a. W.H. Welch
Studi tentang distribusi dan determinan dari penyakit dan kecelakaan pada
populasi manusia.
c. Last
Studi tentang distribusi dan determinan tentang keadaan atau kejadian yang
berkaitan dengan kesehatan pada populasi tertentu dan aplikasi studi untuk
menanggulangi masalah kesehatan.
e. Omran
f. W.H. Frost
Epidemiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari timbulnya, distribusi, dan jenis
penyakit pada manusia menurut waktu dan tempat.
g. Azrul Azwar
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa ada 3 komponen penting yang ada
dalam epidemiologi, sebagai berikut :
3. Peranan
c. Membantu melakukan evaluasi terhadap program kesehatan yang sedang atau telah
dilakukan.
4. Ruang lingkup
a. Masalah kesehatan sebagai subjek dan objek epidemiologi
1. Pre Patogenesis
Tahap ini telah terjadi interaksi antara penjamu dengan bibit penyakit, tetapi interaksi
ini terjadi di luar tubuh manusia, dalam arti bibit penyakit berada di luar tubuh
manusia dan belum masuk ke dalam tubuh. Pada keadaan ini belum ditemukan
adanya tanda-tanda penyakit dan daya tahan tubuh penjamu masih kuat dan dapat
menolak penyakit. Keadaan ini disebut sehat.
Pada tahap ini biit penyakit masuk ke tubuh penjamu, tetapi gejala-gejala penyakit
belum nampak. Tiap-tiap penyakit mempunyai masa inkubasi yang berbeda. Kolera 1-
2 hari, yang bersifat menahun misalnya kanker paru, AIDS dll.
Tahap ini mulai dihitung dari munculnya gejala-gejala penyakit, pada tahap ini
penjamu sudah jatuh sakit tetapi masih ringan dan masih bisa melakukan aktifitas
sehari-hari. Bila penyakit segera diobati, mungkin bisa sembuh, tetapi jika tidak, bisa
bertambah parah. Hal ini terganting daya tahan tubuh manusia itu sendiri, seperti gizi,
istirahat dan perawatan yang baik di rumah (self care).
a. Sembuh sempurna (bentuk dan fungsi tubuh penjamu kembali berfungsi seperti
keadaan sebelumnya/bebeas dari penyakit)
d. Kronis ; pada tahap ini perjalanan penyakit tampak terhenti, tapi gejala-gejala
penyakit tidak berubah. Dengan kata lain tidak bertambah berat maupun ringan.
Keadaan ini penjamu masih tetap berada dalam keadaan sakit.
e. Meninggal ; Apabila keadaan penyakit bertambah parah dan tak dapat diobati lagi,
sehingga berhentinya perjalanan penyakit karena penjamu meninggal dunia.
Keadaan ini bukanlah keadaan yang diinginkan.
b. Isolasi terhadap penderita penyakit menular, misal yang terkena flu burung.
3. Penegakkan diagnosa secara dini dan pengobatan yang cepat dan tepat (early diagnosis
and prompt treatment)
c. Mencari semua orang yang telah berhubungan dengan penderita penyakit menular
(contact person) untuk diawasi agar bila penyakitnya timbul dapat segera
diberikan pengobatan.
a. Pengobatan dan perawatan yang sempurna agar penderita sembuh dan tak terjadi
komplikasi.
D. Penelitian epidemiologi
Secara sederhana, studi epidemiologi dapat dibagi menjadi dua kelompok sebagai berikut
:
a. Non eksperimental :
3) Studi ekologik. Studi ini memakai sumber ekologi sebagai bahan untuk
penyelidikan secara empiris faktor resiko atau karakteristik yang berada
dalam keadaan konstan di masyarakat. Misalnya, polusi udara akibat sisa
pembakaran BBM yang terjadi di kota-kota besar.
a) Pemberian obat hipertensi pada orang dengan tekanan darah tinggi untuk
mencegah terjadinya stroke.
E. Epidemiologi keperawatan
Dalam ilmu keperawatan dikenal istilah community health nursing (CHN) atau
keperawatan kesehatan masyarakat, dimana ilmu pengetahuan epidemiologi digunakan
CHN sebagai alat meneliti dan mengobservasi pada pekerjaan dan sebagai dasar untuk
intervensi dan evaluasi literatur riset epidemiologi. Metode epidemiologi sebagai standard
kesehatan, disajikan sebagai alat untuk memperkirakan kebutuhan masyarakat.
Monitoring perubahan status kesehatan masyarakat dan evaluasi pengaruh program
pencegahan penyakit, dan peningkatan kesehatan. Riset/studi epidemiologi memunculkan
badan pengetahuan (body of knowledge) termasuk riwayat asal penyakit, pola terjadinya
penyakit, dan faktor-faktor resiko tinggi terjadinya penyakit, sebagai informasi awal
untuk CHN. Pengetahuan ini memberi kerangka acuan untuk perencanaan dan evaluasi
program intervensi masyarakat, mendeteksi segera dan pengobatan penyakit, serta
meminimalkan kecacatan. Program utama pencegahan difokuskan pada menjaga jarak
perantara penyakit dari host/tuan rumah yang rentan, pengurangan kelangsungan hidup
agent, penambahan resistensi host dan mengubah kejadian hubungan host, agent, dan
lingkungan. Kedua, program mengurangi resiko dan screening, ketiga : strategi mencegah
pada pribadi perawat dengan body of knowlwdge yang berasal dari riset epidemiologi,
sebagai dasar untuk pengkajian individu dan kebutuhan kesehatan keluarga dan intervensi
perencanaan perawatan.
Kepustakaan :
Leavel, H.R and Clark, E.G. Preventive Medicine for the Doctor in His Community, 3th
Edition, Mc Graw-Hill Inc, New York, 1965.
Stanhope and Lancaster. Community Health Nursing ; Process and practise for Promoting
Health, Mosby Company St. Louis, USA, 1989.
Chandra, Budiman. Pengantar Prinsip dan Metode Epidemiologi. Jakarta ; EGC, 1996
2.1.Pengertian Penyakit Menular
Dewasa ini banyak penyakit menular yang telah mampu diatasi bahkan ada yang telah
dapat dibasmi berkat kemajuan teknologi dalam mengatasi masalah lingkungan biologis yang
erat hubungan nya dengan penyakit menular. Akan tetapi masalah penyakit menular masih
tetap dirasakan oleh sebagian besar penduduk negara berkembang, di samping munculnya
masalah baru pada negara yang sudah maju. Penguasaan teknologi terhadap pengaruh
lingkungan biologis yang erat hubungan nya dengan penyakit menular maka penguasaan
terhadap lingkungan fisik sedang dikembangkan di berbagai negara dewasa ini yang sejalan
Dewasa ini berbagai jenis penyakit menular telah dapat diatasi terutama pada negara-
negara maju, tetapi sebagian besar penduduk dunia yang mendiami belahan dunia yang
sedang berkembang, masih terancam dengan berbagai penyakit menular tertentu. Dalam hal
ini maka penyakit menular dapat di kelompokan dalam 3 kelompok utama yakni:
Penyakit menular yang dapat menimbulkan kematian atau cacat, walaupun, akibatnya lebih
Penyakit menular yang jarang menimbulkan kematian, tetapi dapat mewabah sehingga dapat
Pada proses perjalanan penyakit menular di dalam masyarakat, maka dikenal adanya
beberapa faktor yang memegang peranan penting antara lain adanya faktor penyebab (agent)
yakni organisme penyebab penyakit, adanya sumber penularan (resorvoir maupun resources),
adanya cara penularan khusus (mode of transmission), adanya cara meninggalkaan penjamu
dan cara masuk ke penjamu lainnya, serta keadaan ketahanan penjamu sendiri.
Yang merupakan penyebab kausal (agent) penyakit menular adalah unsur biologis, yang
bervariasi mulai dari partikel virus yang paling sederhana sampai organisme multi selular
yang cukup kompleks yang dapat menyebabkan penyakit manusia. Unsur penyebab ini dapat
Kelompok arthropoda (serangga), seperti pada penyakit scabies, pediculosis dan lain-lain.
Kelompok cacing/helminth baik cacing darah maupaun cacing perut dan yang lainnya.
unsur penyebab penyakit menular tersebut juga mempuyai potensi untuk tetap berusaha untuk
Adapun usaha tersebut yang meliputi berkembang biak pada lingkungan yang
berada, berpindah tempat dari satu penjamu lainnya yang lebih sesuai/menguntungkan, serta
membentuk pertahanan khususnya pada situasi lingkungan yang jelek seperti membentuk
penyakit dapat mencapai manusia sebagai penjamu yang potensial. Mekanisme tersebut
meliputi cara unsur penyebab (agent) meninggalkan reservoir, cara penularan untuk mencapai
penjamu potensial, serta cara masuknya ke penjamu potensial tersebut. Seseorang yang sehat
sebagai salah seorang penjamu potensial dalam masyarakat, mungkin akan ketularan suatu
penyakit menular tertentu sesuai dengan posisinya dalam masyarakat serta dalam pengaruh
berbagai reservoir yang ada di sekitarnya. Kemungkinan tersebut sangat di pengaruhi pula
Faktor lingkungan fisik sekitarnya yang merupakan media yang ikut mempengaruhi kualitas
Faktor lingkungan biologis yang menentukan jenis vektor dan resevoir penyakit serta unsur
Faktor lingkungan sosial yakni kedudukan setiap orang dalam masyarakat, termasuk kebiasaan
mempunyai kesempatan untuk hidup dan berkembang biak dalam tubuh penjamu, maka ia
akan tetap tinggal di tempat yang potensial tersebut. Namun di lain pihak, tiap individu
penjamu memiliki usaha perlawanan terhadap setiap unsur penyebab patogen yang
berkembang biak, biasanya keluar dengan cara tersendiri yang cukup beraneka ragam sesuai
dengan jenis dan sifat masing-masing. Secara garis besar, maka cara ke luar unsur penyebab
dari tubuh penjamu dapat dibagi dalam beberapa bentuk, walaupun ada di antara unsur
potensial yang baru, harus berjalan melalui suatu jalur lingkaran perjalanan khusus atau suatu
jalur khusus yang disebut jalur penularan. Tiap kelompok memiliki jalur penularan tersendiri
dan pada garis-garis besarnya dapat di bagi menjadi dua bagian utama yakni:
Penularan langsung yakni penularan penyakit terjadi secara langsung dari penderita atau
Penularan tidak langsung yakni penularan penyakit terjadi dengan melalui media tertentu
seperti melalui udara (air borne) dalam bentuk droplet dan dust, melalui benda tertentu
didasarkan pada data/keterangan yang bersumber dari hasil analisis epidemiologi atau hasil
Pencegahan tingkat pertama (primary prevention) yang meliputi promosi kesehatan dan
pencegahan khusus, sasaran pencegahan pertama dapat ditujukan pada faktor penyebab,
lingkungan penjamu.
Sasaran yang ditujukan pada faktor penyebab atau menurunkan pengaruh penyebab serendah
mungkin dengan usaha antara lain: desinfeksi, pasteurisasi, sterilisasi, yang bertujuan untuk
samping karantina dan isolasi yang juga dalam rangka memutuskan rantai penularannya.
Mengatasi/modifikasi lingkungan melalui perbaikan lingkungan fisik seperti peningkatan air
bersih, sanitasi lingkungan dan perubahan serta bentuk pemukiman lainnya, perbaikan dan
peningkatan lingkungan biologis seperti pemberantasan serangga dan binatang pengerat, serta
peningkatan lingkungan sosial seperti kepadatan rumah tangga, hubungan antar individu dan
Meningkatkan daya tahan penjamu yang meliputi perbaikan status gizi, status kesehatan
umum dan kualitas hidup penduduk, pemberian imunisasi serta berbagai bentuk pencegahan
khusus lainnya, peningkatan status psikologis, persiapan perkawinan serta usaha menghindari
pengaruh faktor keturunan, dan peningkatan ketahanan fisik melalui peningkatan kualitas
Pencegahan tingkat kedua (secondary prevention) yang meliputi diagnosis dini serta
pengobatan yang tepat . sasaran pencegahan ini terutama ditunjukkan pada mereka yang
menderita atau dianggap menderita (suspek) atau yang terancam akan menderita (masa
tunas). Adapun tujuan usaha pencegahan tingkat kedua ini yang meliputi diagnosis dini dan
pengobatan yang tepat agar dapat dicegah meluasnya penyakit atau untuk mencegah
timbulnya wabah, serta untuk mencegah proses penyakit lebih lanjut serta mencegah terjadi
Pencarian penderita secara dini dan aktif melalui peningkatan usaha surveveillans penyakit
tertentu, pemeriksaan berkala serta pemeriksaan kelompok tertentu (calon pegawai, ABRI,
mahasiswa dan sebagainya), penyaringan (screening) untuk penyakit tertentu secara umum
Pemberian chemoprophylaxis yang terutama bagi mereka yang dicurigai berada pada proses
Pencegahan tingkat ketiga (tertiary prevention) yang meliputi pencegahan terhadap cacat dan
rehabilitasi. Sasaran pencegahan tingkat ke tiga adalah penderita penyakit tertentu dengan
tujuan mencegah jangan sampai mengalami cacat permanen, mencegah bertambah parahnya
suatu penyakit atau mencegah kematian akibat penyakit tersebut. Pada tingkatan ini juga
dilakukan usaha rehabilitasi untuk mencegah terjadinya akibat samping dari penyembuhan
suatu penyakit tertentu. Rehabilitasi adalah usaha pengembalian fungsi fisik, psikologi dan
Ketiga tingkat pencegahan tersebut saling berhubungan erat sehingga dalam pelaksanaan nya
untuk menekan peristiwa penyakit menular dalam masyarakat serendah mungkin sehingga
penyakit menular dapat pula dikelompokan pada tiga kelompok sesuai dengan sasaran
langsung melawan sumber penularan atau reservoir, sasran ditujukan pada cara penularan
penyakit, sasaran yang ditujukan terhadap penjamu dengan menurunkan kepekaan penjamu.
c. Sasaran langsung pada sumber penularan penjamu.
yang sangat penting dalam rantai penularan. Dengan demikian keberadaan sumbar penularan
tersebut memegang peranan yang cukup penting serta menentukan cara penanggulangan yang
- Sumber penularan terdapat pada binatang peliharaan (domestik) maka upaya mengatasi
penularan dengan sasaran sumber penularan lebih mudah dilakukan dengan memusnahkan
binatang yang terinfeksi serta melindungi binatang lainnya dari penyakit tersebut (imunisasi
- Apabila sumber penularan adalah manusia, maka cara pendekatannya sangat berbeda
mengingat bahwa dalam keadaan ini tidak mungkin dilakukan pemusnahan sumber. Sasaran
penanggulangan penyakit pada sumber penularan dapat dilakukan dengan isolasi dan
Upaya mencegah dan menurunkan penularan penyakit yang ditularkan melalui udara,
terutama infeksi saluran pernapasan dilakukan desinfeksi udara dengan bahan kimia atau
dengan sinar ultra violet, ternyata kurang berhasil. Sedangkan usaha lain dengan perbaikan
sistem ventilasi serta aliran udara dalam ruangan tampaknya lebih bermanfaat.
- Berbagai penyakit dewasa ini dapat dicegah melalui usaha imunitas yakni peningkatan
kekebalan aktif pada penjamu dengan pemberian vaksinasi. Pemberian imunisasi aktif untuk
perlindungan penyakit (DPT) merupakan pemberian imunisasi dasar kepada anak-anak
Berbagai usaha lainnya dalam meningkatkan daya tahan penjamu terhadap penyakit infeksi
telah diprogramkan secara luas seperti perbaikan keluarga, peningkatan gizi balita melalui
program kartu menuju sehat (KMS), peningkatan derajat kesehatan masyarakat serta
pelayanan kesehatan terpadu melalui posyandu. Keseluruhan program ini bertujuan untuk
meningkatkan daya tahan tubuh secara umum dalam usaha menangkal berbagai ancaman
penyakit infeksi.
Penyakit Menular adalah penyakit yang disebabkan oleh bibit penyakit tertentu atau
oleh produk toxin yang didapatkan melalui penularan bibit penyakit atau toxin yang
diproduksi oleh bibit penyakit tersebut dari orang yang terinfeksi, dari binatang atau dari
reservoir kepada orang yang rentan; baik secara langsung maupun tidak langsung melalui
tumbuh-tumbuhan atau binatang pejamu, melalui vector atau melalui lingkungan.
I. Tuberkulosis
A. Pengertian
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit granulomatosa kronis menular yang
disebabkan oleh MT. Penyakit ini biasanya mengenai paru, tetapi dapat menyerang semua
organ atau jaringan tubuh, misalnya pada lymph node, pleura dan area osteoartikular.
Biasanya pada bagian tengah granuloma tuberkel mengalami nekrosis perkijuan (Depkes RI,
2002).
Tuberculosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh oleh
kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi
dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes RI, 2007).
Tuberkulosis yang menyerang organ selain paru (kelenjar limfe, kulit, otak, tulang,
usus, ginjal) disebut tuberkulosis ekstra paru. Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang,
berukuran panjang 1-4 mikron dan tebal 0,3-0,6 mikron, mempunyai sifat khusus yaitu tahan
terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena itu disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA).
Kuman tuberkulosis cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup
beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat
dormant atau tertidur lama dalam beberapa tahun.
B. Cara Penularan
Penularan penyakit Tuberkulosis disebabkan oleh kuman Mycobacteriun tuberculosis
ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien Tuberkulosis batuk dan percikan
ludah yang mengandung bakteri terhirup oleh orang lain saat bernapas. Sumber penularan
adalah pasien Tuberkulosis paru BTA positif, bila penderita batuk, bersin atau berbicara saat
berhadapan dengan orang lain, basil Tuberkulosis tersembur dan terhisap ke dalam paru
orang sehat dan bisa menyebar ke bagian tubuh lain melalui peredaran darah pembuluh limfe
atau langsung ke organ terdekat. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan
dahak. Masa inkubasinya selama 3-6 bulan (Widoyono, 2005).
DAFTAR PUSTAKA
David Arnot, dkk (2009). Pustaka kesehatan Populer Pengobatan Praktis: perawatan
Alternatif dan tradisional, volume 7. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer. hlm. 180
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Protokol Surveilans HIV diantara pasien
TB di Indonesia. Jakarta : Depkes RI, UGM, Asia Link, KNCV.
Fatimah Siti. 2008. Faktor Kesehatan Lingkungan Rumah Yang Berhubungan Dengan Kejadian Tb
Paru Di Kabupaten Cilacap (Kecamatan : Sidareja, Cipari, Kedungreja, Patimuan,
Gandrungmangu, Bantarsari) Tahun 2008 (Tesis). Program Pascasarjana FKM Undip
Semarang
Goesasi Rachmat, 2011. Rehabilitasi Medik Pada Penyakit Tb di Bandung. Jakarta: Rineka
Cipta.
Leavell & Clark. 1965. Preventive Medicine for The omDoctor in his Comunity: An Epidemiologic
approach Third Edit. New York: Prentice-Hall Englewood Cliffs, NJ.
Nadia ait-Khaled and Donaldo Enarson. 2003. Tuberculosis, A Manual for medical students.
by WHO.
Sitepu, M.Y. 2009. Karakteristik Penderita TB Paru Relapse yang Berobat di Balai
Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan Tahun 2000-2007. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Medan. Soemirat, Juli, 2010, Epidemiologi
Lingkungan, Yogyakarta : Gajah Mada
Tuberkulosis paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronik yang sudah lama dikenal pada manusia.
Ditandai pembentukan turbekel dan cenderung meluas secara lokal. Selain itu, juga bersifat
pulmoner maupun ekstrapulmoner dan dapat mempengaruhi organ tubuh lainnya. Tuberculosis
paru (TB) disebabkan oleh bakteri Mikobakterium Tuberkulosis, Bakteri ini berbentuk batang dan
bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Penyakit TBC dapat
menyerang pada siapa saja tak terkecuali pria, wanita, tua, muda, kaya dan miskin serta dimana saja.
Penularan penyakit TBC adalah melalui udara yang tercemar oleh Mikobakterium tuberkulosa yang
dilepaskan/dikeluarkan oleh si penderita TBC saat batuk, dimana pada anak-anak umumnya sumber
infeksi adalah berasal dari orang dewasa yang menderita TBC. Bakteri ini masuk kedalam paru-paru
dan berkumpul hingga berkembang menjadi banyak (terutama pada orang yang memiliki daya tahan
tubuh rendah), Bahkan bakteri ini pula dapat mengalami penyebaran melalui pembuluh darah atau
kelenjar getah bening sehingga menyebabkan terinfeksinya organ tubuh yang lain seperti otak,
ginjal, saluran cerna, tulang, kelenjar getah bening dan lainnya meski yang paling banyak adalah
organ paru. Sehingga menyebabkan infeksi pada paru-paru, dimana segeralah terjadi pertumbuhan
koloni bakteri yang berbentuk bulat (globular). Pencegahan Tuberkulosis paru (TB) dapat melalui
imunisasi aktif, kontrol diri dengan deteksi dini serta selalu aktif mengontrol lingkungan dengan
membatasi penyebaran penyakit, disinfeksi dan cermat mengungkapkan investigasi epidemiologi.
Pengobatan tuberkulosis dapat dibagi kedalam 2 kategori yaitu OAT primer dan OAT sekunder. BAB
II PENDAHULUAN EPIDEMIOLOGI TB PARU 1. Epidemiologi Global Walaupun pengobatan TB yang
efektif sudah tersedia tapi sampai saat ini TB masih tetap menjadi problem kesehatan dunia yang
utama. Pada bulan Maret 1993 WHO mendeklarasikan TB sebagai global health emergency. TB
dianggap sebagai masalah penting karena lebih kurang 1/3 penduduk dunia terinfeksi oleh
mikobakterium TB. Pada tahun 1998 ada 3.617.047 kasus TB yang tercatat diseluruh dunia. Sebagian
besar dari kasus TB ini (95 %) dan kematiannya (98 %) terjadi dinegara-negara yang sedang
berkembang. Di antara mereka 75 % berada pada usia produktif yaitu 20-49 tahun. Karena
penduduk yang padat dan tingginya prevalensi maka lebih dari 65 % dari kasus-kasus TB yang baru
dan kematian yang muncul di Asia. Alasan utama yang muncul atau meningkatnya penyakit TB global
ini disebabkan : a. Kemiskinan pada berbagai penduduk b. Meningkatnya penduduk dunia c.
Perlindungan kesehatan yang tidak mencukupi d. Tidak memadainya pendidikan mengenai penyakit
TB e. Terlantar dan kurangnya biaya pendidikan (1). 2. Epidemiologi TB di Indonesia Indonesia adalah
negeri dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah China dan India. (2) (3) BAB II
PEMBAHASAN EPIDEMIOLOGI TB PARU 1. TRIAD EPIDEMIOLOGI 1.1 Agent TB disebabkan oleh
Mycobacterium Tuberculosis, bakteri gram positif, berbentuk batang halus, mempunyai sifat tahan
asam dan aerobic (4). Karakteristik alami dari agen TBC hampir bersifat resisten terhadap disifektan
kimia atau antibiotika dan mampu bertahan hidup pada dahak yang kering untuk jangka waktu yang
lama (5). Pada Host, daya infeksi dan kemampuan tinggal sementara Mycobacterium Tuberculosis
sangat tinggi. Pathogenesis hamper rendah dan daya virulensinya tergantung dosis infeksi dan
kondisi Host. Sifat resistensinya merupakan problem serius yang sering muncul setelah penggunaan
kemoterapi modern, sehingga menyebabkan keharusan mengembangkan obat baru (5). Umumnya
sumber infeksinya berasal dari manusia dan ternak (susu) yang terinfeksi. Untuk transmisinya bisa
melalui kontak langsung dan tidak langsung, serta transmisi congenital yang jarang terjadi (5).
Sumber : http://emmedika.com/blog/1?page=1 Sumber : http://medicineworld.org/news/news-
archives/infectious-disease-news/March-9-2008.html Sumber :
http://pramareola14.wordpress.com/2009/12/04/mengenal-tuberkulosis-penyakit-infeksi-
pembunuh-nomor-satu-bangsa-indonesia/ Sumber :
http://textbookofbacteriology.net/tuberculosis.html 2.2 Host Umur merupakan faktor terpenting
dari Host pada TBC. Terdapat 3 puncak kejadian dan kematian ; a. Paling rendah pada awal anak
(bayi) dengan orang tua penderita b. Paling luas pada masa remaja dan dewasa muda sesuai dengan
pertumbuhan, perkembangan fisik-mental dan momen kehamilan pada wanita c. Puncak sedang
pada usia lanjut (6). Dalam prkembangannya, infeksi pertama semakin tertunda, walau tetap tidak
berlaku pada golongan dewasa, terutama pria dikarenakan penumpukan grup sampel usia ini atau
tidak terlindung dari risiko infeksi (6). Pria lebih umum terkena, kecuali pada wanita dewasa muda
yang diakibatkan tekanan psikologis dan kehamilan yang menurunkan resistensi. Penduduk pribumi
memiliki laju lebih tinggi daripada populasi yang mengenal TBC sejak lama, yang disebabkan
rendahnya kondisi sosioekonomi. Aspek keturunan dan distribusi secara familial sulit
terinterprestasikan dalam TBC, tetapi mungkin mengacu pada kondisi keluarga secara umum dan
sugesti tentang pewarisan sifat resesif dalam keluarga. Kebiasaan sosial dan pribadi turut
memainkan peranan dalam infeksi TBC, sejak timbulnya ketidakpedulian dan kelalaian Status gizi,
kondisi kesehatan secara umum, tekanan fisik-mental dan tingkah laku sebagai mekanisme
pertahanan umum juga berkepentingan besar. Imunitas spesifik dengan pengobatan infeksi primer
memberikan beberapa resistensi, namun sulit untuk dievaluasi (6). 3. 3 Environment Distribusi
geografis TBC mencakup seluruh dunia dengan variasi kejadian yang besar dan prevalensi menurut
tingkat perkembangannya. Penularannya pun berpola sekuler tanpa dipengaruhi musim dan letak
geografis (6). Keadaan sosial-ekonomi merupakan hal penting pada kasus TBC. Pembelajaran
sosiobiologis menyebutkan adanya korelasi positif antara TBC dengan kelas sosial yang mencakup
pendapatan, perumahan, pelayanan kesehatan, lapangan pekerjaan dan tekanan ekonomi. Terdapat
pula aspek dinamis berupa kemajuan industrialisasi dan urbanisasi komunitas perdesaan. Selain itu,
gaji rendah, eksploitasi tenaga fisik, pengangguran dan tidak adanya pengalaman sebelumnya
tentang TBC dapat juga menjadi pertimbangan pencetus peningkatan epidemi penyakit ini (6). Pada
lingkungan biologis dapat berwujud kontak langsung dan berulang-ulang dengan hewan ternak yang
terinfeksi adalah berbahaya (6). 2.TRANSMISI TB PARU Lingkungan hidup yang sangat padat dan
permukiman di wilayah perkotaan kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan
berperan sekali atas peningkatan jumlah kasus TB. Proses terjadinya infeksi oleh Mycobacterium
Tuberculosis biasanya secara inhalasi, sehingga TB paru merupakan manifestasi klinis yang paling
sering disbanding organ lainnya. Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang
mengandung droplet nuclei. Khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan batuk berdarah
atau berdahak yang mengandung basil tahan asam (BTA). Pada TB kulit atau jaringan lunak
penularan bisa melalui inokulasi langsung. Infeksi yang disebabkan oleh M. bovis dapat disebabkan
oleh susu yang kurang disterilkan dengan baik atau terkontaminasi. Sudah dibuktikan bahwa
lingkungan sosial ekonomi yang baik (1). Penyebab tuberculosis adalah Mycobacterium Tuberculosis,
sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 um dan tebal 0.3-0.6 um. Yang
tergolong dengan kuman Mycobacterium Tuberculosis complex adalah : 1. M. tuberculosae 2. Varian
Asian 3. Varian African I 4. Varian African II 5. M. bovis Pembagian tersebut adalah berdasarkan
perbedaan secara epidemiologi. Kelompok kuman Mycobacteria Other Than TB (MOTT, atypical)
adalah : 1. M. kansasi 2. M. avium 3. M. intra cellular 4. M. scrofulaceum 5. M. malmacerse 6. M.
xenopi Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak (lipid), kemudian peptidoglikan dan
arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam (asam alkohol)
sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan
fisis. Kuman dapat tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaaan dingin (dapat tahan
bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat
dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan penyakit tuberculosis menjadi aktif lagi
(1). Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam sitoplasma markofag.
Markofag yang semula memfagositasi malah kemudian disenanginya karena banyak mengandung
lipid (1). Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi
jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apikal paru-
paru lebih tinggi dari bagian lain. Sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit
tuberculosis (1). 3. RIWAYAT ALAMIAH TB PARU Gejala klinis sangat bervariasi dari tidak ada gejala
sama sekali sampai gejala yang sangat berat seperti gangguan pernapasan dan gangguan mental (7).
a. Gejala sistematik Gejala ini mencakup : · Demam Biasanya subfebril menyerupai demam influenza.
Tetapi kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40-41 ºC. Serangan demam pertama dapat
sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya hilang timbulnya
demam influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam influenza.
Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman
tuberculosis yang masuk (1). · Badan terasa lemah (7) · Malaise Penyakit tuberculosis bersifat radang
yang menahun. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan
makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam. Gejala malaise
ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur (1). b. Gejala respiratorik
Gejala ini mencakup : · Batuk/Batuk darah Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya
iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Karena
terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit
berkembang dalam jaringan paru yakini setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan pada
peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul
peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk
darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberculosis
terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus (1). Batuk biasnya terjadi
lebih dari 3 minggu, kering sampai produktif dengan sputum yang bersifat mukoid atau purulen,
batuk berdarah dapat terjadi bila ada pembuluh darah yang robek (7). · Sesak napas Pada penyakit
yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak napas. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit
yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru (1, 7) · Rasa nyeri
pada dada Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke
pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien
menarik/melepaskan napasnya (1). Sumber : http://prihandhi.blogspot.com/ Sumber :
https://qillknows.wordpress.com/2011/01/10/10-fakta-penting-tentang-tuberkulosis/ Sumber :
http://health.utah.gov/cdc/tb_home.htm 4. PENCEGAHAN Berkaitan dengan perjalanan alamiah dan
peranan Agent, Host dan Environment dari TBC, maka tahapan pencegahan yang dapat dilakukan
antara lain : a. Pencegahan Primer Dengan promisi kesehatan sebagai salah satu pencegahan TBC
paling efektif, walaupun hanya mengandung tujuan pengukuran umum dan mempertahankan
standar kesehatan sebelumnya yang sudah tinggi. Proteksi spesifik dengan tujuan pencegahan TBC
yang meliputi : 1. Imunisasi aktif, melalui vaksinasi Basil Calmette Guerin (BCG) secara nasional dan
internasional pada daerah dengan kejadian tinggi dan orang tua penderita atau berisiko tinggi
dengan nilai proteksi yang tidak absolut dan tergantung Host tambahan dan Environment 2.
Chemoprophylaxis, obat anti TBC yang dinilai terbukti ketika kontak dijalankan dan tetap harus
dikombinasikan dengan pasteurisasi produk ternak 3. Pengontrolan Faktor Prediposisi, yang
mengacu pada pencegahan dan pengobatan diabetes, silicosis, malnutrisi, sakit kronis dan mental
(5). b. Pencegahan Sekunder Dengan diagnosis dan pengobatan secara dini sebagai dasar
pengontrolan kasus TBC yang timbul dengan 3 komponen utama : Agent, Host dan Environment.
Kontrol pasien dengan deteksi dini penting untuk kesuksesan aplikasi modern kemoterapi spesifik,
walau terasa berat baik dari finansial, materi maupun tenaga. Metode tidak langsung dapat
dilakukan dengan indikator anak yang terinfeksi TBC sebagai pusat, sehingga pengobatan dini dapat
diberikan. Selain itu, pengetahuan tentang resistensi obat dan gejala infeksi juga penting untuk
seleksi dari petunjuk yang paling efektif (5). Langkah kontrol kejadian kontak adalah untuk
memutuskan rantai infeksi TBC, dengan imunisasi TBC negatif dan Chemoprophylaxis pada TBC
positif. Kontrol lingkungan dengan membatasi penyebaran penyakit, disinfeksi dan cermat
mengungkapkan investigasi epidemiologi, sehingga ditemukan bahwa kontaminasi lingkungan
memegang peranan terhadap epidemic TBC. Melalui usaha pembatasan ketidakmampuan untuk
membatasi kasus baru harus dilanjutkan, dengan istirahat dan menghindari tekanan psikis (5). c.
Pencegahan Tersier Rehabilitasi merupakan tingkatan terpenting pengontrolan TBC. Dimulai dengan
diagnosis kasus berupa trauma yang menyebabkan usaha penyesuaian diri secara psikis, rehabilitasi
penghibur selama fase akut dan hospitalisasi awal pasien, kemudian rehabilitasi pekerjaan yang
tergantung situasi individu. Selanjutnya, pelayanan kesehatan kembali dan penggunaan media
pendidikan untuk mengurangi cacat sosial dari TBC, serta penegasan perlunya rehabilitasi (5). Selain
itu, tindakan pencegahan sebaiknya juga dilakukan untuk mengurangi perbedaan pengetahuan
tentang TBC, yaitu dengan jalan sebagai brikut : 1. Perkembangan media. 2. Metode solusi problem
keresistenan obat. 3. Perkembangan obat Bakterisidal baru. 4. Kesempurnaan perlindungan dan
efektifitas vaksin. 5. Pembuatan aturan kesehatan primer dan pengobatan TBC yang fleksibel. 6.
Studi lain yang intensif. 7. Perencanaan yang baik dan investigasi epidemiologi TBC yang terkontrol
(5). 4. PENGOBATAN Pengobatan tuberkulosis dapat dibagi kedalam 2 kategori yaitu OAT primer dan
OAT sekunder. a. OAT Primer Prognosis baik jika pasien tidak mengalami gangguan imun. Nutrisi
yang baik, pengurangan konsumsi alkohol, dan kepatuhan pada terapi obat merupakan faktor-faktor
penting. Penyembuhan penyakit umumnya terjadi setelah pengobatan selama 6 bulan. Pada
awalnya sekurang-kurangnya digunakan tiga obat, untuk mencegah perkembangan strain yang
resisten. Regimen yang dianjurkan adalah rifampisin, dan isoniazid selama 2 bulan, diikuti rifampisin
dan isoniazid selama 4 bulan. Tambahan piridoksin mencegah neuropati perifer akibat isoniazid.
Fungsi hati sebaiknya dipantau, karena rifampisin dan pirazinamid dapat menyebabkan disfungsi
hati. Jika dicurigai terjadi resistensi obat (rekurensi TB pada pasien yang tidak patuh), maka regimen
empat obat (tambahkan etambutol) dapat dimulai. Bila ada hasil kultur, obat alternatif akan
menggantikan obat yang tidak sensitif untuk mikrobakterium. Etambutol (pantaulah penglihatan
warna untuk neuritis optikus), streptomisin (pantaulah kadar plasma untuk mneghindari gangguan
pendengaran) atau siprofloksasin dapat digunakan. Pada TB paru berat, kortikosteroid kadang-
kadang memperbaiki hasil (8). Di beberapa organ (misalnya tulang), TB diobati lebih lama, sering
dengan obat-obat tambahan. Pada TB meningeal atau serebral, regimen empat obat selama 12
bulan dengan tambahan steroid dianjurkan, untuk memastikan penetrasi otak yang adekuat dan
mencegah kompresi nervus kranialis akibat pembentukan parut meningeal (8). Bila dengan OAT
primer timbul resistensi, maka yang resisten itu digantikan dengan paling sedikit 2-3 macam OAT
sekunder yang belum resisten, sehingga penderita menerima 5 atau 6 macam obat sekaligus.
Strategi pengobatan yang dianjurkan oleh WHO adalah DOTs (directly observed treatment, short
course) untuk penggunaan OAT primer dan DOTS-plus untuk penggunaan OAT sekunder (9). b. OAT
Sekunder OAT sekunder adalah asam para-aminosalisilat, ethionamide, thioacetazone,
fluorokinolon, aminoglikosida dan capreomycin, cycloserine, penghambat betalaktam,
clarithromycin, linezolid, thioacetazone, dan lain-lain. · Asam Para-Amino Salisilat (PAS) Ditemukan
tahun 1940, dahulu merupakan OAT garis pertama yang disunakan bersama dengan isoniazid dan
streptomycin; kemudian kedudukannya digantikan oleh ethambutol. PAS memperlihatkan efek
bakteriostatik terhadap M.tuberculosis dengan menghambat secara kompetitif pembentukan asam
folat dari asam para-amino benzoate (10). · Thioacetazone Secara in-viro dan in-vivo diperlihatkan
mempunyai khasiat bakteriostatik terhadap M. tuberculosis. Resistensi silang sering terlihat antara
thioacetazone dengan isoniazid dan ethioonamide. Karena kerap menimbulkan reaksi
hipersensitifitas berat ( sindroma Steven-Johnson), thioacetazone tak dianjurkan untuk digunakan
pada penderita dengan HIV (11). BAB III KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan TBC adalah suatu
infeksi bakteri menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang utama menyerang
organ paru manusia. TBC merupakan salah satu problem utama epidemiologi kesehatan didunia.
Agent, Host dan Environment merupakan faktor penentu yang saling berinteraksi, terutama dalam
perjalanan alamiah epidemic TBC baik periode Prepatogenesis maupun Patogenesis. Faktor yang
mempengaruhi terjadinya kasus TBC adalah lingkungan yang padat, lembab, kurangnya ventilasi dan
sinar matahari. Pencegahan terhadap infeksi TBC sebaiknya dilakukan sedini mungkin, yang terdiri
dari pencegahan primer, sekunder dan tersier (rehabilitasi). 2. Saran a. Perbaikan lingkungan
(Pembuatan jendela, genting kaca dan kebersihan rumah/lantai). b. Menutup mulut waktu batuk
dan tempat khusus untuk dahak dan pembuangan dahak tidak sembarang. c. Menerapkan perilaku
hidup bersih dan sehat (PHBS). DAFTAR PUSTAKA 1. Sudoyo, Aru W. dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta: Fakultas Kedokteran Indonesia. Hal. 988-994. 2. Gerdunas TB. 2006-
2007. Tentang TB. TB di Indonesia. Profile Nasional.
http://www.tbindonesia.or.id/tbnew/epidemiologi-tb-di-indonesia/article/55/000100150017/2,
diunduh pada tanggal 2 November 2011 3. Gerdunas TB. 2006-2007. Tentang TB. TB di Indonesia.
Profile Regional Sumatra. Propinsi Sumatra Selatan.
http://www.tbindonesia.or.id/tbnew/epidemiologi-tb-di-indonesia/article/55/000100150017/2,
diunduh pada tanggal 2 November 2011 4. Soeharsono. 2005. Zoonosis Penyakit Menular dari
Hewan ke Manusia. Volume II. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Hal. 30. 5. Chandra, Budiman dr, 1996.
Pengantar Prinsip dan Metode Epidemiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 6. World
Health Organitation (WHO), 2004. Epidemiology of Tuberculosis.
http://who.org/orgs/dissease/tuberculosis/epidemiology.htm 7. Hadi H., et all, editor; Naskah
Lengkap Work-Shop Pulmonology Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT-4) Ilmu Penyakit Dalam PAPDI
Sumbagsel, Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, April, 2002. Hal. 95 -119. 8. Jane W., et all,
editor; At Glance Sistem Respirasi. Jilid II. Jakarta: Penerbit Erlangga, Mei, 2007. Hal. 81. 9.
Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia. 2006. Jurnal Tuberkulosis Indonesia. Vol._3
No._2 September 2006, http://www.tbindonesia.or.id/pdf/Jurnal_TB_Vol_3_No_2_PPTI.pdf, diakses
tanggal 2 November 2011 10. Peloquin CA, Berning SE, Huitt GA, et al. Once-daily and twice-daily
dosing of paminosalicylic acid granules. Amer J Respir Crit Care Med 1999;159:932-934. 11. Okwera
A, Whalen C, Byekwaso F, et al. Randomised trial of thioacetazone and rifampicin-containing
regimens for pulmonary tuberculosis in HIV-infected Ugandans. The Makerere University-Case
Western University Research Collaboration. Lancet 1944;344:1323-1328.