Anda di halaman 1dari 115

Universitas Sumatera Utara

Repositori Institusi USU http://repositori.usu.ac.id

Fakultas Kesehatan Masyarakat Tesis Magister

2016

Manajemen Pengelolaan Obat Di Dinas


Kesehatan Kota Lhokseumawe Tahun 2016

T. Mukhlis

http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/671
Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara
MANAJEMEN PENGELOLAAN OBAT DI DINAS KESEHATAN
KOTA LHOKSEUMAWE TAHUN 2016

TESIS

Oleh

T. MUKHLIS
137032239/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DRUG
MANAGEMENT AT THE HEALTH AGENCY OF
LHOKSEUMAWE, IN 2016

MEDAN
2016

Universitas Sumatera Utara


THESIS

By

T. MUKHLIS
137032239/IKM

MASTER IN PUBLIC HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM


FACULTY OF PUBLIC HEALTH
UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA
MANAJEMEN PENGELOLAAN OBAT DI DINAS KESEHATAN
KOTA LHOKSEUMAWE TAHUN 2016

TESIS

MEDAN
2016

Universitas Sumatera Utara


Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk
Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam
Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara

Oleh

T. MUKHLIS
137032239

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN
2016

Universitas Sumatera Utara


Telah diuji

Pada Tanggal : 18 Oktober 2016

Universitas Sumatera Utara


PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Drs. Zulfendri, M.Kes


Anggota : 1. dr. Fauzi, S.K.M
2. dr. Heldy BZ, M.P.H
3. Dra. Jumirah, Apt, M.Kes PERNYATAAN

MANAJEMEN PENGELOLAAN OBAT DI DINAS KESEHATAN


KOTA LHOKSEUMAWE TAHUN 2016

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesajarnaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang
Universitas Sumatera Utara
pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau
diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan
disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 18 Oktober 2016


Penulis

T. Mukhlis
137032239/IKM

ABSTRAK

Pengelolaan obat yang efektif diperlukan untuk menjamin ketersediaan obat dengan jenis dan
jumlah yang tepat. Perumusan masalah penelitian yaitu bagaimanakah manajemen pengelolaan
obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
manajemen pengelolaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe.
Jenis penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan
metode wawancara mendalam. Informan pada penelitian ini adalah seluruh staf yang terlibat
pada manajemen pengelolaan obat di Dinas Kesehatan yaitu berjumlah 7 orang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa manajemen pengelolaan obat di Dinas Kesehatan Kota
Lhokseumawe belum berjalan maksimal, diantaranya sering terjadi keterlambatan dalam
laporan pemakaian obat, pencatatan dan pelaporan belum lengkap, masih terdapat jumlah dan
jenis obat yang tidak sesuai permintaan Puskesmas dan masih terdapat obat kadaluwarsa, serta
pelatihan pengelolaan obat di Puskesmas belum dilaksanakan. Namun, perencanaan obat telah
dilaksanakan oleh Tim perencanaan obat dan pemilihan kebutuhan obat menggunakan metode
konsumsi didasarkan pada obat generik yang tercantum dalam DOEN dan Fornas.
Kesimpulan penelitian ini adalah perencanaan obat di Dinas Kesehatan Kota
Lhokseumawe dilaksanakan oleh tim perencanaan obat. Perencanaan kebutuhan obat
telah dilaksanakan sesuai tahapan perencanaan. Sering terjadi keterlambatan laporan
LPLPO. Waktu pengadaan dan kedatangan obat belum mengikuti ketepatan waktu yang
disepakati. Pada saat penerimaan obat masih terdapat obat yang hampir kadaluwarsa.
Penyimpanan obat dilakukan di Gudang Farmasi. Pengaturan tata ruang kurang baik,
masih terdapat penumpukan obat dan terdapat obat kadaluwarsa. Pendistribusian obat
dari Dinas Kesehatan ke Puskesmas dilaksanakan dengan cara mengambil langsung ke
Gudang Farmasi. Masih terdapat jumlah dan jenis obat yang tidak sesuai permintaan
Puskesmas. Kegiatan supervisi dan evaluasi pengelolaan obat di Puskesmas belum
berjalan dengan efektif dan efisien.

Kata Kunci : Perencanaan Obat, Pengadaan Obat, Penyimpanan


Obat, Pendistribusian Obat, Supervisi dan Evaluasi
Pengelolaan Obat

Universitas Sumatera Utara


i
ABSTRACT

An effective medicinal management is needed to guarantee the availability of


medicines in correct types and total numbers. The research problem was how about the
medicinal management in the Health Agency of Lhokseumawe. The objective of the
research was to find out medicinal management in the Health Agency of Lhokseumawe.
The research used qualitative method. The data were gathered by conducting in-depth
interviews, and there were 7 informants that consisted of the staffs in charge of
medicinal management in the Health Agency of Lhokseumawe.
The result of the research showed that the medicinal management in the Health Agency
of Lhokseumawe was not maximal due to the lateness in reporting the use of medicines,
incomplete records and reporting the kinds and imbalance between the number of
medicines and the request from Puskesmas, expired medicines, and no training about
medicinal management at Puskesmas. However, medicinal planning had been carried
out by the Medicinal Planning and Medicinal Need Selection Team using consumption
method based on generic medicines in DOEN and Fornas. The conclusion of the
research was that medicinal planning in the Health Agency of Lhokseumawe was
carried out by the Medicinal Planning Team according to the planning stages, but
lateness in LPLPO report often occurred. The procurement and supply of medicines
were not punctual, and there were still expired medicines. The medicines were stored
in the Pharmacy Storage. The layout was bad since there was still the heap of medicines
and expired medicines. The distribution of medicines from the health Agency to
Puskesmas was done by getting them directly from the Pharmacy Storage. There was
still the number of and the types of medicines which were not in accordance with the
demand of the Puskesmas. The supervision and evaluation of medicinal management
in Puskesmas did not run effectively and efficiently.

Keywords: Medicinal Planning, Medicinal Procurement, Medicinal Storage,


Medicinal Distribution, Medicinal Supervision and Management

ii
KATA PENGANTAR

Universitas Sumatera Utara


Puji Syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kita kesehatan, selawat dan

salam kepada Nabi Rasullulah Muhammad SAW atas rahmat-Nya penulis dapat

menyelesaikan Tesis yang berjudul MANAJEMEN PENGELOLAAN OBAT DI

DINAS KESEHATAN KOTA LHOKSEUMAWE

TAHUN 2016 .
Dalam penyusunan tesis ini penulis banyak mendapatkan bantuan, dorongan dan bimbingan

dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih

dan penghargaan kepada :

1. Prof. Dr. Runtung, S.H, M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si, selaku Dekan dan Ketua Program Studi S2 Ilmu

Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera

Utara

3. Prof. Dr. Ir. Evawany Y. Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2

Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Sumatera Utara

4. Dr. Drs. Zulfendri, M.Kes, selaku ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak

membantu mengarahkan penulis untuk penyelesaian tesis ini

5. dr. Fauzi, S.K.M selaku anggota Komisi Pembimbing yang memberikan saran

perbaikan penulisan tesis ini

iii
6. dr. Heldy BZ, M.P.H dan Dra. Jumirah, Apt, M.Kes selaku Komisi Penguji yang

memberikan kritik dan masukan penulisan tesis ini

Universitas Sumatera Utara


7. Ayahanda H. T. Soekman dan Ibunda Hj. Marwati M. Nur yang senantiasa berdoa

dan memberikan dukungan baik moril dan materiil dalam menyelesaikan pendidikan

8. Keluarga tercinta T. Aznal Zahri, T. Zainal Amri, Cut Mustika Sari, Merry, dan

Safriadi yang senantiasa berdoa dan memberikan dukungan dalam penyelesaikan

pendidikan

9. Seluruh Dosen Program Studi S2 IKM dan seluruh Staf Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu

10. Rekan-rekan mahasiswa S2 peminatan AKK angkatan 2013 dan 2014 yang

memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis

Semoga Allah SWT memberikan rahmat dan ridho-Nya bagi kita dan bagi semua pihak

yang telah membantu. Akhirnya penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan

dan kelemahan dalam penulisan tesis ini, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan

saran untuk penyempurnaannya.

Medan, 18 Oktober 2016


Penulis

T. Mukhlis
137032239/IKM

iv
RIWAYAT HIDUP

T. Mukhlis dilahirkan di Lhoksukon pada tanggal 12 Mei 1982 dari pasangan H. T.

Soekman dan Hj. Marwati M. Nur, anak ketiga dari empat bersaudara. Penulis
Universitas Sumatera Utara
beragama Islam dan bertempat tinggal di JL. Medan-Banda Aceh Desa Tutong No. 14

Lhoksukon, Aceh Utara. Penulis mulai sekolah dari Tahun 1988-1989 di SD

Negeri Pangkat Lhoksukon, Tahun 1989-1991 di SD Negeri Muhammadiyah

Lhoksukon, Tahun 1991-1994 SD Negeri Bertingkat Lhoksukon, Tahun 1994-1997 di

SMP Negeri 1 Lhoksukon, dan Tahun 1997-2000 di SMU Negeri 2 Modal Bangsa

Aceh Besar. Kemudian Tahun 2000-2006 Penulis melanjutkan pendidikan S1Kedokteran

Umum di Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung.

Tahun 2013 penulis mengikuti pendidikan lanjutan pada Program Studi S2 Ilmu

Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatra Utara

(USU) dengan minat studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan (AKK).

Penulis pernah bekerja dari April-Oktober 2007 sebagai dokter PTT Puskesmas

Patek, November 2007-Maret 2008 sebagai dokter PTT Puskesmas Lhok Kruet

Kabupaten Aceh Jaya dan Maret 2008-sekarang penulis bekerja sebagai dokter Pegawai

Negeri Sipil (PNS) Puskesmas Blang

Cut Pemkot Lhokseumawe.

Universitas Sumatera Utara


v
DAFTAR ISI

Halaman
ABSTRAK ......................................................................................................... i
ABSTRACT .......................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................. v
DAFTAR ISI ........................................................................................................ vi
DAFTAR TABEL ............................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... ix

BAB 1. PENDAHULUAN .................................................................................. 1


1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................ 8
1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................. 9
1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................... 10

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 11


2.1. Manajemen Pengelolaan Obat di Dinas Kesehatan ......................... 11
2.2. Tinjauan Umum tentang Obat .......................................................... 26
2.3. Dasar Kebijakan Pengelolaan Obat ................................................. 28
2.4. Indikator Pengelolaan Obat ............................................................. 32
2.5. Kerangka Pikir ................................................................................. 37

BAB 3. METODE PENELITIAN ...................................................................... 38


3.1. Jenis Penelitian ................................................................................ 38
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................... 38
3.3. Informan ( Sumber Informasi) ......................................................... 38
3.4. Instrumen Penelitian ........................................................................ 40
3.5. Metode Pengumpulan Data ............................................................. 40
3.6. Definisi Konsep ............................................................................... 41
3.7. Metode Pengolahan Data ................................................................. 42
3.8. Metode Analisa Data ........................................................................ 43

BAB 4. HASIL PENELITIAN ........................................................................... 44


4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ............................................................. 44
4.1.1.Letak dan Batas Wilayah ........................................................ 44
4.1.2.Data Demografi 45
.......................................................................
4.2. Visi Misi Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe ............................. 46
4.3. Derajat Kesehatan Kota Lhokseumawe ........................................... 47
4.4. SDM Kesehatan Kota Lhokseumawe .............................................. 49
Universitas Sumatera Utara
4.5. Informan Penelitian .......................................................................... 51
vi
4.6. Perencanaan Obat di Dinkes Kota Lhoksweumawe ........................ 51
4.7. Pengadaan Obat di Dinkes Kota Lhokseumawe .............................. 55
4.8. Penyimpanan Obat di Dinkes Kota Lhokseumawe ......................... 58
4.9. Pendistribusian Obat di Dinkes Kota Lhokseumawe ....................... 63
4.10.Supervisi dan Evaluasi Obat .......................................................... 67

BAB 5. PEMBAHASAN ..................................................................................... 70


5.1. Perencanaan Obat di Dinkes Kota Lhokseumawe ........................... 70
5.2. Pengadaan Obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe .............. 75
5.3. Penyimpanan Obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe .......... 80
5.4. Pendistribusian Obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe ....... 84
5.5. Supervisi dan Evaluasi Obat di Dinas Kesehatan Kota
Lhoseumawe .................................................................................... 88

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 97


6.1. Kesimpulan ...................................................................................... 97
6.2. Saran ................................................................................................ 99

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 101

LAMPIRAN

vii

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

3.1 Informan dalam Penelitian ........................................................................ 39

4.1 Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan ..................................................... 45

4.2 Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan ............................................... 46

4.3 Informan Penelitian ................................................................................... 50

viii
DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

Universitas Sumatera Utara


2.5. Kerangka Pikir Penelitian .......................................................................... 37

4.1 10 Penyakit Terbanyak .............................................................................. 48

4.2 Jumlah Tenaga Kesehatan Kota Lhokseumawe ........................................ 50

ix
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Kementerian

Kesehatan RI Tahun 2010 tentang materi pelatihan manajemen kefarmasian di Instalasi

Farmasi Kabupaten/Kota, disebutkan bahwa obat merupakan komponen esensial dari

Universitas Sumatera Utara


suatu pelayanan kesehatan, selain itu karena obat sudah merupakan kebutuhan

masyarakat, maka persepsi masyarakat tentang hasil dari pelayanan kesehatan adalah

menerima obat setelah berkunjung ke sarana kesehatan, yaitu Puskesmas, Poliklinik,

Rumah Sakit, Dokter praktek swasta dan lain-lain. Oleh karena vitalnya obat dalam

pelayanan kesehatan, maka pengelolaan yang benar, efisien dan efektif sangat

diperlukan oleh petugas di Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kota. Menurut Organisasi

Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1996, belanja obat merupakan anggaran terbesar biaya

kesehatan. Di Indonesia biaya obat berkisar 40 persen anggaran kesehatan, namun

sebagian besar dari populasi mungkin tidak memiliki akses terhadap obat esensial. Dana

yang tersedia terbatas dan sering dihabiskan untuk obat tidak efektif, tidak perlu, atau

bahkan berbahaya. (Depkes RI, 2002).

Saat ini dana pemerintah untuk kesehatan telah dimasukkan ke dalam Dana Alokasi

Umum (DAU), karena itu anggaran obat untuk pelayanan kesehatan dasar di daerah

menjadi tanggung jawab pemda. Anggaran obat untuk pelayanan kesehatan dasar di

daerah sangat berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya, karena adanya

perbedaan visi dan persepsi Pemda tentang kesehatan. Walaupun demikian pemerintah

pusat tetap bertanggung jawab membantu kabupaten/kota menyediakan obat untuk

keperluan bencana dan kekurangan obat. (Depkes RI, 2006).

WHO mendefinisikan obat esensial sebagai obat untuk memenuhi kebutuhan mayoritas

penduduk, karena itu harus selalu tersedia. Alasan pemilihan dan penggunaan obat

esensial adalah untuk mengarahkan ke perbaikan pasokan obatobatan, resep yang lebih

rasional, dan biaya yang lebih rendah. Pada kenyataannya, penggunaan yang tepat obat

esensial adalah salah satu strategi yang paling efektif yang dapat diberlakukan oleh

suatu negara. (Olson, 2012).

Universitas Sumatera Utara


Fasilitas pelayanan kesehatan merupakan komponen terakhir dari rantai pasokan

farmasi. Pengelolaan obat di tingkat pusat langsung mempengaruhi kualitas kesehatan.

Jika obat-obatan secara konsisten tidak tersedia, pasien menderita dan anggota staf

kehilangan motivasi. Semua orang kehilangan kepercayaan dalam sistem kesehatan,

dan kehadiran pasien menurun. Pengelolaan obat konstan dapat mempromosikan

pelayanan kesehatan yang efektif, membangkitkan rasa percaya di fasilitas kesehatan,

dan memberikan kontribusi untuk kepuasan kerja dan harga diri pekerja. (Sallet, 2012).

Pengelolaan obat merupakan suatu rangkaian kegiatan yang menyangkut aspek

perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, serta penggunaan obat

secara rasional. Pengelolaan obat yang efektif terletak pada kebijakan dan kerangka

hukum yang membangun dan mendukung komitmen publik untuk pasokan obat

esensial dan dipengaruhi oleh isu-isu ekonomi. Panduan ini memberikan konsep dan

pendekatan yang dapat menghasilkan perbaikan kesehatan terukur melalui akses yang

lebih besar dan penggunaan obat rasional. (Embrey, 2012).

Tujuan pengelolaan obat adalah tersedianya obat esensial dan dapat diakses oleh

seluruh penduduk, menjamin keamanan, khasiat, dan mutu obat yang diproduksi dan

pemerataan distribusi, meningkatkan kehadiran obat esensial di fasilitas kesehatan,

penggunaan obat rasional oleh masyarakat. (Embrey, 2012).

Untuk meningkatkan penggunaan obat yang rasional, penggunaan obat esensial pada

fasilitas pelayanan kesehatan harus disesuaikan dengan pedoman pengobatan yang telah

ditetapkan, hal ini sangat berkaitan dengan pengelolaan obat. Pengelolaan obat yang

efektif diperlukan untuk menjamin ketersediaan obat dengan jenis dan jumlah yang

tepat dan memenuhi standar mutu sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. HK.

Universitas Sumatera Utara


02.02/Menkes/523/2015 tentang Formularium Nasional sebagaimana dirubah dengan

Peraturan Menteri Kesehatan No. HK. 02.02/Menkes/137/2016.

Alasan memilih obat esensial adalah bahwa hal itu dapat menyebabkan pasokan yang

lebih baik, penggunaan lebih rasional, dan biaya yang lebih rendah. Obat esensial

dianggap memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan mayoritas penduduk dan harus

tersedia dalam bentuk sediaan yang tepat dan bermutu setiap saat. Karena pemilihan

obat memiliki dampak yang cukup besar pada kualitas pelayanan kesehatan dan biaya

pengobatan, itu adalah salah satu cara yang paling murah untuk dilakukan intervensi.

(Olson, 2012).

Ketersediaan obat didukung oleh industri farmasi yang berjumlah sekitar 204

perusahaan dan 90% berlokasi di pulau Jawa, telah dapat memproduksi 98% kebutuhan

obat nasional, namun sebagian besar bahan baku masih di impor. Ketergantungan

terhadap impor bahan baku obat ini dapat menyebabkan tidak stabilnya penyediaan obat

nasional dan mengakibatkan fluktuasi harga obat. (Depkes RI, 2006).

Pelayanan kefarmasian yang merupakan bagian dari pelayanan kesehatan bertujuan

untuk meningkatkan penggunaan obat yang rasional, keamanan penggunaan obat dan

efisiensi biaya obat, serta meningkatkan kualitas hidup pasien harus mengikuti praktek

pelayanan kefarmasian yang sebagaimana yang dianjurkan oleh WHO. Kenyataan

selama ini menunjukkan bahwa praktik pelayanan kefarmasian belum terlaksana

sebagaimana mestinya dihampir semua Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), strata

kedua (Rumah Sakit kelas C dan B non pendidikan), strata ketiga (rumah sakit kelas B

pendidikan dan kelas A) dan farmasi komunitas (apotek). Pelayanan kefarmasian yang

belum mengikuti pelayanan kefarmasian yang baik tidak hanya disebabkan oleh sistem

Universitas Sumatera Utara


pengelolaan obat, ketersediaan obat, tetapi juga karena ketersediaan, pemerataan dan

profesionalisme tenaga farmasi yang masih kurang. (Depkes RI, 2006).

Beberapa hal yang masih menjadi permasalahan dalam pengelolaan obat di

Indonesia antara lain, masih ada Pemerintah Daerah yang belum mengalokasikan
anggaran untuk obat secara optimal karena kurangnya komitmen Pemerintah Daerah
Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam mengalokasikan anggaran bagi penyediaan obat dari
APBD sehingga biaya untuk obat mengandalkan anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK).
(Kemenkes RI, 2013).

Berdasarkan Peraturan Presiden No. 4 Tahun 2015 tentang perubahan keempat atas

Peraturan Presiden no. 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa Pemerintah.

Pemilihan pengadaan obat dilakukan melalui pembelian secara epurchasing dengan

sistem e-catalgue. Prinsip pemilihan penyedia barang/jasa secara elektronik bertujuan

untuk efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif dan

akuntabel.

Dengan telah terbangunnya sistem E-Catalogue Obat, maka seluruh Satuan

Kerja di bidang kesehatan baik Pusat maupun Daerah dan Fasilitas Kesehatan Tingkat

Pertama (FKTP) atau Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) dalam

pengadaan obat baik untuk program Jaminan Kesehatan Nasional maupun program

kesehatan lainnya tidak perlu melakukan proses pelelangan, namun dapat langsung

memanfaatkan sistem E-Catalogue obat dengan prosedur E-Purchasing. Dengan

adanya perubahan sistem pengadaan obat ini, diperlukan proses adaptasi baik pada

satuan kerja sebagai pengguna, industri sebagai penyedia obat, dan distributor. Hal ini

mempengaruhi pengadaan obat di setiap jenjang dan berdampak pada ketersediaan obat.

Siklus distribusi obat dimulai pada saat produk obat keluar dari pabrik atau distributor,

dan berakhir pada saat laporan konsumsi obat diserahkan kepada unit pengadaan.

Distribusi obat yang efektif harus memiliki desain sistem dan manajemen yang baik

Universitas Sumatera Utara


dengan cara antara lain: menjaga suplai obat tetap konstan, mempertahankan mutu obat

yang baik selama proses distribusi, meminimalkan obat yang tidak terpakai karena rusak

atau kadaluwarsa dengan perencanaan yang tepat sesuai kebutuhan masing-masing

daerah, memiliki catatan penyimpanan yang akurat, rasionalisasi depo obat dan

pemberian informasi untuk memperkirakan kebutuhan obat. (Clark, 2012).

Setiap fasilitas kesehatan perlu menyimpan dan mengelola obatnya. Sistem

penyimpanan bertujuan untuk memastikan penyimpanan aman, penyimpanan dalam

kondisi lingkungan yang benar, pencatatan akurat, penataan yang efektif, dan

pemantauan obat yang kadaluwarsa, serta pencegahan pencurian. Penyimpanan harus

terletak di dalam gedung yang tahan cuaca kering. Obat harus diatur dan mudah diakses,

disimpan di rak-rak (sebagian besar obat di fasilitas kesehatan disimpan di rak-rak).

Ruang dan peralatan pendingin harus disediakan untuk pendingin vaksin dan barang-

barang lainnya. Suhu dan tingkat kelembaban harus dikontrol dalam batasbatas yang

tepat, dan ruang harus memiliki ventilasi yang baik. (Sallet, 2012).

Dinas Kesehatan sebagai unsur Pemerintah Daerah di bidang kesehatan diharapkan dapat

memberikan yang terbaik pada masyarakat, maka Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

merumuskan VISI dan MISI sebagai satu kesatuan dengan rangkaian kebijakan yang akan

dilaksanakan dari tahun ke tahun. Salah satu kebijakan Dinas Kesehatan dalam rangka

mencapai visi adalah dengan meningkatkan dan memelihara mutu lembaga dan pelayanan

kesehatan melalui pemberdayaan SDM secara berkelanjutan, sarana dan prasarana dalam

bidang medis termasuk ketersediaan obat yang terjangkau masyarakat. Ketersediaan obat

menjadi salah satu kebijakan yang dilaksanakan untuk mendukung pelayanan kesehatan

yang ada. (Dinkes Kota Lhokseumawe, 2014).

Berdasarkan hasil wawancara awal peneliti, perencanaan kebutuhan obat di

Universitas Sumatera Utara


Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dilakukan oleh Kepala Seksi Bidang Kefarmasian

dengan menggunakan metode konsumsi, dilakukan secara manual dan belum

terkomputerisasi, hal ini dapat menyulitkan petugas menentukan dalam menentukan

jumlah persediaan. Puskesmas sering mengalami keterlambatan dalam pengiriman

berkas Laporan Pemakaian dan Lembar Permintan Obat (LPLPO) ke Dinas Kesehatan.

Hasil observasi peneliti di Gudang Farmasi Dinkes Kota Lhokseumawe menunjukkan

bahwa masih terjadi penumpukan beberapa jenis obat yang sudah cukup lama tidak

didistribusikan, hal ini mencerminkan ketidaktepatan perencanaan kebutuhan obat tidak

tepat atau kurang baiknya sistem distribusi. Masih terdapat penumpukan obat yang

kadaluwarsa di Gudang Farmasi, kemungkinan dikarenakan kurangnya pengamatan

mutu dalam penyimpanan dan dapat menimbulkan kerugian biaya.

Menurut Cheng dan Whittemorre (2008) yang meneliti tentang manajemen rantai

pasok di rumah sakit, sistem yang masih manual menjadi salah satu penyebab dari

kelebihan pemesanan yang akhirnya menimbulkan persediaan yang berlebih.

Pengelolaan logistik sangat ditentukan oleh kegiatan perencanaan, misalnya dalam

menentukan barang yang pengadaannya melebihi kebutuhan. Hal tersebut dapat

merusak suatu siklus manajemen logistik secara keseluruhan, sehingga menimbulkan

pemborosan dan pembengkakan dalam biaya, akhirnya obat tidak tersalurkan sehingga

bisa rusak atau kadaluwarsa meskipun baik pemeliharaannya di gudang. (Seto, 2004).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah perencanaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe Tahun

2016?

Universitas Sumatera Utara


2. Bagaimanakah pengadaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe Tahun

2016?

3. Bagaimanakah penyimpanan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe Tahun

2016?

4. Bagaimanakah pendistribusian obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

Tahun 2016?

5. Bagaimanakah supervisi dan evaluasi manajemen pengelolaan obat di Dinas

Kesehatan Kota Lhokseumawe Tahun 2016?

1.3 Tujuan Penelitan

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimanakah manajemen pengelolaan

obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe Tahun 2016.

1.3.2 Tujuan Khusus

Berkaitan dengan tujuan umum diatas, maka tujuan khusus dalam penelitian ini adalah

untuk :

1. Mengetahui perencanaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe Tahun

2016?

2. Mengetahui pengadaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe Tahun 2016?

3. Mengetahui penyimpanan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe Tahun

2016?

Universitas Sumatera Utara


4. Mengetahui pendistribusian obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe Tahun

2016?

5. Mengetahui supervisi dan evaluasi manajemen pengelolaan obat di Dinas

Kesehatan Kota Lhokseumawe Tahun 2016?

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini antara lain :

1. Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan konsep manajemen

pengelolaan obat melalui proses perencanaan, pengadaan, penyimpanan,

pendistribusian dan pengawasan obat

2. Penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber informasi bagi Dinas Kesehatan

Kota Lhokseumawe dalam rangka penentuan arah kebijakan dan perbaikan

dalam hal manajemen pengelolaan obat

3. Bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dan Puskesmas di

wilayah kerjanya dalam rangka menyusun perencanaan kebutuhan obat secara

efektif dan efisien

4. Bagi Peneliti diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dalam mengaplikasi

ilmu pengetahuan yang diperoleh selama mengikuti pendidikan di Universitas

Sumatra Utara (USU).

Universitas Sumatera Utara


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Manajemen Pengelolaan Obat di Dinas Kesehatan

Manajemen berasal dari bahasa inggris yaitu "Manage" yang berarti, mengurus,

mengelola, mengendalikan, mengusahakan, memimpin. Sedangkan pengertian

manajemen secara etimologis adalah seni melaksanakan dan mengatur. Pengertian

manajemen juga dipandang sebagai disiplin ilmu yang mengajarkan proses

mendapatkan tujuan organisasi dalam upaya bersama dengan sejumlah orang atau

sumber milik organisasi.

Menurut Gulick yang dikutip oleh Wijayanti (2008), mendefinisikan manajemen

sebagai suatu bidang ilmu pengetahuan yang berusaha secara sistematis untuk

memahami mengapa dan bagaimana manusia bekerja bersama-sama untuk mencapai

tujuan dan bermanfaat bagi kemanusiaan.

Menurut Terry dan Leslie (2010), menjelaskan bahwa manajemen adalah suatu proses

atau kerangka kerja, yang melibatkan bimbingan atau pengarahan suatu kelompok

orang-orang kearah tujuan-tujuan organisasional atau maksud-maksud yang nyata.

Manajemen merupakan suatu proses yang khas yang terdiri atas tindakantindakan

perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengendalian untuk menentukan

serta mencapai tujuan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya

lainnya.

Berdasarkan definisi yang tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa manajemen

merupakan usaha yang dilakukan secara bersama-sama untuk menentukan dan


Universitas Sumatera Utara
mencapai tujuan-tujuan organisasi dengan pelaksanaan fungsi-fungsi perencanaan

(planning), pengorganisasian (organizing), penggerakan (actuating), dan pengawasan

(controlling). (Terry dan Leslie, 2010).

Pengertian pengelolaan obat adalah bagaimana cara mengelola tahap-tahap dari

kegiatan tersebut agar dapat berjalan dengan baik dan saling mengisi sehingga dapat

tercapai tujuan pengelolaan obat yang efektif dan efisien agar obat yang diperlukan oleh

dokter selalu tersedia setiap saat dibutuhkan dalam jumlah cukup dan mutu terjamin

untuk mendukung pelayanan yang bermutu.

(Anief, 2007).

Pengelolaan obat merupakan suatu rangkaian kegiatan yang menyangkut aspek

perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, serta penggunaan obat

secara rasional. Pengelolaan obat yang efektif terletak pada kebijakan dan kerangka

hukum yang membangun dan mendukung komitmen publik untuk pasokan obat

esensial dan dipengaruhi oleh isu-isu ekonomi. Panduan ini memberikan konsep dan

pendekatan yang dapat menghasilkan perbaikan kesehatan terukur melalui akses yang

lebih besar dan penggunaan obat rasional. (Embrey, 2012).

Tujuan pengelolaan obat adalah tersedianya obat esensial dan dapat diakses oleh

seluruh penduduk, menjamin keamanan, khasiat, dan mutu obat yang diproduksi dan

pemerataan distribusi, meningkatkan kehadiran obat esensial di fasilitas kesehatan,

penggunaan obat rasional oleh masyarakat. (Embrey, 2012).

Menurut Quick (1997), bahwa dalam sistem manajemen obat, masing-masing fungsi

utama terbangun berdasarkan fungsi sebelumnya dan menentukan fungsi selanjutnya.

Seleksi seharusnya didasarkan pada pengalaman aktual terhadap kebutuhan untuk

melakukan pelayanan kesehatan dan obat yang digunakan, perencanaan dan pengadaan
Universitas Sumatera Utara
memerlukan keputusan seleksi dan seterusnya. Siklus manajemen obat didukung oleh

faktor-faktor pendukung manajemen (management support) yang meliputi organisasi,

keuangan, atau finansial, sumber daya manusia (SDM), dan sistim informasi

manajemen (SIM). Setiap tahap siklus manajemen obat yang baik harus didukung oleh

keempat faktor tersebut sehingga pengelolaan dapat berlangsung secara efektif dan

efisien.

2.1.1 Perencanaan Obat

Perencanaan yaitu sebagai dasar pemikiran dari tujuan dan penyusunan langkah-

langkah yang akan dipakai untuk mencapai tujuan. Merencanakan berarti

mempersiapkan segala kebutuhan, memperhitungkan matang-matang apa saja yang

menjadi kendala, dan merumuskan bentuk pelaksanaan kegiatan yang bermaksud untuk

mencapai tujuan (Terry dan Leslie, 2010).

Perencanaan di bidang kesehatan pada dasarnya merupakan suatu proses untuk

merumuskan masalah kesehatan yang berkembang di masyarakat, menentukan

kebutuhan dan sumber daya yang harus disediakan, menetapkan tujuan yang paling

pokok dan menyusun langkah-langkah praktis untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.

Perencanaan menurut ilmu administrasi kesehatan terdapat 3 aspek pokok yang harus

diperhatikan meliputi: hasil kerja perencanaan (outcome of planning), perangkat

perencanaan (mechanic of planning), dan proses perencanaan (process of planning).

Kegiatan yang dilakukan dalam perencanaan kebutuhan obat antara lain :

a. Tahap Pemilihan Obat

Fungsi seleksi/pemilihan obat adalah untuk menentukkan apakah obat

benarbenar diperlukan sesuai dengan jumlah penduduk dan pola penyakit di daerah.

Universitas Sumatera Utara


Untuk mendapatkan pengadaan obat yang baik, sebaiknya diawali dengan dasar-dasar

seleksi kebutuhan obat yaitu meliputi: (Kemenkes, 2010).

1) Obat dipilih berdasarkan seleksi ilmiah, medik dan statistik yang memberikan

efek terapi jauh lebih baik dibandingkan resiko efek samping yang akan

ditimbulkan

2) Jenis obat yang dipilih seminimal mungkin dengan cara menghindari duplikasi

dan kesamaan jenis

3) Jika ada obat baru harus ada bukti yang spesifik untuk efek terapi yang lebih baik

4) Hindari penggunaan kombinasi, kecuali jika obat kombinasi mempunyai efek

yang lebih baik dibanding obat tunggal

5) Apabila jenis obat banyak, maka kita memilih berdasarkan obat pilihan (drug of

choice) dari penyakit yang prevalensinya

b. Tahap perhitungan kebutuhan obat

Kompilasi pemakaian obat berfungsi untuk mengetahui pemakaian bulanan masing-

masing jenis obat di unit pelayanan kesehatan/puskesmas selama setahun dan sebagai

pembanding bagi stok optimum. (Kemenkes, 2010).

Informasi yang didapat dari kompilasi pemakaian obat adalah:

1) Jumlah pemakaian tiap jenis obat pada masing-masing unit pelayanan

kesehatan/puskesmas

2) Persentase pemakaian tiap jenis obat terhadap total pemakaian setahun seluruh

unit pelayanan kesehatan/puskesmas

Universitas Sumatera Utara


3) Pemakaian rata-rata untuk setiap jenis obat untuk tingkat kabupaten/kota

Tahap perhitungan kebutuhan obat merupakan tantangan yang berat yang harus

dihadapi oleh tenaga farmasi yang bekerja di Unit Pengelola Obat Publik Dan

Perbekalan Kesehatan (UPOPPK) Kabupaten/Kota maupun Unit Pelayanan Kesehatan

Dasar (PKD). Masalah kekosongan obat atau kelebihan obat dapat terjadi apabila

informasi semata-mata hanya berdasarkan informasi teoritis terhadap kebutuhan

pengobatan.

Koordinasi dan proses perencanaan untuk pengadaan obat secara terpadu serta

melalui tahapan seperti diatas, diharapkan obat yang direncanakan dapat tepat jenis,

tepat jumlah serta tepat waktu dan tersedia pada saat dibutuhkan.

Metode yang lazim digunakan untuk menyusun perkiraan kebutuhan obat di tiap

unit pelayanan kesehatan adalah: (Kemenkes, 2010).

a) Metode konsumsi

Metode ini dilakukan dengan menganalisis data komsumsi obat tahun

sebelumnya. Hal yang perlu diperhatikan antara lain:

1) Pengumpulan data dan pengolahan data

2) Analisis data untuk informasi dan evaluasi

3) Perhitungan perkiraan kebutuhan obat b)

Metode epidemiologi

Metode ini dilakukan dengan menganalisis kebutuhan obat berdasarkan pola

penyakit, perkiraan kunjungan dan waktu tunggu (lead time). Langkah-langkah dalam

metode ini antara lain:

1) Menentukan jumlah penduduk yang akan dilayani


Universitas Sumatera Utara
2) Menentukan jumlah kunjungan kasus berdasarkan frekuensi penyakit

3) Menyediakan standar/pedoman pengobatan yang digunakan

4) Menghitung perkiraan kebutuhan obat

5) Penyesuaian dengan alokasi dana yang tersedia

2.1.2 Pengadaan Obat

Pengadaan obat dan perbekalan kesehatan merupakan proses untuk penyediaan

obat yang dibutuhkan di Unit Pelayanan Kesehatan. Pengadaan obat dan perbekalan

kesehatan dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Propinsi dan

Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Pelaksanaan Pengadaan

Barang/Jasa Instansi Pemerintah dan Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara. (Kemenkes, 2010).

Berdasarkan Peraturan Presiden No. 4 Tahun 2015 tentang perubahan keempat atas

Peraturan Presiden no. 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa Pemerintah.

Pemilihan pengadaan obat dilakukan melalui pembelian secara epurchasing dengan

sistem e-catalgue. Prinsip pemilihan penyedia barang/jasa secara elektronik bertujuan

untuk efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif dan

akuntabel.

Pembelian obat secara elektronik (E-Purchasing) berdasarkan sistem Katalog

Elektronik (E-Catalogue) obat dilaksanakan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)

dan Kelompok Kerja (Pokja) Unit Layanan Pengadaan (ULP) atau Pejabat Pengadaan

melalui aplikasi E-Purchasing pada website Layanan Pengadaan Secara Elektronik

(LPSE), sesuai Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa

Pemerintah No. 14 Tahun 2015 tentang E-Purchasing. Untuk dapat menggunakan

aplikasi E-Purchasing, PPK dan Pokja ULP atau Pejabat Pengadaan harus memiliki

Universitas Sumatera Utara


kode akses (user ID dan password) dengan cara melakukan pendaftaran sebagai

pengguna kepada LPSE setempat.

Tahapan yang dilakukan dalam pengadaan obat melalui E-Purchasing adalah sebagai

berikut: (Perpres, 2015).

1. Pokja ULP/Pejabat Pengadaan membuat paket pembelian obat dalam aplikasi

E-Purchasing berdasarkan Daftar Pengadaan Obat. Paket pembelian obat

dikelompokkan berdasarkan penyedia.

2. Pokja ULP/Pejabat Pengadaan selanjutnya mengirimkan permintaan pembelian

obat kepada penyedia obat/Industri Farmasi yang termasuk dalam kelompok

paket pengadaan.

3. Penyedia obat/Industri Farmasi yang telah menerima permintaan pembelian

obat melalui E-Purchasing dari Pokja ULP/Pejabat Pengadaan memberikan

persetujuan atas permintaan pembelian obat dan menunjuk distributor/Pedagang

Besar Farmasi (PBF). Apabila menyetujui, penyedia obat/Industri Farmasi

menyampaikan permintaan pembelian kepada distributor/PBF untuk

ditindaklanjuti. Apabila menolak, penyedia obat/Industri Farmasi harus

menyampaikan alasan penolakan.

4. Persetujuan penyedia obat/Industri Farmasi kemudian diteruskan oleh Pokja

ULP/Pejabat Pengadaan kepada PPK untuk ditindaklanjuti. Dalam hal

permintaan pembelian obat mengalami penolakan dari penyedia obat/Industri

Farmasi, maka ULP melakukan metode pengadaan lainnya sesuai Peraturan

Presiden No.4 Tahun 2015.

Universitas Sumatera Utara


5. PPK selanjutnya melakukan perjanjian/kontrak jual beli terhadap obat yang

telah disetujui dengan distributor/PBF yang ditunjuk oleh penyedia obat/Industri

Farmasi.

6. Distributor/PBF kemudian melaksanakan penyediaan obat sesuai dengan isi

perjanjian/kontrak jual beli.

7. PPK selanjutnya mengirim perjanjian pembelian obat serta melengkapi riwayat

pembayaran dengan cara mengunggah (upload) pada aplikasi EPurchasing.

8. PPK melaporkan item dan jumlah obat yang ditolak atau tidak dipenuhi oleh

penyedia obat/Industri Farmasi kepada Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan

Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) c.q Direktur Pengembangan

Sistem Katalog, tembusan kepada Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat

Kesehatan c.q Direktur Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan paling

lambat 5 (lima) hari kerja.

Dalam hal aplikasi E-Purchasing mengalami kendala operasional/offline (gangguan

daya listrik, gangguan jaringan, atau gangguan aplikasi), maka pembelian dapat

dilaksanakan secara manual.

2.1.3 Penyimpanan Obat

Sistem penyimpanan bertujuan untuk memastikan penyimpanan aman,

penyimpanan dalam kondisi lingkungan yang benar, pencatatan akurat, penataan yang

efektif, dan pemantauan obat yang kadaluwarsa, serta pencegahan pencurian. (Sallet,

2012).

Universitas Sumatera Utara


Menurut Yogaswara (2001), bahwa penyimpanan adalah kegiatan dan usaha

untuk melakukan pengurusan, penyelenggaraan dan pengaturan barang persediaan di

dalam ruang penyimpanan.

a. Tujuan Penyimpanan Obat

Penyimpanan harus dilakukan sedemikian rupa sehingga tujuan dari penyimpanan

tercapai. Menurut Warman (1997), tujuan dari penyimpanan obat antara lain:

1) Mempertahankan mutu obat dari kerusakan akibat penyimpanan yang tidak baik

2) Mempermudah pencarian di gudang/kamar penyimpanan

3) Mencegah kehilangan

4) Mempermudah stok opname dan pengawasan 5) Mencegah bahaya penyimpanan

yang salah b. Prosedur Penyimpanan Obat

Prosedur penyimpanan obat antara lain mencakup sarana penyimpanan,

pengaturan persediaan berdasarkan bentuk/jenis obat yang disimpan, serta sistem

penyimpanan.

c. Sarana Penyimpanan Obat

Obat harus selalu disimpan di ruang penyimpanan yang layak. Bila obat rusak,

mutu obat menurun dan memberi pengaruh buruk bagi penderita. Beberapa ketentuan

mengenai sarana penyimpanan obat antara lain :

1) Gudang/tempat penyimpanan :

a) Gudang penyimpanan terpisah dari apotek atau ruang pelayanan.

b) Gudang cukup besar untuk menyimpan semua persediaan obat dan cukup

untuk pergerakan petugas, minimal luasnya 3 m x 4 m.


Universitas Sumatera Utara
c) Pintu gudang mempunyai kunci pengaman 2 (dua) buah yang

terpisah/berbeda.

d) Struktur gudang dalam keadaan baik, tidak ada retakan, lubang atau tanda

kerusakan oleh air.

e) Atap gudang dalam keadaan baik dan tidak bocor.

f) Gudang rapi, rak dan lantai tidak berdebu dan dinding bersih.

g) Gudang bebas hama dan tidak ada tanda infestasi hama.

h) Udara bergerak bebas di gudang; kipas angin dan kawat nyamuk dalam

keadaan baik.

i) Tersedia cukup ventilasi, sirkulasi udara dan penerangan.

j) Tersedia alat pengukur dan pengatur suhu ruangan.

k) Jendela dicat putih atau mempunyai gorden serta aman dan mempunyai

teralis.

l) Terdapat rak/lemari penyimpanan.

m) Terdapat lemari pendingin untuk obat tertentu dan dalam keadaan baik.

n) Terdapat lemari khusus yang mempunyai kunci untuk penyimpanan narkotik

dan psikotropika.

o) Terdapat alat bantu lain untuk pengepakan dan perpindahan barang.

2) Dokumen pencatatan:

a) LPLPO (Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat)

b) Buku stok

c) Buku penerimaan dan pengeluaran obat


d) Catatan obat rusak atau kadaluarsa

d. Pengaturan Persediaan

1) Obat-obatan dipisahkan dari bahan beracun.


Universitas Sumatera Utara
2) Obat luar dipisahkan dari obat dalam.

3) Narkotik dan psikotropika dipisahkan dari obat-obatan lain dan disimpan di lemari

khusus yang mempunyai kunci.

4) Tablet, kapsul dan oralit disimpan dalam kemasan kedap udara dan diletakkan di

rak bagian atas.

5) Cairan, salep dan injeksi disimpan di rak bagian tengah.

6) Obat yang membutuhkan suhu dingin disimpan dalam kulkas.

7) Obat rusak atau kadaluarsa dipisahkan dari obat lain yang masih baik dan

disimpan di luar gudang.

8) Obat cairan dipisahkan dari obat padatan.

9) Barang/obat ditempatkan menurut kelompok berat dan besarnya :

10) Untuk barang yang berat ditempatkan pada tempat yang memungkinkan

pengangkatannya dilakukan dengan mudah. Antara lain :

a) Untuk barang yang besar harus ditempatkan sedemikian rupa, sehingga

apabila barang tersebut dikeluarkan tidak mengganggu barang yang lain.

b) Untuk barang yang kecil sebaiknya dimasukkan kedalam kotak yang

ukurannya agak besar dan ditempatkan sedemikian rupa, sehingga mudah

dilihat/ditemukan apabila diperlukan.

e. Penyimpanan Khusus

1) Obat, vaksin dan serum memerlukan tempat khusus seperti lemari pendingin

khusus (cold chain) dan harus dilindungi dari kemungkinan putusnya arus listrik.

Universitas Sumatera Utara


2) Bahan kimia harusnya disimpan dalam bangunan khusus yang terpisah dari

gudang induk.

3) Peralatan besar/alat berat memerlukan tempat khusus yang cukup untuk

penyimpanan dan pemeliharaannya.

f. Sistem Penyimpanan Obat

1) Obat disusun berdasarkan abjad (alfabetis) atau Nomor.

2) Obat disusun berdasarkan frekuensi penggunaan :

a) FIFO (First In First Out), yang berarti obat yang datang lebih awal harus

dikeluarkan lebih dahulu.

b) FEFO (First Expired First Out), yang berarti obat yang lebih awal kadaluarsa

harus dikeluarkan leih dahulu.

3) Obat disusun berdasarkan volume

a) Barang yang jumlahnya banyak ditempatkan sedemikian rupa agar tidak

terpisah, sehingga mudah pengawasan dan penanganannya.

b) Barang yang jumlah sedikit harus diberi perhatian/tanda khusus agar mudah

ditemukan kembali.

2.1.4 Pendistribusian Obat

Distribusi adalah suatu rangkaian kegiatan dalam rangka pengeluaran dan

pengiriman obat, terjamin keabsahan, tepat jenis dan jumlah secara merata dan teratur

untuk memenuhi kebutuhan unit-unit pelayanan kesehatan. Distribusi obat dilakukan

agar persediaan jenis dan jumlah yang cukup sekaligus menghindari kekosongan dan

Universitas Sumatera Utara


menumpuknya persediaan serta mempertahankan tingkat persediaan obat. (Clark,

2012).

Distribusi obat bertujuan untuk:

1. Terlaksananya pengiriman obat secara merata dan teratur sehingga dapat

diperoleh pada saat dibutuhkan.

2. Terjaminnya mutu obat dan perbekalan kesehatan pada saat pendistribusian

3. Terjaminnya kecukupan dan terpeliharanya penggunaan obat di unit pelayanan

kesehatan.

4. Terlaksananya pemerataan kecukupan obat sesuai kebutuhan pelayanan dan

program kesehatan

Kegiatan distribusi obat di Kabupaten/ Kota terdiri dari :

1. Kegiatan distribusi rutin yang mencakup distribusi untuk kebutuhan pelayanan

umum di unit pelayanan kesehatan

2. Kegiatan distribusi khusus yang mencakup distribusi obat untuk :

a. Program kesehatan

b. Kejadian Luar Biasa (KLB)

c. Bencana (alam dan sosial)


2.1.5 Supervisi dan Evaluasi Obat

Supervisi berasal dari kata super (lebih tinggi) dan vision (melihat) sehingga

secara umum dapat diartikan sebagai mengawasi dari atas atau oleh atasan. Supervisi

dalam pengertian manajemen memiliki pengertian yang lebih luas, karena istilah yang

digunakan adalah mengawasi dan bukan melihat, ini bukan dilakukan secara kebetulan.

Mengawasi dalam arti bahasa Indonesia adalah mengamati dan menjaga jadi bukan

hanya mengamati saja, akan tetapi memiliki pengertian menjaga. Pengawasan yaitu

Universitas Sumatera Utara


untuk mengawasi apakah gerakan dari organisasi ini sudah sesuai dengan rencana atau

belum. Serta mengawasi penggunaan sumber daya dalam organisasi agar bisa terpakai

secara efektif dan efisien tanpa ada yang melenceng dari rencana. (Terry dan Leslie,

2010).

Supervisi yang dilakukan oleh petugas Instalasi Farmasi Kesehatan (IFK)

adalah proses pengamatan secara terencana dari unit yang lebih tinggi (Instalasi Farmasi

Propinsi/Kabupaten/Kota) terhadap pelaksanaan pengelolaan obat oleh petugas pada

unit yang lebih rendah (Puskesmas/Puskesmas Pembantu/UPT lainnya). Pengamatan

diarahkan untuk menjaga agar pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan sesuai dengan

pedoman yang disepakati bersama. (Kemenkes, 2010).

Pelaksanaan Supervisi dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1. Menemui kepala/pejabat institusi yang dituju untuk menyampaikan tujuan

supervisi.

2. Mengumpulkan data dan informasi dengan cara :

a. mempelajari data yang tersedia


b. wawancara dan diskusi dengan pihak yang disupervisi.

c. pengamatan langsung.

3. Membahas dan menganalisis hasil temuan :

a. Pencocokkan berbagai data, fakta dan informasi yang diperoleh.

b. Menilai tingkat keberhasilan pelaksanaan tugas.

c. Menemukan berbagai macam masalah dan faktor penyebabnya.

d. Membuat kesimpulan sementara hasil supervisi.

4. Mengadakan tindakan intervensi tertentu apabila ditemukan masalah yang perlu

segera ditanggulangi.

5. Melaporkan kepada pimpinan institusi yang didatangi tentang :


Universitas Sumatera Utara
a. tingkat pencapaian hasil kerja unit yang disupervisi

b. masalah dan hambatan yang ditemukan.

c. penyebab timbulnya masalah.

d. tindakan intervensi yang telah dilakukan.

e. rencana pokok tidak lanjut yang diperlukan.

2.2 Tinjauan Umum tentang Obat

Menurut Kebijakan Obat Nasional tahun 2006 obat adalah sediaan atau paduan

bahan-bahan yang siap untuk digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem

fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosa, pencegahan,

penyembuhan, pemulihan, peningkatan, kesehatan dan kontrasepsi.

Dengan demikian obat mencakup produk biologi tidak termasuk mencakup obat.
Upaya pengobatan merupakan segala bentuk kegiatan pelayanan pengobatan yang

diberikan kepada seseorang dengan tujuan untuk menghilangkan penyakit dan

gejalanya yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dengan cara yang khusus untuk

keperluan tersebut. (Anief, 2007).

Menurut Anief (2007) obat dibedakan atas 7 golongan yaitu:

a. Obat tradisional yaitu obat yang berasal dari bahan-bahan tumbuh-tumbuhan,

mineral dan sediaan galenik atau campuran dari bahan-bahan tersebut yang

usaha pengobatannya berdasarkan pengalaman.

b. Obat jadi yaitu obat dalam kemasan murni atau campuran dalam bentuk serbuk,

cairan, salep, tablet, pil, supositoria atau bentuk lain yang mempunyai nama

teknis sesuai dengan FI (Farmakope Indonesia) atau buku lain.

Universitas Sumatera Utara


c. Obat paten yaitu obat jadi dengan nama dagang yang terdaftar atas nama si

pembuat atau yang dikuasakannya dan dijual dalam bungkus asli dari pabrik

yang memproduksinya.

d. Obat baru yaitu obat yang terdiri dari zat yang berkhasiat maupun tidak

berkhasiat misalnya lapisan, pengisi, pelarut serta pembantu atau komponen lain

yang belum dikenal khasiat dan keamanannya.

e. Obat esensial yaitu obat yang paling dibutuhkan untuk pelaksanaan pelayanan

kesehatan bagi masyarakat yang meliputi diagnosa, profilaksis terapi dan

rehabilitasi.

f. Obat generik berlogo yaitu obat yang tercantum dalam DOEN (Daftar Obat

Esensial Nasional) dan mutunya terjamin karena di produksi sesuai dengan

persyaratan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) dan diuji ulang oleh Pusat

Pemeriksaan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan.

g. Obat wajib apotek yaitu obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dokter

oleh apoteker di apotek.

Menurut Kristin (2002), obat esensial adalah obat yang paling dibutuhkan untuk

pelaksanaan pelayanan kesehatan bagi sebagian populasi yang harus tersedia setiap saat

dalam jumlah yang cukup dan harga terjangkau serta memiliki kemanfaatan yang tinggi

baik untuk keperluan diagnostik, profilaksis terapetik dan rehabilitasi.

Peraturan Menteri Kesehatan No.HK.02.02/Menkes/523/2015 tentang

Formularium Nasional sebagaimana dirubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan

No.HK.02.02/Menkes/137/2016, untuk meningkatkan penggunaan obat yang rasional,

penggunaan obat esensial pada fasilitas pelayanan kesehatan harus disesuaikan dengan
Universitas Sumatera Utara
pedoman pengobatan yang telah ditetapkan, hal ini sangat berkaitan dengan

pengelolaan obat. Pengelolaan obat yang efektif diperlukan untuk menjamin

ketersediaan obat dengan jenis dan jumlah yang tepat dan memenuhi standar mutu.

2.3 Dasar Kebijakan Pengelolaan Obat

Peraturan Menteri Kesehatan No.HK.02.02/Menkes/523/2015 tentang

Formularium Nasional sebagaimana dirubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan

No.HK.02.02/Menkes/137/2016, untuk meningkatkan penggunaan obat yang rasional,

penggunaan obat esensial pada fasilitas pelayanan kesehatan harus disesuaikan dengan

pedoman pengobatan yang telah ditetapkan, hal ini sangat berkaitan dengan

pengelolaan obat. Pengelolaan obat yang efektif diperlukan untuk menjamin

ketersediaan obat dengan jenis dan jumlah yang tepat dan memenuhi standar mutu.

Berdasarkan Peraturan Presiden No. 4 Tahun 2015 tentang perubahan keempat

atas Peraturan Presiden no. 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa

Pemerintah. Pemilihan pengadaan obat dilakukan melalui pembelian secara

epurchasing dengan sistem e-catalgue. Prinsip pemilihan penyedia barang/jasa secara

elektronik bertujuan untuk efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil/tidak

diskriminatif dan akuntabel.

Pengelolaan obat terdiri atas (Depkes, 2002):

1. Pengelola Obat di Dinas Kesehatan

Organisasi Pengelola Obat di Provinsi/Kabupaten/Kota disebut dengan Unit

Pengelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan (UPOPPK) di Provinsi/

Kabupaten/Kota. Salah satu tujuan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan

adalah agar dana yang tersedia dapat digunakan dengan sebaik-baiknya dan

Universitas Sumatera Utara


berkesinambungan guna memenuhi kepentingan masyarakat yang berobat ke Unit

Pelayanan Kesehatan Dasar (Puskesmas).

Agar tujuan tersebut dapat terlaksana dengan baik, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

sebagai pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan di daerah memiliki tugas dan

peran antara lain :

1) Perencanaan kebutuhan obat untuk pelayanan kesehatan dasar disusun oleh tim

perencanaan obat terpadu berdasarkan system“bottom up”

2) Perhitungan rencana kebutuhan obat untuk satu tahun anggaran disusun dengan

menggunakan pola konsumsi dan atau epidemiologi

3) Mengkoordinasikan perencanaan kebutuhan obat dari beberapa sumber dana, agar

jenis dan jumlah obat yang disediakan sesuai dengan kebutuhan dan tidak

tumpang tindih

4) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mengajukan rencana kebutuhan obat

kepada Pemerintah Kabupaten/Kota, Pusat, Provinsi dan sumber lainnya

5) Melakukan Pelatihan Petugas Pengelola Obat Publik dan Perbekalan

Kesehatan untuk Puskesmas

6) Melakukan Bimbingan Teknis, Monitoring dan Evaluasi Ketersediaan Obat

Publik dan Perbekalan Kesehatan ke Puskesmas

7) Melaksanakan Advokasi Penyediaan Anggaran Kepada

Pemerintah Kabupaten/Kota

8) Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota bertanggungjawab terhadap pendistribusian

obat kepada unit pelayanan kesehatan dasar

Universitas Sumatera Utara


9) Dinas Kesehatan Kab/Kota bertanggungjawab terhadap penanganan obat dan

perbekalan kesehatan yang rusak dan kadaluwarsa

10) Dinas Kesehatan Kab/Kota bertanggungjawab terhadap jaminan mutu obat yang

ada di UPOPPK dan UPK.

2. Pengelola Obat di Puskesmas

Pengelolaan obat dalam manajemen persedian obat di Puskesmas adalah Kepala

Puskesmas, Petugas Gudang Obat dan Petugas Obat di sub unit pelayanan adalah:

(Kemenkes, 2010). 1) Kepala Puskesmas

Kepala Puskesmas bertanggungjawab atas pelaksanaan pengelolaan obat dan

pencatatan pelaporan, mengajukan obat untuk pengadaan persediaan kepada Kepala

Dinas/Kepala GFK, menyampaikan laporan bulanan pemakaian obat, melaporkan

semua obat yang hilang, rusak maupun kadaluarsa kepada Kepala Dinas

Kesehatan/Kepala GFK.

2) Petugas Gudang Obat

Petugas gudang obat bertanggungjawab dalam menerima obat dari GFK, menyimpan

dan mengatur ruang gudang obat serta mengendalikan persediaan obat,

mendistribusikan obat untuk unit pelayanan obat, mengawasi mutu obat, melakukan

pencatatan dan pelaporan. Petugas gudang obat membantu Kepala Puskesmas dalam

hal menjaga keamanan obat, penyusunan persediaan, distribusi dan pengawasan

persediaan obat.

3) Petugas Obat di Sub Unit Pelayanan

Petugas obat pada sub unit pelayan bertanggungjawab dalam menerima, menyimpan

dan memelihara obat dari gudang obat Puskesmas, menerima resep dokter,

Universitas Sumatera Utara


meracik/menyiapkan obat, mengemas obat, menyerahkan obat dan memberikan

informasi penggunaan obat, membuat catatan dan laporan pemakaian obat untuk

petugas gudang obat serta mengamati mutu obat secara umum.

2.4 Indikator Pengelolaan Obat

Indikator adalah alat ukur untuk dapat membandingkan kinerja yang

sesungguhnya. Indikator digunakan untuk mengukur sampai seberapa jauh tujuan atau

sasaran telah berhasil dicapai. Penggunaan lain dari indikator adalah untuk penetapan

prioritas, pengambilan tindakan dan untuk pengujian strategi dari sasaran yang

ditetapkan. Indikator pengelolaan obat di kabupaten kota adalah: (Kemenkes, 2010).

1. Alokasi dana pengadaan obat

Penyediaan dana yang memadai dari pemerintah sangat menentukan ketersediaan dan

keterjangkauan obat esensial oleh masyarakat. Ketersediaan dana pengadaan obat yang

sesuai dengan kebutuhan obat untuk populasi merupakan prasyarat terlaksananya

penggunaan obat yang rasional yang pada gilirannya akan meningkatkan mutu

pelayanan kesehatan. Dengan indikator ini akan dapat dilihat komitmen

Kabupaten/Kota dalam penyediaan dana pengadaan obat sesuai kebutuhan

Kabupaten/Kota.

2. Persentase alokasi dana pengadaan obat

Dana pengadaan obat adalah besarnya dana pengadaan obat yang

disediakan/dialokasikan oleh pemerintah daerah Kabupaten/Kota untuk mendukung

program kesehatan di daerah Kabupaten/Kota dibandingkan dengan jumlah alokasi dana

untuk bidang kesehatan.

3. Biaya obat perpenduduk

Universitas Sumatera Utara


Biaya obat perpenduduk adalah besarnya dana yang tersedia untuk

masingmasing penduduk dan besaran dana yang tersedia untuk masing-masing

penduduk. Ketersediaan dana pengadaan obat yang sesuai kebutuhan populasi

bervariasi untuk masing-masing Kabupaten/Kota untuk itu perlu diketahui besarnya

dana yang disediakan oleh Kabupaten/Kota apakah telah memasukkan parameter

jumlah penduduk dalam pengalokasian dananya. Pada tahun 2009 WHO telah

menetapkan alokasi dana obat sektor publik secara nasional adalah US $ 3 perkapita.

4. Ketersediaan obat sesuai kebutuhan

Ketersediaan obat sesuai kebutuhan adalah jumlah obat yang mampu disediakan

pemerintah dibandingkan dengan jumlah obat yang dibutuhkan rakyat dalam pelayanan

kesehatan dasar yang diselenggarakan pemerintah.

5. Pengadaan obat esensial

Pengadaan obat esensial adalah nilai obat esensial yang diadakan di

kabupaten/kota yang disimpan di instalasi farmasi kabupaten/kota dibandingkan dengan

nilai total yang tersedia di instalasi farmasi kabupaten/kota.

6. Pengadaan obat generik

Pengadaan obat generik adalah nilai obat generik yang diadakan di

kabupaten/kota yang disimpan di instalasi farmasi kabupaten/kota dibandingkan dengan

nilai total yang tersedia di instalasi farmasi kabupaten/kota.

7. Biaya obat per kunjungan resep

Ketersediaan dana obat yang sesuai dengan jumlah kunjungan resep yang ada di

Kabupaten/Kota bervariasi untuk masing-masing Kabupaten/Kota.Untuk itu perlu

diketahui besaran dana yang disediakan olehKabupaten/Kota apakah telah memasukkan

parameter jumlah kunjungan resep dalam pengalokasian dananya.

Universitas Sumatera Utara


8. Kesesuaian item obat yang tersedia dengan DOEN tahun 2013

Penetapan obat yang masuk dalam DOEN telah mempertimbangkan faktor drug

of choice, analisis biaya-manfaat dan didukung dengan data ilmiah.Untuk pelayanan

kesehatan dasar maka jenis obat yang disediakan berdasarkan DOEN yang terbaru agar

tercapai prinsip efektivitas dan efisiensi.

9. Kesesuaian ketersediaan obat dengan pola penyakit

Obat yang disediakan untuk pelayanan kesehatan di Kabupaten/Kotaharus

sesuai dengan kebutuhan populasi berarti harus sesuai dengan pola penyakit yang ada

di Kabupaten/Kota. Kesesuaian ketersediaan obat dengan pola penyakit adalah

kesesuaian jenis obat yang tersedia di instalasi farmasi dengan pola penyakit yang ada

di Kabupaten/Kota adalah jumlah jenis obat yang tersedia dibag idengan jumlah jenis

obat untuk semua kasus penyakit di Kabupaten/Kota.

10. Tingkat ketersediaan obat

Obat yang disediakan untuk pelayanan kesehatan di Kabupaten/Kota harus

sesuai dengan kebutuhan populasi berarti jumlah (kuantum) obat yang tersedia di

gudang minimal harus sama dengan stok selama waktu tunggu kedatangan obat.

11. Ketepatan perencanaan

Obat yang disediakan untuk pelayanan kesehatan di Kabupaten/Kota harus

sesuai dengan kebutuhan populasi berarti harus sesuai dalam jumlah dan jenis obat

untuk pelayanan kesehatan di Kabupaten/Kota.

12. Persentase dan nilai obat rusak atau kadaluarsa

Terjadinya obat rusak atau kadaluarsa mencerminkan ketidaktepatan

perencanaan, dan/atau kurang baiknya sistem distribusi, dan/atau kurangnya

pengamatan mutu dalam penyimpanan obat dan/atau perubahan pola penyakit.


Universitas Sumatera Utara
13. Ketepatan distribusi obat

Kesesuaian waktu antara distribusi dan penggunaan obat di unit pelayanan sangat

penting artinya bagi terlaksananya pelayanan kesehatan yang bermutu. Ketepatan

distribusi obat adalah penyimpangan jumlah unit pelayanan kesehatan yang harus dilayani

(sesuai rencana distribusi) dengan kenyataan yang terjadi serta selisih waktu antara jadwal

pendistribusian obat dengan kenyataan.

14. Persentase penyimpangan jumlah obat yang didistribusikan

Obat yang didistribusikan adalah sebesar stok optimum dikurangi dengan sisa

stok di unit pelayanan kesehatan. Sedang stok optimum sendiri merupakan stok kerja

selama periode distribusi ditambah stok pengaman.

15. Rata-rata waktu kekosongan obat

Persentase rata-rata waktu kekosongan obat dari obat indikator menggambarkan

kapasitas sistem pengadaan dan distribusi dalam menjamin kesinambungan suplai obat.

Waktu kekosongan obat adalah jumlah hari obat kosong dalam waktu satu tahun.

16. Ketepatan waktu LPLPO

LPLPO yang merupakan sumber data pengelolaan obat sangat penting artinya

sebagai bahan informasi pengambilan kebijakan pengelolaan obat. Salah satu syarat

data yang baik adalah tepat waktu Ketepatan waktu pengiriman LPLPO adalah jumlah

LPLPO yang diterima secara tepat waktu dibandingkan dengan jumlah seluruh LPLPO

yang seharusnya diterima setiap bulan.

17. Kesesuaian ketersediaan obat program dengan kebutuhan

Obat yang disediakan untuk keperluan program biasanya diadakan oleh pusat

dengan tidak memperhitungkan jumlah kebutuhan yang ada didaerah. Sehingga

seringkali jumlahnya tidak sesuai dan menyebabkan terjadi penumpukan yang akan

Universitas Sumatera Utara


menyebabkan obat menjadi rusak atau kadaluarsa. Kesesuaian ketersediaan obat

program dengan jumlah kebutuhan adalah kesesuaian jumlah obat program yang

tersedia di instalasi Farmasi dengan kebutuhan untuk sejumlah pasien yang memerlukan

obat programtersebut.

18. Kesesuaian permintaan obat

Sebagian kebutuhan obat-obatan di tingkat kabupaten/kota dapat dipenuhi oleh

obat dari berbagai sumber. Ada kalanya permintaan dari kabupaten/kota tidak sesuai

dengan obat yang tersedia.Kesesuaian Pemenuhan Obat adalah perbandingan antara

jumlahpermintaan yang diajukan oleh kabupaten/kota dengan jumlah yang dapat

dipenuhi oleh obat dari berbagai sumber.

Universitas Sumatera Utara


2.5 Kerangka Pikir

Adapun kerangka pikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar berikut
ini :
Perencanaan
a. Tahap Pemilihan Obat
b. Tahap Kompilasi Pemakaian Obat
c. Perhitungan Kebutuhan Obat
d. Proyeksi Kebutuhan Obat

Pengadaan
a. Pemilihan Metode Pengadaan Obat
b. Penentuan Waktu Pengadaan dan
Kedatangan Obat
c. Penerimaan dan Pemeriksaan Obat

Penyimpanan
a. Pengaturan Tata Ruang
b. Penyusunan Stok Obat
c. Pencatatan dan Pelaporan Stok Obat
d. Pengamanan Mutu Obat

Pendistribusian
a. Mekanisme Pendistribusian Obat
b. Unit-unit Pendistribusian Obat
c. Pengamanan Mutu Obat

Gambar 2.1 Manajemen Pengelolaan Obat

Universitas Sumatera Utara


BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan masalah

dilakukan dengan analisis deskriptif yaitu mendapatkan informasi secara mendalam

mengenai Manajemen Pengelolaan Obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

Tahun 2016. Menurut Bungin (2010), penelitian kualitatif adalah penelitian yang

memandang bahwa makna adalah bagian yang tak terpisahkan dari pengalaman

seseorang dalam kehidupan sosialnya bersama orang lain. Makna bukan sesuatu yang

lahir di luar pengalaman objek penelitian atau peneliti, akan tetapi menjadi bagian

terbesar dari kehidupan penelitian ataupun objek penelitian.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dengan

alasan lokasi ini masih memiliki permasalahan dalam manajemen pengelolaan obat.

Objek penelitiannya meliputi Dinas Kesehatan, Gudang Farmasi dan Puskesmas.

Waktu penelitian direncanakan akan dilakukan pada bulan April-Juni 2016.

Kegiatan dimulai dari survey awal, penelusuran bahan, pengambilan data hingga

penyajian hasil penelitian.

Universitas Sumatera Utara


3.3 Informan Penelitian

Informan adalah orang yang diharapkan dapat memberikan informasi tentang

situasi dan kondisi mengenai fokus penelitian. Informan penelitian terbagi atas:

a. Informan kunci (key informan), yaitu mereka yang mengetahui dan memiliki

informasi pokok yang diperlukan. Adapun informan kunci pada penelitian ini

adalah: Kepala Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe, Kepala Bidang

Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe, Kepala Seksi

Bidang Kefarmasian Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe, Kepala Gudang

farmasi dan dan Kepala Gudang Farmasi Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe.

b. Informan utama yaitu mereka yang terlibat langsung dalam penggunaan obat.

Adapun informan utama dalam penelitian ini adalah Kepala Puskesmas dan

Staf Bagian Kefarmasian Puskesmas.

Adapun informan dalam penelitian ini antara lain:

Tabel 3.1 Informan dalam Penelitian

No. Sumber Informan Informasi yang ingin


Instansi diperoleh
1 Dinas - Kepala Dinas Kesehatan Kesehatan - Kebijakan Manajemen
Kota Lhokseumawe Pengelolaan Obat
- Kepala Bidang Pelayanan - Pelayanan kesehatan yang
Kesehatan Dinas Kesehatan memanfaatkan obat
Kota
Lhokseumawe
- Kepala Seksi Kefarmasian - Proses manajemen
Dinas Kesehatan Kota pengelolaan obat
Lhokseumawe

Universitas Sumatera Utara


Tabel 3.1 (Lanjutan)

2 Puskesmas - Kepala Puskesmas dan Staf- Prosedur pemanfaatan


Bagian Kefarmasian obat di tingkat
Puskesmas Banda Sakti Puskesmas
- Kepala Puskesmas dan Staf- Prosedur pemanfaatan
Bagian Kefarmasian obat di tingkat
Puskesmas Blang Cut Puskesmas

3.4 Instrumen Penelitian

Jenis penelitian kualitatif dengan instrumen utama adalah peneliti sendiri

dengan menggunakan alat bantu : panduan wawancara, tape recorder, perekam gambar

dan buku catatan.

3.5 Metode Pengumpulan Data

Adapun metode pengumpulan data pada penelitian ini adalah :

a. Metode Pengumpulan Data Primer yaitu:

1) Wawancara mendalam yaitu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan

tanya-jawab secara langsung kepada pihak-pihak yang terkait secara mendalam

tentang pengetahuan manajemen pengelolaan obat.

2) Observasi yaitu metode pengumpulan data dengan melakukan pengamatan

langsung terhadap sejumlah acuan yang berkenaan dengan topik di lokasi

penelitian, dimana data yang diambil adalah laporan pemakaian dan

penggunaan obat bulanan selama setahun.

Universitas Sumatera Utara


b. Metode pengumpulan data sekunder yaitu :

1) Dokumentasi yaitu metode pengumpulan data dengan menggunakan

catatancatatan atau dokumen yang ada di lokasi penelitian serta sumber-sumber

lain yang relevan dengan obyek penelitian.

2) Studi literatur yaitu metode pengumpulan data dengan menggunakan berbagai

literatur seperti buku, majalah, jurnal dan laporan penelitian lainnya.

3.6 Definisi Konsep

1) Manajemen pengelolaan obat adalah serangkaian kegiatan dalam rangka

memenuhi kebutuhan obat yang terdiri atas perencanaan, pengadaan,

penyimpanan, pendistribusian dan pengawasan obat.

2) Perencanaan obat adalah serangkaian kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam

menentukan jenis dan jumlah obat yang dibutuhkan pelayanan kesehatan pada

kurun waktu tertetu.

3) Pengadaan obat adalah serangkaian kegiatan untuk menyediakan jenis dan

jumlah obat yang dibutuhkan pelayanan kesehatan.

4) Penyimpanan obat adalah serangkaian proses yang dilakukan untuk

menempatkan obat secara benar dan memudahkan proses pengambilan

pelayanan kesehatan.

Universitas Sumatera Utara


5) Pendistribusian adalah serangkaian kegiatan untuk menyalurkan obat dari

gudang farmasi ke Puskesmas ataupun dari Puskesmas ke unit-unit pelayanan

kesehatan.

6) Pengawasan obat adalah proses pemantauan pelaksanaan obat di lapangan,

dalam rangka memastikan realisasi sesuai dengan rencana yang sudah dibuat.

7) Sarana/Prasarana adalah alat yang digunakan petugas dalam mendukung

manajemen obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe.

8) Sumber daya manusia adalah kemampuan tenaga kesehatan dalam manajemen

obat di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe.

9) Sumber daya keuangan adalah potensi uang yang dimiliki oleh Dinas

Kesehatan Kota Lhokseumawe dalam mendukung proses manajemen obat di

Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

3.7 Metode Pengolahan Data

Data yang terkumpul dari hasil wawancara mendalam selanjutnya dibuat dalam

bentuk transkrip, kemudian disederhanakan dalam bentuk matriks. Matriks ini

kemudian dicari kata kuncinya. Uji keabsahan dilakukan dengan teknik triangulasi data

(Bungin, 2010).

Proses triangulasi yaitu dengan melakukan crosscheck. Crosscheck yang

dilakukan terdiri dari crosscheck data, observasi dan telaah dokumen. Kemudian

dilakukan triangulasi sumber yaitu crosscheck dengan informan lain dengan

Universitas Sumatera Utara


melibatkan teman sejawat yang tidak ikut dalam penelitian ini untuk menelaah validitas

data. Proses triangulasi dilakukan secara terus-menerus sepanjang proses

mengumpulkan data dan analisis data, sampai suatu saat peneliti yakin bahwa sudah

tidak ada lagi perbedaan-perbedaan dan tidak ada lagi yang perlu dikonfirmasi kepada

informan.

3.8 Metode Analisa Data

Pengolahan data yang diperoleh adalah dengan menggunakan analisis isi

(Content Analysis) dari hasil wawancara mendalam yang kemudian disajikan dalam

bentuk narasi. Hasil catatan wawancara lapangan akan disempurnakan penulisannya

serta dilengkapi dengan mengkroscek hasil rekaman agar catatan menjadi lengkap. Hal

ini dilakukan untuk menjaga keakuratan dan kelengkapan informasi.

Setelah itu dalam memudahkan analisis, akan dibuat matriks berdasarkan

masing-masing hasil wawancara. Dengan menggunakan teknik analisis isi,

berpedoman terhadap transkrip dan matriks dibuat laporan hasil penelitian. Matriks

sangat membantu dalam menetapkan kategori jawaban informan.

Adapun proses teknik analisis data, yaitu: proses analisis data dimulai dengan

menelaah seluruh data yang tersedia dari hasil wawancara, catatan lapangan dan

dokumen. Setelah itu, mereduksi data dengan cara membuat rangkuman, memilih

halhal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, untuk pencarian tema dan

pola data (inti dan proses pernyataan-pernyataan informan).

Universitas Sumatera Utara


Kemudian, interpretasi data hasil reduksi. Setelah data direduksi, maka langkah

berikutnya adalah interpretasi data dengan menyajikan data dalam bentuk teks yang

bersifat naratif. Dan terakhir adalah penarikan kesimpulan.

Universitas Sumatera Utara


BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1.1 Letak dan Batas Wilayah

Kota Lhokseumawe terletak pada garis 960 20’-970 21’ Bujur Timur dan 040

54’-050 18’ Lintang Utara dengan luas wilayah 181.06 Km2. Secara geografis Kota

Lhokseumawe berbatasan dengan wilayah sebagai berikut :

- Sebelah Utara berbatasan dengan Selat malaka

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Kuta Makmur (Aceh Utara) -

Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Syamtalira Bayu (Aceh Utara)

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Dewantara (Aceh Utara).

Kota Lhokseumawe terdiri dari 68 (enam puluh delapan) desa dan 4 (empat)

Kecamatan antara lain : Kecamatan Banda Sakti, Kecamatan Muara Dua, Kecamatan

Muara Satu dan Kecamatan Blang Mangat.

Penggunaan lahan terbesar di Kota Lhokseumawe adalah untuk pemukiman seluas

10.877 ha atau sekitar 60% dari luas yang ada. Kebutuhan lahan yang meNo.njol adalah

untuk usaha kebun campuran 4.590 ha atau sekitar 25,35%, di samping untuk

kebutuhan persawahan seluas 3.747 ha atau sekitar 21%. Untuk kebutuhan perkebunan

rakyat telah dimanfaatkan seluas 749 ha atau sekitar 4% dan untuk lain–lainnya.

Kegiatan ekonomi yang berlangsung di kota ini adalah industri dan perdagangan,

Universitas Sumatera Utara


dimana perdagangan merupakan sektor yang utama, terutama pada transaksi jual beli

kebutuhan sehari-hari.

4.1.2 Data Demografi

a. Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk.

Jumlah penduduk Kota Lhokseumawe tahun 2015 sebesar 181.976 jiwa.

Jumlah penduduk laki-laki 90.691 dan perempuan 91.285 dengan sex ratio 99,35 (BPS

Lhokseumawe, 2015). Sementara jumlah penduduk setiap kecamatan dapat dilihat

pada tabel berikut.

Tabel 4.1. Jumlah Penduduk menurut Kecamatan


Kota Lhokseumawe Tahun 2015

Kecamatan Jumlah penduduk

Banda Sakti 80.769

Muara Dua 48.699

Muara Satu 34.229


Blang Mangat 23.758

Total 181.976

Sumber : BPS Kota Lhoksuemawe, 2015

b. Kepadatan dan Penyebaran Penduduk

Kepadatan penduduk tahun 2015 di Kota Lhokseumawe adalah 1.005/Km2. Bila

kepadatan penduduk dilihat untuk setiap kecamatan Banda Sakti merupakan kecamatan

dengan tingkat tertinggi kepadatan tertinggi yaitu 6.963 per/Km2, sedangkan yang

paling jarang yaitu kecamatan Blang Mangat dengan tingkat kepadatan penduduk 411

Universitas Sumatera Utara


per/Km2. Kepadatan penduduk Kota Lhokseumawe menurut Kecamatan tahun 2015

dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.2. Kepadatan Penduduk menurut Kecamatan


Kota Lhokseumawe Tahun 2015

Kepadatan Penduduk/Km 2
Kecamatan
2014 2015

Banda Sakti 6880 6963

Muara Dua 626 818

Muara Satu 484 596

Blang Mangat 374 411

Sumber : BPS Kota Lhokseumawe, 2015

Kepadatan penduduk dipengaruhi oleh besarnya wilayah pada masing-masing

kecamatan, kepadatan penduduk merupakan indikator dalam melihat beberapa kondisi

kesehatan sekarang dan yang akan muncul terutama kondisi kesehatan lingkungan yang

berkaitan dengan ketersediaan air, sisten pembuangan air limbah dan sampah keluarga.

4.2 Visi dan Misi Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

Visi Dinas Kesehatan Kota Lhoksuemawe tahun 2012-2017 adalah

Menjadikan Masyarakat Kota Lhokseumawe Sehat Secara Mandiri dan Islami.

Sedangkan Misi Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe yaitu :


1) Memberikan Prioritas pada Program Kesehatan Keluarga

Universitas Sumatera Utara


2) Memandirikan Masyarakat untuk Hidup Sehat

3) Meningkatkan Profesionalisme Sumber Daya Manusia Kesehatan

4) Meningkatkan Prasarana dan Sarana Kesehatan

5) Menjaga Ketersediaan Obat dan Perbekalan Kesehatan

Dalam pembangunan kesehatan pemerintah Kota Lhokseumawe menyediakan

pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau dan berkualitas. Dengan demikian perlu

disediakan tenaga kesehatan yang berkualitas, sarana fisik dan peralatan kesehatan,

obat-obatan dan kebutuhan lainnya untuk mendukung kegiatan promosi kesehatan

yang berpihak kepada masyarakat.

4.3 Derajat Kesehatan Kota Lhokseumawe

a. Mortalitas

Kejadian kematian suatu kelompok populasi mencerminkan kondisi kesehatan

masyarakat. Keberhasilan pelayanan kesehatan dan berbagai program pembangunan

kesehatan lainnya juga dapat diukur melalui tingkat kematian yang ada.

Infant Mortality Rate (IMR) atau Angka Kematian Bayi dan Mother Mortality Rate

(MMR) atau Angka Kematian Ibu merupakan salah satu indikator yang paling sensitif

untuk menentukan derajat kesehatan. IMR Kota Lhokseumawe sebesar 46/3.888 x

1000, sementara IMR nasional sebesar 35/1.000 lahir hidup. MMR Kota Lhokseumawe

sebesar 4/3.888 x 100.000 kelahiran hidup.

Universitas Sumatera Utara


b. Umur Harapan Hidup (UHH)

Rata-rata umur harapan hidup Kota Lhokseumawe adalah 70 (tujuh puluh) tahun.

Upaya untuk meningkatkan UHH menjadi 70 tahun merupakan hal penting yang perlu

dicermati melalui upaya-upaya peningkatan program yang berdampak pada tingkat

kesejahteraan masyarakat seperti penurunan resiko kesakitan pada keluarga rentan,

trend penyakit degeneratif dan tidak menular serta peningkatan kesehatan kelompok

usia lanjut yang hidup produktif dan mandiri.

c. 10 (sepuluh) Penyakit Terbanyak di Puskesmas Kota Lhokseumawe

Berdasarkan rekapitulasi laporan SP2TP Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

pada tahun 2015 dapat diketahui daftar 10 (sepuluh) penyakit yang sering ditangani di

Puskesmas Kota Lhokseumawe.

Kota Lhokseumawe Tahun 2015


Sumber : S2TP Dinkes Lhokseumawe, 2015

Dari data tersebut di atas diketahui bahwa penyakit batuk dan pilek merupakan

penyakit umum yang diderita oleh masyarakat yang tersebar di Puskesmas Kota

Universitas Sumatera Utara


Lhokseumawe. Sementara infeksi kulit dan tukak lambung merupakan penyakit yang

sedikit jumlahnya.

4.4 Sumber Daya Kesehatan Kota Lhokseumawe

a. Puskesmas

Sarana kesehatan meliputi Puskesmas, Rumah Sakit, sarana Upaya Kesehatan

Bersumberdaya Masyarakat (UKBM), sarana produksi dan distribusi farmasi dan alat

kesehatan dan institusi pendidikan tenaga kesehatan. Tahun 2014 Puskesmas yang ada

di Kota Lhokseumawe berjumlah 6 unit dengan pembagian rawat inap 1 unit dan

puskesmas No.n rawat inap 5 unit. b. Tenaga Kesehatan

Tenaga kesehatan merupakan bagian terpenting didalam peningkatan pelayanan

kesehatan di Kota Lhokseumawe. Kualitas menjadi faktor utama yang harus terus

mendapatkan perhatian oleh pemerintah daerah dan pusat. Peningkatan harus menjadi

prioritas utama mengingat tenaga kesehatan saat ini belum sepenuhnya berpendidikan

D-III maupun S-1, sedangkan yang berpendidikan SPK/sederajat minim terhadap

pelatihan teknis.

Universitas Sumatera Utara


Dari tersebut di atas dapat diketahui bahwa jenis ketenagaan kesehatan di kota

Lhokseumawe masih belum memenuhi standar tenaga kesehatan berdasarkan undang-

undang No.36 Tahun 2014 tentang tenaga kesehatan disebutkan bahwa tenaga

kesehatan memiliki peranan penting untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan

yang maksimal kepada masyarakat agar masyarakat mampu untuk meningkatkan

kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat sehingga akan terwujud derajat

kesehatan yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya

manusia yang produktif secara sosial dan ekonomi.

4.5 Informan Penelitian

Informan dalam penelitian ini dapat diketahui pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.3. Informan Penelitian


No. Nama JK Umur Jabatan
1 dr. Said Alam Zufikar L 42 Kadinkes Kota Lhokseumawe
2 dr. Lasmita NH P 51 Kabid Pelayanan Kesehatan

Universitas Sumatera Utara


3 Eva Susanti, Apt P 32 Ka. Seksi Kefarmasian dan
Ka. Gudang Farmasi
4 Nanda S, SKM, MSM L 45 Ka. Puskesmas Banda Sakti
5 Zuheri, S.Kep, M.Kes P 40 Ka. Puskesmas Blang Cut
6 Nurhayati, AMF P 32 Pengelola Obat PKM Banda Sakti
7 Yusmalinda, AMF P 30 Pengelola Obat PKM Blang Cut
Sumber : Data terolah 2016

4.6 Perencanaan Obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

Berikut adalah hasil wawancara dengan Kepala Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

dan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan dalam proses perencanaan obat pada Dinas

Kesehatan Lhokseumawe :

“Waalaikumsalam.. Syukur Alhamdulilah kita bisa bertemu


kembali pak Mukhlis dalam rangka wawancara perencanaan obat
di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe. Seperti kita ketahui bahwa
perencanaan obat ditingkat Kabupaten tetap mengacu pada
peraturan menteri kesehatan dan peraturan terkait lainnya
termasuk peraturan pak Walikota. Dalam hal perencanaan obat ini,
kita mengawalinya dengan membentuk tim perencana obat yang
ditetapkan melalui keputusan Walikota. Nah..susunan tim tersebut
terdiri dari dokter puskesmas, kepala puskesmas, kasie farmasi,
kabid yankes dan kadinkes. Masing-masing mempunyai peran dan
tanggungjawab yang berbeda. Dalam setahun minimal satu kali
diadakan pertemuan, biasanya awal tahun..
Kemudian dalam hal perencanaan obat, Dinas kesehatan selalu
berpatokan dari laporan pemakaian dan sisa obat dari Puskesmas
termasuk sisa persediaan atau buffer stok yang masih ada di
Gudang farmasi. Untuk itu saya selalu menginstruksikan kepada
kepala puskesmas agar aktif memberikan laporan pemakaian obat
dan hal-hal apa saja masalah yang dihadapi. Namun...masih ada
juga puskesmas yang terlambat mengirimkan laporannya...
”(Kadinkes).

Universitas Sumatera Utara


Berikut ini hasil wawancara dengan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Kota

Lhokseumawe seputar perencanaan obat dapat diketahui sebagai berikut :

“Waalaikumsalam.. Baik pak..pertama kami jelaskan bahwa


perencanaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe ini
memang merupakan kewenangan kami sebagai pelaksana
pengadaan obat, namun dalam proses perencanaannya kami
melibatkan semua pihak terutama dokter dan kepala puskesmas.
Setiap awal tahun diadakan pertemuan membahas perencanaan
obat.. Tahap awal perencanaan obat di mulai dari pemilihan obat
dimana setiap obat yang diusulkan dari puskesmas harus
benarbenar sesuai pola penyakit dan jumlah penduduk setempat,
dan harus berdasarkan DOEN dan Fornas, walaupun masih ada
beberapa jenis yang tidak ada pada daftar DOEN.. Selanjutnya
tahap kompilasi dimana kami melihat rata-rata pemakaian obat di
puskesmas dalam setahun, tahap berikutnya yaitu kami menghitung
berapa obat yang harus disediakan, biasanya kami menggunakan
pola konsumsi. Selama ini kami telah berupaya menjalankan
tahapan perencanaan obat dengan sebaik-baiknya dikarenakan
ketersediaan obat di puskesmas menjadi prioritas dinkes untuk
menjawab keluhan masyarakat selama ini.. namun tidak semua
berjalan dengan baik, salah satu faktor penyebabnya Puskesmas
belum melaksanakan perencanaan yang baik, ketepatan dan
kebenaran data LPLPO Puskesmas belum menunjukan kebutuhan
optimum, selain itu tanggungjawab kepala puskesmas yang cukup
banyak seringkali menyebabkan perencanaan obat di Puskesmas
terbengkalai..”(Kabid Yankes).

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Seksi Kefarmasian dan Kepala

Gudang terkait dengan perencanaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dapat
diketahui dari rangkuman wawancara berikut :

“Wa’alaikumsalam..terkait dengan perencanaan obat di Dinas


Kesehatan kota Lhokseumawe, menurut kami pelaksanaannya masih
belum maksimal. Salah satu penyebabnya yaitu kurangnya
koordinasi antara tim perencana obat yang telah dibentuk. Rapat
perencanaan obat paling Cuma sekali di awal tahun saja. Saya
sebagai kasie kefarmasian hanya melakukan kompilasi data

Universitas Sumatera Utara


pemakaian obat dari semua Puskesmas berdasarkan LPLPO..
kemudian menyiapkan daftar harga berbagai jenis obat, menyiapkan
daftar obat yang akan diterima pada tahun berjalan, daftar sisa obat
dari puskesmas. pokoknya tugas saya banyak pak.. Nah, selanjutnya
kami serahkan kepada kabid pelayanan kesehatan sebagai bahan
pertimbangan dalam perencanaan obat..”(Kasie Kefarmasian dan
Ka. Gudang).

Berikut ini hasil wawancara dengan Kepala Puskesmas Banda Sakti terkait

perencanaan obat di Puskesmas :

“Waalaikumsalam.. Baik pak, jadi tentang perencanaan obat pak,


kami sampaikan bahwa untuk perencanaan obat di puskesmas kami
harus menunggu surat keputusan Walikota tentang pembentukan
tim perencanaan obat karena itu sebagai dasar kami merencanakan
obat. Di Puskesmas kami menggunakan LPLPO yang setiap bulan
kami kirim laporan ke Dinkes.. Obat yang sudah kami pakai dan
laporan obat yang masih tersisa. Semua data pemakaian obat ini
berasal dari semua unit pelayanan, termasuk Pustu, Polindes.
Walaupun masih sering terlambat data laporan tersebut. Ada
masalah sedikit pak, kadang-kadang obat yang kami rencanakan
tidak semua bisa diakomodir oleh Dinkes, jumlah yang dikirim juga
tidak sesuai dengan permintaan, sehingga masih terjadi
kekosongan obat untuk jenis-jenis tertentu. Misalkan saja bulan ini,
kami kekurangan stok PCT Tablet.. Belum lagi obat yang dikirim
masa kadaluarsa yang sudah dekat, ada yang 1 bulan, 3 bulan, hal
ini menjadi permasalahan perencanaan obat untuk Puskesmas
kami..”(Kapus Banda Sakti).
Berikut ini hasil wawancara dengan Kepala Puskesmas Blang Cut terkait perencanaan

obat di Puskesmas :

“Walaikumsalam pak.. Dalam hal merencanakan obat pak kami


percayakan kepada pengelola obat bekerjasama dengan dokter.
Kami hanya menerima laporan saja setelah direkap oleh petugas
obat kami. Maaf ya pak, tanggungjawab kami ini cukup banyak jadi
untuk obat kami sudah berikan kepercayaan kepada staf yang
lain”(Kapus Blang Cut).

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan hasil wawancara di atas maka dapat dianalisis perencanaan obat di Dinas

Kesehatan Kota Lhokseumawe sebagai berikut:

4.6.1 Tahap Pemilihan atau Seleksi Kebutuhan Obat

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan diketahui bahwa perencanaan

obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe diawali dengan pembentukan Tim

Perencanaan Obat. Kemudian dilakukan proses perencanaan pemilihan dan kebutuhan

obat dengan mempertimbangkan pola penyakit dan pola konsumsi obat periode

sebelumnya. Proses seleksi juga mengacu pada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN)

dan Formularium Nasional (Fornas), walaupun masih ada beberapa jenis obat yang

dipilih tidak berdasarkan DOEN dan Fornas.

4.6.2 Tahap Kompilasi Obat

Proses perencanaan kebutuhan Obat per tahun dilakukan secara berjenjang.

Puskesmas menyediakan data pemakaian Obat setiap bulan dengan menggunakan

Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO). Selanjutnya Instalasi

Farmasi Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe melakukan kompilasi pemakaian obat


dengan cara menjumlahkan pemakaian setiap jenis obat dari masing-masing
Puskesmas.

4.6.3 Tahap Perhitungan Kebutuhan Obat

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan diketahui bahwa perhitungan

kebutuhan obat menggunakan metode konsumsi dengan cara analisis data, perhitungan

perkiraan kebutuhan obat dan disesuaikan dengan anggaran yang tersedia.

Universitas Sumatera Utara


4.7 Pengadaan Obat pada Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

Untuk mengetahui proses pengadaan obat pada Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

maka dapat diketahui dari rangkuman wawancara berikut ini :

“Untuk pengadaan obat pada Dinas Kesehatan Kota


Lhokseumawe berdasarkan pada peraturan Menteri Kesehatan
No..63 tahun 2014 tentang pengadaan obat berdasarkan katalog
elektronik. Nah..dalam pelaksanaannya saya sudah mengnunjuk
Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan sebagai Pejabat Pembuat
Komitmen (PPK) untuk menetapkan daftar pengadaan obat sesuai
kebutuhan dan ketersediaan anggaran. Selanjutnya diusulkan
kepada ULP pada sekretariat Walikota Lhokseumawe
untuk diadakan Pengadaan dengan metode
epurchasing”(Kadinkes).

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan terkait

dengan Pengadaan obat pada Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe sebagai berikut :

“Kami sebagai PPK tentunya mempunyai tanggungjawab dalam


pengadaan obat. Kami selalu berupaya untuk meminimalisir setiap
kesalahan yang berpotensi merugikan keuangan negara.
Selain itu kami juga harus memastikan ketersediaan obat di
Puskesmas. Tahap pengadaan yang kami lakukan pertama adalah
memilih metode pengadaan apakah melalui e-purchasing atau
secara manual (offline). Apabila ULP sudah menyetujui maka kami
membuat perjanjian kontrak dengan pihak rekanan. Dalam
perjanjian kontrak tersebut disebutkan waktu kedatangan obat yang
harus dituruti oleh pihak rekanan. Dinas Kesehatan Lhokseumawe
ini kita merencanakan kedatangan obat sekitar bulan sebelas atau
sebelum akhir tahun. Ya..kita juga mengalami hambatan biasanya
pihak rekanan kurang tepat waktu untuk mengirimkan obat kepada
kita. Hal terakhir yang dilakukan dalam pengadaan obat ini adalah
pemeriksaan obat yang sudah diterima. Jadi sebelum saya
menandatangani berita acara penerimaan maka tim pemeriksa
melakukan tugasnya untuk memeriksa setiap item obat yang sudah
diterima..”(Kabid Yankes).

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Seksi Kefarmasian dan Kepala Gudang

seputar pengadaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe sebagai berikut :

“Waalaikumsalam..tentang pengadaan obat kami memiliki


kewenangan sebatas penerimaan dan pemeriksaan obat. Jadi setiap
obat yang sudah sampai di Dinas Kesehatan kami langsung
memeriksanya terlebih dahulu. Hanya saja pak jujur kami katakan
bahwa seluruh item obat yang kami terima itu tidak mungkin kami
hitung satu persatu pada waktu itu, jumlahnya banyak, tenaga
pemeriksan juga sangat terbatas pak. Dan kami tidak mempunyai
alat untuk mempercepat penghitungan obat itu pak. Jadi
kemungkinan juga ada obat yang tidak sesuai dengan permintaan,
belum lagi obat yang kami terima banyak yang hampir
kadaluarsa..”(Kasie Kefarmasian dan Ka. Gudang).

4.7.1 Pemilihan Pengadaan Obat

Pemilihan pengadaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dilaksanakan

berdasarkan Peraturan Presiden No.4 Tahun 2015 tentang pengadaan barang dan jasa

Pemerintah. Pemilihan pengadaan obat dilakukan melalui pembelian secara e-

purchasing dengan sistem e-catalgue.

4.7.2 Waktu Pengadaan dan Kedatangan Obat

Waktu pengadaan dan kedatangan obat di Dinas Kesehatan Kota

Lhokseumawe dilakukan berdasarkan pada isi perjanjian kontrak antara

Distributor/PBF dengan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Dari hasil observasi yang

dilakukan diketahui bahwa waktu pengadaan dan kedatangan obat di Dinas Kesehatan

Kota Lhokseumawe masih belum mengikuti ketepatan waktu seperti yang disepakati

pada isi perjanjian kontrak.

Universitas Sumatera Utara


4.7.3 Penerimaan dan Pemeriksaan Obat

Pemeriksaaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dilakukan pada saat

kedatangan obat di Gudang Farmasi, sementara pemeriksaan obat di Puskesmas

dilakukan pada saat penerimaan obat dari gudang farmasi kepada petugas obat

puskesmas.

Dari rangkuman wawancara tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa

pengadaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe tidak berjalan sesuai dengan

ketentuan.

4.8 Penyimpanan Obat pada Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

Penyimpanan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dapat diketahui dari

rangkuman wawancara sebagai berikut :

“Logistik obat dan bahan habis pakai di Dinas Kesehatan Kota


Lhokseumawe disimpan di Gudang farmasi sehingga itu sudah
menjadi kewenangan Kepala gudang farmasi. Kalau saya sendiri
tidak begitu memantau situasi digudang farmasi. Hanya bila ada
masalah saya panggil kepala gudangnya untuk memberi petunjuk
memecahkan masalah. Sejauh ini kami melihat belum ada hal-hal
yang menghambat penyimpanan obat..”(Kadinkes).

Demikian halnya hasil wawancara dengan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas

Kesehatan Kota Lhokseumawe terkait penyimpanan obat sebagai berikut :

“Pertama-tama kami jelaskan terlebih dahulu bahwa ukuran gudang


penyimpanan obat di Dinas Kesehatan Kota
Lhokseumawe ini seluas ± 10x15 atau sekitar 150 m2, hal ini belum
memadai untuk menampung semua obat dinkes. Gudang Farmasi

Universitas Sumatera Utara


terdiri dari beberapa buah rak/lemari, lemari pendingin, lemari
khusus untuk obat narkotika, ac, dan kipas angin, serta pompa air.
Sementara untuk metode penyusunan obatnya menerapkan prinsip
FIFO dan FEFO. Karena keterbatasan ruangan prinsip ini belum
berjalan dengan baik, obat rusak atau kadaluarsa sudah dipisahkan
dengan obat yang masih bagus. Sedangkan untuk pencatatan kartu
stok obat jujur saja ya, ini belum dijalankan dengan baik. Kami juga
tidak mau menyalahkan staf gudang karena jumlah SDM terbatas.
Demikian juga laporan penyimpanan obat belum berjalan sesuai
dengan waktu yang ditentukan. Nah..untuk pengamanan mutu obat
tentunya harus diperiksa satu persatu, jadi hal itu belum dilakukan
untuk semua jenis obat. Biasanya laporan kerusakan obat kami
terima dari Puskesmas bilamana obat yang diterima sudah rusak
atau kadaluarsa..”(Kabid Yankes).
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Seksi Kefarmasian dan Kepala Gudang

terkait penyimpanan obat di gudang farmasi sebagai berikut :

“Kegiatan penyimpanan obat dilaksanakan setelah obat diterima


lengkap oleh Dinas Kesehatan yang dibuktikan dengan berita acara
penerimaan obat. Jadi pak..obat yang kami simpan itu sudah
melalui tahap pemeriksaan, apabila belum lengkap maka kami tidak
menyimpannya namun kami kembalikan kepada distributornya.
Nah, terkait dengan keadaan penyimpanan kita memang masih
belum memadai. Luas gudang ini belum cukup untuk menyimpan
obat-obatan dan bahan habis pakai. Sehingga kami letakkan di
lantai dan kami tumpuk, dan sebagain kami tempatkan dibagian
kantor administrasi gudang. Hal yang paling mengganggu ini pak
saat listrik padam, nah itukan bisa mempengaruhi suhu dalam
gudang penyimpanan dan bisa menyebabkan kerusakan obat.
Sementara untuk kartu stok obat yah, bapak bisa lihat sendiri masih
banyak yang kosong, ini disebabkan keterbatasan SDM pak. Untuk
prinsip penyimpanan kami rotasi dengan sistem FIFO dan FEFO,
untuk bentuk sediaan kami susun berdasarkan alfabeti, tetapi tidak
semua jenis obat kami terapkan, hanya obat tertentu saja pak. Obat
yang rusak dan kadaluarsa sudah kami pisah pak, jumlahnya
banyak, ada yang udah dari tahun lalu belum dilakukan
penghapusan barang. Barang yang baru datang juga banyak yang
hampir kadaluarsa pak, butuh dana untuk kirim balik. emang agak

Universitas Sumatera Utara


susah dengan rekanan sekarang pak, belum lagi pihak Puskesmas
tidak mau terima kalau obat yang hampir kadaluarsa. Untuk
pengamanan mutu obat tidak dilakukan secara khusus, tetapi kami
lihat rusak/expired ketika ingin menyerahkan ke Puskesmas.
”(Kasie Kefarmasian dan Ka. Gudang).

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Puskesmas Banda Sakti terkait

penyimpanan obat di Puskesmas sebagai berikut :

“Sesuai dengan pertanyaan bapak tentang penyimpanan obat di Puskesmas


maka kami mencoba menjawabnya. Di puskesmas kita ini sudah ada gudang
penyimpanan obat. Namun luasnya kurang memadai sehingga seringkali obat
yang tidak bisa muat dalam gudang kami simpan diruangan lain. Saya sudah
instruksikan pengelola obat agar obat-obat yang diterima dari gudang
farmasi agar disimpan dengan baik sesuai prinsip FIFO dan FEFO. Hanya
saja kadangkala instruksi saya ini tidak dijalankan. Kalau pencatatan stok
obat, bapak bisa lihat sendiri di gudang kalau kartu stok obat yang jarang
diisi. Inilah salah satu kelemahan kita pak..”(Kapus Banda Sakti).

Berdasarkan hasil wawancara dengan Pengelola Obat Puskesmas Banda Sakti terkait

penyimpanan obat di puskesmas sebagai berikut :

“Waalaikumsalam pak, Sebagai pengelola obat di Puskesmas


Banda Sakti maka kami mempunyai tanggungjawab untuk
menyimpan obat dengan baik. Obat yang kami terima dari dinkes
kami periksa semuanya satu persatu, tapi tidak langsung hari
terima barang, kalau ada yang kurang atau kadaluarsa saya cuma
lapor kapus, selebihnya urusan kapus. Untuk prinsip penyimpanan
kami rotasi dengan sistem FIFO dan FEFO, untuk bentuk sediaan
kami susun berdasarkan alfabeti, tetapi tidak semua jenis obat kami
terapkan, hanya obat yang sering kami pakai pak. Untuk jenis
vaksin kami simpan di kulkas di ruang KIA, Obat yang kadaluarsa
juga sudah kami pisah, menunggu waktu yang tepat untuk
dikembalikan ke dinkes. Untuk pencatatan dan pelaporan stok obat
belum semuanya terisi pak, karena keterbatasan SDM pak, soalnya
saya terlibat juga di apotik untuk membantu pelayanan
farmasi..”(Pengelola obat PKM Banda

Universitas Sumatera Utara


Sakti).

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Puskesmas Blang Cut tentang

penyimpanan obat di Puskesmas dapat diketahui sebagai berikut :

“Tentang penyimpanan obat di Puskesmas Blang Cut ini kami


sudah jalankan pak, karena kami menganggap hal ini sangat
penting dan merupakan tanggungjawab kami untuk
melaksanakannya. Namun pak kalau ditanya bagaimana hasilnya,
terus terang itu belum maksimal. Contohnya gudang penyimpanan
obat di puskesmas belum layak. Selain ukurannya kecil fasilitas
atau alat penyimpanannya terbatas. Hal yang paling bermasalah
itu pak..di puskesmas kita ini sering padam lampu PLN sehingga
penyimpanan obat menjadi terganggu. Untuk kartu stok saya pikir
kita sama-sama tahu pak bahwa itu sulit untuk dilakukan setiap
hari..karena obat yang sudah dipakai diapotik biasanya tidak
dilaporkan kepada pengelola obat pada hari itu juga. Soal
keamanan obat itu juga masih belum maksimal pak. Untuk obat
yang kadaluarsa sudah saya suruh pisah pak, saya juga bilang ke
orang dinkes agar barang yang hampir kadaluarsa jangan lagi
dikasi kami. Fasilitas pendukungnya masih terbatas terutama SDM
kita di Puskesmas yang terbatas juga pak.”(Kapus Blang Cut).

Hasil wawancara dengan Pengelola Obat Puskesmas Blang Cut terkait dengan

penyimpanan obat di Puskesmas dapat diketahui sebagai berikut :

“Waalaikumsalam pak, untuk penyimpanan obat di puskesmas ini


sudah disediakan satu gudang yang khusus untuk menyimpan obat.
Penyimpanan obat disusun dirak dan sebagian dilantai karena
raknya kurang. Tidak semua obat kami susun dirak, karena hanya
obat-obat yang sering dibutuhkan saja yang kami susun.
Pengaturan dengan cara FIFO dan FEFO, sediaan kami susun
alfabetis supaya mudah ngambil, obat sirup, salep juga dipisah,
kami atur sesuai ukuran tempat. Sementara untuk obatobat yang
rusak atau kadaluarsa sudah kami pisah. Untuk pencatatan kartu
stok masih belum lengkap pak, saya akui itu butuh perhatian
khusus..”(Pengelola obat PKM Blang Cut).

Universitas Sumatera Utara


4.8.1 Pengaturan Tata Ruang

Dari hasil wawancara dengan informan dapat dijelaskan bahwa tata ruang

penyimpanan obat di gudang farmasi Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe masih

disimpan dalam satu ruangan dan tidak ada sekat-sekat (gabungan), sementara sistem

arah arus gudang obat mengikuti arus lurus. Untuk rak penyimpanan obat

menggunakan bahan dari kayu dan sebagian besi, namun tidak semua obat dapat

diletakkan diatas rak karena keterbatasan jumlah raknya. Penyimpanan obat-obatan

golongan khusus seperti vaksin dan golongan narkotika disimpan dilemari khusus. Hal

lain yang belum dilengkapi pada gudang penyimpanan obat di Dinas Kesehatan Kota

Lhokseumawe dan Puskesmas adalah tabung pemadaman kebakaran.

4.8.2 Penyusunan Stok Obat

Berdasarkan keterangan informan tentang penyusunan obat di gudang obat Dinas

Kesehatan Kota Lhokseumawe dijelaskan bahwa prinsip penyusunan obat yang

digunakan selama ini adalah menggunakan prinsip FIFO dan FEFO, bentuk sediaan di

susun berdasarkan alfabetis, tetapi tidak terapkan untuk semua jenis obatobatan. Obat

yang rusak dan kadaluarsa sudah di pisah. Sementara dari hasil observasi yang

dilakukan secara langsung diketahui bahwa tidak semua obat di gudang penyimpanan

obat mengikuti penyusunan dengan prinsip FIFO dan FEFO. Masih terdapat obat-

obatan yang belum disusun dengan baik dan teratur sehingga menyebabkan

penumpukan obat di satu tempat.

Universitas Sumatera Utara


4.8.3 Pencatatan dan Pelaporan Stok Obat

Pencatatan dan pelaporan stok obat di gudang farmasi dan puskesmas Dinas Kesehatan

Kota Lhokseumawe telah dilaksanakan. Namun tidak semua jenis obat dicatat dalam

kartu stok obat. Hal ini disebabkan karena petugas farmasi Dinas Kesehatan dan

Puskesmas belum membuatnya. Berdasarkan observasi yang dilakukan digudang

farmasi diketahui bahwa pencatatan dan pelaporan pada kartu stok obat belum terisi

secara rutin, masih terdapat kartu stok yang tidak diisi sehingga kondisi obat di gudang

farmasi dan gudang puskesmas tidak dapat diketahui dengan jelas.

4.8.4 Pengamanan Mutu Obat

Pengamanan mutu obat di gudang farmasi dan gudang penyimpanan obat di

Puskesmas Kota Lhokseumawe diketahui bahwa obat-obat di gudang farmasi dan

gudang penyimpanan obat di puskesmas dilakukan apabila terdapat jenis obat yang

sudah rusak.

Dari hasil wawancara dengan informan di atas maka dapat disimpulkan bahwa

manajemen pengelolaan obat pada Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dan

Puskesmas masih belum mengikuti ketentuan dan tahapan-tahapan terutama dalam hal

penyimpanan obat yang baik.

4.9 Pendistribusian Obat pada Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe Untuk

mengetahui pendistribusian obat pada Dinas Kesehatan Kota

Lhokseumawe dapat diketahui dari hasil wawancara sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara


“Kegiatan pendistribusian obat merupakan tanggungjawab kepala
gudang farmasi bekerjasama dengan kepala puskesmas. Untuk
jadwal pendistribusian obat terbagi 2 yaitu distribusi rutin dan
distribusi khusus. Sebelum didistribusikan pihak puskesmas terlebih
dahulu mengusulkan obat-obat yang mereka butuhkan melalui
bidang pelayanan, seterusnya dievaluasi dan dibuat surat
permohonan persetujuan oleh kadinkes. Nah..setelah saya setujui
maka obat sudah bisa didistribusikan. Untuk teknis
pendistirbusiannya saya kira bidang yankes dan gudang farmasi
yang menjelaskannya”(Kadinkes).

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan terkait

dengan pendistribusian obat sebagai berikut :

“Pendistribusian obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe


dilakukan dengan beberapa tahap. Yang pertama adalah kami melihat
setiap perencanaan obat yang telah disusun dalam satu tahun,
seterusnya kami mengevaluasi laporan pemakaian dan lembar
permintaan obat (LPLPO) dari puskesmas..apakah itu perbulan triwulan
atau persemester. Nah..dari sana kami bisa merencanakan obat-
obat yang akan didistribusikan ke Puskesmas. Jadi belum
tentu permintaan puskesmas itu kami penuhi semua karena kami selalu
memperhatikan sisa stok obat puskesmas sebelumnya”(Kabid Yankes).

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Seksi Kefarmasian dan Kepala

Gudang Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe terkait pendistribusian obat di

Puskesmas sebagai berikut :

“Untuk kegiatan pendistribusian obat dilaksanakan sesuai


kebutuhan puskesmas. Untuk mendistribusikan obat terlebih dahulu
harus mendapat persetujuan bapak kepala Dinas kesehatan,
selanjutnya kami menghubungi puskesmas untuk datang kegudang
farmasi mengambil obat yang sudah disetujui oleh pak kadis. Jadi,
untuk distribusi obat pihak puskesmas yang mengambil ke gudang.
Sebelumnya saya tugaskan staf untuk menyiapkan obat-obat yang

Universitas Sumatera Utara


akan diambil oleh puskesmas”(Kasie Kefarmasian dan Ka.
Gudang).

Adapun tanggapan Kepala Puskesmas Banda Sakti tentang pendistribusian obat

sebagai berikut :

“Jadi masalah pendistribusian obat ini pak..kami dari puskesmas


selalu mempedomani petunjuk dari Dinas Kesehatan. Namun untuk
pendistribusian obat ini pihak gudang farmasi tidak langsung
mengantarkan obat ke puskesmas walaupun sebenarnya itu adalah
tugas mereka pak. Untuk itu kami diminta untuk mengambil atau
menjemput obat ke gudang farmasi setiap 3 bulan sekali
menggunakan mobil ambulans yang ada di puskesmas. Saya
menugaskan pengelola obat untuk menjemput obat sesuai dengan
permintaan”(Kapus Banda Sakti).

Sementara tanggapan Kepala Puskesmas Blang Cut terkait pendistribusian obat

sebagai berikut :

“Secara rutin kami mengirimkan laporan pemakaian dan lembar


permintaan obat ke Dinkes. Dalam hal permintaan obat kami
sesuaikan dengan keadaan obat yang cepat habis digunakan di
puskesmas, pustu, poskesdes. Setelah semua direkap maka
selanjutnya kami mengirimkan permintaan obat ke Dinkes.
Nah..kami menunggu hasil persetujuan dari Dinkes beberapa hari
baru bisa menjemput obat digudang farmasi. Saya tugaskan
pengelola obat bersama supir ambulans untuk mengambil obat
sesuai dengan permintaan obat yang telah disetujui Dinkes.
Apabila obat sudah sampai di puskesmas maka kami memberitahu
penanggungjawab unit pelayanan dipuskesmas, pustu, poskesdes
untuk mengajukan permintaan obat agar dapat didistribusikan
segera”(Kapus Blang Cut).

Tanggapan Pengelola Obat Puskesmas Banda Sakti tentang pendistribusian obat

sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara


“Untuk pendistribusian obat dari gudang farmasi, biasanya kami
yang menjemput bersama dengan supir ambulans. Kami diberikan
surat tugas oleh kepala puskesmas. Sebelum obat kami terima kami
cek satu persatu kemudian setelah dicek kami langsung angkat obat
tersebut kedalam mobil ambulans. Hanya saja pak kami tidak
membuka lagi kardus obatnya pada saat mengecek karena
membutuhkan waktu yang lama dan tenaga yang cukup. Jadi kami
menganggap apa yang tertulis dikemasan obat itu sudah cukup
untuk dicatat dalam berita penerimaan obat. Kalau pendistribusian
ke unit pelayanan di puskesmas, pustu, poskesdes tidak ada
kendalanya pak”(Pengelola obat PKM Banda Sakti).

Hasil wawancara dengan Pengelola Obat Puskesmas Blang Cut tentang

pendistribusian obat sebagai berikut :

“Tentang pendistrubusian obat dari gudang farmasi selama ini


belum ada hambatan. Karena kami yang langsung menjemputnya
di gudang farmasi. Tapi kalau masalah apakah obat yang kami
terima sudah sesuai dengan permintaan..nah itu kami tidak bisa
menjaminnya pak. Karena hampir setiap obat yang kami usulkan ke
Dinkes berbeda dengan yang kami terima. Memang sih pak kami
diberikan penjelasan bahwa obat yang kami minta itu jumlah
stoknya tinggal sedikit digudang farmasi bahkan kosong.
Nah..untuk pendistribusian ke pustu, poskesdes dan bidan desa
biasanya kami beritahukan kepada mereka agar menjemput ke
puskesmas setelah mendapat persetujuan dari pak
kapus”(Pengelola obat PKM Blang Cut).

Berdasarkan rangkuman wawancara tersebut di atas maka diketahui bahwa

manajemen pendistribusian obat dari gudang farmasi ke Puskesmas Kota

Lhokseumawe belum berjalan dengan baik. Obat yang didistribusikan masih belum

sesuai permintaan Puskesmas.

Universitas Sumatera Utara


4.9.1 Mekanisme Pendistribusian Obat

Berdasarkan informasi dari para informan diketahui bahwa kegiatan pendistribusian

obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dilaksanakan setelah Kepala Dinas

Kesehatan memberikan persetujuan pendistribusian sesuai dengan rencana kebutuhan

obat di Puskesmas.

4.9.2 Unit-unit Pendistribusian Obat

Obat-obat di Gudang Farmasi Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe di distribusikan

ke masing-masing puskesmas selanjutnya puskesmas melakukan pendistribusian ke

pustu, polindes dan poskesdes termasuk kepada bidan desa.

4.10 Supervisi dan Evaluasi Manajemen Obat di Dinas Kesehatan Kota


Lhokseumawe

Berikut hasil wawancara dengan beberapa informan terkait dengan

pelaksanaan supervisi dan evaluasi pengelolaan obat di Puskesmas sebagai berikut :

“Untuk pelaksanaan supervisi pengelolaan obat di Puskesmas


dilakukan sesuai dengan jadwal yang sudah direncanakan dalam
APBD. Dalam hal supervisi pengelolaan obat di puskesmas
dikoordinir oleh bidang pelayanan kesehatan. Hasil dari supervisi
akan dievaluasi di Dinas Kesehatan bersama dengan beberapa
kepala bidang terkait. Untuk tahapan pelaksanaan supervisi dan
evaluasi pengelolaan obat dapat dijelaskan oleh bidang pelayanan
kesehatan.”(Kadinkes).

Tahapan pelaksanaan supervisi dan evaluasi obat di Puskesmas dapat diketahui dari

penjelasan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara


“Tahapan supervisi pengelolaan obat puskesmas yang kami
lakukan adalah pertama kami menyiapkan instrumen supervisi
seperti form indikator, LPLPO dsb. Kemudian kami merencanakan
jadwal untuk turun ke Puskesmas. Pelaksana supervisi ini semua
dari bidang yankes. Di puskesmas kami melakukan wawancara
dengan kapus dan petugas pengelola obat kemudian memantau
gudang penyimpanan obat. Hasil dari supervisi, kami catat dalam
formulir laporan yang telah kami siapkan. Selanjutnya kami
serahkan kepada pak kadis. Sementara untuk evaluasi pengelolaan
obat biasanya tidak langsung keluar hasilnya. Dibutuhkan waktu
untuk penilaian”(Kabid Yankes).

Untuk proses pelaksanaan supervisi dan evaluasi di Puskesmas Banda Sakti dapat

diketahui dari hasil wawancara dengan Kepala Puskesmas sebagai berikut :

“Baik pak..kami jelaskan bahwa pelaksanaan supervisi dan


evaluasi pengelolaan obat dari Dinkes Kota Lhokseumawe masih
jarang dilakukan. Dalam setahun paling banyak 2 kali mereka ke
Puskesmas itupun hanya sebentar saja. Biasanya mereka datang
menemui saya di ruangan dan memanggil pengelola obat untuk
diwawancarai sebentar. Tidak lama mereka supervisi pak,
sebenarnya masih banyak kekurangan kami dalam hal pengelolaan
obat ini. Kami bersedia untuk dievaluasi namun hasil
evaluasinyapun tidak disampaikan kepada kami”(Kapus Banda
Sakti).

Demikian halnya dengan tanggapan Kepala Puskesmas Blang Cut terkait dengan

kegiatan supervisi dan evaluasi pengelolaan obat di Puskesmas Blang Cutsebagai

berikut :

“Terkait dengan kegiatan supervisi dan evaluasi pengelolaan obat


dari Dinkes, boleh kami katakan masih belum maksimal
pak..supervisi seharusnya dapat memberikan masukan bagi kami
bagaimana mengelola obat dengan baik. Demikian halnya dengan
hasil evaluasi pengelolaan obat dari Dinkes, dimana sampai saat
ini kami belum memperoleh hasilnya. Nah..untuk mendampingi tim

Universitas Sumatera Utara


supervisi dari Dinkes saya menugaskan pengelola obat kami untuk
mendampingi karena dia yang lebih tahu tentang pengelolaan obat
ini pak”(Kapus Blang Cut).

4.10.1 Supervisi dan Evaluasi

Supervisi dan evaluasi obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dikoordinir oleh

Bidang Pelayanan Kesehatan. Sasaran supervisi dan evaluasi adalah sarana

infrastruktur, sistem pengelolaan dan sumber daya manusia. Supervisi dilakukan

berdasarkan sumber anggaran yang tersedia dan disesuaikan dengan kebutuhan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan dapat diambil kesimpulan pelaksanaan

supervisi dan evaluasi pengelolaan obat oleh Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

belum berjalan efektif dan efisien terutama hasil dan tujuan pelaksanaan kegiatannya

masih belum maksimal.

Universitas Sumatera Utara


BAB 5

PEMBAHASAN

5.1 Perencanaan Obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

Perencanaan merupakan suatu proses kegiatan seleksi obat dan perbekalan kesehatan

untuk menentukan jenis dan jumlah obat dalam rangka pemenuhan kebutuhan obat di

Puskesmas. Perencanaan kebutuhan obat untuk Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

setiap periode dilaksanakan oleh Tim Perencana Obat dan Perbekalan Kesehatan

Kabupaten/Kota. Dalam proses perencanaan kebutuhan obat per tahun, Puskesmas

diminta menyediakan data pemakaian obat dengan mengunakan Laporan Pemakaian

dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO). Selanjutnya Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota

yang akan melakukan kompilasi dan analisa terhadap kebutuhan obat Puskesmas di

wilayah kerjanya.

Perencanaan merupakan salah satu fungsi yang sangat penting dalam manajemen,

karena dengan adanya perencanaan akan menentukan fungsi manajemen lainnya

terutama pengambilan keputusan. Fungsi perencanaan merupakan landasan dasar dari

fungsi menajemen secara keseluruhan. Tanpa adanya perencanaan, pelaksanaan

kegiatan tidak akan berjalan dengan baik. Dengan demikian perencanaan merupakan

suatu pedoman atau tuntunan terhadap proses kegiatan untuk mencapai tujuan secara

efektif dan efisien.

Berdasarkan hasil wawancara terkait perencanaan obat dengan informan dapat

diketahui bahwa tahapan perencanaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

Universitas Sumatera Utara


diawali dengan pembentukan Tim Perencanaan Obat yang terdiri dari pihak Dinas

Kesehatan dan Puskesmas. Tim yang sudah dibentuk akan diusulkan kepada Walikota

Lhokseumawe untuk ditetapkan melalui Surat Keputusan Walikota tentang Tim

Perencana Obat Kota Lhokseumawe. Perencanaan kebutuhan obat dilaksanakan oleh

tim perencanaan obat, yang diketuai oleh Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan dan

dibantu oleh Kepala Seksi Kefarmasian.

Dari hasil wawancara dengan Kepala Bidang Yankes diketahui bahwa proses

perencanaan obat di Dinas Kesehatan dilaksanakan menggunakan metode konsumsi

berdasarkan pada obat generik yang tercantum dalam Daftar Obat Esensial Nasional

(DOEN) dan Formularariun Nasional (Fornas). Perencanaan kebutuhan obat telah

dilaksanakan sesuai dengan tahapan perencanaan antara lain tahap pemilihan obat,

tahap kompilasi dan tahap penghitungan obat. Namun tidak semua berjalan dengan

baik, diantaranya sering terjadi keterlambatan dalam laporan data pemakaian obat

(LPLPO).

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Seksi Kefarmasian dan Kepala Gudang

menjelaskan bahwa tugas dari tim perencanaan obat Kota Lhokseumawe kurang

maksimal, diantaranya pertemuan hanya satu kali setahun, kurangnya koordinasi tim

perencanaan obat dan tidak pernah melakukan pelatihan terhadap petugas pengelolaan

obat puskesmas.

Dari hasil wawancara dengan Kepala Puskesmas Banda Sakti menjelaskan bahwa

tidak semua jenis obat yang sudah direncanakan dapat diakomodir nantinya oleh Dinas

Universitas Sumatera Utara


Kesehatan dan jumlahnya tidak sesuai permintaan. Sedangkan penjelasan dari Kepala

Puskesmas Blang Cut menyatakan bahwa tugas-tugas perencanaan obat dipercayakan

kepada petugas pengelolaan obat karena alasan tugas Kepala Puskesmas cukup banyak.

Konsep yang diperoleh dari hasil wawancara terkait tentang perencanaan

kebutuhan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe adalah pembentukan tim

perencanaan obat. Pemilihan kebutuhan obat menggunakan metode konsumsi

berdasarkan pada obat generik yang tercantum dalam DOEN dan Fornas. Proses

perencanaan kebutuhan obat publik diawali dari data yang disampaikan Puskesmas

(LPLPO) ke Dinas Kesehatan, kemudian dikompilasi menjadi rencana kebutuhan obat,

selanjutnya melakukan perhitungan kebutuhan obat dan disesuaikan dengan anggaran

yang tersedia.

Dari uraian pernyataan informan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa manajemen

perencanaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe telah dilaksanakan oleh tim

perencanaan obat, namun belum berjalan dengan baik. Pertemuan/Rapat kerja

penyusunan kebutuhan obat hanya satu kali setahun, kurangnya koordinasi tim

perencanaan obat dan tidak pernah melakukan pelatihan terhadap petugas pengelolaan

obat puskesmas. Perencanaan kebutuhan obat telah dilaksanakan sesuai dengan

tahapan perencanaan, namun tidak semua berjalan dengan baik, diantaranya sering

terjadi keterlambatan dalam laporan data pemakaian obat (LPLPO), tidak semua jenis

obat dapat diakomodir oleh Dinas Kesehatan dan jumlahnya tidak sesuai permintaan.

Adapun tujuan perencanaan obat adalah 1). Mendapatkan perkiraan jenis dan

Universitas Sumatera Utara


jumlah obat dan perbekalan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan; 2).

Meningkatkan efisiensi penggunaan obat; 3). Meningkatkan penggunaan obat secara

rasional (Kemenkes, 2010).

Berdasarkan Hasil penelitian Triana (2013) tentang evaluasi perencanaan obat

pelayanan kesehatan dasar di Gudang Farmasi Kabupaten Gunung Mas Provinsi

Kalimantan Tengah menyimpulkan bahwa kepatuhan pada pedoman perencanaan obat

masih rendah, dibuktikan ada beberapa langkah-langkah perencanaan yang tidak

dilakukan oleh petugas, hal ini disebabkan karena kurang pemahaman terhadap

langkah-langkah perencanaan, tidak adanya SOP, beban kerja berlebihan serta

kurangnya supervisi secara berkala dari atasan terhadap pelaksanaan perencanaan obat

yang dilakukan.

Menurut Hasibuan (2007), perencanaan adalah pekerjaan mental untuk memilih

sasaran, kebijakan, prosedur dan program yang diperlukan untuk mencapai apa yang

diinginkan pada masa yang akan datang. Sedangkan rencana adalah sejumlah

keputusan mengenai keinginan dan berisi pedoman pelaksanaan untuk mencapai

tujuan yang diinginkan itu. Jadi setiap rencana mengandung unsur tujuan yang hendak

dicapai.

Suatu perencanaan yang baik adalah yang mempunyai kriteria antara lain sebagai

berikut :

a. Perencanaan harus mempunyai tujuan yang jelas.

Universitas Sumatera Utara


b. Perencanaan harus mengandung uraian yang lengkap tentang segala aktifitas

yang akan dilaksanakan, yang dibedakan pula atas aktivitas pokok serta

aktifitas tambahan.

c. Perencanaan harus dapat menguraikan pula jangka waktu pelaksanaan setiap

aktifitas ataupun keseluruhan aktifitas yang akan dilaksanakan. Suatu rencana

yang baik, hendaknya berorientasi pada masa depan bukan sebaliknya.

d. Perencanaan harus dapat menguraikan macam organisasi yang dipandang tepat

untuk melaksanakan aktvitas-aktivitas yang telah disusun. Dalam organisasi

tersebut harus dijelaskan pula pembagian tugas masing-masing bagian atau

individu.

e. Perencanaan harus memiliki unsur fleksibilitas artinya sesuai dengan situasi

dan kondisi yang dihadapi, sedemikian rupa sehingga pemanfaatan sumber dan

tata cara dapat diatur dengan baik dalam rangka mencapai tujuan yang telah

ditetapkan.

f. Perencanaan harus mencantumkan dengan jelas standar yang dipakai untuk

mengukur keberhasilan atau kegagalan yang akan terjadi. Jadi suatu rencana

dapat menguraikan pula mekanisme kontrol yang akan dipergunakan.

g. Perencanaan harus dilaksanakan terus-menerus, artinya hasil yang diperoleh

dari perencanaan yang sedang dilakukan, dapat dipakai sebagai pedoman untuk

perencanaan selanjutnya.

Universitas Sumatera Utara


Sumber penyediaan obat di Puskemas berasal dari Dinas Kesehatan. Obat yang

diperkenankan untuk disediakan di Puskesmas adalah obat esensial yang jenis dan

itemnya telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dengan merujuk pada Daftar Obat

Esensial Nasional (DOEN) dan Formulararium Nasional (Fornas). Selain itu, sesuai

dengan kesepakatan global maupun Keputusan Menteri Ke sehatan No. 85 tahun 1989

tentang k ewajiban menuliskan resep dan atau menggunakan obat Generik di Pelayanan

Kesehatan Milik Pemerintah dan Permenkes RI No. HK.

02.02/MENKES/068/I/2010 tentang kewajban menggunakan obat Generik di Fasilitas

Pelayanan Kesehatan Pemerintah, maka hanya obat generik saja yang diperkenankan

tersedia di Puskesmas.

5.2 Pengadaan Obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

Pengadaan adalah proses untuk mendapatkan pasokan barang di bawah kontrak atau

pembelian langsung untuk memenuhi kebutuhan bisnis. Pengadaan dapat

mempengaruhi keseluruhan proses arus barang karena merupakan bagian penting

dalam proses tersebut, karena itu pengadaan harus dianggap sebagai fungsi yang

strategis dalam manajemen logistik, dimana dalam pelaksanaan pengadaan ini harus

tersedia dalam jumlah obat yang cukup, pada waktu yang tepat dan harus diganti

dengan cara berkesinambungan dan teratur.

Pengadaan obat di Dinas Kesehatan dilakukan untuk memperoleh jenis dan jumlah

obat dengan mutu yang tinggi, menjamin tersedianya obat dengan cepat dan tepat

Universitas Sumatera Utara


waktu. Oleh karena itu, pengadaan obat harus memperhatikan dan mempertimbangkan

bahwa obat yang diadakan sesuai dengan jenis dan jumlah obat yang telah

direncanakan.

Hasil wawancara dengan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan dijelaskan bahwa

kedudukan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan dalam kegiatan pengadaan adalah

sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dengan pihak rekanan. Proses pengadaan

obat diawali dengan perencanaan obat yang telah dibuat oleh tim perencana obat.

Setelah melalui beberapa seleksi dan evaluasi melalui katalaog elektronik obat, maka

PPK membuat daftar obat yang dibutuhkan, dan selanjutnya disampaikan kepada pokja

Unit Layanan Pengadaan (ULP) untuk segera membuat paket pembelian obat dalam

aplikasi e-purchasing berdasarkan daftar pengadaan obat.

Berdasarkan keterangan yang di dapat dari Kepala Seksi Kefarmasian Dinas

Kesehatan Kota Lhokseumawe dijelaskan bahwa setelah proses pengadaan selanjutnya

adalah proses penerimaan obat di Gudang Farmasi Dinas kesehatan Kota

Lhokseumawe yang melibatkan tim pemeriksa barang. Namun pada kenyataannya

tidak semua obat yang diterima dilakukan pemeriksaan pada waktu penerimaan barang

disebabkan jumlah barang yang banyak dan beban kerja petugas yang tinggi. Informan

menjelaskan salah satu penyebabnya adalah kurangnya jumlah SDM yang melakukan

pemeriksaan obat dan alat-alat pendukung yang dibutuhkan dalam pemeriksaan belum

tersedia sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memeriksa obat satu

persatu.

Universitas Sumatera Utara


Dari rangkuman wawancara dengan informan di atas maka dapat simpulkan bahwa

pelaksanaan pengadaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe berdasarkan

katalog elektronik (e-catalogue). Namun masih terdapat jenis obat yang tidak dapat

dipenuhi oleh rekanan dengan alasan bahwa jenis obat tersebut habis stok sehingga

kebutuhan obat di Puskesmas tidak dapat dipenuhi. Pada tahap pemeriksaan juga

terdapat masalah seperti tidak dilakukannya pemeriksaan terhadap semua jenis obat

yang diterima pada waktu penerimaan barang. Hal ini dapat menimbulkan masalah

seperti jenis obat yang dibutuhkan tidak sesuai dengan jenis obat yang dipesan.

Berdasarkan hasil penelitian Apriyanti, dkk (2011) tentang evaluasi pengadaan dan

ketersediaan obat di RSUD Hadji Boejasin Pelaihari menyatakan bahwa ketersediaan

obat di RSUD H.Boejasin masih belum baik yang ditunjukkan dari tingkat ketersediaan

obat yang belum memenuhi kebutuhan obat pada unit-unit pelayanan sehingga

berdampak pada pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang berkunjung ke Rumah

Sakit.

Obat merupakan pendukung utama untuk hampir semua program kesehatan di unit

pelayanan kesehatan. Untuk itu, ketersediaan dana pengadaan obat harus proporsional

dengan anggaran kesehatan secara keseluruhan.

Biaya yang diserap untuk penggunaan obat merupakan komponen terbesar dari

pengeluaran rumah sakit. Dibanyak Negara berkembang belanja obat di rumah dapat

menyerap sekitar 30-40% dari biaya kesehatan keseluruhan. Belanja perbekalan

farmasi yang demikian besar tentunya harus dikelola dengan efektif dan efisien, hal ini

Universitas Sumatera Utara


perlu dilakukan mengingat dana kebutuhan obat di fasilitas kesehatan tidak selalu

sesuai dengan kebutuhan.

Pengadaan merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang telah

direncanakan dan disetujui, melalui :

1. Pembelian

2. Produksi atau pembuatan sediaan farmasi


3. Sumbangan/drooping atau hibah

Pembelian dengan penawaran yang kompetitif (tender) merupakan suatu metode

penting untuk mencapai keseimbangan yang tepat antara mutu dan harga, apabila ada

dua atau lebih pemasok, pejabat pengadaan harus mendasarkan pada kriteria berikut :

mutu produk, reputasi produsen, harga, berbagai syarat, ketepatan waktu pengiriman,

mutu pelayanan pemasok, dapat dipercaya, kebijakan tentang barang yang

dikembalikan, dan pengemasan.

Mendapatkan perbekalan farmasi dengan harga yang layak, dengan mutu yang baik,

pengiriman barang terjamin dan tepat waktu, proses berjalan lancar, dan tidak

memerlukan tenaga serta waktu berlebihan.

1. Pembelian

Pembelian adalah rangkaian proses pengadaan unutuk mendapatkan perbekalan

farmasi. Hal ini sesuai dengan peraturan Presiden RI No. 94 tahun 2007 tentang

pengendalian dan pengawasan atas pengadaan dan penyaluran bahan obat, obat spesifik

dan alat kesehatan yang berfungsi sebagai obat dan peraturan Presiden

Universitas Sumatera Utara


No.4 tahun 2015 tentang perubahan keempat atas Peraturan Presiden No. 54 tahun 2010

tentang pengadaan barang/jasa pemerintah.

Ada 4 metode pada proses pembelian :

a. Tender terbuka, berlaku untuk semua rekanan yang terdaftar, dan sesuai dengan

kriteria yang telah ditentukan.

b. Tender terbatas, sering disebutkan lelang tertutup. Hanya dilakukan pada

rekanan tertentu yang sudah terdaftar dan memiliki riwayat yang baik.

c. Pembelian dengan tawar-menawar, dilakukan bila item tidak penting, tidak

banyak, dan biasanya dilakukan pendekatan langsung untuk item tertentu

d. Pembelian langsung, pembeli jumlah kecil, perlu segera tersedia. Harga

tertentu, relative agak lebih mahal.

2. Produksi

Produksi perbekalan farmasi di fasilitas kesehatan merupakan kegiatan membuat,

merubah bentuk, dan pengemasan kembali sediaan farmasi steril atau nonsteril untuk

memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan dasar kepada masyarakat.

Kriteria perbekalan farmasi yang di produksi :

a. Sediaan farmasi dengan formula khusus

b. Sediaan farmasi dengan mutu sesuai standar dengan harga lebih murah

c. Sediaan farmasi yang memerlukan pengemasan kembali

d. Sediaan farmasi yang tidak tersedia di pasaran

e. Sedian farmasi untuk penelitian

Universitas Sumatera Utara


f. Sediaan nutrisi parenteral

g. Rekonstusi sediaan perbekalan farmasi sitostasika

h. Sediaan farmasi yang harus selalu di buat baru

Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe harus cermat dan teliti dalam upaya menyusun

perencanaan kebutuhan obat publik agar Dana Alokasi Umum (DAU) yang disediakan

oleh pemerintah dapat mencukupi penyediaan obat di Puskesmas yang ada di

wilayahnya.

5.3 Penyimpanan Obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

Penyimpanan adalah suatu kegiatan pengamanan terhadap obat-obatan yang diterima

agar aman (tidak hilang), terhindar dari kerusakan fisik maupun kimia dan mutunya

tetap terjamin. Penyimpanan bertujuan agar obat yang tersedia di Unit pelayanan

kesehatan terjamin mutu dan keamanannya. Penyimpanan obat juga merupakan faktor

yang penting dalam pengelolahan obat di Puskesmas karena dengan penyimpanan yang

baik dan benar akan dengan mudah dalam pengambilan obat dan lebih efektif.

Penyimpanan obat di Dinas Kesehatan menggunakan prinsip FIFO (First In

First Out) yaitu obat yang datang lebih awal harus dikeluarkan lebih dahulu. FEFO

(First Expired First Out), yang berarti obat yang lebih awal kadaluarsa harus

dikeluarkan leih dahulu. Obat sediaan disusun berdasarkan abjad (alfabetis) atau

nomor. Obat rusak atau kadaluarsa dipisahkan dari obat lain yang masih baik dan

disimpan di luar gudang.

Universitas Sumatera Utara


Dari hasil wawancara dengan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Kota

Lhokseumawe diketahui bahwa obat-obat yang sudah diterima dan diperiksa akan

disimpan didalam gudang farmasi Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe. Luas gudang

penyimpanan obat adalah 150 m2. Menurut Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan bahwa

luas gudang penyimpanan di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe belum cukup untuk

menyimpan obat dengan baik.

Menurut keterangan dari Kepala Seksi Kefarmasian dan Kepala Gudang

Farmasi Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe, bahwa tata susunan penyimpanan obat

di Dinas Kesehatan belum seluruhnya mengikuti prinsip FIFO dan FEFO. Masih ada

obat-obatan yang diletakkan dilantai dan tidak beraturan termasuk golongan obat keras

yang masih tercampur dengan jenis obat lainnya. Demikian halnya dengan pencatatan

obat yang kurang aktif dicatatkan didalam kartu stok obat. Menurut informan hal ini

disebabkan karena fasilitas penyimpanan digudang obat masih terbatas. Penyabab

lainnya yaitu keterbatasan jumlah tenaga untuk melakukan penyimpanan, pemeriksaan

dan pencatatan obat dengan baik.

Sementara tanggapan dari Kepala Puskesmas Banda Sakti dan Kepala

Puskesmas Blang Cut yang menyatakan bahwa gudang penyimpanan obat di

Puskesmas masih kurang memadai. Masih ada obat yang diterima namun disimpan di

luar gudang penyimpanan atau ruangan lain. Hal ini disebabkan karena ruang

penyimpanan tidak cukup untuk menyimpan obat yang diterima. Hasil observasi yang

dilakukan diketahui bahwa fasilitas penyimpanan obat di Puskesmas Banda Sakit dan

Universitas Sumatera Utara


Blang Cut sangat terbatas seperti rak penyimpanan obat biasa dan rak penyimpanan

obat keras yang masih belum tersedia. Hambatan lain adalah masalah penerangan,

dimana ventilasi diruang penyimpanan obat di Puskesmas sangat terbatas. Untuk

penerangan diruang penyimpanan masih mengandalkan lampu PLN, namun

dikeluhkan juga bahwa PLN di Puskesmas sering padam sehingga peenyimpanan obat

tergangga. Dari hasil pengamatan langsung diketahui juga bahwa kartu stok obat di

gudang penyimpanan belum lengkap dan bahkan masih ada kartu stok yang belum

dicatat.

Keterangan dari Petugas Pengelola Obat Puskesmas Banda Sakti dan Blang Cut

bahwa proses penyimpanan obat di gudang penyimpanan obat di Puskesmas dilakukan

tanpa mengikuti tata aturan penyimpanan yang benar. Seperti masih ada obat yang

diletakkan di lantai karena rak penyimpanan tidak cukup. Demikian juga dengan

pencatatan kartu stok obat yang tidak rutin dilakukan.

Dari informasi penelitian yang diperoleh tersebut maka dapat disimpulkan

bahwa pelaksanaan manajemen penyimpanan obat di Gudang Farmasi Dinas

Kesehatan Kota Lhokseumawe dan gudang penyimpanan obat di Puskesmas Banda

Sakti dan Blang Cut masih belum memenuhi prosedur penerimaan, pemeriksaan dan

penyimpanan obat yang baik. Hal ini dapat menimbulkan masalah yang berdampak

kepada masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan di Puskesmas.

Sementara hasi penelitian Sheina, dkk (2010) tentang penyimpanan obat di

gudang instalasi farmasi RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I menyimpulkan

Universitas Sumatera Utara


bahwa faktor sistem penyimpanan obat di Gudang Instalasi Farmasi RS. PKU

Muhammadiyah Yogyakarta Unit I tidak sesuai dengan standar yaitu penggolongan

obat tidak berdasarkan kelas terapi/khasiat obat. Hal tersebut dikarenakan tidak semua

petugas gudang memiliki latar belakang pendidikan kefarmasian.

Kegiatan penyimpanan memegang peranan penting dalam pengelolaan obat publik.

Kegiatan ini dapat berjalan dengan baik apabila didukung oleh sarana penyimpanan

yang memadai. Sarana yang tidak memadai menyebabkan penataan obat dalam

penyimpanan tidak teratur dan tidak mematuhi kaidah penyimpanan obat, sehingga

dapat menyebabkan obat rusak atau expired dalam penyimpan.

Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara dengan cara

menempatkan obat-obatan yang diterima pada tempat yang dinilai aman dari pencurian

serta gangguan fisik yang dapat merusak mutu obat. Tujuan penyimpanan obat-obatan

adalah 1). Memelihara mutu obat; 2). Menghindari penggunaan yang tidak

bertanggungjawab; 3). Menjaga kelangsungan persediaan; 4). Memudahkan pencarian

dan pengawasan. Sementara kegiatan penyimpanan obat meliputi 1). Pengaturan tata

ruang; b). Penyusunan stok obat; c). Pencatatan stok obat; d). Pengamatan mutu obat.

Untuk mendapatkan kemudahan dalam penyimpanan, penyusunan, pencarian dan

pengawasan obat-obatan, maka diperlukan pengaturan tata ruang gudang dengan baik.

Penyusunan dilakukan dengan sistem First Expired First Out (FEFO) untuk masing-

masing obat, artinya obat yang lebih awal kadaluwarsa harus dikeluarkan lebih dahulu

dari obat yang kadaluwarsa kemudian, dan First In First Out (FIFO) untuk masing-

Universitas Sumatera Utara


masing obat, artinya obat yang datang pertama kali harus dikeluarkan lebih dahulu

dari obat yang datang kemudian. Hal ini sangat penting karena obat yang sudah terlalu

lama biasanya kekuatannya atau potensinya berkurang. Beberapa obat seperti

antibiotik mempunyai batas waktu pemakaian artinya batas waktu dimana obat mulai

berkurang efektivitasnya. (Kemenkes, 2010). Setiap pengelola obat, perlu melakukan

pengamatan mutu obat secara berkala, setiap bulan. Hal ini penting untuk diketahui

terutama penggunaan antibiotik yang sudah kadaluwarsa karena dapat menimbulkan

resistensi mikroba. Resistensi mikroba berdampak terhadap mahalnya biaya

pengobatan. Selama penyimpanan beberapa obat dapat terurai menjadi substansi-

substansi yang toksik. Sebagai contoh Tetrasiklin dari serbuk warna kuning dapat

berubah menjadi warna coklat yang toksik (Kemenkes, 2010).

5.4 Pendistribusian Obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

Pendistribusian obat mencakup kegiatan pengeluaran dan pengiriman obatobatan yang

bermutu, terjamin keabsahannya serta tepat jenis dan jumlah dari gudang obat secara

merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan unit-unit pelayanan kesehatan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan, diperoleh kesimpulan bahwa obat

yang berada di puskesmas nantinya akan didistribusikan ke Pustu, Poskesdes dan

Polindes. Penyaluran obat juga dilakukan di bagian sub-sub puskesmas seperti, (UGD),

ruang rawat inap, ruang poli umum dan poli gigi.

(Kemenkes, 2010)

Universitas Sumatera Utara


Cara distribusi obat yang baik adalah cara distribusi/penyaluran obat dan/atau bahan

obat yang bertujuan memastikan mutu sepanjang jalur distribusi/penyaluran sesuai

persyaratan dan tujuan penggunaannya. Prinsip-prinsip Cara distriubsi obat yang baik

berlaku untuk aspek pengadaan, penyimpanan, penyaluran termasuk pengembalian

obat dan/atau bahan obat dalam rantai distribusi.

Dari hasil wawancara dengan Kepala Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dijelaskan

bahwa proses pendistribusian obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dilakukan

berdasarkan rencana kebutuhan obat dalam satu tahun dengan mempertimbangkan

jumlah sisa obat yang belum terpakai dan jumlah obat yang telah terpakai.

Pendistribusian obat akan dilakukan apabila usulan obat yang dibutuhkan telah

disetujui oleh Kepala Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe.

Dalam hal persetujuan obat dimaksud, Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan

memberikan penjelasan bahwa obat yang di distribusikan ke Puskesmas adalah obat

yang diusulkan dan disampaikan langsung oleh Puskesmas ke Dinas Kesehatan Kota

Lhokseumawe berdasarkan perencanaan obat di Puskesmas sebelumnya.

Kemudian Bidang Pelayanan Kesehatan akan melakukan pengkajian data LPLPO.

Hasil dari pengkajian LPLPO Puskesmas tersebut akan dievaluasi kembali untuk

menentukan jumlah dan jenis obat yang akan di distribusikan ke Puskesmas. Setiap

jenis obat yang di evaluasi terlebih dahulu mempertimbangkan sisa pemakaian obat

yang masih ada di Puskesmas.

Universitas Sumatera Utara


Sementara hasil wawancara dengan Kepala Puskesmas Banda Sakti dan Kepala

Puskesmas Blang Cut menyatakan bahwa pendistribusian obat ke Puskesmas tidak

diantar langsung oleh Gudang farmasi Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe,

melainkan pihak Puskesmas yang datang langsung menjemput obat yang telah disetujui

oleh Kepala Dinas Kesehatan. Penjemputan obat dilakukan oleh Petugas Pengelola

obat Puskesmas bersama dengan supir ambulans dalam kurun waktu tiga bulan sekali

(triwulan).

Obat yang sudah diterima akan dilakukan pemeriksaan ulang guna memastikan obat

yang diterima apakah sudah sesuai atau tidak dengan yang disetujui. Namun tidak

semua jenis obat diperiksa karena biasanya obat-obat yang didistribusikan sudah siap

di bungkus dengan kertas kardus atau bahan pembungkus lainnya. Kemudian apabila

obat sudah sampai di Puskesmas maka seluruh pustu, poskesdes dan polindes akan

diberitahu agar mengambil kebutuhan obatnya di Puskesmas.

Dari pembahasan pendistribusian obat di atas maka dapat disimpukan bahwa

manajemen pendistibusian obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe telah berjalan

dengan baik. Walaupun secara prosedur seharusnya kegiatan pendistribusian obat ke

Puskesmas dilakukan oleh Gudang Farmasi Dinas Kesehatan, namun pada

kenyataannya pihak Puskesmas yang menjemput obat di Gudang farmasi. Masalah lain

adalah pemeriksaan obat tidak dilakukan secara teliti pada saat obat diserah terimakan

kepada petugas pengolala obat puskesmas. Hal ini berpotensi akan menimbulkan

masalah seperti jumlah obat yang tidak sesuai, fisik obat yang rusak dan kadarluasa.

Universitas Sumatera Utara


Distribusi/penyaluran adalah kegiatan pengeluaran dan penyerahan obat secara merata

dan teratur untuk memenuhi kebutuhan sub-sub unit pelayanan kesehatan antara lain

1).Sub unit pelayanan kesehatan di lingkungan Puskesmas; 2). Puskesmas Pembantu;

3). Puskesmas Keliling; 4). Posyandu; 5). Polindes. Prioritas pendistribusian obat

Puskesmas menekankan kepada obat-obat yang esensial atau yang sering digunakan

oleh Pustu, poskesdes, dan Bides maupun ke pasien Puskesmas itu sendiri. Untuk obat-

obat narkotika atau semacamnya, puskesmas masih belum memberikan kewenangan

Pustu, Poskesdes, dan Polindes untuk menyimpan karena untuk menghindari

penyalahgunaan.

Tujuan distribusi obat antara lain 1). Terlaksananya distribusi obat publik dan

perbekkes secara merata dan teratur sehingga dapat diperoleh pada saat dibutuhkan; 2).

Terjaminnya ketersediaan obat publik dan perbekkes di unit pelayanan kesehatan.

Kegiatan distribusi obat publik dan perbekkes terdiri dari 1). Kegiatan distribusi rutin

yang mencakup distribusi untuk kebutuhan pelayanan umum di unit pelayanan

kesehatan; 2). Kegiatan distribusi khusus yang mencakup distribusi obat publik dan

perbekkes diluar jadwal distribusi rutin.

Dalam menentukan jumlah obat perlu dipertimbangkan pemakaian rata-rata setiap

jenis obat, sisa stok obat, pola penyakit, jumlah kunjungan di masing-masing sub unit

pelayanan kesehatan dengan menghitung stok optimum setiap jenis obat. Memeriksa

mutu dan kadaluarsa obat-obat dan alat bantu kesehatan yang didistribusi ke sub-unit

pelayanan kesehatan perlu di cek mutu dan kadaluarsanya.

Universitas Sumatera Utara


Tata cara pendistribusian obat antara lain:

a. Unit pengelola obat tingkat Kabupaten/Kota melaksanakan distribusi obat ke

puskesmas dan rumah sakit yang ada di wilayah kerjanya sesuai dengan

kebutuhan masing-masing unit pelayanan kesehatan.

b. Obat-obatan yang akan dikirim ke Puskesmas harus disertai dokumen

penyerahan dan pengiriman obat.

c. Sebelum dilakukan pengepakan atas obat-obat yang akan dikirim, maka perlu

dilakukan pemeriksaan terhadap: 1. Jenis dan jumlah obat; 2. Kualitas/kondisi

obat; 3. Isi kemasan; 4. Kelengkapan dan kebenaran dokumen

d. Puskesmas induk mendistribusikan kebutuhan obat untuk Puskesmas

pembantu, Puskesmas keliling dan unit-unit pelayanan kesehatan harus dicatat

dalam kartu stok obat.

5.5 Supervisi dan Evaluasi Manajemen Obat di Dinas Kesehatan Kota


Lhokseumawe

Supervisi berasal dari kata super (lebih tinggi) dan vision (melihat) sehingga

secara umum dapat diartikan sebagai mengawasi dari atas atau oleh atasan. Supervisi

dalam pengertian manajemen memiliki pengertian yang lebih luas, karena istilah

yang digunakan adalah mengawasi dan bukan melihat, ini bukan dilakukan secara

kebetulan. Mengawasi dalam arti bahasa Indonesia adalah mengamati dan menjaga jadi

bukan hanya mengamati saja, akan tetapi memiliki pengertian menjaga.

Universitas Sumatera Utara


Supervisi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan adalah proses pengamatan

secara terencana dari unit yang lebih tinggi terhadap pelaksanaan pengelolaan obat oleh

petugas pada unit yang lebih rendah (Puskesmas/Puskesmas Pembantu/UPT lainnya).

Pengamatan diarahkan untuk menjaga agar pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan

sesuai dengan pedoman yang disepakati bersama.

Supervisi ditujukan untuk menjaga agar pekerjaan pengelolaan obat yang dilakukan

sesuai dengan pedoman yang berlaku. Evaluasi dilakukan dengan membandingkan

suatu kondisi yang diharapkan dengan kondisi yang diamati. Hasil evaluasi dari

hasil supervisi dapat langsung dibahas dengan yang bersangkutan sehingga yang

bersangkutan dapat mengetahui kondisinya. Dapatkan kesepakatan dan kemudian coba

dibahas langkah-langkah apa yang akan dapat dipergunakan untuk membantu

yang bersangkutan untuk mencapai hasil yang diinginkan.

Dari hasil wawancara dengan Kepala Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dijelaskan

bahwa pelaksanaan supervisi dan evaluasi pengelolaan obat dilakukan berdasarkan

APBD yang sedang berjalan. Karena untuk melakukan kegiatan supervisi dan evaluasi

dibutuhkan dana terutama untuk biaya perjalanan dinas pegawai. Kegiatan supervisi

dan evaluasi obat di Puskesmas dikoordinir oleh Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan.

Berdasarkan penjelasan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan tentang tahapan kegiatan

supervisi dan evaluasi pengelolaan obat yaitu diawali dengan tahapan perencanaan

jadwal supervisi, berikut tahap persiapan formulir indikator dan LPLPO serta data-data

lain yang menyangkut dengan pengelolaan obat. Personil pelaksana kegiatan supervisi

Universitas Sumatera Utara


dan evaluasi pengelolaan obat berasal dari Bidang Pelayanan Kesehatan. Hasil kegiatan

supervisi akan dijadikan sebagai bahan laporan evaluasi kepada Kepala Dinas

Kesehatan Kota Lhokseumawe.

Sementara dari hasil wawancara dengan Kepala Puskesmas Banda Sakti dan Kepala

Puskesmas Blang Cut menjelaskan bahwa kegiatan Supervisi dan eveluasi yang

dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe masih belum maksimal. Tim

supervisi biasanya datang ke puskesmas hanya melakukan wawancara dengan petugas

pengelola obat dan Kepala Puskesmas yang dilakukan diruangan Kepala Puskesmas.

Sementara untuk pemantauan langsung ke ruang penyimpanan obat termasuk apotik

Puskesmas sangat jarang dilakukan. Waktu yang dibutuhkan untuk supervisi tidak

terlalu lama, sehingga petugas pengelola obat tidak mempunyai kesempatan untuk

bertanya tentang manajemen pengelolaan obat di Puskesmas. Sedangkan hasil tindak

lanjut evaluasi kegiatan supervisi pengelolaan obat di Puskesmas sangat jarang

diterima oleh Puskesmas.

Dari hasil analisis wawancara tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan

supervisi dan evaluasi pengelolaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe belum

berjalan efektif. Koordinasi antara lintas program masih kurang terjalin dengan baik,

demikian halnya juga dengan pembinaan pengelolaan obat ditingkat Puskesmas tidak

dilakukan akibatnya kualitas pelayanan obat di Puskesmas semakin rendah.

Adapun kegiatan supervisi meliputi :

a. Proses penyusunan rencana

Universitas Sumatera Utara


b. Persiapan pelaksanaan (tenaga, dana, waktu, check list)

c. Pelaksanaan (kunjungan, diskusi, umpan balik, penyelesaian)

d. Pemanfaatan hasil supervisi (kompilasi hasil, analisa, rekomendasi tindak

lanjut)

Tujuan supervisi adalah untuk meningkatkan produktivitas para petugas

pengelola obat agar mutu pelayanan obat dapat ditingkatkan secara optimum.

Sementara langkah-langkah supervsi adalah sebagai berikut :

1) Persiapan Supervisi

a. Menyiapkan instrumen supervisi yang terdiri dari :


• Formulir monitoring indikator

• LPLPO

• Formulir lain yang diperlukan termasuk check list kinerja petugas seperti

formulir bimtek

b. Mengumpulkan data dan informasi antara lain :

• Laporan rutin dan laporan khusus yang tersedia

• Hasil supervisi pada periode sebelumnya

• Dokumen lain yang terkait dengan rencana supervisi

c. Menganalisa data dan informasi yang telah dikumpulkan

• Memperkirakan masalah yang sedang terjadi

• Memperkirakan faktor penyebab timbulnya permasalahan

• Mempersiapkan berbagai alternatif pemecahan masalah

d. Menentukan tujuan dan sasaran utama supervisi, seperti :

Universitas Sumatera Utara


• Memantau tingkat keberhasilan pengelolaan obat

• Menemukan permasalahan yang timbul

• Mencari faktor penyebab timbulnya masalah

• Menilai hasil pelaksanaan kerja

• Membina dan melatih para pelaksana.

• Mengumpulkan masukan untuk penyempurnaan kebijaksanaan dan

program

e. Pelaksanaan Supervisi

• Menemui kepala/pejabat institusi yang dituju untuk

menyampaikan tujuan supervisi. Mengumpulkan data dan informasi

dengan cara :

• Mempelajari data yang tersedia.

• Wawancara dan diskusi dengan pihak yang disupervisi.

• Pengamatan langsung.

f. Membahas dan menganalisa hasil temuan dengan cara :

g. Pencocokkan berbagai data, fakta dan informasi yang diperoleh

h. Menilai tingkat keber hasilan pelaksanaan tugas

i. Menemukan berbagai macam masalah dan faktor penyebabnya

j. Membuat kesimpulan sem entara hasil supervisi

k. Mengadakan tindakan intervensi tertentu apabila ditemukan masalah yang

perlu segera ditanggulangi

Universitas Sumatera Utara


l. Melaporkan kepada pimpinan institusi yang didatangi tentang :

• Tingkat pencapaian hasil kerja unit yang disupervisi

• Masalah dan hambatan yang ditemukan

• Penyebab timbulnya masalah

• Tindakan intervensi yang telah dilakukan

• Rencana pokok tidak lanjut yang diperlukan

2) Tidak Lanjut Hasil Supervisi

a. Menyusun laporan resmi hasil supervisi yang mencakup :

• Hasil temuan selama supervisi

• Tindakan intervensi yang dilakukan

• Rencana tindak lanjut yang disarankan

• Catatan khusus yang bersifat rahasia

b. Menyampaikan laporan supervisi kepada :

• Atasan yang memberikan tugas supervisi

• Pihak lain yang terkait dengan hasil temuan supervisi

• Pihak yang disupervisi (sesuai kebutuhan)

Evaluasi adalah serangkaian prosedur untuk menilai suatu program dan memperoleh

informasi tentang keberhasilan pencapaian tujuan, kegiatan, hasil dan dampak serta

biayanya. Fokus utama dari evaluasi adalah mencapai perkiraan yang sistematis dari

dampak program. Tujuan evaluasi antara lain :

a. Menetapkan kesulitan-kesulitan yang ditemui dalam program yang sedang

berjalan dan mencari solusinya.

Universitas Sumatera Utara


b. Memprediksi kegunaan dari pengembangan program dan memperbaikinya.

c. Mengukur kegunaan program-program yang inovatif.

d. Meningkatkan efektifitas program, manajemen dan administrasi.

e. Mengetahui kesesuaian antara sasaran yang diinginkan dengan hasil yang

dicapai.

Ada empat jenis evaluasi yang dibedakan atas interaksi dinamis diantara lingkungan

program dan waktu evaluasi yaitu :

a. Evaluasi formatif yang dilakukan selama berlangsungnya kegiatan program.

Evaluasi ini bertujuan untuk melihat dimensi kegiatan program yang

melengkapi informasi untuk perbaikan program.

b. Evaluasi sumatif yang dilakukan pada akhir program. Evaluasi ini perlu

untuk menetapkan ikhtisar program, termasuk informasi outcome,

keberhasilan dan kegagalan program.

c. Evaluasi penelitian adalah suatu proses penelitian kegiatan yang sebenarnya

dari suatu program, agar diketemukan hal-hal yang tidak tampak dalam

pelaksanaan program.

d. Evaluasi presumtif yang didasarkan pada tendensi yang menganggap bahwa

jika kegiatan tertentu dilakukan oleh orang tertentu yang diputuskan dengan

pertimbangan yang tepat, dan jika bertambahnya anggaran sesuai dengan

perkiraan, maka program dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan.

Analisa dan evaluasi terhadap hasil-hasil monitoring ini perlu dilakukan untuk

Universitas Sumatera Utara


memastikan bahwa mutu hasil kerja dari petugas mencapai apa yang

diinginkan. Analisa dilakukan dengan membandingkan antara:

• Rencana dengan realisasi

• Proses kerja dengan sistem prosedur yang berlaku

• Sasaran kerja dengan ketentuan dan prosedur


• Biaya yang dipergunakan dengan anggaran yang tersedia

Evaluasi dilakukan dengan membandingkan suatu kondisi yang diharapkan dengan

kondisi yang diamati. Hasil evaluasi dari hasil supervisi dapat langsung dibahas

dengan yang bersangkutan sehingga yang bersangkutan dapat mengetahui kondisinya.

Dapatkan kesepakatan dan kemudian coba dibahas langkah-langkah apa yang akan

dapat dipergunakan untuk membantu yang bersangkutan untuk mencapai hasil yang

diinginkan.

Proses evaluasi dapat dilihat sebagai 5 (lima) langkah model umpan balik, yang

masing-masing langkah adalah :

a. Penetapan apa yang harus diukur. Manajemen puncak menetapkan proses

pelaksanaan dan hasil mana yang akan dipantau dan dievaluasi. Proses dan hasil

pelaksanaan harus dapat diukur dalam kaitannya dengan tujuan.

b. Pembuatan standar kinerja. Standar digunakan untuk mengukur kinerja

merupakan suatu rincian dan tujuan yang strategis. Standar harus dapat

mengukur apa yang mencerminkan hasil kinerja yang telah dilaksanakan.

c. Pengukuran kinerja yang aktual yaitu dibuat pada waktu yang tepat.

Universitas Sumatera Utara


d. Bandingkan kinerja yang aktual dengan standar. Jika hasil kinerja yang aktual

berada di dalam kisaran toleransi maka pengukuran dihentikan.

e. Melakukan tindakan korektif. Jika hasil kinerja aktual berada di luar

kisaran toleransi, harus dilakukan koreksi untuk deviasi yang terjadi.

Evaluasi bermanfaat untuk :


a. Menetapkan kesulitan-kesulitan yang ditemui dalam program yang sedang

berjalan

b. Meramalkan kegunaan dari pengembangan usaha-usaha dan memperbaikinya

c. Mengukur kegunaan program-program yang inovatif

d. Meningkatkan efektifitas program, manajemen dan administrasi

e. Kesesuaian tuntutan tanggung jawab

Universitas Sumatera Utara


BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan beberapa hal

sebagai berikut :

1. Perencanaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dilaksanakan oleh tim

perencanaan obat yang dibentuk melalui Surat Keputusan Walikota Lhokseumawe.

Tim perencanaan obat belum berjalan dengan efektif dan efisien. Pertemuan/Rapat

kerja penyusunan kebutuhan obat hanya satu kali setahun, kurangnya koordinasi tim

perencanaan obat dan tidak pernah dilakukan pelatihan terhadap petugas

pengelolaan obat puskesmas. Perencanaan kebutuhan obat telah dilaksanakan sesuai

dengan tahapan perencanaan antara lain tahap pemilihan obat, tahap kompilasi dan

tahap penghitungan obat. Namun tidak semua berjalan dengan baik, diantaranya

sering terjadi keterlambatan dalam laporan data pemakaian obat (LPLPO), tidak

semua jenis obat dapat diakomodir oleh Dinas Kesehatan dan jumlahnya tidak

sesuai permintaan Puskesmas.

2. Pengadaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe berdasarkan Peraturan

Presiden No. 4 Tahun 2015 tentang perubahan keempat atas Peraturan Presiden No.

54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa Pemerintah, namun dalam

pelaksanaannya menghadapi beberapa masalah seperti masih terdapat jenis obat

yang tidak dapat dipenuhi oleh rekanan disebabkan jenis obat tersebut tidak ada stok

Universitas Sumatera Utara


atau barang habis. Waktu pengadaan dan kedatangan obat kadangkadang masih

belum mengikuti ketepatan waktu yang disepakati pada isi perjanjian kontrak.

Penerimaan dan pemeriksaan obat dilakukan pada saat kedatangan obat di Gudang

Farmasi, sementara pemeriksaan obat di Puskesmas dilakukan pada saat penerimaan

obat dari gudang farmasi kepada petugas obat puskesmas. Pada saat penerimaan

masih terdapat obat yang hampir kadaluwarsa.

3. Penyimpanan obat dilakukan di Gudang Farmasi Dinas Kesehatan Kota

Lhokseumawe. Pengaturan tata ruang masih kurang baik dan masih terjadi

penumpukan obat. Masih terdapat obat kadaluwarsa dan beberapa jenis obat yang

tidak pernah digunakan. Penyusunan stok obat belum seluruhnya menerapkan

prinsip FIFO dan FEFO. Pencatatan dan pelaporan belum lengkap sehingga tidak

dapat digunakan untuk pemantauan persediaan obat. Pengamanan mutu obat belum

dilaksanakan dengan baik.

4. Pendistribusian obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe belum berjalan dengan

baik. Masih terdapat jumlah dan jenis obat yang tidak sesuai permintaan Puskesmas.

Pendistribusian obat-obatan dari Dinkes ke Puskesmas dilaksanakan dengan cara

mengambil langsung ke Gudang Farmasi, setelah itu Puskesmas menyalurkan ke

Pustu, Polindes, dan bidan desa.

5. Kegiatan supervisi dan evaluasi pengelolaan obat di Puskesmas belum berjalan

dengan efektif dan efisien. Pembinaan dan Pelatihan pengelolaan obat di Puskesmas

Universitas Sumatera Utara


belum dilaksanakan akibatnya pengelolaan obat di Puskesmas belum berjalan

dengan baik.

6.2 Saran

Dari kesimpulan penelitian di atas maka saran dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Diharapkan kepada tim perencanaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe

untuk meningkatkan koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi, serta kerjasama tim

dalam melakukan tugas dan tanggung jawab sebagai perencana kebutuhan obat.

Diharapkan kepada pihak Puskesmas dapat menyampaikan LPLPO sesuai jadwal

yang telah ditetapkan.

2. Diharapkan kepada Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe memilih Pedagang Besar

Farmasi (PBF) yang memiliki reputasi baik dalam pengadaan obat. Mampu

menjamin kesinambungan ketersediaan obat sesuai dengan masa kontrak. Dalam hal

obat tidak tersedia dalam e-kataloge, dapat melakukan pemesanan obat secara

langsung sesuai pedoman peraturan dan ketantuan yang berlaku. Diharapkan Dinkes

dapat membuat surat pernyataan PBF agar bersedia menyediakan obat yang bermutu

baik dan memiliki batas kadaluwarsa yang masih lama, minimal 24 bulan.

3. Untuk menghindari penumpukan obat-obatan diharapkan kepada Kepala Gudang

Farmasi Kota Lhokseumawe untuk menyesuaikan waktu kedatangan obat dengan

jadwal pendistribusian obat. Diharapkan Kepala Seksi Kefarmasian dapat

melakukan pencatatan secara rutin dari hari ke hari dan setiap terjadi mutasi obat

Universitas Sumatera Utara


langsung dicatat didalam kartu stok, serta pengamatan mutu obat dilakukan secara

rutin, apabila ada obat yang rusak atau kadaluwarsa harus dilakukan pemisahan

obat-obatan.

4. Meningkatkan hubungan kerjasama antara Gudang Farmasi Kota Lhokseumawe

dengan Puskesmas di wilayah kerjanya, agar pendistribusian obat dapat berjalan

dengan baik. Frekuensi pengiriman obat-obatan ke Puskesmas dapat dilayani setiap

tiga atau enam bulan disesuaikan dengan persediaan di Gudang Farmasi.

Diharapkan obat-obatan yang dikirim ke Puskesmas sesuai dengan data LPLPO.

5. Diharapkan kepada tim supervisi dan evaluasi pengelolaan obat untuk proaktif

melakukan kegiatan di Puskesmas dan melakukan pembinaan dan pengawasan

secara rutin. Diharapkan kepada tim supervisi dan evaluasi dalam melaksanakan

supervisi menggunakan indikator pengelolaan obat agar dapat diketahui tingkat

kinerja pengelolaan obat di Puskesmas. Diharapkan kepada tim supervisi dan

evaluasi melaporkan hasil supervisi terhadap masalah dan hambatan yang

ditemukan.

DAFTAR PUSTAKA

Anief, M., (2007). Apa yang Perlu Diketahui Tentang Obat. Cetakan Kelima.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Apriyanti, Gandjar, Satibi. 2011. Evaluasi Pengadaan dan Ketersediaan Obat di RSUD
Hadji Boejasin Pelaihari Tahun 2006-2008, Tesis. Universitas Gadjah Mada,
Jogjakarta.

Bungin, B., 2010. Penelitian Kualitatif: Komunikasi. Ekonomi, Kebijakan Publik, Dan
Ilmu Sosial Lainnya, Edisi pertama, Cetakan ke-2, Jakarta: Kencana.

Universitas Sumatera Utara


Cheng and Whittemore. 2008. An Engineering Approach to Improving Hospital Supply
Chains. USA.

Clark, M., 2012. Management Sciences for Health. MDS-3: Managing Access to
Medicines and Health Technologies, Arlington, VA: Management Science for
Health Drug Supply, Kumarian Press.

Depkes RI. 2002. Pedoman Supervisi dan Evaluasi Obat Publik dan Perbekalan
Kesehatan. 2nd ed. Ditjen Yanfar dan Alkes. Direktorat Bina Obat dan
Perbekalan Kesehatan. Jakarta.

_________. 2002. Pedoman Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan ini
disusun untuk memberikan kejelasan bagi pengelolaan obat dan perbekalan
kesehatan di Propinsi/Kabupaten/Kota. Direktorat Bina Obat Publik dan
Perbekalan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Tahun 2002. Jakarta.

_________. 2006. Kepmenkes No. 189/Menkes/SK/III/2006 tentang Kebijakan Obat


Nasional. Jakarta.

Dinkes Kota Lhokseumawe. 2014. Profil Kesehatan Tahun 2014. Lhokseumawe.

Embrey, M., 2012. Management Sciences for Health. MDS-3: Managing Access to
Medicines and Health Technologies, Arlington, VA: Management Science for
Health Drug Supply, Kumarian Press.

Hasibuan, SP., 2007. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi 2. Bumi Aksara.
Jakarta.

Kemenkes RI. 2008. Kepmenkes No. 1121/Menkes/SK/XII/2008 tentang Pedoman


Teknis Pengadaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan untuk Pelayanan
Kesehatan Dasar. Jakarta.

___________. 2010. Materi Pelatihan Manajemen Kefarmasian di Instalasi Farmasi


Kabupaten Kota. Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI Tahun 2010. Jakarta.

___________. 2010. Permenkes RI No. HK.02.02/MENKES/068/I/2010 tentang


Kewajban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Pemerintah. Jakarta.

___________. 2013. Kepmenkes RI No. 312/MENKES/SK/IX/2013 tentang Daftar


Obat Esensial Nasional. Jakarta.

Universitas Sumatera Utara


___________. 2016. Permenkes HK. 02.02/Menkes/137/2016 Perubahan Atas
Keputusan Menteri Kesehatan No. HK.02.02/Menkes/523/2015 tentang
Formularium Nasional. Jakarta.

Kristin. 2002. Dasar-dasar Perencanaan Kebutuhan Obat. (Makalah Seminar). Agustus


2002. Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM.
Yagyakarta.

Olsen, C., 2012. Management Sciences for Health. MDS-3: Managing Access to
Medicines and Health Technologies, Arlington, VA: Management Science for
Health Drug Supply, Kumarian Press.

LKPP. 2015. Perka LKPP No. 14 Tahun 2015 tentang E-Purchasing. Jakarta.

Perpres RI. 2015. No. 4 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Jakarta.

Quick, DJ., 1997. Managing Drug Supply. 2nd ed. Management Sciences for Health.
Kumarian Press. USA.

Sallet, JP., 2012. Management Sciences for Health. MDS-3: Managing Access to
Medicines and Health Technologies, Arlington, VA: Management Science for
Health Drug Supply, Kumarian Press.

Seto. 2004. Manajemen Farmasi. Airlangga University Press: Surabaya.

Sheina, Umam, Solikhah. 2010. Penyimpanan Obat Di Gudang Instalasi Farmasi RS


PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I, Tesis. Universitas Ahmad Dahlan,
Yogyakarta.

Terry and Leslie. 2010. (Penerjemah G.A. Ticoalu). Dasar-Dasar Manajemen. Jakarta:
Bumi Aksara.

Triana, M., 2013. Evaluasi Perencanaan Obat Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD) di
Gudang Farmasi Kabupaten Gunung Mas Tahun 2012, Tesis. Universitas
Diponegoro, Semarang.

UU RI. 2014. No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. Jakarta.

Warman, J., 1997. Manajemen Pergudangan. Jakarta : LPPM.

Universitas Sumatera Utara


Wijayanti, A., 2008. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketepatan Waktu Pelaporan
Keuangan pada Perusahaan Go Publik di BEJ Tahun 2004-2005, Skripsi
Universitas Gajah Mada : Yogyakarta.

Yogaswara. 2001. Tinjauan Pelaksanaan Penyimpanan dan Distribusi Obat di Sub Unit
Gudang Farmasi Rumah Sakit Haji Jakarta. Depok: FKM UI.
PANDUAN WAWANCARA

MANAJEMEN PENGELOLAAN OBAT DI DINAS KESEHATAN


KOTA LHOKSEUMAWE TAHUN 2016

Nama :
Usia :
Pendidikan :
Jabatan :
Tanggung Jawab : Lama
Kerja :

PERTANYAAN

A. Perencanaan
1. Bagaimanakah Tahap Pemilihan atau Seleksi Kebutuhan Obat?
2. Bagaimanakah Tahap Kompilasi Pemakaian Obat?
3. Bagaimanakah Perhitungan Kebutuhan Obat?
4. Bagaimanakah Proyeksi Kebutuhan Obat?

B. Pengadaan
1. Bagaimanakah Cara Pemilihan Metode Pengadaan Obat?
2. Bagaimanakah Penentuan Waktu Pengadaan dan Kedatangan Obat?
3. Bagaimanakah Cara Penerimaan dan Pemeriksaan Obat?

C. Penyimpanan
1. Bagaimanakah Pengaturan Tata Ruang?
2. Bagaimanakah Penyusunan Stok Obat?
3. Bagaimanakah Pencatatan dan Pelaporan Stok Obat?
4. Bagaimanakah Pengamanan Mutu Obat?

D. Pendistribusian
1. Bagaimanakah Mekanisme Pendistribusian Obat?
2. Kemanakah Unit-unit Pendistribusian Obat?

Universitas Sumatera Utara


E. Supervisi dan Evaluasi

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai