooi Indië”.
Dalam pameran ini, ditunjukkan lukisan-lukisan representasi perkembangan kekaryaan
Bunawijaya, juga kiprahnya di dunia seni rupa yang mampu bertahan hingga saat ini. Mulai dari
lukisan pemandangan alam atau landscape–idiom yang lazim digunakan untuk menyajikan
keindahan yang membangkitkan rasa nyaman– karena dia seorang pemburu dan pencinta alam
yang sering keluar-masuk hutan.

Kemudian merambah ke seascape, idiom yang sering digunakan untuk menampilkan


misteri alam. Di sini, Bunawijaya mulai melukis langit, awan dan horizon. Dia tidak lagi harus
menjelajahi alam untuk mencari obyek lukisan, Bunawijaya kini juga menggunakan literatur dan
hasil fotografi di jaringan internet. Kecenderungan baru itu membuat lukisan-lukisan Bunawijaya
sesudah 2015 tidak lagi menyalin realitas alam. Lukisan-lukisannya menampilkan rekaan realitas
alam yang tidak ada dalam kenyataan. Untuk menegaskan perkembangan tersebut, pameran
tunggal Bunawijaya pada 2017 ini dilengkapi interaksi dengan Eldwin Pradipta yang dikenal
sebagai seniman video.

Karya Bunawijaya dan interaksi dengan Eldwin Pradipta dalam Pameran Tunggal
Bunawijaya “Menghadapi Stigma Mooi Indië” merupakan pameran keliling, karena sebelumnya
sebagian karya-karya tersebut telah dipamerkan di Selasar Sunaryo Art Space Bandung, pada 10
November – 10 Desember 2017. Kala itu, pameran sekaligus dibarengi peluncuran buku "Buna,
Suka Duka Sang Kelana" terbitan KPG yang ditulis oleh Jean Couteau.

Sumber : http://lifestyle.bisnis.com/read/20171219/220/719758/pameran-tunggal-bunawijaya-
bertajuk-menghadapi-stigma-mooi-indi-dihelat-di-galnas
Sumber : https://www.youtube.com/watch?v=R1ssQsoF0TU
Sumber : https://kompas.id/baca/dikbud/2017/12/27/mooi-indie-dan-konsistensi-bunawijaya/
Sumber dari Instagram :

Anda mungkin juga menyukai