Anda di halaman 1dari 9

Mikoriza, Tanah dan Tanaman di Lahan Kering

20 Juni 2007 — La An

Mikoriza merupakan asosiasi simbiotik antara akar tanaman dengan jamur. Asosiasi antara akar
tanaman dengan jamur ini memberikan manfaat yang sangat baik bagi tanah dan tanaman inang
yang merupakan tempat jamur tersebut tumbuh dan berkembang biak. Prinsip kerja dari mikoriza
ini adalah menginfeksi sistem perakaran tanaman inang, memproduksi jalinan hifa secara intensif
sehingga tanaman yang mengandung mikoriza tersebut akan mampu meningkatkan kapasitas
dalam penyerapan unsur hara (Iskandar, 2002).

Mikoriza merupakan salah satu dari jenis jamur. Jamur merupakan suatu alat yang dapat
memantapkan struktur tanah. Menurut Hakim, dkk (1986) faktor-faktor yang terlibat dalam
pembentukan struktur adalah organisme, seperti benang-benang jamur yang dapat mengikat satu
partikel tanah dan partikel lainnya. Selain akibat dari perpanjangan dari hifa-hifa eksternal pada
jamur mikoriza, sekresi dari senyawa-senyawa pilysakarida, asam organik dan lendir yang di
produksi juga oleh hifa-hifa eksternal, akan mampu mengikat butir-butir primer/agregat mikro
tanah menjadi butir sekunder/agregat makro. Agen organik ini sangat penting dalm menstabilkan
agregat mikro dan melalui kekuatan perekat dan pengikatan oleh asam-asam dan hifa tadi akan
membentuk agregat makro yang mantap (Subiksa, 2002).

Pembentukan struktur tanah yang baik merupakan modal bagi perbaikan sifat fisik tanah yang
lain. Sifat-sifat fisik tanah yang diperbaiki akibat terbentuknya struktur tanah yang baik seperti
perbaikan porositas tanah, perbaikan permeabilitas tanah serta perbaikan dari pada tata udara
tanah.

Perbaikan dari struktur tanah juga akan berpengaruh langsung terhadap perkembangan akar
tanaman. Pada lahan kering dengan makin baiknya perkembangan akar tanaman, akan lebih
mempermudah tanaman untuk mendapatkan unsur hara dan air, karena memang pada lahan
kering faktor pembatas utama dalam peningkatan produktivitasnya adalah kahat unsur hara dan
kekurangan air.

Akibat lain dari kurangnya ketersediaan air pada lahan kering adalah kurang atau miskin bahan
organik. Kemiskinan bahan organik akan akan memburukkan struktur tanah, lebih-laebih pada
tanah yang bertekstur kasar sehubungan dengan taraf pelapukan rendah

Kendala pokok pembudidayaan lahan kering ialah keterbatasan air, baik itu curah hujan maupun
air aliran permukaan. Notohadinagoro (1997) mengatakan bahwa tingkat kekeringan pada lahan
kering sampai batas tertentu dipengaruhi oleh daya tanah menyimpan air. Tingkat kekeringan
berkurang atau masa tanpa kekurangan air (water stress) bertambah panjang apabila tanah
mempunyai daya simpan air besar. Sebaliknya tingkat kekeringan meningkat, atau masa dengan
dengan kekurangan air bertambah panjang apabila tanah mempunyai daya simpan air kecil.
Lama waktu tanpa atau dengan sedikit kekurangan air menentukan masa musim pertumbuhan
tanaman, berarti lama waktu pertanaman dapat dibudidayakan secara tadah hujan.
Inokulasi mikoriza yang mempunyai hifa akan membantu proses penyerapan air yang terikat
cukup kuat pada pori mikro tanah. Sehingga panjang musim tanam tanaman pada lahan kering
diharapkan dapat terjadi sepanjang tahun.

Sumber:

Hakim, Nurhajati., M. Yusuf Nyakpa, A.M. Lubis, Sutopo Ghani Nugroho, M. Rusdi Saul, M.
Amin Diha, Go Ban Hong, H.H. Bailey. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas
Lampung. Lampung

Iskandar, Dudi. 2002. Pupuk Hayati Mikoriza Untuk Pertumbuhan dan Adapsi Tanaman Di
Lahan Marginal. ____________

Notohadinagoro, Tejoyuwono. 1997. Bercari manat Pengelolaan Berkelanjutan Sebagai Konsep


Pengembangan Wilayah Lahan Kering. Makalah Seminar Nasional dan Peatihan
Pengelolaan Lahan Kering FOKUSHIMITI di Jember. Universitas Jember. Jember

Subiksa, IGM. 2002. Pemanfatan Mikoriza Untuk Penanggulangan Lahan Kritis. Makalah
Falsafah Sains Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor

Konservasi Tanah dan Air di Lahan Kering


3 Juli 2007 — La An

Berdasarkan data yang dibuat oleh puslitbangtanak pada tahun 2002, potensi lahan kering di
Indonesia sekitar 75.133.840 ha. Suatu keadaan lahan yang sangat luas. Akan tetapi lahan2
kering tersebut tidak begitu menghasilkan dan berguna bagi masyarakat yang tinggal di sekitar
area lahan kering. Hal ini disebabkan oleh masih kurangnya teknologi pengelolaan lahan kering
sehingga sering mengakibatkan makin kritisnya lahan2 kering.

Erosi, kekurangan air dan kahat unsur hara adalah masalah yg paling serius di daerah lahan
kering. Paket2 teknologi untuk mananggulangi masalah2 tersebut juga dah banyak, akan tetapi
kurang optimal di manfaatkan karena tidak begitu signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan
petani daerah lahan kering. Memang perlu kesabaran dalam pengelolaan daerah lahan kering,
karena meningkatkan produktivitas lahan di daerah lahan kering yang kondisi lahannya sebagian
besar kritis dan potensial kritis tidaklah mudah.

Konservasi tanah dan air merupakan cara konvensional yang cukup mampu menanggulangi
masalah diatas. Dengan menerapkan sisitem konservasi tanah dan air diharapkan bisa
menanggulangi erosi, menyediakan air dan meningkatkan kandungan hara dalam tanah serta
menjadikan lahan tidak kritis lagi. Ada 3 metode dalam dalam melakukan konservasi tanah dan
air yaitu metode fisik dengan pegolahan tanahnya, metode vegetatif dengan memanfaatkan
vegetasi dan tanaman untuk mengurangi erosi dan penyediaan air serta metode kimia yaitu
memanfaatkan bahan2 kimia untuk mengaawetkan tanah.
Menurut Sitanala Arsyad (1989), Konservasi Tanah adalah penempatan setiap bidang tanah pada
cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukkannya sesuai
dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Sedangkan konservasi
Air menurut Deptan (2006) adalah upaya penyimpanan air secara maksimal pada musim
penghujan dan pemanfaatannya secara efisien pada musim kemarau. Konservasi tanah dan
konservasi air selalu berjalan beriringan dimana saat melakukan tindakan konservasi tanah juga
di lakukan tindakan konservasi air.

Dengan dilakukan konservasi tanah dan air di lahan kering diharapkan mampu mengurangi laju
erosi dan menyediakan air sepanjang tahun yang akhirnya mampu meningkatkan
produktivitasnya. Tanah2 di daerah lahan kering sangat rentan terhadap erosi. Daerah lahan
kering biasanya mempunyai curah hujan yg rendah dan intensitas yg rendah pula, dengan kondisi
seperti itu menyebabkan susahnya tanaman2 tumbuh dan berkembang, padahal tanaman
merupakan media penghambat agar butiran hujan tidak berbentur langsung dengan tanah.
Benturan seperti inilah yg menyebabkan tanah mudah terurai sehingga gampang di bawa oleh
aliran air permukaan dan akhirnya terjadi erosi. Pemanfaatan vegetasi pada system konservasi
tanah dan air selain sebagai penghambat benturan juga berguna sebagai penghambat aliran
permukaan, memperbaiki tekstur tanah dan meningkatkan kadar air tanah.

Penggabungan metode vegetatif dan fisik dalam satu teknologi diharapkan mampu
mengefisienkan waktu dan biaya yg dibutuhkan. Misalkan penanaman tanaman pada sebuah
guludan ato penanaman tanaman di sekitar rorak. Dan langkah terakhir yg di harapkan adalah
penanaman tanaman yg bernilai ekonomis tinggi seperti jambu mete.

MIKORIZA
16 Maret 2007 — La An

Asosiasi simbiotik antara jamur dengan akar tanaman yang membentuk jalinan interaksi yang
kompleks dikenal dengan mikoriza yang secara harfiah berarti “akar jamur” (Atmaja, 2001). Secara
umum mikoriza di daerah tropika tergolong didalam dua tipe yaitu: Mikoriza Vesikular-Arbuskular
(MVA)/Endomikoriza dan Vesikular-Arbuskular Mikoriza (VAM)/Ektomikoriza. Jamur ini pada umumnya
tergolong kedalam kelompok ascomycetes dan basidiomycetes (Pujianto, 2001).
Mikoriza berasal dari kata Miko (Mykes = cendawan) dan Riza yang berarti Akar tanaman.
Struktur yang terbentuk dari asosiasi ini tersusun secara beraturan dan memperlihatkan spektrum yang
sangat luas baik dalam hal tanaman inang, jenis cendawan maupun penyebarannya. Nahamara (1993)
dalam Subiksa (2002) mengatakan bahwa mikoriza adalah suatu struktur yang khas yang mencerminkan
adanya interaksi fungsional yang saling menguntungkan antara suatu tumbuhan tertentu dengan satu
atau lebih galur mikobion dalam ruang dan waktu.
Kondisi lingkungan tanah yang cocok untuk perkecambahan biji juga cocok untuk
perkecambahan spora mikoriza. Demikian pula kindisi edafik yang dapat mendorong pertumbuhan akar
juga sesuai untuk perkembangan hifa. Jamu mikoriza mempenetrasi epidermis akar melalui tekanan
mekanis dan aktivitas enzim, yang selanjutnya tumbuh menuju korteks. Pertumbuhan hifa secara
eksternal terjadi jika hifa internal tumbuh dari korteks melalui epidermis. Pertumbuhan hifa secara
eksternal tersebut terus berlangsung sampai tidak memungkinnya untuk terjadi pertumbuhan lagi. Bagi
jamur mikoriza, hifa eksternal berfungsi mendukung funsi reproduksi serta untuk transportasi karbon
serta hara lainnya kedalam spora, selain fungsinya untuk menyerap unsur hara dari dalam tanah untuk
digunakan oleh tanaman (Pujianto, 2001)
Atmaja (2001) mengatakan bahwa pertumbuhan Mikoriza sangat dipengaruhi oleh faktor
lingkungan seperti:
1. Suhu
Suhu yang relatif tinggi akan meningkatka aktifitas cendawan. Untuk daerah tropika
basah, hal ini menguntungkan. Proses perkecambahan pembentukkan MVA melalui tiga tahap
yaitu perkecambahan spora di tanah, penetrasi hifa ke dalam sel akar dan perkembangan hifa
didalam konteks akar. Suhu optimum untuk perkecambahan spora sangat beragam tergantung
jenisnya. Beberapa Gigaspora yang diisolasi dari tanah Florida, diwilayah subtropika mengalami
perkecambahan paling baik pada suhu 34°C, sedangkan untuk spesies Glomus yang berasal dari
wilayah beriklim dingin, suhu optimal untuk perkecambahan adalah 20°C. Penetrasi dan
perkecambahan hifa diakar peka pula terhadap suhu tanah. Pada umumnya infeksi oleh
cendawan MVA meningkat dengan naiknya suhu. Schreder (1974) dalam Atmaja (2001)
menemukan bahwa infeksi maksimum oleh spesies Gigaspora yang diisolasi dari tanah Florida
terjadi pada suhu 30-33°C. Suhu yang tinggi pada siang hari (35°C) tidak menghambat
perkembangan dan aktivitas fisiologis MVA. Peran mikoriza hanya menurun pada suhu diatas
40°C. Suhu bukan merupakan faktor pembatas utama dari aktifitas MVA. Suhu yang sangat
tinggi berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman inang. MVA mungkin lebih mampu
bertahan terhadap suhu tinggi pada tanah bertekstur berat dari pada di tanah berpasir.
2. Kadar air tanah
Untuk tanaman yang tumbuh didaerah kering, adanya MVA menguntungkan karena
dapat meningkatkan kemampuan tanaman untuk tumbuh dan bertahan pada kondisi yang
kurang air (Vesser et el,1984dalam Pujianto, 2001). Adanya MVA dapat memperbaiki dan
meningkatkan kapasitas serapan air tanaman inang. Ada beberapa dugaan mengapa tanaman
bermikoriza lebih tahan terhadap kekeringan diantaranya adalah:
- adanya mikoriza resitensi akar terhadap gerakan air menurun sehingga transfer iar ke akar
meningkat.
- Tanaman kahat P lebih peka terhadap kekeringan, adanya MVA menyebabkan status P
tanaman meningkat sehingga menyebabkan daya tahan terhadap kekeringan meningkat
pula.
- Adanya hifa eksternal menyebabkan tanaman ber-MVA lebih mampu mendapatkan air
daripada yang tidak ber-MVA tetapi jika mekanisme ini yang terjadi berarti kandungan
logam-logam lebih cepat menurun. Penemuan akhir-akhir ini yang menarik adanya
hubungan antara potensial air tanah dan aktifitas mikoriza. Pada tanaman bermikoriza
jumlah air yang dibutuhkan untuk memproduksi 1gram bobot kering tanaman lebih
sedikit daripada tanaman yang tidak bermikoriza.
- Tanaman mikoriza lebih tahan terhadap kekeringan karena pemakaian air yang lebih
ekonomis.
- Pengaruh tidak langsung karena adanya miselin eksternal menyebabkan MVA efektif
didalam mengagregasi butir-butir tanah sehingga kemampuan tanah menyimpan air
meningkat.
3. pH tanah
Cendawan pada umumnya lebih tahan lebih tahan terhadap perubahan pH tanah.
Meskipun demikian daya adaptasi masing-masing spesies cendawan MVA terhadap pH tanah
berbeda-beda, karena pH tanah mempengaruhi perkecambahan, perkembangan dan peran
mikoriza terhadap pertumbuhan tanaman. Glomus fasciculatus berkembang biak pada pH
masam. Pengapuran menyebabkan perkembangan G. fasciculatus menurun (Mosse, 1981 dalam
Atmaja, 2001). Demikian pula peran G.fasciculatus di dalam meningkatkan pertumbuhan
tanaman pada tanah masam menurun akibat pengapuran (Santoso, 1985). Pada pH 5,1 dan 5,9
G. fasciculatus menampakkan pertumbuhan yang terbesar, G. fasciculatus memperlihatkan
pengaruh yang lebih besar terhadap pertumbuhan tanaman justru kalau pH 5,1 G. Mosseae
memberikan pengaruh terbesar pada pH netral sampai alkalis (pH 6,0-8,1).
Perubahan pH tanah melalui pengapuran biasanya berdampak merugikan bagi
perkembangan MVA asli yang hidup pada tanah tersebut sehingga pembentukan mikoriza
menurun (Santosa, 1989). Untuk itu tindakan pengapuran dibarengi tindakan inokulasi dengan
cendawan MVA yang cocok agar pembentukan mikoriza terjamin.
4. Bahan organik
Bahan organic merupakan salah satu komponen penyusun tanah yang penting
disamping air dan udara. Jumlah spora MVA tampaknya berhubungan erat dengan kandungan
bahan organic didalam tanah. Jumlah maksimum spora ditemukan pada tanah-tanah yang
mengandung bahan organic 1-2 persen sedangkan pada tanah-tanah berbahan organic kurang
dari 0,5 persen kandungan spora sangat rendah (Pujianto, 2001). Residu akar mempengaruhi
ekologi cendawan MVA, karena serasah akar yang terinfeksi mikoriza merupakan sarana
penting untuk mempertahankan generasi MVA dari satu tanaman ke tanaman berikutnya.
Serasah akar tersebut mengandung hifa,vesikel dan spora yang dapat menginfeksi MVA.
Disamping itu juga berfungsi sebagai inokulasi untuk tanaman berikutnya.
5. Cahaya dan ketersediaan hara
Bjorman dalam Gardemann (1983) dalam Atmaja (2001) menyimpukan bahwa dalam
intensitas cahaya yang tinggi kekahatan sedang nitrogen atau fosfor akan meningkatkan jumlah
karbohidrat di dalam akar sehingga membuat tanaman lebih peka terhadap infeksi cendawan
MVA. Derajat infeksi terbesar terjadi pada tanah-tanah yang mempunyai kesuburan yang
rendah. Pertumbuhan perakaran yang sangat aktif jarang terinfeksi oleh MVA. Jika
pertumbuhan dan perkembangan akar menurun infeksi MVA meningkat.
Peran mikoriza yang erat dengan peyediaan P bagi tanaman menunjukkan keterikatan
khusus antara mikoriza dan status P tanah. Pada wilayah beriklim sedang konsentrasi P tanah
yang tinggi menyebabkan menurunnya infeksi MVA yang mungkin disebabkan konsentrasi P
internal yang tinggi dalam jaringan inang (Santosa, 1989).
Hayman (1975) dala Atmaja (2001) mengadakan studi yang mendalam mengenai
pemupukan N dan P terhadap MVA pada tanah di wilayah beriklim sedang. Pemupukkan N (188
kg N/ha) berpengaruh buruk terhadap populasi MVA. Petak yang tidak dipupuk mengandung
jumlah spora 2 hingga 4 kali lebih banyak dan berderajat infeksi 2 hingga 4 kali lebih tinggi
dibandingkan petak yang menerima pemupukkan. Hayman mengamati bahwa pemupukkan N
lebih berpengaruh daripada pemupukkan P, tetapi peneliti lain mendapatkan keduanya
memiliki pengaruh yang sama.
6. Logam berat dan unsur lain
Pada percobaan dengan menggunakan tiga jenis tanah dari wilayah iklim sedang
didapatkan bahwa pengaruh menguntungkan karena adanya MVA menurun dengan naiknya
kandungan Al dalam tanah. Aluminium diketahui menghambat muncul jika ke dalam larutan
tanah ditambahkan kalsium (Ca). Jumlah Ca didalam larutan tanah rupa-rupanya mempengaruhi
perkembangan MVA. Tanaman yang ditumbuhkan pada tanah yang memiliki derajat infeksi
MVA yang rendah. Hal ini mungkin karena peran Ca2+ dalam memelihara integritas membran
sel.
Beberapa spesies MVA diketahui mampu beradaptasi dengan tanah yang tercemar seng
(Zn), tetapi sebagian besar spesies MVA peka terhadap kandungan Zn yang tinggi. Pada
beberapa penelitian lain diketahui pula bahwa strain-strain cendawan MVA tertentu toleran
terhadap kandungan Mn, Al dan Na yang tinggi.
7. Fungisida
Fungisida merupakan racun kimia yang diracik untuk membunuh cendawan penyebab
penyakit pada tanaman, akan tetapi selain membunuh cendawan penyebab penyakit fungisida
juga dapat membunuh mikoriza, dimana pemakainan fungisida ini menurunkan pertumbuhan
dan kolonisasi serta kemampuan mikoriza dalam menyerap P.
Beberapa manfaat yang dapat diperoleh tanaman inang dari adanya asosiasi mikoriza
adalah sebagai berikut (Rahayu dan Akbar, 2003):
- Meningkatkan penyerapan unsur hara
Tanaman yang bermikoriza biasanya tumbuh lebih baik dari pada yang tidak bermikoriza,
dapat meningkatkan penyerapan unsur hara makro dan beberapa unsure hara mikro. Selain
itu akar tanaman yang bermikoriza dapat menyerap unsure hara dalam bentuk terikat dan
tidak tersedia untuk tanaman (Serrano, 1985 dalam Suhardi, 1992 dalam Rahayu dan Akbar,
2003).
De la Cruz (1981) dalam Atmaja (2001) melaporkan lebih banyak lagi unsure hara yang
serapannya meningkat dari adanya mikoriza. Unsure hara yang meningkat penyerapannya
adalah N, P, K, Ca, Mg, Fe, Cu, Mn dan Zn. Hubungan antara MVA dengan organisme tanah
tidak bias diabaikan, karena secara bersama-sama keduanya membantu pertumbuhan
tanaman.
- Tahan terhadap serangan pathogen
Mikoriza dapat berfungsi sebagai pelindung biologi bagi terjadinya infeksi patogen akar.
Mekanisme perlindungan ini bias diterangkan sebagai berikut:

☺ adanya lapisan hifa (mantel) dapat berfungsi sebagai pelindung fisik untuk
masuknya pathogen

☺ mikoriza menggunakan hampir semua kelebihan karbohidrat dan eksudat akar


lainnya, sehinga tidak cocok bagi patogen.

☺ fungi mikoriza dapat melepaskan antibiotik yang dapat menghambat


perkembangan patogen.

- Sebagai konservasi tanah

Fungi mikoriza yang berasosiasi dengan akar berperan dalam konservasi tanah, hifa
tersebut sebagai kontributor untuk menstabilkan pembentukan struktur agregat tanah
dengan cara mengikat agregat-agregat tanah dan bahan organic tanah.

- Mikoriza dapat memproduksi hormon dan zat pengatur tumbuh

Fungi mikoriza dapat memberikan hormon seperti auxin, sitokinin, giberellin, juga
zat pengatur tumbuh seperti vitamin kepada inangnya.

- Sebagai sumber pembuatan pupuk biologis.

- Fungi ini dapat diisolasi, dimurnikan dan diperbanyak dalam biakan monnesenil.

- Isolat-isolat tersebut dapat dikemas dalam bentuk inokulum dan sebagai sumber
material pembuat pupuk biologis yang dapat beradaptasi pada kondisi daerah
setempat (Setiadi, 1994).

- Sinergis dengan mikroorganisme lain

Keberadaan mikoriza juga bersifat sinergis denagn mikroba potensial lainnya seperti
bakteri penambat N dan bakteri pelarut fosfat.

- Mempertahankan keanekaragaman tumbuhan


Fungi mikoriza berperan dalam mempertahankan stabilitas keanekaragaman
tumbuhan dengan cara transfer nutrisi dari satu akar tumbuhan ke akar tumbuhan
lainnya yang berdekatan melalui struktur yang disebut Bridge Hypae.

Pustaka

Atmaja, I Wayan Dana. 2001. Bioteknologi Tanah (Ringkasan Kuliah). Jurusan Tanah Fakultas
Pertanian Universitas Udayana. Denpasar

Iskandar, Dudi. 2002. Pupuk Hayati Mikoriza Untuk Pertumbuhan dan Adapsi Tanaman Di
Lahan Marginal. ____________

Notohadinagoro, Tejoyuwono. 1997. Bercari manat Pengelolaan Berkelanjutan Sebagai Konsep


Pengembangan Wilayah Lahan Kering. Makalah Seminar Nasional dan Peatihan
Pengelolaan Lahan Kering FOKUSHIMITI di Jember. Universitas Jember. Jember

Pujiyanto. 2001. Pemanfatan Jasad Mikro, Jamu Mikoriza dan Bakteri Dalam Sistem Pertanian
Berkelanjutan Di Indonesia: Tinjauan Dari Perspektif Falsafah Sains. Makalah Falsafah
Sains Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor

Rahayu, Novi., dan Ade Kusuma Akbar. 2003. Pemanfaatan Mikoriza dan Bahan Organik
Dalam Rangka Reklamasi Lahan Pasca Penambangan. Karya Tulis Ilmiah. Fakultas
Pertanian Universitas Tanjungpura. Pontianak

Santosa, Dwi Andreas. 1989. Teknik dan Metode Penelitian Mikorisa Vesikular-Arbuskular.
Laboraturium Biologi Tanah Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian
Bogor. Bogor

Subiksa, IGM. 2002. Pemanfatan Mikoriza Untuk Penanggulangan Lahan Kritis. Makalah
Falsafah Sains Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor

Suwardji. 2003. Profil Wilayah Lahan Kering Propinsi NTB: Potensi, Tantangan dan strategi
Pengembangannya. Makalah Seminar Nasional FOKUSHIMITI BEW III di Mataram.
Universitas Mataram. Mataram

Pengaruh Tutupan Kanopi terhadap Besarnya Erosi Tanah

Tidak bisa kita pungkiri, bahwa tanaman sangatlah penting dalam dalam mengendalikan
erosi. Sehinggalah munculah metode vegetatif dalam pengendalian erosi. Yang paling penting
pada tanaman dalam mengendalikan erosi adalah luas tutupan daun, tapi ada sebagian pendapat
yang mengatakan bahwa yang paling penting dalam mengendalikan eorosi bukan hanya luas
tutupan daunnya, tapi tanaman yang ada di permukaan tanah atau lebih sering disebut tanaman
perdu/semak-semaknya. Akan tetapi walaupun tanaman-tanaman kecil ini yang paling penting,
tetap saja luas tutupan daunnya yang diperhitungkan. Pentingnya tutupan kanopi ini bisa kita
lihat pada persamaan USLE, dimana pada persamaan USLE tutupan daun (faktor C) merupakan
salah satu faktor yang digunakan dalam memprediksi besarnya erosi.

Canopy cover, begitu istilah bahasa inggris merupakan suatu areal permukaan tanah yang
dilindungin oleh vegetasi. Struktur dari tutupan kanopi berfungsi sebagai pengendali besarnya
energi kinetik hujan yang akan akan mengenai tanah dimana luasan dan bentuk strata dari
tutupan kanopi akan mempengaruhi besarnya intersepsi butiran hujan dan jumlah percikan air
hujan.

Efektifitas tutupan kanopi dalam mengendalikan erosi sangat dipengaruhi oleh karakteristik
hujan, jenis tanah dan juga karakteristik dari kanopi itu sendiri seperti jenis tanaman, tinggi
tanaman dan struktur kanopi. Besarnya erosi dan liran permukaan menurun secara eksponensial
dengan semakin baiknya tutupan kanopi. Semakin banyak lahan yang ditutupi oleh vegetasi akan
semakin baik dalam melindungi tanah dari proses erosi. Selain mampu mengendalikan erosi
akibat hujan, tutupan kanopi juga dapat mengendalikan erosi yang disebabkan oleh angin dengan
cara mengintersepsi angin, sebagai penahan angin dan juga memperlambat pergerakan angin.

Tutupan kanopi sangat penting sebagai input dalam perhitungan prediksi erosi. Seperti
prediksi erosi dengan mengunakan persamaan RUSLE, EPIC, WEPP, dan SWAT. Secara umum
hubungan eksponensial antara tutupan kanopi dengan besarnya erosi dapat dilihat pada
persamaan di bawah (Gyssels et al., 2005):

SL = e−bC

RL = e−bC

SL adalah kehilangan tanah relatif, RL adalah kehilangan aliran permukaan relatif, C


adalah tutupan kanopi (%) dan b adalah konstanta dimana 0.0235 sampai 0.0816 untuk
kehilangan tanah serta 0.0103 sampai 0.0843 untuk kehilangan aliran permukaan.

DAFTAR PUSTAKA

FAO & CIFOR. 2005. Hutan dan Banjir: Tenggelam dalam suatu fiksi, atau berkembang dalam
fakta?. Center for International Forestry Research and Food and Agriculture
Organization of the United Nations. Bogor

Blanco, H & R. Lal. 2008. Principles of Soil Conservation and Management. Springer
Science+Business Media B.V.

Anda mungkin juga menyukai