Anda di halaman 1dari 48

PROPOSAL

Pengaruh Model Discovery Learning Terhadap Kemampuan


Berpikir Kreatif Siswa Pada Mata Pelajaran Fisika Kelas X IPA
Di SMA Negeri 2 Singaraja

OLEH
M. HAJRIN
NIM. 1513021056

JURUSAN PENDIDIKAN FISIKA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA

2018

1
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendidikan merupakan usaha sadar serta terencana untuk mewujudkan suasana belajar

dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya

untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,

bangsa dan Negara (Kemendikbud, 2003). Pendidikan dapat diartikan sebagai usaha sadar

dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta

didik secara aktif mengembangkan potensi diri (Sanjaya, 2009). Pendidikan merupakan

pemegang peranan yang sangat penting bagi kelangsungan kehidupan manusia. Karena

pada hakikatnya, melalui pendidikan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas

dicetak untuk menjadi motor penggerak kemajuan dan kemakmuran bangsa.

Perkembangan dunia pendidikan di Indonesia dari tahun ketahun mengalami perubahan

seiring dengan tantangan dalam menyiapkan SDM yang berkualitas dan mampu bersaing

di era global. Fungsi dan tujuan pendidikan nasional lebih jelasnya tertuang dalam

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 yang menyatakan bahwa, “

Tujuan Pendidikan Nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar

menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak

mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis

serta bertanggung jawab”.

Berdasarkan fungsi pendidikan yang tercantum dalam undang-undang tersebut

terlihat jelas bahwa pendidikan memegang peranan penting dalam mencerdaskan

kehidupan bangsa, memiliki pengetahuan dan keterampilan yang handal dan profesional.

Tujuan pendidikan nasional dapat diwujudkan melalui pengembangan kurikulum,

1
lembaga pendidikan seperti Kurikulum 2013. Proses pembelajaran Kurikulum 2013

dilakukan secara terpadu dan peserta didik dituntut untuk lebih aktif dan mandiri dalam

proses pembelajaran sehingga pendidik hanya berperan sebagai fasilitator dan

pembelajaran berpusat pada peserta didik bukan pada pendidik. Sehingga diharapkan

pendidikan di Indonesia mampu menghasilkan lulusan yang berkompeten dan memiliki

keseimbangan soft skill dan hard skill yang meliputi aspek kompetensi kognitif, afektif

dan psikomotorik agar nantinya dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik.

Salah satu pembelajaran yang diterapkan pada Kurikulum 2013 adalah

pembelajaran fisika. Fisika adalah ilmu yang mempelajari tentang fenomena alam, dan

interaksi di dalamnya. Pembelajaran Fisika adalah bagian dari pelajaran ilmu alam. Ilmu

alam secara klasikal dibagi menjadi dua bagian, yaitu (1) ilmu-ilmu fisik (physical

sciences) yang objeknya zat, energi, dan transformasi zat dan energi, (2) ilmu-ilmu

biologi (biological sciences) yang objeknya adalah makhluk hidup dan lingkungannya

(Yuliani et al., 2017). Dalam belajar fisika, yang pertama dituntut adalah kemampuan

untuk memahami konsep, prinsip maupun hukum-hukum, kemudian diharapkan siswa

mampu menyusun kembali dalam bahasanya sendiri sesuai dengan tingkat kematangan

dan perkembangan intelektualnya. Tujuan utama dari pengetahuan ini adalah untuk

menemukan keteraturan pengamatan manusia ke alam semesta. Ini juga bertujuan untuk

mempersiapkan siswa agar mampu menghadapi perkembangan yang logis, efisien,

rasional, dan pikiran yang efektif (Muharammah et al., 2018). Dalam silabus mata

pelajaran fisika disebutkan bahwa siswa harus memiliki kompetensi-kompetensi khusus

setelah mengikuti proses pembelajaran. Pembelajaran fisika dikatakan berhasil apabila

siswa sudah memenuhi kompetensi-kompetensi tersebut. Adapun salah satu kompetensi

tersebut adalah siswa dapat menjalani kehidupan dengan sikap positif dengan daya pikir

2
kritis, kreatif, inovatif dan kolaboratif, disertai kejujuran dan keterbukaan, berdasarkan

potensi proses dan produk fisika (Kemendikbud, 2016). Tujuan pembelajaran fisika dalam

Kurikulum 2013 adalah siswa diharapkan memiliki keterampilan berpikir tingkat tinggi

(High Order Thinking Skills (HOTS). High Order Thinking Skills merupakan proses

berfikir yang tidak hanya menghafal dan menyampaikan informasi yang sudah diketahui,

akan tetapi keterampilan untuk menghubungkan, mengubah pengetahuan dan pengalaman

yang ada menjadi pemikiran kreatif dalam membuat keputusan dan memecahkan masalah

dalam situasi baru. Siswa yang mempunyai keterampilan berpikir tingkat tinggi dalam

pembelajaran akan menyebabkan mereka terbiasa menganalisis, berpendapat dan kreatif

dalam memecahkan masalah yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari (Rahman,

2017). Salah satu keterampilan berfikir tingkat tinggi adalah keterampilan berfikir kreatif.

Berpikir kreatif merupakan berpikir tingkat tinggi berdasarkan pada data/informasi

yang ada. Berpikir kreatif menjadi salah satu standar kompetensi lulusan kurikulum 2013

dimensi keterampilan termasuk pada pembelajaran fisika, yakni peserta didik diharapkan

memiliki kemampuan berpikir dan bertindak yang efektif dan kreatif dalam ranah abstrak

maupun konkret (Permendikbud, 2013). Susanto (2013) menjelaskan bahwa berpikir

kreatif adalah suatu cara yang diperlukan peserta didik dapat membangun ide-ide yang

dapat diterapkan dalam kehidupan, terutama pada saat proses belajar berlangsung. Siswa

dituntut untuk untuk dapat mengembangkan kemampuan berpikir kreatifnya sehingga

memiliki banyak alternativ jawaban terhadap suatu soal. Ide yang muncul dari siswa

itulah yang dapat melatih kemandirian siswa dalam menyelesaikan soal-soal. Indicator

yang harus terpenuhi dalam berpikir kreatif, yaitu 1) kelancaran, 2) keluwesan, 3)

kebaruan, dan 4) elaborasi.

3
Berpikir kreatif identik dengan mengungkapkan suatu gagasan baru atau

menyelesaikan sebuah permasalahan dalam pembelajaran berbeda dari yang lainnya.

Dalam pengertian ini gagasan yang dituangkan berdasarkan akal pemikiran sehat dan

logis serta tidak menyinggung ataupun menyalahkan gagasan orang lain (Istiqomah et al.,

2018). Berpikir kreatif tersebut akan dimiliki peserta didik apabila pendidik bisa

mengajarkan kepada peserta didik bagaimana cara menyelesaikan masalah dengan

berbagai cara secara efektif. Jadi pembelajaran kreatif adalah pembelajaran yang mampu

menciptakan peserta didik lebih aktif, berani menyampaikan pendapat dan berargumen,

menyampaikan masalah atau solusinya serta memperdayakan semua potensi yang sudah

tersedia (Kacan dan Fatma, 2018).

Fakta menunjukkan bahwa hasil belajar dan kemampuan berpikir kreatif siswa di

Indonesia terbilang cukup rendah. Hasil studi PISA (Programme For International

Student Assessment) yang dilakukan oleh OECD (Organization For Economic Co-

operation And Development) tahun 2015 terakhir menyatakan bahwa skor pencapaian

pelajar dalam bidang sains, membaca, dan matematika berada pada peringkat 62, 64, dan

63 dari 70 negara yang dievaluasi. Berdasarkan data, rata-rata nilai sains negara OECD

adalah 493. Sedangkan Indonesia baru mencapai skor 403. Untuk matematika, rata-rata

nilai negara OECD adalah 490, namun skor Indonesia hanya 386. Sementara membaca

rata-rata nilai negara OECD adalah 493, namun skor Indonesia hanya 397 (Iswadi, 2016).

Berdasarkan hasil PISA maka dapat diidentifikasikan bahwa peserta didik Indonesia

memiliki kemampuan berpikir kreatif yang cukup rendah karena peserta didik mengalami

kesulitan dalam menyelesaikan soal yang menuntut peserta didik harus dapat

merumuskan dan menafsirkan masalah sehingga dapat menentukan strategi yang tepat

dalam memecahkan masalah.

4
Selain itu, rendahnya kemampuan berpikir kreatif dan hasil belajar siswa di

Indonesia ini juga didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Septianingrum et

al. (2018) yang menyatakan bahwa rendahnya kemampuan berpikir kreatif ini dibuktikan

dengan siswa kesulitan merumuskan masalah, memberikan argumen, melakukan deduksi,

melakukan induksi, serta melakukan evaluasi untuk memecahkan suatu masalah pada saat

proses pembelajaran. Sementara rendahnya hasil belajar siswa dibuktikan dengan masih

banyaknya siswa (65%) yang belum mencapai KKM pada pembelajaran fisika. Hasil

penelitian serupa yang dilakukan oleh Istiqomah et al. (2018) menyatakan bahwa siswa

mengalami kesulitan ketika diberi soal-soal tentang kemampuan berpikir kreatif. Hal ini

terjadi karena siswa belum terbiasa menyelesaikan soal yang membutuhkan aspek

pemahaman, perencanaan, penyelesaian, dan menemukan hasil. Karena tes yang

digunakan hanya mengukur kemampuan siswa pada aspek berpikir tepat yaitu cukup

dengan hanya paham saja dan sesuai dengan teks book, bukan pada aspek penemuan hal

baru. Kondisi tersebut tentunya menimbulkan kesenjangan karena ketidaksesuaian

harapan dan kenyataan.

Kesenjangan yang ditimbulkan akibat rendahnya hasil belajar dan kemampuan

berpikir kreatif siswa disebabkan oleh model pembelajaran yang digunakan guru kurang

bervariasi. Dimana pembelajaran yang digunakan masih menggunakan pembelajaran

yang bersifat konvensional. Menurut Rosdiana et al. (2017) salah satu penyebab kurang

optimalnya kemampuan berpikir kreatif siswa adalah pada pembelajaran fisika yang

diterapkan di kelas masih berorientasi pada guru, metode mengajar yang diterapkan

dominan dengan metode ceramah, sehingga pembelajaran masih berpusat pada guru

(teacher centered), siswa cenderung hanya mendengarkan dan mencatat informasi-

informasi yang diberikan, sehingga hal tersebut berdampak pada hasil belajar fisika siswa

5
yang masih berada di bawah KKM. Menurut Riandari et al. (2018) rendahnya

kemampuan berpikir kreatif siswa disebabkan karena guru hanya menggunakan model

pembelajaran yang konvensioanal dengan metode ceramah, diskusi dan tanya jawab,

dimana guru sebagai pusat informasi dan siswa sebagai pendengar sehingga siswa

menjadi pasif, tidak kreatif, dan kurang berperan aktif dalam membangun dan menemukan

sendiri pengetahuannya. Faktor lainya yaitu siswa kurang termotivasi belajar fisika, siswa

cenderung hanya mendengarkan dan mencatat informasi-informasi yang diberikan oleh

guru, kegiatan praktikum jarang dilakukan, siswa juga merasa begitu banyak rumus yang

harus dihafalkan, serta siswa menganggap bahwa fisika merupakan pelajaran yang sulit,

kurang menarik dan membosankan. Fisika selama ini dipandang sebagai produk siap

pakai yang mendorong guru cenderung memberitahu konsep dan teorema semata. Siswa

tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan pemahamannya sendiri terhadap konsep

fisika sehingga keterampilan berfikir kreatif mereka sulit berkembang. (Putri et al., 2107).

Bertolak dari permasalahan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka perlu

dilakukan inovasi dalam proses pembelajaran fisika untuk meningkatkan kemampuan

berpikir kreatif siswa. Pembelajaran dapat dikatakan efektif dan optimal apabila tujuan

pembelajaran dapat tercapai. Tujuan pembelajaran akan tercapai apabila seorang pendidik

dapat menciptakan situasi dan kondisi belajar yang baik dan secara efektif sehingga

perencanaan dan metode yang digunakan oleh guru pun dapat mempengaruhi potensi dan

kemampuan yang dimiliki peserta didik, serta keberhasilan tersebut akan tercapai apabila

peserta didik dilibatkan secara langsung dalam proses berpikirnya. Pendidik diharapkan

memiliki cara atau model mengajar yang baik dan harus kreatif dalam memilih model

pembelajaran. Penerapan model pembelajaran yang dimaksudkan yaitu dapat membuat

peserta didik memiliki kecakapan berpikir kreatif, kritis serta dapat meningkatkan hasil

6
belajar peserta didik dalam proses pembelajaran. Menurut Muharammah et al. (2018)

konsep fisika dapat dikuasai oleh siswa apabila guru tidak hanya sekadar memberikan

materi secara garis besar, melainkan guru mampu menciptakan proses pembelajaran yang

efektif, ini akan terjadi apabila siswa terlibat secara aktif dalam masalah yang disajikan

selama proses pembelajaran. Berdasarkan hal tersebut tentunya diperlukan model

pembelajaran yang dapat memudahkan siswa untuk mencapai tujuan tersebut. Model

pembelajaran yang dapat memudahkan untuk mencapai tujuan pembelajaran khususnya

pada pembelajaran fisika adalah model pembelajaran penemuan (discovery learning).

Menurut Miatun et al. (2018) karakteristik pembelajaran penemuan (Discovery

Learning) adalah penemuan itu sendiri. Setiap siswa harus membuat sebuah penemuan

untuk menemukan konsep materi yang akan dipelajari. Model ini memberi kesempatan

bagi siswa untuk menemukan dan membangun pengetahuan mereka sendiri.

Pembelajaran Discovery adalah pembelajaran yang mengembangkan kemampuan

pedagogis guru dan memungkinkan siswa untuk membangun pengetahuan mereka

sendiri. Penemuan adalah bagian dari pembelajaran penemuan, yang membantu siswa

bagaimana cara belajar dan mentransfer pengetahuan mereka. Saragih et al. (2016) model

pembelajaran discovery learning adalah suatu metode yang memungkinkan para anak

didik terlibat langsung dalam kegiatan belajar-mengajar, sehingga mampu menggunakan

proses mentalnya untuk menemukan suatu konsep atau teori yang sedang dipelajari. Putri

et al. (2017) menyatakan bahwa model discovery learning ini menitik beratkan pada

kemampuan mental dan fisik para anak didik yang akan memperkuat semangat dan

konsentrasi mereka dalam melakukan kegiatan pembelajaran. Siswa tidak hanya

diberikan teori, tetapi mereka berhadapan dengan sejumlah fakta. Suendarti (2017) The

discovery learning model is defined as the learning process that occurs when the learner

7
is not presented with the lesson in its final form, but is expected to organize itself.

Discovery learning model according to Alma et al which is also referred to as an inquiry

approach starting on a belief in the development of students independently.

Berdasarkan temuan penelitian di atas, maka penulis terinspirasi untuk mengkaji

lebih lanjut mengenai pengaruh model discovery learning untuk meningkatakan

kemampuan berpikir kreatif siswa dalam suatu penelitian eksperimen yang berjudul

“Pengaruh Model Discovery Learning terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa

Pada Mata Pelajaran Fisika Kelas X IPA di SMA Negeri 2 Singaraja”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian

ini dirumuskan sebagai berikut : “Apakah terdapat perbedaan kemampuan berpikir kreatif

fisika antara siswa yang belajar dengan model pembelajaran discovery learning dan siswa

yang belajar dengan model pembelajaran konvensioanal?”

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun tujuan penelitian ini adalah untuk

mendeskripsikan perbedaan kemampuan berpikir kreatif fisika antara siswa yang belajar

dengan model pembelajaran discovery learning dan siswa yang belajar dengan model

pembelajaran konvensioanal.

1.4 Manfaat Penelitian

Secara umum terdapat dua manfaat dari penelitian ini yaitu manfaat teoretis dan

manfaat praktis, sebagai berikut.

1.4.1 Manfaat Teoretis

8
1. Temuan penelitian ini dapat memberikan sumbangan atau menambah khasanah

ilmu dalam pendidikan terutama dalam memperbaiki kualitas pembelajaran

fisika di sekolah mengenai pengaruh model pembelajaran discovery learning

terhadap kemampuan berpikir kreatif siswa pada mata pelajaran fisika.

2. Penelitian ini dapat mengungkapkan pengaruh model pembelajaran discovery

learning terhadap kemampuan berpikir kreatif fisika sebagai pendekatan yang

inovatif.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Bagi guru, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu

alternatif yang dapat diterapkan untuk meningkatkan minat belajar siswa dalam

mempelajari fisika. Selain itu, dapat memudahkan guru mengajar, sehingga

siswa mudah memahami pelajaran fisika dan sebagai alternatif untuk

meningkatkan kemampuan berpikir kreatif fisika siswa dengan menerapkan

model discovery learning.

2. Bagi siswa, penerapan model discovery learning ini diharapkan dapat

meningkatkan minat siswa dalam mempelajari fisika, meningkatkan

kemampuan siswa dalam menyelesaikan permasalahan yang ditemukan dengan

mengaitkannya dalam kehidupan sehari-hari, serta hasil penelitian ini

diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif

siswa dalam pelajaran fisika.

3. Bagi peneliti, sebagai calon guru yang nantinya terjun ke sekolah, penelitian ini

dapat memberikan pengalaman bagi peneliti dalam mengembangkan proses

pembelajaran di kelas, mempelajari lebih banyak karakter para siswa dan

kendala yang ditemukan dalam proses pembelajaran, serta hasil penelitian ini

9
dapat digunakan sebagai pedoman menggunakan model discovery learning

dalam pelajaran fisika untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa.

4. Bagi sekolah, penelitian ini dapat digunakan dalam mengembangkan dan

menentukan penggunaan media dan model pembelajaran yang inovatif, sehingga

dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa yang berdampak pada

peningkatan kualitas siswa.

1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kelas X IPA di SMA Negeri 2 Singaraja tahun

ajaran 2018/2019. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh model discovery

learning terhadap kemampuan berpikir kreatif siswa pada mata pelajaran fisika.

1.6 Definisi Konseptual

1.6.1 Model Discovery Learning (DL)

Discovery Learning memiliki arti penemuan. Dalam penerapannya model ini lebih

menekankan pentingnya pemahaman struktur atau ide-ide penting terhadap suatu disiplin

ilmu, melalui keterlibatan peserta didik secara aktif dalam proses pembelajaran. Model

discovery learning ini menitik beratkan pada kemampuan mental dan fisik para anak

didik yang akan memperkuat semangat dan konsentrasi mereka dalam melakukan

kegiatan pembelajaran. Siswa tidak hanya diberikan teori, tetapi mereka berhadapan

dengan sejumlah fakta.

1.6.2 Model Pembelajaran Konvensional

Pembelajaran konvensional (ceramah) merupakan cara penyajian pelajaran

yang dilakukan guru dengan penuturan atau penjelasan lisan secara langsung

terhadap siswa (Djamarah dan Zain, 2006).

1.6.3 Kemampuan Berpikir Kreatif

10
Susanto (2013) menjelaskan bahwa berpikir kreatif adalah suatu cara yang

diperlukan peserta didik dapat membangun ide-ide yang dapat diterapkan dalam

kehidupan, terutama pada saat proses belajar berlangsung. Siswa dituntut untuk untuk

dapat mengembangkan kemampuan berpikir kreatifnya sehingga memiliki banyak

alternative jawaban terhadap suatu soal. Ide yang muncul dari siswa itulah yang dapat

melatih kemandirian siswa dalam menyelesaikan soal-soal. Indicator yang harus

terpenuhi dalam berpikir kreatif, yaitu 1) kelancaran, 2) keluwesan, 3) kebaruan, dan 4)

elaborasi.

1.7 Definisi Operasional

Definisi operasional dalam penelitian ini terkait dengan variabel yang dapat

diukur, yaitu kemampuan berpikir kreatif siswa. Kemampuan berpikir kreatif merupakan

skor yang dicapai oleh siswa karena telah memenuhi indikator keberhasilan. Kemampuan

berpikir kreatif siswa dapat diukur melalui pretest dan posttest. Tes yang digunakan

merupakan tes essay.

II. KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paham Konstruktivisme dalam Pembelajaran

Paradigma konstruktivistik tentang pembelajaran merupakan paradigma alternatif

yang muncul sebagai akibat terjadinya revolusi ilmiah dari sistem pembelajaran yang

cenderung berlaku pada abad industri ke sistem pembelajaran yang semestinya berlaku

pada abad pengetahuan sekarang ini (Santyasa, 2007).

Wheatly (dalam Sadia, 2014) mengemukakan dua prinsip pokok konstruktivisme.

Pertama, bahwa pengetahuan tidak diterima secara pasif, tetapi dibangun secara aktif oleh

pebelajar. Pebelajarlah yang aktif membangun makna terhadap masukan sensorik yang

diterima dalam lingkungannya. Oleh sebab itu, makna yang dibangun terhadap informasi

11
yang disajikan guru dalam proses pembelajaran mungkin akan berbeda antar pelajar yang

satu dengan yang lainnya. Makna yang dibangun sangat bergantung pada struktur kognitif

yang telah ada sebelumnya pada masing-masing individu pebelajar dan sifatnya personal.

Kedua, bahwa fungsi kognitif adalah adaptasi dan melayani dunia pengalaman, bukan

menemukan realita ontologi.

Pendapat lain tentang prinsip dasar konstruktivisme dikemukakan oleh Fosnot

(dalam Sadia, 2014), ia mengemukakan empat prinsip dasar konstruktivisme, sebagai

berikut.

1. Pengetahuan terdiri atas konstruksi-konstruksi masa silam. Kita membangun

pengetahuan dengan menggunakan struktur kognitif yang telah kita miliki dan

struktur kognitif itu sendiri terus berkembang secara kontinu melalui proses

regulasi diri.

2. Pengetahuan dikonstruksi melalui proses asimilasi dan/atau akomodasi. Kita

menggunakan asimilasi sebagai suatu kerangka logis dalam menginterpretasi

informasi baru dan akomodasi dalam memecahkan kontradiksi-kontradiksi

sebagai bahan dari proses regulasi diri yang lebih luas.

3. Belajar merupakan suatu proses organik dari penemuan, lebih dari suatu proses

mekanik yang akumulatif. Penganut kontruktivisme mengambil posisi bahwa

pebelajar harus memperoleh pengalaman berhipotesis, memprediksi,

memanipulasi objek, berimajinasi, dan melakukan penemuan dalam upaya

mengembangkan struktur kognitifnya. Perspektif tersebut menjelaskan bahwa

proses pembelajaran akan berpusat pada siswa dan diperlukan model

pembelajaran yang fleksibel.

12
4. Mengacu pada mekanisme yang memungkinkan terjadinya perkembangan

struktur kognitif. Belajar bermakna akan terjadi melalui proses refleksi dan

resolusi konflik kognitif. Konflik kognitif akan terjadi jika pebelajar mengalami

ketidaksesuaian antara dua skemata yang kontradiksi.

Suparno (dalam Sadia, 2014) menyatakan bahwa konstruktivisme merupakan

salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan merupakan hasil

konstruksi diri sendiri melalui pengalaman siswa. Menurut Sadia (2014) belajar menurut

prinsip konstruktivisme dapat didefinisikan sebagai proses pengkonstruksian makna

secara aktif oleh pebelajar terhadap data sensorik baru yang didasarkan atas struktur

kognitif pada diri pebelajar dalam wujud prior knowledge yang memegang peran yang

sangat sentral dalam proses belajar. Menurut Santyasa (2007) belajar menurut pandangan

konstruktivistik lebih sebagai proses regulasi diri dalam menyelesaikan konflik kognitif

yang sering muncul melalui pengalaman konkrit, wacana kolaboratif, dan interpretasi.

Belajar adalah kegiatan aktif siswa untuk membangun pengetahuan dengan melakukan

penalaran melalui seleksi, mengorganisasikan pengalaman dan mengintegrasikannya

dengan apa yang telah diketahui, serta bertanggung jawab terhadap peristiwa belajar dan

hasil belajarnya.

Menurut Santyasa (2007) pembelajaran menurut paradigma konstruktivistik lebih

mengutamakan penyelesaian masalah, mengembangkan konsep, konstruksi solusi, dan

algoritma daripada menghafal prosedur dan menggunakannya untuk memperoleh satu

jawaban benar. Pembelajaran lebih dicirikan oleh aktivitas eksperimentasi, pertanyaan-

pertanyaan, investigasi, hipotesis, dan model-model yang dibangkitkan oleh siswa sendiri.

Menurut Brooks dan Brooks (dalam Santyasa, 2007) terdapat lima prinsip dasar yang

melandasi kelas konstruktivistik, yaitu: 1) meletakkan permasalahan yang relevan dengan

13
kebutuhan siswa, 2) menyusun pembelajaran di sekitar konsep-konsep utama, 3)

menghargai pandangan siswa, 4) materi pembelajaran menyesuaikan terhadap kebutuhan

siswa, dan 5) menilai pembelajaran secara kontekstual. Prinsip-prinsip dasar dengan

pendekatan konstruktivisme telah melahirkan berbagai model pembelajaran yang

memiliki pandangan bahwa dalam proses belajar, siswa adalah pelaku aktif kegiatan

belajar dengan membangun sendiri pengetahuan berdasarkan pengalaman-pengalaman

yang dimilikinya. Salah satu model pembelajaran yang menganut paham konstruktivisme

adalah discovery learning.

2.2 Model Discovery Learning (DL)

Discovery Learning memiliki arti penemuan. Dalam penerapannya model ini lebih

menekankan pentingnya pemahaman struktur atau ide-ide penting terhadap suatu disiplin

ilmu, melalui keterlibatan peserta didik secara aktif dalam proses pembelajaran. Model

discovery learning ini menitik beratkan pada kemampuan mental dan fisik para anak

didik yang akan memperkuat semangat dan konsentrasi mereka dalam melakukan

kegiatan pembelajaran. Siswa tidak hanya diberikan teori, tetapi mereka berhadapan

dengan sejumlah fakta. Dari teori dan fakta itulah, mereka diharapkan dapat merumuskan

sejumlah penemuan (Putri et al., 2017).

Menurut Miatun et al. (2018) Karakteristik pembelajaran penemuan adalah

penemuan itu sendiri. Setiap siswa harus membuat sebuah penemuan untuk menemukan

konsep materi yang akan dipelajari. Model ini memberi kesempatan bagi siswa untuk

menemukan dan membangun pengetahuan mereka sendiri. Wong (dalam Miatun et al.,

2018) menunjukkan bahwa pembelajaran penemuan adalah salah satu kesepakatan

pedagogik yang mengurangi instruksi langsung guru dan membuat siswa membangun

14
pengetahuan sendiri. Penemuan terpandu lebih unggul daripada penemuan murni dalam

membantu siswa belajar dan mentransfer ilmu".

Pendapat lain dari Oktafoura et al. (2016) bahwa model pembelajaran discovery

learning (model pembelajaran penemuan) adalah model pembelajaran yang menghendaki

para siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri, berdasarkan pengalaman

masa lalu mereka dan pengetahuan yang mereka miliki saat ini untuk mengeksplorasi dan

memahami konsep-konsep dalam lingkungan pembelajaran yang eksploratif. Model

pembelajaran ini berorientasi pada aktivitas belajar dan melibatkan demonstrasi praktis,

diskusi, dan eksperimen dimana selama proses pembelajaran para siswa menggunakan

cara belajar yang saintifik seperti adanya observasi, klasifikasi, investigasi dan

interprestasi yang kritis terhadap apa yang mereka temukan.

Sementara Sund dan Trowbridge (dalam Suendarti, 2017) berpendapat discovery

tejadi apabila individu terlibat, terutama dalam penggunaan proses mentalnya untuk

menemukan beberapa konsep dan prinsip. Discovery dilakukan melalui observasi,

klasifikasi, pengukuran, prediksi, penentuan. Proses tersebut adalah cognitive process,

sedangkan discovery itu sendiri adalah the mental process of assimilating conceps and

principles int the mind.

Dalam penerapannya model pembelajaran discovery learning tidak hanya

menuntut peserta didik untuk lebih aktif dalam pembelajaran, tetapi juga menuntut

peserta didik untuk mengembangkan kemampuan kemampuan yang ada dalam dirinya,

seperti kemampuan observasi, analisis, prediksi dan penentuan. Mubarok & Sulistyo

(dalam Saragih, 2016) menjelaskan bahwa model pembelajaran ini diawali dengan guru

memberikan pertanyaan yang merangsang berpikir siswa dan mendorongnya untuk

membaca buku dan melakukan aktivitas belajar lainnya. Selanjutnya, guru memberikan

15
kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin masalah yang

relevan dengan bahan pelajaran dan merumuskannya dalam bentuk hipotesis. Kemudian,

guru memberikan kesempatan kepada siswa mengumpulkan informasi yang relevan untuk

membuktikan benar tidaknya hipotesis tersebut yang dilanjutkan dengan pengolahan data

yang diperoleh siswa melalui wawancara, observasi dan sumber data lainnya. Lalu, guru

melakukan pemeriksaan dengan cermat untuk membuktikan benar tidaknya hipotesis

yang ditetapkan dengan hasil dan pengolahan data. Selanjutnya, guru dan siswa menarik

kesimpulan untuk dijadikan prinsip umum yang berlaku untuk semua masalah yang sama.

Mendukung pendapat diatas Fred J. J. M. Janssen (dalam Miatun et al., 2018),”

How to make guided discovery learning practical for student teachers”.) The common

aspect in different GDL practices is that teaching starts by posing a challenging problem,

and that students themselves contribute to the knowledge development needed to solve the

problem. Dari beberapa pendapat di atas, dapat dimengerti bahwa pembelajaran

Discovery Learning adalah pembelajaran yang bersifat aktif dengan menanamkan sikap-

sikap dalam penelitian, sehingga peserta didik mampu mengembangkan dirinya sesuai

dengan kemampuannya dalam melaksanakan model pembelajaran ini. Dengan di

laksanakannya model pembelajaran discovery learning peserta didik mengerti akan suatu

materi pembelajaran tidak hanya sebatas teorinya saja, melainkan juga penerapannya di

masyarakat. Dengan harapan peserta didik mampu untuk menyelesaikan setiap

masalahnya dalam kehidupan bermasyarakat.

a. Tujuan Discovery Learning

Model pembelajaran ini bertujuan untuk meningkatkan keterlibatan siswa secara

aktif untuk mendapatkan informasi, mengurangi ketergantungan kepada guru, melatih

siswa untuk mengeksplorasi dan memanfaatkan sumber informasi selain guru,

16
sehingga siswa akan termotivasi dalam proses pembelajaran fisika. Siswa didorong

untuk mempunyai pengalaman dalam melakukan percobaan yang memungkinkan

mereka menemukan prinsip-prinsip atau pengetahuan bagi dirinya sendiri dengan

bimbingan dari guru (Putri et al. 2017).

Hosnan (2014) mengemukakan beberapa tujuan spesifik dari pembelajaran

dengan penemuan, yakni sebagai berikut:

1. Dalam penemuan peserta didik memiliki kesempatan untuk terlibat secara

aktif dalam pembelajaran, kenyataan menunjukkan bahwa partisipasi banyak

peserta didik dalam pembelajaran meningkat ketika penemuan digunakan.

2. Melalui pembelajaran dengan penemuan, peserta didik belajar menemukan

pola dalam situasi konkret maupun abstrak, juga peserta didik banyak

meramalkan (extrapolate) informasi tambahan yang diberikan.

3. Peserta didik juga belajar merumuskan strategi tanya jawab yang tidak rancu

dan menggunakan tanya jawab untuk memperoleh informasi yang bermanfaat

dalam menemukan.

4. Pembelajaran dengan penemuan membantu peserta didik membentuk cara

kerja bersama yang efektif, saling membagi informasi, serta mendengar dan

mengunakan ide-ide orang lain.

5. Terdapat beberapa fakta yang menunjukkan bahwa keterampilan-

keterampilan, konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang dipelajari melalui

penemuan lebih bermakna.

6. Keterampilan yang dipelajari dalam situasi belajar penemuan dalam beberapa

kasus, lebih ditransfer untuk aktivitas baru dan diaplikasikan dalam situasi

belajar yang baru.

17
b. Ciri-ciri Discovery Learning

Hosnan (2014) berpendapat ada beberapa ciri proses pembelajaran discovery

yang sangat ditekankan oleh teori konstruktivisme, yaitu sebagai berikut:

1. Mendorong terjadinya kemandirian dan inisiatif belajar pada peserta didik.

2. Menekankan pada proses belajar, bukan proses mengajar.

3. Memandang peserta didik sebagai pencipta kemauan dan tujuan yang ingin

dicapai

4. Berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses, bukan menekankan

pada hasil.

5. Mendorong peserta didik untuk mampu melakukan penyelidikan.

6. Menghargai peranan pengalaman kritis dalam belajar. Mendorong

berkembangnya rasa ingin tahu secara alami pada peserta didik.

7. Penilaian belajar lebih menekankan pada kinerja dan pemahaman peserta

didik.

8. Mendasarkan proses pembelajarannya pada prinsip-pinsip kognitif.

9. Banyak menggunakan terminologi kognitif untuk menjelaskan proses

pembelajaran, seperti prediksi, inferensi, kreasi dan analisis.

10. Menekankan pentingnya “bagaimana” peserta didik belajar.

11. Mendorong peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam dialog atau diskusi

dengan peserta didik lain dan guru.

12. Sangat mendukung terjadinya belajar kooperatif.

13. Menekankan pentingnya konteks dalam belajar.

14. Memperhatikan keyakinan dan sikap peserta didik dalam belajar.

18
15. Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk membangun pengetahuan

dan pemahaman baru yang didasari pada pengalaman nyata.

Dalam penerapannya pembelajaran discovery learning memiliki ciri-ciri dalam

penerapannya, adapun ciri utama belajar menemukan (discovery learning) , yaitu:

1. Mengeksplorasi dan memecahkan masalah untuk menciptakan,

menggabungkan, dan menggeneralisasi pengetahuan.

2. Berpusat pada peserta didik.

3. Kegiatan untuk menggabungkan pengetahuan baru dan pengetahuan yang

sudah ada (Hosnan, 2014).

c. Langkah-langkah Discovery Learning

Pelaksanaan starategi discovery learning di kelas, Syah (2004) berpendapat ada

beberapa prosedur yang harus dilakukan dalam kegiatan belajar mengajar secara

umum.

1. Stimulation (Stimulasi/pemberian rangsangan)

Pertama-tama pada tahap ini pelajar di hadapkan pada sesuatu yang

menimbulkan kebingungannya, kemudian di lanjutkan untuk tidak memberi

generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Disamping itu,

guru dapat memulai kegiatan PBL dengan mengajukan pertanyaan, anjuran

membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan

pemecahan masalah. stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan

kondisi interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan membantu peserta

didik untuk menyediakan kondisi interaksi belajar yang dapat

mengembangkan dan membantu peserta didik dalam mengeksplorasi bahan.

Dalam hal ini, bruner memberikan stimulasi dengan menggunakan teknik

19
bertanya, yaitu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat

menghadapkan peserta didik pada kondisi internal yang mendorong

eksplorasi.

2. Problem statement (pernyataan/identifikasi masalah)

Setelah dilakukan stimulisasi , langkah selanjutnya adalah guru memberi

kesempatan kepada peserta didik untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin

agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian

salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban

sementara atas pertanyaan masalah)

3. Data collection (pengumpulan data)

Ketika eksplorasi berlangsung, guru juga memberi kesempatan kepada

para peserta didik untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang

relevan untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis. Pada tahap ini

berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau mebuktikan benar tidaknya

hipotesis, dengan demikian peserta didik diberi kesempatan untuk

mengumpulkan (collection) berbagai informasi yang relevan, membaca

literature, mengamati objek, wawancara dengan nara sumber, melakukan uji

coba sendiri, dan sebagainya. Konsekuensi dari tahap ini adalah peserta didik

belajar secara aktif untuk menemukan sesuatu yang berhubungan dengan

permasalahan yang dihadapi, demikian dengan secara dengan tidak disengaja

peserta didik menghubungkan masalah dengan pengetahuan yang telah

dimilikinya.

4. Data processing (pengolahan data)

20
Pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data dan informasi yang

telah diperoleh para peserta didik baik melalui wawancara, observasi, dan

sebagainya. Selanjutnya ditafsirkan, dan semuanya diolah, diacak,

diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu

serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu. Data processing disebut

juga dengan pengkodean (coding)/kategorisasi yang berfungsi sebagai

pembentukan konsep dan generalisasi. Dari generalisasi tersebut peserta didik

akan mendapatkan pengetahuan baru tentang alternative jawaban /

penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian secara logis.

5. Verivication (pembuktian)

Pada tahap ini peserta didik melakukan pemeriksaan secara cermat untuk

membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan dengan temuan

alternative, dihubungkan dengan hasil data processing. Berdasarkan hasil

pengolahan dan tafsiran atau informasi yang ada, pernyataan atau hipotesis

yang telah dirumuskan terdahulu itu kemudian dicek, apakah terjawab atau

tidak, apakah terbukti atau tidak. Pembuktian menurut bruner, bertujuan agar

proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan

kesempatan kepada peserta didik untuk menemukan suatu konsep, teori,

aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam

kehidupannya.

6. Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi)

Tahap generalisasi/menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah

kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua

kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi

21
(Syah, 2004). Berdasarkan hasil verifikasi, maka dirumuskan prinsip-prinsip

yang mendasari generalisasi. Setelah menarik kesimpulan peserta didik harus

memperhatikan proses generalisasi yang menekankan pentingnya penguasaan

pelajaran atas makna dan kaedah atau prinsip-prinsip yang luas yang

mendasari pengalaman seseorang, serta pentingnya proses pengaturan dan

generalisasi dari pengalaman-pengalaman.

Dari langkah-langkah pembelajaran discovery learning menurut Syah (2004),

dapat di perjelas dengan tabel berikut :

Tabel 2.1 Sintaks Model Discovery Learning

Tahap Aktifitas Guru Aktifitas Peserta Didik


Tahap 1 Guru menghadapkan peserta Peserta didik mendengarkan
Stimulation didik kepada suatu masalah penjelasan dari guru
(Stimulasi/pemberian yang membuat siswa merasa mengenai permasalahan
rangsangan) tertarik dan perlu untuk yang akan mereka pelajari
mempelajarinya. dalam pelajaran
Tahap 2 Guru memberi kesempatan Peserta didik
Problem statement kepada peserta didik untuk mengidentifikasi sebanyak
(pernyataan/identifikasi mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda
masalah) mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan
masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian
bahan pelajaran, kemudian memilih salah satunya dan
salah satunya dipilih dan merumuskan dalam bentuk
dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara
hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan masalah)
atas pertanyaan masalah)
Tahap 3 Guru mengarahkan peserta Peserta didik mengumpulkan
Data collection didik untuk mengumpulkan data yang sesuai dengan
(pengumpulan data) data yang sesuai dengan masalah yang sedang peserta
masalah yang sedang peserta didik pelajari
didik pelajari.
Tahap 4 Guru membimbing peserta Peserta didik mengacak,
Data processing didik untuk mengacak,
mengklasisfikasikan,
(pengolahan data) mentabulasi, dan mengukur mentabulasi, dan dan
kesesuaian data terhadap mengukur kesesuaian data
masalah yang dipelajari terhadap masalah yang
dipelajari
Tahap 5 Guru mengarahkan peserta Peserta didik melakukan
Verivication didik untuk melakukan pemeriksaan secara cermat

22
(pembuktian) pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar
untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang
atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan dengan temuan
ditetapkan dengan temuan alternative duhubungkan
alternative duhubungkan dengan hasil data processing
dengan hasil data processing
Tahap 6 Guru membantu siswa dalam Peserta didik memperhatikan
Generalization (menarik melaksanakan proses proses generalisasi yang
kesimpulan/generalisasi) generalisasi masalah dengan menekankan pentingnya
data-data yang telah diperoleh penguasaan pelajaran atas
dan diverifikasi oleh peserta makna dan kaidah atau
didik sebelumnya. prinsip-prinsip yang luas
yang mendasari pengalaman
seseorang serta pentingnya
proses pengaturan dan
generalisasi dari
pengalaman-pengalaman.

d. Kelebihan Dan Kelemahan Model Pembelajaran Discovery Learning

 Kelebihan

Kelebihan model pembelajaran discovery learning menurut Roestiyah (2001),

antara lain:

- Teknik ini mampu membantu siswa untuk mengembangkan, memperbanyak

kesiapan, serta penguasaan keterampilan dalam proses kognitif/pengenalan

siswa.

- Siswa memperoleh pengetahuan yang bersifat sangat pribadi individual

sehingga dapat kokoh/mendalam tertinggal dalam jiwa siswa tersebut.

- Dapat membangkitkan kaeantusiasan belajar para siswa

- Teknik ini mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk

berkembang dan maju sesuai dengan kemampuannya masing-masing.

- Mampu mengarahkan cara siswa belajar, sehingga lebih memiliki motivasi

yang kuat untuk belajara lebih giat.

23
- Membantu siswa untuk memperkuat dan menambah kepercayaan pada diri

sendiri dengan proses penemuan sendiri.

- Strategi itu berpusat pada siswa tidak pada guru. Guru hanya sebagai teman

belajar saja, membantu bila diperlukan.

 Kelemahan

Kelemahan model pembelajaran discovery learning menurut Roestiyah

(2001), antara lain:

- Pada siswa harus ada kesiapan dan kematangan mental untuk cara belajar

ini. Siswa harus berani dan berkeinginan untuk mengetahui keadaan

sekitarnya dengan baik.

- Bila kelas terlalu besar penggunaan teknik ini akan kurang berhasil

- Bagi guru dan siswa yang sudah biasa dengan perencanaan dan pengajaran

tradisional mungkin akan sangat kecewa bila diganti dengan teknik

penemuan.

- Dengan teknik ini ada yang berpendapat bahwa proses mental ini terlalu

mementingkan proses pengertian saja, kurang memperhatikan

perkembangan/pembentukan sikap dan keterampilan bagi siswa.

2.3 Model Pembelajaran Konvensional

Pembelajaran konvensional (ceramah) merupakan pembelajaran yang bersifat

tradisional karena pembelajaran ini telah digunakan sejak dulu. Pembelajaran

konvensional lebih banyak menuntut keaktifan guru daripada siswa. Menurut Djamarah

dan Zain (2006) pembelajaran ceramah merupakan cara penyampaian materi pelajaran

yang dilakukan guru dengan penuturan atau penjelasan lisan secara langsung terhadap

siswa. Menurut Sanjaya (2009) pembelajaran ceramah merupakan cara menyajikan materi

24
pelajaran melalui penuturan secara lisan atau penjelasan langsung kepada sekelompok

siswa. Menurut Budianingsih (dalam sanjaya, 2009) pembelajaran konvensional yang

didominasi oleh guru masih berpijak pada teori behavioristik. Guru menyampaikan materi

pelajaran melalui ceramah dengan harapan bahwa siswa dapat memahami materi dan

memberikan respon sesuai materi yang diceramahkan. Karakter pembelajaran

konvensional, sebagai berikut :

1. Kurikulum disajikan dari bagian-bagian menuju keseluruhan dengan

menekankan pada keterampilan-keterampilan dasar.

2. Pembelajaran sangat taat pada kurikulum yang telah ditetapkan.

3. Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada buku teks dan buku kerja.

4. Siswa dipandang sebagai kertas kosong yang dapat digoresi informasi oleh guru.

5. Penelitian hasil belajar dipandang sebagai bagian dari pembelajaran dan

biasanya dilakukan pada akhir pelajaran dengan cara setting.

6. Siswa biasanya bekerja sendiri-sendiri tanpa kelompok dalam proses belajar.

Adapun tahapan pada pembelajaran konvensional secara umum, yaitu: 1) apersepsi

dari guru, 2) penyajian informasi, 3) ilustrasi dan contoh. Oleh sebab itu, pembelajaran

konvensional dirasa tidak tepat lagi untuk diterapkan dalam proses pembelajaran karena

tidak memberikan keleluasaan pada siswa untuk menggali sendiri pengetahuannya dan

cenderung kurang bermakna.

Djamarah dan Zain (2006) mengemukakan bahwa pembelajaran konvensional

memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihan pembelajaran konvensional yaitu tidak

memerlukan waktu yang lama karena hanya menjelaskan materi dan dapat diikuti oleh

siswa yang banyak, sehingga waktu yang diperlukan lebih efisien daripada belajar

kelompok, mudah mempersiapkan dan melaksanakannya, dan guru mudah menguasai

25
kelas. Sedangkan kelemahan pembelajaran konvensional yaitu siswa menjadi pasif,

pembelajaran didominasi oleh guru, dan tidak banyak mendapat umpan balik atau

cenderung searah, serta siswa kurang mengerti materi yang disampaikan guru.

2.4 Kemapuan Berpikir Kreatif

2.5 Kajian Hasil-hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini mengenai pengaruh model

pembelajaran. Dimana variabel tersebut memiliki pengaruh sehingga penelitian tersebut

sesuai dengan manfaat teoritis yang dapat digunakan untuk menambah konsep penelitian

selanjutnya, seperti :

Pertama, Rosdiana et al. (2017) menyatakan bahwa model Discovery Learning

memiliki pengaruh terhadap efektivitas pembelajaran. Dasar pengambilan keputusan

adalah nilai signifikansi (2-tailed) 0,002 < 0,05 hasil uji independent sampel t-test. Hasil

tersebut relevan dengan capaian ketuntasan hasil belajar siswa adalah 93,33%. Siswa

memberikan respon positif terhadap model discovery learning dengan hasil 52,22%

sangat baik, 41,11% baik dan 6,67% tidak baik. Berdasarkan simpulan di atas disarankan

untuk guru dapat melakukan pembelajaran menggunakan model discovery learning dalam

uji coba secara luas dan pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar dapat menjadi

rujukan untuk pembelajaran yang efektif dan menyenangkan. Penelitian ini

menggambarkan bahwa penggunaan model DL memiliki pengaruh yang positif terhadap

hasil belajar siswa. Kajian penelitian ini menarik untuk digunakan karena memberikan

gambaran bagi penulis untuk meneliti lebih lanjut mengenai pengaruh model DL terhadap

kemampuan berpikir kreatif siswa.

Kedua, Oktafoura et al. (2016) menyatakan bahwa dengan menggunakan

nonequivalent control group design, hasil analisa data menunjukkan bahwa model

26
pembelajaran Discovery Learning lebih cocok dalam meningkatkan kemampuan berpikir

kreatif peserta didik dalam mempelajari kompetensi dasar mengidentifikasi prosedur

pembuatan surat dinas, dibandingkan model pembelajaran Problem Based Learning.

Dengan demikian, model pembelajaran Discovery Learning dapat menjadi salah satu

alternatif bagi para guru Mata Pelajaran Korespondensi dalam meningkatkan kemampuan

berpikir kreatif peserta didik pada mata pelajaran tersebut.

Ketiga, Putri et al. (2017) menyatakan bahwa hasil pengamatan peneliti selama

melaksanakan penelitian, tampak bahwa semangat dan pemahaman siswa yang diajar

dengan model pembelajaran discovery learning lebih baik jika dibandingkan dengan

siswa yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran konvensional. Perbedaannya

terlihat dari hasil belajar siswa dan keaktifan siswa saat proses pembelajaran berlangsung.

Penelitian ini memberikan wawasan bahwa rendahnya hasil belajar dan aktivitas siswa

pada mata pelajaran fisika dapat dipengaruhi oleh model pembelajaran yang digunakan

oleh oleh guru. Sehingga guru harus bisa memilih model pembelajaran yang sesuai

dengan kemampuan siswanya. Hal inilah yang turut melatarbelakangi saya untuk meneliti

tentang pengaruh model pembelajaran Discovery Learning terhadap kemampuan berpikir

kreatif siswa.

Keempat, Martaida et al. (2017) menyatakan bahwa uji hipotesis pertama

diperoleh thitung = 2,10 dengan α = 0,05 diperoleh ttabel = 2,00. Dengan membandingkan

thitung dengan ttabel ternyata thitung > ttabel, ini berarti kemampuan berpikir kritis siswa

yang menerapkan model discovery learning lebih baik daripada kemampuan berpikir

kritis siswa dengan pembelajaran konvensional. uji hipotesis kedua diperoleh thitung=

2,21 dengan α = 0,05 diperoleh ttabel= 2,00. Dengan membandingkan thit dengan ttabel

ternyata thitung > ttabel, ini berarti kemampuan kognitif siswa yang menerapkan model

27
discovery learning lebih baik daripada kemampuan kognitif siswa dengan pembelajaran

konvensional. Penelitian ini memberikan wawasan bahwa rendahnya hasil kemampuan

berpikir kreatif siswa pada mata pelajaran IPA dapat dipengaruhi oleh model

pembelajaran yang digunakan oleh guru. Sehingga guru harus bisa memilih model

pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan siswanya. Hal inilah yang turut

melatarbelakangi saya untuk meneliti tentang pengaruh model pembelajaran Discovery

Learning terhadap kemampuan berpikir kreatif siswa.

Kelima, Muharammah et al. (2018) menyatakan bahwa: (1) Ada pengaruh dari

Pendekatan Discovery Learning menggunakan surat kabar online untuk hasil belajar

fisika (F hitung = 4,56> F tabel = 3,96), (2) Tidak ada pengaruh motivasi belajar terhadap

hasil belajar fisika (FF hitung = 0,47 <F tabel = 3,96), (3) Tidak ada interaksi antara

pendekatan Discovery Learning menggunakan surat kabar online dan motivasi belajar

pada hasil belajar fisika (F hitung = 0,67 < F tabel = 3,96). Penelitian ini memberikan

wawasan bahwa rendahnya hasil belajar siswa dapat dipengaruhi oleh model

pembelajaran yang digunakan oleh guru yang tidak sesuai dengan kemampuan siswa. Hal

inilah yang turut melatarbelakangi saya untuk meneliti tentang pengaruh model

pembelajaran penemuan Discovery Learning untuk meningkatkan kemampuan berpikir

kreatif siswa.

Keenam, Putri et al. (2017) memperoleh temuan penelitian bahwa dengan

menggunakan desain Penelitian post-test only control design. Hasil analisis data

menunjukan bahwa: (1) model Discovery Learning berpengaruh signifikan terhadap

motivasi belajar siswa dalam pembelajaran fisika di MAN Bondowoso; (2) model

Discovery Learning berpengaruh signifikan terhadap hasil belajar siswa dalam

pembelajaran fisika di MAN Bondowoso. Penelitian ini memberikan wawasan bahwa

28
pemilihan model pembelajaran yang tepat akan mempengaruhi keberhasilan siswa dalam

pembelajaran. Maka diperlukan suatu model pembelajaran yang dapat meningkatkan

keterlibatan siswa secara aktif dalam kegiatan pembelajaran untuk menemukan atau

menerapkan sendiri ideidenya. Sehingga Kajian ini bisa dijadikan acuan peneliti dalam

upaya meneliti pengaruh discovery learning terhadap kemampuan berpikir kreatif siswa.

Ketujuh, Saragih (2016) menunjukan hasil penelitian bahwa ada pengaruh model

pembelajaran discovery learning dan motivasi belajar terhadap hasil belajar siswa kelas X

SMA YPPK Yos Sudarso Merauke pada materi Elastisitas dan Hukum Hooke sebesar

87,2%. Penelitian ini memberikan wawasan adanya pengaruh yang positif antara model

pembelajaran discovery learning jika ditinjau dari motivasi belajar terhadap kemampuan

berpikir kreatif siswa siswa kelas X SMA YPPK Yos Sudarso Merauke pada materi

Elastisitas dan Hukum Hooke. Penelitian ini menguatkan pandangan untuk melakukan

penelitian mengenai pengaruh model pembelajaran discovery learning dan problem based

learning terhadap hasil belajar fisika.

Kedelapan, Suendarti (2017) berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa

pemberian model pembelajaran memiliki pengaruh signifikan terhadap peningkatan hasil

belajar Ilmu alam. Atau dengan kata lain, ada perbedaan dalam hasil belajar Ilmu

Pengetahuan Alam yang menggunakan model pembelajaran penemuan dengan

menggunakan model pembelajaran konvensional. Hal ini dapat dilihat dari skor rata-rata

pembelajaran hasil Ilmu Pengetahuan Alam menggunakan model discovery learning

78.96 sedangkan skor rata-rata hasil belajar Ilmu Pengetahuan Alam menggunakan

konvensional model pembelajaran 65,75. Penelitian ini memberikan wawasan bahwa

rendahnya hasil belajar siswa dapat dipengaruhi oleh model pembelajaran yang

digunakan oleh guru yang tidak sesuai dengan kemampuan siswa. Hal inilah yang turut

29
melatarbelakangi saya untuk meneliti tentang pengaruh model pembelajaran penemuan

(discovery learning untuk meningkatkan prestasi belajar.

Kesembilan, Miatun et al. (2018) memperoleh temuan penilitan sebagai berikut:

(1) discovery learning memberikan prestasi yang lebih baik daripada pembelajaran

berbasis masalah. (2) Prestasi siswa yang memiliki pembelajaran mandiri tinggi lebih

baik daripada siswa yang memiliki pembelajaran mandiri dan mandiri. (3) Untuk

pembelajaran penemuan, pencapaian siswa yang memiliki pembelajaran mandiri tinggi

lebih baik daripada siswa yang memiliki pembelajaran mandiri dan mandiri. Untuk

pembelajaran berbasis masalah, siswa yang berpendidikan tinggi dan menengah memiliki

prestasi yang sama. (4) Bagi siswa yang memiliki pembelajaran self-regulated yang

tinggi, pembelajaran discovery memberikan prestasi yang lebih baik daripada

pembelajaran berbasis masalah. Siswa yang memiliki pembelajaran mandiri dan mandiri,

kedua model pembelajaran memberikan prestasi yang sama. Kemampuan berpikir kreatif

siswa dipengaruhi oleh sikap siswa terhadap mata pelajaran yang berkaitan. Sikap siswa

pada mata pelajaran berbasis sains seperti matematika cenderung negatif, seperti takut,

merasa tertekan, dan setres selama mengikuti kegiatan pembelajaran. Hal inilah yang

turut melatarbelakangi saya untuk meneliti tentang pengaruh model pembelajaran

penemuan (discovery learning) untuk meningkatkan prestasi belajar.

Kesepuluh, Riandari et al. (2018) memperoleh temuan penelitian berupa 1)

pendekatan discovery learning memiliki pengaruh lebih positif daripada minat siswa

dibandingkan dengan pendekatan konvensional, 2) adanya pengaruh yang signifikan

antara interaksi gender dan discovery learning terhadap prestasi siswa pada materi listrik.

Kajian penelitian ini memberikan gambaran umum pengaruh yang positif dari model

discovery learning terhadap minat dan kemampuan berpikir kreatif siswa. Kajian ini

30
digunakan sebagai acuan untuk meneliti terkait model discovery learning yang dapat

mempengaruhi kemampuan berpikir kreatif siswa.

2.6 Kerangka Berpikir

Fisika merupakan bagian dari ilmu pengetahuan yang sangat dibutuhkan dalam

menjelaskan fenomena-fenomena alam. Berlangsungnya proses pembelajaran fisika

dengan baik dan benar diharapkan dapat membantu siswa membangun konsep fisika

dengan benar, sehingga kemampuan berpikir kreatif siswa pada mata pelajaran fisika pun

dapat optimal. Fakta menunjukkan bahwa prestasi fisika siswa terbilang kurang optimal.

Kesenjangan tersebut terjadi karena guru menggunakan model pembelajaran yang kurang

efektif dan inovatif. Proses pembelajaran fisika menggunakan model pembelajaran

konvensional seperti model pembelajaran langsung dapat mengakibatkan pembelajaran

berpusat pada guru, sehingga kemampuan berpikir kreatif fisika kurang optimal.

Penyebabnya adalah siswa tidak diberikan pengalaman secara langsung dalam proses

pembelajaran. Hal ini bertentangan dengan paradigma konstruktivistik. Pandangan

konstruktivisme berakar dari teori Piaget yang menyatakan bahwa setiap organisme

menyusun pengalamannya dengan jalan menciptakan dan struktur mental dan

menerapkannya dalam pengalamannya. Perubahan paradigma dalam pendidikan

menuntut adanya perubahan pembelajaran yang semula bersifat teacher centered menjadi

student centered.

Berdasarkan kajian teori yang diungkapkan diatas maka yang menjadi kerangka

berfikir dalam penelitian ini adalah perbedaan pengaruh model pembelajaran discovery

learning dan model pembelajaran konvensional terhadap kemampuan berpikir kreatif

fisika.

31
Model pembelajaran discovery learning memiliki dampak yang positif bagi

peserta didik untuk dapat meningkatkan daya nalar serta untuk memahami materi

pelajaran, serta dapat merangsang peserta didik untuk aktif dan kreatif dalam berpikir dan

mengungkapkan pendapatnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa model pembelajaran

tersebut dapat memberikan dampak positif terhadap kemampuan berpikir kreatif peserta

didik. Model tersebut diduga memiliki perbedaan pengaruh terhadap kemampuan

berpikir kreatif peserta didik. Karena memiliki cara yang berbeda dalam penerapannya di

kelas. Lebih jelasnya bisa dilihat pada gambar dibawah ini :

Pembelajaran Fisika

Paradigma Lama Paradigma Baru


perubahan

Model Pembelajaran Model DL


Konvensional  Pembelajaran
 Pembelajaran bersifat modern
bersifat tradisional  Pembelajaran
 Pembelajaran bersifat student
bersifat teacher center
center

 siswa tidak  siswa diberikan


diberikan pengalaman secara
pengalaman secara langsung
langsung  siswa menemukan
 siswa kurang konsep fisika
termotivasi melaluipembelajara
 minimnya sikap n penemuan
ilmiah siswa dan  siswa termotivasi
konsep fisika siswa  meningkatnya sikap
ilmiah siswa dan
konsep fisika siswa

Prestasi belajar kurang optimal Prestasi belajar optimal


32
Gambar 2.1 Diagram Alir Kerangka Berpikir

2.7 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan penjabaran teori dan kerangka berfikir diatas maka yang menjadi

hipotesis dalam penelitian ini adalah “ Terdapat perbedaan kemampuan berpikir

kreatif fisika antara siswa yang belajar dengan model pembelajaran discovery

learning dan siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensioanal”

III METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian dan Desain Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian quasi eksperiment atau eksperimen semu.

Penelitian ini menggunakan desain one way non-equivalent pretest-posttest control group

design. Pengamatan awal dilakukan untuk mengetahui kemampuan berpikir kreatif siswa

antara kelompok ekperimen dan kelompok kontrol. Setelah mendapatkan hasil dari

pengamatan awal kemampuan berpikir kreatif fisika siswa melalui tes awal kemampuan

berpikir kreatif (pretest) siswa diberikan perlakuan (X1) dengan model discovery learning

untuk kelompok eksperimen, (X2) dengan pembelajaran konvensional untuk kelompok

kontrol. Kemudian untuk mengetahui hasil perlakuan, dilakukan pengamatan akhir

kemampuan berpikir kreatif fisika siswa melalui tes akhir kemampuan berpikir kreatif

(posttest). Desain tersebut dapat digambarkan seperti Gambar 3.1.

O1 X1 O2

O3 X2 O4

Gambar 3.1 Desain Penelitian

Keterangan :
O1, O3, = Pengamatan awal kemampuan berpikir kreatif fisika siswa
O2, O4, = Pengamatan akhir kemampuan berpikir kreatif fisika siswa
X1 = Perlakuan menggunakan model DL

33
X2 = Perlakuan menggunakan model pembelajaran konvensional

3.2 Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel

3.2.1 Populasi Penelitian

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang

mempunyai kualitas dan karateristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono 2011). Dari penjelasan

diatas peneliti mengambil Target Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa

kelas X IPA di SMA Negeri 2 Singaraja tahun ajaran 2018/2019. Jumlah kelas X

IPA sebanyak 5 kelas, dengan total populasi sebanyak 165 siswa. Komposisi

masing-masing kelas disajikan dalam Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Komposisi Anggota Populasi

No. Kelas Populasi Jumlah Siswa


1. X IPA 1 32 siswa
2. X IPA 2 34 siswa
3. X IPA 3 33 siswa
4. X IPA 4 34 siswa
5. X IPA 5 32 siswa
Jumlah Populasi 165 siswa

3.2.2 Sampel Penelitian

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimilik oleh

populasi tersebut (Sugiyono 2011). Pemilihan sampel dalam penelitian ini

menggunakan random assignment. Terdapat 2 kelas yang dipilih sebagai sampel

dari 5 kelas yang ada. Dua kelas sampel yang muncul akan diundi kembali untuk

menetapkan kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kelompok eksperimen terdiri dari

satu kelas dengan perlakuan berupa pembelajaran dengan model discovery learning.

Kelompok kontrol terdiri dari satu kelas dengan perlakuan dengan model

pembelajaran konvensional. Dua kelas dalam penelitian ini yaitu X IPA 1 sebagai

34
kelas eksperimen dan X IPA 3 sebagai kelas kontrol. Jumlah sampel pada penelitian

ini sebanyak 65 siswa yang meliputi 32 siswa di kelas eksperimen dan 33 siswa di

kelas kontrol. Komposisi sampel penelitian berdasarkan perlakuan disajikan dalam

Tabel 3.2

Tabel 3.2 Sampel Penelitian pada masing-masing Perlakuan

No. Pembelajaran Kelas Jumlah Siswa


1. Model Discovery Learning X IPA 1 32 siswa
2. Model Pembelajaran Konvensional X IPA 3 33 siswa
Total Sampel 65 siswa

3.3 Variabel Penelitian dan Defenisi Operasional

Variabel pada penelitian ini dibedakan menjadi dua variabel yaitu variabel bebas,

dan variabel terikat. Variabel bebas pada penelitian ini meliputi variabel bebas yang diuji

dan variabel bebas yang dikontrol. Variabel bebas yang diuji dalam penelitian ini yaitu

model discovery learning, serta variabel bebas kontrol dalam penelitian ini yaitu

pembelajaran konvensional. Hubungan variabel dapat dilihat pada Gambar 3.2.

Model Discovery Learning

Model pembelajaran konvensional kemampuan berpikir


kreatif siswa

Gambar 3.2 Hubungan antar variabel penelitian

3.4 Prosedur Penelitian

Penelitian ini menggunakan beberapa tahapan. Adapun tahapan-tahapan dari

prosedur penelitian yang dilakukan ini dapat dijelaskan pada Tabel 3.3, sebagai berikut.

Tabel 3.3 Prosedur Penelitian

No. Tahapan Uraian Kegiatan


1. Orientasi 1) Mengadakan penjajagan ke sekolah sekaligus minta
izin kepada kepala sekolah untuk mengadakan
penelitian di sekolah yang bersangkutan.

35
2) Mengadakan sosialisasi dengan guru mata pelajaran
yang bersangkutan bahwa hendak diadakan
penelitian di kelas tersebut.
3) Meminta silabus yang digunakan di sekolah
tersebut.
2. Merancang 1) Menganalisis Standar Kompetensi (SK),
instrument Kompetensi Dasar (KD), dan merumuskan indikator
penelitian berdasarkan silabus mata pelajaran fisika untuk
kelas X IPA di SMA Negeri 4 Singaraja.
2) Merancang pedoman observasi yang digunakan
sebagai instrumen penelitian.
3) Mengadakan konsultasi dengan ahli (dosen
pembimbing) berkaitan dengan instrumen yang
telah dibuat.
3. Observasi awal 1) Menentukan sampel penelitian dengan teknik
random assignment, sehingga diperoleh dua kelas
sampel yaitu dua kelas eksperimen dan satu kelas
kontrol. Kemudian, mengobservasi kegiatan belajar
mengajar di kelas yang dijadikan kelas kontrol dan
kelas eksperimen.
4. Uji coba 1) Melaksanakan uji coba instrumen penelitian di kelas
instrument X IPA untuk mengetahui validitas soal tes
kemampuan berpikir kreatif siswa. Pada tahap ini,
dilakukan pengujian instrumen yang digunakan
dalam penelitian meliputi uji validitas, uji
konsistensi internal, indeks data beda tes, dan
indeks kesukaran butir tes.
5. Revisi 1) Menganalisis hasil uji coba instrumen.
instrument 2) Melaksanakan bimbingan dengan dosen
pembimbing terkait hasil uji coba instrumen.
3) Melakukan revisi terhadap instrumen berdasarkan
masukan dari dosen pembimbing.
6. Merancang 1) Membuat RPP dan LKS berdasarkan sintaks
perangkat masing-masing model pembelajaran.
pembelajaran 2) Melakukan bimbingan dengan dosen pembimbing
terkait dengan perangkat pembelajaran yang telah
dirancang.
7. Mengadakan tes 1) Mengadakan tes awal pada kelas kontrol dan kelas
awal eksperimen. Pemberian tes awal ini bertujuan untuk
mengetahui kemampuan berpikir kreatif fisika
siswa sebelum perlakuan.
8. Memberikan 1) Menerapkan model DL pada kelas eksperimen dan
perlakuan model pembelajaran konvensional pada kelas
kontrol.
9. Mengadakan tes 1) Mengadakan tes akhir pada kelas kontrol dan
akhir eksperimen. Pemberian tes akhir ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh model DL dan model
konvensional terhadap kemampuan berpikir kreatif

36
fisika siswa.
10. Analisis data dan 1) Menganalisis data hasil penelitian.
pengujian 2) Menguji hipotesis yang telah dirumuskan
hipotesis sebelumnya.
3) Melakukan bimbingan dengan dosen terkait hasil
analisis data.
11. Penyelesaian 1) Melakukan pembahasan, simpulan, dan saran untuk
laporan melengkapi laporan.
2) Melakukan bimbingan dengan dosen mengenai
laporan yang dibuat.

3.5 Perlakuan Penelitian

Penelitian ini melibatkan 2 kelompok kelas. Satu kelompok akan mendapatkan

perlakuan pembelajaran dengan menggunakan model discovery learning dan satu

kelompok diberikan perlakuan dengan model pembelajaran konvensional yang

merupakan kelompok kelas kontrol. Perlakuan yang diberikan pada dua kelompok ini

memerlukan waktu dan porsi materi yang sama. Perbedaannya adalah pada kegiatan

pembelajaran dari masing-masing model pembelajaran.

3.6 Perangkat Pembelajaran

Jenis perangkat pembelajaran yang dikembangkan dalam penelitian ini ada dua,

yaitu Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Siswa (LKS), yang

masing-masing berorientasi pada pembelajaran dengan model pembelajaran discovery

learning dan model pembelajaran konvensional.

3.7.1 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang digunakan dalam penelitian

ini mengacu pada materi pembelajaran dan sintaks pada masing-masing kelas

yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol meliputi RPP dengan sintaks model

pembelajaran discovery learning dan model pembelajaran konvensional.

3.7.2 Lembar Kerja Siswa (LKS)

37
Lembar Kerja Siswa (LKS) yang dikembangkan pada penelitian ini untuk

memfasilitasi RPP yang digunakan yaitu LKS dengan model pembelajaran

discovery learning dan model pembelajaran konvensional. LKS pada masing-

masing pembelajaran mencakup materi yang sama.

3.7 Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data yaitu tes. Adapun tes yang

akan digunakan dalam pengumpulan data berupa pretest dan posttest. Pretest dilakukan

untuk memperoleh data kemampuan berpikir kreatif siswa sebelum diberikan perlakuan

pada kedua kelas. Posttest dilakukan untuk memperoleh data kemampuan berpikir kreatif

fisika siswa setelah diberikan perlakuan. Ringkasan teknik pengumpulan data penelitian

disajikan dalam Tabel 3.4.

Tabel 3.4 Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data Penelitian

Sumber
No. Jenis Data Teknik Instrumen Waktu
Data
1. Kemampuan Siswa Tes essay Soal tes Sebelum
berpikir kreatif prestasi perlakuan
awal belajar
2. Kemampuan Setelah
berpikir kreatif perlakuan
akhir

3.8 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian dalam mengumpulkan data pada penelitian ini adalah soal tes

kemampuan berpikir kreatif fisika siswa. Tes kemampuan berpikir kreatif ini disusun

berdasarkan indikator keberhasilan siswa yang disesuaikan dengan materi. Tes tersebut

berupa pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan oleh siswa yang berbentuk tes essay

(uraian) yang diberikan sebelum perlakuan (pretest) dan setelah perlakuan (posttest). Tes

bentuk essay adalah tes kemampuan belajar yang memerlukan jawaban yang bersifat

38
pembahasan atau bentuk uraian kata-kata. Prosedur pengembangan tes kemampuan

berpikir kreatif dilalui beberapa langkah yang harus dilalui dalam pengembangan tes,

yaitu: 1) mengidentifikasi kompetensi inti, 2) mengidentifikasi kompetensi dasar, 3)

mengidentifikasi dan mengembangkan domain dan indikator pencapaian hasil belajar, 4)

mengembangkan tujuan pembelajaran, 5) menyusun kisi-kisi tes, 6) menentukan kriteria

penilaian, 7) penulisan butir-butir tes, 8) uji ahli, 9) uji lapangan, 10) analisis uji

lapangan, 11) revisi butir, dan 12) finalisasi tes. Untuk meminimalisir subjektivitas

penskoran pada penyelesaian soal digunakan pedoman penskoran. Pedoman penskoran

untuk tes kemampuan berpikir kreatif fisika siswa pada penelitian ini disajikan pada

Tabel 3.5.

Tabel 3.5 Pedoman Penskoran Tes Kemampuan Berpikir Kreatif Fisika Siswa

Kemampuan Yang Kriteria Skor


Dinilia
Kelancaran Tidak memberikan jawaban sama sekali 0
Memberikan satu jawaban yang tidak disertai 1
argumentasi yang tepat
Memberikan lebih dari satu jawaban yang tidak disertai 2
argumentasi yang jelas
Memberikan lebih dari satu jawaban yang disertai 3
argumentasi yang jelas
Keluwesan Tidak memberikan jawaban sama sekali 0
Menggolongkan sesuatu menurut kategori yang sama 1
dan tidak memberikan berbagai penafsiran terhadap
masalah, cerita, atau gambar
Menggolongkan sesuatu menurut kategori yang 2
berbeda dan tidak memberikan berbagai penafsiran
terhadap masalah, cerita, atau gambar
Menggolongkan sesuatu menurut kategori yang 3
berbeda dan memberikan berbagai penafsiran terhadap
masalah, cerita, atau gambar
Kebaruan Tidak memberikan jawaban sama sekali 0
Memberikan penyelesaian masalah dengan cara yang 1
sudah rutin digunakan
Memberikan penyelesaian masalah dengan cara yang 2
tidak rutin digunakan, namun cara yang dipilih tepat
Memberikan penyelesaian masalah dengan cara yang 3
tidak rutin digunakan , namun cara yang dipilih tepat

39
Elaborasi Tidak memberikan jawaban sama sekali 0
Memberikan langkah-langkah pemecahan masalah 1
yang tidak ditulis secara elaborative dan tidak rinci,
serta jawaban yang diberikan tidak sepenuhnya benar
Memberikan langkah-langkah pemecahan masalah 2
yang tidak ditulis secara elaborative namun rinci, serta
jawaban yang diberikan tidak sepenuhnya benar
Memberikan langkah-langkah pemecahan masalah 3
yang tidak ditulis secara elaborative dan rinci, serta
jawaban yang diberikan benar
(dimodifikasi dari )

3.9 Uji Coba Instrumen

Instrumen penelitian perlu diuji coba terlebih dahulu sebelum digunakan

dalam penelitian. Uji coba instrumen merupakan hal yang sangat penting dalam

proses pengembangan instrumen. Uji coba instrumen penelitian meliputi validitas

isi tes, indeks kesukaran butir, indeks daya beda, konsistensi internal butir, dan

reliabilitas tes.

3.9.1 Uji Validitas

Perangkat pembelajaran yang baik adalah perangkat pembelajaran yang sebelum

digunakan terlebih dahulu diuji validitasnya. Sebuah tes dikatakan valid apabila tes

tersebut dapat mengukur dan mampu menyingkap objek yang hendak diukur atau

ketepatan alat ukur dengan hal yang diukur.

a) Uji Validitas Isi (Uji Pakar)

Mekanisme pengujian validitas isi yang digunakan dalam penelitian adalah

sebagai berikut.

1) Para pakar yang dipercaya menilai instrumen melakukan penilaian

instrumen perbutir, dengan menggunakan skala tertentu, misalnya

skala 1-2-3-4.

40
2) Pengelompokan skala, skor 1-2 dikelompokan kedalam tidak relevan

dan skor 3-4 dikelompokan menjadi relevan.

3) Hasil penelitian para pakar ditabulasi pada Tabel 3.6.

Tabel 3.6 Tabulasi Penilaian Pakar

Penilai 1 Penilai 2
Kurang relevan Sangat relevan Kurang relevan Sangat relevan
(skor 1-2) (skor 3-4) (skor 1-2) (skor 3-4)
-
(Sumber: Santyasa, 2014)
4) Hasil penelitian para pakar ditabulasi silang, untuk dua penilai sebagai

berikut.

Tabel 3.7 Tabulasi Silang

Penilai 1
Kurang relevan Sangat relevan
(skor 1-2) (skor 3-4)
Kurang relevan (A) (B)
Penilai 2 (skor 1-2)
Sangat relevan (C) (D)
(skor 3-4)
(Sumber: Santyasa, 2014)
5) Perhitungan validitas isi dengan rumus:

D
Validitas isi =
A BC  D
(Sumber: Santyasa, 2014)
Keterangan:
A = Banyak item yang dianggap kurang relevan oleh kedua penilai.
B = Banyak item yang dianggap sangat relevan oleh penilai 1 dan
kurang relevan oleh penilai 2.
C = Banyak item yang dianggap kurang relevan oleh penilai 1 dan
sangat relevan oleh penilai 2.
D = Banyak item yang dianggap sangat relevan oleh kedua penilai.

Menentukan kelayakan instrumen pada rentang kriteria 0,60 ≤ validitas isi

≤1. Semakin besar validitas isi, maka isi instrumen pun semakin valid.

Instrument yang digunakan dalah instrument yang sesuai, sedangkan yang

41
tidak sesuai, yaitu instrument yang dinyatakan tidak relevan ileh kedua pakar

yang digunakan.

b) Uji Validitas Butir Tes

Rumus korelasi yang digunakan untuk menguji validitas butir tes adalah

korelasi product moment dengan rumus:

NXY  X Y
rxy 
NX 2

 NX  NY 2  Y 
2 2

Keterangan :
rxy = Indeks korelasi butir-total
N = Jumlah responden
X = Skor butir
Y = Skor total
(Sumber: Santyasa, 2014)

Kriteria estimasi yang digunakan adalah indeks korelasi butir total di atas

0,30 disebut sebagai butir yang memiliki derajat konsistensi internal butir

yang tinggi, sedangkan indeks korelasi yang berada pada rentangan 0,10-0,30

direkomendasikan untuk direvisi.

3.9.2 Uji Reliabilitas

Reliabilitas berarti jika sebuah instrument digunakan berulang-ulang atau berkali-

kali untuk mengukur obyek yang sama, akan menghasilkan data yang sama. Jadi

reliabilitas cenderung menunjukkan suatu keajegan atau stabilitas. Teknik yang

digunakan untuk menghitung reliabilitas tes kemampuan berpikir kreatif fisika peneliti

menggunakan rumus KR-20, sebagai berikut :

n  S I 
2
Alpha Cronbach  1  2 
n 1 SX 
Keterangan :
n = Jumlah butir tes
2
Si = Varian butir
Sx2 = Varian total tes
(Sumber: Santyasa, 2014)

42
Koefisien reliabilitas bergerak pada interval 0,00-1,00, maka kriteria-kriteria,

sebagai berikut: 0,00-0,20 adalah sangat rendah, 0,20-0,40 adalah rendah, 0,40-0,60

adalah sedang, 0,60-0,80 adalah tinggi, dan 0,80-1,00 adalah sangat tinggi. Indeks

reliabilitas berada pada kategori sedang, tinggi, dan sangat tinggi ditoleransi untuk

diterima sebagai perangkat yang relatif baku.

3.9.3 Indeks Kesukaran Soal

Taraf kesukaran suatu item dinyatakan oleh suatu indeks yang dinamakan indeks

kesukaran item yang disimbolkan dengan huruf (P). indeks kesukaran item merupakan

rasio antara penjawab item dengan benar dan banyaknya penjawab item (Santyasa,

2014). Indeks kesukaran butir dihitung dengan formula, sebagai berikut.

H  L  (2 N  Scoremin )
IKB 
2 N (Scoremax  Scoremin )
(Sumber: Santyasa, 2014)
Keterangan :
IKB = Indeks Kesukaran Butir
ΣH = Jumlah skor kelompok atas (KA)
ΣL = Jumlah skor kelompok bawah (KB)
N = Jumlah responden pada KA atau KB
Scoremax = Skor tertinggi butir
Scoremin = Skor terendah butir

IKB dapat bernilai 0,00-1,00 dengan rentangan, sebagai berikut: 0,00-0,20

berarti sangat sukar, 0,20-0,40 berarti sukar, 0,40-0,60 berarti sedang, 0,60-0,80 berarti

mudah, 0,80-1,00 berarti sangat sangat mudah. Butir yang ditoleransi sebagai tes

standar dan digunakan dalam penelitian yang memiliki IKB = 0,30-0,70.

3.9.4 Daya Beda Soal/Indeks Diskriminasi Soal

Daya beda soal adalah soal yang mampu membedakan tinggi rendahnya

kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing peserta didik. Sebuah instrumen tes

terdiri dari sejumlah butir-butir instrumen, dimana semua butir tersebut harus

43
mengukur hal yang sama dan menunjukkan yang sama pula. Sedangkan indeks

diskriminasi soal adalah jumlah angka yang memperlihatkan besarmya daya beda soal.

Santyasa (2014) berpendapat indeks diskriminasi diperoleh dengan menghitung

harga d, konsistensi ini dapat pula diuji secara empirik dengan melakukan perhitungan

korelasi biserial (rbis) atau korelasi pointbiserial (rpbis) antara distribusi skor suatu

aitem dan distribusi skor tes. Indeks Daya Beda (IDB) dapat dihitung dengan formula,

sebagai berikut.

H  L
IDB 
N ( Score max  Score min )
(Sumber: Santyasa, 2014)
Keterangan:
IDB = Indek Daya Beda
ΣH = Jumlah skor kelompok atas (KA)
ΣL = Jumlah skor kelompok bawah (KB)
N = Jumlah responden pada KA atau KB
Scoremax = Skor tertinggi butir
Scoremin = Skor terendah butir

Nilai IDB bergerak dari -1,00 s.d +1,00. Apabila IDB bernilai positif, butir tersebut

memiliki daya beda yang positif, artinya bahwa porsi siswa yang lebih tahu tentang

jawaban benar lebih besar dibandingkan dengan porsi siswa yang tidak tahu. Apabila

IDB bernilai nol, butir tersebut memiliki daya beda nol, artinya butir tersebut tidak

mampu membedakan antara siswa tahu jawaban benar dengan siswa yang tidak tahu.

Hal ini terjadi karena beberapa hal, yakni: 1) butir terlalu mudah atau terlalu sukar,

sehingga mungkin semua siswa salah atau semua siswa benar, 2) butir tersebut

membingungkan sebagai akibat konstruksinya ambigu. Apabila porsi siswa yang tidak

tahu menjawab benar lebih banyak dengan yang tahu, maka IDB menjadi negatif.

Klasifikasi IDB yang digunakan, sebagai berikut: 0,00-0,20 berarti sangat rendah,

0,20-0,40 berarti rendah, 0,40-0,60 berarti sedang, 0,60-0,80 berarti tinggi, 0,80-1,00

44
berarti sangat tinggi. Item yang digunakan dalam penelitian ini adalah item yang

mempunyai IDB > 0,20.

3.10 Teknik Analisis Data

Analisis data awal digunakan untuk mengetahuai sampel berangkat dari titik tolak

yang sama atau tidak. Setelah kelas sampel diberi perlakuan, dilakukan pengujian

terhadap hipotesis yang diajukan. Data yang digunakan adalah data kemampuan

berpikir kreatif fisika yang dinyatakan ileh jumlah skor tes dari kedua kelompok

sampel tersebut. Sebelum melakukan uji hipotesis, dilakukan pengujian normalitas

sebaran data dan homogenitas varians data terlebih dahulu.

3.10.1 Uji Normalitas Sebaran

Uji normalitas sebaran data pretasi belajar fisika dimaksudkan untuk

meyakinkan bahwa sampel benar-benar berasal dari populasi yang berdistribusi

normal sehingga uji hipotesis dapat dilakukan. Uji normalitas berbantuan program

SPSS 25.0 for windows. Stasistik yang digunakan dalam analisisnya adalah

Komogorov Test dan Shapiro-Wilk Test. Kriteria pengujian data yang terdistribusi

normal apabila angka signifikansi yang dihasilkan lebih besar dari 0,05, jika angka

signifikansi yang dihasilkan lebih kecil dari 0,05 maka data tidak terdistribusi normal.

3.10.2 Uji Homogenitas Varians

Uji homogenitas dilakukan dengan maksud untuk memberikan informasi

bahwa data kelompok sampel berasal dari populasi yang memiliki varian yang sama.

Uji homogenitas varian antar kelompok juga digunakan untuk meyakinkan bahwa

perbedaaan yang terjadi pada uji hipotesis benar-benar terjadi akibat adanya

perbedaaan antar kelompok. Uji homogenitas antar kelompok menggunakan SPSS

25.0 for windows, dengan statistik Levene’s Test of Equality of Error Variance.

45
Kriteria pengujian yang digunakan adalah jika angka signifikansi lebih besar dari

0,05, maka data memiliki varian yang sama (homogen). Jika angka signifikansi lebih

kecil dari 0,05, maka data tidak homogen.

3.10.3 Uji Hipotesis

Uji hipotesis dilakukan setelah asumsi terpenuhi. Hipotesis yang diuji dalam

penelitian, sebagai berikut.

Formula Hipotesis

H0 : 1Y    2Y : Tidak terdapat perbedaan kemampuan berpikir kreatif fisika antara

siswa yang belajar dengan model pembelajaran discovery

learning dan siswa yang belajar dengan model pembelajaran

konvensioanal

Ha : 1Y    2Y : Terdapat perbedaan kemampuan berpikir kreatif fisika antara

siswa yang belajar dengan model pembelajaran discovery

learning dan siswa yang belajar dengan model pembelajaran

konvensioanal

Keterangan :
1Y  : Skor rata-rata kemampuan berpikir kreatif fisika siswa yang belajar
dengan menggunakan model DL.
 2Y  : Skor rata-rata kemampuan berpikir kreatif fisika siswa yang belajar
dengan menggunakan model pembelajaran konvensional.
Adapaun metode analisis data yang digunakan menguji hipotesis dalam

penelitian adalah uji t satu ekor (ekor kanan) dengan taraf signifikan 5% (∝=

0,05) dan rumus sebagai berikut:

46
 
Y1  Y2
t hit 
s2 s2

n1 n 2
Dengan,
n1  1 s1 2  n 2  1 s 2 2
s2 
n1  n 2  2
Keterangan:

Y1 = Rata-rata skor tes kemampuan berpikir kreatif fisika siswa kelas
eksperimen.

Y2 = Rata-rata skor tes kemampuan berpikir kreatif fisika siswa kelas
control.
2
s = Varians gabungan
2
s1 = Varians kelompok eksperimen
2
s 2 = Varians kelompok control
n1 = Banyak siswa dari kelompok eksperimen
n2 = Banyak siswa dari kelompok control.

Kriteria pengujian H0 ditolak jika 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 ≥ 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 , dengan 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 𝑡∝(𝑛1 −1,𝑛2 −1) .

Apabila 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 ≥ 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 dengan taraf signifikan 5% (∝= 0,05) dapat ditarik

kesimpulan bahwa terdapat perbedaan kemampuan berpikir kreatif fisika antara siswa

yang belajar dengan model pembelajaran discovery learning dan siswa yang belajar

dengan model pembelajaran konvensioanal.

47

Anda mungkin juga menyukai