Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi urogenitalis adalah infeksi pada traktus urinarius dan infeksi pada
traktus genitalis. Infeksi traktus urinarius dapat terjadi mulai infeksi pada kaliks
renalis sampai meatus uretra.(1) Sedangkan infeksi traktus genitalis dapat terjadi mulai
vulva, vagina dan serviks (infeksi rendah), sampai infeksi pada uterus, tuba, ovarium,
parametrium serta peritoneum (infeksi tinggi).(2)
Kolonisasi bakteri pada uretra dapat digambarkan dari bakteri vagina. (3)
Bakteri penyebab infeksi traktus urinarius merupakan bakteri yang berasal dari flora
rektum, terutama oleh E coli dan enterobakteria.(1,4,5,6) Sumber bakteri yang sering
menyebabkan infeksi pelvis adalah vagina.(7) Sedangkan penyebab penyakit menular
seksual (PMS) adalah bakteri, protozoa, virus, jamur, serta parasit. (8) Sumber infeksi
yang potensial pada pemeriksaan ultrasonography (USG) transvaginal meliputi
human immunodeficiency virus (HIV), hepatitis B virus (HBV), hepatitis C virus
(HCV), sitomegalovirus, niseria gonore, klamidia trakomatis dan trikomonas
vaginalis.(9) Infeksi pasca operasi ginekologi biasanya disebabkan oleh bakteri
endogen dan lingkungannya.(10) Dan sumber infeksi akseptor alat kontrasepsi dalam
rahim (AKDR) biasanya adalah gonore dan klamidia.(11)
Seiring dengan peningkatan usia, insiden infeksi traktus urinarius meningkat
kurang lebih 2% sampai 20%.(12) Di USA, setiap tahun lebih kurang 3 juta remaja
menderita PMS, yang mengenai 1 dari 4 usia belasan tahun yang telah melakukan
hubungan seksual.(13) Infeksi traktus ginekologi pasca operasi histerektomi
sebesar 9-50%.(14) Pada tahun pertama insersi AKDR, lebih kurang 19,3% akseptor
mengalami infeksi genitalis.(15)
Pencegahan infeksi berarti menghentikan masuknya organisme infeksius (germ)
dari individu yang satu ke individu lainnya. (16) Dalam tinjauan pustaka ini, dibahas 5
upaya pencegahan infeksi, yaitu: prevensi infeksi traktus urinarius, prevensi PMS,
prevensi infeksi pada pemeriksaan USG, prevensi infeksi pasca operasi ginekologi,
serta prevensi infeksi pada penggunaan AKDR.

1
BAB. II
PREVENSI INFEKSI UROGENITALIS

2.1. Definisi Infeksi Urogenitalis


Kita hidup dalam alam dengan kehidupan organisme lain, dimana kita selalu
kontak dengan bakteri, fungi, virus, dan berbagai bentuk kehidupan parasit.
Dikatakan terjadi infeksi bila mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh
menyebabkan berbagai gangguan fisiologis tubuh, sehingga timbul penyakit infeksi.
(16)

Infeksi urogenitalis adalah infeksi pada traktus urinarius dan infeksi pada
traktus genitalia. Infeksi traktus urinarius/saluran kemih dapat terjadi mulai dari
kaliks renalis sampai meatus uretra.(1) Sedangkan infeksi traktus genitalis dapat terjadi
mulai vulva, vagina dan serviks (infeksi rendah), sampai infeksi pada uterus, tuba,
ovarium, parametrium serta peritoneum (infeksi tinggi).(2)

2.2. Kausa Infeksi Urogenitalis


Penyebab infeksi saluran kencing antara lain adalah: bakteri aerob gram
negatif (E coli),(1,4,5,6) kokus gram positif (enterokokus),(4,5,6) serta klebsiela
enterobakter.(1,3,4,6) Penyebab lainnya adalah: proteus mirabilis,(4,6) pseudomonas,(6)
stafilokokus epidermidis, dan stafilokokus aureus.(4) Hampir seluruh organisme
tersebut normal berada sebagai flora fekalis.(6) Kasus-kasus dengan abnormalitas
anatomi atau fungsi saluran kencing (seperti misalnya: divertikula vesika urinaria,
kista renal, striktur uretra, serta neurogenik bladder) lebih sering mengalami infeksi
oleh proteus, klebsiela, atau spesies enterobakter.(4) Anomali lainnya seperti misalnya
obstruksi traktus urinarius, refluks, atau batu ginjal juga meningkatkan risiko
terjadinya infeksi traktus urinarius.(12)
Infeksi saluran kencing tersebut jarang disebabkan oleh bakteri anaerobik, (1,5) proteus
vulgaris, morgagni,(6) serta oleh bakteri batang gram positif. (5)

2
Beberapa organisme yang memerlukan teknik khusus untuk dapat
diidentifikasi juga dapat infeksius, khususnya pada traktus urogenitalis bagian bawah
(seperti klamidia trakomatis, urea plasma urealitikum, gardnerela vaginalis).(5)
Shortliffe et al., 1986, menjumpai bahwa kolonisasi bakteri pada mukosa
vagina dan uretra mendahului terjadinya bakteriuria. Yang membentuk koloni pada
introitus vagina tersebut adalah enterobakteria dari flora rektum. Ia menambahkan
bahwa kolonisasi bakteri pada uretra dapat digambarkan dari bakteri vagina, dan
beberapa ribu kultur yang telah dilakukan ternyata menunjukkan hasil bakteriologis
yang sama. Sehingga urolog hanya memerlukan kultur introitus vagina untuk dapat
mengetahui gambaran bakteriologi dari uretra. Kolonisasi introitus vagina dengan
enterobakter mengawali terjadinya bakteriuria.(3)
Bremnor et al., 2002, menyatakan bahwa struktur sistem saluran kencing
berupa saluran atau tubulus memudahkan terjadinya infeksi bagi bakteri koliform.
Bakteri tersebut dapat mencapai meatus uretra melalui hubungan seksual atau
kontaminasi lokal untuk kemudian naik menuju organ yang dituju. Disuria,
didefinisikannya sebagai perasaan nyeri, terbakar, dan ketidaknyamanan dalam
berkemih, lebih sering terjadi pada wanita muda yang mungkin disebabkan oleh
aktivitas seksual mereka yang tinggi.(4)
Faktor vagina kadang-kadang memberi kontribusi bagi kolonisasi organisme-
organisme patogen termasuk higiene rektal dan perianal yang buruk atau peningkatan
pH vagina setelah menopause.(12) Flora normal pada daerah periuretra membentuk
pertahanan terhadap terbentuknya kolonisasi bakteri patogen. Perubahan dari
lingkungan tersebut, yang disebabkan karena perubahan lokal pH atau kadar estrogen
atau penggunaan agen-agen antimikroba, dapat mengubah flora protektif yang ada
dan mengakibatkan bakteri patogen mampu membentuk koloni pada daerah tersebut.
(5)

Uretra yang pendek serta meatus uretra yang terbuka ke vagina rupanya
meningkatkan risiko infeksi traktus urinarius. Risiko infeksi traktus urinarius juga
meningkat pada penderita dengan dehidrasi kronis yang jarang mengosongkan

3
kandung kencingnya atau pada penderita yang memiliki residu persisten setelah
mengosongkan kandung kencingnya.(12)
Govan ADT et al., 1993, menyatakan bahwa lebih kurang 20% dari seluruh
pasien yang datang berobat ke klinik ginekologi mengeluhkan keputihan,
mengindikasikan terdapatnya infeksi. Dan 90% dari seluruh kasus infeksi yang ada
seringkali merupakan inflamasi sedang yang disebabkan oleh salah satu dari ketiga
penyebab sebagai berikut: kandida albikans, gardnerela vaginalis, dan trikomonas
vaginalis.(17) Radang alat kandungan lebih sering terjadi di negara tropis, diantaranya
disebabkan karena kurangnya higiene dan infeksi veneris yang belum terkendali.(2)
pH cairan vagina bervariasi antara 4,0 dan 4,4 pada wanita yang sehat.(18,19)
Terdapat berbagai faktor yang mengakibatkan peningkatan pH vagina. Faktor-faktor
tersebut termasuk antara lain hubungan seksual (sampai dengan 12 jam setelahnya),
pengobatan dengan antibiotika, reaksi inflamasi serta hadirnya berbagai
mikroorganisme.(19) Alkalisasi yang berulang dari vagina, yang terjadi pada hubungan
seksual atau penggunaan douches yang seringkali dilakukan berperan dalam
terjadinya gangguan flora normal vagina tersebut. Setelah hilangnya laktobasilus
penghasil hidrogen peroksida, maka sulit untuk menyeimbangkan kembali flora
vagina yang normal.(18) Hanna et al. mengisolasi adanya klamidia trakomatis (27%),
mikoplasma hominis (80%), ureaplasma urealitikum (88%), trikomonas vaginalis
(27%), dan kandida albikans (12%) pada 51 wanita yang memiliki pH antara 6,0 dan
7,5. Kelompok wanita dengan pH vagina antara 5,0 dan 5,5 ternyata secara bermakna
jauh lebih jarang mengalami kejadian infeksi (mikroorganisme tersebut di atas) jika
dibandingkan dengan kelompok wanita dengan pH antara 6,0 dan 7,5. Temuan
tersebut mendukung pendapat bahwa pH vagina meningkat jika terjadi infeksi pada
vagina.(19)
Hager WD, 1997, menjumpai jumlah rata-rata bakteri pada sekresi vagina
adalah 108 sampai 109 bakteri/mL, dengan spesies yang berbeda. Bakteri aerob yang
terbanyak adalah spesies laktobasilus, gardnerela vaginalis, stafilokokus epidermidis,
spesies korinebakterium, enterokokus faesilis, spesies streptokokus, dan
enterobakteria. Kuman anaerob: spesies peptostreptokokus, spesies peptokokus,

4
prevotela bivia, prevotela disiens, dan anggota dari kelompok bakteriodes fragilis.
Bakteri yang sama seringkali diisolasi dari tempat infeksi pelvis diantara wanita yang
menjalani pembedahan ginekologi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa infeksi
pelvis secara prinsip disebabkan oleh bakteri endogen. Pembedahan itu sendiri
mengubah jumlah serta jenis bakteri pada vagina dan serviks. Setelah histerektomi
abdominal dan vagina, terjadi penurunan jumlah laktobasilus, namun sebaliknya
terjadi peningkatan jumlah bakteri batang gram negatif fakultatif, kelompok spesies
bakteriodes fragilis dan enterokokus. Rawat inap sebelum operasi pada bangsal
ginekologi juga mengubah flora vagina menuju organisme yang lebih virulen.(7)
Penyebab PMS dapat dikelompokkan sebagai berikut: (1). Bakteri: treponema
palidum, niseria gonore, klamidia trakomatis, haemofilus dukreyi, kalimatobakterium
granulomatis, gardnerela vaginalis, dll.; (2). Protozoa: trikomonas vaginalis;
(3).Virus: virus herpes simpleks, virus papiloma humanus, virus poks, virus HIV tipe
1 dan 2, virus hepatitis B, dll.;(4). Jamur: kandida albikans, serta (5). Parasit: ptirus
pubis, sarkopti skabei.(8)
Sebagian besar kasus penyakit radang panggul (PRP) juga disebabkan oleh
mikroorganisme penyebab PMS, antara lain niseria gonore dan klamidia trakomatis.
(18,20,21,22,23)
Dan pengobatan yang dilakukan haruslah berdasarkan dari hasil
pemeriksaan terhadap infeksi gonokokus dan klamidia trakomatis, kecuali kalau
pasien tampaknya tidak akan datang untuk follow-up berikutnya, sehingga terapi
empirik harus diberikan baik untuk infeksi niseria gonore maupun klamidia
trakomatis.(23) Penyebab PRP yang lebih jarang berupa infeksi bakteri patogen traktus
respirasi yaitu hemofilus influenza, streptokokus group A, dan pneumokokus yang
dapat berkolonisasi pada traktus genetalia bagian bawah dan menyebabkan PRP.(18)
Sejumlah penelitian lainnya menunjukkan adanya keterkaitan antara bakterial
vaginosis dengan sequele yang berat dari organ reproduksi. Wanita dengan bakterial
vaginosis memiliki risiko yang meningkat terhadap terjadinya PRP, infeksi cuff pasca
operasi histerektomi, serta sitologi serviks yang abnormal. Dan telah diketahui bahwa
uji saring serta pengobatan terhadap bakterial vaginosis akan menurunkan risiko
terjadinya sequele berat tersebut. Bila terjadi perubahan flora bakteria vagina normal

5
yang merupakan hasil dari hilangnya laktobasilus penghasil hidrogen peroksida,
maka akan terjadi pertumbuhan yang berlebihan bakteria anaerob yang kemudian
mendominasi flora vagina. Bakteri anaerob dapat dijumpai kurang dari 1% dari flora
normal wanita normal. Pada wanita dengan bakterial vaginosis, konsentrasi bakteri
anaerob seperti misalnya gardnerela vaginalis dan mikoplasma hominis adalah
sebesar 100 sampai 1000 kali lebih tinggi dari yang terdapat pada wanita normal. Dan
pada kondisi seperti itu, tidak dijumpai adanya laktobasilus.(18)
Pada tahun 1991, Barclay DL menjumpai kurang lebih 10% wanita pada
praktek pribadi terbukti secara serologis mengalami pemaparan sebelumnya oleh
herpes virus hominis. Infeksi tersebut terjadi pada masa dewasa dini seiring dengan
onset aktivitas seksual yang dilakukannya. Lebih-kurang 85% dari infeksi tersebut
disebabkan oleh herpes virus hominis tipe 2 dan sisanya disebabkan oleh tipe 1. Virus
tipe 2 tersebut dijumpai pada serviks wanita yang asimptomatis dan pada uretra dan
prostat laki-laki yang asimptomatis.(24)
Fiscella K et al., 2002, menjumpai bahwa vaginal douching berimplikasi pada
kondisi-kondisi yang berkaitan dengan infeksi asenden traktus urogenitalis termasuk
PRP, kehamilan ektopik, dan infertilitas.(21) Vaginal douching berkaitan dengan
endometritis, dimana vaginal douching diduga mengakibatkan bakteri vagina naik ke
traktus genetalia bagian atas.(25)
Terdapat peningkatan infeksi sistem genitalia oleh gonore dan klamidia pada
penggunaan AKDR.(11)

2.3. Angka Kejadian Infeksi Urogenitalis


Infeksi urogenitalis merupakan kelainan yang paling sering dialami oleh
penderita yang datang ke ginekolog.(18) Seiring dengan peningkatan usia wanita dari
remaja ke usia yang lebih tua, insiden infeksi traktus urinarius yang simptomatis
maupun asimptomatis meningkat kurang lebih 2% sampai 20%.(12)
Infeksi traktus urinarius sering dijumpai. Sebagian besar infeksi tersebut
disebabkan oleh bakteri gram negatif, tetapi dapat pula disebabkan oleh bakteri gram
positif (stafilokokus albus dan stafilokokus aureus). Telah dibuktikan bahwa bakteri

6
tersebut berasal dari flora usus besar. Infeksi traktus urinarius jarang disebabkan oleh
jamur, klamidia, trikomonas, dan virus; namun bila dijumpai, biasanya mengenai
traktus urinarius bagian bawah (uretra). Mikroorganisme patogen pada infeksi traktus
urinarius tersebut antara lain adalah : E. coli (85%), klebsiela (8%), proteus (4%),
stafilokokus albus (3%).(26)
Dari sebuah penelitian mengenai prevalensi PMS pada kelompok wanita yang
mempunyai risiko tinggi di Denpasar pada tahun 1997-1998, dijumpai hasil sebagai
berikut: pemeriksaan usapan vagina/serviks terhadap 410 karyawati panti pijat dan
pekerja seks wanita di losmen serta bungalo di Denpasar dan sekitarnya menunjukkan
prevalensi infeksi klamidia sebesar 73,7%, disusul gonore 20,0%, kandidiasis 11,2%,
dan trikomoniasis 9,5%. Prevalensi sifilis menunjukkan angka 9,9%, yang sebagian
besar berasal dari pekerja seks di losmen.(27) Selama kurun waktu 3 tahun (1995-
1997) tercatat sebanyak 398 pasien PMS remaja (59,1% dari seluruh pasien PMS)
yang datang ke poliklinik PMS RSUP Sanglah Denpasar; yang terdiri dari 62,6% pria
dan 37,4% wanita. Jenis PMS yang diderita adalah uretritis gonore (15,8%), uretritis
nonspesifik (15,6%), kondiloma akuminata (15,3%), sifilis (12,3%), infeksi genital
non spesifik pada wanita (11,3%), servisitis gonore (5,0%), herpes genitalis (4,5%),
ulkus mole (3,8%), limfogranuloma venereum (3,5%), serta 4,3% kasus secara
klinis/laboratorium tidak menunjukkan adanya kelainan.(28) Dari sebuah penelitian
mengenai PRP pada remaja di RSUP Sanglah Denpasar pada periode 1 Januari 1997
s/d 31 Agustus 1998, dijumpai hasil sebagai berikut: didapatkan 222 kasus PRP
(11,02%) dari seluruh kasus ginekologi, dimana 15 kasus (6,76%) terjadi pada
remaja dan 207 kasus (93,2%) bukan remaja. Rasio prevalensi pada remaja adalah 2,2
kali lebih besar untuk mengalami PRP berat daripada bukan remaja. Delapan puluh
enam prosen remaja dengan PRP tersebut ternyata belum menikah (53,3% masih
sekolah atau mahasiswa), sedangkan pada non remaja sebagian besar sudah menikah.
(29)

Hasil dari berbagai penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa infeksi traktus


reproduksi termasuk PMS secara bermakna dijumpai pada sampel dari wanita urban
dengan risiko rendah, seperti yang dijumpai pada klinik keluarga berencana.(30)

7
Di USA, setiap tahun kurang lebih 3 juta remaja mendapatkan/mengalami
PMS, yang mengenai 1 dari 4 usia belasan tahun yang telah memiliki pengalaman
seksual. Meski angka prevalensi dari infeksi niseria gonore agak menurun, infeksi
oleh klamidia trakomatis tetap meningkat pada hampir sebagian besar populasi.
Sebuah penelitian pada klinik keluarga berencana menunjukkan prevalensi infeksi
klamidia trakomatis pada wanita yang berusia kurang dari 18 tahun ternyata 3 kali
lebih tinggi daripada prevalensi infeksi tersebut pada wanita usia akhir 20 dan lebih
tua. Pada beberapa penelitian lainnya, 10-29% dari wanita belasan tahun dengan
seksual aktif didiagnosis dengan infeksi klamidia trakomatis. Para remaja putri
memiliki angka rawat inap di rumah sakit yang lebih tinggi dari wanita dewasa
karena PRP akut, yang merupakan akibat dari infeksi klamidia trakomatis atau gonore
yang tidak diobati. Beberapa penelitian menunjukkan sebanyak 50% dari remaja
belasan tahun yang telah melakukan hubungan seksual dan mengidap PMS juga
terinfeksi oleh human papiloma virus (HPV).(13) Kurang lebih 1 juta kasus baru
infeksi HPV genitalis terjadi setiap tahunnya di USA, dan mayoritas dari kasus-kasus
tersebut ditularkan melalui hubungan seksual.(21) Barclay DL, 1991, menyatakan
bahwa infeksi herpes virus hominis pada traktus genetalia bagian bawah (herpes
genitalis) mungkin merupakan PMS yang tersering. Lebih-kurang 10% wanita pada
praktek pribadi terbukti secara serologis mengalami pemaparan sebelumnya oleh
herpes virus hominis tersebut.(24) Miller KE and Graves CJ menyatakan bahwa 30-
60% dari perkiraan kasus-kasus infeksi HBV ditularkan melalui hubungan seksual,
dan ia menambahkan bahwa kurang lebih 10% wanita akan mengalami PRP selama
masa reproduksinya.(21)
Andolsek L et al., 1988, menjumpai bahwa kurang lebih 19,3% akseptor
AKDR mengalami infeksi genitalis pada tahun pertama insersi AKDR. Prosentase
tersebut meningkat sebanyak 25% dalam 5 tahun dan menetap sebanyak 28%-29%
selama 6 sampai 10 tahun pemakaiannya. Kolpitis dan vaginitis merupakan mayoritas
dari diagnosis yang ditegakkan. PRP meliputi kurang lebih 10% akseptor yang datang
untuk follow-up pada 3 tahun pertama setelah insersi AKDR, dan kemudian terjadi
penurunan ringan dari proprosi PRP tersebut pada tahun-tahun berikutnya menjadi

8
sekitar 4% sampai 8%. Mereka menjumpai bahwa angka kejadian infeksi genitalis
tersebut hampir serupa diantara berbagai AKDR yang dipergunakan (Lippes Loop D,
Margulies Spiral, M-device, dan Lippes Loop C).(15)
Struktur-struktur seperti aktinomises yang diidentifikasi pada hapusan
Papanicolaou ternyata berkaitan dengan penggunaan jangka panjang dari AKDR.
Fiorio, 1996, menjumpai insiden aktinomises yang dijumpai pada hapusan sitologi
sebesar 7% pada wanita pengguna AKDR, dibandingkan kurang dari 1% pada wanita
yang tidak menggunakan AKDR. Peneliti lainnya mengatakan bahwa peningkatan
prevalensi aktinomises israelii atau organisme yang menyerupai aktinomises tersebut
hanya dijumpai pada penggunaan AKDR setelah beberapa tahun. Dan wanita yang
mengalami abses pelvis karena organisme tersebut ternyata memiliki rata-rata waktu
penggunaan AKDR selama 8 tahun sebelum timbulnya gejala klinis. Ditegaskan pula
bahwa sekali smear seorang wanita positif terhadap aktinomises, maka hapusan yang
berikutnyapun akan selalu positif sampai AKDR tersebut dibuka. Musicco et al.,
1996, menyatakan bahwa wanita yang menggunakan AKDR memiliki risiko yang
lebih besar untuk terinfeksi HIV dibandingkan dengan wanita yang menggunakan
metode kontrasepsi lainnya. Abses tuboovarial dan kematian karena sepsis juga
terjadi pada penggunaan AKDR tersebut. Yang menarik, Lee and Robin, 1988,
melaporkan bahwa wanita yang menikah dan wanita yang memiliki hanya satu
pasangan seksual ternyata tidak memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami
infeksi pelvis daripada kelompok kontrol setelah 4 bulan pertama pemakaian AKDR.
(31)

Soper DE, 1988, menjumpai infeksi pasca operasi histerektomi sebesar 9-


50%.(14) Sedangkan Hager WD, 1997, menjumpai insiden infeksi pelvis akut setelah
histerektomi abdominal sebesar 3,9% sampai 50%. Kejadian infeksi setelah
histerektomi vaginal adalah 1,7% sampai 64%, dan trombopleblitis septik pelvis
setelah prosedur ginekologis sebesar 0,1% sampai 0,5%.(7)
Barelay DL, 1991, menjumpai kurang lebih 10% wanita pada praktek pribadi
terbukti secara serologis mengalami pemaparan sebelumnya oleh herpes virus

9
hominis. Infeksi tersebut terjadi pada masa dewasa dini seiring dengan onset aktivitas
seksual yang dilakukannya.(24)

2.4. Jenis Infeksi Urogenitalis


Infeksi traktus urinarius dapat terjadi pada uretra (uretritis), kandung kencing
(sistitis), sampai ginjal (pielonefritis).(12) Sedangkan infeksi traktus genitalis dapat
terjadi mulai vulva, vagina dan serviks (infeksi rendah), sampai infeksi pada uterus,
tuba, ovarium, parametrium serta peritoneum (infeksi tinggi).(2)
Robertson JR, 1991, menyatakan bahwa traktus urinarius dinyatakan
terinfeksi apabila hitung bakteri pada 2 kali pengambilan spesimen urine (clean-catch
urine) yang berturut-turut atau melalui pemeriksaan tunggal melalui kateter mencapai
kadar 105/mL.(12)
Dasar-dasar/pokok-pokok diagnosis infeksi traktus urinarius adalah:
(1). Ketidaknyamanan saat berkemih (disuria); (2). Sensasi untuk segera
mengosongkan kandung kencing yang tidak dapat ditunda (urgency); (3). Tetap ingin
mengosongkan kandung kencing, meskipun kandung kencing baru saja dikosongkan;
(4). Demam, dan nyeri ketok kostovertebralis jika terjadi pielonefritis; (5). Piuria,
bakteriuria, atau hematuria.(12)
Tidak terdapat kriteria khusus mengenai infeksi saluran genitalia bagian
bawah/infeksi rendah (vulva, vagina dan serviks). Berbagai organisme dapat
mengakibatkan infeksi saluran genitalia tersebut, baik simptomatis maupun
asimptomatis tergantung dari organisme penyebab serta faktor pertahanan tubuh dari
wanita yang terinfeksi. Beberapa ilmuwan membuat kriteria untuk menetapkan
terjadinya infeksi saluran genitalia bagian atas/infeksi tinggi (uterus, tuba, ovarium,
parametrium serta peritoneum). Salah satunya adalah berupa kriteria untuk diagnosis
PRP oleh Miller KE and Graves CJ, 2000, sebagai berikut:
Kriteria minimal: nyeri perut bagian bawah, nyeri adneksa, dan nyeri gerak serviks
Kriteria tambahan: temperatur oral >38,3ºC (101 ºF), sekret vagina dan servikal yang
abnormal, peningkatan sedimentasi eritrosit, peningkatan kadar C-reactive protein,

10
serta hasil laboratorium yang menunjukkan infeksi serviks oleh gonore dan klamidia
trakomatis
Kriteria definitif: bukti histopatologis seperti endometritis dari biopsi endometrial,
USG transvaginal atau teknik imajinasi lainnya yang menunjukkan gambaran seperti
tabung yang berisi cairan dengan atau tanpa cairan pelvis atau kompleks tuboovarial,
serta abnormalitas laparoskopik yang konsisten dengan PRP.(21)

2.5. Prevensi Infeksi Urogenitalis


Manusia selalu mengadakan kontak dengan mikroorganisme berupa bakteri,
fungi, virus, dan berbagai bentuk kehidupan parasit. Dikatakan terjadi infeksi bila
mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh menyebabkan berbagai gangguan
fisiologis tubuh, sehingga timbul penyakit infeksi.(16)
Pencegahan infeksi berarti menghentikan masuknya organisme infeksius
(germ) dari individu yang satu ke individu lainnya, dengan selalu (1). Menggunakan
barier terhadap cairan tubuh, dan (2). Menyingkirkan organisme yang infeksius
misalnya dengan pemrosesan instrumen serta membuang bahan-bahan yang
disposibel.
Darah, semen, sekresi vagina, dan cairan tubuh yang mengandung darah dapat
membawa organisme infeksius. Organisme tersebut termasuk HIV, virus hepatitis B,
stafilokokus, dan banyak organisme lainnya. Infeksi dapat terjadi dari satu individu
ke individu lainnya bilamana prosedur pencegahan infeksi tidak dilaksanakan
sehingga cairan tersebut berpindah dari individu yang satu ke individu lainnya.(16)
Tujuan utama pencegahan infeksi adalah mencegah infeksi umum,
meminimalkan risiko penyebaran penyakit yang berbahaya seperti hepatitis B dan
HIV kepada pasien, petugas kesehatan, termasuk petugas kebersihan dan rumah
tangga. Salah satu dari 9 prinsip dasar dalam pencegahan infeksi adalah setiap orang
(pasien maupun petugas pelayanan kesehatan) harus dianggap berpotensi menularkan
infeksi.(32) Pada pencegahan infeksi, bakteri dapat dibagi dalam tiga katagori yaitu:
vegetatif (stafilokokus), mikrobakteria (tuberkulosis), dan endospora (tetanus) yang
paling sulit dibunuh.(11)

11
Suatu tindakan pengendalian terhadap penyakit infeksi atau lebih tepatnya
terhadap penyebab infeksi dilakukan untuk mengurangi, menghambat dan
mempersempit epidemi penyakit infeksi (penyakit menular).(16)
Pengendalian penyakit infeksi dalam populasi penduduk secara umum dapat
dilakukan sebagai berikut:(16)
1. Menganggu cara atau rute penjalaran dari mikroorganisme penyebab infeksi.
Misalnya untuk menekan infektor yang melalui air, maka perlu dilakukan
peningkatan kebersihan atau pembasmian bibit infeksi di dalam air.
2. Karantina bagi penderita yang telah terkena infeksi sebagai tindakan
penghindaran penularan melalui kontak langsung maupun tidak langsung.
3. Dilakukan induksi buatan terhadap respon imun pada individu yang masih
sehat. Program vaksinasi dilakukan untuk mencegah dan mengurangi
penyebaran dan penularan penyakit infeksi.
Vaksinasi merupakan upaya pencegahan infeksi yang efektif, (16) namun
vaksinasi tersebut belum dapat dilakukan pada hampir sebagian besar penyakit
infeksi yang ada.(33) Pencegahan atau cara profilaksis lainnya dapat dilakukan dengan
meningkatkan kebersihan lingkungan, pemberantasan karier/pembawa penyakit,
menginterupsi siklus hidup penyebab infeksi, dan cara pencegahan lainnya.(16)
Pencegahan infeksi sering mengandalkan pada penempatan pengahalang
(barier) diantara penjamu (host) dan mikroorganisme. Penghalang untuk perlindungan
dapat diwujudkan misalnya melalui proses fisik, mekanik atau kimia yang membantu
mencegah penyebaran infeksi mikroorganisme dari pasien ke pasien, petugas
pelayanan kesehatan ke pasien, dan dari pasien ke petugas pelayanan kesehatan.(11)
Dalam tinjauan pustaka ini, dibahas 5 upaya prevensi infeksi yaitu:
 2.5.1. Prevensi Infeksi Traktus Urinarius
 2.5.2. Prevensi PMS
 2.5.3. Prevensi Infeksi Pada Pemeriksaan USG
 2.5.4. Prevensi Infeksi Pasca Operasi Ginekologi
 2.5.5. Prevensi Infeksi Pada Penggunaan AKDR

12
2.5.1. Prevensi Infeksi Traktus Urinarius
Mengingat bahwa mikroorganisme penyebab infeksi traktus urinarius hampir
(1,4,5,6)
seluruhnya berasal dari flora rektum (terutama oleh E coli dan enterobakter)
yang kemudian membentuk koloni pada introitus vagina, maka menjaga higiene
rekto-vagina merupakan upaya pencegahan infeksi saluran kemih yang penting. Salah
satu cara menjaga higiene rekto-vagina tersebut adalah dengan
membersihan/pembilasan setelah berkemih/defekasi dengan air sabun dari depan ke
belakang, kemudian dikeringkan.(1)
Untuk membatasi infeksi traktus urinarius, penempatan yang tepat serta
pemakaian kateter yang benar sangat penting. (7,34) Dianjurkan untuk menggunakan
kateter yang disposable dan steril.(10,34) Teknik aseptik yang cermat harus digunakan
untuk drainase vesika urinaria tersebut, dan dipersiapkan drainase dengan metode
tertutup.(10,34) Bagian distal uretra mengandung banyak bakteri yang dapat terbawa
saat memasukkan kateter ke dalam kandung kemih sehingga menimbulkan infeksi.
Pengolesan uretra dengan gel yang telah didisinfeksi menjelang melakukan
kateterisasi akan memperkecil kemungkinan kontaminasi kandung kemih dengan
mikroorganisme patogen melalui uretra. Gel disinfektan yang paling cocok adalah
Mucilago ad Catheteres FNA dalam bungkusan atau Instillagel komersial yang
tersedia dalam semprit sekali pakai. Pada kateterisasi sekali saja ataupun ada kateter
yang ditinggalkan terpasang diutamakan pemakaian kateter halus ch 16 atau 18.
Tindakan kateterisasi harus benar-benar steril. Setelah membersihkan meatus
eksternus uretra dan seluruh vulva menggunakan beberapa gumpal kapas yang telah
direndam cairan desinfeksi, maka uretra disusupi dengan gel desinfektan. Kapas
desinfeksi dapat dibiarkan sesaat diantara kedua labia. Selanjutnya dengan
menggunakan sarung tangan dan sebuah duk steril ditutupkan di atas genitalia, kapas
steril kemudian diangkat dan labia ditahan dengan ibu jari, jari telunjuk dan jari
tengah, sedangkan tangan yang lainnya memasukkan kateter steril, sambil
memperhatikan dengan teliti bahwa kateter benar-benar langsung masuk ke dalam
meatus eksternus uretra dan ujung kateter tidak menyentuh bagian dalam labia. Pada
pemasangan kateter dalam waktu lama, dianjurkan untuk membersihkan meatus

13
eksternus uretra setiap hari dari tumpukan sekret yang mengental. (34) Kantung
penampung harus dengan sistem yang dapat mencegah terjadinya refluk, dan durasi
drainase harus dipersingkat.(10) Penggunaan kateter hanya bila diperlukan, dan harus
dilepaskan sesegera mungkin.(7)
Para klinikus harus mencari faktor-faktor yang memberi kontribusi pada
setiap penderita dengan infeksi traktus urinarius yang berulang. Bakteri yang
menetap/tetap ada setelah pemberian antibiotika yang memadai berdasarkan hasil uji
sensitivitas mengindikasikan perlunya dilakukan pemeriksaan sistoskopi serta
pielografi intravena untuk mengetahui adanya kelainan/abnormalitas struktural dari
traktus urinarius. Juga dilakukan evaluasi termasuk pemeriksaan vagina untuk
mendeteksi adanya sistokel atau gangguan pada uretra. Penderita dengan infeksi
traktus urinarius berulang yang disebabkan oleh kontaminasi uretra selama hubungan
seksual mungkin dapat dicegah kekambuhannya dengan mengosongkan kandung
kencing segera setelah koitus. Pada beberapa penderita, pemberian antibiotika
profilaksis beberapa dosis yang diberikan setelah hubungan seksual atau pada malam
hari mungkin penting untuk mencegah kekambuhan dari penyakit tersebut.(12)

2.5.2. Prevensi PMS


Pencegahan PMS meliputi beberapa kegiatan berikut ini: pendidikan penderita
mengenai risiko untuk terkena PMS; mendeteksi penderita asimptomatis maupun
simptomatis yang tidak mencari pengobatan; mengevaluasi, mengobati serta
memberikan konseling pada pasangan seksual penderita PMS; serta mengimunisasi
penderita yang memiliki risiko terjangkit PMS yang dapat dicegah dengan vaksinasi.
(21)

Sejak beberapa dekade yang lalu, remaja di USA mengalami peningkatan


bermakna dari morbiditas yang berkaitan dengan PMS. Meskipun PMS dapat
dicegah, para remaja menghadapi sejumlah rintangan untuk menerima pelayanan
pencegahan serta pengobatan PMS tersebut. Remaja tampaknya lebih suka
menggunakan pola aktivitas seksual yang berisiko tinggi sebagai eksplorasi terhadap
perubahan fisik dan emosional mereka. Secara psikologis, para remaja tampaknya

14
kurang memahami konsekuensi dari prilaku yang berisiko tersebut, seperti misalnya
potensi yang fatal berupa terjangkiti HIV. Ketika menghadapi remaja seksual aktif,
para klinikus harus mempromosikan prilaku seksual yang aman (hal yang krusial),
menyarankan untuk mengikuti program uji saring praktis yang dianjurkan,
memberikan terapi antimikroba yang memadai, mengikuti petunjuk untuk
melaporkan dan mengenali pasangan seksualnya, serta memberikan dukungan yang
terus-menerus serta follow-up terhadap masalah kesehatan tersebut.(13)
Kerahasiaan membatasi para remaja untuk menggunakan pelayanan kesehatan.
Berbagai penelitian mengindikasikan bahwa kurang dari sepertiga remaja yang
mengetahui bahwa mereka berhak secara hukum terhadap kerahasiaan masalah medis
mereka yang spesifik tersebut, dan sebanyak 25% dari mereka kemudian terpaksa
mencari pelayanan medis jika mereka berpikir bahwa orangtua mereka mungkin
mengetahui masalah mereka. Masalah perhatian orang tua dan biaya pengobatan bagi
remaja menyebabkan kerahasiaan pada remaja menjadi hal yang lebih kompleks. Para
klinikus harus menciptakan kebijakan yang dapat menjaga kerahasiaan para remaja
tersebut di kliniknya, dan harus mengkomunikasikan kebijakan tersebut pada para
remaja dan orang tuanya. Di seluruh negara bagian USA terdapat tempat pelayanan
kontrasepsi, uji terhadap PMS dan pengobatannya, serta penanganan kesehatan
mental remaja tanpa melibatkan orang tua mereka. Terdapat beberapa klinik
kesehatan berbasiskan sekolah yang menawarkan pelayanan penting berupa upaya
pencegahan dan pengobatan PMS, walaupun masih ada pihak yang tidak menyetujui
upaya tersebut. Klinik yang mampu menjaga kerahasiaan para remaja putri
merupakan komponen yang sangat penting untuk dapat melakukan pelayanan yang
efektif. Masa remaja merupakan sebuah periode waktu dari prilaku kesehatan yang
nantinya akan menjadi prilaku yang menetap selama hidupnya. Sehingga pelayanan
terhadap para remaja merupakan kesempatan yang kritis untuk dapat membuat para
remaja berprilaku bertanggung jawab dan menurunkan risiko-risiko kesehatan yang
mungkin dihadapi serta untuk menerapkan strategi-strategi pencegahan.(13)
Eradikasi PMS dapat dicapai dengan pengembangan dan penggunaan dari obat-
obatan yang ideal secara massal (sampai saat ini belum ditemukan) atau melalui

15
vaksinasi yang efektif (tidak pada seluruh organisme penyebab PMS, dan masih
mahal). PMS dapat dieliminasi jika setiap individu mengadopsi pola hubungan
seksual yang eksklusif dengan pasangannya sepanjang hidupnya. Namun, pola
seksual yang eksklusif tersebut tampaknya justru semakin berkurang, bukannya
meningkat pada hampir seluruh negara. Sehingga eradikasi total tampaknya
merupakan program yang tidak mungkin terlaksana, dan tujuan pengendalian
penyakit yang lebih terbatas tampaknya lebih memungkinkan untuk dilakukan pada
sebagian besar negara.(33)
Strategi intervensi seringkali dilakukan terhadap kelompok-kelompok yang
telah diseleksi dari komunitas sebagai prioritas terhadap intervensi tersebut. Langkah-
langkah spesifik dari strategi intervensi tersebut adalah: (1). Untuk meminimalisasi
pemaparan penyakit dengan menurunkan frekuensi hubungan seksual dengan
individu yang memiliki kemungkinan infeksi yang tinggi; (2). Untuk mencegah
infeksi dengan meningkatkan penggunaan kondom atau barier profilaksis lainnya;
(3). Untuk mendeteksi dan mengobati penyakit dengan mengimplementasikan
program deteksi penyakit, menyediakan fasilitas diagnosis dan
penatalaksanaan/pengobatan yang efektif, serta mempromosikan upaya pencapaian
prilaku yang sehat; (4). Untuk membatasi/mencegah terjadinya komplikasi infeksi
dengan melakukan pengobatan dini pada individu-individu dengan penyakit infeksi
asimptomatis maupun simptomatis; dan (5).Untuk membatasi/mencegah
penularan/transmisi dari penyakit ditengah-tengah komunitas dengan upaya-upaya
tersebut di atas.(33)
Empat prinsip srategi intervensi untuk mengendalikan PMS adalah (1). Promosi
kesehatan; (2). Deteksi penyakit; (3). Program pengobatan/penatalaksanaan nasional;
(4). Penelusuran kontak dan konseling pada penderita. Dan pelayanan klinis yang
merupakan bagian dari setiap strategi tersebut.(33)
Hal yang prinsipil dari intervensi tersebut berupa edukasi untuk berprilaku yang
dapat menurunkan pengaruh buruk PMS pada komunitas/masyarakat. Target dari
edukasi tersebut termasuk masyarakat umum, penderita, kelompok prioritas, (tenaga
ahli), health providers, pimpinan masyarakat, dan para pembuat keputusan. Program

16
yang komprehensif harus melibatkan seluruh kelompok tersebut; dan program
edukasi lainnya mungkin hanya dilakukan secara terseleksi pada satu atau beberapa
kelompok untuk aktivitas edukasi langsung.(33)
Langkah-langkah spesifik dari intervensi edukasi tersebut meliputi aktivitas
sebagai berikut: (1). Untuk mempromosikan hubungan seksual yang tidak berisiko
dengan mencegah pasangan seksual yang multipel/atau kasual; (2). Mempromosikan
penggunaan kondom atau metode profilaksis lainnya pada situasi yang berisiko; (3).
Mempromosikan untuk datang untuk pemeriksaan uji saring setelah terpapar oleh
situasi yang berisiko; (4). Mempromosikan untuk segera menjalani pemeriksaan
medis bila mengalami gejala penyakit; (5). Untuk mengobati keluhan dengan
penatalaksanaan yang tepat; (6). Dan untuk memfasilitasi intervensi lainnya seperti
misalnya merujuk pasangan seksual, serta pengobatannya.(33)
Hatcher RA et al., 1997, menyatakan bahwa PMS dapat dihindari dengan cara
mengubah prilaku seksual. Hal itu dapat dilakukan dengan melakukan A,B, dan C: A.
Abstain from sex. Tidak melakukan hubungan seksual. Hal ini merupakan satu-
satunya proteksi yang dapat menjamin tidak terjadinya PMS; B. Be mutually faithful.
Setia pada pasangannya. Selalu berhubungan seksual dengan orang yang sama. Orang
yang diajak berhubungan seksual tersebut harus tidak melakukan hubungan seksual
dengan orang lain dan tidak mengidap PMS; C. Consistently use condoms. Gunakan
kondom setiap berhubungan seksual dan gunakan dengan benar.(35)
Uji saring adalah pengujian untuk memisahkan populasi yang sehat dari
populasi umum dengan tujuan untuk memisahkan mereka menjadi kelompok-
kelompok dengan kemungkinan yang tinggi dan kemungkinan yang rendah untuk
terjangkiti PMS. Tujuan dari uji saring tersebut adalah deteksi dini dan pengobatan
penyakit, yang secara implisit menunjukkan bahwa para relawan akan mendapatkan
keuntungan dari program uji saring tersebut. Contoh dari program tersebut adalah uji
serologis untuk sifilis dalam rekrutmen militer atau rekrutmen karyawan suatu
perusahaan. Ketika program deteksi dini diperkenalkan, maka fasilitas untuk
menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan selanjutnya harus tersedia.(33)

17
Pada tahun 1996, American Medical Association mempublikasikan Guidelines
for Adolescent Preventative Services (GAPS). Dimulai pada umur 11 sampai 12
tahun, GAPS menganjurkan uji saring tahunan terhadap PMS serta tuntunan
mengenai prilaku yang sehat bagi remaja. Salah satu rekomendasi GAPS tersebut
adalah promosi penyesuaian psikoseksual sehat dan pencegahan terhadap akibat
buruk dari prilaku seksual tidak sehat serta kekerasan seksual. Terdapat beberapa
anjuran dimana remaja memperoleh tuntunan mengenai prilaku seksual yang
bertanggung jawab, termasuk abstinensia, kondom latex untuk mencegah PMS dan
infeksi HIV, metode yang memadai bagi pengendalian kelahiran, serta instruksi
mengenai bagaimana cara menggunakan metode tersebut secara efektif. GAPS
mengharuskan remaja seksual aktif menjalani uji saring setiap tahunnya terhadap
PMS, khususnya terhadap infeksi gonore dan klamidia. Jika mereka memiliki
pasangan seksual lebih dari satu atau menderita PMS lainnya, maka dilakukan uji
saring untuk sifilis dan HIV. Juga harus dilakukan evaluasi terhadap HPV, termasuk
inspeksi visual dan hapusan Papanicolaou. Frekuensi dari uji yang dilakukan
tergantung dari praktik seksual dan riwayat PMS lainnya dari remaja tersebut.(13)
Berbagai metode untuk melakukan uji saring terhadap PMS kemudian
diupayakan oleh berberapa ilmuwan, diantaranya seperti yang disebutkan dibawah
ini.
Morgan DJ et al., 1996, menyatakan bahwa PMS mengubah keseimbangan
ekosistem flora normal vagina menjadi flora bakterial vaginosis, sehingga wanita
yang teridentifikasi mengidap bakterial vaginosis dianjurkan untuk melakukan uji
saring lengkap untuk mencari adanya PMS.(36) Penelitian lainnya juga menyimpulkan
bahwa bakterial vaginosis dapat digunakan sebagai uji saring yang mudah dan murah
untuk mengidentifikasi wanita dengan risiko tinggi terhadap penyakit PMS lainnya.(37)
Thinkhamrop J et al., 1999, menyatakan bahwa gejala dan tanda klinis dilengkapi
dengan pemeriksaan pH cairan vagina dapat digunakan sebagai alat uji saring
terhadap vaginitis khususnya bakterial vaginosis, dan akan memadai bila digunakan
pada daerah dengan prevalensi vaginitis yang rendah. Metode tersebut mudah
dilakukan, cepat, murah, serta memberi hasil yang memuaskan.(19)

18
Wasti S et al., 1997, menjumpai prevalensi infeksi klamidia trakomatis yang
lebih tinggi dari yang disebutkan pada literatur-literatur yang ada (ia menjumpai
prevalensi sebesar 12%; sedangkan literatur yang ada menyebut prevalensinya
sebesar 9,3%-9,8%), sehingga ia mengharuskan untuk melakukan uji saring rutin
terhadap infeksi klamidia trakomatis pada wanita asimptomatis yang datang ke klinik
keluarga berencana atau klinik infertilitas. Deteksi dini dan pengobatannya akan
menurunkan angka PRP dan sequele jangka panjang yang ditimbulkannya. (38)
Svensson LO et al., 1991, menyatakan bahwa sampel urine lebih baik daripada
sampel serviks dan uretra dalam mendeteksi infeksi klamidia trakomatis (diuji dengan
enzyme immunoassay/EIA), sehingga sampel urine dapat digunakan dalam program
uji saring untuk mendeteksi infeksi klamidia trakomatis pada wanita.(39)
Pelayan kesehatan terlibat dalam upaya mengidentifikasi dan kemudian
mengobati pasangan seksual penderita yang terinfeksi dengan melakukan wawancara
terhadap penderita, menetapkan lokasi individu tersebut, dan kemudian memastikan
bahwa individu-individu tersebut mendapatkan pengobatan. Proses tersebut disebut
penelusuran kontak, yang memerlukan partisipasi aktif penderita untuk menunjukkan
lokasi serta kemudian merujuk pasangan seksualnya. Tujuan penelusuran kontak
adalah untuk memastikan bahwa pasangan seksual penderita yang terinfeksi tersebut
diperiksa, mengupayakan perubahan prilaku yang mempengaruhi terjangkitnya
penyakit tersebut, mengupayakan agar ia menuruti penatalaksanaan penyakitnya,
serta mendorong prilaku hidup sehat lainnya. Prilaku tersebut meliputi: (1). Segera
mencari pertolongan medis yang memadai bila mengalami gejala pertama kalinya,
(2). Langsung berobat, (3). Kembali untuk menjalani pengujian saat follow-up, (4).
Menganjurkan pemeriksaan pasangan seksualnya, (5). Menurunkan penularan dengan
mencegah pemaparan sampai dilakukan uji kembali saat follow-up atau pada saat
gejala masih tampak, dan (6). Menggunakan proteksi pada situasi yang berisiko
tinggi.(40)
Howel MR et al., 1997, menyatakan bahwa pengenalan dan pengobatan dari
pasangan seksual penderita merupakan komponen yang penting dari pengobatan dan
pencegahan infeksi klamidia trakomatis dan PRP, karena infeksi klamidia trakomatis

19
seringkali asimptomatis baik pada wanita maupun pada laki-laki; sehingga rantai
infeksi serta infeksi ulang penyakit tersebut sulit diputuskan. Dan risiko tersebut
meningkat jika mereka memiliki faktor prilaku berisiko lainnya seperti pasangan
seksual yang multipel atau pasangan seksual yang baru.(41)
Vermillion ST et al., 2000, menambahkan bahwa suksesnya pengendalian PMS
disebabkan karena identifikasi yang akurat, penatalaksanaan yang memadai, serta saat
pelaporan yang tepat terhadap pasangan seksual penderita dan upaya pengobatannya.
Di USA terdapat banyak pusat pelayanan kesehatan yang menawarkan bantuan bagi
pengenalan pasangan seksual terutama bagi penderita yang terinfeksi HIV, sifilis,
gonore, dan klamidia, serta hepatitis B. Departemen kesehatan melindungi privacy
penderita pada pusat pelayanan pengenalan pasangan seksual tersebut, dan pada
beberapa kasus metode ini menyediakan komunikasi langsung antara penderita
dengan pasangan seksualnya. Hasil uji terhadap PMS dan HIV sangat dijaga
kerahasiaannya dan dilindungi secara hukum.(13)
Dibawah ini diuraikan beberapa upaya pencegahan khusus pada beberapa PMS:
a. Pencegahan PRP:
Seringkali PRP tidak terdiagnosis karena beberapa kasus asimptomatis dan
lainnya dengan gejala ringan atau dengan gejala yang tidak spesifik. Untuk
menurunkan potensi dari kesalahan diagnosis PRP serta kerusakan selanjutnya dari
traktus reproduksi, maka telah ditentukan kriteria dari terapi empiris awal. Bila pada
wanita seksual aktif yang berisiko untuk terinfeksi dijumpai adanya seluruh (ketiga)
kriteria minimal PRP, maka terapi empiris harus dimulai. Kriteria tambahan dapat
digunakan untuk mendukung diagnosis dari PRP tersebut. Kriteria definitif untuk
diagnosis PRP hanya dapat ditegakkan pada sedikit kasus yang terseleksi.(21)
b. Pencegahan gonore:
Gonore hanya dapat dikendalikan dengan mendeteksi karier yang asimptomatis
dan pengobatan terhadap penderita dan pasangan seksualnya. Seluruh populasi yang
berisiko tinggi harus diuji saring dengan melakukan kultur rutin. Pemeriksaan ulang
harus dilakukan untuk mengetahui adanya infeksi ulang atau adanya kegagalan
pengobatan. Penggunaan kondom akan dapat memberikan perlindungan terhadap

20
gonore. Lebih kurang 15% wanita dengan infeksi gonokokus pada serviksnya akan
berkembang menjadi salfingitis akut. Deteksi dan pengobatan terhadap wanita
tersebut dan pasangan seksualnya akan dapat mencegah terjadinya kasus-kasus
infeksi pelvis karena gonokokus. Diagnosis dini dan eradikasi dari penyakit dengan
gejala yang minimal (servisitis, uretritis) juga dapat mencegah terjadinya salfingitis.
(42)

c. Pencegahan sifilis:
Jika seorang penderita diketahui terpapar oleh sifilis, jangan menunggu
penyakit tersebut tampak secara klinis atau pada tingkat serologis aktif tanpa
memberikan pegobatan pencegahan. Setiap upaya harus dilakukan untuk menegakkan
diagnosis, meliputi pemeriksaan fisik lengkap sebelum memberikan terapi
pencegahan. Mengajarkan para remaja mengenai penyakit tersebut serta
konsekuensinya masih merupakan metode yang terbaik bagi pengendalian penyakit
tersebut. Penggunaan kondom, bersama-sama dengan air dan sabun sebagai
dekontaminasi setelah koitus, akan dapat mencegah sebagian besar kasus.(42)
d.Pencegahan infeksi klamidia trakomatis:
Menghindari kontak dengan karier yang infeksius dapat dilakukan dengan
menggunakan kondom atau menghindari koitus.(42)
e. Pencegahan uretritis:
Mikoplasma genitalium adalah agen penyebab baru (menambah daftar bakteri
penyebab uretritis nongonokokus (nongonococcal urethritis/NGU).
Tuntunan/petunjuk mengenai pengenalan dari seluruh kontak seksual dari penderita
dengan NGU telah direvisi menjadi meliputi setiap pasangan seksual dengan kontak
seksual dalam 60 hari dari diagnosis NGU tersebut ditegakkan. Selanjutnya, upaya
pencegahannya berupa penggunaan kondom serta penatalaksanaan pada penderita
dan pasangan seksualnya.(21)
f. Pencegahan herpes genitalis:
Menghindari kontak langsung dengan lesi aktif (abstinensia) adalah satu
langkah pasti pencegahan penyebaran penyakit herpes genitalis.(24,43) Hal ini
disebabkan karena virus dikeluarkan mulai saat timbulnya lesi sampai lesi sembuh

21
sempurna.(43) Secara umum, langkah yang dapat ditempuh sebagai pencegahan
penyakit tersebut adalah (1). Tindakan pencegahan tidak perlu dilakukan bila tidak
terdapat lesi aktif; (2). Lesi-lesi kecil yang jauh lokasinya dari mulut atau orifisium
vagina dapat ditutup dengan plester/pembalut adesif atau pembalut kertas selama
koitus; (3). Bila terdapat lesi aktif, tertular atau tidaknya pasangan seksualnya
terhadap penyakit tersebut tergantung dari pemaparan herpes sebelumnya. Pasangan
seksual yang tidak memiliki imun akan terinfeksi. Jika pasangan seksual (yang tetap)
telah pernah mengidap herpes genitalis atau tidak terinfeksi setelah pemaparan yang
lama, tidak perlu dilakukan upaya pencegahan.(24) Jika pasangan seksual memiliki
riwayat herpes genitalis, dapat digunakan 2 macam alat perintang, yaitu busa
spermatisidal dan kondom. Kombinasi tersebut yang disusul dengan pencucian alat
kelamin dengan air dan sabun pasca koitus dapat mencegah transmisi herpes genitalis
hampir 100%.(24,43) Busa spermatisidal secara invitro mempunya sifat virisidal dan
kondom dapat mengurangi penetrasi virus. Telah dibuktikan bahwa HSV-2 dengan
konsentrasi tinggi tidak dapat melewati lateks atau natural membrane kondom. Hal
ini memberi petunjuk bahwa kondom dapat mencegah transmisi HSV. Kadangkala
diperlukan pengobatan psikiatrik, karena faktor psikis mempunyai peranan untuk
timbulnya serangan.(43)
g. Pencegahan hepatitis B:
Imun globulin hepatitis B (Hepatitis B Immune Globulin/HBIG) akan
mencegah lebih kurang 75% dari infeksi HBV pada pasangan seksual dari pasien
yang terinfeksi HBV, dan penggunaannya direkomendasikan dalam bentuk terangkai
dengan inisiasi dari serial vaksin. Bagaimanapun juga, HBIG harus diberikan sedini
mungkin setelah terjadi paparan; karena efektivitasnya 7 hari pasca paparan tidak
diketahui. Vaksin yang diberikan dalam 3 dosis, dengan 2 dosis pertama setidaknya
selang 1 bulan. Dosis yang ketiga harus diberikan setidaknya 4 bulan setelah awal
imunisasi. Jika serial tersebut diinterupsi, dosis berikutnya harus diberikan sesegera
mungkin, dan serial tersebut kemudian harus dilanjutkan. Tidak perlu mengulang
kembali serial 3 dosis tersebut. Karena infeksi HIV dapat mempengaruhi respon
pasien terhadap vaksin, serologi pasca pemberian vaksin (antigen permukaan

22
hepatitis B) harus diambil pada pasien yang terinfeksi oleh HIV. Serologi pasca
vaksinasi juga direkomendasikan bagi kontak seksual dari penderita yang mengidap
infeksi kronis HBV. Individu-individu yang dikatagorikan sebagai individu yang
harus mendapatkan imunisasi HBV adalah: kaum homoseksual dan laki-laki
biseksual aktif, laki-laki dengan heteroseksual aktif dan wanita yang mengidap PMS
lainnya atau yang memiliki pasangan seksual yang lebih dari satu pada 6 bulan
terakhir, pekerja seks komersial, tenaga kesehatan, individu yang serumah dan
mengadakan kontak seksual dengan penderita yang terinfeksi HBV, serta penderita
PMS dan HBV.(21)
h. Pencegahan hepatitis A:
Saat ini tidak terdapat penatalaksanaan infeksi hepatitis A virus (HVA) akut
kecuali terapi suportif. Petunjuk terbaru merekomendasikan imunisasi pada individu
yang memiliki risiko terpapar oleh HAV. Imunisasi pasif dengan imun globulin yang
diberikan dalam 14 hari setelah terjadinya paparan dapat mencegah lebih dari 85%
infeksi HAV yang baru. Imunisasi pasif akan efektif untuk 3 sampai 6 bulan dan
direkomendasikan untuk profilaksis pre dan pasca paparan pada individu serumah
dan individu yang melakukan kontak seksual. Imunisasi pasif tidak direkomendasikan
pada mereka yang telah menerima paling tidak 1 dosis vaksin hepatitis A lebih dari
sebulan sebelum terjadinya paparan. Saat ini sudah tersedia kedua vaksin HAV
(Havrix dan Vaqta); kedua vaksin tersebut diberikan serial dalam 2 dosis berselang 6
bulan. Kurang lebih 99-100% resipien vaksin tersebut memberi respon terhadap dosis
pertama, sementara dosis kedua memberikan imunitas jangka panjang. Serial vaksin
tersebut direkomendasikan untuk profilaksis sebelum paparan. Vaksinasi juga
direkomendasikan untuk individu-individu yang mengidap infeksi kronis hepatitis C.
(21)

i. Pencegahan infeksi human papiloma virus (HPV):


Upaya pencegahan infeksi HPV dapat dilakukan dengan mengobati penderita
beserta pasangan seksualnya. Prinsip dasar pengobatan tersebut berupa penghancuran
tumor yang ditimbulkan oleh virus secara topikal dengan podofilin maupun bedah

23
listrik. Dan selama masih terdapat kondiloma, tidak diperbolehkan melakukan
hubungan seksual.(44)
j. Pencegahan infeksi HIV:
Untuk menurunkan risiko terkena infeksi HIV melalui hubungan seksual, telah
terdapat petunjuk mengenai “seks yang lebih aman.” Petunjuk tersebut termasuk
pengurangan jumlah pasangan seksual, terutama bagi mereka yang berisiko tinggi,
serta penggunaan kondom pada seluruh aktivitas koitus. Penggunaan kondom lateks
yang dilubrikasi dengan Nonoxynol 9 (spermatisidal yang menginaktivasi HIV
invitro), merupakan cara yang paling efektif.(42)
Edukasi dan konseling untuk deteksi pasien yang terinfeksi HIV serta
pencegahan infeksi HIV merupakan hal yang sulit untuk dilakukan. Infeksi HIV pada
wanita dapat terjadi pada penyalahgunaan obat-obatan serta pada wanita yang
memiliki pasangan seksual pria yang berisiko tinggi. Konseling yang dilakukan tidak
saja menekankan perlunya memodifikasi prilaku tetapi juga memperkuat perubahan
prilaku tersebut melalui pesan-pesan yang sensitif. Petunjuk pencegahan secara
umum bagi wanita yang seropositif adalah sebagai berikut: (1). Mencegah
memberikan donor darah, plasma, organ atau jaringan; (2). Menjalin hubungan
seksual monogami yang bermutu; (3). Menggunakan kondom dengan spermatisidal;
(4) Menghindari kehamilan. (42)
k. Pencegahan kandidiasis:
Pengobatan penderita dengan pasangan seksualnya merupakan upaya
pencegahan infeksi ulang oleh kandida albikans. Pencegahan primer dapat
diupayakan dengan selalu menjaga kebersihan genitalia, menghindari penggunaan
pakaian yang menimbulkan kelembaban yang tinggi (pakaian dari bahan nilon dan
wol), serta mengatasi kondisi yang menimbulkan keringat yang berlebihan.(45)

2.5.3. Prevensi Infeksi Pada Pemeriksaan USG


Garland S. and de Crespigny L, 1996, mengingatkan betapa tidak memadainya
upaya pencegahan infeksi silang pada pemeriksaan USG dan prosedur dengan
tuntunan USG yang dilakukan selama ini. Pada penggunaan USG, banyak operator

24
tidak terbiasa untuk dengan seksama/teliti membersihkan transduser sebelum
digunakan pada pasien berikutnya, maupun kebiasaan mencuci tangan sebelum serta
sesudah melakukan pemeriksaan, dan seringkali menggunakan teknik aseptik yang
minimal dalam melakukan prosedur intervensional.(9)
Pengendalian infeksi yang baik adalah lebih dari sekedar implementasi upaya
pencegahan universal. Hal tersebut meliputi pemahaman terhadap kebiasaan bekerja
yang aman, mutu yang terjamin, termasuk kemampuan untuk menentukan risiko
infeksi dari setiap prosedur khusus yang berada dibawah pengawasan ketat.
Pemrosesan instrumen serta peralatan yang memadai sangat tergantung dari risiko
infeksi yang berkaitan dengan prosedur mengenai bagaimana peralatan tersebut
digunakan.(9)
Untuk setiap prosedur invasif yang dilakukan dengan tuntunan USG, seperti
misalnya ovum pick-up atau biopsi vili korionik, instrumen yang digunakan untuk
punksi pada kulit maupun membran mukosa harus disterilisasi dengan autoklaf. (Bagi
instrumen yang tidak dapat disterilisasi dengan autoklaf dapat disterilisasi dengan
etilen oksida).(9)
Untuk instrumen yang kontak dengan kulit yang intak, misalnya transduser
abdominal untuk USG abdomen, cukup dibersihkan dengan menyekanya dengan
alkohol (dapat membunuh bakteri vegetatif dan virus, serta bersifat fungisidal dan
tuberkulosidal) atau dengan menggunakan air dan sabun, kemudian dikeringkan.(9)
Instrumen yang kontak dengan membran mukosa yang utuh, misalnya
spekulum vagina dan transduser USG vagina, minimal diproses dengan disinfeksi
tingkat tinggi, namun lebih baik jika dilakukan sterilisasi. Sebelum prosedur
disinfeksi, instrumen tersebut harus dibersihkan dan dikeringkan (tidak boleh
disimpan dalam larutan disinfektan). Metode disinfeksi tingkat tinggi tersebut
meliputi disinfeksi termal (direbus minimal 5 menit) atau disinfeksi secara kimiawi
(imersi selama 20 menit dalam glutaraldehid yang telah diaktivasi), kemudian dibilas
dengan air mengalir sebelum digunakan pada pasien. Glutaraldehid merupakan
disinfektan yang manjur (bersifat bakterisidal, fungisidal, virusidal, sporisidal lambat,
dan tuberkulosidal). Harus disadari bahwa pada disinfeksi kimiawi, proses

25
pembersihan sebelumnya sangat penting sehingga glutaraldehid dapat mengatasi
material protein seperti misalnya darah pada instrumen tersebut.(9)
Gel merupakan sumber infeksi yang potensial. Dari berbagai merek gel yang
ada di pasaran, yang sering digunakan adalah Aquasonic 100 Ultrasound
Transmission Gel (Parker Laboratories, New Jersey, USA) yang mengandung agen
bakteriostatik. Transmisi infeksi virus yang potensial dari pasien yang satu ke pasien
lainnya menjadi suatu hal yang penting setelah adanya laporan yang mendeteksi
adanya antigen hepatitis B dalam gel yang terkontaminasi setelah 24 jam. Melalui
penelitian invitro yang menggunakan berbagai bakteri dijumpai bahwa inokulum
yang tinggi (105 colony forming units (CFU) per mL) menyebabkan pertumbuhan
stafilokokus aureus, E coli dan pseudomonas aurigenosa, yang terjadi setelah
diinkubasi pada gel selama 18 jam pada suhu 37ºC. Pada inokulasi yang rendah (10 3
CFU per mL) tidak dijumpai pertumbuhan dari gram negatif meski terdapat
stafilokokus aureus yang persisten. Dengan demikian maka kontainer dari gel, bila
telah kosong, harus dibuang dan tidak boleh diisi ulang, karena masih memiliki sisa
yang potensial untuk terkontaminasi. Untuk mencegah infeksi dari pasien ke pasien,
maka penggunaan gel tersebut harus dilakukan tanpa kontaminasi terhadap
kontainernya.(9)
Secara umum, USG transvaginal merupakan prosedur yang noninvasif, tetapi
saat probe mengadakan kontak dengan permukaan epitelial mukosa, maka probe
tersebut dikatagorikan sebagai instrumen dengan risiko menengah. Sumber infeksi
yang potensial pada USG transvaginal meliputi berbagai organisme yang dapat
bertransmisi melalui darah dan sekresi genitalia, meliputi HIV, HBV, HCV,
sitomegalovirus, niseria gonore, klamidia trakomatis dan trikomonas vaginalis.
Ternyata dijumpai bahwa 3% dari cover transduser dan 7% kondom yang digunakan
untuk membungkus transduser tersebut terbukti mengalami perforasi setelah di buka.
Cover tersebut mungkin terlalu pendek untuk dapat membungkus seluruh transduser,
sehingga operator terlalu meregangkannya atau kontaminasi terjadi pada ujung atas
dari cover tersebut, khususnya bila terdapat perdarahan pada vagina. Dan pada saat
melepaskan cover tersebut dari transduser, kontaminasi dapat terjadi dari flora vagina

26
yang yang berasal di luar cover tersebut. Sehingga sangat penting untuk
menggunakan cover transduser yang sesuai, serta melakukan pembersihan transduser
yang memadai diantara pemeriksaan terhadap pasien. Garland SM and de Crespigny
L, 1996, menganjurkan hal-hal di bawah ini: (9)
1. Gel harus dibersihkan secara mekanik dari alat/transduser
2. Transduser harus dibersihkan dengan air dan sabun untuk membuang sebagian
besar material ekstra yang ada
3. Transduser kemudian harus dibilas dengan alkohol 70% atau direndam dalam
sodium hipoklorit 500 ppm selama 2 menit (larutan tersebut harus diganti setiap
hari karena mengalami perubahan yang cepat)
4. Transduser harus dilindungi (cover) selama melakukan insersi intra vaginal.
Cover alternatif yang dapat digunakan adalah sarung tangan bedah dari lateks,
kondom, atau surgical drape. Surgical drape merupakan pembungkus polietena
yang kedap air, dengan tebal 38 µm, yang dapat dipesan dalam bentuk yang lebih
besar, sehingga dapat lebih adekuat dalam meng-cover transduser (Defries
Industries, Keysborough, 3174 Australia)
5. Operator harus menggunakan sarung tangan sekali pakai untuk membuka labia
pada saat memasukkan probe ke dalam vagina. Harus diupayakan agar sarung
tangan yang telah terkontaminasi tersebut tidak kontak pada panel kontrol USG.
6. Setelah prosedur selesai, sarung tangan harus dibuka dan tangan kemudian dicuci
dengan air dan sabun.
Sebelum melakukan prosedur, transduser USG vaginal harus dibersihkan dari
gel yang melekat, mencucinya dengan air dan sabun, baru kemudian didisinfeksi.
Dianjurkan menggunakan cover transduser yang steril berupa
polietilen yang tipis (38µm). Untuk disinfeksi pada membran mukosa,
digunakan klorheksidin 0,015% ditambah dengan setrimid 0,15% larutan aqueous.(9)
Tidak dapat dibantah lagi bahwa tanpa upaya pencegahan yang memadai maka
beberapa penderita dan tenaga kesehatan sangat potensial untuk menderita sequelae
karena terjadinya infeksi silang pada prosedur USG.(9)

27
2.5.4. Prevensi Infeksi Pasca Operasi Ginekologi
Strategi spesifik penting dilakukan untuk mencegah infeksi pasca operasi. Bila
hal tersebut dilakukan, maka sejumlah infeksi akan dapat dicegah. Mencuci tangan
dengan seksama, menghindari kontak dengan penderita sepsis sebelum menuju ruang
operasi, menghindari kontak dengan penderita yang terinfeksi tanpa mencuci tangan
dengan baik, dan menghindari ruang operasi bila ahli bedah melakukan operasi pada
penderita yang infeksius, merupakan upaya pencegahan infeksi sederhana yang dapat
dilakukan. Tidak saja para dokter bedah/operator tetapi juga perawat dapat menjadi
vektor bakteri, sehingga mencuci tangan merupakan hal paling penting dalam
mencegah penyebaran infeksi.(7)
Infeksi serius setelah prosedur ginekologi seringkali terlokalisir di daerah
pelvis. Organ pelvis yang terkena biasanya uterus, adneksa (pasca histerektomi yang
tetap mempertahankan adneksa), serta jaringan ikat lunak pada dasar pelvis (pasca
histerektomi jenis apapun). Abses intraperitoneal dan subperitoneal pada pelvis,
trombopleblitis septik, dan peritonitis dapat terjadi setelah terinfeksinya ketiga organ
di atas.(10) Howell MR et al., 1997, menyatakan bahwa PRP akut dapat terjadi setelah
dilakukan suatu prosedur operasi. PRP akut tersebut harus diobati secara aktif untuk
mencegah terjadinya infeksi yang kronis.(17) Disamping infeksi rongga pelvis, pasien
ginekologi dapat mengalami infeksi setelah vulvektomi dan konisasi serviks, (46) luka
operasi, infeksi traktus urinaria, dan (terutama pada pasien tua) mengalami infeksi
paru-paru.(10)
Terjadinya infeksi luka operasi tergantung dari beberapa faktor. Beratnya infeksi
tergantung jumlah dan virulensi mikroorganisme serta status kekebalan tubuh pasien.
(10)
Sumber infeksi biasanya mencapai luka tersebut pada saat operasi dan biasanya
mengandung flora dari tubuh pasien sendiri atau dari lingkungannya seperti ruang
operasi, operator, serta dari tenaga kesehatan lainnya. Dengan menggunakan teknik
aseptik yang ketat, maka kontaminasi luka operasi secara bermakna dapat dikurangi,
tetapi tidak akan pernah dapat dieliminasi seluruhnya. Kemampuan tubuh melawan
infeksi akan menurun pada penyakit yang melemahkan daya tahan tubuh,

28
pembedahan, anestesi atau stres lainnya, trauma lokal pada jaringan dengan nekrosis,
hematom, serta benda asing.(10)
Berbagai upaya dilakukan untuk menurunkan morbiditas infeksi yang terjadi
setelah prosedur operasi ginekologi. Tidak satupun dari upaya tersebut yang berhasil
secara tunggal, namun langkah-langkah berikut ini mungkin dapat membantu:(7,10,42,46)
1. Vaginitis, vulvitis, dan infeksi lokal lainnya harus dieradikasi sebelum
pembedahan.(10) Melakukan insersi krim antibakterial vagina atau supositoria
preoperasi, terutama bila terdapat servisitis atau vulvovaginitis. (42) Vagina
dibersihkan preoperasi selama beberapa hari dengan agen-agen bakteriostatik
(seperti heksaklorofen, povidon iodin).(7,42) Serta mempersiapkan vagina
dengan larutan heksaklorofen atau povidon iodin beberapa saat sebelum
operasi.(10,18)
2. Waktu rawat inap pasien sesingkat mungkin sehingga memperkecil
kemungkinan terkontaminasinya flora pada pasien oleh flora yang ada di
rumah sakit serta dapat menghemat biaya.(7,10)
3. Mempersiapkan lapangan operasi dengan mencukur rambut tampaknya
menghilangkan lebih banyak infeksi daripada menjepit atau mengguntingnya,
terutama jika tindakan ini dilakukan sebelum dimulainya prosedur operasi.
Rambut yang ada pada daerah operasi harus disingkirkan secara kimiawi atau
dengan alat cukur elektrik. Pencukuran paling baik dilakukan tepat sebelum
pembedahan daripada dilakukan malam sebelumnya.(46)
4. Disinfeksi preoperasi pada daerah operasi. Harus disadari bahwa disinfeksi
vagina sulit dilakukan, dan disinfeksi pada servik tidak mungkin dapat
dilakukan.(10)
5. Harus dilakukan teknik pembedahan yang atraumatik menggunakan benang
yang sekecil mungkin, menghindari insisi kulit menggunakan elektrokauter
atau laser, serta penggunaan elektrokoagulasi yang hati-hati pada kasus-kasus
dengan hemostasis yang baik.(10) Pencegahan kontaminasi harus diperhatikan
dengan baik, melakukan diseksi anatomis yang tepat dan penanganan jaringan
dengan hati-hati, menghindarkan kerusakan jaringan, menyatukan lapisan-

29
lapisan jaringan, menutup ruang mati, dan menekan jumlah benda asing yang
ditinggal dalam luka.(46) Harus dihindari penggunaan benang yang besar untuk
hemostasis yang dapat menimbulkan strangulasi.(42) Jika hemostasis tidak
terlalu diperlukan, atasi dengan melakukan drainase dengan suction. Hal
tersebut dapat dilakukan pada batas/margin vagina yang tetap dibiarkan
terbuka atau yang ditutup pada histerektomi.(42) Daerah jaringan nekrotik yang
luas harus dieksisi.(7)
6. Penggunaan drainase pada luka bersih hanya diperkenankan dalam periode
singkat, drainase tersebut harus keluar melalui insisi yang berbeda dari insisi
yang dibuat pada operasi; dan vaginal cuff dapat dibiarkan terbuka pada
histerektomi.(10)
7. Diagnosis yang tepat serta evakuasi yang hati-hati dari hematom yang tidak
terinfeksi dilakukan dengan membuka luka dan insersi sebuah drain.
Hematom yang terinfeksi juga harus dibuka, dievakuasi, dan tetap dibiarkan
terbuka dengan kasa steril yang dibasahi larutan salin yang dapat diganti
dengan interval tertentu dibawah kondisi aseptik. Luka tersebut kemudian
ditutup sekunder.(10)
8. Penutupan luka primer ditunda 3-4 hari setelah operasi pada luka yang sangat
terkontaminasi.(17,35) Selama periode tersebut, luka ditutup dengan kasa steril
yang dibasahi larutan salin.(35) Perlu dibuat drainase pada ruang subkutaneus
pada penderita yang berbadan gemuk untuk mengeliminasi cairan yang
berdarah atau serous.(7)
9. Harus selalu menggunakan pembalut luka, sarung tangan, serta kateter yang
sekali pakai dan steril.(10)
10. Teknik aseptik yang benar harus digunakan pada drainase vesika urinaria, dan
dipersiapkan drainase dengan metode tertutup. Kantung penampung harus
dengan sistem yang dapat mencegah terjadinya refluk. Durasi dari drainase
harus dipersingkat. Pada kasus-kasus tertentu dapat dipertimbangkan
penggunaan drainase suprapubik.(10)

30
11. Antibiotika harus digunakan secara tepat dan terkendali, baik untuk terapi
maupun untuk profilaksis. Antibiotika profilaksis harus digunakan hanya pada
indikasi yang jelas, dengan dosis yang adekuat, dan dengan waktu yang
sesingkat mungkin.(10)
12. Infeksi yang berat dan infeksi lanjut dapat dicegah dengan menegakkan
diagnosis dini, drainase (termasuk open vaginal cuff), dan pegobatan terhadap
infeksi ringan.(42)
Tujuan pemberian antibiotika profilaksis adalah untuk menurunkan frekuensi
selulitis pelvik, mencegah infeksi luka, menurunkan penggunaan antibiotika
terapuitik yang mahal, serta untuk menurunkan lama serta biaya perawatan di rumah
sakit. Ledger et al. mempublikasikan petunjuk pemberian antibiotika profilaksis
dengan konsep penggunaan agen antibiotika yang termurah yang efektif. Antibiotika
profilaksis diberikan pada operasi yang melalui/pada daerah pembedahan yang
terkontaminasi, dimana bila tidak diberikan, maka akan terjadi insiden yang tinggi
dari infeksi daerah operasi dan dapat berakibat sequele yang serius, termasuk
bakterimia, syok septik, dan abses pelvis yang berkembang dari infeksi primer yang
ada. Pemberian antibiotika berperanan dalam pengurangan ukuran inokulum bakteri,
mengubah medium kultur pada daerah pembedahan sehingga tidak mendukung
pertumbuhan bakteri patogen, mengubah jaringan epitelial menjadi lebih sulit untuk
diinvasi oleh bakteri, dan meningkatkan fagositosis.(7)
Pneumonia, infeksi traktus urinarius, plebitis pada tempat infus serta infeksi
dari tempat drainase yang lama tidak dapat dicegah dengan pemberian antibiotika
profilaksis. Pada pembedahan ginekologi, antibiotika profilaksis yang dapat
digunakan antara lain: 1 dosis dari sefalosporin generasi pertama atau kedua
(misalnya 1 gram sefazolin IV, 2 gram sefoxitin IV). Antibiotika lainnya juga
memiliki efektifitas yang sama, namun biasanya lebih mahal. Pemberian sefalosporin
generasi pertama biasanya dengan satu dosis dan diberikan segera preoperasi pada
saat dilakukan induksi anestesi. Ilmuwan lainnya telah membuktikan bahwa
antibiotika profilaksis dapat menekan terjadinya infeksi luka operasi dan infeksi
pelvis dalam kurun waktu yang pendek (dari saat membuat luka insisi sampai dengan

31
3 jam berikutnya). Sehingga penggunaan antibiotika profilaksis harus diberikan sesaat
sebelum atau pada saat dibuat insisi agar berada pada kadar yang adekuat dalam
jaringan (pada saat bakteri mulai menyebar ke dalam jaringan di sekitar daerah
operasi). Pada operasi yang berlangsung lebih dari 2-3 jam, maka pemberian dosis
kedua intraoperasi perlu diberikan.(7) Pemberian antibiotika profilaksis pasca operasi
tidak akan meningkatkan efeknya, namun hanya meningkatkan pengeluaran biaya
serta berpotensi untuk menyebabkan efek samping.(7,10) Acker DB, 1998, menyatakan
bahwa dosis tunggal yang diberikan satu jam sebelum pembedahan biasanya telah
mencukupi. Pilihan antibiotika tampaknya tidak merupakan masalah dalam hal
kemampuannya, walaupun antibiotika yang aktif melawan mikroorganisme dengan
spektrum luas adalah yang paling sering digunakan.(46) Saifuddin AB dkk., 2002,
menyatakan bahwa pemberian antibiotika profilaksis 30 menit sebelum memulai
tindakan, jika memungkinkan, akan membuat kadar antibiotika dalam darah cukup
pada saat dilakukan tindakan. Satu kali dosis pemberian antibiotika profilaksis sudah
mencukupi dan tidak kurang efektif dibandingkan dengan tiga dosis atau pemberian
antibiotika selama 24 jam dalam mencegah infeksi. Jika tindakan berlangsung lebih
dari 6 jam, atau kehilangan darah mencapai 1500 ml atau lebih, perlu diberikan dosis
antibiotika profilaksis yang kedua untuk menjaga kadarnya dalam darah selama
tindakan berlangsung.(47)
Pemberian antibiotika profilaktik yang dimulai preoperasi dengan 2 tambahan
dosis yang diberikan setelah operasi (biasanya 6 dan 12 jam) telah dibuktikan oleh
banyak klinikus dapat secara bermakna menurunkan morbiditas infeksi pelvis setelah
histerektomi vaginal dan abdominal. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dosis
tunggal preoperasi sama efektif dengan dosis multipel dalam mencegah infeksi
mayor.(7,42) Penelitian komperatif yang dilakukan baru-baru ini mengindikasikan
bahwa sefalosporin dan penisilin semisintetis generasi terbaru dan yang lebih mahal
harganya ternyata tidak lebih efektif daripada agen antimikroba yang lebih lama,
walau dengan farmakokinetik dan mikrobiologis yang lebih maju. (7,42) Sefalosporin
generasi pertama sama efektifnya dengan generasi kedua dan ketiga atau sefamicin,
kurang menginduksi bakteri memproduksi ß laktamase, serta lebih murah. Antibiotika

32
tersebut harus diberikan melalui drip intravena yang cepat pada saat penderita tiba di
ruang operasi dan dapat diulang jika prosedur pembedahan berlangsung lebih dari 3
jam.(7) The United States of America Food and Drug Administration menyetujui
pengunaan sefonisid, sefotetan, seftriakson, dan sefuroksim untuk profilaksis dosis
tunggal pada histerektomi.(42) Mittendorf R et al., 1993, menyatakan bahwa
pemberian antibiotika preoperasi sangat efektif sebagai pencegah infeksi serius pada
histerektomi abdominal total, sehingga antibiotika profilaksis harus rutin dikerjakan
pada histerektomi abdominal total.(48) Antibotika profilaksis direkomendasikan
untuk prosedur-prosedur sebagai berikut: (1). Histerektomi vaginal; (2). Extended
hysterectomy pada kanker; (3). Operasi plastik pada tuba falopii (dengan pemberian
doksisiklin). Ia menambahkan bahwa penggunaan antibiotika profilaksis menurunkan
frekuensi demam pasca operasi sampai dengan setengahnya, dan kejadian infeksi
pelvis sampai dengan sepertiganya.(10)
Bakterial vaginosis tampaknya merupakan faktor risiko terjadinya infeksi pasca
operasi jika telah terdapat sebelum operasi pada wanita yang akan menjalani
histerektomi. Dianjurkan melakukan uji saring preoperasi terhadap penderita yang
akan histerektomi, dan yang terinfeksi kemudian diobati dengan metronidazol karena
bakteri anaerob memiliki peran yang besar pada infeksi pasca operasi ginekologi.
Penurunan infeksi pasca histerektomi vaginal dan seringkali pada histerektomi
abdominal dapat dicapai dengan pemberian antibiotika profilaksis yang dapat
membunuh flora vagina.(7) Diagnosis preoperasi serta pengobatan terhadap bakterial
vaginosis ternyata sangat efektif dalam menurunkan kejadian infeksi pasca operasi. (14)
Hager WD, 1997, menyatakan bahwa konsep antibiotika profilaksis dan douching
antiseptik sebelum pembedahan ternyata berkaitan dengan penurunan yang besar dari
jumlah bakteria vagina yang seringkali diisolasi dari tempat infeksi pelvis diantara
wanita yang menjalani pembedahan ginekologi.(7)
Karena memasuki/menembus usus besar merupakan penyebab utama dari
kontaminasi, dan kemudian mengakibatkan infeksi luka atau daerah operasi, maka
persiapan terhadap usus besar ternyata memberikan manfaat. Persiapan usus besar

33
cara Condon meliputi penggunaan yang adekuat dari katartik ditambahkan dengan
neomisin dan eritromisin dalam 3 dosis dilakukan sehari sebelum pembedahan.(7)
Acker DB, 1988, mengingatkan perlunya mewaspadai adanya faktor-faktor
risiko intrinsik yang diketahui berhubungan dengan meningkatnya insidensi infeksi
pascaoperasi, seperti usia yang tua, obesitas, kanker, debilitasi karena penyakit
kronis, imunosupresi, malnutrisi, predisposisi genetik terhadap infeksi, higiene yang
buruk, dan keadaan sosial ekonomi yang rendah. Operasi pada daerah yang
terkontaminasi atau tidak dapat menjaga teknik pembedahan yang sangat aseptik juga
tampaknya dapat merugikan.(46) Meskipun tidak terdapat penelitian yang
menunjukkan bahwa peningkatan status nutrisi penderita preoperasi dapat
menurunkan angka infeksi pasca operasi, namun secara logika lebih baik diupayakan
agar penderita dalam keadaan keseimbangan nitrogen yang terbaik.(7)
Sesuai dengan upaya pencegahan universal dan teknik aseptik, maka operator
harus mencuci tangan dengan klorheksidin 3%. Operator harus menggunakan sarung
tangan steril dan masker. Masker mencegah transmisi streptokokus beta hemolitik
group A (streptokokus piogenes) yang terdapat pada saluran nafas bagian atas pada
lebih kurang 5% populasi umum. Masker juga mengurangi risiko operator terkena
percikan cairan/darah dari penderita. Juga direkomendasikan penggunaan kaca mata
untuk menghindari percikan cairan/darah pada mata.(7,9) Disinfeksi yang memadai
pada kulit pasien dapat dilakukan dengan etil alkohol 70%, isopropil alkohol 60%,
klorheksidin alkoholik atau povidon iodin.(9)
Penggunaan pakaian bedah sekali pakai dan penutup operatif (walaupun terbuat
dari bahan kain) dapat membantu menurunkan angka infeksi pasca operasi baik pada
kasus yang bersih maupun yang terkontaminasi.(7,46) Bahan sintetis yang tidak dapat
basah dapat mencegah infeksi oleh bakteri kulit, baik dari pasien maupun dari
personal yang terlibat dalam lapangan operasi.(46)
Pembuangan bahan-bahan tajam harus dilakukan segera ke dalam wadah keras
yang ditempatkan dekat operator sehingga mudah dijangkau untuk menghindari
operator tertusuk benda tajam.(9)

34
Infeksi traktus urinarius dapat menjadi komplikasi pembedahan ginekologi
karena letak uretra di proksimal daerah operasi pada vagina. Efek tersebut diperkuat
dengan pemakaian kateter urine.(7) Pencegahan infeksi traktus urinarius oleh karena
kateterisasi dilakukan sesuai dengan teknik kateterisasi yang baik dan benar.
Ruangan operasi setelah prosedur ginekologi harus dibersihkan sesuai dengan
standar yang ada, seperti misalnya tetesan darah harus segera dibersihkan dengan
hipoklorit 10.000 ppm. Kotoran-kotoran yang tampak harus segera dibersihkan
setelah operasi dengan air dan sabun. Lampu/cahaya di ruangan operasi harus
dimatikan, atau bila lampu-lampu tersebut digantung di atas meja operasi, maka harus
dibersihkan dari debu dengan kain basah setiap harinya. Setiap minggu, lantai rungan
operasi harus dibersihkan dengan air dan sabun, dan kursi/bangku yang ada
dianjurkan untuk dibersihkan setiap hari. Rekomendasi prosedur di atas tidak dapat
dipaksakan pada kondisi dengan beban pekerjaan yang tinggi, namun merupakan
sebuah metode praktis yang dapat menjamin pencegahan terjadinya infeksi silang.(9)
Alat-alat dan bahan yang akan digunakan untuk tindakan kontrasepsi operatif
seperti sterilisasi sukarela atau pemasangan/pencabutan implan harus disterilisasi.
Jika dilakukan dengan benar, sterilisasi merupakan metode yang paling aman dan
paling efektif untuk pemrosesan alat-alat yang ada. Bila tidak ada sterilisator atau
tidak boleh digunakan (seperti misalnya pada alat laparoskopi; yang akan rusak bila
disterilisasi dengan otoklaf atau oven) maka disinfeksi tingkat tinggi merupakan satu-
satunya metode yang dapat diterima.(11)

2.5.5. Prevensi Infeksi Pada Penggunaan AKDR


Kemungkinan infeksi pada pemakaian AKDR yang meningkat umumnya
adalah infeksi sistem genitalis oleh gonore dan klamidia. Dengan melakukan tindakan
pencegahan infeksi seperti yang dianjurkan, maka petugas kesehatan dapat
mengurangi risiko infeksi dan bahaya penularan penyakit termasuk hepatitis B
(termasuk hepatitis C/HCV dan delta hepatitis/HDV) atau HIV setelah pemasangan
AKDR pada klien, petugas pelayanan itu sendiri, dan pembantunya.(11)

35
Terjadi penurunan yang tajam dari jumlah bakteri dalam kavum uteri setelah 24
jam pasca insersi, walaupun tetap dapat dijumpai adanya bakteri tersebut selama
beberapa hari pasca insersi. Terdapat sedikit peningkatan risiko infeksi pelvis pada 20
hari pertama setelah insersi. Sampai saat ini belum terdapat konsensus mengenai
apakah pemberian antibiotika pada saat insersi AKDR dapat menurunkan insiden
infeksi pasca insersi. Risiko utama dari terjadinya infeksi adalah pada saat
dilakukannya insersi AKDR, dan risiko tersebut tidak meningkat pada penggunaan
AKDR dalam jangka waktu yang panjang. Faktanya, angka kejadian infeksi pelvis
ternyata sebanding antara penggunaan AKDR yang mengandung tembaga maupun
hormon dalam jangka waktu yang lama dengan yang menggunakan kontrasepsi oral.
Bila infeksi terjadi setelah 45 sampai 60 hari, maka harus dipetimbangkan sebagai
PMS dan harus diobati dengan sebaik-baiknya. AKDR yang mengandung tembaga
(yang terbaru) dan yang mengandung progestin juga mungkin menurunkan insiden
dari infeksi pelvis.(31)
Akan timbul problema bila dijumpai secara insidentil adanya aktinomises
(secara sitologis) pada kasus asimptomatis. Terapi penisilin tidak efektif, sehingga
beberapa klinikus memilih untuk membuka AKDR tersebut, meskipun belum ada
bukti bahwa tindakan tersebut dapat mencegah terjadinya infeksi. Namun sebagian
besar klinikus setuju bila dijumpai adanya gejala infeksi dari wanita yang memiliki
hapusan positif terhadap aktinomises maka AKDR tersebut harus dibuka dan
kemudian diobati dengan antibiotika.(31)
Langkah-langkah pencegahan infeksi pada pemasangan AKDR adalah sebagai
berikut:(49)
- Mencuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan setiap klien menggunakan
sabun dan bersihkan tangan pada air yang mengalir. Juga selalu mencuci tangan
sebelum menggunakan sarung tangan dan ketika tangan kotor.
- Menggunakan sarung tangan bila akan kontak dengan darah atau cairan tubuh
lainnya. Untuk prosedur pembedahan, harus digunakan sarung tangan yang steril.

36
- Pada pemeriksaan vagina harus gunakan sarung tangan baru yang sekali pakai atau
yang dapat digunakan kembali, yang telah diproses dengan disinfeksi tingkat tinggi
atau sarung tangan steril.
- Bersihkan serviks dengan antiseptik sebelum melakukan insersi AKDR.
- Setelah digunakan pada setiap klien, instrumen serta peralatan yang dapat
digunakan kembali harus diproses sebagai berikut: (1). Dekontaminasi (direndam
dalam larutan klorin 0,5% atau disinfektan lainnya;(2). Bersihkan dengan air dan
sabun;(3). Dilakukan disinfeksi tingkat tinggi (DTT) dengan uap panas atau
sterilisasi (dengan uap panas atau panas kering/dry heat).
- Spekulum vagina, sonde uterus, sarung tangan untuk pemeriksaan pelvis, serta
peralatan lainnya dan instrumen yang bersentuhan dengan membran mukosa harus
didekontaminasi, dibersihkan, dan kemudian di DTT atau disterilisasi.
- Jarum atau semprit, skalpel, troakar untuk implan Norplan serta peralatan lain dan
instrumen yang bersentuhan dengan jaringan tubuh dibawah kulit harus
didekontaminasi, dibersihkan, dan kemudian di DTT atau disterilisasi.
- Obyek yang telah disterilisasi tidak boleh disentuh dengan tangan telanjang.
- Gunakan sarung tangan pada saat membersihkan instrumen dan peralatan.
- Cuci kain/linen dengan air sabun yang hangat dan kemudian keringkan.
- Setelah melakukan suatu prosedur dengan seorang klien, maka meja pemeriksaan
dan seluruh permukaan yang mungkin kontak dengan kulit yang terbuka/luka harus
dibersihkan/dilap dengan larutan klorin 0,5%.

37
BAB. III
RINGKASAN

Kejadian infeksi traktus urogenitalis masih cukup tinggi. Berbagai faktor


dapat mengakibatkan terjadinya infeksi traktus urogenitalis, seperti misalnya daya
virulensi kuman, faktor host berupa daya tahan tubuh yang dapat dipengaruhi oleh
faktor biologis, nutrisi, higiene serta prilaku, serta faktor penting lainnya berupa
upaya pencegahan dan pengobatan yang juga berpengaruh terhadap kemampuan
infektor untuk mengakibatkan infeksi.
Upaya pencegahan infeksi yang efektif adalah imunisasi. Namun sampai saat
ini, imunisasi belum dapat dilakukan pada hampir sebagian besar penyakit infeksi
yang ada sehingga kemudian ditempuh upaya pencegahan lainnya berupa
peningkatan kebersihan lingkungan dan higiene individu, pemberantasan karier
penyakit, menginterupsi siklus hidup penyebab infeksi, serta cara pencegahan infeksi
lainnya.
Menjaga higiene rekto-vagina merupakan upaya pencegahan infeksi saluran
kemih yang penting. Pada kondisi yang mengharuskan penggunaan drainase vesika
urinaria, maka harus digunakan kateter sekali pakai yang steril dengan metode
drainase tertutup, dengan durasi pemakaian yang sesingkat mungkin. PMS dapat
dicegah dengan mendorong prilaku seksual yang sehat, mencegah hubungan seksual
dengan individu yang memiliki kemungkinan infeksi yang tinggi, penggunaan
kondom atau barier profilaksis lainnya, program deteksi penyakit, menyediakan
fasilitas diagnosis dan pengobatan, serta mencegah komplikasi dengan pengobatan
dini. Pencegahan infeksi pada prosedur ginekologi (pemeriksaan USG, operasi
ginekologis, dan pemasangan AKDR) dapat dilakukan dengan tidak sekedar
mengimplementasikan upaya pencegahan universal, tetapi meliputi kebiasaan bekerja
yang aman dengan mutu terjamin, termasuk kemampuan untuk menentukan risiko
infeksi dari setiap prosedur khusus yang dilakukan, serta pemrosesan peralatan yang
memadai. Penggunaan antibiotika profilaksis juga memegang peranan penting dalam
pencegahan infeksi pasca operasi ginekologi.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Saifuddin A,B., Adriaansz G., Wiknjosastro G.H., Waspodo D. Buku acuan


nasional pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Jakarta: JNPKKR-POGI
bekerja sama dengan Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,
2000;241-7
2. Ginekologi. Bagian Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran Bandung. Bandung: Elstar Offset, 1981; 81-112
3. Shortliffe L.M.D., Stamey T. Urinary infection in adult women. In: Walsh
P.C., Gittes R.F., Perlmutter A.D., Stamey T.A. eds. Campbell’s urology.5th
edition. Philadelphia: W.B. Saunders Company, 1986;797-829
4. Bremnor J.D., Sadovsky R. Evaluation of dysuria in adults. American Family
Physician 2002;65(8):1-10
5. McRae S.N., Shortliffe L.M.D. Bacterial infections of the genitourinary tract.
In: Tanagho E.A., McAninch J.W. Eds. Smith’s general urology. New York:
Lange Medical Books/McGraw-Hill, 2000;237-64
6. Frank I.N. Urology. In: Schwartz S.I., Shires G.T., Spencer F.C.eds. Principles
of surgery. 5th edition. Singapore: McGraw-Hill,1989; 1729-49
7. Saifuddin A,B., Adriaansz G., Wiknjosastro G.H., Waspodo D. Buku acuan
nasional pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Jakarta: JNPKKR-POGI
bekerja sama dengan Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,
2000;241-7
8. Bagan penatalaksanaan penyakit menular seksual berdasarkan pendekatan
sindrom. Perhimpunan dokter spesialis kulit dan kelamin (perdoski Bali)
bekerjasama dengan AusAID Indonesia HIV/AIDS, STD prevention and care
project. Denpasar,1997
9. Garland S.M., de Crespigny L. Prevention of infection in obstetrical and
gynaecological ultrasound practice. Aust. NZ J Obstet Gynaecol
1996;36(4):392-5
10. Hirsch H.A., Kaser O., Ikle F.A. Atlas of gynecologic surgery. Thieme
Stuttgart, 1997;1-12
11. Buku acuan pelatihan ketrampilan AKDR. Jakarta: Jaringan nasional pelatihan
klinik kesehatan reproduksi, 2000; 4.1-4.13
12. Robertson J.R., Hebert D.B.Gynecologic urology. In: Pernoll M.L. ed. Current
Obstetric & Gynecologic Diagnosis & treatment. 7th edition. New Jersey:
Prentice-Hall International Inc.,1991; 851-65
13. Vermillion S.T., Holmes M.M, Soper D.E. Adolescents and sexually
transmisible diseases. Obstetrics and Gynecology Clinics 2001;27(1): 63-79
14. French J.I., McGregor J.A. Bacterial vaginosis: history, epidemiology,
microbiology, diagnosis, and treatment. In: Borchardt K.A., Noble M.A.eds.
Sexually transmitted diseases epidemiology, diagnosis, and treatment. New
York: CRC Press LCC, 1997; 4-39

39
15. Andolsek L., Novak M.K., Balogh S.A>, Waszak C.S. Long-term IUD use in
Ljubljana, Yugoslavia. Nort Carolina: Family Health International,1988;16-26
16. Wattimena J.R., Sugiarso N.C., Widianto M.B., Sukandar E.Y., Soemardji
A.A., Setiadi A.R. Farmakodinami dan terapi antibiotik. Yogyakarta:
Gajahmada University Press, 1991; 1-7
17. Govan A.D.T., Hart D.M., Callander R. Gynaecology illustrated.4th edition.
Singapore: Churchill Livingstone, 1993;143-78
18. Soper D.E. Genitourinary infections and sexually transmitted diseases. In:
Berek J.S., Adashi E.Y., Hillard P.A. eds. Novak’s gynecology. 12th edition.
Pennsylvania: Williams & Wilkins, 1988;429-45
19. Thinkhamrop J., Lumbiganon P., Thongkrajai P., Chongsomchai C.,
Pakarasang M. Vaginal fluid pH as screening test for vaginitis. International
Journal of Gynecology & Obstetrics 1999;66:143-48
20. Ault K.A., Faro S. Pelvic inflamatory disease-current diagnostic criteria and
treatment guidelines. Postgrad. Med. 1993;93(2):85-91
21. Miller K.E., Graves C.J. Update prevention and treatment of sexually
transmitted diseases. American Family Physician 2000;61(2):1-8
22. Stacey C.M., Munday P.E., Taylor-Robinson D., Thomas B.J., Gilchrist C.,
Ruck F., Ison C.A., Beard R.W. A longitudinal study of pelvic inflamatory
disease. Br. J. Obstet Gynaecol 1992;99:994-9
23. Krieger J.N. Sexually transmitted diseases. In: Tanagho E.A., McAninch J.W.
eds. Smith’s general urology. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill,
2000; 282-92
24. Barclay D.L. Benign disorder of the vulva & vagina. In: Pernoll M.L. ed.
Current Obstetric & Gynecologic Diagnosis & treatment. 7th edition. New
Jersey: Prentice-Hall International Inc., 1991;692-718
25. Fiscella K., Franks P., Kendrick J.S Meldrum S., Kieke B.A. Risk of preterm
birth that is associated with vaginal douching. Am J Obstet Gynecol
2002;186:1345-50
26. Scholtmeijer R.J., Schroder F.H., Griffiths D.J., Wolff E.D. Radang saluran
kemih. Dalam: Adrianto P. ed. (Disadur oleh Soelarto R.A.). Urologi untuk
praktek umum. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran, 1987;19-47.
27. Muliawan P. Prevalensi penyakit menular seksual pada kelompok wanita yang
mempunyai risiko tinggi di Denpasar, 1997-1998. Jurusan IKM FK
UNUD/YKP Denpasar.Denpasar, 1998
28. Wardhana M., Duarsa N.W. Spektrum Penyakit menular seksual pada remaja
di RSUP Sanglah Denpasar. Lab./UPF Penyakit Kulit dan Kelamin FK
UNUD/RSUP Denpasar (PERDOSKI Bali). Denpasar, 1997
29. Adnyana I.B.P., Suwiyoga K., Pemaron I.B.U. Penyakit radang panggul pada
usia remaja di RSUP Sanglah Denpasar. Lab/SMF Obstetri dan Ginekologi
FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar. Denpasar, 1998
30. Patten J.H., Susanti I., Dewi E.H. Reproductive tract infections and sexually
transmited diseases among clients of a women’s health mobile clinic in a rural
sub-district of Bali Indonesia. Yayasan Sehati. Denpasar,1998.

40
31. Cunningham F.G., Gant N.F., Leveno K.J., Gilstrap III L.C., Hauth J.C.,
Wenstrom K.D. Williams Obstetrics. 21st edition. New York: McGraw-Hill
Medical Publishing Division,2001;1517-54
32. Saifuddin A,B., Wiknjosastro G.H., Affandi B., Waspodo D. Buku panduan
praktis pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo bekerja sama dengan Jaringan Nasional
Pelatihan Klinik Kesehatan Reproduksi-POGI, 2002;U-14-8
33. Control of sexually transmitted diseases. Geneva: World Health Organization,
1985;23-40
34. Scholtmeijer R.J., Schroder F.H., Griffiths D.J., Wolff E.D. Keluhan miksi.
Dalam: Adrianto P. ed. (Disadur oleh Soelarto R.A.). Urologi untuk praktek
umum. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran, 1987;19-47
35. Hatcher R.A., Rinehart W., Blackburn R., Geller J.S. The essentials of
contraceptive technology. Baltimore: Johns Hopkins Population Information
Program,1997;163-1622
36. Morgan D.J., Aboud C.J., McCafferey I.M.B., Bhide S.A., Lamont R.F.,
Robinson D.T. Comparison of gram-stained smears prepared from blind
vaginal swabs with those obtained at speculum examination for the
assessment of vagina flora. British Journal of Obstetrics and Gynaecology
1996;103:1105-8
37. Nillson U., Hellberg D., Shoubnikova M., Nisson S., Mardh P.A. Sexual
behavior risk factors associated with bacterial vaginosis and chlamydia
trachomatis infection.Sex Transm Dis 1997;24:241-69
38. Wasti S., Ashfaq M.K., Ishaq R., Hamid R. Prevalence of chlamydial infection
in females attending antenatal and family planning clinics in Karachi Pakistan.
Aust. NZ J Obstet Gynaecol 1997;37(4):462-8
39. Svensson L.O., Mares I., Olsson S.E. Detection of CT in urinary samples from
women. Genitour. Med. 1991;67(2):117-9
40. Control of sexually transmitted diseases. Geneva: World Health Organization,
1985; 47-51
41. Howell M.R., Kassler W.J., Haddix A. Partner notification to prevent pelvic
inflamatory disease in women: cost-effectiveness of two strategies. Sex
Transm Dis 1997;24:287-92
42. Hemsell D.L., Wendel G.D., Mickal A. sexually transmitted diseases & pelvic
infections. In: Pernoll M.L. ed. Current Obstetric & Gynecologic Diagnosis &
treatment. 7th edition. New Jersey: Prentice-Hall International Inc.,1991;770-
800
43. Daili S.F. Diagnostik dan penatalaksanaan herpes genitalis. Bagian Ilmu
Penyakit Kulit dan kelamin FKUI-RSCM Jakarta. Dipresentasikan pada temu
ilmiah PMS. Jakarta, 1990
44. Siregar R.S. Kondiloma akuminata. Dalam: Harahap M. ed. Penyakit menular
seksual. Jakarta: PT Gramedia, 1990; 87-101.
45. Soedarto M. Kandidiasis genitalis. Dalam: Harahap M. ed. Penyakit menular
seksual. Jakarta: PT Gramedia, 1990; 106-19.

41
46. Acker D.B. Demam pascaoperasi. Dalam: Friedman E.A., Borten M., Chapin
D.S., Saputra S. eds. (Disadur oleh Kusuma W.) Seri skema diagnosis dan
penatalaksanaan ginekologi. Edisi II. Jakarta: Binarupa Aksara,1998;286-7
47. Saifuddin A,B., Wiknjosastro G.H., Affandi B., Waspodo D. Buku panduan
praktis pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo bekerja sama dengan Jaringan Nasional
Pelatihan Klinik Kesehatan Reproduksi-POGI, 2002;U-43-5
48. Mittendorf R., Aronson M.P., Berry R.E., Williams M.A., Kupelnick B.,
Klickstein A., Herbst A.L., Chalmers T.C. A meta-analysis of antibiotic
prophylaxis. Am J Obstet Gynecol 1993;169(5): 1119-24
49. Hatcher R.A., Rinehart W., Blackburn R., Geller J.S. The essentials of
contraceptive technology. Baltimore: Johns Hopkins Population Information
Program,1997;4-2 - 4-21

42

Anda mungkin juga menyukai