00 WIB
Hari, tanggal : Senin, 10 Desember 2018
Kelompok : 3 Pagi
Penanggung jawab : Drh. Arief Purwo Mihardi
1
DAFTAR ISI
Daftar Isi...................................................................................................... 2
Abstrak………………………………………………………………......... 3
BAB 1. PENDAHULUAN........................................................................... 4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA................................................................. 5
BAB 3. METODOLOGI PRAKTIKUM................................................... 11
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................... 16
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 22
Daftar Pustaka ............................................................................................ 23
2
Abstrak
Abstract
Laboratory tests are carried out to determine the diagnosis of the disease or as a
confirmation of the diagnosis of animal health status. Laboratory tests include urine and
blood tests. Yellow urine color is interpreted as normal urine color. Protein testing
measures the presence of albumin in urine, which indicates that the cow has proteinuria,
which is the initial sign of kidney disease. The Benedict urine test detected glucose, or
glucosuria, which can be caused by diabetes mellitus. Urine protein and glucose are
related. Foam Test and Gemelin Test show the presence of bile which can be caused by
liver disease. The Rothera test also shows the presence of ketone bodies which can lead
to diabetes mellitus. Based on the results of blood tests in sheep, RBC and hemoglobin
were found to be low, below normal. The reduced RBC and WBC values indicate that
sheep experience leukocytopenia and anemia. The diagnosis of hypochromic anemia is
indicated by a low MCHC value. The morphology of red blood cells at the time of
examination is uniform and normal. Leukocytes indicate body immunity. Based on blood
samples examined using a hematocrit reader, lymphocytes are below normal showing
leukocytopenia.
KEY WORDS:
3
BAB I. PENDAHULUAN
Darah adalah cairan yang terdapat pada semua makhluk hidup tingkat
tinggi yang berfungsi mengirimkan zat-zat dan okigen yang dibutuhkan oleh
jaringan tubuh, mengangkut bahan-bahan kimia hasil metabolisme dan juga
sebagai pertahanan tubuh terhadap virus atau bakteri. Darah merupakan cairan
yang sangat penting bagi makhluk hidup karena berfungsi sebagai alat transportasi
serta memiliki banyak kegunaan lainnya untuk menunjang kehidupan. Darah juga
berperan memelihara keseimbangan cairan dalam tubuh dan memelihara
keseimbangan asam basa (pH) (Colville 2002). Berdasarkan fungsi atau perannya,
darah dapat digunakan sebagai salah satu bentuk terapi cairan, yaitu dengan cara
dilakukannya transfusi pada hewan yang membutuhkan (Battaglia 2001).
Darah merupakan indikator penting untuk mengetahui perubahan fisiologi
dan patologi pada hewan. Darah terdiri dari cairan kompleks plasma tempat
elemen selular diantaranya eritrosit, leukosit, dan trombosit. Pemeriksaan darah
lengap (CBC) adalah suatu jenis pemeriksaan untuk menunjang diagnosa suatu
penyakit dan atau untuk melihat bagaimana respon tubuh terhadap suatu
penyakit.Selain itu pemeriksaan ini sering dilakukan untuk melihat kemajuan atau
respon terapi pada pasien yang menderita suatu penyakit infeksi. Pemeriksaan
darah lengkap terdiri dari beberapa jenis parameter pemeriksaan, yaitu
hemoglobin, hematokrit, leukosit (White Blood Cell/ WBC), trombosit (platelet),
eritrosit(Red Blood Cell/ RBC), indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC), laju endap
darah atau Erithrocyte Sedimentation Rate (ESR), hitung jenis leukosit
(Differential Count), Platelet Disribution Width (PDW), dan Red Cell Distribution
Width (RDW).
Sistem urinaria terdiri dari ginjal, ureter, kandung kemih, uretra. Sistem ini
membantu mempertahankan homeostasis dengan menghasilkan urine yang
merupakan hasil sisa metabolisme (Soewolo 2003). Urinalisis adalah tes yang
dilakukan pada sampel urine pasien untuk tujuan diagnosis infeksi saluran kemih,
batu ginjal, skrining dan evaluasi berbagai jenis penyakit ginjal, memantau
perkembangan penyakit seperti diabetes melitus dan tekanan darah tinggi
(hipertensi), dan skrining terhadap status kesehatan umum.
Dalam mempertahankan homeostasis tubuh peranan urine sangat penting,
karena sebagian pembuangan cairan oleh tubuh adalah melalui sekresi urine.
Selain urine juga terdapat mekanisme berkeringat dan juga rasa haus yang
kesemuanya bekerja sama dalam mempertahankan homeostasis ini. Fungsi utama
urine adalah untuk membuang zat sisa seperti racun atau obat-obatan dari dalam
tubuh.Anggapan umum menganggap urine sebagai zat yang “kotor”. Hal ini
berkaitan dengan kemungkinan urine tersebut berasal dari ginjal atau saluran
kencing yang terinfeksi, sehingga urinenyapun akan mengandung bakteri. Namun
jika urine berasal dari ginjal dan saluran kencing yang sehat, secara medis urine
sebenarnya cukup steril dan hampir tidak berbau ketika keluar dari tubuh. Hanya
saja, beberapa saat setelah meninggalkan tubuh, bakteri akan mengkontaminasi
urine dan mengubah zat-zat di dalam urine dan menghasilkan bau yang khas,
terutama bau amonia yang dihasilkan dari urea.
Dalam Basoeki (2000) disebutkan bahwa pada proses urinalisis terdapat
banyak cara metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi zat-zat apa saja yang
terkandung di dalam urine. Analisis urine dapat berupa analisis fisik, analisi
kimiawi dan anlisis secara mikroskopik.
4
Analisis urine secara fisik meliputi pengamatan warna urine, berat jenis
cairan urine dan pH serta suhu urine itu sendiri. Sedangkan analisis kimiawi dapat
meliputi analisis glukosa, analisis protein dan analisis pigmen empedu. Untuk
analisis kandungan proteinm ada banyak sekali metode yang ditawarkan , mulai
dari metode uji millon sampai kuprisulfa dan sodium basa. Yang terakhir adalah
analisis secara mikroskopik, sampel urine secara langsung diamati dibawah
mikroskop sehingga akan diketahui zat-zat apa saja yang terkandung di dalam
urine tersebut, misalnya kalsium phospat, serat tanaman, bahkan bakteri (Basoeki
2000).
URINALISIS
Urinalisis merupakan pemeriksaan uji saring yang sering dilakukan untuk
mengetahui gangguan ginjal dan saluran kemih atau gangguan metabolisme tubuh
(Strasinger dan Schaub 2001). Urinalisis dapat menunjang penelusuran akibat
suatu penyakit atau penyimpangan yang terjadi pada hewan melalui urine, yang
bersifat patologis. Dengan demikian diagnosis maupun prognosis dapat tercapai
secara akurat.
Urinalisis adalah keadaan dimana ada kelainan pada kandungan urine.
Sejak dahulu suku-suku primitif telah dapat melihat adanya penyimpangan pada
urin, misalnya pada perubahan warna air kemih yang disertai rasa sakit karena
radang kantung air kemih atau adanya semut dan insekta lainnya yang
mengerumuni air kemih pada penderita diabetes (Bradley dan Benson 1974 dalam
Rotoro 1992, Girindra 1988).
Analisa urin sudah banyak mengalami kemajuan dari zaman ke zaman.
Sejarah patologi klinik dimulai dari pemeriksaan dalam urin dan darah kemudian
baru mempelajari hubungannya yang ada dalam tubuh. Perkembangan patologi
klinik semakin memperbesar makna suatu analisa. Dengan analisa yang tepat
dapat diketahui zat-zat yang normal dalam jumlah yang menyimpang atau adanya
perubahan bentuk dari zat-zat yang terkandung di dalam urin (Rotoro 1992).
Urinalisis adalah suatu pemeriksaan urin yang meliputi pemeriksaan makroskopis,
mikroskopis, dan kimia urin. Pemeriksaan urin dilakukan keperluan 6 untuk
penyaringan, diagnosa sehingga berperan penting dalam pengobatan suatu
penyakit (Blood et al 1979).
Pemeriksaan makroskopis urin meliputi :1.Warna ; 2. Kejernihan; 3. Bau ;
sedangkan pemeriksaan mikroskopis urin terdiri dari :1. Sel- sel dalam urin yaitu
sel-sel epitel, silinder urin, bahan organik/kristal; 2. Parasit dan bakteri urin. Pada
pemeriksaan kimiawi urin yang lazim dilakukan adalah pemeriksaan protein,
glukosa, keton, Bilirubin, urobilinogen, berat jenis dan darah. Sampel urin mudah
dievaluasi untuk melihat adanya sel darah merah, protein, glukosa, leukosit, yang
dalam keadaan normal tidak ditemukan atau sedikit jumlahnya dalam urin
(Corwin 2000).
HEMATOLOGI
Eritrosit
Sel darah darah merah (eritrosit) tidak memiliki inti sel, eritrosit
mempunyai kandung protein hemoglobin, yang mengangkut sebagian besar
oksigen dari paru ke seluruh sel tubuh. Sel eritrosit diproduksi di sumsum tulang
(Corwin, EJ, 2008). Eritrosit terbentuk melalui beberapa tahapan yaitu
5
pembelahan dan perubahan morfologi sel-sel berinti dimulai dari proeritoblas
sampai ortokromatik eritroblas, kemudian membentuk eritrosit tidak berinti yang
disebut retikulosit dan akhirnya menjadi eritrosit (Boedina SK, 1988).
Morfologi dari eritrosit dapat diamati dengan cara mikroskopis dengan
pembuatan sediaan apus dengan pengecatan Wright Giemsa atau dengan
pengecatan yang lain. Eritrosit memiliki bentuk bikonkav dengan 9 diameter 7-9
µm. Sediaan darah apus yang telah dilakukan pengecatan dengan Giemsa maka
eritrosit yang normal akan tampak warna kemerahmerahan dengan tepi agak lebih
gelap dan terlihat warna menjadi lebih pucat pada bagian tengah
Hemoglobin
Hemoglobin adalah suatu pigmen (memiliki warna alami), karena memiliki
kandungan besi. Hemoglobin akan tampak kemerahan jika berikatan dengan
O2 dan tampak keunguan jika mengalami deoksigenasi. Darah arteri yang
teroksigenasi penuh akan berwarna merah dan darah vena yang telah kehilangan
sebagian dari kandungan O2 akan berwarna kebiruan. Selain mengangkut oksigen,
hemoglobin juga dapat berikatan dengan CO2, CO, NO, H+ (Sherwood 2012).
Proses metabolisme hemoglobin diawali dengan suksinil-KoA, yang
dibentuk dalam siklus krebs berikatan dengan glisin untuk membentuk molekul
pirol. Kemudian, empat pirol bergabung dengan besi membentuk protorfirin IX,
yang kemudian bergabung dengan besi untuk membentuk molekul heme. Setiap
molekul heme bergabung dengan rantai polipeptida panjang, yaitu globin yang di
sintesis oleh ribosom, membentuk suatu subunit hemoglobin yang disebut rantai
hemoglobin. Tiap-tiap rantai mempunyai berat molekul kira-kira 16.000, empat
rantai ini selanjutnya akan berikatan longgar satu sama lain untuk membentuk
molekul hemoglobin yang lengkap (Guyton 2011). Menurut Coles (1974) bahwa
kadar hemoglobin dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah umur,
spesies, jenis kelamin, serta kualitas dan kuantitas pakan. Darah dengan
larutan HCl 0,1 N akan membentuk hematin yang berwarna coklat. Warna
disamakan dengan warna standart sahli dengan menambahkan aquadestilata
sebagai pengencer.
6
tercampur dengan antikoagulan dipusing dengan alat “centrifuge” sehingga
terbentuk lapisan-lapisan. Hematokrit adalah persentase sel darah merah di dalam
100 ml darah (Widjajakusuma dan Sikar 1986).
Ada banyak variasi nilai normal dalam spesies hewan. Umumnya
pada sebagian besar darah hewan normal nilai hemoglobinnya antara 13
sampai 15 gram per 100 mililiter (Swenson 1970; Benyamin 1978; Mitruka dan
Rawnsley 1981; Phillis 1976). Sedangkan sebagian besar hewan piaraan
mempunyai nilai hematokrit dari 38 sampai 40% dengan rata-rata 40% (Swenson
1984). Nilai hematokrit pada spesies hewan berbeda, pada domba nilai
hematrokit 24-45%, anjing 40-55%, dan pada sapi 26-42%.
a. MCV
MCV (mean corpuscular volume), yaitu volume rata-rata eritrosit yang
dinyatakan dengan femtoliter (fl). Nilai normal MCV pada domba adalah
32 (23-48), pada sapi 50 (40-60), dan pada anjing 70 (60-77).
b. MCH
MCH (mean corpuscular haemoglobin), yaitu banyaknya hemoglobin per
eritrosit yang dinyatakan dengan pikogram (pg). Nilai normal MCH pada
domba adalah 9.0-13.0, pada sapi 14.4-18.6, dan pada anjing 19.0-23.0.
c. MCHC
MCHC (mean corpuscular haemoglobin concentration), yaitu kadar
hemoglobin yang diperoleh per eritrosit yang dinyatakan dengan persen
(%) (satuan yang lebih tepat adalah gr/dl). Nilai normal MCHC pada
domba adalah 32 (29-35), pada sapi 30 (26-34), dan pada anjing 33 (31-
34).
7
BAB III. METODOLOGI
URINALISIS
1. Pemeriksaan Makroskopis Urin
A. Pemeriksaan Volume atau Jumlah Urin
a. Prinsip
Urin yang dikeluarkan selama 24 jam dikumpulkan kemudian
dibandingkan dengan jumlah normalnya dari setiap jenis hewan. Secara
fisiologis volume urin dipengaruhi oleh jenis pakan yang dikonsumsi,
jumlah air yang diminum, cuaca, kegiatan dan spesies hewan.
b. Alat dan bahan
Alat dan bahan yang digunakan yaitu urin dan gelas ukur/gelas
piala/tabung erlenmeyer.
c. Cara Kerja
Urin diletakkan pada gelas ukur atau gelas piala atau tabung
erlenmyer dan diukur volumenya dengan melihat skala yang tertera pada
alat.
8
Sementara, pengukuran BJ urin dengan refraktometer hanya
memerlukan urin satu dua tetes saja.
b. Alat dan bahan
Alat dan bahan yang diperlukan yaitu urinometer, tabung urinometer
dan termometer.
c. Cara Kerja
Suhu tera urinometer diperiksa, kemudian urin dituangkan ke dalam
tabung urinometer sampai terisi kira-kira tiga perempatnya. Urinometer
dicelupkan, jangan membentur dasar tabung ketika dilepaskan. BJ dibaca
pada skala, angka terdapat pada batas antara bagian urinometer yang
tenggelam dan muncul di atas permukaan urin. Suhu urin diukur dengan
termometer. Jika suhu urin tidak sama dengan suhu tera urinometer,
angka yang terbaca harus dikoreksi dengan ditambahkannya atau
dikurangi seperseribu (0.001) untuk setiap 3 derajat di atas atau di bawah
suhu tera.
Bila volume urin tidak sedikit atau tidak mencukupi, cara pertama
adalah pengukuran menggunakan urinometer kecil dan tabung urinomter
diganti dengan tabung sentrifus berdinding tipis. Cara kedua yaitu urin
diencerkan dengan akuades sehingga volume mencukupi untuk
mengapungkan urinometer.
BJ urin diperhitungkan dengan rumus :
BJ urin = 1 + p x (ad)
Keterangan :
P = angka pengenceran
ad = angka desimal yang diperoleh dari hasil pengukuran urin yang
telah diencerkan.
B. Pemeriksaan Protein
Uji Heller / Cold Nitric Acid Test
a. Prinsip
Terbentuknya gumpalan protein menimbulkan kekeruhan pada
perbatasan kedua cairan (urin dan reagen).
b. Alat dan bahan
Alat dan bahan yang digunakan yaitu urin, tabung reaksi, pipet
serta pereaksi larutan asam nitrat pekat.
c. Cara Kerja
Larutan asam nitrat pekat dimasukkan ke dalam tabung reaksi
sebanyak 2 ml. Urin ditambahkan sebanyak 2 ml ke atas pereaksi
9
dengan dimiringkannya tabung dan urin dialirkan secara perlahan dan
hati-hati dengan pipet melalui dinding tabung. Perhatikan
terbentuknya cincin putih pada perbatasan kedua cairan. Hasil reaksi :
negatif (-) tidak terbentuk cincin, dubius (-/+) cincin tidak jelas, positif
satu (+) terbentuk cincin tipis, positif dua (++) cincin jelas dan lebar,
positif tiga (+++) cincin sangat lebar dan positif empat (++++) warna
putih menyeliputi seluruh lapisan urin.
10
Uji Gmelin
a. Prinsip
Zat empedu dioksidasi oleh asam membentuk derivat-derivat
yang berwarna.
b. Alat dan bahan
Alat dan bahan yang digunakan yaitu urin, pipet, tabung reaksi
dan asam nitrat 50%.
c. Cara Kerja
Sebanyak 2 ml larutan asam nitrat dimasukan ke dalam tabung
reaksi, kemudian ditambahkan 2 ml urin. Warna diperhatikan. Apabila
terbentuk cincin hijau dan ungu pada batas kedua cairan berarti urin
mengandung empedu.
Uji Rosenbach
a. Prinsip
Uji ini merupakan modifikasi dari Uji Gmelin. Uji ini tidak
sepeka uji Gmelin dan akan memperlihatkan cincin warna merah
muda sampai merah pada urin sapi normal.
b. Alat dan bahan
Alat dan bahan yang digunakan yaitu urin, selembar kertas saring
dan sedikit asam nitrat.
c. Cara Kerja
Urin disaring dengan kertas saring hingga kertas saring
mengering. Asam nitrat diteteskan pada kertas saring pada bagian
yang lembap. Perubahan warna diperhatikkan. Apabila timbul warna-
warni (hijau,biru,ungu) di tepi tetesan asam sewaktu mengering berarti
reaksi positif.
11
3. Pemeriksaan Mikroskopis / Sedimentasi Urin
a. Alat dan bahan
Alat dan bahan yang digunakan yaitu urin, tabung sentrifus, gelas
sedimen dan mikroskop.
b. Cara Kerja
Urin diaduk untuk melarutkan sedimen yang mengendap. Tabung
sentrifus diisi dengan urin sebanyak 5 ml yang telah diaduk selama 3-5
menit dengan kecepatan rendah. Urin dituangkan dalam tabung sentrifus,
dengan sisa urin di dalamnya masih cukup untuk melarutkan sedimen.
Sedimen dicampur dengan sisa urin dengan cara menggoayngkan
tabungnya. Campuran sedimen diteteskan pada kaca preparat dan tutup
dengan kaca penutup. Preparat diperiksa di bawah mikroskop. Hasil
pemeriksaan dinyatakan dengan jumlah rata-rata setiap bidang pandang
sedikit, banyak atau banyak sekali. Sedimen dapat berupa sel-sel epitel,
eritrosit, leukosit, silinder, mukus, jasad-jasad renik, kristal dan lemak.
12
maupun penutupan harus bersih dari kotoran serta bebas lemak atau
minyak. Kaca penutup kita letakkan diatas tanggul kamar hitung, dan selalu
diperhatikan terbentuknya cincin Newton. Larutan enceran diisikan
kedalam kamar hitung dengan cara hati-hati menyentuhkan ujung pipet
pada tepi antara dataran kaca penutup, sehingga permukaan daratan terisi
merata. Kelebihan cairan diatas kaca penutup dapat dihilangkan dengan
menyentuh kan kertas saring/tisu dengan hati-hati sehingga larutan yang
telah masuk kamar hitung tidak ikut terserap kembali. Kamar hitung yang
telah diisi dengan larutan enceran didiamkan selama beberapa menit dalam
posisi mendatar agar sel-sel darah mengendap dengan baik.
B. Tahap kedua
Kita siapkan mikroskop yang baik dan kita bersihkan bagian-bagian
optiknya. Kamar hitung yang telah disiapkan diletakkan dimeja
mikroskop. Bagian dataran yang terisi diposisikan tepat dibawah lensa
objektif. Penyebaran sel diperhatikan dengan pembesaran rendah, kita lihat
apakah merata atau berkelompok. Jika tidak merata, harus membuat lagi
preparat yang baru. Jika sudah merata, lensa objektif diganti dengan
pembesaran lebih tinggi. Hitung sel-sel dalam lima kotak yang terletak
didaerah sentral dengan ketentuan sebagai berikut : sel-sel yang
menyentuh garis batas atas kiri kotak termasuk dalam hitungan, sedangkan
sel-sel yang menyentuh garis batas kedua sisi lainnya ( kanan dan bawah )
tidak masuk hitungan. Lima kotak yang biasa dihitung ialah empat kotak
pojok dan satu kotak tengah. Hasil perhitungan akhir ( jumlah total
eritrosit )
Total eritrosit = n * 10.000
n= jumlah seluruh sel dari lima kotak yang dihitung
13
Prosedur Kerja
Tabung sahli diisi dengan asam klorida 0.1N sampai garis terbawah. Darah
dihisap dengan pipet hemoglobin sampai angka 20. Darah no.2 dimasukkan
pada asam klorida dengan meniup pelan-pelan. Kemudian darah dan asam
klorida dicampurkan dengan menghisap dan meniup pelan-pelan.
Terbentuknya asam hematin ditandai dengan adanya perubahan warna
menjadi cokelat atau hitam cokelat. Kemudian aquades diteteskan dengan
menggunkan pipet tetes sambil dikocok hati-hati, penambahan aquades
dilakukan sampai warnanya sama dengan pembanding. Kadar hemoglobin
dibaca dengan dilihat miniskus cairan pada tabung sahli. Satuan hemoglobin
dengan gram%.
PARAMETER LEUKOSIT
14
dataran yang terisi diposisikan tepat dibawah lensa objektif. Penyebaran sel
diperhatikan dengan pembesarn rendah, dilihat apakah merata atau
berkelompok. Jika tidak merata, harus membuat preparat yang baru. Jika sudah
merata, lensa objektif diganti dengan pembersaran lebih tinggi. Sel leukosit
dihitung berdasarkan jumlah sel yang dilihat dalam empat kotak besar di pojok.
Hasil perhitungan akhir leukosit adalah perkalian antara jumlah total leukosit
dari ke-4 kotak dengan 50 satuan.
Prosedur Kerja
1. Pembuatan preparat ulas darah
Sebelum digunakan, kaca preparat dibersihkan dengan alcohol 70%
kemudian dibersihkan dengan tisu. Sample darah diteteskan pada satu sisi kaca
preparat. Satu kaca preparat lain yang masih baik, diambil dan ditempatkan
disalah satu sisi ujung kaca preparat pertama dengan membentuk sudut 45°C.
Kaca preparat kedua ditarik sampai menyentuh tetes darah dan biarkan
menyebar sepanjang tepi kaca preparat kedua. Kemudian kaca preparat kedua
dipotong ke sepanjang permukaan kaca preparat pertma dengan kecepatan yang
cukup sehingga terbentuk lapisan darah tipis dan merata. Preparat dikeringkan
dengan mengayun-ayunkan beberapa kali di udara.
15
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
16
(tidak ada perubahan
warna)
Keton: Negatif (tidak ada urin tidak mengandung badan
Uji Rothera perubahan warna) keton (asam diasetat & aseton)
PEMBAHASAN
18
Kadar hemoglobin domba
Haemoglobin (Hb) 6.1 gram% lebih rendah dari normal,
yaitu antara 8-16 gram%
RBC lebih rendah dari
Total RBC 5.64 ul
normal, yaitu antara 8-15 ul
Indeks Eritrosit
MCV
MCV = 24 x 10/5.64 Nilai MCV dalam rentang
MCV=PCVx10/ƩRB
= 42.55 fl normal, (normal 23-48 fl)
C
MCH MCH = 24 x 10/5.64 Nilai MCH dalam rentang
MCH=Hbx10/ƹRBC = 10.82 pg normal (normal 9-13 pg)
MCHC Anemia hipokromik, nilai
MCHC = 6.1 x 100/24
MCHC=Hbx100/PC MCHC lebih rendah dari
= 25.42 gr/dL
V normal, yaitu 29-35 gr/dL
19
pada domba, yaitu 23-48 fl. Berdasarkan hasil, domba diduga mengalami anemia
normositik hipokromik (Jatmika 2014).
20
Pada pemeriksaan eosinofil domba didapatkan hasil relatif sebesar 14 %
dan hasil absolut sebesar 5250 ul. Hasil ini menunjukkan nilai lebih tinggi dari
normal eosinofil domba, yaitu 0-1000 ul. Eosinofil bersifat motil dan fagositik
dan dalam keadaan alergi, shock anafilaxis dan paratisim jumlah eosinophil sangat
meningkat (Anita et al 2017). Pada pemeriksaan basofil domba didapatkan hasil
relatif sebesar 0 % dan hasil absolut 0 ul. Hasil ini menunjukkan nilai normal,
yaitu berada pada kisaran 0-300 ul. Di dalam tubuh basofil sering bekerja sama
dengan sel mast.
DAFTAR PUSTAKA
21
Basoeki. 2000. Petunjuk Praktikum Anatomi dan Fisiologi Manusia. Malang (ID):
FMIPA UM.
Battaglia A M. 2001. Small Animal Transfusion Medicine. In: AM Battaglia.
Small Animal Emergency and Critical Care : A Manual For Veterinary
Technicians. USA: Saunders Company.
Blumenriech MS. 1990. The White Blood Cell and Differential Count. Boston
(USA): Butterworths Publishers.
Boedina SK, 1988. Pengantar Hematologi dsan Imunohematologi. Jakarta(ID):
BP FKUI.
Bradley GM and Benson ES. 1974. Examination of The Urin. Davidson, Henry I,
Jb.Clinical Diagnosis by Laborathory Method .15 th.Ed. WB Saunders. Co.
Philadelphia. 15-80 12.
Breazile JE. 1971. The Kidney. Textbook of Veterinary Physhiology. Lea and
Febriger. Philadelphia. 315-336 Coles EH. 1986. Veterinary Clinical
Phatology. 4 nd.
Coles, E.H. 1974. Veterinary Clinical Pathology. Philadelphia (USA) W. B.
Saunders Company Corwin, E.J. 2008. Handbook of Pathophysiology, Edisi
ketiga. Diterjemahkan oleh: Subekti, N.B., Editor edisi Bahasa Indonesia:
Yudha, E.K., Wahyuningsih, E., Yulianti, D., dan Karyuni, P.E. (2009).
Buku Saku Patofisiologi, Edisi ketiga. Jakarta (ID): Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Halaman 240.
Colville J. 2002. Blood Lymph and Immunity. In: T Colville and JM Bassert.
Clinical Anatomy and Physiology For Veterinary Technicians. Mosby:
Missouri.
Corwin EJ. 2000. Buku Saku Patofisiologi (Handbook of Phatophysiology).
Penerbit Buku Kedokteran. EG. Jakarta.
Cunningham JG. 2002. Textbook of Veterinary Physiology. Ed ke-3.
Philadelphia(USA): WB. Saunders Company.
Guyton AC, Hall JE. Guyton dan Hall buku ajar fisiologi kedokteran. Ed 12.
Diterjemahkan oleh: Siagian M. Singapura (SG): Elsevier; 2011. hal 325-
45.
Jatmika E. 2014. Respon Fisiologis dan Profil Darah Domba Jantan yang
Dipelihara Peternak Desa Petir, Kecamattan Dramaga, Kabupaten Bogor.
Makalah. Dalam: Ruang Seminar Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi
Pakan, Faperta IPB, 21 September .
Kannan TH. et al. 2000. Transportation of goats: effects on physiological stress
responses and live weight loss: Journal of Animal Science 2000. 78:1450-
1457.[Internet]. Tersedia pada: http://www.jas.fass.org. [Diunduh 14 Des
2018].
Melvin JS and OP William. 1993. Duke’s Physiology of Domestic Animal.11
Edition. Ithaca (UK): Cornell University Press.
Rotoro SR. 1992. Tinjauan Beberapa Manfaat Klinik Dari Analisa Urin Anjing
Melalui Pemahaman Proses Pembentukan Urin Dan Penetapan Nilai Urin
Sehat. [Skripsi]. Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Bogor.
22
Sherwood, L. 2012. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 6. Jakarta(ID) :
EGC. h. 708-710.
Soewolo. 2003. Pengantar Fisiologi Hewan. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional.
Strasinger. Schaub. 2001. Mencetak Doming Unggul dengan Inseminasi
Buatan. Tersedia pada: http://www.pustaka.bogor.net/publ/warta/.
Widjajakusuma R. dan Sikar H. 1986. Fisiologi Hewan Laboratorium. Fisiologi
dan Farmakologi. Bogor (ID): Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor
23