Anda di halaman 1dari 44

Banyak definisi tentang Epidemiologi, beberapa diantaranya :

a. W.H. Welch

Suatu ilmu yang mempelajari timbulnya, perjalanan, dan pencegahan penyakit,


terutama penyakit infeksi menular. Dalam perkembangannya, masalah yang
dihadapi penduduk tidak hanya penyakit menular saja, melainkan juga penyakit
tidak menular, penyakit degenaratif, kanker, penyakit jiwa, kecelakaan lalu lintas,
dan sebagainya. Oleh karena batasan epidemiologi menjadi lebih berkembang.

b. Mausner dan Kramer

Studi tentang distribusi dan determinan dari penyakit dan kecelakaan pada
populasi manusia.

c. Last

Studi tentang distribusi dan determinan tentang keadaan atau kejadian yang
berkaitan dengan kesehatan pada populasi tertentu dan aplikasi studi untuk
menanggulangi masalah kesehatan.

d. Mac Mahon dan Pugh

Epidemiologi adalah sebagai cabang ilmu yang mempelajari penyebaran penyakit


dan faktor-faktor yang menentukan terjadinya penyakit pada manusia.

e. Omran

Epidemiologi adalah suatu studi mengenai terjadinya distribusi keadaan


kesehatan, penyakit dan perubahan pada penduduk, begitu juga determinannya
dan akibat-akibat yang terjadi pada kelompok penduduk.

f. W.H. Frost

Epidemiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari timbulnya, distribusi, dan jenis
penyakit pada manusia menurut waktu dan tempat.
g. Azrul Azwar

Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang frekuensi dan penyebaran


masalah kesehatan pada sekelompok manusia serta faktor-faktor yang
mempengaruhi masalah kesehatan.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa ada 3 komponen penting yang ada
dalam epidemiologi, sebagai berikut :

1) Frekuensi masalah kesehatan

2) Penyebaran masalah kesehatan

3) Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya masalah kesehatan.

3. Peranan

Dari kemampuan epidemiologi untuk mengetahui distribusi dan faktor-faktor


penyebab masalah kesehatan dan mengarahkan intervensi yang diperlukan maka
epidemiologi diharapkan mempunyai peranan dalam bidang kesehatan masyarakat
berupa :

a. Mengidentifikasi faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya penyakit atau


masalah kesehatan dalam masyarakat.

b. Menyediakan data yang diperlukan untuk perencanaan kesehatan dan mengambil


keputusan.

c. Membantu melakukan evaluasi terhadap program kesehatan yang sedang atau telah
dilakukan.

d. Mengembangkan metodologi untuk menganalisis keadaan suatu penyakit dalam


upaya untuk mengatasi atau menanggulanginya.

e. Mengarahkan intervensi yang diperlukan untuk menanggulangi masalah yang perlu


dipecahkan.

4. Ruang lingkup
a. Masalah kesehatan sebagai subjek dan objek epidemiologi

Epidemiologi tidak hanya sekedar mempelajari masalah-masalah penyakit-


penyakit saja, tetapi juga mencakup masalah kesehatan yang sangat luas
ditemukan di masyarakat. Diantaranya masalah keluarga berencana, masalah
kesehatan lingkungan, pengadaan tenaga kesehatan, pengadaan sarana kesehatan
dan sebagainya. Dengan demikian, subjek dan objek epidemiologi berkaitan
dengan masalah kesehatan secara keseluruhan.

b. Masalah kesehatan pada sekelompok manusia

Pekerjaan epidemiologi dalam mempelajari masalah kesehatan, akan


memanfaatkan data dari hasil pengkajian terhadap sekelompok manusia, apakah
itu menyangkut masalah penyakit, keluarga berencana atau kesehatan lingkungan.
Setelah dianalisis dan diketahui penyebabnya dilakukan upaya-upaya
penanggulangan sebagai tindak lanjutnya.

c. Pemanfaatan data tentang frekuensi dan penyebaran masalah kesehatan dalam


merumuskan penyebab timbulnya suatu masalah kesehatan.

Pekerjaan epidemiologi akan dapat mengetahui banyak hal tentang masalah


kesehatan dan penyebab dari masalah tersebut dengan cara menganalisis data
tentang frekuensi dan penyebaran masalah kesehatan yang terjadi pada
sekelompok manusia atau masyarakat. Dengan memanfaatkan perbedaan yang
kemudian dilakukan uji statistik, maka dapat dirumuskan penyebab timbulnya
masalah kesehatan.

B. Natural history of deseases

Riwayat alamiah suatu penyakit dapat digolongkan dalam 5 tahap :

1. Pre Patogenesis

Tahap ini telah terjadi interaksi antara penjamu dengan bibit penyakit, tetapi interaksi
ini terjadi di luar tubuh manusia, dalam arti bibit penyakit berada di luar tubuh
manusia dan belum masuk ke dalam tubuh. Pada keadaan ini belum ditemukan
adanya tanda-tanda penyakit dan daya tahan tubuh penjamu masih kuat dan dapat
menolak penyakit. Keadaan ini disebut sehat.

2. Tahap inkubasi (sudah masuk Patogenesis)

Pada tahap ini biit penyakit masuk ke tubuh penjamu, tetapi gejala-gejala penyakit
belum nampak. Tiap-tiap penyakit mempunyai masa inkubasi yang berbeda. Kolera 1-
2 hari, yang bersifat menahun misalnya kanker paru, AIDS dll.

3. Tahap penyakit dini

Tahap ini mulai dihitung dari munculnya gejala-gejala penyakit, pada tahap ini
penjamu sudah jatuh sakit tetapi masih ringan dan masih bisa melakukan aktifitas
sehari-hari. Bila penyakit segera diobati, mungkin bisa sembuh, tetapi jika tidak, bisa
bertambah parah. Hal ini terganting daya tahan tubuh manusia itu sendiri, seperti gizi,
istirahat dan perawatan yang baik di rumah (self care).

4. Tahap penyakit lanjut

Bila penyakit penjamu bertambah parah, karena tidak diobati/tidak tertur/tidak


memperhatikan anjuran-anjuran yang diberikan pada penyakit dini, maka penyakit
masuk pada tahap lanjut. Penjamu terlihat tak berdaya dan tak sanggup lagi
melakukan aktifitas. Tahap ini penjamu memerlukan perawatan dan pengobatan yang
intensif.

5. Tahap penyakit akhir

Tahap akhir dibagi menjadi 5 keadaan :

a. Sembuh sempurna (bentuk dan fungsi tubuh penjamu kembali berfungsi seperti
keadaan sebelumnya/bebeas dari penyakit)

b. Sembuh tapi cacat ; penyakit penjamu berakhir/bebas dari penyakit, tapi


kesembuhannya tak sempurna, karena terjadi cacat (fisik, mental maupun sosial)
dan sangat tergantung dari serangan penyakit terhadap organ-organ tubuh
penjamu.
c. Karier : pada karier perjalanan penyakit seolah terhenti, karena gejala penyakit tak
tampak lagi, tetapi dalam tubuh penjamu masih terdapat bibit penyakit, yang pada
suatu saat bila daya tahan tubuh penjamu menurun akan dapat kembuh kembali.
Keadaan ini tak hanya membahayakan penjamu sendiri, tapi dapat berbahaya
terhadap orang lain/masyarakat, karena dapat menjadi sumber penularan penyakit
(human reservoir)

d. Kronis ; pada tahap ini perjalanan penyakit tampak terhenti, tapi gejala-gejala
penyakit tidak berubah. Dengan kata lain tidak bertambah berat maupun ringan.
Keadaan ini penjamu masih tetap berada dalam keadaan sakit.

e. Meninggal ; Apabila keadaan penyakit bertambah parah dan tak dapat diobati lagi,
sehingga berhentinya perjalanan penyakit karena penjamu meninggal dunia.
Keadaan ini bukanlah keadaan yang diinginkan.

C. Upaya pencegahan dan ukuran frekuensi penyakit.

Dalam kesehatan masyarakat ada 5 (lima) tingkat pencegahan penyakit menurut


Leavell and Clark. Pada point 1 dan 2 dilakukan pada masa sebelum sakit dan point 3,4,5
dilakukan pada masa sakit.

1. Peningkatan kesehatan (health promotion)

a. Penyediaan makanan sehat dan cukup (kualitas maupun kuantitas)

b. Perbaikan hygiene dan sanitasi lingkungan, misalnya penyediaan air bersih,


pembuangan sampah, pembuangan tinja dan limbah.

c. Pendidikan kesehatan kepada masyarakat. Misal untuk kalangan menengah ke atas


di negara berkembang terhadap resiko jantung koroner.

d. Olahraga secara teratur sesuai kemampuan individu.

e. Kesempatan memperoleh hiburan demi perkembangan mental dan sosial.

f. Nasihat perkawinan dan pendidikan seks yang bertanggung jawab.


2. Perlindungan umum dan khusus terhadap penyakit-penyakit tertentu (general and
specific protection)

a. Memberikan immunisasi pada golongan yang rentan untuk mencegah penyakit

b. Isolasi terhadap penderita penyakit menular, misal yang terkena flu burung.

c. Pencegahan terjadinya kecelakaan baik di tempat umum maupun tempat kerja.

d. Perlindungan terhadap bahan-bahan yang bersifat karsinogenik, bahan-bahan racun


maupun alergi.

e. Pengendalian sumber-sumber pencemaran.

3. Penegakkan diagnosa secara dini dan pengobatan yang cepat dan tepat (early diagnosis
and prompt treatment)

a. Mencari kasus sedini mungkin.

b. Mencari penderita dalam masyarakat dengan jalan pemeriksaan . Misalnya


pemeriksaan darah, rontgent paru.

c. Mencari semua orang yang telah berhubungan dengan penderita penyakit menular
(contact person) untuk diawasi agar bila penyakitnya timbul dapat segera
diberikan pengobatan.

d. Meningkatkan keteraturan pengobatan terhadap penderita.

e. Pemberian pengobatan yang tepat pada setiap permulaan kasus.

4. Pembatasan kecacatan (dissability limitation)

a. Pengobatan dan perawatan yang sempurna agar penderita sembuh dan tak terjadi
komplikasi.

b. Pencegahan terhadap komplikasi dan kecacatan.


c. Perbaikan fasilitas kesehatan sebagai penunjang untuk dimungkinkan pengobatan
dan perawatan yang lebih intensif.

5. Pemulihan kesehatan (rehabilitation)

a. Mengembangkan lembaga-lembaga rehabilitasi dengan mengikutsertakan


masyarakat.

b. Menyadarkan masyarakat untuk menerima mereka kembali dengan memberikan


dukungan moral setidaknya bagi yang bersangkutan untuk bertahan.

c. Mengusahakan perkampungan rehabilitasi sosial sehingga setiap penderita yang


telah cacat mampu mempertahankan diri.

d. Penyuluhan dan usaha-usaha kelanjutan yang harus tetap dilakukan seseorang


setelah ia sembuh dari suatu penyakit.

Beaglehole (WHO, 1993) membagi upaya pencegahan menjadi 3 bagian : primordial


prevention (pencegahan awal) yaitu pada pre patogenesis, primary prevention
(pencegahan pertama) yaitu health promotion dan general and specific protection ,
secondary prevention (pencegahan tingkat kedua) yaitu early diagnosis and prompt
treatment dan tertiary prevention (pencegahan tingkat ketiga) yaitu dissability limitation.

Ukuran frekuensi penyakit menunjukkan kepada besarnya masalah kesehatan yang


terdapat pada kelompok manusia/masyarakat. Artinya bila dikaitkan dengan masalah
penyakit menunjukkan banyaknya kelompok masyarakat yang terserang penyakit. Untuk
mengetahui frekuensi masalah kesehatan yang terjadi pada sekelompok orang/masyarakat
dilakukan langkah-langkah :

1) Menemukan masalah kesehatan, melalui cara : penderita yang datang ke puskesmas,


laporan dari masyarakat yang datang ke puskesmas.

2) Research/survei kesehatan. Misal : Survei Kesehatan Rumah Tangga

3) Studi kasus. Misal : kasus penyakit pasca bencana tsunami.

D. Penelitian epidemiologi
Secara sederhana, studi epidemiologi dapat dibagi menjadi dua kelompok sebagai berikut
:

1. Epidemiologi deskriptif, yaitu Cross Sectional Study/studi potong lintang/studi


prevalensi atau survei.

2. Epidemiologi analitik : terdiri dari :

a. Non eksperimental :

1) Studi kohort / follow up / incidence / longitudinal / prospektif studi. Kohort


diartiakan sebagai sekelompok orang. Tujuan studi mencari akibat
(penyakitnya).

2) Studi kasus kontrol/case control study/studi retrospektif. Tujuannya mencari


faktor penyebab penyakit.

3) Studi ekologik. Studi ini memakai sumber ekologi sebagai bahan untuk
penyelidikan secara empiris faktor resiko atau karakteristik yang berada
dalam keadaan konstan di masyarakat. Misalnya, polusi udara akibat sisa
pembakaran BBM yang terjadi di kota-kota besar.

b. Eksperimental. Dimana penelitian dapat melakukan manipulasi/mengontrol


faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil penelitian dan dinyatakan sebagai
tes yang paling baik untuk menentukan cause and effect relationship serta tes
yang berhubungan dengan etiologi, kontrol, terhadap penyakit maupun untuk
menjawab pertanyaan masalah ilmiah lainnya. Studi eksperimen dibagi menjadi
2 (dua) yaitu :

1) Clinical Trial. Contoh :

a) Pemberian obat hipertensi pada orang dengan tekanan darah tinggi untuk
mencegah terjadinya stroke.

b) Pemberian Tetanus Toxoid pada ibu hamil untuk menurunkan frekuensi


Tetanus Neonatorum.
2) Community Trial. Contoh : Studi Pemberian zat flourida pada air minum.

E. Epidemiologi keperawatan

Dalam ilmu keperawatan dikenal istilah community health nursing (CHN) atau
keperawatan kesehatan masyarakat, dimana ilmu pengetahuan epidemiologi digunakan
CHN sebagai alat meneliti dan mengobservasi pada pekerjaan dan sebagai dasar untuk
intervensi dan evaluasi literatur riset epidemiologi. Metode epidemiologi sebagai standard
kesehatan, disajikan sebagai alat untuk memperkirakan kebutuhan masyarakat.
Monitoring perubahan status kesehatan masyarakat dan evaluasi pengaruh program
pencegahan penyakit, dan peningkatan kesehatan. Riset/studi epidemiologi memunculkan
badan pengetahuan (body of knowledge) termasuk riwayat asal penyakit, pola terjadinya
penyakit, dan faktor-faktor resiko tinggi terjadinya penyakit, sebagai informasi awal
untuk CHN. Pengetahuan ini memberi kerangka acuan untuk perencanaan dan evaluasi
program intervensi masyarakat, mendeteksi segera dan pengobatan penyakit, serta
meminimalkan kecacatan. Program utama pencegahan difokuskan pada menjaga jarak
perantara penyakit dari host/tuan rumah yang rentan, pengurangan kelangsungan hidup
agent, penambahan resistensi host dan mengubah kejadian hubungan host, agent, dan
lingkungan. Kedua, program mengurangi resiko dan screening, ketiga : strategi mencegah
pada pribadi perawat dengan body of knowlwdge yang berasal dari riset epidemiologi,
sebagai dasar untuk pengkajian individu dan kebutuhan kesehatan keluarga dan intervensi
perencanaan perawatan.

Kepustakaan :

Effendy, Nasrul. Dasar-dasar keperawatan kesehatan masyarakat, edisi 2. Jakarta : EGC,


1998.

Leavel, H.R and Clark, E.G. Preventive Medicine for the Doctor in His Community, 3th
Edition, Mc Graw-Hill Inc, New York, 1965.

Beaglehole, R. R. Bonita, T. Kjellstrom. Basic Epidemiology, WHO, Geneva, 1993.

Stanhope and Lancaster. Community Health Nursing ; Process and practise for Promoting
Health, Mosby Company St. Louis, USA, 1989.

Chandra, Budiman. Pengantar Prinsip dan Metode Epidemiologi. Jakarta ; EGC, 1996
2.1.Pengertian Penyakit Menular

Dewasa ini banyak penyakit menular yang telah mampu diatasi bahkan ada yang telah

dapat dibasmi berkat kemajuan teknologi dalam mengatasi masalah lingkungan biologis yang

erat hubungan nya dengan penyakit menular. Akan tetapi masalah penyakit menular masih

tetap dirasakan oleh sebagian besar penduduk negara berkembang, di samping munculnya

masalah baru pada negara yang sudah maju. Penguasaan teknologi terhadap pengaruh

lingkungan biologis yang erat hubungan nya dengan penyakit menular maka penguasaan

terhadap lingkungan fisik sedang dikembangkan di berbagai negara dewasa ini yang sejalan

dengan terhadap lingkungan biologis.

Dewasa ini berbagai jenis penyakit menular telah dapat diatasi terutama pada negara-

negara maju, tetapi sebagian besar penduduk dunia yang mendiami belahan dunia yang

sedang berkembang, masih terancam dengan berbagai penyakit menular tertentu. Dalam hal

ini maka penyakit menular dapat di kelompokan dalam 3 kelompok utama yakni:

 Penyakit yang sangat berbahaya karena kematian cukup tinggi.

 Penyakit menular yang dapat menimbulkan kematian atau cacat, walaupun, akibatnya lebih

ringan dibanding dengan yang pertama.

 Penyakit menular yang jarang menimbulkan kematian, tetapi dapat mewabah sehingga dapat

menimbulkan kerugian waktu maupun materi/biaya.

2.2.Faktor Penyebab Penyakit Menular

Pada proses perjalanan penyakit menular di dalam masyarakat, maka dikenal adanya

beberapa faktor yang memegang peranan penting antara lain adanya faktor penyebab (agent)

yakni organisme penyebab penyakit, adanya sumber penularan (resorvoir maupun resources),
adanya cara penularan khusus (mode of transmission), adanya cara meninggalkaan penjamu

dan cara masuk ke penjamu lainnya, serta keadaan ketahanan penjamu sendiri.

Yang merupakan penyebab kausal (agent) penyakit menular adalah unsur biologis, yang

bervariasi mulai dari partikel virus yang paling sederhana sampai organisme multi selular

yang cukup kompleks yang dapat menyebabkan penyakit manusia. Unsur penyebab ini dapat

dikelompokkan dalam beberapa kelompok yakni:

 Kelompok arthropoda (serangga), seperti pada penyakit scabies, pediculosis dan lain-lain.

 Kelompok cacing/helminth baik cacing darah maupaun cacing perut dan yang lainnya.

 Kelompok protozoa, seperti plasmodium,amoeba,dan lain-lain.

 Fungus atau jamur, baik uniseluler maupun multiseluler.

 Bakteri termasuk spirocheata maupun ricketsia yang memiliki sifat tersendiri.

Sebagai makhluk biologis yang sebagian besar adalah kelompok mikro-organisme,

unsur penyebab penyakit menular tersebut juga mempuyai potensi untuk tetap berusaha untuk

mempertahankan diri terhadap faktor lingkungan di mana ia berada dalam usaha

mempertahankan hidupnya serta mengembangkan keturunannya.

Adapun usaha tersebut yang meliputi berkembang biak pada lingkungan yang

sesuai/menguntungkan, terutama pada penjamu /host dimana mikro-organisme tersebut

berada, berpindah tempat dari satu penjamu lainnya yang lebih sesuai/menguntungkan, serta

membentuk pertahanan khususnya pada situasi lingkungan yang jelek seperti membentuk

spora atau bentuk lainya.

2.3.Mekanisme Penyakit Menular

Aspek sentral penyebaran penyakit menular dalam masyarakat adalah mekanisime

penularan (mode of transmissions) yakni berbagai mekanisme di mana unsur penyebab

penyakit dapat mencapai manusia sebagai penjamu yang potensial. Mekanisme tersebut
meliputi cara unsur penyebab (agent) meninggalkan reservoir, cara penularan untuk mencapai

penjamu potensial, serta cara masuknya ke penjamu potensial tersebut. Seseorang yang sehat

sebagai salah seorang penjamu potensial dalam masyarakat, mungkin akan ketularan suatu

penyakit menular tertentu sesuai dengan posisinya dalam masyarakat serta dalam pengaruh

berbagai reservoir yang ada di sekitarnya. Kemungkinan tersebut sangat di pengaruhi pula

olah berbagai faktor antara lain:

 Faktor lingkungan fisik sekitarnya yang merupakan media yang ikut mempengaruhi kualitas

maupun kuantitas unsur penyebab.

 Faktor lingkungan biologis yang menentukan jenis vektor dan resevoir penyakit serta unsur

biologis yang hidup berada di sekitar manusia .

 Faktor lingkungan sosial yakni kedudukan setiap orang dalam masyarakat, termasuk kebiasaan

hidup serta kegiatan sehari-hari.

 Cara unsur penyebab keluar dari penjamu (Reservoir)

Pada umumnya selama unsur penyebab atau mikro-organisme penyebab masih

mempunyai kesempatan untuk hidup dan berkembang biak dalam tubuh penjamu, maka ia

akan tetap tinggal di tempat yang potensial tersebut. Namun di lain pihak, tiap individu

penjamu memiliki usaha perlawanan terhadap setiap unsur penyebab patogen yang

mengganggu dan mencoba merusak keadaan keseimbangan dalam tubuh penjamu.

Unsur penyebab yang akan meninggalkan penjamu di mana ia berada dan

berkembang biak, biasanya keluar dengan cara tersendiri yang cukup beraneka ragam sesuai

dengan jenis dan sifat masing-masing. Secara garis besar, maka cara ke luar unsur penyebab

dari tubuh penjamu dapat dibagi dalam beberapa bentuk, walaupun ada di antara unsur

penyebab yang dapat menggunakan lebih satu cara.

 Cara penularan (mode of transmission)


Setelah unsur penyebab telah meninggalkan reservoir maka untuk mendapatkan

potensial yang baru, harus berjalan melalui suatu jalur lingkaran perjalanan khusus atau suatu

jalur khusus yang disebut jalur penularan. Tiap kelompok memiliki jalur penularan tersendiri

dan pada garis-garis besarnya dapat di bagi menjadi dua bagian utama yakni:

 Penularan langsung yakni penularan penyakit terjadi secara langsung dari penderita atau

resevoir, langsung ke penjamu potensial yang baru.au

 Penularan tidak langsung yakni penularan penyakit terjadi dengan melalui media tertentu

seperti melalui udara (air borne) dalam bentuk droplet dan dust, melalui benda tertentu

(vechicle borne), dan melalui vector (vector borne).

2.4.Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Menular

a. Pencegahan Penyakit Menular

Pengertian pencegahan secara umum adalah mengambil tindakan terlebih dahulu

sebelum kejadian. Dalam mengambil langkah-langkah untuk pencegahan, haruskan

didasarkan pada data/keterangan yang bersumber dari hasil analisis epidemiologi atau hasil

pengamatan penelitian epidemiologis.

Pada dasarnya ada tiga tingkatan pencegahan secara umum yakni:

 Pencegahan tingkat pertama (primary prevention) yang meliputi promosi kesehatan dan

pencegahan khusus, sasaran pencegahan pertama dapat ditujukan pada faktor penyebab,

lingkungan penjamu.

 Sasaran yang ditujukan pada faktor penyebab atau menurunkan pengaruh penyebab serendah

mungkin dengan usaha antara lain: desinfeksi, pasteurisasi, sterilisasi, yang bertujuan untuk

menghilangkan mikro-organisme penyebab penyakit, penyemprotan inteksida dalam rangka

menurunkan menghilangkan sumber penularan maupun memutuskan rantai penularan, di

samping karantina dan isolasi yang juga dalam rangka memutuskan rantai penularannya.
 Mengatasi/modifikasi lingkungan melalui perbaikan lingkungan fisik seperti peningkatan air

bersih, sanitasi lingkungan dan perubahan serta bentuk pemukiman lainnya, perbaikan dan

peningkatan lingkungan biologis seperti pemberantasan serangga dan binatang pengerat, serta

peningkatan lingkungan sosial seperti kepadatan rumah tangga, hubungan antar individu dan

kehidupan sosial masyarakat.

 Meningkatkan daya tahan penjamu yang meliputi perbaikan status gizi, status kesehatan

umum dan kualitas hidup penduduk, pemberian imunisasi serta berbagai bentuk pencegahan

khusus lainnya, peningkatan status psikologis, persiapan perkawinan serta usaha menghindari

pengaruh faktor keturunan, dan peningkatan ketahanan fisik melalui peningkatan kualitas

gizi, serta olah raga kesehatan.

 Pencegahan tingkat kedua (secondary prevention) yang meliputi diagnosis dini serta

pengobatan yang tepat . sasaran pencegahan ini terutama ditunjukkan pada mereka yang

menderita atau dianggap menderita (suspek) atau yang terancam akan menderita (masa

tunas). Adapun tujuan usaha pencegahan tingkat kedua ini yang meliputi diagnosis dini dan

pengobatan yang tepat agar dapat dicegah meluasnya penyakit atau untuk mencegah

timbulnya wabah, serta untuk mencegah proses penyakit lebih lanjut serta mencegah terjadi

akibat samping atau komplikasi.

 Pencarian penderita secara dini dan aktif melalui peningkatan usaha surveveillans penyakit

tertentu, pemeriksaan berkala serta pemeriksaan kelompok tertentu (calon pegawai, ABRI,

mahasiswa dan sebagainya), penyaringan (screening) untuk penyakit tertentu secara umum

dalam masyarakat, serta pengobatan dan perawatan efektif.

 Pemberian chemoprophylaxis yang terutama bagi mereka yang dicurigai berada pada proses

prepatogenesis dan patogenesis penyakit tertentu.

 Pencegahan tingkat ketiga (tertiary prevention) yang meliputi pencegahan terhadap cacat dan

rehabilitasi. Sasaran pencegahan tingkat ke tiga adalah penderita penyakit tertentu dengan
tujuan mencegah jangan sampai mengalami cacat permanen, mencegah bertambah parahnya

suatu penyakit atau mencegah kematian akibat penyakit tersebut. Pada tingkatan ini juga

dilakukan usaha rehabilitasi untuk mencegah terjadinya akibat samping dari penyembuhan

suatu penyakit tertentu. Rehabilitasi adalah usaha pengembalian fungsi fisik, psikologi dan

sosial optimal mungkin yang meliputi rehabilitasi fisik/medis, rehabilitasi mental/psikologis

serta rehabilitasi sosial.

Ketiga tingkat pencegahan tersebut saling berhubungan erat sehingga dalam pelaksanaan nya

sering dijumpai keadaan yang tumpang tindih.

b. Penanggulangan penyakit menular.

Yang dimaksud dengan penanggulangan penyakit menular (kontrol) adalah upaya

untuk menekan peristiwa penyakit menular dalam masyarakat serendah mungkin sehingga

tidak merupakan gangguan kesehatan bagi masyarakat tersebut.

Seperti halnya pada upaya pencegahan penyakit, maka upaya penanggulangan

penyakit menular dapat pula dikelompokan pada tiga kelompok sesuai dengan sasaran

langsung melawan sumber penularan atau reservoir, sasran ditujukan pada cara penularan

penyakit, sasaran yang ditujukan terhadap penjamu dengan menurunkan kepekaan penjamu.
c. Sasaran langsung pada sumber penularan penjamu.

Keberadaan suatu sumber penularan (reservoir) dalam masyarakat merupakan faktor

yang sangat penting dalam rantai penularan. Dengan demikian keberadaan sumbar penularan

tersebut memegang peranan yang cukup penting serta menentukan cara penanggulangan yang

paling tepat dan tingkat keberhasilannya yang cukup tinggi.

- Sumber penularan terdapat pada binatang peliharaan (domestik) maka upaya mengatasi

penularan dengan sasaran sumber penularan lebih mudah dilakukan dengan memusnahkan

binatang yang terinfeksi serta melindungi binatang lainnya dari penyakit tersebut (imunisasi

dan pemeriksaan berkala)

- Apabila sumber penularan adalah manusia, maka cara pendekatannya sangat berbeda

mengingat bahwa dalam keadaan ini tidak mungkin dilakukan pemusnahan sumber. Sasaran

penanggulangan penyakit pada sumber penularan dapat dilakukan dengan isolasi dan

karantina, pengobatan dalam berbagai bentuk umpamanya menghilangkan unsur penyebab

(mikro-organisme) atau menghilangkan fokus infeksi yang ada pada sumber.

d. Sasaran ditujukan pada cara penularan

Upaya mencegah dan menurunkan penularan penyakit yang ditularkan melalui udara,

terutama infeksi saluran pernapasan dilakukan desinfeksi udara dengan bahan kimia atau

dengan sinar ultra violet, ternyata kurang berhasil. Sedangkan usaha lain dengan perbaikan

sistem ventilasi serta aliran udara dalam ruangan tampaknya lebih bermanfaat.

e. Sasaran ditujukan pada penjamu potensial.

Sebagaimana diterangkan sebelumnya bahwa faktor yang berpengaruh pada penjamu

potensial terutama tingkat kekebalan (imunitas) serta tingkat kerentanan/kepekaan yang

pengaruhi oleh status gizi, keadaan umum serta faktor genetika.

- Berbagai penyakit dewasa ini dapat dicegah melalui usaha imunitas yakni peningkatan

kekebalan aktif pada penjamu dengan pemberian vaksinasi. Pemberian imunisasi aktif untuk
perlindungan penyakit (DPT) merupakan pemberian imunisasi dasar kepada anak-anak

sebagai bagian terpenting dalam program kegiatan kesehatan masyarakat.

- Peningkatan kekebalan umum.

Berbagai usaha lainnya dalam meningkatkan daya tahan penjamu terhadap penyakit infeksi

telah diprogramkan secara luas seperti perbaikan keluarga, peningkatan gizi balita melalui

program kartu menuju sehat (KMS), peningkatan derajat kesehatan masyarakat serta

pelayanan kesehatan terpadu melalui posyandu. Keseluruhan program ini bertujuan untuk

meningkatkan daya tahan tubuh secara umum dalam usaha menangkal berbagai ancaman

penyakit infeksi.

Bustan,Mn.1997.Epidemiologi penyakit tidak menular. PT RINEKA CIPTA.

Nor,nasry.2000.epedimiologi penyakit menular. PT RINEKA CIPTA.

Makalah Epidemiologi Penyakit Menular Tuberkulosis

Penyakit Menular adalah penyakit yang disebabkan oleh bibit penyakit tertentu atau
oleh produk toxin yang didapatkan melalui penularan bibit penyakit atau toxin yang
diproduksi oleh bibit penyakit tersebut dari orang yang terinfeksi, dari binatang atau dari
reservoir kepada orang yang rentan; baik secara langsung maupun tidak langsung melalui
tumbuh-tumbuhan atau binatang pejamu, melalui vector atau melalui lingkungan.
I. Tuberkulosis
A. Pengertian
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit granulomatosa kronis menular yang
disebabkan oleh MT. Penyakit ini biasanya mengenai paru, tetapi dapat menyerang semua
organ atau jaringan tubuh, misalnya pada lymph node, pleura dan area osteoartikular.
Biasanya pada bagian tengah granuloma tuberkel mengalami nekrosis perkijuan (Depkes RI,
2002).
Tuberculosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh oleh
kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi
dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes RI, 2007).
Tuberkulosis yang menyerang organ selain paru (kelenjar limfe, kulit, otak, tulang,
usus, ginjal) disebut tuberkulosis ekstra paru. Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang,
berukuran panjang 1-4 mikron dan tebal 0,3-0,6 mikron, mempunyai sifat khusus yaitu tahan
terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena itu disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA).
Kuman tuberkulosis cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup
beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat
dormant atau tertidur lama dalam beberapa tahun.
B. Cara Penularan
Penularan penyakit Tuberkulosis disebabkan oleh kuman Mycobacteriun tuberculosis
ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien Tuberkulosis batuk dan percikan
ludah yang mengandung bakteri terhirup oleh orang lain saat bernapas. Sumber penularan
adalah pasien Tuberkulosis paru BTA positif, bila penderita batuk, bersin atau berbicara saat
berhadapan dengan orang lain, basil Tuberkulosis tersembur dan terhisap ke dalam paru
orang sehat dan bisa menyebar ke bagian tubuh lain melalui peredaran darah pembuluh limfe
atau langsung ke organ terdekat. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan
dahak. Masa inkubasinya selama 3-6 bulan (Widoyono, 2005).

II. Host, Agen dan Environtment


Teori John Gordon mengemukakan bahwa timbulnya suatu penyakit sangat
dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu bibit penyakit (agent), pejamu (host), dan lingkungan
(environment). Untuk memprediksi penyakit, model ini menekankan perlunya analis dan
pemahaman masing-masing komponen. Penyakit dapat terjadi karena adanya ketidak
seimbangan antar ketiga komponen tersebut. Model ini lebih di kenal dengan model triangle
epidemiologi atau triad epidemilogi dan cocok untuk menerangkan penyebab penyakit infeksi
sebab peran agent (yakni mikroba) mudah di isolasikan dengan jelas dari lingkungan.
A. Host
Host atau pejamu adalah manusia atau hewan hidup, termasuk burung dan arthropoda
yang dapat memberikan tempat tinggal dalam kondisi alam. Manusia merupakan reservoar
untuk penularan kuman Mycobacterium tuberculosis, kuman tuberkulosis menular melalui
droplet nuclei. Seorang penderita tuberkulosis dapat menularkan pada 10-15 orang (Depkes
RI, 2002).
Host untuk kuman tuberkulosis paru adalah manusia dan hewan, tetapi host yang
dimaksud disini adalah manusia. Beberapa faktor host yang mempengaruhi penularan
penyakit tuberkulosis paru adalah :
1. Jenis kelamin
Beberapa penelitian menunjukan bahwa laki-laki sering terkena TB paru dibandingkan
perempuan. Hal ini terjadi karena laki-laki memiliki aktivitas yang lebih tinggi dibandingkan
perempuan sehingga kemungkinan terpapar lebih besar pada laki-laki (dalam Sitepu, 2009).
2. Umur
Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu
15-50 tahun (Kementrian Kesehatan RI,2010). Karena Pada usia produktif selalu dibarengi
dengan aktivitas yang meningkat sehingga banyak berinteraksi dengan kegiatan kegiatan
yang banyak pengaruh terhadap resiko tertular penyakit TB paru.
3. Kondisi sosial ekonomi
WHO 2003 menyebutkan 90% penderita tuberkulosis paru di dunia menyerang kelompok
dengan sosial ekonomi lemah atau miskin (dalam Fatimah,2008). Penurunan pendapatan
dapat menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam memenuhi konsumsi makanan
sehingga akan berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status gizi buruk maka akan
menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun sehingga memudahkan terkena infeksi TB
Paru.
4. Kekebalan
Kekebalan dibagi menjadi dua macam, yaitu : kekebalan alamiah dan buatan. Kekebalan
alamiah didapatkan apabila seseorang pernah menderita tuberkulosis paru dan secara alamiah
tubuh membentuk antibodi, sedangkan kekebalan buatan diperoleh sewaktu seseorang diberi
vaksin BCG (Bacillis Calmette Guerin). Tetapi bila kekebalan tubuh lemah maka kuman
tuberkulosis paru akan mudah menyebabkan penyakit tuberkulosis paru (Fatimah, 2008).
5. Status gizi
Apabila kualitas dan kuantitas gizi yang masuk dalam tubuh cukup akan berpengaruh pada
daya tahan tubuh sehingga tubuh akan tahan terhadap infeksi kuman tuberkulosis paru.
Namun apabila keadaan gizi buruk maka akan mengurangi daya tahan tubuh terhadap
penyakit ini, karena kekurangan kalori dan protein serta kekurangan zat besi, dapat
meningkatkan risiko tuberkulosis paru (dalam Sitepu, 2009).
6. Penyakit infeksi HIV
Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sitem daya tahan tubuh seluler (cellular
immunity) sehingga jika terjadi infeksi oportunistik seperti tuberkulosis, maka yang
bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang
terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita tuberkulosis paru akan meningkat, dengan
demikian penularan tuberkulosis paru di masyarakat akan meningkat pula.
B. Agen
Agen adalah faktor esensial yang harus ada agar penyakit dapat terjadi. Agent dapat
berupa benda hidup, tidak hidup, energi, sesuatu yang abstrak, suasana sosial, yang dalam
jumlah yang berlebih atau kurang merupakan penyebab utama/esensial dalam terjadinya
penyakit (Soemirat, 2010).
Agent yang mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis adalah kuman
Mycobacterium tuberculosis. Agent ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
pathogenitas, infektifitas dan virulensi.
1. Pathogenitas adalah daya suatu mikroorganisme untuk menimbulkan penyakit pada host.
Pathogenitas kuman tuberkulosis paru termasuk pada tingkat rendah.
2. Infektifitas adalah kemampuan mikroba untuk masuk ke dalam tubuh host dan
berkembangbiak di dalamnya. Berdasarkan sumber yang sama infektifitas kuman
tuberkulosis paru termasuk pada tingkat menengah.
3. Virulensi adalah keganasan suatu mikroba bagi host. Berdasarkan sumber yang sama
virulensi kuman tuberkulosis termasuk tingkat tinggi.
C. Environment
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar dari host (pejamu), baik benda
tidak hidup, benda hidup, nyata atau abstrak, seperti suasana yang terbentuk akibat interaksi
semua elemen-elemen tersebut, termasuk host yang lain (Soemirat, 2010). Faktor lingkungan
memegang peranan penting dalam penularan, terutama lingkungan rumah yang tidak
memenuhi syarat. Lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang memberikan
pengaruh besar terhadap status kesehatan penghuninya (Notoatmodjo, 2003). Adapun syarat-
syarat yang dipenuhi oleh rumah sehat secara fisiologis yang berpengaruh terhadap kejadian
tuberkulosis paru antara lain :
1. Lingkungan yang tidak sehat (kumuh) sebagai salah satu reservoir atau tempat baik dalam
menularkan penyakit menular seperti penyakit tuberkulosis. Peranan faktor lingkungan
sebagai predisposing artinya berperan dalam menunjang terjadinya penyakit pada manusia,
misalnya sebuah keluarga yang berdiam dalam suatu rumah yang berhawa lembab di daerah
endemis penyakit tuberkulosis. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan tempat percikan
dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,
sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman (Keman, 2005) .
2. Kepadatan Penghuni Rumah
Ukuran luas ruangan suatu rumah erat kaitannya dengan kejadian tuberkulosis paru.
Disamping itu Asosiasi Pencegahan Tuberkulosis Paru Bradbury mendapat kesimpulan
secara statistik bahwa kejadian tuberkulosis paru paling besar diakibatkan oleh keadaan
rumah yang tidak memenuhi syarat pada luas ruangannya. Semakin padat penghuni rumah
akan semakin cepat pula udara di dalam rumah tersebut mengalami pencemaran. Karena
jumlah penghuni yang semakin banyak akan berpengaruh terhadap kadar oksigen dalam
ruangan tersebut, begitu juga kadar uap air dan suhu udaranya. Dengan meningkatnya kadar
CO2 di udara dalam rumah, maka akan memberi kesempatan tumbuh dan berkembang biak
lebih bagi Mycobacterium tuberculosis. Dengan demikian akan semakin banyak kuman yang
terhisap oleh penghuni rumah melalui saluran pernafasan. Menurut Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, kepadatan penghuni diketahui dengan membandingkan luas lantai rumah
dengan jumlah penghuni, dengan ketentuan untuk daerah perkotaan 6 m² per orang daerah
pedesaan 10 m² per orang.
3. Kelembaban Rumah
Kelembaban udara dalam rumah minimal 40% – 70 % dan suhu ruangan yang ideal antara
18C – 30C. Bila kondisi suhu ruangan tidak optimal, misalnya terlalu panas akan
berdampak pada cepat lelahnya saat bekerja dan tidak cocoknya untuk istirahat. Sebaliknya,
bila kondisinya terlalu dingin akan tidak menyenangkan dan pada orang-orang tertentu dapat
menimbulkan alergi.
Hal ini perlu diperhatikan karena kelembaban dalam rumah akan mempermudah
berkembangbiaknya mikroorganisme antara lain bakteri spiroket, ricketsia dan virus.
Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara ,selain itu kelembaban
yang tinggi dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering seingga kurang
efektif dalam menghadang mikroorganisme. Kelembaban udara yang meningkat merupakan
media yang baik untuk bakteri-baktri termasuk bakteri tuberkulosis (Keman, 2005).
Kelembaban di dalam rumah dapat disebabkan oleh tiga faktor, yaitu :
a. Kelembaban yang naik dari tanah ( rising damp )
b. Merembes melalui dinding ( percolating damp )
c. Bocor melalui atap ( roof leaks )
Untuk mengatasi kelembaban, maka perhatikan kondisi drainase atau saluran air di sekeliling
rumah, lantai harus kedap air, sambungan pondasi dengan dinding harus kedap air, atap tidak
bocor dan tersedia ventilasi yang cukup.
4. Ventilasi
Jendela dan lubang ventilasi selain sebagai tempat keluar masuknya udara juga sebagai
lubang pencahayaan dari luar, menjaga aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar.
Menurut indikator pengawasan rumah , luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah
= 10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah <
10%luas lantai rumah. Luas ventilasi rumah yang < 10% dari luas lantai (tidak memenuhi
syarat kesehatan) akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksien dan bertambahnya
konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya. Disamping itu, tidak
cukupnya ventilasi akan menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya
proses penguapan cairan dai kulit dan penyerapan. Kelembaban ruangan yan tinggi akam
menjadi media yang baik untuk tumbuh dan berkembangbiaknya bakteri-bakteri patogen
termasuk kuman tuberkulosis. Tidak adanya ventilasi yang baik pada suatu ruangan semakin
membahayakan kesehatan atau kehidupan, jika dalam ruangan tersebut terjadi pencemaran
oleh bakteri seperti oleh penderita tuberkulosis atau berbagai zat kimia organik atau
anorganik.
Ventilasi berfungsi juga untuk membebaskan uadar ruangan dari bakteri-bakteri, terutama
bakteri patogen seperti tuberkulosis, karenadi ventilasi selalu terjadi aliran udara yang terus
menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Selain itu, luas ventilasi
yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan terhalangnya proses pertukaran
udara dan sinar matahari yang masuk ke dalam rumah, akibatnya kuman tuberkulosis yang
ada di dalam rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap bersama udara pernafasan (Keman,
2005).
5. Pencahayaan Sinar Matahari
Cahaya matahari selain berguna untuk menerangi ruang juga mempunyai daya untuk
membunuh bakteri. Sinar matahari dapat dimanfaatkan untuk pencegahan penyakit
tuberkulosis paru, dengan mengusahakan masuknya sinar matahari pagi ke dalam rumah.
Cahaya matahari masuk ke dalam rumah melalui jendela atau genteng kaca. Diutamakan
sinar matahari pagi mengandung sinar ultraviolet yang dapat mematikan kuman.
Kuman tuberkulosis dapat bertahan hidup bertahun-tahun lamanya, dan mati bila terkena
sinar matahari , sabun, lisol, karbol dan panas api. Rumah yang tidak dapat di masuki sinar
matahari maka penguninya mempunyai resiko menderita tuberkulosis 3-7 kali dibandingkan
dengan rumah yang dapat dimasuki sinar matahari.
6. Lantai rumah
Komponen yang harus dipenuhi rumah sehat memiliki lantai kedap air dan tidak lembab.
Jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian Tuberkulosis paru, melalui
kelembaban dalam ruangan. Lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban, pada musim
panas lantai menjadi kering sehingga dapat menimbulkan debu yang berbahaya bagi
penghuninya.
7. Dinding
Dinding berfungsi sebagai pelindung, baik dari gangguan hujan maupun angin serta
melindungi dari pengaruh panas dan debu dari luar serta menjaga kerahasiaan (privacy)
penghuninya. Beberapa bahan pembuat dinding adalah dari kayu, bambu, pasangan batu bata
atau batu dan sebagainya. Tetapi dari beberapa bahan tersebut yang paling baik adalah
pasangan batu bata atau tembok (permanen) yang tidak mudah terbakar dan kedap air
sehingga mudah dibersihkan (Keman, 2005).

D. Hubungan Host, Agen, dan Environment


Dari keseluruhan unsur di atas, di mana hubungan interaksi antara satu dengan yang
lainnya akan menentukan proses dan arah dari proses kejadian penyakit, baik pada
perorangan, maupun dalam masyarakat. Dengan demikian maka terjadinya suatu penyakit
tidak hanya di tentukan oleh unsur penyebab semata, tetapi yang utama adalah bagaimana
rantai penyebab dan hubungan sebab akibat di pengaruhi oleh berbagai faktor maupun unsur
lainnya. Oleh karena itu, dalam setiap proses terjadinya penyakit, selalu memikirkan adanya
penyebab jamak (multiple causational). Hal ini sangat mempengaruhi dalam menetapkan
program pencegahan maupun penanggulangan penyakit tertentu. Usaha tersebut akan
memberikan hasil yang di harapkan bila dalam perencanaannya memperhitungkan berbagai
unsur di atas (Noor, 2008).
Keterangan : A = Agen/penyebab penyakit,
H = Host/penjamu/populasi beresiko tinggi, dan
E = Environment/Lingkungan.

Keadaan pertama merupakan kondisi Sehat, keadaan seimbang H, A & E. Interaksi


antara ketiga unsur tersebut harus dipertahankan keadaan keseimbangannya. Apabila terjadi
gangguan keseimbangan antara ketiganya, akan menyebabkan timbulnya penyakit tertentu.
Pada keadaan normal, kondisi keseimbangan proses interaksi tersebut dapat dipertahankan.
Dalam interaksinya, terdapat empat keadaan yang memungkinkan terjadinya keadaan
sakit, yaitu:
1. Keadaan ke-2
Sakit, karena adanya peningkatan A infeksius (contoh : peningkatan infeksius bakteri
Mycobacterium tuberculosis). Kasus pada keadaan pertama merupakan adanya pemberatan
agen terhadap keseimbangan segitiga epidemiologi sehingga diartikan sebagai agen/penyebab
penyakit mendapat kemudahan menimbulkan penyakit pada host. Mycobacterium
Tuberkulosis dapat tahan hidup diudara kering maupun dalam keadaan dingin, atau dapat
hidup bertahun-tahun dalam lemari es. Ini dapat terjadi apabila kuman berada dalam sifat
dormant (tidur). Pada sifat dormant ini kuman tuberkulosis suatu saat dimana keadaan
memungkinkan untuk dia berkembang, kuman ini dapat bangkit kembali. Infektifitas bakteri
Mycobacterium tuberculosis meningkat dan tingkat virulensi yang tinggi menyebabkan
cepatnya perkembangbiakan bakteri, sehingga apabila terinfeksi maka kemungkinan besar
sebagian besar masyarakat dapat tertular dan akan sakit, atau keseimbangan akan terganggu.
2. Keadaan ke-3
Sakit, karena peningkatan susceptibility pada populasi (contoh : peningkatan jumlah anak
rentan TB karena tidak di imunisasi BCG). Pada kasus ini, host menjadi pemberat dalam
keseimbangan segitiga epidemiologi. Keadaan seperti ini menyebabkan host menjadi lebih
peka terhadap suatu penyakit. Misalnya apabila jumlah penduduk menjadi muda atau atau
proporsi jumlah penduduk balita bertambah besar, maka sebagian besar populasi menjadi
lebih peka terhadap penyakit TB, namun apabila host tidak mendapat imunisasi BCG saat
balita maka akan mudah terserang penyakit TB anak maupun dewasa, dan mengakibatkan
sakit atau keseimbangan terganggu.
3. Keadaan ke-4
Sakit, karena perubahan E yang menguntungkan A (contoh : bencana tsunami). Pada kasus
ini terjadi pergeseran kualitas lingkungan sedemikian rupa sehingga memudahkan agen
memasuki tubuh host dan menimbulkan penyakit. Contohnya ketika terjadi banjir di suatu
wilayah yang menyebabkan air kotor yang mengandung kuman penyakit (agen) berkontak
dengan masyarakat, sehingga agen lebih mudah memasuki mereka yang kebanjiran. Banjir
tersebut menyebabkan lingkungan menjadi tidak sehat dan kumuh sehingga menjadi
tempat baik dalam menularkan penyakit menular seperti penyakit tuberkulosis dan masuk
dalam tubuh host kemudian menyebabkan sakit atau keseimbangan terganggu.
4. Keadaan ke-5
Sakit, karena perubahan E yang menyebabkan turunnya daya tahan tubuh A (contoh : polusi
udara). Sama dengan keadaan ke-4, ketidak seimbangan terjadi karena pergerseran kualitas
lingkungan, hanya sekarang mengakibatkan host menjadi lebih peka terhadap agen.
Contohnya ketika terjadi pencemaran udara yang menyebabkan saluran udara paru-paru
populasi menyempit, namun akibatnya ialah paru-paru kekurangan oksigen, dan menjadi
lemah, dan ditambah dengan terpapar bakteri tuberkulosis sehingga menyebabkan terjadinya
sakit TB dan komplikasi-komplikasi lainnya.

III. Riwayat Alamiah Penyakit


Riwayat alamiah penyakit (natural history of disease) adalah deskripsi tentang perjalanan
waktu dan perkembangan penyakit pada individu, dimulai sejak terjadinya paparan dengan
agen kausal hingga terjadinya akibat penyakit, seperti kesembuhan atau kematian, tanpa
terinterupsi oleh suatu intervensi preventif maupun terapetik. Tahapan riwayat alamiah
penyakit Tuberkulosis adalah sebagai berikut.
A. Tahap Peka/ Rentan/ Pre pathogenesis
Pada tahap ini telah terjadi interaksi antara pejamu dengan bibit penyakit. Tetapi
interaksi ini masih diluar tubuh manusia, dalam arti bibit penyakit berada di luar tubuh
manusia dan belum masuk kedalam tubuh pejamu. Pada keadaan ini belum ditemukan adanya
tanda – tanda penyakit dan daya tahan tubuh pejamu masih kuat dan dapat menolak penyakit.
Keadaan ini disebut sehat.
Risiko terinfeksi tuberkulosis sebagian besar adalah faktor risiko eksternal, terutama
adalah faktor lingkungan seperti rumah tak sehat, pemukiman padat dan kumuh. Sedangkan
risiko menjadi sakit tuberkulosis, sebagian besar adalah faktor internal dalam tubuh penderita
sendiri yang disebabkan oleh terganggunya sistem kekebalan dalam tubuh penderita seperti
kurang gizi, infeksi HIV/AIDS, dan pengobatan dengan immunosupresan.
B. Tahap Pra gejala/Masa Inkubasi/ Sub-Klinis
Pada tahap ini telah terjadi infeksi, tetapi belum menunjukkan gejala dan masih belum
terjadi gangguan fungsi organ. Pada penyakit Tuberkulosis paru sumber infeksi adalah
manusia yang mengeluarkan basil tuberkel dari saluran pernapasan, kontak yang rapat
(misalnya dalam keluarga) pasien TB dapat mengeluarkan kuman TB dalam bentuk droplet
yang infeksius ke udara pada waktu pasien TB tersebut batuk (sekitar 3.000 droplet) dan
bersin (sekitar 1 juta droplet). Droplet tersebut dengan cepat menjadi kering dan menjadi
partikel yang sangat halus di udara. Ukuran diameter droplet yang infeksius tersebut hanya
sekitar 1 – 5 mikron. Pada umumnya droplet yang infeksius ini dapat bertahan dalam
beberapa jam sampai beberapa hari. Pada keadaan gelap dan lembab kuman TB dalam
droplet tersebut dapat hidup lebih lama sedangkan jika kena sinar matahari langsung (sinar
ultra-violet) maka kuman TB tersebut akan cepat mati. Pasien TB yang tidak diobati maka
setelah 5 tahun akan: 50% meninggal, 30% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh
yang tinggi, dan 20% menjadi kasus kronik yang tetap menular (Nadia dan Donaldo, 2003).
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman tuberkulosis,
droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya sehingga dapat melewati sistem pertahanan
mukosillier bronkus,dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap disana.
Infeksi dimulai saat kuman tuberkulosis paru berhasil berkembang biak dengan cara
pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan didalam paru, saluran limfe di
sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai komplek primer. Waktu antara terjadinya infeksi
sampai pembentukan komplek primer adalah 4-6 minggu.
Infeksi TB dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberculin dari negatif
menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan
besarnya respon daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman
tuberkulosis. Meskipun demikian ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman
persistent atau dormant (tidur), kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan
perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi
penderita tuberkulosis paru. Masa inkubasinya yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi
sampai menjadi sakit, diperkirakan selama 6 bulan.
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya
yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat
mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis
non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup
menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag
tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag.
Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni
di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer
GOHN.
Dari focus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe
regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi focus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika focus primer terletak di lobus paru bawah atau
tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika
focus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks
primer merupakan gabungan antara focus primer, kelenjar limfe regional yang membesar
(limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks
primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian
masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman
hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8
minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman
tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang
respons imunitas seluler.
C. Tahap Klinis (stage of clinical disease)
Tahap klinis merupakan kondisi ketika telah terjadi perubahan fungsi organ yang
terkena dan menimbulksn gejala. Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum
dan gejala khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis
tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan
diagnosa secara klinik.
1. Gejala sistemik/umum:
a. Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah)
b. Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai
keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul
c. Penurunan nafsu makan dan berat badan
d. Perasaan tidak enak (malaise), lemah
2. Gejala khusus:
a. Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus
(saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar,
akan menimbulkan suara “mengi”, suara nafas melemah yang disertai sesak.
b. Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan
sakit dada.
c. Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat
dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar
cairan nanah.
d. Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai
meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan
kesadaran dan kejang-kejang.
Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat terdeteksi kalau
diketahui adanya kontak dengan pasien TBC dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang kontak
dengan penderita TBC paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia 3
bulan – 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita TBC paru dewasa dengan BTA
positif, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan pemeriksaan serologi/darah.
Gejala klinis pada penyakit Tuberculosis dibagi menjadi dua yaitu:
1. Gejala klinik
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala
sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratori (gejala
lokal sesuai organ yang terlibat), dimana gejala tersebut adalah batuk lebih dari 3 minggu,
batuk berdarah, sesak nafas dan nyeri pada bagian dada. Gejala ini sangat bervariasi:
tegantung dari berat atau tidaknya luas lesi yang ditimbulkan oleh kuman tersebut. Gejala
Sistemik, dapat berupa demam, keringat malam, anoreksia, dan berat badan menurun.
2. Gejala tuberkulosis ekstra paru, misalnya pada lifadenitis tuberkulosis akan terjadi
pembesaran pada organ limfa, pada meningitis tuberkulosis akan terlihat gejala meningitis,
sesuai dengan organ yang terserang (Herlina, 2007).
D. Tahap Penyakit Lanjut/ Ketidakmampuan.
Tahap Penyakit Lanjut/ Ketidakmampuan merupakan tahap saat akibat dari penyakit mulai
terlihat. Pasien yang menderita penyakit Tuberkulosis semakin bertambah parah dan
penderita tidak dapat melakukan pekerjaan sehingga memerlukan perawatan (bad rest).
E. Tahap Terminal (Akhir Penyakit)
Perjalanan penyakit pada suatu saat akan berakhir. Berakhirnya perjalanan penyakit
tersebut dapat berada dalam lima keadaan, yaitu : sembuh sempurna, sembuh dengan cacad
(fisik, fungsional, dan social), karier, penyakit berlangsung kronik, berakhir dengan kematian.
Menurut Depkes RI (2008), Riwayat alamiah penyakit Tuberkulosis, apabila tidak
mendapatkan pengobatan sama sekali, dalam kurun waktu lima tahun adalah sebagai berikut:
a. Pasien 50 % meninggal
b. 25% akan sembuh dengan daya tahan tubuh yang tinggi
c. 25 % menjadi kasus kronik yang tetap menular (Herlina, 2007).

IV. Pencegahan Penyakit


Upaya pencegahan adalah upaya kesehatan yang dimaksudkan agar setiap orang
terhindar dari terjangkitnya suatu penyakit dan dapat mencegah terjadinya penyebaran
penyakit. Tujuannya adalah untuk mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi
timbulnya penyakit yaitu penyebab penyakit (agent), manusia atau tuan rumah (host) dan
faktor lingkungan (environment) (Notoatmodjo, 2007).
Dalam epidemiologi, pencegahan dibagi menjadi 3 tingkatan sesuai dengan perjalanan
penyakit meliputi, pencegahan primer, pencegahan sekunder dan pencegahan tersier.
Pencegahan tingkat pertama atau pencegahan primer merupakan upaya untuk
mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi
sakit. Upaya pencegahan primer yaitu pencegahan umum (mengadakan pencegahan pada
masyarakat umum contohnya pendidikan kesehatan masyarakat dan kebersihan lingkungan)
dan pencegahan khusus (ditujukan pada orang-orang yang mempunyai resiko terkena
penyakit). Pencegahan tingkat kedua atau pencegahan sekunder merupakan upaya manusia
untuk mencegah orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit,
menghindarkan komplikasi dan mengurangi ketidakmampuan. Pencegahan sekunder ini
dapat dilakukan dengan cara mendeteksi penyakit secara dini dan mengadakan pengobatan
yang cepat dan tepat. Pencegahan tingkat ketiga atau pencegahan tersier dimaksudkan untuk
mengurangi ketidakmampuan dan mengadakan rehabilitasi. Upaya pencegahan tersier ini
dapat dilakukan dengan cara memaksimalkan fungsi organ yan cacat, membuat protesa
ekstremitas akibat amputasi dan mendirikan pusat-pusat rehabilitasi medik (Budiarto, 2002).
Menurut Leavell & Clark dalam bukunya “Preventive Medicine for The Doctor in his
Community” membagi usaha pencegahan penyakit yang dapat dilakukan pada masa sebelum
sakit dan pada masa sakit. Usaha-usaha tersebut adalah sebagai berikut:
A. Masa sebelum sakit (pre patogenesis phase)
1. Mempertinggi nilai kesehatan (Health Promotion).
Merupakan suatu usaha pencegahan penyakit melalui usaha mengatasi atau mengontrol
faktor-faktor risiko (risk factors) dengan sasaran utamanya orang sehat melalui usaha
peningkatan derajat kesehatan secara umum (promosi kesehatan). Usaha peningkatan derajat
kesehatan (health promotion) atau pencegahan umum yakni meningkatkan derajat kesehatan
perorangan dan masyarakat secara optimal, mengurangi peranan, penyebab dan derajat risiko
serta meningkatkan lingkungan yang sehat secara optimal (Noor, 2008).
2. Memberikan perlindungan khusus terhadap sesuatu penyakit (spesific protection).
Adapun sasaran pencegahan tingkat pertama ini dapat pula ditujukan pada faktor penjamu
seperti perbaikan gizi, pemberian imunisasi, peningkatan kehidupan sosial dan psikologis
individu dan masyarakat serta peningkatan ketahanan fisik individu. Usaha ini merupakan
tindakan terhadap pencegahan penyakit-penyakit tertentu seperti pemberian imunisasi dasar,
pemberian vitamin A, tablet penambah zat besi, Isolasi penderita penyakit menular (misalnya
isolasi penderita Tuberkulosis), Perlindungan kerja terhadap bahan berbahaya (hazard
protection)
Perlindungan khusus terhadap penyakit Tuberkulosis dilakukan dengan beberapa cara
sebagai berikut:
a. Status sosial ekonomi rendah yang merupakan faktor menjadi sakit, seperti kepadatan
hunian, dengan meningkatkan pendidikan kesehatan.
b. Tersedia sarana-sarana kedokteran, pemeriksaan penderita, kontak atau suspect gambas,
sering dilaporkan, pemeriksaan dan pengobatan dini bagi penderita, kontak, suspect,
perawatan.
c. Pengobatan preventif, diartikan sebagai tindakan keperawatan terhadap penyakit inaktif
dengan pemberian pengobatan INH sebagai pencegahan.
d. Imunisasi BCG, vaksinasi, diberikan pertama-tama kepada bayi dengan perlindungan bagi
ibunya dan keluarhanya. Diulang 5 tahun kemudian pada 12 tahun ditingkat tersebut berupa
tempat pencegahan.
e. Memberantas penyakti TB pada pemerah air susu dan tukang potong sapi, dan pasteurisasi
air susu sapi.
f. Tindakan mencegah bahaya penyakit paru kronis karean menghirup udara yang tercemar
debu para pekerja tambang, pekerja semen dan sebagainya.
g. Pemeriksaan bakteriologis dahak pada orang dengan gejala TB paru.
h. Pemeriksaan screening dengan tubercullin test pada kelompok beresiko tinggi, seperti para
emigrant, orang-orang kontak dengan penderita, petugas dirumah sakit, petugas/guru
disekolah, petugas foto rontgen.
i. Pemeriksaan foto rontgen pada orang-orang yang positif dari hasil pemeriksaan Tuberculin
test.
Bila sasaran ditujukan pada unsur penyebab maka usaha diutamakan dalam
mengurangi atau menghilangkan sumber penyebab penularan penyakit Tuberkulosis dan
menghindari atau mengurangi setiap faktor, terutama faktor perilaku yang dapat
memperbesar tingkat risiko penularan penyakit Tuberkulosis. Untuk penyakit menular
dengan sasaran khusus ditujukan pada penyebab kausal seperti desinfeksi, sterilisasi,
pasteurisasi, karantina, dan lain-lain. Sedangkan untuk penyakit tidak menular (bukan
infeksi) dengan jalan menghilangkan sumber alergen, sumber keracunan, dan sumber
pencemaran kimiawi maupun radiasi (Noor, 2008).
Bila sasaran ditujukan pada lingkungan maka sasarannya dapat ditujukan pada
lingkungan fisik seperti rumah sehat dan lingkungan bersih. Juga sasaran dapat dilakukan
terhadap lingkungan biologis seperti pemberantasan kuman atau bakteri. Atau ditujukan pada
lingkungan sosial melalui perbaikan dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat (Noor,
2008).
B. Masa sakit (patogenesis phase)
3. Mengenal dan mengetahui penyakit pada tingkat awal serta mengadakan pengobatan
yang tepat dan segera (Early diagnosis & Promt Treatment).
Diagnosis Awal dan Pengobatan tepat (Early Diagnosis and Prompt Treatment) memiliki
tujuan utama yaitu :
a. Pengobatan yang setepat-tepatnya dan secepat-cepatnya dari setiap jenis penyakit sehingga
terjadi penyembuhan yang sempurna dan segera
b. Pencegahan penularan kepada orang lain bila penyakitnya menular
c. Mencegah terjadinya kecacatan yang diakibatkan suatu penyakit.
Beberapa diantaranya dengan melakukan:
a. Screening (Penyaringan)
b. Pejejakan kasus (Case Finding)
c. Pemeriksaan khusus (laboratorium dan tes)
d. Pemberian obat yang rational dan efektif
Usaha pengobatan yang terlambat dapat mengakibatkan usaha penyembuhan menjadi
lebih sulit, bahkan mungkin tidak dapat sembuh lagi misalnya pengobatan kanker
(neoplasma) yang terlambat, kemungkinan terjadinya kecacatan akan lebih besar, penderitaan
dari penderita sakit akan lebih lama, biaya untuk perawatan dan pengobatan menjadi lebih
besar.
a. Diagnosis Awal
1) Penemuan Penderita Tuberkulosis Pada Orang Dewasa
Penemuan penderita TB Paru dilakukan secara pasif, artinya penjaringan tersangka
penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan.
Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas
kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita.
Cara ini biasa dikenal dengan sebutan passive promotive case finding (penemuan penderita
secara pasif dengan promosi aktif).
Selain itu, semua kontak penderita TB Paru BTA positif dengan gejala sama, harus
diperiksa dahaknya. Seorang petugas kesehatan diharapkan menemukan tersangka penderita
sedini mungkin, mengingat tuberkulosis adalah penyakit menular yang dapat mengakibatkan
kematian. Semua tersangka penderita harus diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari
berturut-turut, yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS).
2) Diagnosis Tuberkulosis Paru Pada Orang Dewasa
Diagnosis TB paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada
pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila
sedikitnya dua tiga spesimen SPS BTA hasilnya positif. Bila hanya 1 yang positif perlu
diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau emeriksan dahak SPS diulang.
a) Kalau hasil rontgen mendukung TB Paru, maka penderita didiagnosis sebagai penderita TB
Paru BTA positif.
b) Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB Paru. Maka pemeriksaan dahak SPS diulangi.
Apabila fasilitas memungkinkan, maka dapat dilakukan pemeriksaan lain, misalnya
biakan. Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, diberikan antibiotik spektrum luas
(misalnya kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1 – 2 minggu. Bila tidak ada perubahan,
namun gejala klinis tetap mencurigakan TB Paru, ulangi pemeriksaan dahak SPS.
a) Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita TB Paru BTA positif.
b) Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada, untuk mendukung
diagnosis TB Paru.
i. Bila hasil rontgen mendukungTB Paru, didiagnosis sebagai
penderita TB Paru BTA negatif Rontgen positif.
ii. Bila hasil rontgen tidak mendukung TB Paru, penderita tersebut
bukan TB Paru.
UPK yang tidak memiliki fasilitas rontgen, penderita dapat dirujuk untuk foto rontgen
dada (Werdhani, 2009).
3) Uji Tuberkulin
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan yang paling bermanfaat untuk
menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis dan sering digunakan
dalam “Screening TBC”. Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC dengan uji tuberkulin
adalah lebih dari 90%. Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita TBC aktif uji
tuberkulin positif 100%, umur 1–2 tahun 92%, 2–4 tahun 78%, 4–6 tahun 75%, dan umur 6–
12 tahun 51%. Dari persentase tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar usia anak maka
hasil uji tuberkulin semakin kurang spesifik.
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara mantoux
lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas lengan
bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin
dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi)
yang terjadi:
a) Pembengkakan (Indurasi) : 0–4mm, uji mantoux negatif. Arti klinis : tidak ada infeksi
Mycobacterium tuberculosis.
b) Pembengkakan (Indurasi) : 5–9mm, uji mantoux meragukan. Hal ini bisa karena kesalahan
teknik, reaksi silang dengan Mycobacterium atypikal atau pasca vaksinasi BCG.
c) Pembengkakan (Indurasi) : 10mm, uji mantoux positif. Arti klinis: sedang atau pernah
terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.
b. Pengobatan Tuberkulosis
Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi
kuman terhadap OAT. Mikobakteri merupakan kuman tahan asam yang sifatnya berbeda
dengan kuman lain karena tumbuhnya sangat lambat dan cepat sekali timbul resistensi bila
terpajan dengan satu obat.
Umumnya antibiotika bekerja lebih aktif terhadap kuman yang cepat membelah
dibandingkan dengan kuman yang lambat membelah. Sifat lambat membelah yang dimiliki
mikobakteri merupakan salah satu faktor yang menyebabkan perkembangan penemuan obat
antimikobakteri baru jauh lebih sulit dan lambat dibandingkan antibakteri lain (Werdhani,
2009).
Obat yang digunakan untuk tuberkulosis digolongkan atas dua kelompok yaitu
kelompok pertama dan kelompok kedua. Kelompok obat pertama yaitu rifampisin, isoniazid,
pirazinamid, etambutol dan streptomisin. Kelompok obat ini memperlihatkan efektivitas yang
tinggi dengan toksisitas yang dapat diterima (Depkes RI, 2006).
4. Pembatasan kecacatan dan berusaha untuk menghilangkan gangguan kemampuan
bekerja yang diakibatkan sesuatu penyakit (Disability Limitation).
Disability Limitation atau pembatasan kecacatan dan berusaha untuk
menghilangkan gangguan kemampuan berfikir dan bekerja yang diakibatkan suatu masalah
kesehatan dan penyakit. Usaha ini merupakan lanjutan dari usah early diagnosis and promotif
treatment yaitu dengan pengobatan dan perawatan yang sempurna agar penderita sembuh
kembali dan tidak cacat (tidak terjadi komplikasi). Bila sudah terjadi kecacatan maka dicegah
agar kecacatan tersebut tidak bertambah berat dan fungsi dari alat tubuh yang cacat ini
dipertahankan semaksimal mungkin (Antika, 2011). Berbagai cara dalam melakukan
Disability Limitation atau pembatasan kecacatan diantaranya adalah:
a. Pembatasan kecacatan (dissability limitation)
1) Pencegahan terhadap komplikasi dan kecacatan.
2) Pengadaan dan peningkatan fasilitas kesehatan dengan melakukan pemerikasaan lanjut yang
lebih akurat seperti pemeriksaan laboratorium dan pemerikasaan penunjang lainnya agar
penderita dapat sembuh dengan baik dan sempurna tanpa ada komplikasi lanjut. Serta sejak
dini semua kekuatan pembangunan harus dilibatkan dalam upaya mengembangkan pola
hidup sehat sejahtera, disamping harus ada penanganan yang sangat profesional pada mereka
yang terkena suatu penyakit, strategi yang dikembangkan di Indonesia, terutama karena
masyarakat yang awam dan sangat rendah kesadarannya dalam bidang kesehatan, harus
secara jelas dan tegas bersifat komprehensif. Untuk mengembangkan strategi dengan target-
target yang jelas dan terarah perlu dilakukan penelitian epidemiologi suatu penyakit yang
benar dan tepat.
3) Penyempurnaan pengobatan agar tidak terjadi komplikasi
b. Masyarakat diharapkan mendapatkan pengobatan yang tepat dan benar oleh tenaga kesehatan
agar penyakit yang dideritanya tidak mengalami komplikasi. Selain itu untuk mencegah
terjadinya komplikasi maka penderita yang dalam tahap pemulihan, dianjurkan untuk
berkunjung ke fasilitas kesehatan secara rutin untuk melakukan pemeriksaan rutin agar
penderita sembuh secara sempurna (Antika, 2011).
Penanggulangan Tuberkulosis (TB) di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman
penjajahan Belanda namun terbatas pada kelompok tertentu. Setelah perang kemerdekaan,
TB ditanggulangi melalui Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru (BP-4). Sejak tahun 1969
penanggulangan dilakukan secara nasional melalui Puskesmas. Obat anti tuberkulosis (OAT)
yang digunakan adalah paduan standar INH, PAS dan Streptomisin selama satu sampai dua
tahun. Para Amino Acid (PAS) kemudian diganti dengan Pirazinamid. Sejak 1977 mulai
digunakan paduan OAT jangka pendek yang terdiri dari INH, Rifampisin dan Etambutol
selama 6 bulan (Suswati, 2007).
Berbagai variasi regimen telah diperkenalkan selama ini. Pada dasarnya semuanya
mengandung dua fase, yaitu fase awal intensif dan fase lanjutan. Fase awal intensif biasanya
diberikan sedikitnya 3 atau 4 obat, sedangkan fase lanjutan dapat diberikan 2 obat saja baik
setiap hari maupun intermitten. Pada tahun 1997 WHO telah membuat klasifikasi regimen
pengobatan pada berbagai keadaan penyakit TB (Suswati, 2007).
Tabel 1.Jenis dan Dosis OAT
Jenis Obat Sifat Dosis yang Direkomendasikan (mg/kg)
Harian 3x Seminggu
Isoniazid (H) Bakterisid 5 (4-5) 10 (8-12)
Rifampicin (R) Bakterisid 25 (20-30) 15 (12-18)
Pyrazinamide (Z) Bakterisid 15 (15-20) 10 (8-12)
Streptomycin (S) Bakterisid 10 (8-12) 35 (30-40)
Ethambutol (E) Bakteriostatik 15 (12-18) 30 (20-35)

Tabel 2. Dosis Untuk Paduan OAT Kategori II


Berat Badan Tahap intensif tiap hari RHZE (150/75/400/275)+S Tahap Lanjutan 3 kali
seminggu RH(150/150)+E(400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selam 20 minggu
30 – 37 Kg 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT
+500 mg streptomisin inj. +2 tab Etambutol

38 – 54 Kg 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT


+750 mg Streptomisin Inj. +Etambutol

55 – 70 Kg 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT


+1000mg streptomisin Inj. +4 tab Etambutol

271 Kg 5 tab 4KDT 5 tab 4KDT tab 2KDT +5 tab Etambutol


+1000 mg Streptomisin inj.

Tabel 3. Paduan OAT Kategori III

Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Etambulot Streptomi Jumlah


Pengobatan Pengob Isoniasid Rifampi Pirazinamid sin Inj hari/kali
atan @300 mgr sin @500 mgr menelan
(Bulan) @450 obat
mgr Tablet @250 Tablet
mgr @400 mgr
Tahap intensif 2 1 1 3 3 - 0,75 gr 56
(dosis harian) 1 1 1 3 3 - - 28
Thap lanjutan 4 2 1 - 1 2 - 60
(dosis 3%
seminggu)
Penderita yang menghentikan pengobatannya <2 minggu pengobatan OAT dapat
dilanjutkan sesuai jadwal. Jika penderita menghentikan pengobatannya ≥ 2 minggu :
a. Berobat ≥ 4 bulan, BTA negatif dan klinis, radiologis negatif OAT STOP
b. Berobat ≥ 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang
lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.
c. Berobat < 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang
sama.
d. Berobat < 4 bulan, berhenti berobat > 1 bulan, BTA negatif, akan tetapi klinis dan radiologis
positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama.
e. Berobat < 4 bulan, BTA negatif, berhenti berobat 2 – 4 minggu pengobatan dilanjutkan
kembali sesuai jadwal (Suswati, 2007).
5. Rehabilitasi (Rehabilitation).
Rehabilitasi adalah program yang dijalankan untuk membantu memulihkan orang
yang memiliki penyakit kronis baik dari fisik ataupun psikologisnya. Gangguan fisik dan
psikiatrik tidak hanya memerlukan tindakan medis khusus, tetapi juga membutuhkan sikap
simpatik. Dokter harus melakukan pendekatan yang akan membantu penderita ataupun pasien
untuk mengatasi gangguan fisik atau psikiatriknya dan menyadari potensi maksimal mereka
baik secara fisik, psikiatrik, dan sosial di dunia luar yang nyata. Jenis pendakatan ini semakin
dikenal dan membuat rehabilitasi menjadi bidang khusus yang terpisah di banyak rumah
sakit. Waktu yang akan dijalankan untuk rehabilitasi juga menentukan perbedaan perawatan
antar pasien ataupun penderita, dan pengobatan rawat jalan. Penderita atapun pasien yang
masuk pusat rehabilitasi biasanya menderita rendah diri atau kurangnya pandangan positif
terhadap kehidupan, dan oleh sebab itu psikologi dalam terapi ini memaikan peranan yang
besar dalam program rehabilitasi (David, 2009).
a. Edukasi
Edukasi merupakan proses rehabilitasi yang sangat penting. Pasien diberikan
pemahaman tentang penyakit dan pencegahan eksaserbasi, terapi (obat-obat) termasuk
program rehabilitasi serta target yang akan dicapai sehingga diharapkan pasien mematuhi
program. Edukasi juga berisi tentang teknik-teknik konservasi energi. Dengan begitu,
diharapkan pasien dapat menyederhanakan setiap aktivitasnya terutama yang berhubungan
dengan aktivitas kehidupan sehari-hari. Seperti berjalan, makan, mandi, berpakaian sampai
dengan aktivitas pekerjaanya (Goesasi, 2011).
b. Latihan dan Terapi Fisik
Latihan dasar dari program rehabilitasi secara umum, latihan terdiri dari latuhan
pernafasan dan latihan rekondisi. Jenis latihan pernafasan tergantung dari gangguan atau
restriktif. Selain itu , diajarkan juga teknik-teknik pernafasan untuk mendapatkan pola nafas
yang baik dan ventilasi yang maksimal. Macam-macam latihan pernafasan:
1) Latihan pernafasan diafragmatik untuk meningkatkan gerakan pengembangan dinding dada
2) Latihan pernafasan pursed lip untuk mengurangi kolaps paru, dyspneu dan frekuensi
pernafasan.
3) Latihan posisi tubuh tertentu untuk meningkatkan ventilasi dan relaksasi, misalnya duduk
dengan posisi tubuh mendatar ke depan (eaning forward).
4) Latihan rekondisi dilakukan untuk mempertahankan dan meningkatkan kebugaran fisik
terutama bagi penderita yang telah mengalami deconditioning. Latihan dapat berupa senam
ringan, latihan fleksibilitas (streching) dan kekuatan alat gerak atas dan bawah, latihan
cardiopulmonal endurance atau latihan khusus untuk otot-otot pernafasan. Intensitas latihan
dimulai dari yang paling ringan. Jenis latihan endurance dapat berupa berjalan, ergocycle
(sepeda statis) atau treadmill. Lama waktu setiap latihan adalah 30 menit dengan frekuensi
latihan minimal tiga kali seminggu (Goesasi, 2011).
c. Terapi Perilaku dan Psikososial
Gejala-gejala yang dialami pasien sekian lama akan menimbulkan kecemasan atau
depresi. Kondisi ini akan menambah berat kondisi dan berpotensi untuk membuat pasien
jatuh dalam keadaan deconditioning. Pemeriksaan khusus psikologis diperlukan untuk
penampisan kecemasan atau depresi. Bentuk terapi yang diperlukan dapat berupa edukasi
atau latihan seperti latihan relaksasi untuk mengurangi kecemasan maupun relaksasi otot-otot
pernafasan agar beban kerja berkurang dan tidak mudah terjadi fatigue. Penderita dapat lebih
percaya diri untuk melakukan aktivitas.
Depresi akan menghambat kepatuhan pasien terhadap program terutama untuk latihan
sehingga diperlukan suatu psikoterapi. Keluarga juga dapat terkena dampak dampak dari
ketidakmampuan penderita beraktivitas. Tenaga psikolog diharapkan dapat memberika
konseling, sehingga keluarga dapat memberikan dorongan kepada penderita. Terapi perilaku
dan psikososial (Goesasi, 2011).

DAFTAR PUSTAKA

Antika. 2011. Disability Limitation dan Rehabilitation. Jakarta.


Budiarto, Eko dan Dewi Anggraeni. 2002. Pengantar Epidemiologi Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan


Tuberkulosis. Cetakan ke 8. Jakarta. 2002. p 1-37.

David Arnot, dkk (2009). Pustaka kesehatan Populer Pengobatan Praktis: perawatan
Alternatif dan tradisional, volume 7. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer. hlm. 180

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan


Tuberkulosis. Jakarta

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1994. Pengawasan Kualitas Kesehatan


Lingkungan dan Pemukiman, Dirjen P2M & PLP. Jakarta

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Protokol Surveilans HIV diantara pasien
TB di Indonesia. Jakarta : Depkes RI, UGM, Asia Link, KNCV.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Pedoman Nasional Penanggulangan


Tuberkulosis. Edisi 2:cetakan II, Jakarta

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2001. Pedoman Nasional Penanggulangan


Tuberkulosis. Jakarta.

Fatimah Siti. 2008. Faktor Kesehatan Lingkungan Rumah Yang Berhubungan Dengan Kejadian Tb
Paru Di Kabupaten Cilacap (Kecamatan : Sidareja, Cipari, Kedungreja, Patimuan,
Gandrungmangu, Bantarsari) Tahun 2008 (Tesis). Program Pascasarjana FKM Undip
Semarang

Goesasi Rachmat, 2011. Rehabilitasi Medik Pada Penyakit Tb di Bandung. Jakarta: Rineka
Cipta.

Herlina, L. 2007. Tuberkulosis dan faktor risiko kejadian Multidrug ResistantTuberculosis


(MDR TB/Resistensi Ganda). Program Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat
Peminatan Epidemiologi Komunitas Universitas Padjadjaran.

Keman, Soedjajadi, 2005, Kesehatan Perumahan dan Lingkungan Pemukiman, Journal


Kesehatan Lingkungan , Vol. 2, No. 1, Juli 2005
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Penanggulangan TB.Jakarta

Leavell & Clark. 1965. Preventive Medicine for The omDoctor in his Comunity: An Epidemiologic
approach Third Edit. New York: Prentice-Hall Englewood Cliffs, NJ.

Nadia ait-Khaled and Donaldo Enarson. 2003. Tuberculosis, A Manual for medical students.
by WHO.

Noor. 2008. Dasar epidemiologi. Jakarta : Rineka cipta.

Notoatmodjo, S, 2003, Ilmu Kesehatan Masyarakat, Prinsip-prinsip Dasar. Pedoman


Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2, cetakan pertama.
Suswati, E. 2007. Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru di Kabupaten Jember.
Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Jember. Biomedis Vol.1
No.1. hal: 11-16

Sitepu, M.Y. 2009. Karakteristik Penderita TB Paru Relapse yang Berobat di Balai
Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan Tahun 2000-2007. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Medan. Soemirat, Juli, 2010, Epidemiologi
Lingkungan, Yogyakarta : Gajah Mada

TBCTA. 2006.International Standards for Tuberculosis Care : Diagnosis, Treatment, Public


Health. Tuberculosis Coalition for Technical Assistance (TBCTA).

Werdhani, RA. 2009. Patofisiologi, Diagnosis, Dan Klafisikasi Tuberkulosis. Departemen


Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga FKUI Uniersity Press

Widoyono. 2005. Penyakit Tropis; Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan


Pemberantasannya. Semarang : Erlangga.

Tuberkulosis paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronik yang sudah lama dikenal pada manusia.
Ditandai pembentukan turbekel dan cenderung meluas secara lokal. Selain itu, juga bersifat
pulmoner maupun ekstrapulmoner dan dapat mempengaruhi organ tubuh lainnya. Tuberculosis
paru (TB) disebabkan oleh bakteri Mikobakterium Tuberkulosis, Bakteri ini berbentuk batang dan
bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Penyakit TBC dapat
menyerang pada siapa saja tak terkecuali pria, wanita, tua, muda, kaya dan miskin serta dimana saja.
Penularan penyakit TBC adalah melalui udara yang tercemar oleh Mikobakterium tuberkulosa yang
dilepaskan/dikeluarkan oleh si penderita TBC saat batuk, dimana pada anak-anak umumnya sumber
infeksi adalah berasal dari orang dewasa yang menderita TBC. Bakteri ini masuk kedalam paru-paru
dan berkumpul hingga berkembang menjadi banyak (terutama pada orang yang memiliki daya tahan
tubuh rendah), Bahkan bakteri ini pula dapat mengalami penyebaran melalui pembuluh darah atau
kelenjar getah bening sehingga menyebabkan terinfeksinya organ tubuh yang lain seperti otak,
ginjal, saluran cerna, tulang, kelenjar getah bening dan lainnya meski yang paling banyak adalah
organ paru. Sehingga menyebabkan infeksi pada paru-paru, dimana segeralah terjadi pertumbuhan
koloni bakteri yang berbentuk bulat (globular). Pencegahan Tuberkulosis paru (TB) dapat melalui
imunisasi aktif, kontrol diri dengan deteksi dini serta selalu aktif mengontrol lingkungan dengan
membatasi penyebaran penyakit, disinfeksi dan cermat mengungkapkan investigasi epidemiologi.
Pengobatan tuberkulosis dapat dibagi kedalam 2 kategori yaitu OAT primer dan OAT sekunder. BAB
II PENDAHULUAN EPIDEMIOLOGI TB PARU 1. Epidemiologi Global Walaupun pengobatan TB yang
efektif sudah tersedia tapi sampai saat ini TB masih tetap menjadi problem kesehatan dunia yang
utama. Pada bulan Maret 1993 WHO mendeklarasikan TB sebagai global health emergency. TB
dianggap sebagai masalah penting karena lebih kurang 1/3 penduduk dunia terinfeksi oleh
mikobakterium TB. Pada tahun 1998 ada 3.617.047 kasus TB yang tercatat diseluruh dunia. Sebagian
besar dari kasus TB ini (95 %) dan kematiannya (98 %) terjadi dinegara-negara yang sedang
berkembang. Di antara mereka 75 % berada pada usia produktif yaitu 20-49 tahun. Karena
penduduk yang padat dan tingginya prevalensi maka lebih dari 65 % dari kasus-kasus TB yang baru
dan kematian yang muncul di Asia. Alasan utama yang muncul atau meningkatnya penyakit TB global
ini disebabkan : a. Kemiskinan pada berbagai penduduk b. Meningkatnya penduduk dunia c.
Perlindungan kesehatan yang tidak mencukupi d. Tidak memadainya pendidikan mengenai penyakit
TB e. Terlantar dan kurangnya biaya pendidikan (1). 2. Epidemiologi TB di Indonesia Indonesia adalah
negeri dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah China dan India. (2) (3) BAB II
PEMBAHASAN EPIDEMIOLOGI TB PARU 1. TRIAD EPIDEMIOLOGI 1.1 Agent TB disebabkan oleh
Mycobacterium Tuberculosis, bakteri gram positif, berbentuk batang halus, mempunyai sifat tahan
asam dan aerobic (4). Karakteristik alami dari agen TBC hampir bersifat resisten terhadap disifektan
kimia atau antibiotika dan mampu bertahan hidup pada dahak yang kering untuk jangka waktu yang
lama (5). Pada Host, daya infeksi dan kemampuan tinggal sementara Mycobacterium Tuberculosis
sangat tinggi. Pathogenesis hamper rendah dan daya virulensinya tergantung dosis infeksi dan
kondisi Host. Sifat resistensinya merupakan problem serius yang sering muncul setelah penggunaan
kemoterapi modern, sehingga menyebabkan keharusan mengembangkan obat baru (5). Umumnya
sumber infeksinya berasal dari manusia dan ternak (susu) yang terinfeksi. Untuk transmisinya bisa
melalui kontak langsung dan tidak langsung, serta transmisi congenital yang jarang terjadi (5).
Sumber : http://emmedika.com/blog/1?page=1 Sumber : http://medicineworld.org/news/news-
archives/infectious-disease-news/March-9-2008.html Sumber :
http://pramareola14.wordpress.com/2009/12/04/mengenal-tuberkulosis-penyakit-infeksi-
pembunuh-nomor-satu-bangsa-indonesia/ Sumber :
http://textbookofbacteriology.net/tuberculosis.html 2.2 Host Umur merupakan faktor terpenting
dari Host pada TBC. Terdapat 3 puncak kejadian dan kematian ; a. Paling rendah pada awal anak
(bayi) dengan orang tua penderita b. Paling luas pada masa remaja dan dewasa muda sesuai dengan
pertumbuhan, perkembangan fisik-mental dan momen kehamilan pada wanita c. Puncak sedang
pada usia lanjut (6). Dalam prkembangannya, infeksi pertama semakin tertunda, walau tetap tidak
berlaku pada golongan dewasa, terutama pria dikarenakan penumpukan grup sampel usia ini atau
tidak terlindung dari risiko infeksi (6). Pria lebih umum terkena, kecuali pada wanita dewasa muda
yang diakibatkan tekanan psikologis dan kehamilan yang menurunkan resistensi. Penduduk pribumi
memiliki laju lebih tinggi daripada populasi yang mengenal TBC sejak lama, yang disebabkan
rendahnya kondisi sosioekonomi. Aspek keturunan dan distribusi secara familial sulit
terinterprestasikan dalam TBC, tetapi mungkin mengacu pada kondisi keluarga secara umum dan
sugesti tentang pewarisan sifat resesif dalam keluarga. Kebiasaan sosial dan pribadi turut
memainkan peranan dalam infeksi TBC, sejak timbulnya ketidakpedulian dan kelalaian Status gizi,
kondisi kesehatan secara umum, tekanan fisik-mental dan tingkah laku sebagai mekanisme
pertahanan umum juga berkepentingan besar. Imunitas spesifik dengan pengobatan infeksi primer
memberikan beberapa resistensi, namun sulit untuk dievaluasi (6). 3. 3 Environment Distribusi
geografis TBC mencakup seluruh dunia dengan variasi kejadian yang besar dan prevalensi menurut
tingkat perkembangannya. Penularannya pun berpola sekuler tanpa dipengaruhi musim dan letak
geografis (6). Keadaan sosial-ekonomi merupakan hal penting pada kasus TBC. Pembelajaran
sosiobiologis menyebutkan adanya korelasi positif antara TBC dengan kelas sosial yang mencakup
pendapatan, perumahan, pelayanan kesehatan, lapangan pekerjaan dan tekanan ekonomi. Terdapat
pula aspek dinamis berupa kemajuan industrialisasi dan urbanisasi komunitas perdesaan. Selain itu,
gaji rendah, eksploitasi tenaga fisik, pengangguran dan tidak adanya pengalaman sebelumnya
tentang TBC dapat juga menjadi pertimbangan pencetus peningkatan epidemi penyakit ini (6). Pada
lingkungan biologis dapat berwujud kontak langsung dan berulang-ulang dengan hewan ternak yang
terinfeksi adalah berbahaya (6). 2.TRANSMISI TB PARU Lingkungan hidup yang sangat padat dan
permukiman di wilayah perkotaan kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan
berperan sekali atas peningkatan jumlah kasus TB. Proses terjadinya infeksi oleh Mycobacterium
Tuberculosis biasanya secara inhalasi, sehingga TB paru merupakan manifestasi klinis yang paling
sering disbanding organ lainnya. Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang
mengandung droplet nuclei. Khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan batuk berdarah
atau berdahak yang mengandung basil tahan asam (BTA). Pada TB kulit atau jaringan lunak
penularan bisa melalui inokulasi langsung. Infeksi yang disebabkan oleh M. bovis dapat disebabkan
oleh susu yang kurang disterilkan dengan baik atau terkontaminasi. Sudah dibuktikan bahwa
lingkungan sosial ekonomi yang baik (1). Penyebab tuberculosis adalah Mycobacterium Tuberculosis,
sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 um dan tebal 0.3-0.6 um. Yang
tergolong dengan kuman Mycobacterium Tuberculosis complex adalah : 1. M. tuberculosae 2. Varian
Asian 3. Varian African I 4. Varian African II 5. M. bovis Pembagian tersebut adalah berdasarkan
perbedaan secara epidemiologi. Kelompok kuman Mycobacteria Other Than TB (MOTT, atypical)
adalah : 1. M. kansasi 2. M. avium 3. M. intra cellular 4. M. scrofulaceum 5. M. malmacerse 6. M.
xenopi Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak (lipid), kemudian peptidoglikan dan
arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam (asam alkohol)
sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan
fisis. Kuman dapat tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaaan dingin (dapat tahan
bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat
dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan penyakit tuberculosis menjadi aktif lagi
(1). Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam sitoplasma markofag.
Markofag yang semula memfagositasi malah kemudian disenanginya karena banyak mengandung
lipid (1). Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi
jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apikal paru-
paru lebih tinggi dari bagian lain. Sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit
tuberculosis (1). 3. RIWAYAT ALAMIAH TB PARU Gejala klinis sangat bervariasi dari tidak ada gejala
sama sekali sampai gejala yang sangat berat seperti gangguan pernapasan dan gangguan mental (7).
a. Gejala sistematik Gejala ini mencakup : · Demam Biasanya subfebril menyerupai demam influenza.
Tetapi kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40-41 ºC. Serangan demam pertama dapat
sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya hilang timbulnya
demam influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam influenza.
Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman
tuberculosis yang masuk (1). · Badan terasa lemah (7) · Malaise Penyakit tuberculosis bersifat radang
yang menahun. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan
makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam. Gejala malaise
ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur (1). b. Gejala respiratorik
Gejala ini mencakup : · Batuk/Batuk darah Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya
iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Karena
terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit
berkembang dalam jaringan paru yakini setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan pada
peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul
peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk
darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberculosis
terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus (1). Batuk biasnya terjadi
lebih dari 3 minggu, kering sampai produktif dengan sputum yang bersifat mukoid atau purulen,
batuk berdarah dapat terjadi bila ada pembuluh darah yang robek (7). · Sesak napas Pada penyakit
yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak napas. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit
yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru (1, 7) · Rasa nyeri
pada dada Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke
pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien
menarik/melepaskan napasnya (1). Sumber : http://prihandhi.blogspot.com/ Sumber :
https://qillknows.wordpress.com/2011/01/10/10-fakta-penting-tentang-tuberkulosis/ Sumber :
http://health.utah.gov/cdc/tb_home.htm 4. PENCEGAHAN Berkaitan dengan perjalanan alamiah dan
peranan Agent, Host dan Environment dari TBC, maka tahapan pencegahan yang dapat dilakukan
antara lain : a. Pencegahan Primer Dengan promisi kesehatan sebagai salah satu pencegahan TBC
paling efektif, walaupun hanya mengandung tujuan pengukuran umum dan mempertahankan
standar kesehatan sebelumnya yang sudah tinggi. Proteksi spesifik dengan tujuan pencegahan TBC
yang meliputi : 1. Imunisasi aktif, melalui vaksinasi Basil Calmette Guerin (BCG) secara nasional dan
internasional pada daerah dengan kejadian tinggi dan orang tua penderita atau berisiko tinggi
dengan nilai proteksi yang tidak absolut dan tergantung Host tambahan dan Environment 2.
Chemoprophylaxis, obat anti TBC yang dinilai terbukti ketika kontak dijalankan dan tetap harus
dikombinasikan dengan pasteurisasi produk ternak 3. Pengontrolan Faktor Prediposisi, yang
mengacu pada pencegahan dan pengobatan diabetes, silicosis, malnutrisi, sakit kronis dan mental
(5). b. Pencegahan Sekunder Dengan diagnosis dan pengobatan secara dini sebagai dasar
pengontrolan kasus TBC yang timbul dengan 3 komponen utama : Agent, Host dan Environment.
Kontrol pasien dengan deteksi dini penting untuk kesuksesan aplikasi modern kemoterapi spesifik,
walau terasa berat baik dari finansial, materi maupun tenaga. Metode tidak langsung dapat
dilakukan dengan indikator anak yang terinfeksi TBC sebagai pusat, sehingga pengobatan dini dapat
diberikan. Selain itu, pengetahuan tentang resistensi obat dan gejala infeksi juga penting untuk
seleksi dari petunjuk yang paling efektif (5). Langkah kontrol kejadian kontak adalah untuk
memutuskan rantai infeksi TBC, dengan imunisasi TBC negatif dan Chemoprophylaxis pada TBC
positif. Kontrol lingkungan dengan membatasi penyebaran penyakit, disinfeksi dan cermat
mengungkapkan investigasi epidemiologi, sehingga ditemukan bahwa kontaminasi lingkungan
memegang peranan terhadap epidemic TBC. Melalui usaha pembatasan ketidakmampuan untuk
membatasi kasus baru harus dilanjutkan, dengan istirahat dan menghindari tekanan psikis (5). c.
Pencegahan Tersier Rehabilitasi merupakan tingkatan terpenting pengontrolan TBC. Dimulai dengan
diagnosis kasus berupa trauma yang menyebabkan usaha penyesuaian diri secara psikis, rehabilitasi
penghibur selama fase akut dan hospitalisasi awal pasien, kemudian rehabilitasi pekerjaan yang
tergantung situasi individu. Selanjutnya, pelayanan kesehatan kembali dan penggunaan media
pendidikan untuk mengurangi cacat sosial dari TBC, serta penegasan perlunya rehabilitasi (5). Selain
itu, tindakan pencegahan sebaiknya juga dilakukan untuk mengurangi perbedaan pengetahuan
tentang TBC, yaitu dengan jalan sebagai brikut : 1. Perkembangan media. 2. Metode solusi problem
keresistenan obat. 3. Perkembangan obat Bakterisidal baru. 4. Kesempurnaan perlindungan dan
efektifitas vaksin. 5. Pembuatan aturan kesehatan primer dan pengobatan TBC yang fleksibel. 6.
Studi lain yang intensif. 7. Perencanaan yang baik dan investigasi epidemiologi TBC yang terkontrol
(5). 4. PENGOBATAN Pengobatan tuberkulosis dapat dibagi kedalam 2 kategori yaitu OAT primer dan
OAT sekunder. a. OAT Primer Prognosis baik jika pasien tidak mengalami gangguan imun. Nutrisi
yang baik, pengurangan konsumsi alkohol, dan kepatuhan pada terapi obat merupakan faktor-faktor
penting. Penyembuhan penyakit umumnya terjadi setelah pengobatan selama 6 bulan. Pada
awalnya sekurang-kurangnya digunakan tiga obat, untuk mencegah perkembangan strain yang
resisten. Regimen yang dianjurkan adalah rifampisin, dan isoniazid selama 2 bulan, diikuti rifampisin
dan isoniazid selama 4 bulan. Tambahan piridoksin mencegah neuropati perifer akibat isoniazid.
Fungsi hati sebaiknya dipantau, karena rifampisin dan pirazinamid dapat menyebabkan disfungsi
hati. Jika dicurigai terjadi resistensi obat (rekurensi TB pada pasien yang tidak patuh), maka regimen
empat obat (tambahkan etambutol) dapat dimulai. Bila ada hasil kultur, obat alternatif akan
menggantikan obat yang tidak sensitif untuk mikrobakterium. Etambutol (pantaulah penglihatan
warna untuk neuritis optikus), streptomisin (pantaulah kadar plasma untuk mneghindari gangguan
pendengaran) atau siprofloksasin dapat digunakan. Pada TB paru berat, kortikosteroid kadang-
kadang memperbaiki hasil (8). Di beberapa organ (misalnya tulang), TB diobati lebih lama, sering
dengan obat-obat tambahan. Pada TB meningeal atau serebral, regimen empat obat selama 12
bulan dengan tambahan steroid dianjurkan, untuk memastikan penetrasi otak yang adekuat dan
mencegah kompresi nervus kranialis akibat pembentukan parut meningeal (8). Bila dengan OAT
primer timbul resistensi, maka yang resisten itu digantikan dengan paling sedikit 2-3 macam OAT
sekunder yang belum resisten, sehingga penderita menerima 5 atau 6 macam obat sekaligus.
Strategi pengobatan yang dianjurkan oleh WHO adalah DOTs (directly observed treatment, short
course) untuk penggunaan OAT primer dan DOTS-plus untuk penggunaan OAT sekunder (9). b. OAT
Sekunder OAT sekunder adalah asam para-aminosalisilat, ethionamide, thioacetazone,
fluorokinolon, aminoglikosida dan capreomycin, cycloserine, penghambat betalaktam,
clarithromycin, linezolid, thioacetazone, dan lain-lain. · Asam Para-Amino Salisilat (PAS) Ditemukan
tahun 1940, dahulu merupakan OAT garis pertama yang disunakan bersama dengan isoniazid dan
streptomycin; kemudian kedudukannya digantikan oleh ethambutol. PAS memperlihatkan efek
bakteriostatik terhadap M.tuberculosis dengan menghambat secara kompetitif pembentukan asam
folat dari asam para-amino benzoate (10). · Thioacetazone Secara in-viro dan in-vivo diperlihatkan
mempunyai khasiat bakteriostatik terhadap M. tuberculosis. Resistensi silang sering terlihat antara
thioacetazone dengan isoniazid dan ethioonamide. Karena kerap menimbulkan reaksi
hipersensitifitas berat ( sindroma Steven-Johnson), thioacetazone tak dianjurkan untuk digunakan
pada penderita dengan HIV (11). BAB III KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan TBC adalah suatu
infeksi bakteri menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang utama menyerang
organ paru manusia. TBC merupakan salah satu problem utama epidemiologi kesehatan didunia.
Agent, Host dan Environment merupakan faktor penentu yang saling berinteraksi, terutama dalam
perjalanan alamiah epidemic TBC baik periode Prepatogenesis maupun Patogenesis. Faktor yang
mempengaruhi terjadinya kasus TBC adalah lingkungan yang padat, lembab, kurangnya ventilasi dan
sinar matahari. Pencegahan terhadap infeksi TBC sebaiknya dilakukan sedini mungkin, yang terdiri
dari pencegahan primer, sekunder dan tersier (rehabilitasi). 2. Saran a. Perbaikan lingkungan
(Pembuatan jendela, genting kaca dan kebersihan rumah/lantai). b. Menutup mulut waktu batuk
dan tempat khusus untuk dahak dan pembuangan dahak tidak sembarang. c. Menerapkan perilaku
hidup bersih dan sehat (PHBS). DAFTAR PUSTAKA 1. Sudoyo, Aru W. dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta: Fakultas Kedokteran Indonesia. Hal. 988-994. 2. Gerdunas TB. 2006-
2007. Tentang TB. TB di Indonesia. Profile Nasional.
http://www.tbindonesia.or.id/tbnew/epidemiologi-tb-di-indonesia/article/55/000100150017/2,
diunduh pada tanggal 2 November 2011 3. Gerdunas TB. 2006-2007. Tentang TB. TB di Indonesia.
Profile Regional Sumatra. Propinsi Sumatra Selatan.
http://www.tbindonesia.or.id/tbnew/epidemiologi-tb-di-indonesia/article/55/000100150017/2,
diunduh pada tanggal 2 November 2011 4. Soeharsono. 2005. Zoonosis Penyakit Menular dari
Hewan ke Manusia. Volume II. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Hal. 30. 5. Chandra, Budiman dr, 1996.
Pengantar Prinsip dan Metode Epidemiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 6. World
Health Organitation (WHO), 2004. Epidemiology of Tuberculosis.
http://who.org/orgs/dissease/tuberculosis/epidemiology.htm 7. Hadi H., et all, editor; Naskah
Lengkap Work-Shop Pulmonology Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT-4) Ilmu Penyakit Dalam PAPDI
Sumbagsel, Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, April, 2002. Hal. 95 -119. 8. Jane W., et all,
editor; At Glance Sistem Respirasi. Jilid II. Jakarta: Penerbit Erlangga, Mei, 2007. Hal. 81. 9.
Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia. 2006. Jurnal Tuberkulosis Indonesia. Vol._3
No._2 September 2006, http://www.tbindonesia.or.id/pdf/Jurnal_TB_Vol_3_No_2_PPTI.pdf, diakses
tanggal 2 November 2011 10. Peloquin CA, Berning SE, Huitt GA, et al. Once-daily and twice-daily
dosing of paminosalicylic acid granules. Amer J Respir Crit Care Med 1999;159:932-934. 11. Okwera
A, Whalen C, Byekwaso F, et al. Randomised trial of thioacetazone and rifampicin-containing
regimens for pulmonary tuberculosis in HIV-infected Ugandans. The Makerere University-Case
Western University Research Collaboration. Lancet 1944;344:1323-1328.

Copy the BEST Traders and Make Money : http://ow.ly/KNICZ

Anda mungkin juga menyukai