Anda di halaman 1dari 7

Nama : Ganang Muh Shohib

Nim : 20170320029

1. Bagaimana pendapatmu terkait imunisasi/vaksinasi menurut hukum islam

Soal haram dan halal, Aminudin turut menyampaikan sesungguhnya Allah menurunkan penyakit
dan juga obatnya. Namun, umat Islam harus berpatokan pada kehalalannya.

"Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obatnya dan serta menyediakan obat bagi segala
penyakit, maka berobat lah, bukan dengan cara yang haram nah ini penting dan harus digaris
bawahi. Haram caranya, haram bahan bakunya," Aminudin menegaskan.

Dalam Islam, Aminudin menjelaskan ada kondisi pengecualian di mana vaksin yang haram atau
najis diperbolehkan, yakni al daurat, al hajat dan adanya keterangan dari tenaga medis atau ahli
yang kompeten bahwa tidak ada vaksin yang halal.

"Kondisi al darurat atau darurat dimana tidak ada pilihan lain, sehingga jika tidak digunakan
dapat menyebabkan kematian segera, kondisi Al Hajat adalah tidak menyebabkan efek kematian,
tapi menyebabkan efek kesulitan permanen misalnya cacat," katanya.

MUI, kata Aminudin, memperbolehkan penggunaan vaksin dengan bahan baku non halal pada
saat pencanangan program Imunisasi Nasional Polio, yang dimulai pada awal 2000-an.

"Pada saat itu dilakukan kajian bahwa tidak didapati vaksin halal dan melihat dampak yang
diakibatkan dari penularan virus polio itu dalam kondisi Al Hajat, maka dilakukanlah,"

Namun, sejak itu Aminudin melanjutkan, MUI meminta penyedia vaksin Biofarma dan lembaga
terkait untuk melakukan kajian vaksin halal.

"Mereka minta waktu 13 tahun, karena pembuatan vaksin tidak sederhana. Itu kita tekankan ke
Kemenkes dan sejak itu kita fokus untuk mendorong dilakukan sertifikasi halal dibidang obat-
obatan," ungkap Aminudin.
2 dari 3 halaman

Isi Fatwa MUI

Hingga akhirnya pada 2016, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa tentang imunisasi.
Isinya, berdasarkan hasil kajian MUI, imunisasi pada dasarnya mubah atau diperbolehkan
sebagai bentuk ikhtiar meningkatkan kekebalan tubuh dan dalam rangka mencegah penyakit
tertentu.

Dalam kesempatan yang sama, Perhimpinan Profesi Kesehatan Muslim Indonesia (PROKAMI)
dan IKADI (Ikatan Dai Indonesia) dan beberapa lembaga dakwah islam mengimbau :

1. Agar seluruh Muslimin dan Muslimat mendukung program imunisasi nasional, khususnya
kampanye imunisasi Measles (campak) dan Rubella saat ini dan melengkapi imunisasi bagi
anggota keluarganya sesuai anjuran.

2. Dalam menghadapi isu terkait imunisasi, seluruh Muslimin dan Muslimat, para Alim ulama
dan profesional kesehatan muslim untuk mengikuti panduan dari instansi yang berwenang dan
kompeten, seperti Kementerian Kesehatan RI, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI),
Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) dan Perhimpunan Profesional Kesehatan
Muslim Indonesia (PROKAMI).

3. Seluruh masyarakat perlu cerdas dan menerima apa pun informasi, khususnya terkait isu
kesehatan dan imunisasi. Pastikan informasi yang didapat berasal dari sumber yang kompeten
dan kredibel.

4. Menghimbau semua pemimpin politik, agama dan masyarakat untuk mendukung program
imunasi nasional khusus kampanye imunisasi Measles dan Rubella. Berupaya mengatasi kendala
kultur, agama, politik dan keamanan dengan cara yang damai dan mengindari perselisihan yang
berkepanjangan, agar seluruh anak Indonesia mendapatkan haknya untuk divaksinasi.
Perubahan benda najis atau haram menjadi suci

Kemudian ada istilah [‫“ ]استحالة‬istihalah” yaitu perubahan benda najis atau haram menjadi
benda yang suci yang telah berubah sifat dan namanya. Contohnya adalah jika kulit bangkai
yang najis dan haram disamak, maka bisa menjadi suci atau jika khamr menjadi cuka -
misalnya dengan penyulingan- maka menjadi suci. Pada enzim babi vaksin tersebut telah
berubah nama dan sifatnya atau bahkan hanya sebagai katalisator pemisah, maka yang
menjadi patokan adalah sifat benda tersebut sekarang.

Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah rahimahullah menjelaskan masalah istihalah,

َ ‫ َو ََل ِعب َْرة‬،‫ب‬


ِ ِِّ‫الطي‬ َ ِ‫ث َو ْال َخب‬
‫يث ِم ْن ه‬ ِ ‫ِّب ِم ْن ْال َخبِي‬ ‫ج ه‬
َ ِ‫الطي‬ ُ ‫َللَا ُ – تَعَالَى – يُ ْخ ِر‬
‫َو َ ه‬
ِ ‫ َو ِم ْن ْال ُم ْمتَنِعِ بَقَا ُء ُح ْك ِم ْال ُخ ْب‬،‫ي ِء فِي نَ ْف ِس ِه‬
‫ث َوقَ ْد زَ ا َل‬ ‫ف ال ه‬
ْ ‫ش‬ ْ َ ‫بِ ْاْل‬
ْ ‫ بَ ْل بِ َو‬،‫ص ِل‬
ِ ‫ص‬
ُ‫صفُه‬
ْ ‫ا ْس ُمهُ َو َو‬،

“Dan Allah Ta’ala mengeluarkan benda yang suci dari benda yang najis dan mengeluarkan
benda yang najis dari benda yang suci. Patokan bukan pada benda asalnya, tetapi pada
sifatnya yang terkandung pada benda tersebut [saat itu]. Dan tidak boleh menetapkan hukum
najis jika telah hilang sifat dan berganti namanya.” [I’lamul muwaqqin ‘an rabbil
‘alamin 1/298, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, Beirut, Cetakan pertama, 1411 H, Asy-Syamilah]

Percampuran benda najis atau haram dengan benda suci

Kemudian juga ada istilah [‫“ ]استحالك‬istihlak” yaitu bercampurnya benda najis atau haram
pada benda yang suci sehingga mengalahkan sifat najisnya , baik rasa, warna, dan baunya.
Misalnya hanya beberapa tetes khamr pada air yang sangat banyak. Maka tidak membuat
haram air tersebut.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ي ٌء‬
ْ ‫ش‬ ُ ‫ور ََل يُن ِ َِّج‬
َ ُ‫سه‬ َ ‫إِ هن اَلْ َم ا َء‬
ٌ ‫ط ُه‬

“Air itu suci, tidak ada yang menajiskannya sesuatu pun.” [Bulughul Maram, Bab miyah no.2,
dari Abu Sa’id Al-Khudriy]

َ َ‫َكانَ اَلْ َما َء قُلهت َ ْي ِن لَ ْم يَ ْح ِم ْل اَلْ َخب‬


ْ ‫ – لَ ْم يَ ْن ُج‬:‫ث – َو فِي لَ ْف ٍظ‬
‫س‬

“Jika air mencapai dua qullah tidak mengandung najis”, di riwayat lain, “tidak
najis”[Bulughul Maram, Bab miyah no.5, dari Abdullah bin Umar]

Maka enzim babi vaksin yang hanya sekedar katalisator yang sudah hilang melalui proses
pencucian, pemurnian, dan penyulingan sudah minimal terkalahkan sifatnya.

2.bagaimana pendapatmu terkait euthanasia dalam hukum islam yaitu

Islam mengajarkan kepada kita untuk memelihara setiap jiwa manusia. Agama yang rahmatan lil
‘alamin ini pun tidak pernah mengajarkan dan bahkan melarang adanya pembunuhan baik yang
tanpa persetujuan korban maupun dengan permintaan korban sendiri. Lalu bagaimana dengan
Eutahanasia Killing? Ya, memang masih banyak sekali pro-kontra dalam masalah ini. Para pro-
Euthanasia Killing berpendapat bahwa seseorang yang tidak dapat melakukan apapun atau tidak
produktif lagi dalam hidupnya seperti pasien dalam keadaan terminal memiliki hak untuk
mati demi kebaikan dirinya sendiri. Mereka beranggapan dengan adanya Euthanasia Killing,
pasien dalam keadaan terminal bisa hilang penderitaanya secara seketika dalam keadan damai.
Berbeda dengan orang-orang yang kontra dengan Euthanasia Killing, mereka berargumen bahwa
setiap jiwa yang dianugerahkan oleh Tuhan adalah penting untuk dijaga dan dihormati
keberadaanya. Maka, mereka beranggapan bahwa Euthanasia Killing adalah hal yang sama
sekali tidak diperbolehkan karena ini sama saja dengan pembunuhan dan tidak adanya
penghormatan bagi jiwa seseorang.
Lalu, bagaimana dengan agama islam? Tentu saja islam sangat melarang akan hal ini. Tegasnya,
agama islam tidak pernah mengizinkan pembunuhan baik itu terencana ataupun tidak kecuali
dalam beberapa hal, yaitu orang yang bersangkutan membunuh orang lain secara melawan
hukum, orang yang sudah menikah melakukan perzinaan atau murtad. Rasulullah SAW bersanda
: “Tidak dihalalkan darah seorang muslim yang mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah
dan Aku (Muhammad) itu utusan Allah, kecuali oleh satu sebab dari tiga alasan, yaitu orang
yang (diqisas) karena membunuh orang lain, berzina sedang ia sudah kawin, dan keran
meninggalkan agamanya serta memisahkan diri dari jama’ah (kaum muslimin).” (HR. Buhkari)

Berdasarkan ayat dan hadits diatas dapat dikatakan bahwa larangan pembunuhan tanpa hak itu
bersifat umum dan mutlak. Dengan tindakan seseorang yang memberikan suntikan obat berdosis
tinggi dengan tujuan untuk mempercepat kematian pasiennya adalah termasuk tindakan
pembunuhan yang terlarang. Karena yang berhak menentukan cepat atau lambatnya ajal adalah
merupakan hak prerogatif Allah, seperti diungkapkan dalam firman Allah yang berbunyi :

Artinya : “Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat
menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada
yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-
Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(Q.S. Yunus : 107)

Ayat diatas jelas mengatakan kepada kita bahwa segala sesuatu yang bersifat sulit hanya Allah
yang dapat menghilangkannya termasuk seorang pasien dalam keadaan terminal. Maka, jika
Euthanasia Killing dilakukan berarti orang yang melakukan hal tersebut sama saja dengan tidak
menyetujui kehendak Allah karena mungkin saja Allah sedang memberikan ujian kepada orang
yang bersangkutan. Sehingga walaupun seseorang melakukan Euthanasia Killing demi kebaikan
(berhentinya penderitaan) orang lain, namun hal tersebut mengakibatkan kematian, maka tetap
saja Euthanasia Killing ini dilarang sebab perbuatan haram tak akan menjadi halal lantaran niat
baik. Islam memandang tindakan yang bermanfaat adalah caranya benar secara syara dan niatnya
pun benar secara syara pula.

Niat baik dalam Euthanasia Killing pada hakekatnya termasuk dalam kategori pemberian
bantuan dalam perbuatan yang dilarang Tuhan, sebab menginginkan kematian lantaran suatu
penderitaan hidup termasuk penyakit yang tidak kunjung sembuh adalah dilarang oleh Allah.
Nabi SAW bersabda : “Janganlah seorang kamu mengharapkan kematian karena sesuatu
musibah yang menimpanya, tetapi jika terpaksa ia harus berbuat begitu maka katakanlah: Ya
Allah biarkanlah aku hidup jika hidup ini lebih baik bagiku dan matikanlah aku jika mati itu
lebih baik bagiku.” (HR. Bukhari dari Anas)

Hadits di atas jelas menerangkan bahwa mengharapkan kematian adalah dilarang baik karena
musibah yang didapatnya maupun karena harta yang tidak dimilikinya. Dikecualikan
mengharapkan mati karena rindu kepada Allah karena ingin syahid atau karena takut fitnah
dengan satu keyakinan, bahwa kematian itu lebih baik.

Tindakan Euthanasia Killing berbeda dengan berdoa memohon tunjukan kepada Allah agar
dipilihkan yang terbaik antara hidup dengan mati karena tindakan ini merupakan cerminan sikap
hidup yang optimis dan bukan keputusasaan. Sedangkan mengharapkan kematian yang
diwujudkan melalui Euthanasia Killing merupakan sikap keputusan yang dibenci oleh Tuhan,
sesuai Q.S. Yusuf (12) : 87. Yang berbunyi :

Artinya : “Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa
dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”. (Q.S. Yusuf : 87)

Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa sikap putus asa dikategorikan sebagai sikap kekufuran
apalagi keputusasaan yang menjurus kepada kematian melalui Euthanasia Killing. Bahkan
tindakan Euthanasia Killing dalam hal ini mengakibatkan dosa yang berlipat ganda yaitu dosa
karena putus asa dari rahmat Allah dan dosa karena membunuh diri sendiri baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Dalam hal ini tindakan dokter yang membantu mempercepat kematian pasien melalui Euthanasia
Killing juga pada hakekatnya turut menanggung dosa dan perbuatannya itu termasuk kategori
haram. Niat “baik” dokter dalam kasus ini tetap haram karena cara yang ditempuh
adalah salah sehingga berakibatkan kematian juga salah menurut hukum Islam. Sebab dalam
kondisi kritis itu seharusnya dokter berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan
pengobatan kepada pasiennya, bukannya diberikan obat yang dapat mempercepat kematian
pasien. Dalam kaidah fiqh dijelaskan, bahwa al-dararu la yuzalu bi aldarar (bahaya tidak boleh
dihilangkan dengan bahaya yang lain).
Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa memudahkan proses kematian pasien secara
Euthanasia Killing aktif, seperti pada contoh yang telah dikemukakan diatas, tidak dibolehkan.
Sebab tindakan aktif dengan tujuan membunuh si pasien dan mempercepat kematiannya melalui
pemberian obat secara overdosis atau cara lainnya. Tindakan ini tetap dalam kategori
pembunuhan, walaupun yang mendorong itu rasa kasihan kepada pasien dan untuk meringankan
penderitaannya. Karena bagaimanapun dokter tidak lebih pengasih dan penyayang daripada
Allah. Manusia harus menyerahkan hidup dan matinya kepada Allah. Dalam Euthanasia Killing
menandakan manusia terlalu cepat menyerah kepada (fatalis), padahal Allah menyuruh manusia
untuk selalu berusaha / berikhtiar sampai akhir hayatnya.

Sedangkan memudahkan proses kematian pasien dengan Euthanasia Killing pasif ini
adalah boleh dan dibenarkan syara, bila keluarga penderita mengizinkannya dan dokter
diperbolehkan melakukannya untuk meringankan penderitaan si sakit dan keluarganya. Hal ini
berlaku juga terhadap tindakan dokter menghentikan alat pernapasan buatan dari si sakit, yang
menurut pandangan dokter dia dianggap sudah “mati” atau “dihukumi telah mati” karena
jaringan otak atau sumsun yang dengannya seorang dapat hidup dan merasakan sesuatu, telah
rusak.

Anda mungkin juga menyukai