Anda di halaman 1dari 14

PENYAKIT TROFOBLAS MALIGNA (PTM)

dr. M. Ilham Kosman


PPDS Tahap 3B

Pembimbing:
Dr. dr. Hasanuddin, SpOG(K)
dr. Sarah ika Nainggolan, SpOG(K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


DEPARTEMEN OBSTETRI & GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2017
A. DEFINISI
Penyakit trofoblas gestasional (PTG) adalah kelompok penyakit terkait kehamilan yang
berasal dari proliferasi trofoblas plasenta.1, 2
Secara histologis, PTG mencakup mola
hidatidosa komplit dan parsial, mola invasif dan metastatik, koriokarsinoma, placental site
trophoblastic tumor (PSTT), dan epithelioid trophoblastic tumor (ETT).2 Dari spektrum
tersebut, mola invasif, koriokarsinoma, PSTT, dan ETT dikelompokkan dalam penyakit
trofoblas maligna (PTM).1, 3

Lima puluh tahun yang lalu, sebelum adanya kemoterapi, luaran PTM sangat buruk; di mana
mortalitas koriokarsinoma mencapai 100%. Akan tetapi, saat ini PTM adalah salah satu jenis
keganasan yang paling dapat disembuhkan, dengan angka kesembuhan > 90% meskipun
ditemukan metastasis.1

B. EPIDEMIOLOGI
Sekitar 50% kasus PTM terjadi pasca kehamilan mola, 25% pasca abortus atau kehamilan
ektopik, dan 25% pasca persalinan preterm atau aterm.4 Insiden PSTT dan ETT sangat
jarang, hanya mencakup 0.2% dari seluruh kasus PTM. Sebagian besar (95%) PSTT dan ETT
terjadi setelah kehamilan non-mola.1, 5

Telah dilaporkan bahwa terdapat variasi geografis dan etnis untuk PTG dan PTM, di mana
kejadian tersebut paling tinggi pada daerah Asia Tenggara dan Jepang. Insiden
koriokarsinoma pada daerah Asia Tenggara mencapai 9.2/40.000 kehamilan, sedangkan pada
Eropa dan Amerika Utara hanya 1/40.000 kehamilan.6

Berdasarkan studi epidemiologis di RS Cipto Mangunkusumo tahun 1984 oleh Aziz dkk,
dilaporkan bahwa insiden PTM adalah 1/185 kehamilan, dan 22.9% kasus mola hidatidosa
menjadi maligna. Di RSCM, 76.4% kasus PTM berasal dari mola hidatidosa, 12.4% dari
abortus, 9.5% dari persalinan normal, dan 1.2% dari kehamilan ektopik.7

C. PATOLOGI
C.1 Mola invasif
Mola invasif adalah tumor yang berasal dari invasi miometrium oleh mola hidatidosa melalui
penyebaran langsung perkontinuitatum atau pembuluh vena. Sekitar 10-17% mola hidatidosa

1
akan berlanjut menjadi mola invasif, dan sekitar 15% kasus mola invasif akan metastasis ke
paru-paru atau vagina.1

Gambar C.1 Mola invasif dengan gambaran perluasan jaringan mola ke miometrium1

C.2 Koriokarsinoma
Koriokarsinoma ditandai dengan hiperplasia dan anaplasia abnormal jaringan trofoblas, tidak
adanya vili korialis, perdarahan, dan nekrosis. Koriokarsinoma dapat menginvasi
miometrium dan pembuluh darah, sehingga seringkali mengalami metastasis jauh terutama ke
paru-paru, tetapi juga dapat melibatkan otak, hepar, pelvis dan vagina, ginjal, usus, dan
limpa.1, 2

Gambar C.2 Koriokarsinoma dengan hiperplasia dan anaplasia abnormal jaringan trofoblas,
tidak adanya vili korialis, perdarahan, dan nekrosis.1

2
C.3 Placental site trophoblastic tumor
PSTT berasal dari tempat implantasi plasenta pada sisi maternal, dan tersusun atas trofoblas
intermedit mononuklear tanpa vili korialis yang menginvasi jaringan miometrium.
Dibandingkan koriokarsinoma, PSST memiliki lebih sedikit invasi vaskuler, nekrosis, dan
perdarahan, tetapi memiliki kecenderungan untuk metastasis secara limfatik. Pulasan
imunohistokimia akan pewarnaan difus untuk sitokeratin dan human placental lactogen,
dengan hanya beberapa area fokal hCG.2

Gambar C.3 PSTT dengan trofoblas intermedit mononuklear tanpa vili korialis yang
menginvasi jaringan miometrium.1

C.4 Epithelioid trophoblastic tumor


ETT adalah varian jarang dari PSTT yang memiliki sifat seperti karsinoma. ETT berasal dari
transformasi neoplastik trofoblas intermedit tipe-korionik. Sebagian besar ETT terjadi
bertahun-tahun setelah persalinan aterm.1, 8 Lesi ETT tampak seperti lesi berbatas tegas, dapat
berupa lesi kistik, padat, atau hemoragik, yang biasanya terdapat pada fundus, segmen bawah
rahim, endoserviks, atau ligamentum latum. Secara histologis, tampak gambaran pulau-pulau
trofoblas intermedit yang dikelilingi area nekrosis dan matriks serupa hialin. ETT dibedakan
dengan PSTT dengan pulasan imunohistokimia positif untuk p63.2

D. FAKTOR RISIKO
Faktor risiko koriokarsinoma mencakup riwayat kehamilan mola hidatidosa sebelumnya,
etnisitas, dan usia ibu > 40 tahun. Koriokarsinoma dapat terjadi setelah kehamilan apapun,
tetapi risiko tersebut paling tinggi (1000 kali) setelah kehamilan mola komplit dibandingkan

3
kehamilan lainnya. Kejadian koriokarsinoma pasca mola hidatidosa komplit adalah 15-20%,
sedangkan kejadian pasca mola parsial hanya kurang dari 5%. Risiko meningkat pada wanita
keturunan Asia, Amerika-Indian, dan Amerika-Afrika.1

Risiko PTM meningkat pada kehamilan mola dengan kadar hCG pra-evakuasi > 100.000
mIU/mL, ukuran uterus melebihi kehamilan 20 minggu, dan kista teka-lutein > 6 cm. Pasien
dengan satu atau lebih temuan tersebut memiliki insiden PTM hingga 40%, dibandingkan
hanya 4% bila tidak ada temuan tersebut.9

E. DIAGNOSIS
E.1 Gejala dan Tanda
PTM pasca kehamilan mola biasanya bergejala sebagai perdarahan per vaginam ireguler
pasca evakuasi mola. Tanda klinis sugestif untuk PTM adalah uterus yang membesar dan
ireguler, serta pembesaran ovarium bilateral yang persisten.3, 4
Dapat juga ditemukan lesi
metastasis pada vagina.1

PTM pasca kehamilan non-mola biasanya tidak memiliki gejala atau tanda yang khas. Oleh
sebab itu, PTM harus dijadikan diagnosis banding pada pasien dengan perdarahan pasca
salin, subinvolusi uteri, tumor primer atau metastasis pada organ lain, atau kehamilan berikut
yang berjarak dekat dengan kehamilan sebelumnya.1 Pada kasus-kasus tersebut, perlu
dilakukan pemeriksaan kadar hCG.2 Virilisasi atau sindrom nefrotik dapat ditemukan pada
kasus PSTT dan ETT.5, 8

Bila sudah terjadi perforasi uterus atau metastasis, dapat terjadi nyeri abdomen, peningkatan
tekanan intrakranial, kejang, hemiplegia, dyspnea, dan nyeri dada. 1

E.2 Diagnosis Klinis


Diagnosis klinis PTM pasca kehamilan mola dapat ditegakkan berdasarkan kadar bHCG yang
menetap (plateau) atau meningkat pasca evakuasi mola, atau ditemukan metastasis. Pada
PSTT dan ETT, kadar bHCG hanya sedikit meningkat.1

4
Pada tahun 2000, FIGO mengeluarkan kriteria diagnosis untuk PTM pasca kehamilan mola,
yang mencakup empat kriteria sebagai berikut:2
1. Kadar hCG yang menetap (plateau) pada pengukuran 4 kali selama periode 3 minggu
atau lebih, yaitu pada hari 1, 7, 14, dan 21.
2. Kadar hCG yang meningkat pada pengukuran 3 kali berturut-turut selama setidaknya
periode 2 minggu atau lebih, yaitu pada hari 1, 7, dan 14.
3. Kadar hCG yang tetap tinggi selama 6 bulan atau lebih
4. Hasil pemeriksaan histologi koriokarsinoma.

Pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan untuk melengkapi data klinis dan menunjang
diagnosis adalah:1, 2, 10
1. Darah perifer lengkap, profil hemostasis, fungsi ginjal dan hepar, golongan darah
2. Rontgen toraks atau CT-scan toraks untuk mendiagnosis metastasis paru
3. USG atau CT-scan abdomen untuk mendiagnosis metastasis hepar
4. MRI atau CT-scan kepala untuk mendiagnosis metastasis otak
5. USG atau MRI pelvis untuk evaluasi perluasan tumor
6. Kuretase bila ada perdarahan per vaginam
7. Profil tiroid bila terindikasi

Gambar E.1 (a) metastasis paru pada pemeriksaan rontgen toraks, (b) metastasis paru pada
CT-scan toraks, (c) uterus membesar dan nekrotik pada koriokarsinoma, (d) metastasis otak
pada CT-scan kepala

5
Pada pemeriksaan USG transvaginal untuk PTM, seringkali ditemukan massa miometrium
fokal, dengan gambaran hipo- hiper-ekoik, kompleks, atau multikistik. Dapat ditemukan area
anekoik intramiometrial sebagai dampak perdarahan atau nekrosis jaringan. Pada massa PTM
yang ekstensif, uterus membesar heterogen, lobulated, dan dapat membentuk massa pelvik
yang sulit didiferensiasi. Pada pemeriksaan Doppler dapat ditemukan peningkatan
vaskularisasi yang bersifat high-velocity, low-resistance.11

E.3 Diagnosis Patologis


Diagnosis patologi dapat ditegakkan dengan pengambilan spesimen melalui kuretase, biopsi
lesi metastatik, plasenta, atau uterus pasca histerektomi1. Tidak dianjurkan untuk melakukan
biopsi pada kecurigaan lesi metastasis pada vagina karena dapat terjadi perdarahan masif.12
Standar baku diagnosis PSTT dan ETT adalah pemeriksaan histopatologi.13

F. KLASIFIKASI & STAGING


Staging PTM dilakukan berdasarkan kriteria FIGO (Tabel F.1), dan klasifikasi dilakukan
berdasarkan kriteria skor FIGO/WHO (Tabel F.2). Metode penulisannya adalah stadium
FIGO diikuti dengan skor WHO, dibatasi oleh tanda titik dua, sebagai contoh Stage II:4.2, 3
Tujuan klasifikasi dan staging PTM adalah untuk menentukan rencana tatalaksana dan
prognosis.3

Tabel F.1 Staging PTM menurut kriteria FIGO2


Stadium Keterangan
I Lesi terbatas pada uterus
II Lesi ekstensi keluar uterus tetapi masih terbatas pada organ genitalia
(adneksa, vagina, ligamentum latum)
III Lesi meluas ke paru-paru dengan atau tanpa keterlibatan genitalia
IV Lesi meluas ke lokasi metastasis lain

6
Tabel F.2 Sistem skoring PTM menurut modifikasi FIGO/WHO2, 3
Faktor Risiko 0 1 2 4
Umur (tahun) < 40 > 40 - -
Kehamilan sebelumnya Mola Abortus Aterm -
Jarak dari kehamilan sebelumnya <4 4-6 7-12 > 12
(bulan)
Kadar hCG awal (mIU/mL) < 103 > 103- 104 > 104- 105 > 105
Ukuran tumor terbesar termasuk - 3-4 ≥5 -
uterus (cm)
Lokasi metastasis Paru Limpa, Gastrointestinal Otak,
ginjal hepar
Jumlah metastasis - 1-4 5-8 >8
Kegagalan kemoterapi sebelumnya - - Obat tunggal 2 obat
atau lebih

Berdasarkan sistem skoring FIGO/WHO, PTM diklasifikasikan menjadi risiko rendah bila
skor < 7, dan risiko tinggi bila ≥ 7.3

G. TATALAKSANA
Secara umum, modalitas terapi PTM adalah kemoterapi.2 Pasien dengan lesi non-metastatik
(stadium I), dan lesi metastatik risiko rendah (stadium II, III dengan skor < 7) dapat
ditatalaksana dengan kemoterapi agen tunggal, dengan angka kesintasan mencapai 100%.
Tatalaksana lebih agresif dilakukan pada pasien dengan lesi metastatik risiko tinggi (stadium
IV atau stadium II, III dengan skor ≥ 7), dengan kemoterapi multi-agen, radiasi ajuvan, atau
pembedahan. Angka kesembuhan pada kelompok ini mencapai 80-90%.3

G.1 PTM risiko rendah (low-risk)


Tatalaksana pasien dengan PTM risiko rendah adalah kemoterapi agen tunggal dengan
metotreksat (MTX) atau aktinomisin D (Act-D).2, 3 Protokol tersebut dijelaskan pada Tabel
G.1. Pada telaah sistematis oleh Cochrane (2012), dilaporkan bahwa Act-D lebih superior
dibandingkan MTX (RR 0.64; 95% CI 0.54-0.76. Angka kegagalan terapi MTX secara
signifikan lebih tinggi dibandingkan Act-D (RR 3.81; 95% CI 1.64-8.86).14

7
Tabel G.1 Protokol kemoterapi agen tunggal untuk PTM risiko rendah2
Regimen Cara pemberian
 MTX- Regimen 8 hari: 50 mg MTX intramuskuler pada hari 1, 3, 5, 7, diikuti
folinic acid dengan folinic acid 15 mg per oral 24 jam pasca MTX pada hari 2, 4, 6, 8.
Diulang setiap 2 minggu
 MTX 0.4 mg/kg (max 25 mg) intravena atau intramuskuler selama 5 hari setiap
2 minggu
 Act-D Pulse 1.25 mg/m2 intravena setiap 2 minggu
 Act-D 0.5 mg intravena selama 5 hari setiap 2 minggu
 Lain-lain MTX 30-50 mg/m2 intramuskuler setiap minggu
MTX 300 mg/m2 infus setiap 2 minggu
5-flourouracil, etoposide

Efek samping utama MTX adalah stomatitis. Alopesia dan mual-muntah jarang ditemukan.
Sebaliknya, Act-D memiliki efek lebih toksik, menyebabkan mual-muntah dan alopesia, serta
kerusakan jaringan setempat bila terjadi ekstravasasi.3

Jika tidak terdapat respons yang baik terhadap agen tunggal, terjadi peningkatan hCG,
metastasis, atau resistensi obat, sebaiknya protokol diganti ke terapi multi-agen.13 Faktor
risiko kegagalan terapi agen tunggal antara lain kadar hCG > 100.000 mIU/mL, usia > 35
tahun, skor FIGO > 4, dan ukuran metastasis vagina yang besar.3

Kemoterapi diulangi setiap 2 minggu tercapai kadar hCG normal.3 Setelah itu, dapat
dilakukan dosis konsolidasi sebanyak 2-3 kali untuk menurunkan angka rekurensi (Gambar
G.1). Angka remisi mendekati 100%.2, 13

8
Gambar G.1 Contoh pemberian kemoterapi pada PTM risiko rendah. Diberikan dosis
konsolidasi sebanyak 3 kali lalu kemoterapi dihentikan.15

G.2 PTM risiko tinggi (high-risk)


Tatalaksana pasien dengan PTM risiko tinggi adalah kemoterapi multi-agen. Kombinasi yang
paling sering digunakan adalah EMA-CO (etoposide, metrotreksat, aktinomisin-D,
siklofosfamid, vinkristin). Angka remisi mencapai 85% dan kesintasan 5-tahun berkisar
antara 75-90%. Protokol EMA-CO dijelaskan pada Tabel G.2.2

Tabel G.2 Protokol kemoterapi EMA-CO untuk PTM risiko tinggi2


Regimen Cara pemberian
Regimen 1
Hari 1
 Etoposide 100 mg/m2 infus intravena selama 30 menit
 Act-D 0.5 mg bolus intravena
 MTX 100 mg/m2 bolus intravena
200 mg/m2 infus intravena selama 12 jam
Hari 2
 Etoposide 100 mg/m2 infus intravena selama 30 menit
 Act-D 0.5 mg bolus intravena
 Folinic acid 15 mg intramuskuler atau oral setiap 12 jam, untuk 4 dosis
(dimulai 24 jam setelah dimulai infus MTX)
Regimen 2
Hari 8
 Vinkristin 1 mg/m2 bolus intravena (maksimum 2 mg)
 Siklofosfamid 600 mg/m2 infus intravena selama 30 menit
Keterangan: Kedua regimen ini diulang setiap 2 minggu

9
G.3 PTM risiko sangat tinggi (ultra high-risk) dan salvage therapy
Pada kelompok PTM risiko tinggi, dikenal adanya sub-kelompok risiko sangat tinggi, yaitu
pada skor ≥ 12, dan pada pasien dengan metastasis hepar, otak, atau ekstensif. Kelompok
risiko sangat tinggi ini biasanya memiliki respon buruk terhadap kemoterapi multi-agen lini
pertama. Pada kelompok ini dapat digunakan kombinasi lain (Tabel G.3). Pada pasien dengan
metastasis otak, dapat diberikan MTX intrateka atau kombinasi dengan radioterapi.2

Tabel G.3 Savage therapy untuk PTM risiko sangat tinggi2


Regimen Keterangan
 EP-EMA Etoposide, cisplatin, etoposide, metotreksat, aktinomisin-D
 TP/TE Paklitaksel, cisplatin/paklitaksel, etoposide
 MBE Metotreksat, bleomisin, etoposide

 ICE Etoposide, ifosfamid, dan cisplatin atau karboplatin

 BEP Bleomisin, etoposide, cisplatin

 FA 5-flourourasil, aktinomisin-D
Floxuridine, aktinomisin-D, etoposide, vinkristin
 FAEV
 Kemoterapi dosis tinggi dengan transplan sumsum tulang atau sel punca

G.4 Pembedahan
Histerektomi dapat dipertimbangkan bila terjadi perdarahan pervaginam yang masif.
Laparotomi dapat dilakukan bila dicurigai adalah perdarahan dari organ intra-abdomen.
Bedah saraf dapat dilakukan pada kasus dengan perdarahan atau peningkatan tekanan
intrakranial.2

G.5 Radioterapi
Peran radioterapi pada tatalaksana PTM sangat terbatas, dengan pengecualian pada kasus
metastasis otak. Meski demikian, efektivitasnya dibandingkan pemberian MTX intrateka
masih kontroversial.2

10
G.6 PSTT/ETT
Kemosensitivitas PSTT dan ETT lebih rendah dibandingkan koriokarsinoma. Modalitas
terapi utama adalah histerektomi dengan limfadenektomi.2, 3
Bila diinginkan fertility
preservation, terutama pada lesi fokal, dapat dilakukan kuretase, reseksi per histeroskopi, dan
kemoterapi. Fertility preservation tidak dapat dilakukan pada lesi difus.2
Kemoterapi dianjurkan pada lesi PSTT/ETT metastatik atau non-metastatik dengan faktor
prognostik buruk, yaitu interval kehamilan sebelumnya > 2 tahun, invasi miometrium yang
dalam, nekrosis tumor, dan angka mitosis >6/10 lapang pandang kuat.16 Modalitas
kemoterapi yang dianjurkan adalah EP-EMA.2 Angka kesintasan mencapai 100% untuk lesi
non-metastatik dan 50-60% untuk lesi metastatik.16, 17

H. PEMANTAUAN PASCA TERAPI


Setelah kemoterapi selesai, hCG diukur setiap minggu selama 3 minggu berturut.11 Setelah
dicapai kadar normal, hCG diukur setiap bulan selama 12 bulan. Risiko relaps adalah 3%
pada tahun pertama setelah selesai terapi, dan sangat rendah setelahnya.3

Selama 1 tahun pemantauan harus digunakan metode kontrasepsi yang efektif. Metode yang
dianjurkan adalah kontrasepsi oral. Penundaan kehamilan tersebut bertujuan untuk
mempermudah pemantauan kadar hCG serta eliminasi oosit matur yang mungkin mengalami
kerusakan selama masa kemoterapi.3

Risiko rekurensi PTM pada kehamilan berikutnya adalah 1-2%. Bila terjadi kehamilan,
sebaiknya dilakukan USG pada trimester pertama dan pengukuran kadar hCG pada
kehamilan 6 minggu. Spesimen abortus atau plasenta juga harus dikirm untuk pemeriksaan
histopatologi.3

11
DAFTAR PUSTAKA
1. Lurain JR. Gestational trophoblastic disease I: epidemiology, pathology, clinical
presentation and diagnosis of gestational trophoblastic disease, and management of
hydatidiform mole. American journal of obstetrics and gynecology. 2010;203(6):531-9.

2. Ngan HY, Seckl MJ, Berkowitz RS, Xiang Y, Golfier F, Sekharan PK, et al. Update on
the diagnosis and management of gestational trophoblastic disease. International journal
of gynaecology and obstetrics: the official organ of the International Federation of
Gynaecology and Obstetrics. 2015;131 Suppl 2:S123-6.

3. Lurain JR. Gestational trophoblastic disease II: classification and management of


gestational trophoblastic neoplasia. American journal of obstetrics and gynecology.
2011;204(1):11-8.

4. Goldstein DP, Berkowitz RS. Current management of gestational trophoblastic


neoplasia. Hematology/oncology clinics of North America. 2012;26(1):111-31.

5. Baergen RN, Rutgers JL, Young RH, Osann K, Scully RE. Placental site trophoblastic
tumor: A study of 55 cases and review of the literature emphasizing factors of prognostic
significance. Gynecologic oncology. 2006;100(3):511-20.

6. Strohl AE, Lurain JR. Clinical epidemiology of gestational trophoblastic disease. Curr
Obstet Gynecol Rep. 2014;3(1):40-3.

7. Aziz MF, Kampono N, Moegni EM, Sjamsuddin S, Barnas B, Samil RS. Epidemiology
of gestational trophoblastic neoplasm at the Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta,
Indonesia. Advances in experimental medicine and biology. 1984;176:165-75.

8. Allison KH, Love JE, Garcia RL. Epithelioid trophoblastic tumor: review of a rare
neoplasm of the chorionic-type intermediate trophoblast. Archives of pathology &
laboratory medicine. 2006;130(12):1875-7.

9. Berkowitz RS, Goldstein DP. Clinical practice. Molar pregnancy. The New England
journal of medicine. 2009;360(16):1639-45.

10. Ngan HY, Kohorn EI, Cole LA, Kurman RJ, Kim SJ, Lurain JR, et al. Trophoblastic
disease. International journal of gynaecology and obstetrics: the official organ of the
International Federation of Gynaecology and Obstetrics. 2012;119 Suppl 2:S130-6.

11. Biscaro A, Braga A, Berkowitz RS. Diagnosis, classification and treatment of gestational
trophoblastic neoplasia. Revista brasileira de ginecologia e obstetricia : revista da
Federacao Brasileira das Sociedades de Ginecologia e Obstetricia. 2015;37(1):42-51.

12. Berry E, Hagopian GS, Lurain JR. Vaginal metastases in gestational trophoblastic
neoplasia. The Journal of reproductive medicine. 2008;53(7):487-92.

13. Seckl MJ, Sebire NJ, Berkowitz RS. Gestational trophoblastic disease. Lancet.
2010;376(9742):717-29.

12
14. Alazzam M, Tidy J, Hancock BW, Osborne R, Lawrie TA. First-line chemotherapy in
low-risk gestational trophoblastic neoplasia. The Cochrane database of systematic
reviews. 2012(7):CD007102.

15. Seckl MJ, Sebire NJ, Fisher RA, Golfier F, Massuger L, Sessa C, et al. Gestational
trophoblastic disease: ESMO Clinical Practice Guidelines for diagnosis, treatment and
follow-up. Annals of oncology : official journal of the European Society for Medical
Oncology / ESMO. 2013;24 Suppl 6:vi39-50.

16. Schmid P, Nagai Y, Agarwal R, Hancock B, Savage PM, Sebire NJ, et al. Prognostic
markers and long-term outcome of placental-site trophoblastic tumours: a retrospective
observational study. Lancet. 2009;374(9683):48-55.

17. Papadopoulos AJ, Foskett M, Seckl MJ, McNeish I, Paradinas FJ, Rees H, et al. Twenty-
five years' clinical experience with placental site trophoblastic tumors. The Journal of
reproductive medicine. 2002;47(6):460-4.

13

Anda mungkin juga menyukai