Anda di halaman 1dari 23

Waktu : 10.30 – 13.

00 WIB
Hari, tanggal : Senin, 10 Desember 2018
Kelompok : 3 Pagi
Penanggung jawab : Drh. Arief Purwo Mihardi

LAPORAN PRAKTIKUM PATOLOGI KLINIK


BIOKIMIAWI DARAH

Lai Huai Lert B04148008


Siti Sarah B04150056
Riana Nurul Maulani B04150058
Nurul Taufiq B04150067
Nisa NurulFitria B04150091
Anndini Eka Pratiwi B04150095
Sinta Maryani B04150177
Lee Xia Meen B04158016
Sohanjit Singh Chehal B04158027

DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI PATOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2018

1
DAFTAR ISI
Daftar Isi...................................................................................................... 2
Abstrak………………………………………………………………......... 3
BAB 1. PENDAHULUAN........................................................................... 4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA................................................................. 5
BAB 3. METODOLOGI PRAKTIKUM................................................... 11
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................... 16
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 22
Daftar Pustaka ............................................................................................ 23

2
Abstrak

Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menentukan diagnosis penyakit atau


sebagai peneguhan diagnosa status kesehatan hewan. Pemeriksaan laboratorium dapat
berupa pemeriksaan urin dan darah. Warna urin kuning, diinterpretasikan sebagai warna
urin normal. Uji protein mengukur adanya albumin dalam urin yang menunjukkan sapi
mengalami proteinuria, yaitu tanda awal dari penyakit ginjal. Uji Benedict urine
mendeteksi adanya glukosa, atau glukosuria yang dapat disebabkan diabetes mellitus.
Protein dan glukosa urine berhubungan karena glukosa juga diperoleh dari perombakan
protein yang ditemukan pada penderita diabetes. Uji Busa dan Uji Gemelin menunjukkan
adanya empedu yang dapat disebabkan penyakit hati. Uji Rothera juga menunjukkan
adanya badan keton yang dapat mengarah ke diabetes mellitus. Berdasarkan hasil
pemeriksaan darah pada domba, didapat RBC dan haemoglobin yang rendah, dibawah
normal. Nilai RBC dan WBC yang berkurang mengindikasikan bahwa domba mengalami
leukositopenia dan anemia. Diagnosa anemia hipochromik ditandakan oleh nilai MCHC
yang rendah. Morfologi sel darah merah pada saat pemeriksaan adalah seragam dan
normal. Leukosit mengindikasikan imunitas tubuh. Berdasarkan sampel darah yang
diperiksa menggunakan hematocrit reader, limfosit berada di bawah normal
menunjukkan leukositopenia.
KATA KUNCI:

Abstract

Laboratory tests are carried out to determine the diagnosis of the disease or as a
confirmation of the diagnosis of animal health status. Laboratory tests include urine and
blood tests. Yellow urine color is interpreted as normal urine color. Protein testing
measures the presence of albumin in urine, which indicates that the cow has proteinuria,
which is the initial sign of kidney disease. The Benedict urine test detected glucose, or
glucosuria, which can be caused by diabetes mellitus. Urine protein and glucose are
related. Foam Test and Gemelin Test show the presence of bile which can be caused by
liver disease. The Rothera test also shows the presence of ketone bodies which can lead
to diabetes mellitus. Based on the results of blood tests in sheep, RBC and hemoglobin
were found to be low, below normal. The reduced RBC and WBC values indicate that
sheep experience leukocytopenia and anemia. The diagnosis of hypochromic anemia is
indicated by a low MCHC value. The morphology of red blood cells at the time of
examination is uniform and normal. Leukocytes indicate body immunity. Based on blood
samples examined using a hematocrit reader, lymphocytes are below normal showing
leukocytopenia.
KEY WORDS:

3
BAB I. PENDAHULUAN

Darah adalah cairan yang terdapat pada semua makhluk hidup tingkat
tinggi yang berfungsi mengirimkan zat-zat dan okigen yang dibutuhkan oleh
jaringan tubuh, mengangkut bahan-bahan kimia hasil metabolisme dan juga
sebagai pertahanan tubuh terhadap virus atau bakteri. Darah merupakan cairan
yang sangat penting bagi makhluk hidup karena berfungsi sebagai alat transportasi
serta memiliki banyak kegunaan lainnya untuk menunjang kehidupan. Darah juga
berperan memelihara keseimbangan cairan dalam tubuh dan memelihara
keseimbangan asam basa (pH) (Colville 2002). Berdasarkan fungsi atau perannya,
darah dapat digunakan sebagai salah satu bentuk terapi cairan, yaitu dengan cara
dilakukannya transfusi pada hewan yang membutuhkan (Battaglia 2001).
Darah merupakan indikator penting untuk mengetahui perubahan fisiologi
dan patologi pada hewan. Darah terdiri dari cairan kompleks plasma tempat
elemen selular diantaranya eritrosit, leukosit, dan trombosit. Pemeriksaan darah
lengap (CBC) adalah suatu jenis pemeriksaan untuk menunjang diagnosa suatu
penyakit dan atau untuk melihat bagaimana respon tubuh terhadap suatu
penyakit.Selain itu pemeriksaan ini sering dilakukan untuk melihat kemajuan atau
respon terapi pada pasien yang menderita suatu penyakit infeksi. Pemeriksaan
darah lengkap terdiri dari beberapa jenis parameter pemeriksaan, yaitu
hemoglobin, hematokrit, leukosit (White Blood Cell/ WBC), trombosit (platelet),
eritrosit(Red Blood Cell/ RBC), indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC), laju endap
darah atau Erithrocyte Sedimentation Rate (ESR), hitung jenis leukosit
(Differential Count), Platelet Disribution Width (PDW), dan Red Cell Distribution
Width (RDW).
Sistem urinaria terdiri dari ginjal, ureter, kandung kemih, uretra. Sistem ini
membantu mempertahankan homeostasis dengan menghasilkan urine yang
merupakan hasil sisa metabolisme (Soewolo 2003). Urinalisis adalah tes yang
dilakukan pada sampel urine pasien untuk tujuan diagnosis infeksi saluran kemih,
batu ginjal, skrining dan evaluasi berbagai jenis penyakit ginjal, memantau
perkembangan penyakit seperti diabetes melitus dan tekanan darah tinggi
(hipertensi), dan skrining terhadap status kesehatan umum.
Dalam mempertahankan homeostasis tubuh peranan urine sangat penting,
karena sebagian pembuangan cairan oleh tubuh adalah melalui sekresi urine.
Selain urine juga terdapat mekanisme berkeringat dan juga rasa haus yang
kesemuanya bekerja sama dalam mempertahankan homeostasis ini. Fungsi utama
urine adalah untuk membuang zat sisa seperti racun atau obat-obatan dari dalam
tubuh.Anggapan umum menganggap urine sebagai zat yang “kotor”. Hal ini
berkaitan dengan kemungkinan urine tersebut berasal dari ginjal atau saluran
kencing yang terinfeksi, sehingga urinenyapun akan mengandung bakteri. Namun
jika urine berasal dari ginjal dan saluran kencing yang sehat, secara medis urine
sebenarnya cukup steril dan hampir tidak berbau ketika keluar dari tubuh. Hanya
saja, beberapa saat setelah meninggalkan tubuh, bakteri akan mengkontaminasi
urine dan mengubah zat-zat di dalam urine dan menghasilkan bau yang khas,
terutama bau amonia yang dihasilkan dari urea.
Dalam Basoeki (2000) disebutkan bahwa pada proses urinalisis terdapat
banyak cara metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi zat-zat apa saja yang
terkandung di dalam urine. Analisis urine dapat berupa analisis fisik, analisi
kimiawi dan anlisis secara mikroskopik.

4
Analisis urine secara fisik meliputi pengamatan warna urine, berat jenis
cairan urine dan pH serta suhu urine itu sendiri. Sedangkan analisis kimiawi dapat
meliputi analisis glukosa, analisis protein dan analisis pigmen empedu. Untuk
analisis kandungan proteinm ada banyak sekali metode yang ditawarkan , mulai
dari metode uji millon sampai kuprisulfa dan sodium basa. Yang terakhir adalah
analisis secara mikroskopik, sampel urine secara langsung diamati dibawah
mikroskop sehingga akan diketahui zat-zat apa saja yang terkandung di dalam
urine tersebut, misalnya kalsium phospat, serat tanaman, bahkan bakteri (Basoeki
2000).

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

URINALISIS
Urinalisis merupakan pemeriksaan uji saring yang sering dilakukan untuk
mengetahui gangguan ginjal dan saluran kemih atau gangguan metabolisme tubuh
(Strasinger dan Schaub 2001). Urinalisis dapat menunjang penelusuran akibat
suatu penyakit atau penyimpangan yang terjadi pada hewan melalui urine, yang
bersifat patologis. Dengan demikian diagnosis maupun prognosis dapat tercapai
secara akurat.
Urinalisis adalah keadaan dimana ada kelainan pada kandungan urine.
Sejak dahulu suku-suku primitif telah dapat melihat adanya penyimpangan pada
urin, misalnya pada perubahan warna air kemih yang disertai rasa sakit karena
radang kantung air kemih atau adanya semut dan insekta lainnya yang
mengerumuni air kemih pada penderita diabetes (Bradley dan Benson 1974 dalam
Rotoro 1992, Girindra 1988).
Analisa urin sudah banyak mengalami kemajuan dari zaman ke zaman.
Sejarah patologi klinik dimulai dari pemeriksaan dalam urin dan darah kemudian
baru mempelajari hubungannya yang ada dalam tubuh. Perkembangan patologi
klinik semakin memperbesar makna suatu analisa. Dengan analisa yang tepat
dapat diketahui zat-zat yang normal dalam jumlah yang menyimpang atau adanya
perubahan bentuk dari zat-zat yang terkandung di dalam urin (Rotoro 1992).
Urinalisis adalah suatu pemeriksaan urin yang meliputi pemeriksaan makroskopis,
mikroskopis, dan kimia urin. Pemeriksaan urin dilakukan keperluan 6 untuk
penyaringan, diagnosa sehingga berperan penting dalam pengobatan suatu
penyakit (Blood et al 1979).
Pemeriksaan makroskopis urin meliputi :1.Warna ; 2. Kejernihan; 3. Bau ;
sedangkan pemeriksaan mikroskopis urin terdiri dari :1. Sel- sel dalam urin yaitu
sel-sel epitel, silinder urin, bahan organik/kristal; 2. Parasit dan bakteri urin. Pada
pemeriksaan kimiawi urin yang lazim dilakukan adalah pemeriksaan protein,
glukosa, keton, Bilirubin, urobilinogen, berat jenis dan darah. Sampel urin mudah
dievaluasi untuk melihat adanya sel darah merah, protein, glukosa, leukosit, yang
dalam keadaan normal tidak ditemukan atau sedikit jumlahnya dalam urin
(Corwin 2000).

HEMATOLOGI
Eritrosit
Sel darah darah merah (eritrosit) tidak memiliki inti sel, eritrosit
mempunyai kandung protein hemoglobin, yang mengangkut sebagian besar
oksigen dari paru ke seluruh sel tubuh. Sel eritrosit diproduksi di sumsum tulang
(Corwin, EJ, 2008). Eritrosit terbentuk melalui beberapa tahapan yaitu

5
pembelahan dan perubahan morfologi sel-sel berinti dimulai dari proeritoblas
sampai ortokromatik eritroblas, kemudian membentuk eritrosit tidak berinti yang
disebut retikulosit dan akhirnya menjadi eritrosit (Boedina SK, 1988).
Morfologi dari eritrosit dapat diamati dengan cara mikroskopis dengan
pembuatan sediaan apus dengan pengecatan Wright Giemsa atau dengan
pengecatan yang lain. Eritrosit memiliki bentuk bikonkav dengan 9 diameter 7-9
µm. Sediaan darah apus yang telah dilakukan pengecatan dengan Giemsa maka
eritrosit yang normal akan tampak warna kemerahmerahan dengan tepi agak lebih
gelap dan terlihat warna menjadi lebih pucat pada bagian tengah

Hemoglobin
Hemoglobin adalah suatu pigmen (memiliki warna alami), karena memiliki
kandungan besi. Hemoglobin akan tampak kemerahan jika berikatan dengan
O2 dan tampak keunguan jika mengalami deoksigenasi. Darah arteri yang
teroksigenasi penuh akan berwarna merah dan darah vena yang telah kehilangan
sebagian dari kandungan O2 akan berwarna kebiruan. Selain mengangkut oksigen,
hemoglobin juga dapat berikatan dengan CO2, CO, NO, H+ (Sherwood 2012).
Proses metabolisme hemoglobin diawali dengan suksinil-KoA, yang
dibentuk dalam siklus krebs berikatan dengan glisin untuk membentuk molekul
pirol. Kemudian, empat pirol bergabung dengan besi membentuk protorfirin IX,
yang kemudian bergabung dengan besi untuk membentuk molekul heme. Setiap
molekul heme bergabung dengan rantai polipeptida panjang, yaitu globin yang di
sintesis oleh ribosom, membentuk suatu subunit hemoglobin yang disebut rantai
hemoglobin. Tiap-tiap rantai mempunyai berat molekul kira-kira 16.000, empat
rantai ini selanjutnya akan berikatan longgar satu sama lain untuk membentuk
molekul hemoglobin yang lengkap (Guyton 2011). Menurut Coles (1974) bahwa
kadar hemoglobin dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah umur,
spesies, jenis kelamin, serta kualitas dan kuantitas pakan. Darah dengan
larutan HCl 0,1 N akan membentuk hematin yang berwarna coklat. Warna
disamakan dengan warna standart sahli dengan menambahkan aquadestilata
sebagai pengencer.

Hematokrit / PCV (packed cell volume)


Nilai hematokrit merupakan volume eritrosit yang dimampatkan. Dapat pula
diartikan sebagai volume sel-sel eritrosit seluruhnya dalam 100 ml darah dan
dinyatakan dalam %. Pemeriksaan tersebut merupakan salah satu pemeriksaan
yang dapat digunakan untuk mencari nilai MCH (Mean Corpusculum
Hemoglobin) (Baron 2008).
Peningkatan hematokrit yang dikaitkan dengan peningkatan viskositas darah,
mengurangi aliran balik vena, dan meningkatkan kelengketan dari platelet.
Apabila dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular dan semua
penyebab mortalitas pada populasi umum. Banyak faktor (selain hematokrit)
seperti jenis kelamin, usia, habitus tubuh, dan penyakit jantung yang mendasari
dapat menentukan efek mengisi intradialytic (Bakta dan Made 2006).
Faktor yang mempengaruhi pemeriksaan hematokrit adalah jumlah eritrosit,
ukuran eritrosit, bentuk eritrosit, perbandingan antikoagulan dengan darah, tempat
penyimpanan, dan kurang homogen. Salah satu contoh antikoagulan darah adalah
heparin, EDTA, dan natruimsitrat dalam larutan 3.8%. Hematokrit diperoleh
dengan menambahkan antikoagulan pada sejumlah darah kemudian
mensentrifugasinya dalam sebuah tabung (Cuningham 2002). Darah yang

6
tercampur dengan antikoagulan dipusing dengan alat “centrifuge” sehingga
terbentuk lapisan-lapisan. Hematokrit adalah persentase sel darah merah di dalam
100 ml darah (Widjajakusuma dan Sikar 1986).
Ada banyak variasi nilai normal dalam spesies hewan. Umumnya
pada sebagian besar darah hewan normal nilai hemoglobinnya antara 13
sampai 15 gram per 100 mililiter (Swenson 1970; Benyamin 1978; Mitruka dan
Rawnsley 1981; Phillis 1976). Sedangkan sebagian besar hewan piaraan
mempunyai nilai hematokrit dari 38 sampai 40% dengan rata-rata 40% (Swenson
1984). Nilai hematokrit pada spesies hewan berbeda, pada domba nilai
hematrokit 24-45%, anjing 40-55%, dan pada sapi 26-42%.

Indeks Eritrosit (MCV, MCH, dan MCHC)


Anemia merupakan keadaan dimana jumlah sel-sel darah merah berkurang
atau kadar hemuglobinnya yang berkurang. Untuk menentukan jenis anemia
dipergunakan perhitungan indeks eritrosit.

a. MCV
MCV (mean corpuscular volume), yaitu volume rata-rata eritrosit yang
dinyatakan dengan femtoliter (fl). Nilai normal MCV pada domba adalah
32 (23-48), pada sapi 50 (40-60), dan pada anjing 70 (60-77).
b. MCH
MCH (mean corpuscular haemoglobin), yaitu banyaknya hemoglobin per
eritrosit yang dinyatakan dengan pikogram (pg). Nilai normal MCH pada
domba adalah 9.0-13.0, pada sapi 14.4-18.6, dan pada anjing 19.0-23.0.
c. MCHC
MCHC (mean corpuscular haemoglobin concentration), yaitu kadar
hemoglobin yang diperoleh per eritrosit yang dinyatakan dengan persen
(%) (satuan yang lebih tepat adalah gr/dl). Nilai normal MCHC pada
domba adalah 32 (29-35), pada sapi 30 (26-34), dan pada anjing 33 (31-
34).

WBC (white blood cell) / Sel Darah Putih (SDP) / Leukosit


Sel darah putih (leukosit) dibentuk disumsum tulang dari sel-sel
progenitor. Pada proses diferensiasi selanjutnya, sel-sel progenitor menjadi
golongan yang tidak bergranula yaitu, limfosit T dan B, monosit, dan magrofag,
atau golongan yang bergranula yaitu, neutrofil, basofil, dan eosinofil. Peranan sel
darah putih adalah untuk mengenali dan melawan mikroorganisme pada reaksi
imun dan untuk membantu proses peradangan dan penyembuhan (Corwin, EJ,
2008).
Leukositosis adalah peningkatan jumlah sel darah dalam sirkulasi. Hal ini
merupakan respons normal terhadap infeksi atau proses peradangan. Sedangakan
penurunan jumlah leukosit dibawah nilai normal adalah leukopenia, hal ini dapat
disebabkan misalnya infeksi virus, penyakit atau kerusakan sumsum tulang,
radiasi atau kemoterapi. Penyakit sistemik yang parah misalnya lupus
eritrematosus, penyakit tiroid, dan sindrom cushing, dapat menyebabkan
penurunan jumlah leukosit (Corwin 2008).

7
BAB III. METODOLOGI

URINALISIS
1. Pemeriksaan Makroskopis Urin
A. Pemeriksaan Volume atau Jumlah Urin
a. Prinsip
Urin yang dikeluarkan selama 24 jam dikumpulkan kemudian
dibandingkan dengan jumlah normalnya dari setiap jenis hewan. Secara
fisiologis volume urin dipengaruhi oleh jenis pakan yang dikonsumsi,
jumlah air yang diminum, cuaca, kegiatan dan spesies hewan.
b. Alat dan bahan
Alat dan bahan yang digunakan yaitu urin dan gelas ukur/gelas
piala/tabung erlenmeyer.
c. Cara Kerja
Urin diletakkan pada gelas ukur atau gelas piala atau tabung
erlenmyer dan diukur volumenya dengan melihat skala yang tertera pada
alat.

B. Pemeriksaan Warna Urin


a. Prinsip
Warna urin normal disebabkan oleh zat warna (pigmen) urokrom.
Zat warna ini dikeluarkan dalam jumlah tetap dengan demikian intensitas
warna urin dipengaruhi oleh volume urin, semakin besar volume urin
makin pucat warna urin dan sebaliknya.
b. Alat dan bahan
Alat dan bahan yang diperlukan yaitu sebuah tabung reaksi bersih
atau tabung urinometer.
c. Cara Kerja
Urin dimasukkan ke dalam tabung reaksi atau tabung urinometer
yang bening dan bersih lalu diarahkan pada datangnya cahay dan
perhatikan warnanya. Hasil pengamatan dapat berupa : tidak berwarna,
kuning pucat, kuning, kuning tua, kuning coklat, kuning kehijauan, hijau,
merah, coklat kemerahan, coklat, biru atau putih susu.

C. Pemeriksaan Kejernihan Urin (Transparansi)


a. Alat dan bahan
Alat dan bahan yang digunakan yaitu urin, tabung reaksi atau tabung
urinometer.
b. Cara Kerja
Urin dimasukan ke dalam tabung reaksi atau tabung urinometeryang
bersih dan jernih, kemudian kejernihan diperhatikan. Urin cepat
memberikan kesan jernih, keruh atau berjonjot (flokulasi).

D. Pemeriksaan Berat Jenis Urin (BJ)


a. Prinsip
Berat jenis (BJ) urin dipengaruhi oleh berbagai macam zat yang
terlarut di dalamnya. BJ urin dapat diukur dengan menggunakan
refraktometer atau urinometer. Pengukuran dengan urinometer
memerlukan sejumlah urin yang cukup banyak (kurang lebih 15 ml).

8
Sementara, pengukuran BJ urin dengan refraktometer hanya
memerlukan urin satu dua tetes saja.
b. Alat dan bahan
Alat dan bahan yang diperlukan yaitu urinometer, tabung urinometer
dan termometer.
c. Cara Kerja
Suhu tera urinometer diperiksa, kemudian urin dituangkan ke dalam
tabung urinometer sampai terisi kira-kira tiga perempatnya. Urinometer
dicelupkan, jangan membentur dasar tabung ketika dilepaskan. BJ dibaca
pada skala, angka terdapat pada batas antara bagian urinometer yang
tenggelam dan muncul di atas permukaan urin. Suhu urin diukur dengan
termometer. Jika suhu urin tidak sama dengan suhu tera urinometer,
angka yang terbaca harus dikoreksi dengan ditambahkannya atau
dikurangi seperseribu (0.001) untuk setiap 3 derajat di atas atau di bawah
suhu tera.
Bila volume urin tidak sedikit atau tidak mencukupi, cara pertama
adalah pengukuran menggunakan urinometer kecil dan tabung urinomter
diganti dengan tabung sentrifus berdinding tipis. Cara kedua yaitu urin
diencerkan dengan akuades sehingga volume mencukupi untuk
mengapungkan urinometer.
BJ urin diperhitungkan dengan rumus :
BJ urin = 1 + p x (ad)
Keterangan :
P = angka pengenceran
ad = angka desimal yang diperoleh dari hasil pengukuran urin yang
telah diencerkan.

2. Pemeriksaan Kimia Urin


A. Pemeriksaan Ph
a. Alat dan bahan
Alat dan bahan yang digunakan yaitu urin, kertas lakmus merah dan
lakmus biru.
b. Cara Kerja
Kertas lakmus merah dan kertas lakmus biru dicelupkan ke dalam
urin. Perubahan warna diperhatikan. Lakmus biru menjadi merah berarti
asam (pH rendah), lakmus merah menjadi biru berarti basa (pH tinggi),
kedua lakmus berubah warna berarti amfoter dan kedua kertas lakmus
tidak berubah berarti netral.

B. Pemeriksaan Protein
 Uji Heller / Cold Nitric Acid Test
a. Prinsip
Terbentuknya gumpalan protein menimbulkan kekeruhan pada
perbatasan kedua cairan (urin dan reagen).
b. Alat dan bahan
Alat dan bahan yang digunakan yaitu urin, tabung reaksi, pipet
serta pereaksi larutan asam nitrat pekat.
c. Cara Kerja
Larutan asam nitrat pekat dimasukkan ke dalam tabung reaksi
sebanyak 2 ml. Urin ditambahkan sebanyak 2 ml ke atas pereaksi

9
dengan dimiringkannya tabung dan urin dialirkan secara perlahan dan
hati-hati dengan pipet melalui dinding tabung. Perhatikan
terbentuknya cincin putih pada perbatasan kedua cairan. Hasil reaksi :
negatif (-) tidak terbentuk cincin, dubius (-/+) cincin tidak jelas, positif
satu (+) terbentuk cincin tipis, positif dua (++) cincin jelas dan lebar,
positif tiga (+++) cincin sangat lebar dan positif empat (++++) warna
putih menyeliputi seluruh lapisan urin.

 Uji Asam Sulfosalisilat


a. Prinsip
Pengendapan protein oleh asam sehingga timbul kekeruhan.
b. Alat dan bahan
Alat dan bahan yang digunakan yaitu urin, tabung reaksi, pipet
serta pereaksi larutan asam sulfosalisilat 20 %.
c. Cara Kerja
Urin dimasukkan ke dalam dua buah tabung reaksi masing-
masing sebanyak 2 ml. Delapan tetes asam sulfosalisilat ditambahkan
ke salah satu tabung dan tabung lain sebagai kontrol. Perubahan
warna diperhatikan. Apabila timbul kekeruhan merata, reaksi tersebut
adalah positif.

C. Pemeriksaan Glukosa Urin


 Uji Benedict
a. Prinsip
Glukosa mereduksi kupri sulfat (CuSO4) membentuk kuprooksida
(Cu2O) yang berwarna merah bata dan mengendap setelah
didinginkan.
b. Alat dan bahan
Alat dan bahan yang digunakan yaitu urin, penangas air
(mendidih) atau nyala api kecil (lampu spiritus, bunsen), beberapa
tabung reaksi, rak tabung, penjepit tabung dan reagen Benedict.
c. Cara Kerja
Pereaksi Benedict dituangkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 5
ml. Urin ditambahkan sebanyak 0.5 ml lalu dikocok hati-hati dan
didihkan selama 2 menit dalam penangas air atau langsung di atas
nyala api kecil. Perhatikan perubahan warna yang terjadi. Reaksi
positif ditandai dengan timbul warna hijau, kuning sampai merah dan
bila terus dibiarkan akan terbentuk endapan merah bata (Cu2O).

D. Pemeriksaan Zat Warna Empedu (Bilirubin)


 Uji Busa
a. Alat dan bahan
Alat dan bahan yang digunakan yaitu urin, tabung reaksi dan
pipet.
b. Cara Kerja
Beberapa ml urin dimasukan ke dalam sebuah tabung reaksi,
kemudian dikocok kuat-kuat. Hasil diperhatikan. Apabila terbentuk
sedikit busa berarti urin tidak mengandung empedu. Apabila terbentuk
banyak busa dan susah hilang serta berwarna kuning kehijauan atau
kecoklatan berarti urin mengandung empedu.

10
 Uji Gmelin
a. Prinsip
Zat empedu dioksidasi oleh asam membentuk derivat-derivat
yang berwarna.
b. Alat dan bahan
Alat dan bahan yang digunakan yaitu urin, pipet, tabung reaksi
dan asam nitrat 50%.
c. Cara Kerja
Sebanyak 2 ml larutan asam nitrat dimasukan ke dalam tabung
reaksi, kemudian ditambahkan 2 ml urin. Warna diperhatikan. Apabila
terbentuk cincin hijau dan ungu pada batas kedua cairan berarti urin
mengandung empedu.

 Uji Rosenbach
a. Prinsip
Uji ini merupakan modifikasi dari Uji Gmelin. Uji ini tidak
sepeka uji Gmelin dan akan memperlihatkan cincin warna merah
muda sampai merah pada urin sapi normal.
b. Alat dan bahan
Alat dan bahan yang digunakan yaitu urin, selembar kertas saring
dan sedikit asam nitrat.
c. Cara Kerja
Urin disaring dengan kertas saring hingga kertas saring
mengering. Asam nitrat diteteskan pada kertas saring pada bagian
yang lembap. Perubahan warna diperhatikkan. Apabila timbul warna-
warni (hijau,biru,ungu) di tepi tetesan asam sewaktu mengering berarti
reaksi positif.

E. Pemeriksaan Badan Keton


 Uji Rothera
a. Prinsip
Na nitroprusida diuraikan menjadi Na4[Fe(CN)6], Na Ferro
pentasianida, NaNO2 dan Fe(OH)3 dalam suatu larutan alkalis. Hasil
penguraian ini adalah agen oksidasi yang membentuk suatu
persenyawaan ungu apabila ada asam diasetat dan aseton. Asam diasetat
dan beta-hidroksibutirat ditemukan dalam urin si perjalanan ketosis,
diabetes dan kelaparan. Asam diasetat dan aseton setelah diuraikan
dalam urin akan memberi reaksi positif dalam uji ini. Uji ini lebih peka
untuk uji asam asetat dari pada untuk aseton.
b. Alat dan bahan
Alat dan bahan yang digunakan yaitu urin, tabung reaksi, pipet,
larutan Na nitroprusida 5%, larutan amonium likuid 10%, larutan
ammonium sulfat jenuh.
c. Cara Kerja
Sebanyak 5 ml urin dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Lima tetes
larutan Na nitroprusida 5% ditambahkan. Larutan ammonium likuid
10% ditambahkan sebanyak 5 ml. Perubahan warna diperhatikkan.
Apabila terjadi perubahan warna menjadi ungu seperti warna kalium
permanganate, reaksi tersebut adalah positif.

11
3. Pemeriksaan Mikroskopis / Sedimentasi Urin
a. Alat dan bahan
Alat dan bahan yang digunakan yaitu urin, tabung sentrifus, gelas
sedimen dan mikroskop.
b. Cara Kerja
Urin diaduk untuk melarutkan sedimen yang mengendap. Tabung
sentrifus diisi dengan urin sebanyak 5 ml yang telah diaduk selama 3-5
menit dengan kecepatan rendah. Urin dituangkan dalam tabung sentrifus,
dengan sisa urin di dalamnya masih cukup untuk melarutkan sedimen.
Sedimen dicampur dengan sisa urin dengan cara menggoayngkan
tabungnya. Campuran sedimen diteteskan pada kaca preparat dan tutup
dengan kaca penutup. Preparat diperiksa di bawah mikroskop. Hasil
pemeriksaan dinyatakan dengan jumlah rata-rata setiap bidang pandang
sedikit, banyak atau banyak sekali. Sedimen dapat berupa sel-sel epitel,
eritrosit, leukosit, silinder, mukus, jasad-jasad renik, kristal dan lemak.

4. Pemeriksaan Strip Test Urin


a. Prinsip
Membandingkan perubahan warna yang terjadi pada tiap parameter,
dimana indikator warna terdapat pada gambar yang telah disediakan. Jenis
pemeriksaan yang dapat dibaca yaitu leukosit (LEU), nitrit (NIT),
urobilinogen (URO), protein (PRO), pH, sel darah merah (BLO), berat jenis
(SG), benda-benda keton (KET), bilirubin (BIL), dan glukosa (GLU).
b. Alat dan bahan
Alat dan bahan yang digunakan yaitu urin dan strip test.
c. Cara Kerja
Strip test dicelupkan pada urin lalu perubahan warna pada strip test
dibandingkan dengan indikator warna. Hasil didapatkan setelah
mendapatkan hasil pembacaan (-/+/++/+++) atau angka yang tertera dalam
indikator.
PARAMETER ERITROSIT

1. Perhitungan Jumlah Eritrosit


Alat dan Bahan
Sebuah pipet pengencer, kamar hitung, mikroskop, kertas saring, alat
penghitung, cairan pengencer. Cairan pengencer yang digunakan adalah cairan
hayem.
Prosedur Kerja
A. Tahap pertama
Kita ambil pipet yang baik dan bersih, kemudian darah dihisap sampai
batas 0.5 dan ujung pipet dibersihkan dari noda-noda darah yang menempel
dengan menggunakan kertas saring atau tisu. Ujung pipet dicelupkan
kedalam cairan pengencer dan cairan tersebut dihisap sampai batas 101.
Kemudian kita angkat pipet, lalu tutup ujungnya dengan jempol dan
pangkalnya ditutup dengan jari tengah. Posisi pipet mendatar. Campuran
larutan dengan darah diratakan dengan cara membuat gerakan bolak balik
seperempat lingkaran atau membuat gerakan angka delapan mendatar.
Setelah homogeny, sebagian larutan enceran kita buang kira-kira 3-5 tetes.
Kamar hitung (Burker) diambil dari kaca penutupnya. Kamar hitung

12
maupun penutupan harus bersih dari kotoran serta bebas lemak atau
minyak. Kaca penutup kita letakkan diatas tanggul kamar hitung, dan selalu
diperhatikan terbentuknya cincin Newton. Larutan enceran diisikan
kedalam kamar hitung dengan cara hati-hati menyentuhkan ujung pipet
pada tepi antara dataran kaca penutup, sehingga permukaan daratan terisi
merata. Kelebihan cairan diatas kaca penutup dapat dihilangkan dengan
menyentuh kan kertas saring/tisu dengan hati-hati sehingga larutan yang
telah masuk kamar hitung tidak ikut terserap kembali. Kamar hitung yang
telah diisi dengan larutan enceran didiamkan selama beberapa menit dalam
posisi mendatar agar sel-sel darah mengendap dengan baik.
B. Tahap kedua
Kita siapkan mikroskop yang baik dan kita bersihkan bagian-bagian
optiknya. Kamar hitung yang telah disiapkan diletakkan dimeja
mikroskop. Bagian dataran yang terisi diposisikan tepat dibawah lensa
objektif. Penyebaran sel diperhatikan dengan pembesaran rendah, kita lihat
apakah merata atau berkelompok. Jika tidak merata, harus membuat lagi
preparat yang baru. Jika sudah merata, lensa objektif diganti dengan
pembesaran lebih tinggi. Hitung sel-sel dalam lima kotak yang terletak
didaerah sentral dengan ketentuan sebagai berikut : sel-sel yang
menyentuh garis batas atas kiri kotak termasuk dalam hitungan, sedangkan
sel-sel yang menyentuh garis batas kedua sisi lainnya ( kanan dan bawah )
tidak masuk hitungan. Lima kotak yang biasa dihitung ialah empat kotak
pojok dan satu kotak tengah. Hasil perhitungan akhir ( jumlah total
eritrosit )
Total eritrosit = n * 10.000
n= jumlah seluruh sel dari lima kotak yang dihitung

2. Perhitungan Nilai Hematokrit


Alat dan Bahan
Darah utuh “whole blood”, tabung kapiler ber-antikoagulan, alat
penyumbat tabung kapiler, alat sentrifuge kecepatan tinggi 10.000-20.000 rpm,
alat pembaca mikrohematokrit.
Prosedur Kerja
Darah dihisap dengan tabung kapiler dengan menyentuhkan ujung tabung
pada darah dan menggoyang-goyang atau mengetuk-ngetuk ujung lainnya
dengan telunjuk dimana posisi tabung hamper mendatar. Bagian ujung tabung
dikosongkan kira-kira 1 cm. Kemudian bagian tabung disumbat dengan alat
penyumbat khusus. Tabung diletakkan pada alat sentrifuge dengan bagian tak
tersumbat mengarah ke pusat sentrifuge. Kemudian sentrifugasi dilakukan
selama 4-5 menit dengan kecepatan 10.000rpm atau selama 2 menit dengan
kecepatan 16.000rpm. Hasil sentrifugasi dibaca dengan menggunakan Micro
Hematocrit Reader.

3. Perhitungan Kadar Hemoglobin


Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan yaitu darah untuh, asam hidroklorida 0.1N,
aquades, hemoglobinometer, pipethemoglobin bertanda 20mm3, tabung sahli,
dan warna standar sebagai pembanding.

13
Prosedur Kerja
Tabung sahli diisi dengan asam klorida 0.1N sampai garis terbawah. Darah
dihisap dengan pipet hemoglobin sampai angka 20. Darah no.2 dimasukkan
pada asam klorida dengan meniup pelan-pelan. Kemudian darah dan asam
klorida dicampurkan dengan menghisap dan meniup pelan-pelan.
Terbentuknya asam hematin ditandai dengan adanya perubahan warna
menjadi cokelat atau hitam cokelat. Kemudian aquades diteteskan dengan
menggunkan pipet tetes sambil dikocok hati-hati, penambahan aquades
dilakukan sampai warnanya sama dengan pembanding. Kadar hemoglobin
dibaca dengan dilihat miniskus cairan pada tabung sahli. Satuan hemoglobin
dengan gram%.

4. Perhitungan Indeks Eritrosit


MCV (Mean Corpuscular Volume)
MCV = PCV x 10/Ʃ RBC => fl
MCH (Mean Corpuscular Haemoglobin)
MCH = Hb x 10/Ʃ RBC => pg
MCHC (Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration)
MCHC = Hb x 100/PCV => gr/dl

PARAMETER LEUKOSIT

A. Penghitungan Jumlah Leukosit Total


Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang diperlukan adalah pipet pengencer, kamar hitung
(hemositometer), mikroskop, kertas saring, alat penghitung, cairan pengencer
yaitu larutan Turk yang terbuat dari Gentian violet 10 mg, dan Asam asetat 3%
100 ml.
Prosedur Kerja
Setelah bahan dan alat disiapkan, cara kerja dibagi atas dua tahap yaitu:
1. Tahap pertama
Siapkan pipet pengencer yang baik dan bersih. Kemudian darah dihisap
sampai batas 0.5. Ujung pipet dibersihkan dari noda darah yang menempel
dengan menggunakan kertas saring/tisu. Setelah itu, ujung pipet dicelupkan
kedalam cairan pengencer dan cairan tersebut dihisap sampai batas 11. Pipet
diangkat, lalu ditutup ujungnya dengan jempol dan pangkalnya ditutup dengan
jari tengah. Posisi pipet mendatar. Campuran larutan dengan arah diratakan
dengan cara membuat gerakan bolak balik seperempat lingkaran. Setelah
homogen sebagian larutan enceran dibuang kira-kira 3-5 tetes. Siapkan kamar
hitung (Burker) diambil dari kaca penutupnya. Kaca enutup diletakkan diatas
tanggul kamr hitung, dan selalu diperhatikan terbentuknya cincin Newton.
Larutan enceran diisikan kedalam Kamar hitung dengan hati-hati
menentuhkan ujung pipet pada tepi antara dataran kaca penutup, sehingga
permukaan dataran terisi merata. Kemudian kamar hitung yang telah diisi
dengan larutan enceran didiamkan selama beberapa menit dalam posisi
mendatar aagar sel-sel darah mengendap dengan baik
2. Tahap kedua
Siapkan mikroskop yang baik dan dibersihkan bagian bagian optiknya.
Kamar hitung yang telah disiapkan diletakkan dimeja mikroskop. Bagian

14
dataran yang terisi diposisikan tepat dibawah lensa objektif. Penyebaran sel
diperhatikan dengan pembesarn rendah, dilihat apakah merata atau
berkelompok. Jika tidak merata, harus membuat preparat yang baru. Jika sudah
merata, lensa objektif diganti dengan pembersaran lebih tinggi. Sel leukosit
dihitung berdasarkan jumlah sel yang dilihat dalam empat kotak besar di pojok.
Hasil perhitungan akhir leukosit adalah perkalian antara jumlah total leukosit
dari ke-4 kotak dengan 50 satuan.

B. Pembuatan dan Pewarnaan Preparat Ulas Darah

Alat dan Bahan


Alat dan bahan yang diperlukan adalah sample darah yang akan diperiksa
(domba dan anjing), alcohol 70%, tisu, kaca preparat, metil alcohol absolut,
larutan pewarna Giemsa 10%, aquades, dan timer.

Prosedur Kerja
1. Pembuatan preparat ulas darah
Sebelum digunakan, kaca preparat dibersihkan dengan alcohol 70%
kemudian dibersihkan dengan tisu. Sample darah diteteskan pada satu sisi kaca
preparat. Satu kaca preparat lain yang masih baik, diambil dan ditempatkan
disalah satu sisi ujung kaca preparat pertama dengan membentuk sudut 45°C.
Kaca preparat kedua ditarik sampai menyentuh tetes darah dan biarkan
menyebar sepanjang tepi kaca preparat kedua. Kemudian kaca preparat kedua
dipotong ke sepanjang permukaan kaca preparat pertma dengan kecepatan yang
cukup sehingga terbentuk lapisan darah tipis dan merata. Preparat dikeringkan
dengan mengayun-ayunkan beberapa kali di udara.

2. Pewarnaan preparat ulas darah


Preparat ulas dimasukkan kedalam metal alcohol dan dibiarkan selama
3-5 menit. Kemudian preparat diangkat dan dikeringkan di udara. Setelah
kering, dimasukkan kedalam larutan pewarna Giemsa 10% selama 45-60
menit. Kemudian preparat ulas yang telah diwarnai dicuci dengan air
mengalir dan dikeringkan di udara.

C. Pengamatan Preparat Ulas Darah


Hasil pengamatan terhadap tipe-tipe leukosit akan memberikan gambarab tentang
jenis dan persentasenya. Pada umumnya leukosit dikelompokkan menjadi:
d. Neutrofil (bersegmen dan band)
Neutrofil bersegmen adalah neutrophil dewasa, sedangkan neutrofil band
adalah neutrofil yang masih muda dengan jumlah tidak lebih dari 4%.
Semua neutrofil intinya terbagi menjadi bebepara segmen yang dihubungkan
oleh benang
e. Eosinofil memounyai granula kasar dan menyerap eosin
f. Basofil mempunyai granul yang halus dan berwarna kebiruan
g. Limfosit terdapat limfosit besar dan kecil
h. Monosit, umumnya ukuran lebih besar daripada yang lainnya. Dan
Berfungsi sebagai fagosit benda asing. Inti tunggal dan berbentuk seperti
kacang serta memiliki vakuol di sitoplasma.

15
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Pemeriksaan Makroskopis dan Mikroskopis


UJI HASIL (Urin sapi) INTERPRETASI
Volume urin tidak dapat
Volume 90 ml di interpretasikan karena
sudah dibagi-bagi.
Warna sesuai dengan
Warna Kuning jernih kategori normal yaitu
kuning pucat-kuning tua.
Urin tidak mengandung
darah, sel epitel dan
Kejernihan Jernih
leukosit. Termasuk urin
segar (baru).
BJ urin sapi masih
dianggap normal karena
Berat Jenis 1,014 selisihnya sedikit dari
rentang normal, yaitu
1,015-1,045.

UJI HASIL INTERPRETASI


Mikroskopis (+) Urin mengandung Kristal.
Ada sedimentasi (kristal Tetapi urin masih dalam
triplephosphat dan kalsium keadaan normal, karena
phosphate) pembentukan Kristal
dipengaruhi oleh pH, sifat
kelarutan, dan kepekatan.

2. Pemeriksaan Kimia Urin


UJI HASIL INTERPRESTASI
(Urin Sapi)
Protein :
Uji Heller Positif (terbentuk ada protein di dalam urin.
cincin putih di
perbatasan kedua
cairan)

Uji Asam Positif ada protein di dalam urin.


Sulfosalisilat (timbul kekeruhan)
Glukosa :
Uji Benedict Negatif (tidak timbul Tidak ada glukosa di dalam urin.
warna hijau atau tidak
ada perubahan warna)
Empedu:
Uji busa Sedikit busa dan cepat urin tidak mengandung empedu
hilang
Uji gmelin Negatif (tidak ada urin tidak mengandung empedu
cincin)
Uji Rosenbarch Negatif urin tidak mengandung empedu

16
(tidak ada perubahan
warna)
Keton: Negatif (tidak ada urin tidak mengandung badan
Uji Rothera perubahan warna) keton (asam diasetat & aseton)

3. Pemeriksaan Strip Test


HASIL INTERPRETASI
(Urin Sapi)
LEU = negative Urin tidak mengandung leukosit
NIT = negative Urin tidak mengandung nitrit
URO = 2,0 mg/dL atau 3,5 Umol/L Urin mengandung urobilinogen tapi
masih dalam kisaran normal
PRO = 15 mg/dL atau 0,15 g/L Urin mengandung protein tapi masih
dalam kisaran normal
pH = 9 pH urin normal (alkalis)
BLO = negative Urin tidak mengandung sel darah
merah
SG = 1,010 Berat jenis urin dalam batas normal
KET = negative Urin tidak mengandung benda-benda
keton
BIL = negative Urin tidak mengandung bilirubin
GLU = negative Urin tidak mengandung glukosa

PEMBAHASAN

Pemeriksaan Fisik/Makroskopis Urin.


Hal pertama yang dilakukan ialah pemeriksaan makroskopis urin meliputi
pemeriksaan volume, warna, kejernihan dan berat jenis urin. Pada uji volume,
volume urin yang menjadi sampel jauh di bawah volume urin normal. Hal ini
dikarekan urin dibagi menjadi beberapa sampel untuk kelompok lain. Pada uji
kejernihan urin, sampel urin dinyatakan jernih. Kemungkinan urin yang
digunakan pada pratikum kali ini adalah urin yang baru dikemihkan sehingga
berwarna jernih, namun jika terjadi kekeruhan kemungkinan disebabkan adanya
bakteri-bakteri, fosfat-fosfat karena makanan banyak karbonat, cyclus, atau unsur-
unsur sedimen dalam jumlah besar seperti eritrosit, leukosit, dan sel-sel epitel.
Pada pemeriksaan warna urin, sampel urin berwarna kuning jernih. Urin
yang berwarna kuning disebabkan oleh urobilin, bilirubin, dan obat-obatan seperti
santonin dan ribovlavin (Coad, 2006). Urin yang berwarna kuning muda atau
kuning jernih dapat disebabkan oleh besarnya diuresis. Karena pada umumnya
warna urin ditentukan oleh besarnya diuresis, semakin besar diuresis maka
semakin muda warna urin tersebut. Pemeriksaan berat jenis urin didapat hasil
1,014. Hasil tersebut diperoleh dari hasil perhitungan menggunakan rumus yang
telah ditentukan.
Pemeriksaan Mikroskopis Urin.
Pada praktikum kali ini, dalam urin sapi menunjukkan gambaran Kristal
triplephosphat dan Kristal kalsium phosphate di bawah mikroskop. Adanya
Kristal dipengaruhi oleh pH, sifat kelarutan, dan kepekatan.
Pemeriksaan Kimia Urin.
Pemeriksaan kimia urin pada pratikum kali ini meliputi pemeriksaan uji
protein, uji glukosa, uji empedu/bilirubin, dan uji badan keton. Pada pemeriksaan
17
protein, uji yang digunakan adalah uji Heller dan uji asam sulfosalisilat. Prinsip
pemeriksaan protein ini adalah untuk melihat pengendapan protein oleh asam,
sehingga timbul kekeruhan jika hasil positif. Hasil yang didapatkan pada
praktikum adalah positif, hal tersebut mengindikasikan bahwa urin mengandung
protein.
Pemeriksaan glukosa, digunakan uji Benedict. Prinsip uji Benedict adalah
glukosa mereduksi kupri-sulfat (CuSO4) membentuk kuprooksida (Cu2O) yang
berwarna merah bata dan mengendap setelah didinginkan. Hasil dari pratikum
dengan uji benedict didapat dua hasil positif dan negatif. Pada praktikum
didapatkan hasil negatif dari pengujian urin sapi, karena tidak terlihatnya endapan
dan tidak ada perubahan warna.
Pemeriksaan empedu/bilirubin dilakukan dengan melakukan uji busa, uji
Gmelin, dan uji Rosenbach. Hasil uji busa menunjukkan bahwa urin sapi tidak
mengandung empedu karena setelah pengocokkan terdapat sedikit busa dan cepat
menghilang. Selanjutnya adalah uji Gmelin, prinsip uji Gmelin ialah zat empedu
akan dioksidasi oleh asam dan membentuk derivat yang berwarna. Urin sapi
menunjukkan hasil negatif, dimana urin tidak membentuk cincin berwarna hijau
dan ungu pada batas kedua cairan. Uji terakhir pada pemeriksaan
empedu/bilirubin adalah uji Rosenbach. Urin menunjukkan hasil yang negatif
karena tidak terbentuknya warna warni pada pinggiran yang lembab dan sudah
ditetesi asam nitrat.
Badan keton diperiksa dengan menggunakan uji Rothera. Prinsip uji ini yaitu
Na nitroprusida diuraikan menjadi Na4[Fe(CN)6], Na Ferro pentasianida, dan
Fe(OH)3 dalam suatu larutan alkalis. Hasil penguraian ini membentuk
persenyawaan berwana ungu apabila ada asam diasetat dan aseton. Asam diasetat
dan beta-hidrosibutirat ditemukan dalam urin di perjalanan ketosis, diabetes, dan
kelaparan. Hasil uji ini yaitu, urin menunjukkan hasil negative karena tidak terjadi
perubahan warna.
Pemeriksaan Strip Test
Pemeriksaan strip test pada urin sapi menunjukkan hasil positif pada
protein dan urobilinogen. Kadar proteindan urobilinogen didalam urin masih
dalam keadaan rendah sehingga urin masih bisa dikatakan dalam keadaan baik.
pH urin pada stirp test adalah 9, hal tersebut karena pH sapi adalah alkalis. Urin
bereaksi alkalis pada hewan-hewan herbivora normal. Ransum asala hijauan,
misalnya pakan biji-bijian mempunyai kadar protein yang tinggi dan akan
menyebabkan urin yang terbentuk bereaksi asam. Hasil negative ditunjukkan pada
leukosit, nitrit, eritrosit, benda-benda keton, bilirubin, dan glukosa. Berat jenis
pada pemeriksaan ini menunjukkan hasil 1,010. Hasil tersebut berbeda pada
pemeriksaan fisik urin yang menunjukkan hasil 1,014. Berat jenis urin sapi
normal adalah 1,015-1,045. Hasil pemeriksaan menunjukkan perbedaan yang
sedikit dengan rentang normal sehingga dapat dikatakan urin dalam keadaan baik.

4. Pemeriksaan Parameter Eritrosit


Pemeriksaan Hasil Interpretasi

PCV berada dalam rentang


Hematokrit (PVC) 24%
normal, yaitu 24-45 %

18
Kadar hemoglobin domba
Haemoglobin (Hb) 6.1 gram% lebih rendah dari normal,
yaitu antara 8-16 gram%
RBC lebih rendah dari
Total RBC 5.64 ul
normal, yaitu antara 8-15 ul
Indeks Eritrosit
MCV
MCV = 24 x 10/5.64 Nilai MCV dalam rentang
MCV=PCVx10/ƩRB
= 42.55 fl normal, (normal 23-48 fl)
C
MCH MCH = 24 x 10/5.64 Nilai MCH dalam rentang
MCH=Hbx10/ƹRBC = 10.82 pg normal (normal 9-13 pg)
MCHC Anemia hipokromik, nilai
MCHC = 6.1 x 100/24
MCHC=Hbx100/PC MCHC lebih rendah dari
= 25.42 gr/dL
V normal, yaitu 29-35 gr/dL

Prinsip hitung eritrosit manual adalah darah diencerkan dalam larutan


hayem untuk memudahkan menghitung eritrosit dan mencegah hemolisis.
Hemoglobin adalah zat warna dalam sel darah merah yang berguna untuk
mengangkut oksigen dan karbon dioksida. Kadar hemoglobin yang diperoleh
dalam praktikum ini adalah 6.1 gram%. Kadar rentang normal hemoglobin pada
domba adalah 8-16gram/dl, sehingga hemoglobin yang diperoleh pada praktikum
berada di bawah kisaran normal. Penurunan eritrosit terjadi saat kehilangan
darah(perdarahan), anemia, leukemia, infeksi kronis, mieloma multipel, cairan per
intravena berlebih, gagal ginjal kronis, kehamilan, hidrasi berlebihan.
Percobaan hematokrit yang dilakukan didapatkan sebesar 24%. Nilai ini
berada pada kisaran normal walaupun agak rendah yaitu skala hematokrit pada
domba 24-45%. MCV dapat dihitung didalam liter dengan membagi nilai
hematokrit dengan sel darah merah (jumlah sel darah merah perliter). Biasanya
hasilnya dilaporkan dalam femtoliter. Hasil MCV yang didapat adalah 42.55 fl
menunjukkan hasil berada dalam rentang normalnya pada darah domba adalah 23-
48fl.
Konsentrasi hemoglobin sel hidup atau MCHC adalah ukuran dari
konsentrasi hemoglobin pada volume sel darah merah. Mencari nilai MCHC
dengan membagi hemoglobin dengan hematokrit. Nilai MCHC yang diperoleh
dari hemoglobin dibagi dengan hematokrit pada praktikum ini yaitu 25.42 gr/dL.
Dari hasil yang diperoleh hewan dinyatakan mengalami anemia hipokromik,
karena berada di bawah rentang normal yaitu 29-35 gr/dL. Yang dimaksud dengan
anemia hipokromik adalah bentuk sel darah normal tetapi jumlahnya sedikit
(Astuti et al 2008)

Eritrosit merupakan benda darah dengan komponen paling banyak


mencapai kisaran 45%, sehingga mudah untuk diamati dimikroskop. Berdasarkan
percobaan diperoleh jumlah RBC sebesar 5.64 x 10⁶ ul. Berdasarkan nilai
tersebut, RBC domba dapat dikategorikan berada di bawah rentang normal yaitu
8-15 x 10⁶ ul. Berdasarkan MCV, anemia dapat dikelompokkan menjadi anemia
normositik, makrositik, dan mikrositik. Sedangkan nilai MCV yang telah
didapatkan adalah 42.55 fl. Nilai MCV tersebut berada dalam rentan normal MCV

19
pada domba, yaitu 23-48 fl. Berdasarkan hasil, domba diduga mengalami anemia
normositik hipokromik (Jatmika 2014).

5. Pemeriksaan Sel Darah Putih Domba


Pemeriksaan Hasil Interpretasi
Total WBC berada di
5250 ul
Total WBC bawah rentang normal
(normal 7000-10.000 ul)
Relatif : 37% Jumlah limfosit berada
Limfosit
Absolut : 1942.5 ul di bawah rentang normal
(normal 2000-9000 ul)
Relatif : 12 % Jumlah monosit dalam
Monosit Absolut : 630 ul rentang normal (normal
0-750 ul)
Jumlah neutrofil
Relatif : 37 %
segment berada dalam
Neutrofil segment Absolut : 1942.5 ul
rentang normal (normal
700-6000 ul)
Relatif : 0 % Jumlah neutrofil berada
Neutrofil band Absolut : 0 ul dalam rentang normal
(normal 0-120 ul)
Relatif : 14 % Jumlah eosinofil berada
Eosinofil Absolut : 5250 ul dalam rentang normal
(normal 0-1000 ul)
Relatif : 0 % Jumlah basofil berada
Basofil Absolut : 0 ul dalam rentang normal
(normal 0-300 ul)

Berdasarkan hasil praktikum didapatkan total WBC di bawah normal,


yaitu sebesar 5250 ul dengan rentang normal 7000-10.000 ul. Kelainan sel
darah putih dapat di klasifikasikan secara kuantitatif maupun kualitatif. Kelainan
secara kuantitatif terjadi ketika bentuk sel leukosit tidak
mengalami perubahan namun jumlahnya dalam darah mengalami kelebihan atau
kekurangan. Kelainan kualitatif meliputi bentuk sel maupun factor intrinsik pada
sirkulasi darah (Blumenreich 1990).
Diferensial leukosit dilakukan dan menunjukan hasil yang normal selain
limfosit. Limfosit adalah leukosit agranulosit yang terdapat dalam jumlah
dominan. Menurut Melvin dan William 1993 limfosit terbentuk di jaringan
limfoid seperti tonsil, timus, Peyer’s patches, limpa dan bursa fabricius. Pada hasil
pemeriksaan diferensial leukosit didapatkan hasil limfosit relatif sebesar 37 % dan
limfosit absolut sebesar 1942.5 ul. Hasil tersebut berada di bawah kisaran limfosit
normal.
Pemeriksaan monosit menunjukkan hasil monosit relatif sebesar 12% dan
monosit absolut sebesar 630 ul. Hasil ini menunjukkan bahwa jumlah monosit
berada dalam kisaran normal, yaitu 25-840 ul. Monosit sangat berperan dalam
memfagosit benda asing dalam tubuh (Kannan et al 2000). Pada pemeriksaan
neutrofil segment domba didapatkan hasil relatif 37 % dan hasil absolut 1942.5 ul,
neutrofil band relatif 0 % dan neutrofil band absolut 0 ul. Hasil ini menunjukkan
bahwa di dalam rentang normal yaitu 600-4000 ul dan 0-120 ul.

20
Pada pemeriksaan eosinofil domba didapatkan hasil relatif sebesar 14 %
dan hasil absolut sebesar 5250 ul. Hasil ini menunjukkan nilai lebih tinggi dari
normal eosinofil domba, yaitu 0-1000 ul. Eosinofil bersifat motil dan fagositik
dan dalam keadaan alergi, shock anafilaxis dan paratisim jumlah eosinophil sangat
meningkat (Anita et al 2017). Pada pemeriksaan basofil domba didapatkan hasil
relatif sebesar 0 % dan hasil absolut 0 ul. Hasil ini menunjukkan nilai normal,
yaitu berada pada kisaran 0-300 ul. Di dalam tubuh basofil sering bekerja sama
dengan sel mast.

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
Berdasarkan pemeriksan fisik urin, urin sapi yang diuji merupakan urin
normal dan segar. BJ urin sebesar 1,014 masih berada dalam rentang BJ normal.
Sampel urin diketahui mengandung protein berdasarkan uji Heller dan uji asam
sulfosalisilat. Adanya protein dalam urin menandakan hewan tersebut mengalami
proteinuria akibat adanya gangguan saluran urinari bagian atas. Pemeriksaan
kimia urin menunjukkan hasil yang negatif. Berdasarkan pengamatan
mikroskopis, terdapat sedimentasi yang menunjukkan adanya kristal urin dengan
jumlah yang berada pada batas normal.
Berdasarkan parameter eritrosit dan leukosit, sampel darah domba yang
diuji diketahui mengalami leukositopenia dan anemia. Hal ini dilihat dari total
RBC dan WBC yang berada dibawah batas normal. Nilai limfosit yang rendah
menunjukkan bahwa hewan mengalami limfositopenia. Selain itu, hewan yang
diuji juga diduga mengalami anemia hipokromik karena memiliki nilai MCHC
yang rendah.
Saran
Sebelum praktikum diharapkan praktikan sudah membaca dan memahami
tentang materi apa yang akan dilakukan selama praktikum, sehingga dapat
mengurangi kesalahan data yang didapat. Selain itu, diharapkan fasilitas dan
peralatan laboratorium diperlengkap sehingga dapat memenuhi kebutuhan
praktikan.

DAFTAR PUSTAKA

Anita E, Widhyari SD, Sajuthi D, Maylina L, Mihardi AP, Supriyatna ER,


Adijuwana H. 2017. Panduan Pemeriksaan Laboratorium Patologi Klinik.
Bogor (ID): IPB Press.
Astuti DA, Ekastuti DR, Sugiarti Y, Marwah. 2008. Profil Darah dan Nilai
Hematologi Domba Lokal yang Dipelihara di Hutan Pendidikan Gunung
Walat Sukabumi. Agripet. 8(2): 1-8.
Bakta, I Made. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta (ID): EGC.1-2,9.11.
Baron, R. A., Branscombe, N. R., & Byrne, D. 2008. Social Psychology (12th
ed.). Boston (USA): Pearson Education.

21
Basoeki. 2000. Petunjuk Praktikum Anatomi dan Fisiologi Manusia. Malang (ID):
FMIPA UM.
Battaglia A M. 2001. Small Animal Transfusion Medicine. In: AM Battaglia.
Small Animal Emergency and Critical Care : A Manual For Veterinary
Technicians. USA: Saunders Company.
Blumenriech MS. 1990. The White Blood Cell and Differential Count. Boston
(USA): Butterworths Publishers.
Boedina SK, 1988. Pengantar Hematologi dsan Imunohematologi. Jakarta(ID):
BP FKUI.
Bradley GM and Benson ES. 1974. Examination of The Urin. Davidson, Henry I,
Jb.Clinical Diagnosis by Laborathory Method .15 th.Ed. WB Saunders. Co.
Philadelphia. 15-80 12.
Breazile JE. 1971. The Kidney. Textbook of Veterinary Physhiology. Lea and
Febriger. Philadelphia. 315-336 Coles EH. 1986. Veterinary Clinical
Phatology. 4 nd.
Coles, E.H. 1974. Veterinary Clinical Pathology. Philadelphia (USA) W. B.
Saunders Company Corwin, E.J. 2008. Handbook of Pathophysiology, Edisi
ketiga. Diterjemahkan oleh: Subekti, N.B., Editor edisi Bahasa Indonesia:
Yudha, E.K., Wahyuningsih, E., Yulianti, D., dan Karyuni, P.E. (2009).
Buku Saku Patofisiologi, Edisi ketiga. Jakarta (ID): Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Halaman 240.
Colville J. 2002. Blood Lymph and Immunity. In: T Colville and JM Bassert.
Clinical Anatomy and Physiology For Veterinary Technicians. Mosby:
Missouri.
Corwin EJ. 2000. Buku Saku Patofisiologi (Handbook of Phatophysiology).
Penerbit Buku Kedokteran. EG. Jakarta.
Cunningham JG. 2002. Textbook of Veterinary Physiology. Ed ke-3.
Philadelphia(USA): WB. Saunders Company.
Guyton AC, Hall JE. Guyton dan Hall buku ajar fisiologi kedokteran. Ed 12.
Diterjemahkan oleh: Siagian M. Singapura (SG): Elsevier; 2011. hal 325-
45.
Jatmika E. 2014. Respon Fisiologis dan Profil Darah Domba Jantan yang
Dipelihara Peternak Desa Petir, Kecamattan Dramaga, Kabupaten Bogor.
Makalah. Dalam: Ruang Seminar Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi
Pakan, Faperta IPB, 21 September .
Kannan TH. et al. 2000. Transportation of goats: effects on physiological stress
responses and live weight loss: Journal of Animal Science 2000. 78:1450-
1457.[Internet]. Tersedia pada: http://www.jas.fass.org. [Diunduh 14 Des
2018].
Melvin JS and OP William. 1993. Duke’s Physiology of Domestic Animal.11
Edition. Ithaca (UK): Cornell University Press.
Rotoro SR. 1992. Tinjauan Beberapa Manfaat Klinik Dari Analisa Urin Anjing
Melalui Pemahaman Proses Pembentukan Urin Dan Penetapan Nilai Urin
Sehat. [Skripsi]. Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Bogor.

22
Sherwood, L. 2012. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 6. Jakarta(ID) :
EGC. h. 708-710.
Soewolo. 2003. Pengantar Fisiologi Hewan. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional.
Strasinger. Schaub. 2001. Mencetak Doming Unggul dengan Inseminasi
Buatan. Tersedia pada: http://www.pustaka.bogor.net/publ/warta/.
Widjajakusuma R. dan Sikar H. 1986. Fisiologi Hewan Laboratorium. Fisiologi
dan Farmakologi. Bogor (ID): Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor

23

Anda mungkin juga menyukai