Anda di halaman 1dari 90

DAFTAR ISI

JUDUL………………………………………………………………………………………………......
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………………….......

BUKU 1

BAB 1 : PENDAHULUAN
BAB 2 : LUBE OIL COMPLEX KILANG UP IV CILACAP
BAB 3 : HIGH VACUUM UNIT (HVU)
BAB 4 : PROPANE DEASPHALTING UNIT (PDU)
BAB 5 : FURFURAL EXTRACTION UNIT (FEU)
BAB 6 : HYDROTREATING UIT (HTU/RDU)
BAB 7 : MEK DEWAXING UNIT (MDU)
BAB 8 : PENUTUP

BUKU 2

LAMPIRAN………………………………………………………………………………....................

LAMPIRAN 1 : PENGATURAN KONDISI OPERASI DI UNIT MDU


LAMPIRAN 2 : PRODUKSI LUBE BASE OIL DARI PRODUK BOTTOM UNIT
HYDROCRACKER (REF. UOP)
LAMPIRAN 3 : PROCESS FLOW DIAGRAM UNIT HVU I, UNIT PDU II, UNIT FEU II,
UNIT HTU, DAN UNIT MDU III
2

1. PENDAHULUAN

1.1 Prinsip Dasar Pelumasan

Fungsi utama dari pelumas adalah membentuk lapisan antara dua komponen yang bergerak
sehingga gesekan yang terjadi antara dua permukaan padat tersebut digantikan dengan
gesekan internal dari pelumas. Gesekan internal ini sebagai tolok ukurnya adalah viskositas
dari pelumas. Untuk meyakinkan lapisan tersebut dapat selalu terdapat diantara dua
permukaan tersebut maka perlu dilakukan pemilihan pelumas dengan tepat bergantung pada
kondisi pemakaian mesin dan prinsip utama semakin tinggi viskositas maka semakin besar
energi yang diperlukan mesin. Untuk itu mesin dengan kecepatan tinggi memerlukan
viskositas yang lebih rendah dibandingkan mesin dengan kecepatan rendah.

Sifat utama dari pelumas adalah kemampuan pelumas tersebut untuk tidak banyak
mengalami perubahan vikositas pada saat terjadi perubahan temperatur. Sebagai contoh
adalah saat awal mesin mobil dalam kondisi stop sampai dengan kondisi beroperasi maka
akan terjadi perubahan temperatur dari temperatur sekitar (± 37 oC) sd 150 – 200 oC. Sifat
pelumas tersebut dapat diperoleh dengan melakukan proses pengolahan serta
menambahkan aditive. Fungsi penting lain dari pelumas adalah untuk menghilangkan
(menyerap) panas, untuk menjaga partikel padatan di dalam mesin yang dapat terbentuk
akibat erosi pada komponen mesin, degradasi bahan bakar maupun pelumas itu sendiri,
menjauh dari bagian mesin yang berputar, dan meminimalkan korosi akibat produk
pembakaran dari bahan bakar yang bersifat asam. Degradasi dari pelumas bergantung dari
stabilitas oksidasi dari pelumas yang dipengaruhi terutama dari proses pengolahan (refinery).
Sedangkan sifat dispersant dan anti-corrosive dari pelumas diperoleh dengan menambahkan
aditive ”detergent” dan alkaline. Kesesuaian antara pelumas dan aditive merupakan hal yang
sangat penting sehingga perlu dilakukan pemilihan aditive yang sesuai (compatible). Adapun
karakteristik dari pelumas itu sendiri sangat bergantung pada jenis crude yang digunakan.

Dengan demikian pemilihan jenis crude oil dan proses pengolahan yang diperlukan adalah
untuk mendapatkan karaktersitik pelumas (selanjutnya disebut lube base oil) utama sbb :

 Viskositas base oil.


 Tingat perubahan viskositas sebagai fungsi temperatur.
 Memiliki ketahanan terhadap oksidasi.
 Memiliki kesesuaian (compatibility) dengan aditive

1.2 Sifat Umum Pelumas

Sifat umum pelumas yang dimaksud disini adalah pada pelumas yang sudah menjadi produk
jadi (seperti Fastron, Prima XP). Namun demikian sifat pelumas jadi ini akan sangat
dipengaruhi dari sifat lube base oil (bahan baku pelumas) tersebut. Parameter utama
karakteristik lube base oil disamping sebagaimana telah disampaikan di uraian 1.1 adalah
sbb:

 Viscositas.
 Viscositas Index (VI).
 Oxidation stability.
 Low temperature behaviour.
 Solvency.

Parameter utama tersebut telah diwakili secara langsung dengan spesifikasi lube base oil UP
IV Cilacap untuk keempat grade kecuali parameter solvency dengan rincian sbb:
3

Tabe.1.1 Spesifikasi Lube Base Oil UP IV


Parameter HVI-60 HVI-95 HVI-160 S/B HVI-650
Appearance C&B C&B C&B C&B
Ash Content Max., %-wt 0.01 0.01 0.01 0.01
o
Cloud Test Min. (No Cloud at 0 C), hrs 7 7 7 3
Colour ASTM Max. 1.5 2 3 4
Max Colour Stability Increase 48 hrs at
100 oC 1 1 1 1
o
Flash Point Min., PMCC, C 204 210 228 267
Total Acidity Max., mg KOH/g 0.05 0.05 0.05 0.05
Pour Point Min., oC -15 -9 -9 -9
SG at 60/60 oF Reported Reported Reported Reported
Kin. Visc. at 100 oC, cSt 4.4-4.9 6.7-7.4 10.7-11.8 30.5-33.5
VI Min. 95 95 95 95

 Parameter viscosity diwakili dengan spesifikasi rentang kinematic viscosity.


 Parameter VI diwakili dengan spesifikasi VI minimum.
 Parameter oxidation stability diwakili dengan spesifikasi max. colour stability increase.
 Parameter low temperature behaviour diwakili dengan spesifikasi min. pour point.

Sedangkan spesifikasi yang lain seperi appearance, ash content, cloud test, colour, flash
point, dan total acidity sekalipun bukan parameter utama, namun tetap merupakan parameter
yang diperlukan dalam menunjukkan kualitas dari lube base oil.

Adapun penjelasan singkat masing-masing parameter terkait dengan kualitas lube base oil
dari berbagai literatur adalah sbb:

 Appearance. Parameter ini menunjukkan bahwa dalam suatu lube base oil tidak terdapat
komponen impurities air atau wax.
 Max. Ash Content. Parameter ini menunjukkan bahwa suatu lube base oil tidak terdapat
komponen impurities terutama metal dan asphaltene.
 Min. Cloud Test. Parameter ini menunjukkan bahwa suatu lube base oil tidak terdapat
komponen impurities wax yang dapat mempengaruhi sifat viscometry lube base oil pada
temperatur rendah dan filter blocking pada mesin kendaraan. Komponen wax disini
terutama yang bersifat microcrystalline yang terdapat pada komponen DAO, yang tidak
terdeteksi pada parameter appearance.
 Max Colour ASTM. Parameter ini sekalipun tidak terlalu berpengaruh pada kinerja lube
base oil namun umumnya digunakan untuk kepentingan pemasaran , dimana trend saat
ini adalah mengarah pada lube base dengan warna yang cerah (light colour).
 Max. Colour Stability Increase. Parameter ini menunjukkan bahwa suatu lube base oil
tidak terdapat komponen impurities aromatic dan nitrogen yang mengakibatkan suatu lube
base oil mudah mengalami oksidasi. Proses oksidasi selain dapat mengakibatkan
perubahan warna (semakin gelap), juga menimbulkan timbulnya sludge dan komponen
yang bersifat asam pada temperatur tinggi.
 Min. Flash Point. Parameter ini menunjukkan bahwa suatu lube base oil tidak terdapat
komponen fraksi ringan yang dapat mengakibatkan banyaknya penguapan base oil pada
temperatur tinggi. Fraksi ringan ini dapat berasal dari feed distillate atau solvent yang
digunakan untuk pemisahan lube base oil.
 Max. Total Acidity. Parameter ini menunjukkan bahwa suatu lube base oil tidak terdapat
komponen impurities yang mengakibatkan korosi sepeti komponen sulphur tertentu
(mercaptan).
 Max. Pour Point. Parameter ini menunjukkan bahwa suatu lube base oil tidak terdapat
komponen impurities wax yang dapat mempengaruhi sifat viscometry lube base oil pada
temperatur rendah dan filter blocking pada mesin kendaraan. Parameter ini berhubungan
dengan parameter cloud test namun dengan grade wax lebih luas meliputi macro dan
microcrytalline wax.
4

 Range Viscosity. Parameter ini menunjukkan aplikasi lube base oil yang sesuai dengan
kebutuhan tertentu seperti karakteristik mesin. Terdapat dua jenis pengukuran viskositas
yaitu absolute (dynamic) viscosity dimana pengukuran tidak bergantung pada parameter
spesific gravity (SG) dengan satuan yang umum adalah poise. Jenis lainnya adalah
kinematic viskosity dimana hasil pengukuran bergantung pada perubahan SG dengan
satuan yang umum adalah stoke. Hubungan antara kedua parameter ini adalah sbb :

Centi Poise (cP) = Centi Stoke (cSt) x Spesific Gravity (SG)

Untuk istilah penamaan jenis lube base oil umumnya berdasarkan parameter kinematic
viscosity (Vk) yaitu Redwood. Sebagai contoh pengertian HVI-160 dikaitkan dengan
kinematic viscosity adalah hasil pengukuran viskositas Redwood I pada temperatur 60 oC
adalah 160 seconds. Umumnya cara yang dilakukan untuk mendapatkan Vk Redwood I
adalah konversi dari hasil pengukuran dalam cSt. Sedangkan konversi dari hasil analisa
Redwood menjadi cSt tidak diperbolehkan mengingat hasil pengukuran yang ralatif kurang
akurat dengan metode Redwwod.
 Min. Viscosity Index (VI). Parameter ini menunjukkan perubahan viscosity lube base oil
sebagai fungsi dari temperature. Semakin kecil perubahan viscosity suatu lube base
akibat perubahan temperatur, maka harga VI dari komponen lube base tersebut akan
semakin tinggi. Dengan demikian pelumas tersebut dapat digunakan dalam
rentangtemperatur yang semakin lebar. Dalam penentuan viskositas index suatu lube
base oil dengan cara membandingkan dengan viskositas dari suatu standar pada
temperatur yang sama. Standar yang digunakan adalah base oil dari Pennysylvania yang
dianggap memiliki viscosity index 100 disebabkan mengalami sedikit perubahan viskositas
dengan berubahnya temperatur, serta base oil dari Timur Tengah yang dianggap memiliki
vicosity index 0 disebabkan mengalami banyak perubahan viskositas dengan perubahan
temperatur yang sama.

Untuk mendapatkan produk lube base oil dengan kualitas tersebut di atas diperlukan
pemahaman komponen penyusun fraksi feed lube base oil yang akan disampaikan pada
uraian berikut.

1.3 Komposisi Lube Base Oil

Fraksi terberat dari crude oil dengan titik didih lebih tinggi dari gas oil dapat dikatakan sebagai
bahan baku untuk pembuatan lube base oil. Karena sifat dari komponen tersebut yang
memiliki titik didih yang tinggi pada tekanan atmospherik, maka fraksi ditillate yang didapat
harus dilakukan secara vakum. Jika proses distilasi dilakukan pada tekanan atmospherik
maka temperatur yang diperlukan akan sangat tinggi sehingga akan terjadi proses cracking.
Dengan demikian dari proses distilasi vakum maka akan didapat produk distillate dengan titik
didih dan juga viskositas yang semakin tinggi yang dikenal dengan istilah Spindle Oil (SPO),
Light Machine Oil (LMO), dan Medium Machine Oil (MMO). Fraksi terberat yang tidak dapat
diuapkan produk bottom dari distilasi vakum disebut short residue yang akan digunakan
sebagai bahan baku lube base oil yang sangat kental (viscous) dikenal dengan istilah bright
stock.

Komponen peyusun feed untuk lube base oil terdiri dari fraksi dengan kelompok sbb:

 Parafinik terdiri dari normal parafin dan iso parafin.


 Naphtenik atau cycloparafin.
 Aromatic meliputi mono, di, serta polyaromatic.

Adapun pengaruh dari masing-masing komponen terhadap karakteristik utama lube base oil
di atas adalah sbb :
5

Tabel 1.2 Karakteristik Utama Komponen Hidrokarbon Penyusun Lube Base Oil
Oxidation
Komponen Viscosity VI Pour Point Solvency
Stability
Normal Parafin Rendah Tinggi Baik Tinggi Rendah
Iso Parafin Rendah Tinggi Baik Medium Rendah
Cyclo Parafin Medium Medium Medium Rendah Baik
Aromatics Tinggi Rendah Rendah Rendah Baik

Adapun secara umum komposisi “ideal” yang diharapkan dalam fraksi produk lube base oil
berdasarkan “Shell’s Lube Oil Manufacturing Course” serta tabel di atas adalah sbb:

1. Komponen normal parafin perlu dihilangkan disebabkan sifat komponen ini menimbulkan
tingginya parameter pour point (wax) produk lube base.
2. Komponen iso parafin tetap dipertahankan mengingat sifat komponen ini yang sesuai
dengan karakteristik produk lube base.
3. Komponen cyclo parafin sebagian besar dipertahankan disebabkan komponen ini
memiliki sifat solvency yang baik.
4. Komponen aromatic sebagian perlu tetap dipertahankan. Sejumlah komponen
monoaromatic dan sebagian kecil komponen polyaromatic perlu tetap dipertahankan
untuk menjaga sifat solvency produk lube base.
5. Komponen heterocompound yaitu komponen hidrokarbon yang mengikat gugus lain
dalam hal ini komponen nitrogen dan sulphur. Komponen nitrogen perlu dihilangkan
karena dapat mengakibatkan pembentukan sludge dan komponen bersifat asam hasil
degradasi pada saat temperatur tinggi dan menurunkan oxidation stability. Komponen
sulphur dalam batasan tertentu perlu dipertahankan mengingat komponen sulphur dapat
mencegah proses oksidasi.

1.4 Penggolongan Pelumas

Lube oil berdasarkan jenis komponen feed dapat di--klasifikasikan menjadi dua jenis yaitu
sebagai distilate oil dan residual oil. Distilate diolah melalui vacuum distilation dan residual
diperoleh dari proses extraction produk bottom proses vacuum distilation (bright stock).

Residual bright stocks biasanya diperoleh dari paraffinic crudes dan melalui proses Propane
deasphalting, aromatic extraction dan dewaxing, kecuali bright stock yang diperoleh dari
proses asphalt vacuum residue (sebagai contoh untuk crude Pennsylvanian) tidak diperlukan
proses propane deasphalting. Disebabkan sifatnya yang tidak mudah menguap dan
mempunyai viskositas yang tinggi, komponen bright stock terutama digunakan sebagai
blending component pada pelumas motor dan diesel, selain kegunaan utama sebagai
pelumas pada steam silinder.

Umumnya penggolongan pelumas umunya dibagi berdasarkan kategori parameter viskositas


index (VI) sbb :

1. Low Viscosity Index ( LVI ) dengan VI < 40. Lube base oil jenis ini diproduksi dari
napthenic distilate dan digunakan utnuk mesin- mesin industri yang bergerak lambat,
sehingga spesifikasi kestabilan oksidasi dan sensitivitas viskositas/ temperatur merupakan
prioritas kedua. Untuk memproduksi pelumas jenis ini tidak diperlukan proses aromatic
extraction dan dewaxing, hanya diperlukan proses treatment menggunakan acid dan clay
untuk memperbaiki colour dan unstable component seperti nitrogen dan oksigen.
2. Naphthenic/Parafinic Medium Viscosity Inedex ( MVIN) dengan VI 40 – 80. j Lube
base oil jenis ini diproduksi dari parafinic / naphthenic distilate. Untuk Naphtenic MVIN
diperlukan proses aromatic extraction untuk meningkatkan paramater VI. Naphthenic oil
biasa digunakan secara luas pada industri grease. Untuk Parafinic MVIN diperlukan
proses dewaxing dan colour improvement. Terkadang diperlukan ekstraksi ringan (mild
extraction) untuk kestabilan oksidasi. Ahir-akhir ini proses hydrofinishing digunakan untuk
6

menggantikan proses acid-clay treating sebagai teknologi yang lebih baik untuk
meningkatkan kualitas colour dan stability.
3. High Viscosity Index ( HVI) dengan VI > 80 diperoleh dari paraffinic distilate dan
diperlukan proses ekstraksi dan dewaxing untuk mencapai finish product. Diperlukannya
proses treatment colour dan colour stability tergantung pada perfomance fraksinasi di high
vacuum unit, design furnace, dan penggunaan hot oil sebagai pemanas pada solvent
recovery sistem. Untuk mengingkatkan yield, fleksibilitas jenis crude yang diolah, fsn
kualitas lube base oil yang dihasilkan, maka pada upstream unit proses dewaxing
dilengkapi dengan proses hydroprocessing/hydrotreating raffinate dari unit ekstraksi
aromatic.

Dengan berkembangnya teknologi mesin otomotif/industri dimana tuntutan konsumen akan


mesin dengan efisiensi yang tinggi, maka hal tersebut juga menuntut peningkatan kualitas
dari lube base oil seperti :

 Ketahanan pada temp. operasi mesin yang lebih tinggi (terkait terutama dengan parameter
VI yang semakin tinggi dan thermal stability).
 Daya tahan terhadap degradasi dan oksidasi (terkait terutama dengan kandungan
komponen sulphur dan nitrogen yang semakin rendah).

Dengan tuntutan tersebut maka harapan akhir dari konsumen adalah disamping pelumas
sesuai dengan spesifikasi kebutuhan mesin, juga pelumas dengan interval waktu
penggantian yang semakin lama dan losses yang rendah (volatility yang minimum). Untuk
memenuhi tuntutan tersebut maka timbul spesifikasi baru lube base oil (LBO) dengan
parameter VI yang semakin tinggi yang sering disebut dengan istilah Group I, II, III, dst
dengan klasifikasi sesuai Standar API adalah sbb :i

Tabel 1.3 Penggolongan Group Lube Base Oil


Kategori LBO Sulphur (%-wt) Saturates (%-wt) VI
Group I > 0.03 dan /atau < 90 80 – 120
Group II ≤ 0.03 dan ≥ 90 80 – 120
Group IIII ≤ 0.03 dan ≥ 90 > 120
Group IV Seluruh Polyalphaolefin (PAO)
Group V Seluruh lainnya diluar Group I, II, III, dan IV

Dari tabel di atas antara LBO Gr. I dan Gr. II memiliki rentang VI yang sama, namun demikian
LBO Gr. II umumnya memiliki rentang VI minimum yang lebih tinggi dari Gr. I. Adapun keiga
jenis pelumas di atas yaitu LVI, MVIM, dan HVI masuk ke dalam kategori lube base oil Gr. I.

1.4 Sekilas Unit Operasi Kilang LOC’s UP IV Cilacap


Kilang LOC’s UP IV Cilacap didisain menghasilkan produk LBO dengan VI min 95. Pada bab
selanjutnya akan disampaikan rincian mengenai unit-unit proses di Kilang LOC’s UP-IV
Cilacap. Sebagai pengantar akan disampaikan sekilas proses yang digunakan di Kilang UP IV
sbb :

1. Proses Deasphalting adalah proses ekstraksi untuk memisahkan bright stock dari fraksi
asphalt dengan menggunakan solvent propane dari komponen feed short residue yang
merupakan produk bottom dari unit vacuum distilation.
2. Solvent extraction adalah proses ekstraksi untuk meningkatkan VI dari feed komponen
distilate atau bright stock dengan menggunakan solvent antara lain furfural, phenol atau
liquid sulfur dioxide. Untuk Kilang UP IV Cilacap menggunakan furfural sebagai solvent.
Solvent ratio yang digunakan sekitar 1,5 – 3,5 vol. Produk utama raffinate yang dihasilkan
hampir semuanya terdiri dari saturated paraffinic mono-aromatic, dan sedikit di-aromatic.
Sebagian besar komponen di-aromatic dan polyaromatic menjadi produk ekstrak.
Komponen sulfur, nitrogen dan metal yang terdapat pada struktur heteroatom di feed akan
dihilangkan pada proses ekstraksi tersebut menjadi produk samping ekstrak. Suhu
7

ekstraksi yang diperlukan dengan menggunakan solvent furfural tergantung pada


viskositas feed stock dan ketajaman proses yang diperlukan, biasanya sekitar 40-1300 C.
3. Hydroprocessing adalah suatu proses pengolahan raffinate (kecuali SPO) dengan
proses reaksi pada reaktor dengan menggunakan katalis dan gas hydrogen yang
bertujuan untuk meng-konversi fraksi aromatic menjadi naphthenic, dan untuk
menghilangkan komponen impurities seperti nitrogen dan sulfur. Dengan proses ini akan
dihasilkan produk yang memiliki VI dan colur stability yang lebih tinggi. Kelebihan proses
ini disamping akan meningkatkan yield lube base oil on feed distillate, juga fleksibilitas
untuk mengolah berbagai macam jenis crude.
4. Dewaxing adalah proses untuk meningkatkan spesifikasi pour point dengan cara
mengambil/ memisahkan fraksi yang mempunyai pour point tinggi yaitu fraksi parrafine.
Proses ini adalah gabungan proses chilling dari filtrasi dengan menggunakan solvent
campuran MEK (Methyl ethyl kelone) dengan toluene. Pemisahan wax/ paraffine dari base
oil dengan cara filtrasi pada tempetur rendah. Adapun uraian prosesnya sebagai berikut :

Normal paraffine dan beberapa iso dan cyclo praffine dengan berat molekul yang tinggi akan
megkristal pada suhu rendah. Penghilangan lilin (dewaxing) dari fraksi lube oil akan
menurunkan pour pointnya. Dewaxing juga memberikan efek penurunan VI dan sebaliknya
untuk SG, refractive index, dan CCR akan naik. Proses dewaxing pada prinsinya terdiri dari :

 Pendinginan minyak, sehingga wax mengkristal.


 Pemisahan solid wax dari cairan dengan cara filtrasi atau centrifuge.

Untuk feed stock yang mempunyai viskositas tinggi dan memiliki micro cristalline wax, pada
komponen feed perlu diinjeksikan solvent yang mempunyai viskositas rendah sebagai
pengencer. Solvent pengencer harus dipilih sedemikan rupa sehingga dapat memberikan
kristalisasi yang baik untuk semua jenis wax yang diperoleh pada suhu dewaxing. Dengan
menggunakan solvent dimungkinkan untuk mendapat campuran dengan viskositas rendah
pada suhu filtrasi dan proses kristalisasi wax yang baik. Proses filtrasi pada umumnya
menggunakan rotary drum vacuum filter dibantu dengan campuran solvent MEK dan Toluene.
Toluene akan melarutkan base oil dan MEK yang bersifat melarutkan sedikit wax pada suhu
rendah akan berlaku sebagai “ wax presipitating agent “ (pengendap wax). Proses filtrasi
berlangsung pada suhi sekitar 100 C lebih rendah dari target spesifikasi pour point. Proses
dewaxing terdiri atas tiga langkah sbb:

1. Pencampuran solvent dan pendinginan (chilling)


2. Pemisahan wax dari oil dalam sistem campuran dengan filtrasi dan
3. Recovery dan sirkulasi solvent
8

2. LUBE OIL COMPLEX KILANG UP IV CILACAP

2.1 Basis Disain Pasca DPC

Pada tahun 1998 Kilang UP IV Cilacap telah menyelesaikan Proyek Debottlenecking yang
dikenal dengan Debottlenecking Project Cilacap (DPC). Tujuan daripada Cilacap
Debottlenecking Project adalah meningkatkan jumlah produksi lube base dari 175 KTA
menjadi 428 KTA. Untuk mencapai hal tersebut dilakukan perubahan pola proses pengolahan
lube base oil dari solvex mode menjadi hybrid mode yaitu dengan menambahkan satu unit
baru HTU ( Hydrotreating Unit ). Pada existing proses ( solvex mode) proses pengolahan
bersifat physical separation (distilasi,ekstraksi, dan filtrasi) sedangkan untuk proses hybrid
dengan tambahan menggunakan proses kimia (chemical conversion). Proses kimia / konversi
ini adalah proses konversi komponen yang tidak diinginkan menjadi komonen lube base
menggunakan bantuan katalis dan hydrogen.

Dengan adanya penambahan unit pengolahan baru tersebut, maka Kilang Cilacap mempunya
tiga kilang lube oil yaitu Lube Oil Complex – I / II / III. Ketiga kilang tersebut terintegrasi dan
dirancang untuk mengolah komponen feed berupa Arabian Light Long Residue produk
bottom dari CDU (Crude Distilling Unit) I sebanyak 2.194.000 TPA untuk menghasilkan total
produk lube base oil sebesar 428.000 TPA dan blended bitumen/ asphalt sebesar 750.00
TPA. Adapun simplified process flow diagram dapat dilihat pada Gambar 1 sbb:

Gambar 1.1 Process Flow Diagram Kilang LOC’s (I, II, III) UP IV Cilacap

Long residu dari CDU – I digunakan sebagai feed Unit HVU I (874.000TPA) dan Unit HVU II
(1.320.000 TPA). Unit HVU I didisain mengolah 437.000 TPA long residu pada “lube oil mode”
dan 437.000 TPA pada “bitumen mode“. Sedangakan Unit HVU II didisain hanya mengolah
feed long residu pada “lube oil mode”. Adapun unit-unit proses yang terdapat di Kilang LOC’s
sbb:

 Unit-unit proses yang ada di Kilang LOC I adalah Unit HVU I, PDU I, FEU I, dan MDU I.
 Unit-unit proses yang ada di Kilang LOC II adalah Unit HVU II, PDU II, FEU II, dan MDU II.
 Unit-unit proses yang ada di Kilang LOC III adalah Unit PDU III,HTR/RDU, MDU III.
9

Untuk memproduksi HVI lube oil, diperlukan tahapan-tahapan proses melalui unit-unit proses
sebagai berikut :

 High Vacuum Distilation (HVU) yaitu unit operasi yang berfungsi memisahkan feed long
residu menjadi fraksi-fraksi gas oil, waxy ditillate ( SPO, LMO dan MMO ) dan short residu.
 Propane Deashalting (PDU) yaitu unit proses yang berfungsi untuk memisahkan fraksi
deasphalting oil dan propane asphalt yang akan digunakan sebagai bitumen blending dari
feed short residu dari HVU.
 Furfural Extraksi (FEU) yaitu unit operasi yang berguna untuk mengekstraksi fraksi yang
mempunyai VI rendah ( waxy distilate SPO, LMO, MMO dan DAO) menjadi fraksi yang
mempunyai VI yang tinggi ( Waxy raffinate) dan ekstraknya digunakan sebagai komponen
blending fuel oil (IFO) dan bitumen blending (khusus untuk DAO ekstrak).
 Hydtrotreating (HTU/RDU) yaitu unit untuk meningkatkan parameter VI dengan cara
melakukan proses konversi komponen yang memiliki VI rendah yaitu aromatik dan
senyawa heteroatom yang mengandung nitrogen dan sulphur pada feed waxy raffinate
(LMO, MMO, dan DAO) ex Unit FEU menjadi produk hydrotreated waxy raffinate.
 MEK Dewaxing ( MDU) suatu unit proses untuk mengambil komponen- komponen yang
mempunyai pour point yang tinggi yaitu normal parafine dari SPO Raffinate dan
hydrotreated raffinate (LMO, MMO dan DAO ) sehingga diperoleh produk akhir lube base
oil sesuai spesifikasi (HVI-60 dari grade SPO, HVI-95 dari grade LMO, HVI-160S dari
grade MMO, dan HVI-650 dari grade DAO).

Intergrasi yang terjadi antara Kilang LOC I, II, dan III adalah sbb:

 Seluruh produk SPO dari Unit HVU I dan II diproses di Kilang LOC I yaitu Unit FEU I dan
MDU I. Untuk grade SPO tidak memerlukan proses hydrotreating. Ekses SPO distillate ex
Unit HVU I / II yang tidak diolah di Unit FEU I dan Unit MDU I dijadikan produk IFO.
 Seluruh produk LMO dan MMO dari Unit HVU I dan II diproses di Kilang LOC II dan III
yaitu dengan rangkaian Unit FEU II , Unit HTU/ RDU, Unit MDU II / MDU III. Ekses produk
LMO dan MMO distillate ex Unit HVU I / II dikirim ke refinery fuel ( IFO).
 Seluruh produk short residu dari HVU I / II selain diolah di Unit PDU I, PDU II, dan PDU III,
juga digunakan sebagai komponen blending asphalt/ bitumen.
 Seluruh produk DAO dari Unit PDU I / II / III diolah di Kilang LOCII / III yaitu dengan
rangkaian Unit FEU II, Unit HTU/ RDU, Unit MDU II / III.

Jenis-jenis dan jumlah produk lube base oil yang dihasilkan oleh Kilang LOC’s tersebut
adalah sbb :

Tabel 2.1 Disain Produksi Lube Base Oil UP IV


Grade Kuatitas, TPA
HVI-60 69.400
HVI-100 108.500
HVI-160S 104.600
HVI -650 145.500

2.2 Process & Engineering design

Sesudah debotlenecking, kapasitas produksi total Kilang Lube Oil Complex menjadi 428.000
TPA base oil dengan kapaitas pengolahan sebesar 2.194.000 TPA long residu dari crude jenis
Arabian Light Crude ( ALC). Unit operasi dirancang untuk beroperasi selama minimum 340
hari pertahun, kecuali untuk Unit FEU II dan Unit HTU/RDU yang dirancang untuk beroperasi
minimum 320 hari/ tahun. Kilang LOC I selain mempunyai tanki untuk intermediate dan finish
produk juga dilengkapi dengan fasilitas blending untuk memproduksi HVI-160B dan SN-200,
meskipun saat ini tidak dipergunakan untuk proses tersebut. Sedangkan Area Tanki Kilang
LOC II / III hanya dilengkapi fasilitas untuk blending HVI-160B. Area Tanki LOC-I/II dilengkapi
dengan fasilitas untuk loading lube base oil ke tanker. Sedangkan Area Tanki LOC I / III
dilengkapi dengan fasilitas untuk loading asphalt/ bitumen blending ke tanker.
10

LOC-II yang terdiri dari Unit HVU II, PDU II, FEU II dan MDU II dirancang sebagai unit yang
terintegrasi dengan minimum kapasitas tanki intermediate produk. Rancangan ini untuk
mencegah waktu tinggal yang lama di tanki yang dapat menyebabkan perubahan warna
akibat keitdakstabilitan. Begitu juga dengan Kilang LOC III yang memiliki fasilitas tanki
intermediate yang ter-integrasi dengan Kilang LOC II hanya mempunyai intermediate tank
dengan minimum kapasitas untuk memperkecil waktu tinggal.

Dalam kaitannya dengan konservasi energi yaitu untuk mengurangi jumlah fire heater/
furnace dan menghindari degradasi thermal stream proses selama pemanasan, maka unit –
unit yang terintegrasi tersebut dilengkapi dengan fasilitas sirkuslasi hot oil sistem. Unit HOS-II
dirancang sebagai alat pemanas stream pada beberapa heat exchanger baik di LOC-II
maupun LOC-III.

Sistem Double Efect Evaporation and Heat Recovery System terdapat di Unit FEU’s dan
MDU’s . Adapun konsep basis design yang digunakan adalah sebagai berikut:

Proses stream terdiri dari campuran komponen solvent yang mempunyai boiling point rendah
(MEK atau furfural) dan komponen hydrocarbon yang mempunyai boiling point tinggi,
dipanskan dan di-flash pada LP Flash Column, dimana sekitar 50 % solvent akan terpisah.
Bottom LP Flash Column dipanaskan lebih lanjut pada temperatur tinggi dan di-flash unutk
kedua kalinya di HP Flash Column dimana sebagian besar solvent yang tersisa diuapkan.
Panas yang dipakai di HP Flash Column diperoleh dari hot oil system. Dengan merancang
50% flashing terjadi di LP Flash Column, maka beban panas di sistem feed LP Flash Column
dapat dijaga minimum dan sumber panas dari luar dapat diminimalkan. Unit- unit proses yang
ada di Kilang Lube Oil Complex Cilacap adalah sbb :

Kilang LOC I :
 High Vacuum Unit (HVU I) Unit 21
 Propane Deasphalting Unit (PDU I) Unit 22
 Furfural Extraction Unit (FEU I) Unit 23
 MEK Dewaxing Unit (MDU I) Unit 24
 Hot Oil System (HOS I) Unit 25

Kilang LOC II :
 High Vacuum Unit (HVU II) Unit 021
 Propane Deasphalting Unit (PDU II) Unit 022
 Furfural Extraction Unit (FEU II) Unit 023
 MEK Dewaxing Unit (MDU II) Unit 024
 Hot Oil System (HOS II) Unit 025

Kilang LOC III :


 Propane Deasphalting Unit (PDU III) Unit 220
 MEK Dewaxing Unit (MDU III) Unit 240
 Hydrotreating / Redistilling Unit (HTU/RDU) Unit 260

2.3 Gambaran Umum Proses di Unit-Unit

2.3.1 High Vacuum Unit (HVU I/II)

Unit HVU I beroperasi dalam dua mode, yaitu “lube oil mode“ dan “bitumen mode”, sedangkan
Unit HVU II hanya beroperasi dengan “lube oil mode”. Arabian Light Long Residu berasal dari
bottom Unit CDU I digunakan sebagai umpan di Unit HVU I / II setelah melewati preheat
exchanger dan furnace langsung ke 1st Vacuum Column. Dua stream produk dari vacuum
column tersebut di strip lebih lanjut di side stripper dan dimasukkan ke intermediate tank
sebagai produk light machine oil (LMO) dan spindel Oil (SPO), side stream lainnya berupa
vacuum gas oil dan intermediate resiude dipompakan ke pool refinery fuel oil.
11

Bottom produk dari 1st Vacuum Column dipanaskan kembali pada furnace kedua sebelum
masuk ke 2nd Vacuum Column dengan tekanan flash zone yang lebih rendah (vacuum)
dibandingkan 1st Vacuum Column. Stripping steam diinjeksikan ke furnace inlet transfer line
dan bottom column. Produk dari 2nd Vacuum Column yaitu MMO (Medium Machine Oil)
langsung dimasukkan ke intermediate tank tanpa melalui side stripper. Sebagian top
circulating reflux digunakan Light MMO (LMMO), dimana sebagian diambil sebagai bahan
blending MMO rundown stream setelab bergabung dengan Heavy MMO (HMMO) .
Sedangkan produk lainnya short residu dari bottom column dikirim ke intermediate tank dan
digunakan sebagai feeddi Unit Propane Deasphalting dan sebagian lainnya sebagai
komponhen blending asphalt.

Tabel 2.2 Disain Feed dan Yield Produk Unit HVU I


Lube Oil mode Lube Oil mode
Stream Quantity Quantity Yield Quantity Quantity Yield
KTA T/SD %-wt KTA T/SD %-wt
Feed ALC Long Residue 437 2574 100 437 2574 100
Output :
Waste gas to fuel 2 7 0.3 2 5 0.4
Slop 3 18 0.8 2 13 0.5
Gas Oil 46 273 10.6 45 267 10.3
SPO distilate 48 280 10.9 48 280 11.0
Intermediate distilate 37 216 8.4 38 226 8.7
LMO distilate 46 273 10.6 40 234 9.2
MMO distilate 53 310 12.0 39 229 8.9
Black Oil 0 0 0 0 0 0
Short residue 203 1196 46.4 223 1314 51.0

Tabel 2.3 Disain Feed dan Yield Produk Unit HVU II


Lube Oil mode
Stream Quantity Quantity Yield
KTA T/SD %-wt
Feed ALC Long Residue 1320 3883 100
Output :
Waste gas to fuel 3 10 0.3
Slop 10 28 0.8
Gas Oil 140 412 10.6
SPO distilate 144 422 10.9
Intermediate distilate 111 326 8.4
LMO distilate 140 412 10.6
MMO distilate 159 468 12.0
Black Oil 0 0 0
Short residue 613 1804 46.4

2.3.2 Propane Deasphalting Unit (PDU I / II / III)

Feed short residu dari intermideater tank dikontakkan secara counter current dengan solvent
propane di Rotating Dics Contacor (RDC). Solvent tersebut akan melarutkan hydrocarbon
ringan sehingga akan terjadi pemisahan dari fraksi asphaltene. Hydrocarbon ringan tersebut
keluar sebagai produk atas dan asphaltene sebagai produk bawah. Kedua produk tersebut
dikirim ke solvent recovery system untuk mengambil kembali solvent. Energi panas untuk
pemisahan di solvent recovery section tersebut disediakan oleh dua evaporator dimana
sebagai media pemanasnya adalah steam dan hot oil. Hydrocarbon ringan tersebut yang
dikenal denganamana deasphlating oil (DAO) setelah didinginkan disimpan di tanki
intermediate sedangkan fraksi asphaltene yang disebut dengan propane asphalt dikirim ke
tanki bitumen blending.
12

Tabel 2.4 Disain Feed dan Yield Produk Unit PDU I


STREAM Quantity TPA Yield %-wt on Feed
Short Residu Intake , TPA 183.000 100
Deasphalted Oil (DAO) Output, TPA 68.000 37
Propane Asphalt Output, TPA 115.000 63

Tabel 2.5 Disain Feed dan Yield Produk Unit PDU II


STREAM Quantity TPA Yield %-wt on Feed
Short Residu Intake , TPA 260.000 100
Deasphalted Oil (DAO) Output, TPA 68.000 37
Propane Asphalt Output, TPA 115.000 63

Tabel 2.6 Disain Feed dan Yield Produk Unit PDU III
STREAM Quantity TPA Yield %-wt on Feed
Short Residu Intake , TPA 238.000 100
Deasphalted Oil (DAO) Output, TPA 88.000 37
Propane Asphalt Output, TPA 150.000 63

2.3.3 Furfural Extraction Unit (FEU I / II)

Sesudah proyek debottlenecking, Unit FEU I dirancang hanya mengolah SPO waxy distillate
dari Unit HVU I / II. Unit FEU I tetap sesuai design aslinya beroperasi dengan “solvex mode”
dan tidak ada modifikasi selama debottlenecking melainkan pompa feed karena terjadi
kenaikan Vk short residue pasca DPC dari 440 cSt (pada 99 oC) menjadi 830 – 890 cSt (pada 100 oC).
Unit FEU II mengolah LMO, MMO waxy raffinate dari Unit HVU I / II dan DAO dari PDU I / II /
III. Unit FEU II telah dimodifikasi agar dapat beroperasi dengan ‘hybrid mode’. Berikut
disampaikan gambaran operasional Unit FEU II :

 LMO, MMO vacuum disitilate dan DAO diolah secara terpisah/batch process dengan
proses ekstraksi menggunakan furfural unutk meningkatkan viskositas index dan stability.
 Dengan “ hybrid mode” yield produk raffinate meningkat menjadi 80% dari sebelumnya
saat solvex mode yang hanya 50 sampai 65 %- wt. Yield raffinate Unit FEU II yang
mengalami peningkatkan menimbulkan konsekuensi bertambahnya komponen dengan VI
yang rendah seperti komponen aromatic dan heteroatom. Untuk itu produk raffinate ex
Unit FEU II akan diproses lebih lanjut di Unit HTU/ RDU LOC III.
 Feed dari intermediate tank diumpankan secara countercurrent terhadap furfural di RDC
(Rotating Disc Contactor). Furfural akan melarutkan komponen polyaromatic dan keluar
sebagai extract produk bottom RDC, sedangkan komponen raffinate yang mempunyai
viskositas index lebih tinggi keluar sebagai top produk RDC. Furfural di-recovery baik di
fase ekstrak dan rafinate dengan pemanasan dan proses stripping pada kondisi vacuum.
Sebagai media pamanas digunakan hot oil.
 Raffinate didinginkan dan dipompakan ke intermediate tank, sedangkan produk
ekstraknya dipompakan sebagai komponen blending IFO dan bitumen blending (khusus
DAO ekstrak).

Tabel 2.7 Disain Feed dan Yield Produk Unit FEU I / II


FEU-I Solvex FEU-II Hybrid
STREAM
HVI-60 HVI-100 HVI -160S HVI-650
Feed intake t/a 141.000* 185.000** 211.000** 252.000***
Raffinate output, t/a 84.600 148.000 168.800 206.600.
Extract output, t/a 56.400 37.000 42.200 45.400
Raffinate yield, %wt 60 80 80 82
* Feed intake dari HVU-II : SOP = 93 kt/a
** Feed intake dari HVU-III : LMO = 46 kt/a dan MMO 53 kt/a
*** Feed intake DAO dari PDU-I = 68 kt/a dan PDU-III = 88 kt/a
13

2.3.4 Hydrotreating / Residitillation Unit (HTU/RDU)

LMO, MMO dan DAO waxy raffinate produk dari Unit FEU II digunakan sebagai feed Unit
HTU/RDU. Proses di HTU dilakukan pada tekanan dan temperatur tinggi dengan melewatkan
pada katalis bed dan dalam suasana hydrogen kemurnian tinggi. Tujuan proses di HTU/RDU
adalah untuk melakukan konversi komponen hydrocarbon yang mempunyai VI rendah seperti
hydrocarbon aromatic menjadi komponen hydrocarbon yang mempunyai VI lebih tinggi
(saturate). Disamping itu juga terjadi reaksi penghilangan komponen heteroatom yang
mengandung gugus sulphur dan nitrogen. Kedua komponen tersebut menimbulkan
ketidakstabilan lube base oil baik akibat oksigen, temperatur tinggi dan menimbulkan
pembentukan sludge (lumpur) pada mesin.

Selain itu unit ini juga menghasilkan produk samping light distillate dari reaksi samping
cracking dimana produk ini dikirim ke pool refinery fuel oil. Hydrogen dengan purtiy tinggi
disediakan oleh Unit PSA (Pressure Swing Adsorption) yang juga merupakan bagian Unit
HTU/RDU. Feed Unit PSA berasal dari gas hidrogen ex Unit CCR/ Platformer Kilang
Paraxylene dan FOC-II.

Tabel 2.8 Disain Feed dan Yield Produk Unit HTU/RDU


STREAM LMO MMO DAO
Feed intake, t/a 148.000 169.000 207.000
HDT product, t/a 126.000 127.000 176.000
Light distillate output, t/a 22.000 42.000 31.000

2.3.5 MEK dewaxing Unit (MDU I / II / III)

Unit MDU I pasca DPC didisain hanya mengolah SPO waxy raffinate dari Unit FEU I.
Sedangakan Unit MDU II dan MDU III didisain mengolah hydrotreated (HDT) raffinate dari
Unit HTU/RDU dengan sistem blocked / batch. Setiap jenis HDT raffinate yang diolah di Unit
MDU II / III dilakukan secara bergantian.

Komponen feed HDT raffinate dipisahkan dari komponen wax-nya dengan proses chilling dan
filtering dengan menggunakan solvent untuk melarutkan oil secara sempurna dan
menurunkan viskositas base oil. Solvent yang digunakan adalah campuran methyl ethyl
ketone (MEK) dan toluene. Campuran feed/solvent didinginkan dengan pertukaran panas
dengan aliran dingin produk dari filtrasi dan dilanjutkan pendinginan lebih lanjut dengan
proses regrigerated chilling. Slurry dingin dilakukan filtrasi secara kontinyu di rotary drum
vacuum filter sehingga diperoleh produk dewaxing oil dan campuran slackwax. Solvent
kemudian di-recovery kembali dengan proses evaporasi dan steam stripping

Feed, solvent dan inert gas didinginkan pada temperatur filtrasi dengan propane refrigeration
system . Sistim vacuum pada rotary filter dipertahankan dengan menggunakan vacuum pump
( comprssor) pada suction filtrate receiver dan dikeluarkan dengan meniupkan inert gas di
bawah filter cloth unutk membebaskan wax cake di permukaan kain filter pada proses filtrasi
final. Filter hood, solvent, tank, slop drum dan akumulator di blanket dengan inert gas unutk
mencegah akumulasi explosive campuran solvent/udara

Dewaxed oil setelah dikeringkan di 1st Vacuum Column Drier kemudian dikirim ke finish
product tank. Sedangkan slack wax dipompkan sebagai komponen blending refinery fuel oil di
area utilities. Disain untuk Unit MDU II dan MDU III hampir identik dan kedua unit tersebut
memungkinkan untuk mengolah feed hydrotreated LMO, MMO dan DAO. Angka-angka pada
material balance berikut merupakan refleksi dari operational total Unit MDU I, MDU II dan
MDU III untuk menghasilkan produk lube base oil sebanyak 428.000 t/a.
14

Tabel 2.9 Disain Feed dan Yield Produk Unit MDU I


STREAM HVI-60
Feed intake, t/a 84.600
Dewaxed oil output, t/a 69.400
Slack wax output, t/a 15.200
Dewaxed oil yield, % wt on feed 82.00

Tabel 2.10 Disain Feed dan Yield Produk Unit MDU II / III
MDU-II MDU-III
STREAM
HVI-650 HVI-95 HVI-160S HVI-650
Feed intake t/a 170.000 126.000 127.000 6.000
Dewaxed oil output, t/a 140.900 108.600 104.800 4.970
Slack wax output, t/a 29.100 17.400 22.200 1.030
Dewaxed oil yield, % wt on feed 82.9 86.2 82.5 82.9
* Fasilitas yang ada untuk mengolah ketiga grade tsb.

2.3.6 Hot Oil System (HOS I/ II)

Unit HOS I didisain untuk men-supply kebutuhan panas di Kilang LOCI serta area tanki short
residue dan blending asphalt di Area 42. Adapun untuk Unit HOS II didisain untuk men-supply
kebutuhan panas di Unit PDU II / III, Unit FEU-II, Unit MDU II / III, dan tanki short residue
pada Area LOC III.
Hot oil ini biasanya adalah waxy spindle desitilate yang disupply langsung dari HVU-II.
Hot oil circulation pump memompakan feed dari hot oil drum menuju ke main heater. Aliran
hot oil melewati peralatan penukar panas diatru/ dikontrol dengan tempertur controller.
Seluruh aliran hot oil loop diatur denganflow control melalui bypass flow control valve yang
terletak di downstream hor oil user yang paling akhir. Hot oil return masuk ke hot oil vessel
melalui vapour disengagin device.

2.3.7 Tankage ( LOC-I/II/III)

Feed tank (Long Residu) terletak untuk feed Unit HVU I dari Tanki 43T-1 dan untuk feed Unit
HVU II dari Tanki 35T-2.Tanki intermediate storage dan finish produk untuk Kilang LOC I
terletak di Area 41. Tanki feed / intermediate storage dan finish produk untuk Kilang LOC II
dan LOC III terletak di Area 041 (termasuk tanki baru). Tanki blending asphalt/ bitumen
terletak di Area 42 dan Area 041. Berikut data keseluruhan tanki LOC’s.

Tabel 2.11 Disain Konfigurasi Tanki Kilang LOC’s Pasca DPC


Servis LOC I LOC II LOC III
Long residue 43T-1 35T-2 ---
Short Residue (Lube Oil Mode) 42T-1 041T-121 041T-310
Short Residue (Bitumen Mode) 42T-5 --- 041T-311
SPO Waxy Distillate 41T-16 ---
LMO Waxy Distillate 41T-15 041T-116 041T-301
MMO Waxy Distillate 41T-17 041T-117 041T-302
DAO 41T-18 041T-118 041T-303
SPO Raffinate 41T-14 --- ---
Minarex B 41T-7 041T-119 ---
LMO Raffinate --- 041T-111/112 ---
MMO Raffinate --- 041T-113 041T-315
DAO Raffinate --- 041T-114 041T-316
DAO Extract 41T-12 --- ---
LMO HDT --- --- 041T-304/305
MMO HDT --- --- 041T-306/307
DAO HDT --- --- 041T-308/309
HVI-60 41T-5/6/13 --- ---
15

Servis LOC I LOC II LOC III


HVI-95 41T-1/2/3/4/8 041T-101/102 ---
41T-20/21/23 041T-104 ---
HVI-160S --- 041T-103 ---
--- 041T-107/108 ---
HVI-650 --- 041T-105 ---
--- 041T-109/110 ---
MDU I Slops 41T-19 --- ---
MDU II & III Slops --- 041T-120 041T-317
LOC I Off-Grade Lube Oils 41T-10 --- ---
HVI-160B --- 041T-106 ---
Fuel Oil --- 041T-122 ---
IFO 34T-1/2 37T-101/102 ---
35T-1/3/4 --- ---
Bitumen Product 42T-2/3/4/6/7 --- 041T312
42T-9/10 --- 041T313
49T-1/2 --- 041T314
Line Flushing (SR) 42T-8 --- ---
Unassigned 41T-11 041T-115 ---

2.3.8 Pengoperasian Kilang LOC’s saat Ini

Berdasarkan pengalaman operasional yang didapat maka akan didapat pengalaman untuk
melakukan pola operasi yang optimal di Kilang LOC’s. Hal ini mengingar Kilang
pengoperasian Kilang LOC’s dilakukan secara block mode operation atau secara batch
dimana Unit FEU’s, Unit HTU/RDU, dan Unit MDU’s dapat mengolah beberapa grade feed.
Dengan berdasarkan pada hal tersebut dan kajian yang dilakukan maka pola operasi saat ini
di Kilang LOC’s adalah sbb :

 Kilang LOC I yang disain pasca DPC hanya memproduksi HVI-60, saat ini juga dapat
menghasilkan HVI-95 dengan feed LMO distillate ke Unit 23 FEU I merupakan campuran
antara LMO dengan IDIS distillate produk Unit HVU I.
 Unit MDU II mayotitas dikhususkan untuk memproduksi grade HVI-160S, sedangkan Unit
MDU III mayoritas dikhususkan untuk memproduksi HVI-650 sekalipun kedua unit ini
mampu untuk mengolah 3 grade LMO, MMO, dan DAO HDT. Disamping itu kedua unit
tersebut secara berkala juga mengolah grade LMO. Dengan pengaturan hal tersebut
maka jumlah pergantian feed dapat diminimalkan.

Kilang LOC’s UP IV yang didisain untuk menghasilkan LBO Gr. I, saat ini juga dapat
menghasillkan LBO Gr. II dengan produksi skala besar dilakukan pada Bulan November 2006.
Produksi skala besar ini terlebih dahulu melalui tahapan field test yang dilakukan pada Tahun
2003. Jenis LBO Gr. II yang mamapu dihasilkan Kilang LOC’s UP IV adalah grade LMO yaitu
VCBS-95 (Very High Viscosity Index Cilacap Base Oil Stock) dan grade MMO yaitu VCBS-
160S. Adapun pola pengoperasian saat produksi LBO gr. II adalah sbb :

 Pola operasi dilakukan tandem Unit FEU → Unit HTU → Unit MDU.
 Pengaturan kondis operasi unit Unit FEU beroperasi dengan ekstraksi yang lebih tajam
terutama pada grade LMO.
 Unit HTU beroperasi dengan severity tinggi untuk mempertinggi tingkat konversi.
 Unit MDU beroperasi dengan temp. chilling normal 18 oC mengingat spek Pour Point yang
sama antara LBO Gr. I vs Gr. II.

Adapun LBO Gr. II VCBS-95 dan VCBS-160S digunakan oleh Unit Pelumas Pertamina untuk
membuat pelumas mesin industri Turbolube 32 dan Turbolube 46. Turbolube 46
menggunakan VCBS-160S relatif lebih banyak dibanding Turbolube 32 disebabkan viskositas
Turbolube 46 yang lebih tinggi dari Turbolube 32.
16

Pola Operasi Produksi VCBS-95 bulan Nov. 2006 (Gambar 2.1) adalah sbb :

Feed Ex MDU III Produk ON.


FEU II HTU
041T-116 41T-8

Excess Raff. Excess HDT. Produk Off.


041T-111 041T-305 41T-3

Pola Operasi Produksi VCBS-160S bln Nov. 2006 (Gambar 2.2) adalah sbb :

Feed Ex MDU III Produk ON.


FEU II HTU
041T-117 041T-103

Excess Raff. Excess HDT. Produk Off.


041T-113 041T-307 041T-108

Kualitas produk yang dihasilkan untuk VCBS-95 adalah sbb (Tabel. 2.12) :
17

Adapun kualitas produk yang dihasilkan untuk VCBS-160S (Tabel. 2.13) adalah sbb :

NO. ANALISA METODA SPEC ACTUAL


1. Appearance Visual C&B C&B
2. Ash Content % wt ASTM D - 482 0.005 < 0.001
3. Cloud Test ( No Cloud at 0 o C ) hours SMS - 2556 7 7
4. Colour ASTM ASTM D - 1500 1.5 L 1.0
5. Colour stability, 48 hours at 100 ° C SMS - 260 - 0.5
6. Flash Point PMcc °C ASTM D - 93 Min. 215 248
7. Total Acidity mg KOH/g ASTM D - 974 Max. 0.02 0.01
8. Pour Point °C ASTM D - 97 -9 - 9
9. Specific Gravity at 60 / 60 ° F ASTM D - 1298 reported 0.8692
10. Viscosity, kinematic 40 ° C cSt ASTM D - 445 reported 73.74
11. Viscosity, kinematic 100 ° C cSt ASTM D - 445 9.10 – 11.76 9.65
12. Sulfur % wt ASTM D - 2622 max. 0.01 < 0.06
13. Viscosity Index ASTM D - 2270 100 - 110 109
14. Aromatic Content % wt ASTM D - 2007 Max. 2.0 0.4
15. Saturated content % wt ASTM D - 2007 Min. 98 99.6
16. Copper Strip ASTM D - 130 1A 1A
17. NOACK Volatility % wt ASTM D - 5800 Max. 5 3
18. CCR % wt ASTM D - 189 Max. 0.01 < 0.01

Dari tabel di atas seluruh parameter produk VCBS-95 dan 160S memenuhi batasan
spesifikasi. Untuk hasil analisa sulphur content berada di atas batasan maks. 0.01 yaitu <
0.06 %-wt disebabkan batasan dari kemampuan peralatan laboratorium.

Berdasarkan hasil diskusi dan presentasi dengan Laboratorium Penelitian dan


Pengembangan Produk UPP Jakarta pada tgl 30 November 2006 maka didapatkan
penjelasan sbb :

1. Laboratorium UPP Jakarta melakukan dua macam pengujian untuk dibandingkan antara
VCBS-95/160S dan 150N/500N yaitu pengujian sifat fisis berdasarkan (1) parameter
spesifikasi lube base oil dan (2) pengujian spesifik untuk spesifikasi Turbolube (turbin oil).
Berdasarkan hasil penelitian dalam hal sifat fisis yaitu parameter spesifikasi, kualitas Lube
Base Oil VCBS-95/160S relatif sama dengan 150N/500N dengan beberapa kelebihan dan
kekurangan sbb :
a. Ditinjau dari parameter viscositas indek untuk VCBS-95 (118) lebih rendah 2 point
dibandingkan dengan Mobil Jurong 150 N (120) vs spek VCBS-95 113 -120,
sedangkan untuk VCBS-160S (108) lebih tinggi 9 point dibandingkan dengan Mobil
Jurong 150 N (99) vs spek VCBS-160S 100 -110.
b. Ditinjau dari parameter Flash point untuk VCBS-95 (214°C) lebih tinggi dibandingkan
dengan Mobil Jurong 150 N (213°C) vs spek VCBS-95 min. 210°C, sedangkan
untuk VCBS-160S (236°C) lebih tinggi dibandingkan dengan Mobil Jurong 150 N
(217°C) vs spek VCBS-160S min. 210°C.
c. Ditinjau dari parameter No. Ack Volatilty untuk VCBS-95 (13,54 wt) sekalipun lebih
tinggi di atas spek VCBS-95 maks. 13 % wt, namun lebih baik dibandingkan dengan
Mobil Jurong 150N yang memiliki hasil lebih tinggi (13,98°C). Sedangkan untuk
VCBS-160S (4,07 % wt) lebih rendah dibandingkan dengan Mobil Jurong 150N (6,58
% wt) vs spec max. 5 % wt. Hal ini mengindikasikan pada waktu pemakaian losses
yang terjadi pada produk yang menggunakan lube base oil VCBS-95/160S lebih
sedikit bila dibandingkan produk yang menggunakan lube base oil 150N/500N.
2. Ditinjau dari pengujian spesifik terkait dengan penggunaan Turbolube sebagai turbin oil
yaitu dengan melakukan pengujian RBOT/RPVOT (pengujian oksidasi yang dipercepat),
hasil pengujian produk Turbolube 32 dan 46 adalah sbb :
18

 Turbolube 32 dengan LBO VCBS 95/160S = 1038 menit


 Turbolube 32 dengan LBO 150N/500N = 1336 menit
 Turbolube 46 dengan LBO VCBS 95/160S = 972 menit
 Turbolube 46 dengan LBO 150N/500N = 1272 menit
Dengan demikian ketahanan terhadap oxidasi Turbolube 32 dengan menggunakan LBO
VCBS-95/160S lebih rendahdibandingkan dengan Turbolube 32 dengan LBO 150N/500N.
Kondisi ini akan ditelti lebih lanjut oleh Penelitian UPP Jakarta dimana salah satu
kemungkinan disebabkan sulfur di LBO VCBS-95/160S yang lebih rendah dibandingkan
dengan LBO 150N/500N. Hal ini disebabkan komponen sulfur yang dapat berfungsi
sebagai komponen antioksidan alami.

Dengan demikian secara keseluruhan LBO Gr. II VCBS-95 dan 160S yang diproduksi pada
bulan November 2006 memiliki kualitas yang sebanding dengan LBO Gr. II yang digunakan
selama ini produk ex Mobil Jurong. Mengenai lebih rendahnya daya tahan terhadap oksidasi
untuk pelumas Turbolube 32 dan 46 kemungkinan besar disebabkan kandungan sulphur yang
terlalu rendah dimana sulphur dapat berfungsi sebagai antioksidan yang alami. Untuk
meningkatkan stabilitas RBOT/RPVOT, maka telah disarankan untuk melakukan uji coba
blending produk VCBS 95/160S dengan komponen yang memiliki kandungan sulphur yang
tinggi dari LBO Gr. I (misal HVI-650).

Tabel 2.14
SIFAT-SIFAT FISIKA DAN KIMIA BASE OIL GROUP II
MOBIL JURONG 150N VS VCBS 95 EX CILACAP

SPEC. Test Result Mobil Jurong


Item Test Method
No VCBS 95 Lab. UPP Cilacap 150 N
1 Appearance Visual Bright & Clear Bright & Clear Clear
2 Cloudiness, 3 hrs SMS 2556 No Cloud - -
3 Specific Gravity ASTMD-1298 Reported 0.8560 0.8521
4 Viscosity Kinematic at 40 °C cSt ASTMD-445 Reported 30.31 30.93
5 Viscosity Kinematic at 100 °C cSt ASTMD-455 5,02 - 6,14 5.48 5.58
6 Viscosity Index ASTMD-2270 115 - 120 118 120
7 Sulfur Content, %w, max ASTMD-2622 0.01 0.0012 0.004
8 Aromatic Content, %w, max ASTMD-2007 2.0 - -
9 Saturated Content, %w, min ASTMD-2007 98.0 - -
10 Flash Point PMcc, min ASTMD-92 210 214 213
11 Pour Point, max ASTMD-97 -9 -9 -15
12 Color, max ASTMD-1500 L0,5 L 0.5 L.0,5
13 Copper Corrosion max ASTMD-130 1-A 1-A -
14 TAN mgKOH/g, max ASTMD-974 0.02 0.005 0.016
15 Con. Carbon Residue, %w, max ASTMD-189 0.01 0.002 0.01
16 Ash Content ASTMD-482 0.005 0.003 0.005

Tabel 2.15
SIFAT-SIFAT FISIKA DAN KIMIA BASE OIL GROUP II
MOBIL JURONG 500N VS VCBS 160S EX CILACAP

SPEC. Test Result Mobil Jurong


Item Test Method
No VCBS 160S Lab. UPP Cilacap 500 N
1 Appearance Visual Bright & Clear Clear Clear
2 Cloudiness, 3 hrs SMS 2556 No Cloud - -
3 Specific Gravity ASTM D-1298 Reported 0.8686 0.8774
4 Viscosity Kinematic at 40 °CcSt ASTM D-445 Reported 73.46 91.73
5 Viscosity Kinematic at 100 °C
cSt ASTM D-455 9.10 11.76 9.576 10.69
6 Viscosity Index ASTM D-2270 100 - 110 108 99
7 Sulfur Content, %w, max ASTM D-2622 0.01 nil 0.008
8 Aromatic Content, %w, max ASTM D-2007 2.0 - -
9 Saturated Content, %w, min ASTM D-2007 98.0 - -
10 Flash Point PMcc, min ASTM D-92 215 236 217
11 Pour Point, max ASTM D-97 -9 -9 -15
12 Color, max ASTM D-1500 1.5 L1,0 L0,5
13 Copper Corrosion max ASTM D-130 1-A 1-A -
14 TAN mgKOH/g, max ASTM D-664 0.02 0.005 0.014
15 Con. Carbon Residue, %w, maxASTM D-189 0.01 0.008 0.01
16 Ash Content ASTM D-482 0.005 0.0008 Nil
19

3. HIGH VACUUM UNIT

3.1 Teori dan Uraian Proses

High Vacuum Unit (HVU) memproduksi tiga jenis produk waxy distillate utama dan short
residu dengan menggunakan distilasi vakum untuk mengolah feed long residu yang
merupakan produk bottom dari Unit CDU I. Ketiga macam produk waxy distilate tersebut
adalah

 Spindle Oil ( SPO)


 Light Machine Oil ( LMO)
 Medium Machine Oil ( MMO)

Disamping ketiga macam distillate utama tersebut, juga terdapat produk lainnya yaitu light oil,
vacuum gas oil, itnermediate distillate (IDIS), LMMO (kondisi normal tidak ada), dan black oil
(kondisi normal tidak ada). Semua jenis produk tersebut harus diolah lebih lanjut sehingga
memperoleh produk akhir yaitu HVI lube base oil

3.1.1 Teori Proses

3.1.1.1 Umum

Disain dan pengoperasian lube oil HVU sangat berpengaruh terhadap kualitas daripada
intermediate maupun final produk serta perfomance downstream unit. Berikut adalah
beberapa hal penting berkaitan dengan hal tersebut :

Distilate yang ter-fraksinasi dengan Baik


Distilate yang terfraksinasi dengan baik dan dilakukan cutting pada viskositas tertentu, dapat
diproses pada Unit-unit FEU dan MDU dengan jumlah yield yang lebih besar daripada
distillate yang kurang baik ter-fraksinasi pada viskositas distillate yang sama. Hal ini juga
berlaku untuk short residu dimana cutting antara short residu dan MMO diharapkan setajam
mungkin. Suatu distilate yang ter-fraksinasi dengan baik akan memiliki titik didih akhir yang
lebih rendah dari distillate yang tidak ter-fraksinasi dengan baik. Distillate yang ter-fraksinasi
dengan baik mempunyai karakter filtrasi yang lebih baik pada proses di Unit MDU. Hal ini
disebabkan komponen iso dan cyclo-paraffine dengan rantai atom tertentu yang memiliki titik
didih lebih tinggi akan membentuk krisal-kristal wax kecil dan di Unit MDU akan terpisah dari
komponen n-paraffine dengan rantai atom lebih besar pada suhu pendinginan yang sama,
dapat dihilangkan. Dengan jalan ini penyumbatan permukaan filter oleh kristal – kristal wax
kecil dapat dihindari dan laju aliran dan kecepatan filtrasi menjadi tinggi.

Degradasi Thermal
Salah satu spesifikasi penting dari produk lube base oil adalah warna. Pengaruh panas dapat
merusak warna dan kestabilan warna pada produk intermediate maupun produk akhir. Hal ini
dapat disebabkan karena temperatur yang berlebihan di dapur dan flash zone dari vacuum
unit. Pemrosesan dengan temperatur yang lebih rendah dan dengan menurunkan waktu
tinggal (residence time) minyak di daerah temperatur tinggi seperti di dapur dan dasar kolom
akan menghasilkan produk intermediate dan produk akhir dengan warna dan kestabilan
warna yang lebih baik. Dari keterangan tersebut diatas, jelas bahwa komponen-komponen
residu tidak boleh terikut dalam fraksi distillate karena warna distillate akan terganggu.

Viskositas Distilate yang Konstan


Viskositas yang selalu berubah dapat menyebabkan penurunan feed ke Unit MDU karena
keterbatasan proses filtrasi. Selektivitas furfural terhadap berat / ringan di FEU juga akan
berubah yang akhirnya menghasilakan ketidakteraturan dalam pemrosesannya.
20

3.1.1.2 Disain Unit HVU Modern

Disain pada Unit-unit HVU modern telah mempertimbangkan hal-hal tersebut diatas. Proses
distilasi dilakukan dengan menggunakan 2 kolom fraksinasi untuk menurunkan biaya investai
(terkait ukuran kolom dan kapasitas condenser) dam biaya operasi (stripping steam).
Temperatur dan tekanan pada kedua flash zone dibatasi untuk mencegah terjadinya cracking
dan dapat mengurangi pemakaian steam. Dengan melakukan injeksi steam ke dalam pipa-
pipa dapur, maka kecepatan aliran akan bertambah sehingga waktu tinggal di dalam tube
dapur akan berkurang. Dengan suhu keluar dapur yang rendah, maka proses cracking dapat
dihindari dan colour stability dapat lebih baik. Dengan selalu mengikuti prosedur ini maka
memungkinkan memperoleh lube oil dari berbagai crude oil tanpa harus dilakukan proses
hydrofinishing. Dengan penyesuaian kondisi operasi seperti disain tersebut, salah satu
fasilitas yang penting adalah black oil draw off, yaitu stream antara MMO distilate dan short
residu. Fungsi dari fasilitas tersebut adalah agar dapat diperoleh MMO distilate dan short
residu dengan boiling range yang sempit. Hal ini diperlukan dan penting untuk proses
selanjutnya di Unit PDU, FEU dan MDU.

3.1.2 Uraian Proses

Lihat Proses Flow Diagram Gambar 3.1 (Unit HVU I) / 3.2 (Unit HVU II). Feed Long Residu
dari bottom Unit CDU I dipompakan dari feed tank melalui rangakaian preheat exchanger dan
kemudian dipanaskan di dalam furnace F1 masuk ke 1 st Vacuum Column. MP steam
diinjeksikan pada radian section furnace dan LP superheated LP steam diinjeksikan ke bottom
column.

1st Vacuum Column C1 terdiri dari stripping section di bawah flash zone dan lima packed bed
section diatas flash zone. Kelima packed bed tersebut dari urutan bottom ke atas adalah :
Wash Oil Bed, LMO Bed, Bottom Circulating Reflux (BCR) Bed, SPO Bed dan Top Circulating
Reflux (TCR) Bed. Semua bed tersebut berstruktur packing dan dilengkapi dengan sistem
total draw-off dan sistem upper reflux yang dilengkapi dengan gravity distributor. Stream dari
SPO Bed dan LMO Bed dilakukan proses stripping lebih lanjut menggunakan steam di side-
stripper column sebelum dipompakan ke intermediate tank untuk memisahkan fraksi SPO dari
VGO dan fraksi LMO dari SPO. Side stripper SPO menggunakan struktur packing dan side
stripper LMO menggunakan tray untuk melakukan pemisahan.

Vacuum gas oil (VGO) dan intermediate distilate (IDIS) diambil sebagai slip stream melalui
TCR dan BCR bed dan dipompakan ke pool industrial fuel Oil (IFO) . Ketiga circulating reflux
(TCR, upper dan lower BCR) berfungsi sebagai pengontrol proses fraksinasi di kolom.
Intermediate Residue (Ires) setelah di-strip dengan steam dan di-quench di bottom 1st Vacuum
Column C1 melalui aliran Ires yang digunakan untuk memanaskan aliran feed long resdiue,
selanjutnya dipompakan ke 2nd Vacuum Column C2 setelah dipanaskan lebih dahulu di
furnace F2. Kevakuman pada flash zone 2nd Vacuum Column C2 lebih tinggi (lebih vacuum)
daripada di 1st Vacuum Column C1. Steam diinjeksikan ke inlet furnace coil dan ke transfer
line unutk menurunkan partial pressure dari uap hydrocarbon dan untuk menurunkan waktu
tinggal minyak di dalam tube furnace. Stripping steam juga diinjeksikan ke bottom column.

2nd Vacuum Column C2 terdiri dari seksi stripping di bawah flash zone dan tiga seksi diatas
flash zone. Ketiga seksi tesebut adalah : Wash Oil Bed, BCR Bed dan TCR Bed. Wash oil
dan BCR Bed menggunakan struktur packing, sedangkan TCR Bed menggunakan tray.
Ketiga bed dilengkapi dengan total draw off pada bagian bottom. Untuk Wash Oil Bed
dilengkapi dengan spray distributor pada bagian top, sedangkan pada BCR Bed dilengkapi
dengan gravity distributor pada bagian top. MMO yang merupakan kombinasi Heavy Medium
Machine Oil ( HMMO) dari BCR Bed dan Light Medium Machine Oil (LMMO) dari TCR,
selanjutnya diambil sebagai produk dan masuk ke intermediate tank. Sedangkan kelebihan
daripada LMMO (jika ada dan kondisi normal tidak ada aliran) sebagai produk blending IFO.
Produk black oil dari wash oil draw off pada dipompakan kembali ke flash zone dan eksesnya
sebagai produk IFO. Short residu setelah di-strip dengan steam dan di-quench di bottom
21

section column dengan sebagian aliran short residue yang telah didinginkan melalui
pertukaran panas dengan aliran feed long residue, kemudian dipompakan ke intermediate
tank dan selanjutnya digunakan sebagai feed di Unit PDU’s. Sedangkan sisa dari short
residue digunakansebagai bitumen blending atau dikirim ke pool IFO.

Untuk menjaga kevakuman di tekanan flash zone kedua Vacuum Column digunakan dua
stage ejector yang dilengkapi dengan pre-condenser. Condesable gas dan steam dari
stripping steam dan injeksi steam ke transfer line akan dipisahkan dimana fraksi minyak akan
dipompakan ke wet slop tank sebagai light oil produk dan fraksi air akan dipompakan ke Unit
Sour Water Stripper. Fraksi non-condensable gas dari verhead condensor dibakar di long
residue furnace untuk mencegah polusi udara.

Tabel 3.1 Disain Spesifikasi Feed Long Residue Unit HVU’s


Parameter Unit Nilai
o
SG 15/4 C 0.9525
Kin. Visc. at 100 oC cSt 33.9
Sulphur Content %-wt 3.0
o
Flash Point C 152
Fraction TBP 350 oC Minus %-wt 4.3
Fraction TBP 370 oC Minus %-wt 7.3
Max. Fraction TBP 370 oC Minus %-wt 6.5
Yield on Crude %-wt 45.1
Short Residue Yield on Crude %-wt 23.0

TBP Distillation, %-wt


o
IBP C 321
o
5 C 356
o
10 C 386
o
30 C 454
o
50 C 534
o
70 C 654
o
90 C 833
o
95 C 887
o
FBP C 1021

Tabel 3.2 Disain Feed Yield Produk Unit HVU’s


HVU I (Lube Oil Mode) HVU I (Bitumen Mode) HVU II (Lube Oil Mode)
Parameter Flow Yield (%- Flow Yield (%- Yield
Flow (T/D)
(T/D) wt) (T/D) wt) (%-wt)
Feed Long Residue 2574 100.0 2574 100.0 3883 100.0
Waste Gas to Furnace 7 0.3 5 0.2 10 0.3
Light Oil to Slops 18 0.7 13 0.5 28 0.7
VGO 273 10.6 267 10.4 412 10.6
SPO 280 10.9 280 10.9 422 10.9
IDIS 216 8.4 226 8.8 326 8.4
LMO 273 10.6 234 9.1 412 10.6
MMO (LMMO + HMMO) 310 12.0 229 8.9 468 12.1
Black Oil 0 0.0 0 0.0 0 0.0
Short Residue 1197 46.5 1320 51.3 1804 46.5

Tabel 3.3 Disain Kondisi Operasi Utama di Unit HVU I


22

Operating Conditions
Stream
Lube Oil Mode Bitumen Mode
o
Long Residue Feed @ Battery Limit 95 C 95 oC
Long Residue Furnace, F1
- Inlet 307 oC 299 oC
- Outlet 388 oC 380 oC
- Cross Over Steam 52 T/D 52 T/D
1st Vacumm Column, C1
- Flash Zone Temp. 380 oC 380 oC
- Flash Zone Pressure. 112.5 mm Hg Abs 112.5 mm Hg Abs
- Overhead Temp. 90 oC 90 oC
- Overhead Pressure. 95 mm Hg Abs 95 mm Hg Abs
- VGO Draw-off Tray 13 148 oC 148 oC
- SPO Draw-off Tray 12 275 oC 275 oC
- BCR Draw-off Tray 11 305 oC 305 oC
- LMO Draw-off Tray 10 337 oC 337 oC
- Intermediate Residue / Bottom 360 oC 360 oC
- Stripping Steam to Tray 1 30 T/D 30 T/D
Intermediate Residue Furnace, F2
- Inlet 360 oC 360 oC
- Outlet 395 oC 395 oC
- Cross Over Steam
+ Inlet 52 T/D 52 T/D
+ Transfer Line 105 T/D 105 T/D
2nd Vacumm Column, C2
- Flash Zone Temp. 385 oC 385 oC
- Flash Zone Pressure. 101.2 mm Hg Abs 101.2 mm Hg Abs
- Overhead Temp. 150 oC 150 oC
- Overhead Pressure. 80 mm Hg Abs 80 mm Hg Abs
- TCR Draw-off Tray 9 150 oC 150 oC
- BCR Draw-off Tray 8 289 oC 289 oC
- Black Oil Draw-off Tray 7 355 oC 355 oC
- Short Residue / Bottom 351 oC 351 oC
- Stripping Steam to Tray 1 48 T/D 48 T/D

3.2 Pengaturan Kondisi Operasi

3.2.1 Pengaruh Variable Operasi

3.2.1.1 Kualitas Feed


Unit HVU dirancang untuk memproses feed long residu dengan batasan kandungan fraksi cut
range 350 oC minus maximum 6.5 %-wt dan kandungan fraksi 370 oC minus maksimum 10 %-
wt. Jika long residu memiliki fraksi ringan yang lebih banyak, produksi VGO akan meningkat
sehingga beban dapur F1 dan 1st Vacum Column C1 akan juga meningkat. Kondisi tersebut
akan mengakibatkan penurunan feed sehubungan dengan keterbatasan peralatan tersebut.

3.2.1.2 Furnace Outlet Temperatur (FOT) dan Injeksi Steam


Long residu heater F1 dan intermediate residu heater F2 dirancang dengan outlet temperatur
masing-masing 388 oC dan 395 oC. Injeksi crossover steam masing-masing adalah 52 t/d dan
157 t/d. Kondisi ini dipilah secara hati-hati untuk menjaga agar cracking hydrocarbon dalam
kondisi minimum. Temperatur outlet dan flow steam normalnya dalam kondisi konstan, akan
tetapi pada kondisi tertentu dapat diatur untuk menjaga kualitas produk. Penurunan
temperatur outlet furnace (temp. flash. Zone) akan mengakibatkan turunnya yield distillate.
23

3.2.1.3 Column Reflux


Untuk mendapatkan pengaturan yang optimum pada column reflux, semua draw-off tray baik
pada 1st maupun 2nd Vacuum Column menggunakan tipe total draw-off. Sistem ini
memungkinkan untuk mengontrol internal reflux stream pada fraksinasi di bagian lower atau
condensing di upper section pada column dengan menggunakan flow controller. Pada
umumnya kenaikan flow refluks akan menambah ketajaman fraksinasi.

3.2.1.4 Tekanan Column


Kedua vacuum column dilengkapi dengan sejumlah common ejector untuk menjaga tekanan
flash zone masing-masing 1st dan 2nd Vacuum Columnmasing-masing pada 112.5 mm Hg abs
dan 101.2 mm Hg abs. Penurunan vacuum atau kenaikan tekanan akan menyebabkan yield
distilate menurun dan terikut sebagai bottom produk. Untuk menaikkan kembali distillate dapat
dilakukan dengan cara menaikkan stripping steam ke bottom column atau menaikkan temp.
outlet furnace. Akan tetapi menaikkan temperatur outlet heater diatas 388 oC untuk F1 dan
395 oC untuk F2 tidak diijinkan.

3.2.1.5 Stripping Steam


Stripping steam yang diinjeksikan pada bottom kedua vacuum column adalah untuk
menghilangkan light end dari flashed residu di bottom column stripping section. Pada 1 st
Vacuum Column C1 injeksi stripping steam akan membantu proses pemisahan fraksi LMO
dan MMO dan pada 1nd Vacuum Column C2 injeksi stripping steam akan membantu proses
pemisahan fraksi MMO dan short residu. Pada SPO dan LMO Side Stripper, stripping steam
membantu fraksinasi antara SPO dan VGO di Column C4 dan antara SPO dengan LMO di
Column C3.

3.2.2 Proses Operasi

3.2.2.1 C1 Top Circulating Reflux


VGO dari tray ke 13 dikembalikan sebagai reflux pada dua posisi yang berbeda ke dalam
column (upper dan lowe refluks). Salah satu stream reflux didinginkan hingga temperatur 80
o
C dan dikembalikan sebagai TCR pada top column dengan dengan flow control. Tujuan
utama TCR adalah untuk mengkondensasi uap hydrocarbon pada top column sehingga tidak
mencapai overhead condenser. Flow dan temperatur TCR harus tetap dipertahankan pada
kondisi disain pada kondisi feed berapapun. Stream reflux yang lain tidak didinginkan setelah
melewati T-type strainer dikembalikan sebagai VGO under reflux dengan flow control diatas
SPO Bed pada temperatur 148 oC. Temperatur control pada SPO Bed akan menentukan
jumlah flow VGO under refluks tersebut. Beda tekanan daripada strainer dimonitor dengan
Pressue Differential Indicator (PDI) yang dapat dimonitor dari DCS (control room).

3.2.2.2 Bottom Circulating Refluxes


BCR dari tray ke 11, dipisah menjadi dua aliran yaitu upper dan lower BCR. Upper BCR
didinginkan sampai temperatur 230 oC dan dikembalikan diatas BCR Bed. Lower BCR tidak
didinginkan dan dikembalikan langsung dengan pompa dengan level kontrol ke bagian atas
LMO Bed.

3.2.2.3 LMO Under Reflux


Excess LMO dari tray ke 10 dikembalikan sebagai internal reflux pada wash oil bed. Aliran
reflux ini untuk mencegah entrainment residu masuk ke LMO produk. Flow daripada stream
ini dikontrol dengan level control di bottom C3. LMO under reflux tidak boleh kurang dari nilai
tertentu (580 T/D untuk Unit HVU I dan 880 t/d untuk Unit HVU II). Hal ini untuk meyakinkan
minimum wetting pada wash oil bed dan mencegah coking pada struktur packing.
3.2.2.4 MMO Reflux System
MMO keluar dari tray no. 8 dikumpulkan pada reflux drum V3 pada temperatur 289 oC.
Sebagian aliran ini dipompakan ke duplex basket strainer S-103 A/B dan dikembalikan
24

sebagai hot internal reflux ke wash oil bed melalui spray nozzle assembly distributor. Beda
tekanan pada strainer diindikasikan dengan PDI-704 yang dihubungkan ke DCS. MMO under
reflux sebaiknya ditahan agar tidak dibawah kondisi minimum (170 t/d untuk Unit HVU I dan
230 t/d untuk Unit HVU II). Hal ini untuk meyakinkan bahwa masih ada minimum wetting pada
wash oil bed untuk mencegah coking pada structur packing. Sebagian stream yang tersisa
didinginkan hingga temperatur 210 oC dan dikembalikan ke column di atas BCR Bed.
Viskometer pada MMO produk rundown dihubungkan dengan flow MMO under reflux ke wash
oil bed. Aliran refluks akan dipertahankan stabil untuk meyakinkan tidak terjadi entrainment
komponen black residual terhadap stream MMO.

3.2.2.5 Short Residue Quench


Sejumlah tertentu short residu yang telah didinginkan hingga 278 oC dari E-104 direcycle
kembali ke bottom C2 sebagai quench short residu di bottom column C2. Flow rate diatur
secara manual untuk mempertahankan bottom temperatur 351 oC.

3.2.2.6 Vacuum Equipment


Dua ejector dipasang secara terpisah, yaitu J-101A yang berkapasitas 1/3 kapasitas design
dan J-101B yang berkapasitas 2/3 design. Ejector harus dioperasikan dengan valve cooling
water dan MP steam full open. Takanan vacuum pada C1 dijaga tetap pada 112.5 mm Hg abs.
Tekanan vacuum pada flash zone C2 sekalipun tidak langsung dikontrol, namun demikian
tekanan inlet ejetor dijaga pada 60 mm Hg abs sehingga diperoleh tekanan flash zone C2
pada 101.2 mm Hg abs.

3.2.2.7 Gas Oil Spray to E-121


Aliran gas oil harus selalu dilewatkan ke condenser E-121. Hal ini terutama untuk menjaga
agar tube condenser selalu tercuci dan terbebas dari waxy material yang dapat
mengakibatkan hambatan aliran dan transfer panas. Keuntungan lainnya adalah transfer
panas untuk proses kondensasi terbantu dengan menjaga kondisi tube tetap basah. Aliran ini
dikontrol manual dengan bantuan flow indikator lokal.

3.2.2.8 Memasukkan Stripping Steam


Injeksi stripping steam ke C1,C2, C3, dan C5 harus dilaksanakan secara hati-hati dan hsrud
dijaga agar steam tidak basah karena akan merusakan internal column. Line stripping steam
harus dilakukan drain, dipanaskan dulu dan diyakinkan telah dalam kondisi kering (bebas air)
sebelum dimasukkan ke dalam column.

3.2.2.9 Operasi Furnace


Pada saat menurunkan atau menaikkan termperatur di furnace F-1 dan F-2, viscometer akan
melakukan koreksi secara otomatis. Akan tetapi perlu dicatat bahwa gangguan ini akan
membuat kondisi operasi di column tidak stabil sehingga akan menghasilkan distillate dengan
viskositas yang bervariasi. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa kualitas distilate akan
sangat mempengaruhi di downstream proses. Peristiwa ini biasanya terjadi pada saat
penggantian burner atau terjadi coking pada tip burner.

3.2.2.10 Minimum Wetting Rates pada Structured Packing.


Karena proses berlangsung pada temperatur tinggi, struktur packing sangat sensitive
terhadap wetting rate, Terlalu rendah reflux rate akan menyebabkan terjadinya coke laydown
dipacking. Struktur packing ini jika telah mengalami coking maka tidak dapat dilakukan proses
decoking, jadi harus dilakukan penggantian dan hal ini memakan biaya yang besar. Semua
aliran reflux wash oil bed dipasang flow controller yang dilengkapi dengan sistem alarm dan
dihubungkan dengan DCS sehingga operator daapt segera melakukan action jika terjadi
penurunan flow reflux.
Sebagai catatan penting set point alarm tidak boleh diturunkan dengan alasan apapun. Wash
oil bed merupakan daerah yang berpotensi untuk terjadinya coke laydown. Oleh karena itu
25

control vlve yang untuk mengontrol reflux ke bed ini diharapkan dan diupayakan agar
dilengkapi dengan minimum stop.

3.2.3 Pengaturan Kualitas Produk dan Yield

Target utama dari pengaturan kondisi operasi di Unit HVU’s adalah didapatnya produk
distillate SPO, LMO dan MMO serta produk short residue sesuai dengan target spesifikasi
dan yield produk juga sesuai dengan target. Target spesifikasi utama produk distillate ex Unit
HVU’s dan short residue adalah sbb :

 Viskositas Kinematic.
 Flash Point.

Berikut pengaturan kondisi operasi yang utama untuk mendapat target spesifikasi produk :

3.2.3.1 SPO Distillate :

 Flash Point :
Untuk menaikkan flash point SPO dengan menambah flow stripping steam ke bottom C4
(SPO Side Stripper Column) dan sebaliknya untuk menurunkan flash point.

 Viskositas :
Untuk menaikkan visko SPO dengan (1) menambah flow produk IDIS sehingga flow BCR
under refluks akan mengalami penurunan dan jika diperlukan dengan (2) mengurangi flow
BCR Upper Refluks juga sehingga fraksi yang lebih berat akan naik ke atas. Disamping itu
juga dapat dilakukan dengan (3) menaikkan set point TIC di SPO Bed sehingga produk
VGO akan bertambah. Untuk menurunkan visko SPO maka langkah yang dilakukan
adalah kebailkannya.

 Yield :
Untuk menaikkan yield SPO dengan mengurangi flow BCR Upper Refluks sehingga
fraksi yang lebih berat akan naik ke atas. Jika diperlukan flow produk IDIS juga perlu
ditambah untuk mengurangi flow BCR under refluks sehingga yield LMO akan menurun.
Dengan bertambahnya fraksi berat ke bagian upper column maka TIC di SPO Bed akan
mengalami kenaikan sehingga flow VGO under refluks akan bertambah dan yield VGO
akan menurun. Untuk menurunkan yield SPO maka langkah yang dilakukan adalah
kebalikannya.

3.2.3.2 LMO Distillate :

 Flash Point :
Untuk menaikkan flash point LMO dengan menambah flow stripping steam ke bottom
C3 (LMO Side Stripper Column) dan sebaliknya untuk menurunkan flash point.

 Viskositas :
Untuk menaikkan visko LMO dengan (1) mengurangi flow LMO Under Refluks ke wash
oil bed dan jika diperlukan dengan (2) menambah flow produk IDIS sehingga flow BCR
under refluks akan mengalami penurunan sehingga fraksi yang lebih berat akan naik ke
atas. Untuk menurunkan visko LMO maka langkah yang dilakukan adalah kebailkannya.

 Yield :
Untuk menaikkan yield LMO dengan (1) mengurangi flow LMO Under Refluks ke wash
oil bed dan jika diperlukan dengan (2) mengurangi flow produk IDIS sehingga flow BCR
under refluks akan semakin banyak. Untuk menurunkan yield LMO maka langkah yang
dilakukan adalah kebailkannya.

3.2.3.3 MMO Distillate :


26

 Flash Point :
Untuk menaikkan flash point MMO dengan menambah flow stripping steam ke bottom
C1 (1st Vacuum Column) dan sebaliknya untuk menurunkan flash point.

 Viskositas :
Untuk menaikkan visko MMO dengan mengurangi flow BCR Upper Refluks ke BCR bed.
Untuk menurunkan visko MMO maka langkah yang dilakukan adalah kebailkannya.

 Yield :
Untuk menaikkan yield MMO dengan mengurangi flow BCR Upper Refluks ke BCR bed.
Untuk menurunkan yield MMO maka langkah yang dilakukan adalah kebailkannya.

3.2.3.4 Short Residue :

 Flash Point :
Untuk menaikkan flash point Short Residue dengan menambah flow stripping steam ke
bottom C2 (2nd Vacuum Column) dan sebaliknya untuk menurunkan flash point.

 Viskositas :
Untuk menaikkan visko Short Residue dengan (1) menambah flow stripping steam ke
bottom C2 (2nd Vacuum Column) dan (2) mengurangi flow wash oil kembali ke flash zone
dengan membuka / menambah flow black oil. Untuk menurunkan visko Short Residue
maka langkah yang dilakukan adalah kebailkannya.

Pada akhirnya, pengaturan viskositas maupun yield dari produk tertentu akan mempengaruhi
yield dari produk yang berdekatan, yaitu :

 Untuk menaikkan yield SPO dengan target visko SPO yang tetap akan mengurangi fraksi
yang lebih berat yaitu IDIS / LMO dan bersamaan akan mengurangi fraksi yang lebih
ringan VGO.
 Untuk menaikkan yield LMO dengan target visko LMO yang tetap akan mengurangi fraksi
yang lebih ringan yaitu SPO / IDIS dan bersamaan akan mengurangi fraksi yang lebih
berat yaitu MMO (LMMO).
 Untuk menaikkan yield MMO hanya dapat dilakukan dengan juga menurunkan target visko
MMO sehingga akan mengurangi yield LMO.

Target spesifikasi produk Unit HVU I dan HVU II pasca DPC dan tahap optimasi dapat dilihat
pada tabel sbb :
27
28
29
30

4. PROPANE DEASPHALTING UNIT

4.1 Teori dan Uraian Proses

Metode paling lama dan biasa digunakan untuk memisahkan oil dari asphalt adalah dengan
proses distilasi. Tetapi keterbatasan proses ini adalah tidak dapat diaplikasikan pada fraksi
minyak yang lebih berat dan tidak dapat diuapkan/didistilasi pada vacuum distilasi tanpa
terjadi cracking. Untuk mengatasi keterbatasan itu maka proses pemisahan menggunakan
proses ekstraksi yaitu propane deasphalting. Pada proses ini liquid propane digunakan
sebagai solvent untuk mengekstrak heavy residual oil yang dikenal dengan nama
Deasphalted Oil (DAO) dari short residu dan meninggalkan material asphaltic yang dikenal
sebagai propane asphalt.

4.1.1 Teori Proses

4.1.1.1 Umum
Pada propane deasphalting proses, short residu dikontakkan dengan cairan propane pada
kondisi temperatur dan tekanan tertentu. Propane mudah melarutkan hydrocarbon dengan
titik didih rendah, tetapi solvent power-nya terbatas terhadap hydrocarbon dengan titik didih
tinggi, khususnya komponen aromatic (asphaltic compound). Dengan mengkontakkan cairan
propane dengan short residu pada temperatur esktraksi antara 38 oC s/d 70 oC akan terbentuk
dua fase liquid yaitu fase liquid yang kaya propane dan mengandung extracted oil (DAO) dan
fase liquid asphalt yang mengandung sedikit propane dan oil.

4.1.1.2 Propane Cair sebagai Solvent


Liquid propane mempunyai sifat-sifat yang berbeda dibanding kebanyakan solvent, teruatama
pengaruh terhadap temperatur dan tekanan terhadap solvent power-nya. Pada kebanyakan
solvent dengan meningkatnya temperatur ekstraksi, solvent power akan meningkat dan yield
ekstraksi meningkat pula. Pada propane berlaku sebaliknya yaitu jika temperatur meningkat
dan tekanan menurun maka solubility / daya larut terhadap minyak akan menurun. Fenomena
yang agak lain dari biasanya ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

Pada tekanan tertentu peningkatan temperatur akan menyebabkan perubahan yang cepat
pada physical properties (i.e density) propane menuu ke fase uap. Pada temperatur 96.8 0C
dan tekanan 43.4 kg/cm2 abs cairan dan uap propane menjadi indentik. Pada kondisi tersebut
merupakan temperatur kritis propane pada tekanan tersebut. Karena solvent power uap
propane adalah nol, maka kelarutan minyak dalam propane akan menurun dan akan terpisah
dimulai dari fraksi yang paling berat. Dari keterangan diatas pengaruh tekanan terhadap
solvent power propane sangat besar, terutama pada temperatur tinggi. Pada temperatur yang
konstan dan tekanan dinaikkan, solvent power propane akan naik dan propane akan
cenderung ke sifat liquidnya. Pada intinya semakin propane menjadi bentuk cairan
(temperatur semakin rendah pada tekanan yang tetap atau tekanan yang makin tinggi pada
temperatur yang tetap) maka solvent power akan meningkat.

4.1.1.3 Unit Propane Deasphalting Komersial


Pada proses propane deaphalting secara komersial, selectivity atau pemisahan anatara DAO
dan asphalt diatur dengan temperatur gradien apda top RDC (diatas inlet feed). Dengan
demikian akan terjadi perbedaan kelarutan minyak di dalam propane di seksi RDC ini. Pada
temperatur yang tinggi akan terjadi penolakan terhadap fraksi yang lebih berat (asphalt) dan
akan mengikat fraksi yang lebih ringan (DAO). Untuk mencegah pemakaian solvent ratio
yang terlalu tinggi, proses ekstraksi diatur pada tekanan imana solvent power propane dalam
kondisi yang optimum.
31

4.1.2 Uraian proses

4.1.2.1 Seksi Ekstraksi


Feed short residu dicampur dengan sedikit propane (predillution propane), didinginkan sampai
temperatur ekstraksi dan masuk melalui top ekstraktro (RDC). Propane predilution diperlukan
karena short residu mempunyai viskositas sangat tinggi pada temperatur rendah pada seksi
ini sehingga penambahan propane juga dapat meningkatkan transfer panas (viskositas
campuran menurun). Cairan propane yang telah didinginkan diumpankan ke bottom
ekstraktor. Propane masuk melalui bottom RDC mengalir ke atas sedangkan short residue
yang masuk dari top ektraktor mengalir ke bawah kemudian bertemu dan membentuk fase
dispersi. Propane yang mengalir ke atas akan mengkstrak fraksi oil (DAO), sedangkan
material asphalt yang tidak terlarut bersama sama dengan fraksi minyak berat akan mengalir
ke bagian bottom ekstraktor dan keluar sebagai bottom produk/ propane asphalt. Ekstraksi
dilaksanakan pada tekanan 31.5 kg/cm2 G dan temperatur 70 oC pada top ekstraktor (RDC)
dan temperatur 38 oC pada bottom RDC. Untuk memperoleh temperatur tinggi pada top RDC
steam coil dipasang diatas inlet feed.

4.1.2.2 Solvent Recovery Section


Fase DAO yang mengandung 90 %-wt propane meninggalkan top ekstraktor dan masuk ke
propane evaporator. Disini propane dipisahkan dengan proses flasing dalam dua tahap. pada
temperatur yang berbeda. Pada tahap pertama digunakan LP steam sebagai mendium
pemanas dan hot oil pada tahap kedua. DAO yang terpisah masih mengandung sedikit
propane dan dialirkan ke atmospheric stripping column di mana propane yang tertinggal
diuapkan dengan stripping steam dan DAO yang telah terbebas dari propane dikirim ke
storage tank yang sebelumnya digunakan untuk memanaskan campuran DAO dan propane
(DAO mix) dari RDC sebelum dipanaskan lebih lanjut dengan LP Steam dan hot oil. Untuk
Unit PDU II Kilang LOC 2 selain LP Steam dan hot oil, juga digunakan sumber panas dari
aliran slop wax ex Unit Visbreaker.
Campuran propane dan asphalt yang mengandung 23 %-wt propane dipanaskan dengan hot
oil dan propane dipisahkan dengan double effect evaporation yaitu proses flashing pada
tekanan tinggi di flash column. Sisa-sisa propane ( ± 1%wt ) diambil dengan striping steam
pada atmosferic (tekanan rendah) stripping column dan asphalt yang telah terbebas dari
propane dipompakan ke fuel blending atau bitumen blending yang sebelumnya untuk
konservasi energi digunakan untuk menghasilkan LP Steam.

4.1.2.3 Sirkulasi Propane


Propane yang telah dipisahkan (flash-off) dari evaporator dan high pressure flash column
dikondensasikan dengan water condenser dan dikumpulkan di propane akumulator.
Propane /steam overhead dari kedua stripping column dilewatkan ke cooling water heat
exchanger, dimana steam dikondensasikan dan dikumpulkan di overhead KO vessel dan
secara kontinyu dikirim ke sewer. Uap propane yang bebas dari air/oil kemudian ditekan
dengan reciprocating compressor dan dikembalikan ke high pressure system bergabung
dengan aliran uap propane dari high pressure flash column dan evaporator di mana akan
terjadi kondensasi dan dikumpulkan di propane akumulator. Propane dari propane akumulator
didinginkan dan dilakukan sirkulasi ke bottom RDC dan feed predilution menggunakan pompa
sirkulasi propane.

4.2 Basis Disain

4.2.1 Umum

Unit Propane Deasphalting (Unit PDU II dan III) dirancang untuk mengolah feed Arabian Light
Short Residue produk bottom dari Unit HVU’s sebesar 784 t/d dengan produks Deasphalted
Oil (DAO) sebesar 290 t/d (yield 37%-wt) dan 494 T/D Propane Asphalt dan sirkulasi rate
propane sebanyak 3058 T/D.
32

Proses esktraksi berlangsung secara counter current di ekstraktor yang dilengkapi dengan
Rotating Disc Contactor (RDC) dan sumber panas untuk propane recovery menggunakan LP
steam dan Hot Oil system untuk PDU II dan III dan khusus untuk PDU II menggunakan
stream slop wax dari Unit Visbreaker. Untuk mencegah terjadinya entrainment asphalt pada
uap propane dari asphalt flash tower, maka dilakukan injeksi silicon based anti-foam ke
stream asphalt mix dari bottom ekstraktor.

4.2.2 Disain Kondisi Ekstraksi

Rasio Total Propane /Short Residue 3.9 wt/wt


Rasio Solvent Predillution/Short Residue 0.3 – 0.6 wt/wt
Rasio Solvent/Asphalt Bottom RDC 0.3 wt/wt
Rasio Solvent/DAO Top RDC 10 wt/wt

RDC: 31.5 kg/cm2 g


- Normal tekanan operasi
- Normal temperatur operasi :
- Top 70 oC dan -42 oC
- Feed 65 oC dan -42 oC
- Bottom 38 oC dan -42 oC

Temperatur Inlet DAO Stripper 230 s/d 260 oC

Temperatur Inlet Asphalt Flash Tower 260 oC

Dosis Injeksi anti foam 1 – 10 ppm-wt on asphalt

4.2.3 Sifat Feed dan Produk

Tabel 4.1
Parameter Unit Short Res. DAO Asphalt
SG 70/4 oC 0.9800 0.9000 1.0300
Sulphur Content %-wt 4.3 2.4 5.3
Nitrogen Content ppm-wt - 1200 -
Color - 6.5 -
Kin. Visc. at 100 oC cSt 830 - 890 41 - 44 12500
Kin. Visc. at 80 oC cSt - 87 -
o
Flash Point PMCC C - 290 -
o
Pour Point C - 50 -
CCR %-wt - 3.0 -

4.2.4 Data Solvent

Sifat Fisik Propane :


 SG at 15/4 oC : 0.585
 Boiling Point : - 42.2 oC
 Tekanan uap pada 40 oC : 14.05 kg/cm2 abs.
 Tekanan uap pada 80 oC : 32.03 kg/cm2 abs.
 Temperatur Kritis : 96.8 oC
 Tekanan Kritis : 43.4 kg/cm2 abs.

Spesifikasi Propane yang diperlukan adalah sbb :


 Ethane : Max. 2.0 %-wt
 Propane : Min. 94.0 %-wt
 I-Butane : Max. 4.0 %-wt
33

4.2.5 Kondisi Batery Limit


 Feed Short Residue : 125 oC
 DAO Rundown : 80 oC
 Propane Asphalt : 190 oC

4.3 Pengaturan Kondisi Operasi

4.3.1 Umum

Target pengaturan kondisi operasi di Unit PDU adalah sbb :

1. Untuk mendapatkan kualitas dan kuantitas produk utama (dalam hal ini DAO). Kuantitas
DAO ditunjukkan dengan parameter yield sedangkan kualitas produk DAO meliputi
parameter sbb :
 Min. Viskositas Kinematic DAO (Vk @ 100 oC) : parameter ini diperlukan untuk
mendapatkan target viskositas lube base oil HVI-650 sesuai dengan spesifikasi.
 Max. CCR Content : parameter ini digunakan sebagai tolok ukur banyaknya fraksi
asphaltene yang terikut ke DAO produk. Semakin banyak fraksi asphaltene maka akan
dapat mempercepat deaktivasi katalis di Unit HTU/RDU LOC III.
 Max. Refractive Index (RI) : parameter ini sebagai tolok ukur banyaknya kandungan
komponen dengan VI yang rendah (komponen aromatic). Makin tinggi parameter RI
maka semakin tinggi kandungan aromatic di DAO. Semakin tinggi RI maka proses
ekstraksi di Unit 023 FEU akan semakin dalam.
2. Meminimalkan terjadinya loss solvent propane baik melalui stream produk DAO maupun
produk propane asphalt. Untuk meminimalkan terjadinya loss propane maka dilakukan
monitoring parameter flash point di aliran produk DAO dan asphalt. Disamping itu
parameter flash point ini juga diperlukan untuk menjaga tetap sesuai spesifikasinya produk
akhir lube base HVI-650.
(Tabel 4.2)

4.3.2 Pengaruh Kualitas Feed


Semakin rendah vikositas feed short residue maka dengan tingkat ekstraksi yang sama maka
visco DAO akan semakin rendah.Dengan demikian diperlukan proses ekstraksi yang lebih
dalam untuk menaikkan visco DAO sebelum mencapai batasan kandungan maksimum CCR
di DAO. Kebalikannya dengan kondisi jika viskositas short residue semakin tinggi. Dengan
demikian semakin tinggi viskositas shor residue, maka secara umum akan semakin baik.
34

4.3.3 Variabel Operasi


 Temperatur Top RDC : semakin tinggi temp. Top RDC maka viskositas dan yield DAO
akan semakin rendah.
 Temperatur Bottom RDC : semakin tinggi temp. Bottom RDC maka yield DAO akan
semakin rendah.
 Tekanan RDC : semakin tinggi tekanan RDC maka yield dan viskositas DAO akan
semakin tinggi. Tekanan maksimum umumnya dibatas oleh tekanan disain dari RDC (36.4
kg/cm2 g untuk Unit PDU II). Tekanan di bawah 30 kg/cm2 g akan menimbulkan DAO
dengan warna yang gelap.
 Sirkulasi Propane : sirkulasi solvent umumnya dijaga pada kondisi maksimum aliran
(disain rasio total 3.9 wt/wt on feed short residue. Perubahan rasio solvent akan sengat
berpengaruh pada proses ekstraksi di RDC.
 Kualitas Propane : beberapa komponen impurities pada solvent propane meliputi :
 Propylene : memiliki selektivitas yang rendah sehingga mengakibatkan proses
pemisahan yang rendah. Disamping itu adanya komponen ini menimbulkan tekanan
yang tinggi di sistem (tekanan uap lebih tinggi dari ethane).
 Butane : memiliki solvent power yang terlalu tinggi sehingga perlu dibatasi kandungan
maks. 4 %-wt.
 Ethane : menimbulkan tekanan yang terlalu tinggi di sistem disebabkan tekanan uap
yang tinggi dari komponen ini. Ethane cendenrung terakumulasi di E-112 (propane
condenser) dan V-103 (propane acumulator). Kandungan propane perlu dijaga maks.
2 %-wt.
 H2S : cenderung akan terakumulasi di E-112 dan V-103 yang dapat mengakibatkan
korosi. Kandungan komponen H2S perlu dijaga kurang dari 250 ppm-wt
Untuk menjaga kualitas propane dari komponen impurities tersebut di atas maka hal yang
dilakukan adalah :
 Menjaga kualitas make-up (fresh) propane.
 Melakukan venting dari V-103 untuk mengurangi akumulasi komponen impurities.
 Kecepatan Rotor RDC : variabel ini bergantung pada kapasitas feed unit. Pada kapasitas
feed rendah (misal 60 %), maka kecepatan rotor RDC sampai dengan 20 rpm dapat
digunakan. Pada kondisi feed disain kecepatan rotor tidak boleh lebih dari 5 ppm atau
akan terjadi flooding di RDC yang mengakibatkan warna DAO menjadi hitam. Pada
umumnya semakin tinggi speed RDC maka yield DAO akan semakin baik, namun perlu
hati-hati pada saat menggunakan speed yang tinggi pada feed unit yang tinggi untuk
menghindari terjadinya flooding di top RDC.

Ringkasan variabel operasi di RDC dan pengaruhnya terhadap kualitas dan yield DAO dapat
dilihat pada tabel sbb :

Tabel 4.3 Variabel Operasi di RDC


DAO
Parameter Operasi
Yield Viskositas Color CCR
Temp. Top RDC Naik - - - -
Temp. Top RDC Turun + + + +
Temp. Bottom RDC Naik - - - -
Temp. Bottom RDC Turun + + + +
Sirkulasi Propane Naik + + + +
Sirkulasi Propane Turun - - - -
Tekanan RDC Naik + + + +
Tekanan RDC Turun - - - -
35

4.4 Proses Operasi

Terdapat dua hal utama yang perlu diperhatikan dalam operasional di Unit PDU sbb :

4.4.1 Foaming di Sistem Solvent Recovery


Foaming sekalipun dapat terjadi baik pada sistem DAO maupun asphalt recovery, namun
demikian foaming pada sistem asphalt recovery akan menimbulkan dampak yang sangar
berpengaruh kepada kinerja unit. Proses foaming terjadi jika temperatur berada di bawah 180
o
C. Jika terjadi foaming pada sistem asphalt recovery maka asphalt akan terbawa ke ke
overhead C-104 yang dapat menimbulkan buntuan pada V-107 sehingga air (condensate)
tidak dapat keluar. Air ini kemudian akan terbawa ke suction KO Drum compressor V-101
mengakibatkan high level dan trip kompressor K-101. Untuk itu pada outlet asphalt mix heater
dilengkapi dengan low temp. alarm pada 220 oC. Sebagai antisipasi terjadinya entrainment
asphalt maka pada vessel2x tersebut dilengkapi dengan steam coil untuk melelehkan asphalt.
Asphalt maupun DAO yang terbawa ke sistem sirkulasi solvent juga akan menimbulkan
buntuan pada propane condenser E-112 maupun propane circulation cooler E-102.
Beberapa hal yang dapat menimbulkan foaming adalah sbb :
 Temperatur rendah di outlet E-109 (asphalt-mix heater)
Rendahnya temperatur outlet E-109 yang menggunakan media pemanas hot oil
disebabkan oleh beberapa hal sbb :
 Temperatur hot oil yang rendah.
 Rendahnya aliran hot oil.
 Aliran asphalt mix yang terlalu tinggi (jika level bottom RDC rendah yang
mengakibatkan bertambahnya aliran propane ke stream asphalt mix).
 Kegagalan operasional temp. control pada E-109.
 Steam Basah ke Stripper C-102 (DA) dan C-104 (Asphalt)
Air dapat mengakibatkan proses foaming. Untuk itu steam yang masuk ke dalam sistem
harus kering. Stripping steam tidak boleh masuk ke Asphalt atau DAO Stripper jika
temperatur pada kedua stripper tsb di bawah 200 oC.
 High Level di Stripper
Level yang terlalu tinggi di Stripper akan mengakibatkan entrainment fraksi DAO/asphalt
ke line sirkulasi propane. Untuk itu level bottom keduanya perlu diperiksa secara berkala
dengan level glass.

4.4.2 Flooding di RDC


Jika feed Unit PDU dalam kapasitas yang tinggi dan begitu juga speed RDC, maka flooding
akan terjadi pada top RDC. Hal ini akan mengakibatkan terbawanya fraksi residue ke sistem
DAO recovery dan hal tersebut dapat terdeteksi oleh beberapa parameter sbb:

 Kenaikan level di evaporator.


 Warna DAO hitam.
 Penurunan temperatur Top RDC.

4.4.3 Temp. Top RDC


Pengaturan temp. ini sangat penting dan harus dijaga pada rentang 0.5 oC dan tidak boleh
diatur atau berubah lebih dari 1 oC setiap kali proses tuning.

4.4.4 Akumulasi Asphalt di RDC


Akumulasi aphalt di RDC dapat terjadi akibat tingginya kandungan asphalt di feed, asphalt
tidak terdispersi dengan baik akibat kecepatan rotor yang terlalu rendah, atau indikasi level
bottom RDC yang tidak tepat. Akumasi ini dapat mengakibatkan warna yang hitam pada DAO.
36

4.4.5 Bypass RDC


Top RDC dilengkapi dengan sistem bypass berupa double block dan bleed. Jika bypass ini
tidak beroperasi (posisi tutupan), maka valve bleed perlu dalam posisi bukaan.

PROCESS FLOW DIAGRAM

REV
22 V-5
4.4.6 Pengoperasian Pompa Asphalt P-103 A/B

ASPHALT

I
PDU ( 22 ) LOC - I
Pompa asphalt terdiri dari dua jenis penggerak yaitu dengan menggunakan steam (B) dan

DAO
22 E-2

CWS
V-3

motor (A). Pada kondisi normal pompa dengan penggerak motor yang akan digunakan dan
CW

pompa steam sebagai spare.

22 P-4
4.4.7 Shut-off Valve antara HP Sistem (C-1043 dan LP Sistem (C-104)

22 E-5 AB RDC OVHD EXCHANGER


Terdapat isolation valve antara bottom HP dan LP sistem untuk menghindari terjadinya vapour
CWR

K-1

DAO EVAPORATOR
DAO EVAPORATOR

PROPANE COOLER
FEED PRECOOLER

ASPHALT COOLER
22 E-9AB ASPHALT HEATER
CWS
breakthrough uap propane bertekanan tinggi ke tekanan rendah Asphalt LP Flash Tower.
Isolation valve ini bekerja jika terjadi low level di C-103 Asphalt HP Flash Tower.

LPS
TO RELIEF SYSTEM

V-1
CWS

4.4.8 Operasi Propane Evaporator (E-106 dan E-107)


Dalam kondisi normal 1st Stage Evaporator E-106 harus dapat menguapkan 95 % propane di

22 E-3

22 E-8
22 E-2
22 E-6
22 E-7
aliran DAO mix dan sisanya diuapkan di 2nd Stage Evaporator E-107. Pengoperasian
evaporator ini penting untuk menjadga flash point dari DAO. E-106 menggunakan pemanas
C-5

LP Steam dan E-107 menggunakan pemanas hot oil sehingga keduanya dapat beroperasi
secara independen.

COMPRESSOR SUCT. KO DRUM


LPS

4.4.9 Pengoperasian Asphalt Cooler (E-108)

PROPANE ACCUMULATOR

ANTI FOAM AGENT DRUM


Pengoperasian asphalt cooler untuk membangkitkan LP Steam dari Boiler Feed Water (BFW)

22 E-12ABPROPANE COOLERS
V-2

perlu dijaga stabil disebabkan dapat mempengaruhi balance LP Steam.


BFW

STEAM DRUM
LPS

22 E-8

D.O. POT
22 P-3B
LPS

22 P-3A

22 V-1
22 V-2
22 V-3
22 V-5
22 V-6
22 E-9AB
HOR

STRIPPER OVHD CONDENSER


ASPHALT STRIPPER COLUMN
C-3
C-4

ASPHALT FLASH TOWER


DAO STRIPPER COLUMN
DEASPHALTING RDC
C-2
22 E-7

22 P-5
HOS

LPS
HOR

22 V-6
22 E-6

22 C-2
22 C-1

22 C-3
22 C-4
22 C-5
HOR

22 P-2AB

ANTI FOAM INJECTION PUMP


22 E-5

22 P-3AB ASPHALT PRODUCT PUMP

PROPANE COMPRESSOR
42 P-4AB S. RESIDUE FEED PUMP

22P-4AB PROPANE CIRC. PUMP


22 P-2AB DAO PRODUCT PUMP
RDC

C-1
22 E-3

42 P-4

S. RESIDUE

22 K-1
22 P-5
LPS

CW
37
38
39

5. FURFURAL EXTRACTION UNIT


40

5.1 Teori dan Uraian Proses

5.1.1 Pengenalan Proses

Unit Furfural Extraction dirancang untuk meningkatkan parameter viscosity index (VI) produk
waxy distilate dari Unit HVU’s dengan cara mengambil komponen yang memilki nilai VI
rendah yaitu komponen aromatic. Unit ini juga dirancang untuk melakukan ekstraksi
komponen yang mempunya VI rendah dari feed deasphalted oil (DAO) yang merupakan
produk dari Unit PDU’s. Produk Unit FEU adalah komponen waxy raffinate yang mempunyai
nilai VI tinggi dan mempunyai colour dan stabilitas yang baik.

Furfural dikontakkan dengan feed di Rotating Disc Contactor (RDC) dimana furfural akan
mengikat atau melarutkan komponen aromatic sehingga terpisah dari produk waxy raffinate.
Produk ekstrak yang kaya akan komponen aromatic dikirim ke pool refinery fuel oil setelah
sebelumnya dilakukan proses solvent recovery. Recovery furfural baik di fase ekstrak maupun
fase raffinate menggunakan proses evaporasi dan stripping steam pada kondisi tekanan
vacuum dan kemudian solvent ini dilakukan sirkulasi kembali ke RDC.

Unit FEU didisain dapat dioperasikan dengan dua mode yaitu solvex mode (disain awal) dan
hybrid mode (pasca DPC). Unit FEU II pasca DPC dirancang untuk dioperasikan dengan
hybrid mode sedangkan Unit FEU I tetap dengan pola solvex mode. Dengan hybrid mode
maka severity / ketajaman proses ekstraksi akan lebih rendah dibandingkan solvex mode
yaitu pada rasio solvent / feed yang lebih rendah dengan menghasilkan yield waxy raffinate
yang lebih tinggi. Namun demikian penambahan yield raffinate ini mengakibatkan semakin
banyaknya komponen aromatik di produk raffinate, sehingga parameter VI untuk raffinate
produk dari solvex mode menjadi lebih rendah dibandingkan dengan VI raffinate produk dari
solvex mode. Untuk mendapatkan produk akhir lube base oil dengan VI sesuai spesifikasi
min. 95 (solvex maupun hybrid mode), maka produk raffinate hybrid mode akan dilakukan
proses konversi lebih lanjut untuk menaikkan angka VI melalui proses konversi di Unit
HTU/RDU.

Unit FEU (I dan II) dirancang untuk dapat mengolah empat jenis grade feedstock (SPO, LMO,
MMO, dan DAO) pada saat beroperasi dengan solvex (sebelum DPC). Pada pola operasi
dengan hybrid mode, Unit FEU II didisain hanya mengolah tiga jenis grade feed (LMO, MMO,
DAO) dengan sistem pengolahan block-out operation (secara bergantian) dan Unit FEU I
didisain hanya mengolah grade SPO.

5.1.2 Teori Proses

5.1.2.1 Umum
Dengan meningkatnya boiling range dan viskositas dari komponen feed waxy distillate ke Unit
FEU maka berat molekul dan ukuran komponen juga semakin besar. Komponen feed distillate
masih mengandung berbagai macam jenis molekul hydrocarbon seperti : saturated
hydrocarbon (parafinic dan naphthenic), monoaromatic dan polyaromatic. Selain komponen
tersebut juga terdapat komponen hydrocarbon yang mengikat atom sulfur, nitrogen dan
oksigen yang disebut dengan komponen heteroatom. Komponen heteroatom tersebut sangat
berpengaruh terhadap colour, colour stability dan oxygen stability dari produk lube base oil.

Komponen non-aromatic sekalipun memiliki parameter VI yang relatif tinggi namun


mempunyai kecenderungan mudah teroksidasi dan membentuk asam. Adanya sejumlah kecil
komponen aromatic akan mengurangi kecenderungan tersebut dan mengurangi laju
terbentuknya asam. Pembentukan sludge di mesin disebabkan adanya senyawa sulphur dan
nitrogen yang relatif tinggi. Namun demikian terdapat senyawa sulphur yang dapat
memperlambat proses oksidasi yaitu komponen sulphide, sehingga dengan adanya
komponen sulfur dan aromatic (dalam hal ini komponen monoaromatic) dalam jumlah tertentu
akan bermanfaat untuk menghambat laju oksidasi dan pembentukan asam. Dengan demikian
41

penentuan komposisi komponen dalam lube base oil yang optimum sangat diperlukan
sehingga diperoleh kualitas lube base oil yang memenuhi seluruh parameter spesifikasi.

Nilai viskositas dan viskositas index (VI) fraksi lube base oil sangat tergantung pada
komposisi tipe molekulnya seperti :

 Saturates ( paraffine dan naphthene)


 Mono-aromatic
 Di-aromatic
 Poly-aromatic

Disamping itu juga terdapat senyawa hydrocarbon yang mengandung atom sulfur, nitrogen
dan oksigen yang dikenal dengan komponen heteroatom. Mengingat sifat fisika utama produk
lube base oil yaitu viskositas index, colour, colour stability dan oxygen stability sangat
tergantung pada komposisi tipe molekul tersebut di atas, maka sifat-sifat ini dapat dihasilkan
dengan membatasi jumlah berbagai komponen tersebut dalam jumlah tertentu.

Selama proses untuk meningkatkan properties lube base oil akan terjadi beberapa efek
samping, antara lain viskositas oil akan turun dan pour point akan meningkat pada saat
komponen aromatic-nya berkurang (feed distillate menjadi produk raffinate di Unit FEU’s).
Dengan demikian boiling range dan vikositas produk dari Unit HVU’s, Unit FEU II, Unit
HTU/RDU, dan Unit Dewaxing harus dikombinasikan dengan baik untuk mendapatkan finish
produk lube base oil yang memenuhi spesifikasi.

5.1.2.2 Prinsip Ekstraksi

Proses ekstraksi adalah proses pemisahan secara fisik dalam fasa cairan berdasarkan pada
perbedaan kelarutan dari suatu solvent (solvent power) terhadap suatu komponen tertentu di
dalam campuran. Dengan adanya penambahan solvent pada campuran maka akan terbentuk
dua fase cairan, yaitu :

 fase ekstrak yang kaya akan solvent.


 fase raffinate yang mengadung sedikit solvent.

Tidak semua komponen yang ada di dalam feed akan terdistribusi penuh pada fase raffinate
dan ektrak. Agar terjadi pemisahan maka proses yang diharapkan adalah terakumulasinya
komponen tertentu hanya pada fase ektrak atau fase raffinate saja. Pada proses ekstraksi
yang paling sederhana yaitu proses ekstraksi satu tahap secara batch, cairan (oil) dan solvent
akan dicampur di dalam vessel berpengaduk sehingga kedua cairan tersebut akan bercampur
secara sempurna dan terbentuk kontak area yang luas sehingga memungkinkan terjadinya
transfer massa antar fase sampai dengan tercapai kesetimbangan komposisi pada fase
ekstrak-raffinate. Campuran tersebut kemudian ditransfer ke settler dimana akan terjadi
proses pemisahan secara gravitasi berdasarkan perbedaan berat jenis. Kedua fase tersebut
kemudian dipisahkan dari solvent dengan proses distilasi menjadi produk ekstrak dan
raffinate.

5.1.2.3 Rotating Dics Contactor ( RDC )

Disain unit ekstraksi pada awalnya dengan menggunakan packed column yang terdiri dari
beberapa packing bed. Efisiensi yang dapat dicapai dengan menggunakan sistem ini tidak
terlalu baik dimana dibutuhkan kolom ekstraksi yang tingginya mencapai 30 m dan terdiri dari
sembilan bed “packing”.

Pada unit ekstraksi modern saat ini seperti Unit FEU sistem yang digunakan adalah Rotating
Disc Contactor ( RDC) dimana dengan cara ini effisiensi proses ekstraksi menjadi tinggi. RDC
terdiri dari sebuah kolom vertikal yang dibagi dalam beberapa kompartemen dengan rotating
disc yang ditempatkan di tengah kompartemen dan di-support dengan rotating shaft.
42

Perancangan ini sudah mempertimbangkan bahwa tidak diperlukan lagi setling space, karena
derajat dispersi sudah mencukupi pada seluruh column. Column dilengkapi dengan stator ring
yang dipasang secara seri untuk menghubungkan antar kompartemen dengan terdapat
horizontal disc contactor di antaranya pada rotating shaft.

Gambar 4.1 RDC

Inlet feed dan solvent diposisikan dibagian yang berlawanan (opposite; upper dan lower) dari
RDC. Cairan dengan berat jenis rendah masuk ke RDC melalui bottom dan mengalir ke atas
yang kemudian mengalami kontak secara countercurrent dengan cairan yang mempunyai
berat jenis lebih besar/berat yang akan mengalir ke bawah. Dengan mengoperasikan rotor di
RDC akan menyebabkan cairan di RDC terdispersi. Kecepatan rotor dapat divariasikan untuk
mengatur ukuran droplet pada fase dispersi.

Jika level interface terbentuk pada bagian bottom RDC maka cairan dengan berat jenis yang
lebih tinggi akan berada di dalam fase dispersi dan begitu pula sebaliknya. RDC dirancang
sesuai dengan jumlah tahap yang diperlukan untuk proses ekstraksi. Sebagai contoh jika
RDC mempunyai empat tahap ekstraksi maka kualitas produk raffinate yang dihasilkan sama
dengan apabila proses ekstraksi ideal dengan menggunakan empat buah settler.

5.1.2.4 Ekstraksi Furfural

Pada proses ekstraksi dengan menggunakan solvent furfural komponen feed yang terdiri dari
campuran hydrocarbon aromatic, naphtenic, dan parafinic dikontakkan dengan solvent
furfural. Furfural mempunyai solvent power yang lebih tinggi terhadap hydrocarbon aromatic
daripada pariffinic. Dengan kata lain furfural akan mengikat komponen aromatik yang
mempunyai VI lebih rendah dan tidak mengikat komponen yang non aromatik yang
mempunyai VI lebih tinggi sebagai produk raffinate dimana komponen ini juga mempunyai
kestabilan lebih tinggi.

Furfural memiliki selektivitas yang baik pada range lube oil karena sifat light-heavy
selektivitas-nya yang rendah. Sifat light-heavy selektivitas ini sangat penting terhadap
43

komponen feed distillate yang memiliki boiling range yang lebar. Kelarutan heavy aromatic
akan sama dengan light parrafin. Pada proses dengan hybrid mode, rasio solvent/ feed lebih
rendah daripada pada solvex mode sehingga RDC beroperasi pada ketejaman pemisahan
yang lebih rendah dan mempunyai yield produk raffinate yang lebih tinggi.

5.1.2.5 Campuran Azeotrop

Air secara kontinyu dimasukkan ke dalam sistem dalam bentuk strpping steam pada seksi
raffinate dan ekstrak solvent recovery. Air dan furfural saling melarutkan secara partial dan
membentuk dua fase yaitu fase ringan yang kaya air mengandung 10.8 %-wt furfural dan fase
berat yang kaya furfrual mengandung 9.0 %-wt air (pada temperatur 60 o C). Adanya air yang
terlarut ini akan menurunkan solvent power furfural terhadap hydrocarbon, oleh karena itu
perlu dipisahkan dahulu sebelum dilakukan recycle ke RDC. Begitu juga dengan furfural perlu
dilakukan proses recovery dari fase sebelum air tersebut dibuang. Hal ini bertjujuan untuk
mengurangi solvent loss.

Secara teoritis air dan furfural mudah dipisahkan dengan distilasi biasa karena mempunyai
perbedaan titik didih yang cukup tinggi yaitu 100 o C dan 162 o C. Tetapi pada kenyataannya
air dan furfural membentuk campuran azeotrop pada temperatur rendah. Komposisi azeotrop
air-furfural adalah pada 35 %-wt furfural dan mempunyai boiling point 98oC. Karena fraksinasi
hanya dapat dilakukan sejauh pada komposisi yang mempunyai perbedaan titik didih yang
cukup tinggi, maka tidak memungkinkan dilakukan pemisahan secara distilasi dengan single
column.

Proses pemisahan yang paling baik antara campuran azeotrop dan air murni atau furfural
murni di overhead atau di bottom column tergantung pada komposisi feed column apakah
mempunyai komponen furfural lebih tinggi atau lebih rendah dibanding campuran azeotrop-
nya. Untuk memisahkan furfural dan water secara sempurna maka diperlukan dua column
pemisah. Fase berat yang kaya furfural diumpankan pada column pertama dimana furfural
diambil sebagai bottom produk dan campuran azeotrop sebagai produk overhead. Fase
ringan yang kaya air diumpankan pada column kedua dimana air dipisahkan pada bottom
colunm dan azeotrop pada overhead column. Overhead kedua column kemudian bergabung
dan dikondasasi dengan pendinginan sampai dengan temperatur 60oC. Pada temperatur ini
azetrop akan terpisah menjadi dua fase liquid.

5.1.3 Uraian Proses

5.1.3.1 Seksi Ekstraksi

Feed dari intermediate tank dipompakan melalui charge oil preheater atau charge oil cooler ke
bottom RDC. Dry furfural dari bottom fraksinasi column didinginkan dengan pertukaran panas
dan air cooler sesuai temperatur ekstraksi sebelum masuk ke Top RDC. Furfural yang lebih
berat dari feed distillate mengalir secara gravitasi setelah kontak dengan feed secara
countercurrent serta mengikat hydrocarbon aromatic dan keluar sebagai produk bawah pada
fase ekstrak. Komponen hydrocarbon yang tidak terlarut seperti pafaffin dan mono-aromatic
terkumpul di top RDC sebagi produk raffinate dan dikirim ke seksi raffinate recovery. Gradien
temperatur di RDC diperoleh dengan cara memasukkan feed dengan temperatur yang lebih
rendah dibanding furfural. Dengan demikian furfural mempunyai solvent power yang tinggi
pada top RDC dan selectivity yang tinggi pada feed section RDC.

Produk ekstrak-mix yang meninggalkan bottom RDC masih mengandung komponen parafinic.
Aliran ekstrak-mix setelah didinginkan di air cooler akan terjadi pemisahan di settler antara
komponen parafin dari larutan dan membentuk layer. Kedua layer tersebut terpisah di settler
menjadi (1) pseudo-raffinate yang berada di bagian atas dan (2) ekstrak yang berada di
bagian bawah. Pseudo-raffinate dipompakan kembali ke bottom RDC untuk menaikkan
raffinate recovery sedangkan campuran ekstrak dikirim ke seksi ekstrak recovery. Aliran
44

keluar dari RDC baik extract-mix maupun raffinate-mix ke seksi solvent recovery
menggunakan tekanan dari Kolom RDC.

5.1.3.2 Seksi Raffinate Recovery

Fase raffinate-mix meninggalkan top RDC mengandung 15 sampai dengan 28 %-wt furfural,
tergantung pada mode operasi “solvex“ atau “hybrid” serta jenis grade feed yang diolah.
Setelah dipanaskan aliran raffinate-mix kemudian dikirim ke raffinate vacuum flash dan
stripping column Panasan diperoleh dari sirkulasi hot oil.

Furfural diambil dengan proses flashing secara vacuum, di-strip dengan superheated LP
steam dan dilewatkan ke furfural drying section . Sistem vacuum dipertahankan dengan
steam ejector . Raffinate yang telah terbebas dari furfural didinginkan dan dipompa ke
intermediate tank untuk proses lebih lanjut di Unit HTU/RDU (hybrid mode) atau langsung ke
Unit MDU (solvex mode). Pada hybrid mode yield raffinate lebih tinggi sehingga diperlukan
dua train recovery raffinate (Unit FEU II). Sedangkan untuk solvex mode hanya membutuhkan
satu train (Unit FEU I). Dengan demikian jika Unit FEU II dioperasikan dengan solvex mode
maka cukup menggunakan satu train.

5.1.3.3 Seksi Extract Recovery

Aliran ekstrak-mix keluar dari bottom extraction settler mengandung 80 sampai dengan 90 %-
wt furfural. Proses recovery furfural di seksi recovery ekstrak dengan menggunakan double-
effect evaporation untuk mencapai heat maksimum yang ekonomis. Selain dengan evaporasi,
pemisahan solvent juga disempurnakan dengan vacuum flash dan dilakukan proses steam
stripping. Campuran ekstrak dari settler dipanaskan dengan rangkaian pemanas sebelum
masuk ke LP Flash Column yaitu menggunakan aliran sirkulasi solvent dari bottom furfural
fractionator (furfural accumulator) dan memanfaatkan panas yang dilepas pada saat
mengkondensasi uap furfural dari HP dan LP Flash Column. Di LP Flash Column yang
bertekanan sedikit diatas atmosfer sekitar 40 % furfural akan mengalami penguapan.

Cairan dari bottom LP Flash Column kemudian dipanaskan menggunakan hot oil sampai
dengan dengan temperatur 230 oC dan diumpankan ke HP Flash Column yang dioperasikan
pada tekanan 2 kg/cm 2 g. Di HP Flash Column sekitar 90 % furfural akan ter-flash dan
selanjutnya bottom HP Flash Column dipanaskan dengan hot oil sampai dengan 204 o C
sebelum diumpankan ke vacuum flash stripping column. Disini furfural akan dipisahkan
dengan flashing dan stripping menggunakan superheated LP steam (seperti pada raffinate
recovery section). Ekstrak dari produk bottom column didinginkan dan dikirim sebagai
komponen blending refinery/industrial fuel oil atau sebagai komponen blending bitumen
(khusus DAO ekstrak). Produk overhead stripping column kemudian dikirim ke Seksi Furfural
Drying dan Water Removal.

5.1.3.4 Seksi Furfural Drying dan Water Removal

Wet furfural vapor dari extract dan raffinate stripping column dikondensasikan menggunakan
cooling water dan dikumpulkan di vessel decanter. Recovery furfural dari overhead stripper
sangat kompleks karena furfural dan air membentuk campuran azeotrop (constant boiling
mixture). Untuk memisahkan keduanya maka diterapkan dua proses yaitu kombinasi distilasi
dengan pemsiahan fisika. Pada proses pemisahan fisika (gravity) overhead stream
dikondensasi dilanjutkan dengan pendinginan dan dikumpulkan di decanter yang akan
memisah menjadi dua layer yaitu:

 Lapisan atas (air) yang masih mengandung sedikit furfural.


 Lapisan bawah (furfural) lyang masih mengandung sedikit air.

Lapisan atas dari decanter yangbanyak mengandung air dipompakan ke furfural stripper, dan
dilakukan proses stripping dengan menggunakan LP steam. Di sripper column ini furfural
45

distrip off sebagai overhead vapour dan setelah dikondensasi, didinginkan, dikembalikan ke
decanter. Decanter beroperasi pada tekanan atmosfer dan diblanket dengan inert gas. Bottom
produk berupa air yang bebas furfural dilakukan drain.

Lapisan bawah decanter yang banyak mengandung furfural dipompakan dari decanter ke
bagian atas Furfural Fractionator. Sebagian aliran dikembalikan ke bagian overhead ekstrak
dan raffinate stripping column sebagai aliran refluks. Hasil kondensasi vapor dari LP flash
column juga digunakan sebagai feed di fraksinator furfural. Sejumlah kecil HP vapor dari
ekstrak HP flash column juga dikirim ke fraksinator furfural sebagai pengontrol kesetimbangan
panas. Campuran furfural / air meninggalkan top column setelah dikondensasi dan
didinginkan selanjutnya dikembalikan lagi ke decanter. Dry furfural murni dikumpulkan di
bottom fraksinator furfural sebagai penampung furfural (furfural accumulator). Dari furfural
accumulator tersebut kemudian dipompakan melalui heat exchanger untuk pendingiinan
dengan memanaskan aliran extract-mix dari bottom settler sebelum kembali ke RDC. Untuk
mengganti furfural yang hilang selama proses (melalui aliran produk raffinate, ekstrak dan
drain air), maka dilakukan make up dari furfural storage ke furfural fractionator. Chemical
sodium bicarbonate diinjeksikan ke furfural sistem untuk menetralisir komponen bersifat asam
yang terbentuk akibat dekomposisi furfural.

5.2 Basis Disain

5.2.1 Umum

Unit ini dirancang untuk menghilangkan komponen yang tidak stabil dan VI yang rendah yaitu
komponen aromatic dan menghasilkan produk waxy distillate dari feed waxy distillate ex Unit
HVU’s dan DAO ex Unit PDU. Pasca DPC Unit FEU II dirancang beroperasi dengan hyrid
mode mengolah 3 grade feed LMO, MMO dan DAO serta Unit FEU I beroperasi dengan
solvax mode mengolah hanya grade SPO.

5.2.2 Kapasitas Disain Unit

Tabel 5.1 Kapasitas Disain Unit FEU I Pasca DPC


Feed Raffinate Extract Opr.
Case
T/A T/A T/A Days
Solvex Mode :
- HVI 60 141100 84660 56440 340

Tabel 5.2 Kapasitas Disain Unit FEU II Pasca DPC


Feed Raffinate Extract Opr.
Case
T/A T/A T/A Days
Solvex Mode :
- HVI 60 50555 30333 20222 32
- HVI 95 82776 51321 31455 54
- HVI 160 174964* 82233 92731 151
- HVI 650 97162 64127 33035 98
Hybrid Mode :
- HVI 100 185300 148240 37060 85
- HVI 160 211110 168888 42222 93
- HVI 650 251826 206565 45261 141
* Feed MMO waxy raffinate berasal dari HVU-I (33.354 t/a) dan HVU-II ( 141.610 t/a)

Dari crude Arabian Light Unit FEU menghasilkan sekitar 228.000 t/a waxy raffinates dengan
solvex mode dan sekitar 524.000 t/a waxy raffinates dengan hybrid mode. Unit FEU’s
dirancang dengan minimum hari on stream 320 hari kalender per tahun (berdasarkan on
stream hari operasi Unit HTU/RDU).
5.2.3 Disain Kondisi Operasi Unit FEU II -Tabel 5.3
46

Furfural Recovey Section

Extract mix hot-oil heater outlet (E-105’s)


Temperatur on pocess side , oC max 225

Decanter (V-103) temperature , oC 60

Furfural Fractionator (C-104)


- Furfural content of overheac % wt 62 - 80
- Bottom temperature , oC 166

Extract / Raffinate Vacuum Flash


- Columns (C-106, C-107, C-108) feed inlet temperature , oC 204

Furfural Stripper (C-105)


- Top temperature , oC 100-109
- Furfural content of overheads, %-wt 29.3
- Furfural content of bottoms, ppm max 100

5.2.4 Properties Feed dan Produk Unit FEU II– Tabel 5.4

5.2.5 Data Yield Unit FEU II dan Unit FEU II


47

Tabel 5.5 Disain Yield Unit FEU I Pasca DPC


Feed Raffinate Extract Yield (%-wt)
Case
T/D T/D T/D Raffinate Extract
Solvex Mode :
- HVI 60 415 249 166 60.0 40.0

Tabel 5.6 Disain Yield Unit FEU II Pasca DPC


Feed Raffinate Extract Yield (%-wt)
Case
T/D T/D T/D Raffinate Extract
Solvex Mode :
- HVI 60 1580 948 632 60.0 40.0
- HVI 95 1533 950 583 62.0 38.0
- HVI 160 1159 545 614 47.0 53.0
- HVI 650 991 654 337 66.0 34.0
Hybrid Mode :
- HVI 100 2180 1744 436 80.0 20.0
- HVI 160 2270 1816 454 80.0 20.0
- HVI 650 1786 1465 321 82.0 18.0

5.2.6 Kondisi Batery Limit – Tabel 5.7

Stream Temp. (oC) Dari / Ke


Feed Waxy Distillate :
- HVI-60 (Solvex) Max. 80 Dari Tanki Intermediate
- HVI-95 (Solvex/Hybrid) Max. 80 Dari Tanki Intermediate
- HVI-160 (Solvex) Max. 80 Dari Tanki Intermediate
- HVI-650 (Solvex) Max. 90 Dari Tanki Intermediate
Deasphalted Oil (DAO)
- HVI-650 (Solvex) Max. 80 Dari Tanki Intermediate
- HVI-650 (Hybrid) Max. 90 Dari Tanki Intermediate
Raffinate Rundown 75 Ke Tanki Intermediate
Extract Rundown (kecuali HVI-650) 90 Ke Refinery Fuel
Ke Refinery Fuel dan Bitumen
Extract Rundown (HVI-650) 90
Blending

Unit 5.2.7 Batasan Furfural dari Slops dan Air di Feed

Unit FEU II dirancang untuk melakukan handling :

- Furfural dari slops : 0.5 %-wt. on flow sirkulasi furfural


- Air di feed distllate : 1.0 %-wt, on flow feed

Unit 5.2.8 Sifat Fisis Furfural

Struktur Molekul Furfural (C5H4O2)


48

Sifat Fisika Furfural :

- Molecular Weight 96.1


- Melting Point, oC -36.5 (tekanan atmospheric)
- Boiling Point, oC 161.7 (tekanan atmospheric)
- Specific Gravity 15 oC 1.165
- Panas Penguapan, kcal/kg 108 (tekanan atmospheric)
- Kelarutan pada suhu 60 oC
+ Air di Furfural, %-wt 9
+ Furfural di Air, %-wt 11
- Flash Point, oF (oC) 152 – 159 (66.7 – 70.6)
- Ignition Tempereature, oF (oC) 739 (393)
- Cloud Point, oC 57
- Refractive Index at 20 oC 1.5261
- Temp. Kritis, oC 387
- Tekanan Kritis, kg/cm2 51

Spesifkasi Pembelian Furfural UP IV – Tabel 5.8

Parameter Unit Metode Limits


Density at 15 oC g/ml ASTM D 4052 Min. 1,159
Water Content %-wt UOP 481 Max. 0,20
o
Flash Point PMcc C ASTM D 93 Min. 55
Ref. Index at 20 oC - ASTM D 1218 1,521 – 1,527
Acidity mg KOH/gr ASTM D 974 Max. 0,40
Colour ASTM - ASTM D 1500 Max. 3,0
Solubility at 60 oC :
- Water in Furfural %-wt - 8,0 – 9,0
- Furfural in Water %-wt - 10,0 – 12,0
Distillation - -
o
IBP C Min. 149
o ASTM D 1078
DP C Max. 170
Recovery %-Vol Min. 98,5
Appearance - Visual C&B
Demulsification Min. - Max. 10

Furfural memiliki group selectivity yang baik dan dalam range komponen lube oil memiliki
light-heavy selectivity yang rendah. Karena memiliki solvent power yang baik, temperatur
ekstraksi yang diperlukan furfural pada tingkat yang tidak sulit dilakukan yaitu antara 70 oC s/d
140 oC. Dengan memiliki sifat selektivitas dan solubilitas tersebut, rasio solvent yang
diperlukan ralatif rendah yaitu antara 1.1 s/d 4.1 basis volume.

The spesific gravity dari furfural cukup tinggi untuk meyakinkan beda berat jenis yang
mencukupi sehingga didapat settling rate yang memadai. Tegangan permukaan dari furfural
dengan minyak cukup tinggi untuk menghindari pembentukan emulsi. Titik didih furfueal juga
cukup rendah sehingga mudah dipisahkan dari komponen lube base oil dengan proses
distilasi. Furfural memiliki keterbatasan operasi disebabkan dapat mengalami degradasi pada
temperature tinggi (misal 230 oC) yang membentuk material asam dan polimer seperti coke.

Inhibitor

Disain inhibitor yang digunakan adalah sodium bicarbonate-Sobi (NaHCO3). Sebelum


digunakan untuk injeksi inhibitor ini akan dilarutkan terlebih dahulu menggunakan air dengan
49

konsentrasi inhibitor 10 %-wt dengan jumah injeksi sebanyak 5 ppm-wt on sirkulasi furfural
pada basis konsentrasi Sobi 100 %. Alternatif posisi injeksi Sobi adalah sbb :

 Line outlet dari furfural-water condenser E-108 ke Decanter V-103.


 Line extract mix ke exchanger E-107.

5.3 Pengaturan Kondisi Operasi

5.3.1 Umum

Target pengaturan kondisi operasi di Unit FEU adalah sbb :

1. Untuk mendapatkan kualitas dan kuantitas produk utama (dalam hal ini Raffinate).
Kuantitas produk Raffinate ditunjukkan dengan parameter yield sedangkan kualitas produk
raffinate meliputi parameter sbb :
 Min. Viskositas Kinematic (Vk @ 100 oC) : parameter ini diperlukan untuk
mendapatkan target viskositas lube base oil HVI-650 sesuai dengan spesifikasi.
 Max. Refractive Index (RI) : parameter ini sebagai tolok ukur banyaknya kandungan
komponen dengan VI yang rendah (komponen aromatic) dimana semakin tinggi
parameter RI maka semakin tinggi kandungan aromatic di raffinate.
 Min. Flash Point : parameter ini untuk menjaga tercapainya spesifikasinya flash point
produk akhir lube base oil.
2. Meminimalkan terjadinya loss solvent furfural baik melalui stream produk Raffinate, produk
ekstrak, water to drain ex furfural stripper column (C-105). Untuk meminimalkan terjadinya
loss furfural maka dilakukan monitoring kandungan parameter furfural content di stream
tersebut dan analisa flash point di stream ekstrak juga dapat menjadi indikasi tingginya
kandungan furfural.
3. Memonitor kondisi sirkulasi solvent furfural dengan melakukan analisa pH air di outlet
decanter V-103 (sisi air) dan produk bottom C-105 (water to drain) sebagai basis
pengaturan injeksi inhibitor Sobi.

Target spesifikasi stream feed dan produk di atas untuk Unit FEU I (solvex mode) dan Unit
FEU II (hybrid mode) pasca DPC pada seluruh grade dapat dilihat pada tabel di halaman
berikut.

5.3.2 Pengaruh Kualitas Feed


Mengingat furfural memiliki keterbatasan dalam light-heavy selectivity, maka jika umpan feed
waxy distillate dari Unit HVU’s memiliki rentang distilasi yang terlalu lebar akan
mengakibatkan yield raffinate mengalami penurunan. Jika rentang distilasi terlalu sempit hal
ini tidak menimbulkan permasalahan untuk Unit FEU’s namun akan menimbulkan rendahnya
yield distillate dari Unit HVU’s yang pad akhirnya akan berpengaruh pada jumlah feed Unit
FEU’s. Kondisi yang sama juga terjadi untuk feed DAO dari Unit PDU’s. Jika ekstraksi di PDU
terlalu dalam akan mengakibatkan produk DAO memiliki viskositas yang terlalu tinggi serta
rentang titik didih yang lebar.
50

4.3.3 Variabel Operasi


 Temperatur Top RDC : semakin tinggi temperature diperlukan dengan semakin
bertambahnya viskositas feed untuk mendapatkan kelarutan yang baik oil di furfural
sehingga dapat menurunkan penggunaan solvent. Namun perlu diingat semakin tinggi
temp. maka kelarutan furfural di oil juga bertambah juga solvent power.
Semakin tinggi temperature maka kelarutan fasa kontinu dan terdispersi akan berdekatan
sehingga komponen raffinate akan semakin mudah terbawa dengan aliran ekstrak (bottom
RDC). Disamping itu dengan bertambahnya kelarutan furfural dalam oil dengan
bertambahnya tempeture maka beban di seksi furfural recovery akan bertambah.
 Temperatur Settler : jumlah komponen pseudo-raffinate yang terbentuk di settler
bergantung pada delta temp. antara bottom RDC dengan temp. settler. Pada prinsipnya
semakin rendah temp. maka semakin banyak pseudo-raffinate yang di-recycle ke RDC
sehingga menambah yield raffinate. Namun hal ini dapat mengakibatkan flooding di
bottom RDC jika jumlah aliran pseudo-raffinate terlalu besar sehingga akan
mengakibatkan terbawanya pseudo-raffinate ke gross extract-mix keluar dari settler.
 Gradien Temp. Ekstraksi : hal ini dapat dicapai dengan memasukkan furfural ke RDC
pada temp. yang lebih tinggi daripada feed dan dengan melakukan pendinginan di settler
(lihat Tabel 5.3).
 Rasio Solvent : menaikkan rasio solvent akan menaikkan kelarutan dari solvent dan
mengurangi kandungan aromatik pada raffinate sehingga menaikkan VI. Namun hal
tersebut akan mengurangi yield raffinate. Namun juga perlu diperhatikan penambahan
beban di sistem solvent recovery.
 Kecepatan Rotor RDC : pada saat feed unit maksimum umumnya rotor tidak perlu
dijalankan disebabkan hal tsb dapat mengakibatkan flooding di RDC.
 Tekanan RDC : tekanan operasi di RDC tidak berpengaruh terhadap proses ekstraksi.
Namun variabel ini diperlukan untuk mengalirkan raffinate dan extract ke Seksi Solvent
Recovery.

Ringkasan variabel operasi di RDC dan pengaruhnya terhadap kualitas dan yield DAO dapat
dilihat pada tabel sbb :
51

Tabel 5.10 Variabel Operasi di RDC


Raffinate
Parameter Operasi
Yield RI VI Colour Sulphur Nitrogen
Temp. Top RDC Naik - - + - - -
Temp. Top RDC Turun + + - + + +
Rasio Solvent Naik - - + - - -
Rasio Solvent Turun + + - + + +
Temp. Settler Naik - - + - - -
Temp. Settler Turun + + - + + +

5.4 Proses Operasi

Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses operasional di Unit FEU’s :

5.4.1 Kondisi Ekstraksi


Dari uraian sebelumnya telah disampaikan pengaturan kondisi operasi untuk mendapatkan
kualitas raffinate sesuai dengan target. Namun demikian dalam kondisi normal, variabel yang
umumnya diopearasikan untuk menjaga proses ekstraksi yang konstan adalah dengan
memvariasikan temp. top RDC. Semakin tinggi temp. ekstraksi akan meningkatkan VI produk
lube base oil. Temp. settler juga divariasikan untuk menjaga aliran pseodo-raffinate yang
konstan. Semakin tinggi temp. settler maka aliran pseudo-raffinate akan menurun.

5.4.2 Temp. dari Heater Ekstrak Mix (E-105)


Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya furfural akan terdegradasi pada temp. di atas
230 oC membentuk lapisan coke yang keras di dalam internal tube sehingga mengurangi
transfer panas dan pada akhirnya mengurangi kapasitas feed unit. Untuk itu di E-105
dilengkapi dengan temp. alarm di aliran outlet furfural. Adapun heater lainnya E-111, 115, 121
di LOC II juga dilengkapi dengan alarm, namun mengingat kapasitas transfer panas dan
kondis temp. tidak setinggi di E-105 maka hal tersebut tidak banyak menjadi masalah.

Dua hal penting yang harus diperhatikan dalam pengoperasian heater dengan hot oil sebagai
pemanas :

Kecepatan Aliran
Untuk mencegah terjadinya pembentukan coke di tube maka kecepatan aliran di dalam tube
tidak kurang dari 80 % disain, jika kecepatan berada di bawah 60 % disain maka terjadi
proses coking yang sangat cepat. Pada saat unit beroperasi pada feed yang lebih rendah
maka beberapa hal yang dapat dilakukan adalah sbb :

 Menaikkan solvent ratio (menurunkan temp. ekstraksi untuk menjaga proses ekstraksi
pada kedalaman yang sama).
 Mengurangi penguapan di LP Column
 Melakukan injeksi furfural ke bottom LP Column melalui line refluks ke LP Column.
 Menurunkan tekanan HP Column untuk menjaga laju alir volumetrik uap.
 Membuka recycle dari bottom HP Col. ke recycle LP Col. feed.
 Mengoperasikan hanya dua train ekstrak mix heater di LOC II (total 3 train).

Temperature
Sekalipun dilakukan kontrol pada temp. outlet furfural dari ekstrak mix heater, namun
temperatur tertinggi terjadi saat furfural mulai teruapkan. Kondisi ini bergantung pada tekanan
sistem dimana tekanan ini akan bertambah sebagai konsekuensi terjadinya proses fouling di
tube ekstrak-mix. Sebagai gambaran kenaikan tekanan 1 kg/cm2 akan meningkatkan boiling
point sebanyak 10 oC.
52

5.4.3 Loss Furfural


Furfural merupakan solvent yang mahal sehingga diperlukan upaya semaksimal mungkin
untuk mengurangi loss.

 Menjaga sirkulasi furfural konstan dan berubah jika kapasitas feed berubah.
 Temp. maks. di sistem solvent recovery adalah 225 oC. Untuk meminimalkan temp. film
proses maka temp. hot oil dijaga serendah mungkin namun tidak melampaui 315 oC.
 Tekanan flash point produk yang rendah merupakan indikasi tingginya solvent. Upaya
yang dapat dilakukan adalah menambah stripping steam.
 Level interface yang tinggi di Decanter sisi kaya furfural yang kemudian akan mengalir ke
sisi kaya air. Furfural kemudian akan membebani furfural stripper C-105 dan sebagian
furfural akan mengalir bersama aliran water-to drain dari bottom C-105.
 Blanketing dengan inert gas untuk meminimalkan degradasi.

5.4.4 Tekanan HP Flash Column (C-103 A)


Sehubungan dengan temp. maks inlet HP Flash Col. C-103 A adalah 225 oC, sehingga satu-
satunya variabel operasi adalah tekanan. Penurunan tekanan akan menambah penguapan
sehingga akan menambah beban E-105 (temp. inlet E-105 turun). Untuk menjaga tingkat
penguapan maka dapat dengan menurunkan temp. outlet E-105 dengan penurunan tekanan
di C-103 A.

5.4.5 Refluks

- C-103 A Refluks digunakan untuk desuperheating uap di overhead,


mencegah entrainment extract, dan meyakinkan seluruh tray
tercuci dengan furfural untuk menghindari coking.
- C-103 B Refluks hanya digunakan jika terjadi indikasi entrainment
extract; jika tidak hal ini akan menambah beban dari E-105.
- C-106,107, dan 108 Refluks digunakan untuk desuperheating uap di overhead,
(LOC II) mencegah entrainment extract. Minimun flow sebaiknya
digunakan jika tidak akan menambah flow stripping steam.

5.4.6 Refractive Index dan Yield Raffinate


Parameter refractive index selain berguna untuk monitoring kualitas, juga dapat digunakan
untuk memeriksa yield raffinate dengan persamaan sbb :

SG 70 Raff (RI Ekstrak  RI Feed )


Yield by RI 
SG 70 Feed (RI Ekstrak  RI Raff .)

Parameter RI yang digunakan pada temp. 70 oC.


23 E-1
HOS
H OS

23 E-11
CW

23 E-8 23 E-9AB 23 E-12


HOS
23 E-7

23 E-4 C-3A
C WS C-6 C-7
LPS C-5
MPS
LT CWR
V-3 23 E-15
C -2 C -3B
23 E-5AB C-4
V-1 23 E-10AB

23 E-6AB LPS LPS 23 E-13AB

CW
CW

LPS R AFFIN ATE

EXTR AC T

23 P-4

23 E-7
41 P-3AB 23 P-3 23 P-5AB 23 P-7AB 23 P-8 23 P-9

Inj. SO BI

PRO CESS FLOW DIAGRAM


FEU ( 23 ) LOC - I

REV

KETERANGAN :
41 P-3AB FEED PUMPS UNIT 23 23 C-2 ROTATING DISC. CONTRACTOR
23 E-1 SOLVENT TRIM COOLER 23 E-11 EXTRACT VACUUM TWR HOT OIL
23 P-3 PSEUDO RAFF. CIRC. PUMP 23 C-3AB EXTRACT COLUMN 23 E-4 RDC INTERCOOLER 23 E-12 FINISH EXTRACT COOLER
23 P-4 EXTRACT HEATER CHARGE PUMP
23 C-4 FURF. FRACTIONATOR 23 E-5AB HOT OIL & EXTRACT MIX EXCHANGERS
23 E-13AB FINISHED RAFF. COOLER
23 P-5AB SOLVENT CHARGE PUMPS 23 C-5 FURF. STRIPPER 23 E-6AB HP VAPOUR EXTRACT MIX EXCHANGER
23 E-14AB RAFF. MIX / FINISHED RAFF. EXCHANGER
23 P-7AB FURF. FRACT. CHARGE PUMPS 23 C-6 EXTRACT VACUUM COLUMN 23 E-7 LP VAPOUR EXTRACT MIX EXCHANGER
23 E-15 RAFF. MIX / HOT OIL HEATER
23 P-8 FURF. STRIPPER CHARGE PUMP
23 C-7 RAFF. VACUUM COLUMN 23 E-8 CBM CONDENSER 23 E-17 SOLVENT / EXTRACT MIX EXCHANGER
23 P-9 FINISH EXTRACT PUMP 23 V-1 CONTRACTOR SETLING DRUM
23 E-9AB WET FURFURAL CONDENSER
23 P-10AB FINISHED RAFF. PUMPS 23 V-3 DECANTER 23 E-10AB VACUUM EJECTOR CONDENSERS
53
023-E-101 C-107

CWS
023-E-111
E-115

CWR

HOR E-114
H OS
AB
C -103 A
023-E-104 LPS C WR
023-E-108
023-E107
LPS C -106
A
E-113 AB

HOS E-118 023-P-10 AB


C WS
C -102 V-101 V-103 E-109
AB
C-105
B C-104 MPS RAFFINATE

ABCD
023-E105
023-E106
CWS
C-103 B AB LPS
E-103 HOR
LPS

LPS C-108
E-102 023-P-103 H OS

023-E117 E-121
CW
( NEW )
E-110 AB

HOR

E-120 A B
023-P-104 023-P-105 AB 023-P-107 AB 023-P-108 023-P-116 AB 023-P-109 ( NEW )
CWS
041-P-101 AB CWR
023-E-112
LPS
E-119
( NEW )

023-P-118
CWS
( NEW )
EXTRACT RAFFIN ATE

PROCESS FLOW DIAGRAM


FEU ( 023 ) LOC - II
REV
I

041-P-101 AB : FEED PUMPS 023-C-102 : ROTATING DISC. CONTACTOR 023-E-101 : SOLVENT TRIM COOLER 023-E-112 : FINISHED EXTRACT COOLER
023-P-103 : PSEUDO RAFF. CIRC. PUMP 023-C-103 AB : EXTRACT HP/LP FLASH COLUMN 023-E-102 : CHARGE OIL PREHEATER 023-E-113 AB : FINISHED RAFFINATE COOLER
023-P-104 : EXTRACT HEATER CHARGE PUMP 023-C-104 : FURFURAL FRACTINATION 023-E-104 : RDC INTER COOLER 023-E-114 AB : FINISHED RAFFINATE / RAFF. MIX EXCHANGERS
023-P-105 : SOLVENT CHARGE PUMP 023-C-105 : FURFURAL STRIPPER 023-E-105 AB : EXTRACT MIX EXCHANGER 023-E-115 : RAFFINATE MIX / H. OIL HEATER
023-P-107 AB : FURFURAL CHARGE PUMP 023-C-106 : EXTRACT VACUUM COLUMN 023-E-106 AB : HP VAPOUR EXTRACT MIX EXCHANGER023-E-117 : FURFURAL / EXTRACT MIX EXCHANGERS
023-P-108 : FURFURAL STRIPPER CHARGE PUMP 023-C-107 : RAFINATE VACUUM COLUMN 023-E-107 : LP VAPOUR EXTRACT MIX EXCHANGER023-E-119 : FINISHED RAFFINATE COOLER
023-P-109 : FINISH EXTRACT PUMPS 023-C-108 : RAFINATE VACUUM COLUMN 023-E-108 : CONDENSER 023-E-120 AB : RAFFINATE MIX EXCHANGERS
023-P-110 AB : FINISH RAFFINATE PUMPS 023-V-101 : CONTRACTOR SETLING DRUM 023-E-109 AB : WET FURFURAL CONDENSER 023-E-121 : RAFFINATE MIX / H. OIL HEATER
023-P-118 (NEW) : FINISHED RAFFINATE PUMP 023-V-103 : DECANTER 023-E-110 AB : VACUUM EJECTOR CONDENSER 023-E-118 : FURFURAL STRIPPER BOTTOM / FEED EXCHANGER
023-E-111 : EXTRACT MIX / H. OIL HEATER
54
55

6. HYDROTREATING UNIT (HTU / RDU)

6.1 Pengenalan Proses

Di dalam proses produksi lube base oil, pengambilan komponen yang tidak diinginkan seperti
aromatik atau komponen lain yang mempunyai viskositas index rendah selain dapat
dipisahkan dengan proses ekstrasi dengan menggunakan solvent, dapat juga dengan cara
melakukan konversi komponen yang tidak diinginkan tersebut di reaktor dengan
menggunakan katalis dan gas hydrogen menjadi lube base yang mempunyai viskositas index
tinggi dan produk samping BBM yang mempunyai nilai tambah tinggi.

Pada Lube oil Hydrotreater (HTU LOC – III ) feed dicampur dengan hydrogen direaksikan di
reaktor menggunakan katalis jenis Nickel – Molibdenum (Ni-Mo) dengan support material
Alumina. Selama proses konversi dengan pengontrolan terhadap temperatur dan pressure,
terjadi reaksi – reaksi sebagai berikut :

 Reaksi pemurnian (hydrogenation komponen sulphur, oksigen, nitrogen).


 Reaksi penjenuhan hydrogen (Saturation reaction: hydrogenation of aromatic and poly-
aromatic, alkyl group transfer, hydrogenation olefin and condensation of aromatic).
 Reaksi perengkahan (hydrocracking reaction, isomerization ).

6.2 Pengaruh Hydrotreating terhadap Kualitas Lube Base

Dengan terjadinya reaksi pemurnian, penjenuhan, dan cracking pada proses hydrotreating
mengakibatkan perubahan pada produk HTU dibandingkan terhadap kualitas feednya sbb :

Tabel 6.1 Pengaruh Proses Hydrotreating


Terjadi Penurunan Terjadi Peningkatan
Viskositas Respon terhadap additive
Colour Naphtene content
Sulfur content Viscosity index
Carbon residue Iso – paraffin content
Aromatic content Stabilitas oksidasi
Nitrogen content
Spesific gravity

Typical nilai viscosity Iidex beberapa senyawa hydrocarbon komponen penyusun lube base oil
ditampilkan seperti dalam tabel dibawah ini :

Tabel 6.2 Viscosity Index Senyawa Hydrocarbon


Hydrocarbon Viscosity Index
N – paraffins 175
Iso – paraffins 155
Mono – naphtenes 142
Di – naphtenes 70
Aromatics 50

6.2 Lube Oil Hydrotreating

Tujuan daripada Cilacap Debottlenecking Project adalah meningkatkan kapasitas produksi


lube base dari 255 KTA menjadi 428 KTA dimana untuk mencapai hal tersebut Pertamina
Cilacap telah memodifikasi proses pengolahan lube base oil dari solvex mode menjadi
hybrid mode yaitu dengan menambahkan satu unit baru yaitu Unit HTU/RDU
(Hydrotreating/Redistilling Unit). Pada existing proses (solvex mode) proses pengolahan
bersifat physical separation (distilasi, ekstrasi, dan filtrasi) sedangkan pada Unit HTU/RDU
56

disamping menggunakan proses distilasi pada Unit RDU juga dengan menggunakan proses
kimia (hemical conversion). Proses kimia / konversi ini adalah proses mengubah atau
mengkonversi komponen yang tidak diinginkan / tidak dapat lagi diproses melalui proses fisika
menjadi komponen lube base oil dengan menggunakan katalis dan bantuan gas hydrogen.
Dalam hybrid proses ini katalis merupakan hal yang sangat vital dan penting untuk
diperhatikan, karena dengan gagalnya kinerja katalis dapat mengakibatkan kehilangan
produksi minimal sepertiga dari total produksi. Untuk itu perlu selalu dilakukan monitoring,
optimasi dan evaluasi kinerja katalis sehingga proses produksi dan target produksi dapat
tercapai. Berikut uraian singkat macam-macam reaksi Selama proses konversi dengan
variabel utama temperatur dan pressure akan terjadi reaksi – reaksi sebagai berikut :

6.2.1 Reaksi Pemurnian (Hydrogenasi Komponen S,O,N)

Reaksi ini terjadi pada tingkat severity reaksi yang rendah hingga moderate untuk
menghilangkan senyawa sulfur, nitrogen dan oksigen. Kondisi operasi tekanan 200 – 2000
psi, tempera 500 oF -700 oF (260 oC - 370 oC), dan space velocity (LHSV) antara 1 – 5 hr-1.
Jumlah konsumsi hydrogen berkisar 100 -1000 scuft / bbl feed. Reaksi yang paling sulit
dilakukan adalah de-nitrifikasi sehingga diantara ketiga reaksi tersebut akan memerlukan
temp. reaksi yang paling tinggi. Mekanisme reaksi pemurnian adalah sbb :

Gambar 6.1 Reaksi Pemurnian

6.2.2 Reaksi Penjenuhan

Pada reaksi ini terjadi konversi senyawa – senyawa olefin ke paraffin dan konversi senyawa –
senyawa aromatic ke senyawa cycloparaffin. Kondisi operasi pada tekanan 500 – 3000 psi,
temperatur 450 oF – 750 oF (232 oC – 400 oC), dan space velocity (LHSV) antara 0.5 – 3 hr-1.
Jumlah konsumsi hydrogen berkisar 100 – 1000 scuft/bbl feed. Mekanisme reaksi penjenuhan
adalah sbb :

Gambar 6.2 Reaksi Penjenuhan


57

6.2.3 Reaksi Cracking

Pada reaksi ini terjadi pemutusan rantai karbon, pemotongan rantai lingkar hydrocarbon dan
perubahan struktur molekul melalui isomerisasi. Kondisi operasi pada tekanan 500 – 4500
psi, temperaur 625 oF – 850 oF (330 oC – 455 oC), dan space velocity (LHSV) antara 0.5 – 3 hr-
1. Jumlah konsumsi hydrogen berkisar 500 – 2000 scuft / bbl feed. Mekanisme reaksi
cracking adalah sbb :

Gambar 6.3 Reaksi Cracking

6.3 Process Flow Unit Hydrotreating

Proses flow diagram sederhana Unit Hydrotreating ditampilkan dalam gambar. Umpan
dipanaskan untuk mencapai temperatur reaksi dicampur dengan hydrogen masuk ke dalam
reaktor dan mengalir secara downflow (dari atas ke bawah ). Reaktor terdiri dari bed – bed
(segmen) katalis yang terpasang secara seri di dalam reaktor. Hydrogen quench dialirkan
diantara bed katalis untuk menurunkan temperatur karena sifat reaksi yang reaksi eksotermis
sehingga dapat mengontrol temperatur reaksi. Produk dari reaktor kemudian dialirkan ke
beberapa separator yang dipasang seri atau paralel untuk memisahkan hydrogen dan light
hydrocarbon. Produk liquid separator dfraksinasi pada kolom distilasi vakum (Unit Redistilling)
untuk memperoleh hydroterated oil dan hasil samping (Gas Oil). Produk gas dari separator
(hydrogen) masuk ke kompresor untuk dialirkan balik ke feed system. Produk hydroterated oil
selanjutnya diolah di Unit MDU’s (MEK Dewaxing Unit) untuk dipisahkan wax-nya sehingga
diperoleh produk akhir lube base oil.

6.4 Basis Disain Unit HTU

HTU didisain untuk memproses tiga jenis feedstock waxy raffinate Arabian Light Crude
melalui pola operasi yang disebut “hybrid process” dengan pengolahan feed dilakukan secara
bergantian (blockout operation) menghasilkan produk waxy hydrotreated (HDT) raffinate.
Waxy HDT raffinate dari Unit HTU selanjutnya diolah lebih lanjut di MDU’s :

 Case A : LMO Raffinate  LMO HDT Raffinate  HVI - 95


 Case B : MMO Raffinate  MMO HDT Raffinate  HVI - 160s
 Case C : DAO Raffinate  DAO HDT Raffinate  HVI - 650

Berdasarkan total produksi lube base pasca debottlenecking sebesar 428 KTA, kapasitas feed
HTU dipilih 1700 Ton / hari. Untuk mendapatkan maksimum fleksibilitas pengolahan HTU, unit
ini didesign dengan turndown ratio (kapasitas terendah unit masih dapat beroperasi) pada 67
% dari kapasitas disain.

Kondisi Operasi Utama di Unit HTU adalah sbb:

- Intake ( semua grade ) 1700 Ton / Hari


- Space Velocity (Ton feed / m3 Catalyst.hr ) 0.8
- Reactor WABT (SOR- EOR )
 + HVI – 100 350 – 365 0C
 + HVI – 160S 370 – 385 0C
 + HVI – 650 370 – 385 0C
58

- Reactor Inlet Hydrogen Partial Pressure 143 bar ( min )


- Recycle Gas Rate 1000 Nm3 / Ton feed
- Wash Oil Recycle Flow 1700 Ton / Hari
- Fresh Wash Water Flow 130 Ton / Hari
- Wash Water Injection ke HP Circuit (recycle) 170 Ton / Hari

Keterangan :
- WABT : Weighted Average Bed Temperature.
- SOR : Start of Run.
- EOR : End of Run.

Jenis katalis yang pada awalnuya digunakan adalah Criterion C – 424 yang mengandung
metal Nickel dan Molybdenum. Namun sejak Tahun 2002 jenis katalis yang digunakan adalah
tipe baru DN-3100 pada Bed 1, 2, dan 3 serta tipe LH-22 pada Bed 4. Pada bagian top
reaktor di daerah inlet sebelum Bed 1 terdapat basket distributor yang juga tempat untuk
katalis demetalization (metal guard).

6.5 Deskripsi Proses

Referensi Drawing Process Flow Diagram Hydrotreating Unit (Lihat Lampiran) :

 429400 – A1 – 260 – 001 : Reactor section.


 429400 – A1 – 260 – 002 : HP Separator Section.
 429400 – A1 – 260 – 003 : Stripper and LP Separator Section.
 429400 – A1 – 260 – 004 : Compressor Section.
 429400 – A1 – 260 – 005 : Heat exchanger and Furnace Section.
 429400 – A1 – 260 – 006 : Vacuum Column Section.
 429400 – A1 – 260 – 007 : Overhead System Section.
 429400 – A1 – 260 – 008 : Hydrogen Supply and PSA Unit.

6.5.1 Feed System

Feed Raffinate (LMO, MMO, DAO Raffinate) hasil ekstrasi Unit FEU (Furfural Extraction Unit)
dari tangki raffinate dipompa dengan 041P – 302 A/B (HTU charge oil booster pump) ke 260V-
101(Charge Oil Surge Drum). Total aliran feed tersebut diatur menggunakan level control
pada 260V–101. Untuk mengantisipasi kemungkinan unit mengolah feedstock di luar batas
kualitas design disediakan fasilitas bypass hingga 5% dari aliran feed ke produk hydrotreated
oil. Pada kondisi normal tidak diperlukan aliran bypass ini.

Aliran ke 260V–101 dipanaskan menggunakan aliran “RDU bottom rundown stream” di 260E–
101 (HTU charge oil / redistilled product exchanger) , kemudian disaring di 260S–101 A/B
(charge oil filter), untuk memisahkan solid material. Filter 260S–101 A/B ini dilengkapi dengan
“Pressure Differential Recorder” dan alarm untuk memonitor adanya akumulasi padatan.

Charge Oil Surge Drum 260V–101 diblanket menggunakan fuel gas, aliran fuel gas ke 260V–
101 diatur menggunakan “gap acting pressure controller” yang akan menambah aliran gas
bila tekanan di vessel rendah dan akan membuang aliran gas ke blowndown system bila
tekanan di vessel tinggi.

6.5.2 Reactor Section

Dari feed surge drum 260V–101 charge oil dipompa menggunakan 260P–102A/B (charge oil
feed pump) ke reaktor bertekanan tinggi. Jumlah aliran di atur menggunakan flow controller
yang berada pada discharge pompa 260P–102A/B dilengkapi dengan proteksi minimum flow,
berupa aliran balik dari discharge pompa ke vessel 260V–101 , pada normal operasi tidak ada
59

aliran balik ke vessel. 260V–101 dilengkapi dengan fasilitas drain air, untuk membuang
sewaktu – waktu adanya ikutan air dari tangki feed.
Sejumlah kecil DFE ( 1,1 – difluoroethane ) diijeksikan dari 260V–108 ( DFE feed vessel ) ke
suction pompa 260P–102A/B menggunakan pompa 260P–106 (DFE injection pump), untuk
mengkompensasi hilangnya fluorine dari katalis selama normal operasi. Karena tekanan uap
DFE berada dalam temperatur kamar, maka adanya tekanan berlebihan di suction pompa
260P–102A/B dicegah dengan menggunakan pressure controller di discharge pompa injeksi.
Jumlah uap DFE masuk suction pompa 260P–102 sangat kecil sehingga tidak menyebabkan
vapor lock. (Sebagai catatan mengingat katalis HTU saat ini menggunakan tipe baru DN-
3100/LH-22 dan tidak memerlukan injeksi fluor sebagaimana pada katalis tipe sebelumnya C-
424, maka fasilitas injeksi DFE ini tidak lagi digunakan.

Charge Oil selanjutnya dipanaskan di 260E–103 (Hot gas / charge oil exchanger). Pada heat
exchanger ini dilengkapi dengan fasilitas bypass pada aliran charge oil untuk mencegah
adanya pendinginan berlebihan (di bawah 170 oC) pada HP gas yang dapat mengakibatkan
pembentukan garam amonium di heat exchanger. Fasilitas bypass juga dapat digunakan
untuk menjaga temperatur di 260V–102 (Hot High Pressure Separator) sehingga ada pada
range temperatur yang dikehendaki.

Charge Oil kemudian dicampur dengan gas Hydrogen dari 260K-101A/B (fresh gas
compressor) dan 260K–102A/B (recycle gas compressor) , selanjutnya dipanaskan di 260E–
102 A/B/C/D (reactor feed / effluent exchanger).

Gas hydrogen di injeksikan pada upstream dan downstream 260E–102 untuk mengontrol
temperatur 260V–102. Aliran gas hydrogen pada upstream 260E–102 diatur menggunakan
temperatur controller, dengan setting temperatur pada reaktor effluent, sedangkan aliran gas
hydrogen ke downstream 260E–102 diatur menggunakan pressure differential controller.
Charge Oil setelah dipanaskan di 260E–102 kemudian dipanaskan di 260F–101 (reactor feed
heater). Temperatur keluar heater dikontrol menggunakan temperatur kontroller yang beraksi
melalui pengaturan jumlah aliran fuel ke burner.

Charge oil kemudian masuk ke 260R–101 (reactor) dengan inlet temperatur sesuai
kebutuhan, dimana berbeda untuk setiap grade feed dan meningkat sesuai umur katalis.
Reaktor terdiri dari 4 (empat) katalis bed. Pada top bed dipasang ”filtering tray” dan
”distributor tray”. Diantara katalis bed dipasang ”gas quench/mixing tray” dan ”distributor tray”.

Temperatur reaktor harus dijaga untuk mencegah panas berlebihan (overheating) dari bed
katalis karena adanya pelepasan dari reaksi hydrotreating (exothermis). Temperatur top bed
katalis diatur menggunakan temperatur controller pada inlet – bed – pertama, yang beraksi
melalui pengaturan jumlah injeksi recycle gas (quench gas ) ke reaktor. Temperatur pada tiga
bed-katalis lainnya masing-masing diatur menggunakan temperatur controller yang beraksi
melalui pengaturan injeksi recycle gas ke inlet masing-masing bed – katalis. Kenaikan
temperatur maksimum untuk setiap bed adalah 20 oC.

6.5.3 Separator System

Aliran outlet reaktor didinginkan di 260E–102A/B/C/D (reaktor feed /effluent exchanger). Aliran
ini dalam bentuk dua fasa (cair – uap) kemudian masuk ke 260V–102 (Hot LP Separator)
melalui sebuah control valve yang bekerja berdasar level controller pada 260V–102. uap dari
260V–102 didinginkan menggunakan charge oil pada 260E–103.

Pada 260C–101 cairan hydrocarbon distripping menggunakan MPS (Medium Pressure


Steam) yang bekerja berdasarkan ”flow ratio controller” terhadap aliran bottom 260C–101
(Stripper bottom stream). Stripping ini berfungsi untuk memisahkan gas terlarut (hydrogen
sulphide) dan hydrocarbon fraksi ringan. Aliran bottom stripper selanjutnya dialirkan ke seksi
Redistillation Unit (RDU) diatur melalui aksi level controller di bottom 260C–101 yang bekerja
pada aliran masuk 260F–151 (Redistillation feed heater). Aliran uap dari 260C–101
60

didinginkan di 260E–121 (Low Pressure Gas Air Cooler) selanjutnya mengalir ke 260V–105
(Cold Low Separator). Air diinjeksikan pada upstream 260E–121 menggunakan 260P–
105A/B (fresh water pump) untuk menyerap garam – garam amonium dari fase uap.
Temperatur ke luar 260E–121 diatur menggunakan temperatur controller yang beraksi dengan
pengaturan kecepatan fan. Aliran injeksi air ke 260E–121 diatur oleh level controller pada
water-boot 260V–105. Sour water yang terkumpul pada water-boot 260V–105 sebagian
diinjeksikan ke aliran uap 260V–102 yang telah melewati 260E–103, atau pada upstream
260M–101 (Static Mixer) menggunakan 260P–104A/B (Wash Water Injection Pump). Pada
260M–101 garam-garam amonium dalam bentuk uap akan larut ke fase cair apabila
didinginkan. Campuran dari gas, hydrocarbon terkondensasi dan sour-water dari 260M–101
selanjutnya didinginkan di 260E–120 (Hot HP Gas Air Cooler). Outlet temperatur dari 260E-
120 diatur menggunakan temperatur controller yang beraksi melalui pengaturan kecepatan
fan 260E–120.

Wash oil diinjeksikan ke outlet stream 260E–120 menggunakan 260P–103 (Wash oil pump),
terjadi pencampuran, hydrocarbon fraksi berat diserap dari fase uapnya (terkondensasi).
260E–125 (Wash Oil Cooler ) digunakan untuk mendinginkan wash oil dari 260P–103.
Temperatur downstream injeksi wash oil diatur menggunakan temperatur controller yang
beraksi melakukan pengaturan kecepatan fan 260E–125.

Selanjutnya effluent dingin masuk ke 260V–104 (Cold HP Separator ), dimana uapnya


dipisahkan dari wash oil dan air. Uap dari vessel ini digunakan sebagai recycle gas. Di bagian
bawah 260V–104 wash oil dan air dipisahkan secara settling ( pengendapan) dan kedua fase
cairan secara individual dikirim ke 260V – 105 ( Cold LP Separator). Jumlah aliran kedua fase
diatur secara terpisah menggunakan level controller pada 260V–104.

Sour water dari 260V–104 masuk ke 260V–105 pada salah satu ujung vessel, dimana
merupakan tempat penampungan sour water. Cairan hydrocarbon yang terikut sour water
meluap (overflows) melewati baffle ke wash oil compartement 260V–105. Cairan minyak dari
260V–104 dialirkan ke wash oil compartement 260V–105, dimana uap dan minyak terpisah
dan cairan minyak di settling dipisahkan dari sour water (sour water dikumpulkan di
“waterboot” 260V–105).

Campuran minyak dan air dari 260E–121 dialirkan ke 260V–105 dimana uap minyak terpisah.
Settling di wash oil compartement 260V–105 menggunakan “perforated baffle” , cairan minyak
terkumpul pada wash oil compartement sedangkan sebagian sour water tersettling di
waterboot 260V–105.

Sour gas yang teruap dari 260V–105 dikirim ke off-site. Tekanan dari 260V–105 diatur
menggunakan pressure controller yang beraksi melakukan pengaturan aliran sour gas dari
vessel.

Minyak dari 260V–105 sebagian dialirkan kembali sebagai wash oil menggunakan 260P– 103.
Pada normal operasi akan terjadi (kelebihan) excess wash oil. Kelebihan wash oil dalam
keadaan normal dialirkan ke 11V – 15 ( Crude Preflush Drum CDU – I ) untuk diproses ulang.
Jika CDU – I stop maka kelebihan wash oil dialirkan ke tangki crude. Level minyak di 260V–
105 diatur menggunakan level controller yang beraksi melakukan pengaturan aliran excess
wash oil. Make up wash oil pada saat start up diperoleh dari CDU – II. Sebagian sour water
yang di settling di 260V-105 di alirkan kembali ke 260M–101 (Static Mixer) menggunakan
260P-104A/B (wash water recycle pump), pompa tersebut keduanya menggunakan jenis
pompa torak. Aliran wash water make-up diatur secara automatic untuk mendapatkan
kapasitas yang tetap menggunakan level controller pada aliran wash water make – up.

Sour water yang terkumpul di 260V–105 (Cold LP Separator) dialirkan ke SWS ( Sour Water
Stripper Unit) di FOC II. Level sour water compartement diatur menggunakan level controller
yang beraksi melakukan pengaturan aliran sour water.
61

6.5.4 Hydrogen Rich Gas

Hydrogen rich gas dari PSA ( Pressure swing Adsorption) Unit, digabung dengan dari gas spill
back kompressor masuk ke 260V–107 ( Fresh Gas Compressor Suction KO Drum)
dipisahkan cairan ikutannya. Gas kemudian masuk suction 260K–101 A/B ( Fresh Gas
Compressor ). Kompressor berfungsi meningkatkan tekanan fresh gas, yang akan dialirkan ke
system tekanan tinggi sebagai make up hydrogen yang dibutuhkan untuk reaksi hydrotreating.
Satu dari dua 260K–101 A/B (satu beroperasi dan satu spare) , setiap kompressor dilengkapi
dengan “individual interstage cooler” dan “knock out drums”.

Recycle gas dari 260V–104 (Cold HP Separator) masuk ke 260V–106 (Recycle gas KO
drum ) dipisahkan cairan ikutannya. Gas kemudian mengalir ke suction 260K–102 A/B (
Recycle Gas Compressor). Kompressor berfungsi meningkatkan tekanan recycle gas yang
akan memasuki system tekanan tinggi.

Sebagian dari aliran recycle gas ke luar 260K–102 digunakan sebagai “quench gas” untuk
mengatur temperatur bed – bed katalis. Sebagian lagi digabung dengan fresh gas dari 260K-
101 ( Fresh Gas Compressor) dialirkan ke seksi reaksi dimana dicampur dengan charge oil
sebagai feed reaktor.

6.5.5 PSA Unit

Dua sumber gas digunakan sebagai feed PSA yaitu hydrogen-rich gas dari CCR Platforming
Paraxylene dan CCR Platforming FOC – II. Hydrogen rich gas dari Paraxylene merupakan
sumber utama sedangkan dari FOC – II sebagai pendukung.

Feed gas dari dua sumber tersebut masuk 260V -112 (PSA Feed KO Drum) untuk dipisahkan
cairan ikutannya. Gas bebas cairan kemudian masuk ke PSA.

PSA menggunakan 5 (lima) bed adsorbent untuk memproduksi gas hydrogen kemurnian
tinggi. Selama normal operasi 1 (satu) dari 5 (lima) bed tersebut berada pada proses
adsorpsi, sedangkan keempat lainnya berada pada beberapa tahap regenerasi. Tidak ada
perubahan temperatur yang terjadi kecuali yang disebabkan panas adsorpsi dan desorpsi.
Selama tahap adsorpsi, sebagian besar zat pengotor terjebak didalam adsorbent, sehingga
dapat diproduksi hydrogen kemurnian tinggi. Selama tahap regenerasi zat pengotor
dibersihkan dari adsorbent sehingga pergantian (cycle) adsorpsi – regenerasi dapat diulang.
Cycle adsorpsi – regenerasi secara automatic diatur menggunakan PLC (Programmable
Logic Controller). Pada PSA dilengkapi pula dengan filter 260S–102 (PSA Hydrogen Filter)
yang berfungsi memisahkan kotoran, padatan dari produk hydrogen selama periode strart up.
Filter ini kemungkinan dapat di bypass selama operasi normal.

Hydrogen yang telah dimurnikan di PSA kemudian dialirkan ke 260K–101 A/B (Fresh Gas
Compressor). Tekanan produk hydrogen diatur dengan menggunakan ”split – range pressure
controller” yang beraksi melakukan pengaturan aliran hydrogen rich gas dari Paraxylene
( sebagai sumber utama ) dan hydrogen dari FOC – II sebagai sumber pendukung. Pressure
control yang sama juga dapat membuang excess produk hydrogen ke blowdown system.

Tail gas (produksi samping HTU) dari bed adsorpsi PSA masuk 260V–113 (PSA Tail Gas
Drum). Tail gas dialirkan ke 025F–101 (Hot Oil Heater) LOC II, yang merupakan sumber
tujuan utama tail gas. Secara typical, tail gas mensupply sekitar 30 – 70% dari beban panas
hot Oil heater, kekurangannya disupply menggunakan fuel gas atau fuel oil. Tekanan tail gas
dikendalikan oleh tekanan fuel gas yang dibutuhkan oleh Hot Oil Heater.

6.5.6 Seksi Feed Redistillation Unit ( RDU )


62

Pada seksi feed redistillation, feed dari bottom 260C–101 (Hot LP Stripper) dipompa
menggunakan 260P–151 A/B (RDU Feed Pump) dipanaskan oleh ”aliran bottom vacuum
column” di 260E–151 A/B/C (Vacuum Column Feed / Bottom Exchanger), dan dipanaskan di
260F–151 (RDU Feed Heater). Aliran ke 260F–101 dijaga menggunakan level controller
260C–101 yang mengatur jumlah aliran feed heater. RDU feed heater didisain untuk
meningkatkan penguapan, menjaga film temperatur di bawah 340 0C untuk mencegah
kerusakan warna oil. Aliran keluar heater diinjeksikan LPS ( Low Pressure Steam).

6.5.7 Seksi Vacuum Column

Untuk meminimize pressure drop dan konsumsi energi pada operasi column vacuum , pada
seksi rectifying 260C–151 (Vacuum Column) dilengkapi dengan struktur packing (250Y
Mellapak). Diantara ketiga packed bed, terdapat VGO fractionation, side produck fractination.
Pada vacuum column terdapat 3 (tiga) buah total draw off tray :

Bottom draw – off tray no. 9 - terletak pada wash oil bed (bottom packed bed).
Cairan meninggalkan Wash oil bed dialirkan melalui total draw – off tray (yang berada di
dalam column) menuju bottom column. Tujuan utama draw – off tray no.9 adalah untuk
mendapatkan distribusi uap yang baik.

Was Oil draw – off tray no.10 - terletak dibawah packed bed tengah.
Oil dialirkan dari bawah bed tengah (VGO Rectifying bed) melalui total draw – off tray no.10
dan mengalir ke 260V–152 (wash oil draw – off vessel). Dari vessel ini cairan di pompa
menggunakan 260P–153 A/B (wash oil pump). Menuju bagian atas bottom packed bed
sebagai total reflux untuk mode operasi HVI - 95 dan HVI – 160S. Jumlah aliran reflux diatur
menggunakan level controller.

Untuk mode operasi HVI - 650, sebagian wash oil dialirkan sebagai side product. Side product
didinginkan menggunakan tempered water (air hangat) di 260E – 153A/B (side product
cooler) untuk mendapatkan tamperatur pada battery limit 80 oC. jumlah aliran side product
diatur menggunakan level controller 260V – 152 , sedangkan wash oil reflux diatur dengan
flow controller.

Top Circulating reflux ( TCR ) draw – off tray no.11 , terletak dibawah TCR Packed Bed
(Top Packed Bed ).
Cairan diambil dari bottom top packed bed melalui total draw – off tray no.11 dan dialirkan ke
260V–151 ( TCR vessel). Cairan dari vessel dipompa menggunakan 260P–152 A/B ( TCR
pump) dan sebagian dikembalikan ke column di atas packed bed tengah, yang diatur
menggunakan flow controller. Sebagian besar aliran VGO dan aliran TCR return didinginkan
oleh 260E–171 (TCR Air Cooler). Aliran TCR return dialirkan ke top column didistribusikan
menggunakan liquid distributor “Sulzer Splash Plate Type VEP gravity”. Produk VGO dialirkan
ke tangki ADO pool diatur menggunakan level controller.

Wash oil reflux dan TCR reflux didistribusikan ke column melalui spray distributor untuk
meyakinkan distribusi cairan yang merata. Filter type basket dipasang pada upstream
distributor pada kedua reflux tersebut untuk mencegah terjadinya penyumbatan spray nozzle
olah partikel padatan seperti scale dan coke. Masing-masing strainer mempunyai spare untuk
memudahkan mantenance rutin. Wash oil reflux disaring oleh 260S–151 A/B (wash oil under
reflux filter) sedangkan TCR reflux disaring oleh 260S–152 A/B (TCR under reflux filter).
Strainer dan pipa downstream reflux dibuat dari stainless steel untuk mengurangi
pembentukan padatan dan scale.

Pada seksi bottom column terdiri dari seksi stripping yang terdiri dari 8 (delapan) “Hi – Fi
calming section Sieve Tray”. Untuk mencegah design tray dengan lobang sangat kecil dan
rendahnya ketajaman pemisahan, maka seksi stripping didesign dengan diameter kecil
63

dibandingkan main column. LPS (Low Pressure Steam) diinjeksikan ke seksi stripping dari
column untuk memisahkan / menguapkan oil fraksi ringan dari bottom column.

Jumlah aliran produk cairan bottom column (hydrotreated base oil) diatur menggunakan level
controller dan dipompa menggunakan 260P–154 A/B (RDU Bottom Pump) didinginkan di
ketiga buah heat exchanger yang dipasang secara seri 260E–151 A/B/C (Vacuum Column
Feed / Redistilled Product Exchanger) dan didinginkan lagi menggunakan tempered water di
260E–152 A/B/C (Redistillation Bottom Cooler), untuk mencapai temperatur baterry limit 75 oC
dan selanjutnya dialirkan hydrotreated tank.

6.5.8 Seksi Sistem Overhead

Uap overhead dari vacuum column dilairkan melalui 260E–154 (Precondenser) menuju
ejector tiga tahap. Pada precondenser sebagian besar uap minyak dan steam terkondensasi.
Uap yang tidak terkondensasi ditekan pada ejektor tiga tahap ( 260J–151 A/B, 260J–152 A/B,
dan 260J–153 A/B) yang dilengkapi intercondensors (260E–155, 260E-156) dan after
condenser (260E–157). Setiap tahap ejector terdiri dari dua buah ejector yang berkapasitas
2/3 dan 1/3 kapasitas split. Pengaturan ini ditujukan mengurangi penggunaan steam pada
kapasitas (operasional) ejektor yang disesuaikan apabila beban penguapan column rendah.

Uap yang tidak terkondensasi dari ke tiga tahap ejektor dikirim ke 260V–154 (waste gas seal
vessel) melalui ”barometric leg” yang mempunyai tinggi 17 meter. Fungsi dari “seal leg” dalah
untuk mencegah aliran balik dari udara apabila ada hambatan proses. Uap tersebut masuk
dari bawah vessel (di bawah permukaan air).

Waste gas dari 260V–154 selanjutnya dialirkan ke 260V–155 ( waste gas KO Vessel) untuk
memisahkan cairan dari waste gas. Waste gas dari 260V–155 dialirkan ke 260F–101(Reaktor
Feed Heater) untuk dibakar. Dua buah flame arrestors (260 – 153 A/B) dipasang pada pipa
waste gas dekat 260F–101, maka alarm high-high level dipasang pada 260V -105 dan
dilengkapi pula dengan ”shut off valve (TSO) ” yang akan menutup aliran waste gas ke
furnace dan membuka aliran ke atmosfer dilokasi yang aman melalui 260V–156 ( Water seal
flame arrestor). Cairan dari setiap tahap ejector mengalir ke 260V-153 ( Ejector Effluent
Separator) dimana terjadi pemisahan minyak dan air.

Slop oil yang terkumpul dari separator dapat dialirkan ke salah satu dari tiga kemungkinan
menggunakan 260P – 155 A/B ( Slop Oil Pump) :

 ke tangki slop, 43T–2 / 43T–3 , melalui LOC – I slop header (aliran normal).
 ke diesel pool (begabung dengan VGO rundown).
 ke tangki refinery fuel oil melalui LOC III off – grade header.

Air yang terkumpul dari separator mengandung kurang dari 10 ppm H2S ( Hydrogen
Sulphide) dan tidak menjadi perhatian penting selama operasi normal. Air yang terkumpul
dialirkan menggunakan 260P – 156 A/B ( sour water pump) ke Sour Water Stripper (SWS)
FOC II.

Sebagian air dari separator disirkulasikan melewati “Waste gas seal vessel” , “Waste gas KO
vessel” dan “Water seal flame arrestor” untuk meyakinkan adanya cairan di vessel tersebut
dan untuk menahan waste gas ke astmosphere. Penambahan air ke vessel tersebut untuk
memperbarui inventory dan sekaligus mencegah meningkatnya korosi dan fouling. Air dari
“Ejector Effluent Separator” dialirkan ke “waste gas KO vessel” dan “Water seal flame
arrestor”. Air dari vessel tersebut digabungkan dan mengalir ke “waste gas seal vessel”
dengan aliran gravitasi. Dari vessel ini air mengalir kembali ke Separator.

6.5.9. Sistem Tempered Water


64

Sistem tempered water di RDU adalah sistem sirkulasi tertutup yang mensupply air hangat
untuk pendinginan aliran produk yang mempunyai por point tinggi. Vessel 260V–160
(Tempered water expansion vessel) adalah vessel yang bekerja pada tekanan atmosphere
terletak di bagian teratas jaringan heat exchanger. Vessel tersebut mengakomodasi pemuaian
dan pengkerutan air selama beroperasi. Vessel tersebut juga berfungsi sebagai tempat
pengisian awal untuk memasukkan “treated water” dan “chemical inhibitor” jika dibutuhkan ke
system.

Pompa 260P–157 (Tempered water circulation pump) mengalirkan tempered water melewati
jaringan heat exchanger. Pompa tersebut dilengkapi dengan fasilitas resirkulasi (pipa 2 inch)
yang mengembalikan aliran tempered water dari discharge pompa ke vessel sekaligus
merupakan fasilitas make – up kontinyu.

Dari discharge pompa, tempered water dialirkan secara paralel ke 260E–152 A/B/C
(Redistillation bottom cooler) dan ke 260E–153B (Side Product Cooler). Aliran tempered
water yang kontinyu diatur untuk setiap cooler dengan menggunakan “globe valve yang
dioperasikan secara manual” pada setiap inlet aliran tempered water ke cooler. Sebagian
besar beban pendinginan digunakan oleh “Redistillation bottom cooler” sedangkan untuk
“Side product cooler” bekerja hanya pada mode operasi HVI - 650. Setelah tempered water
yang digunakan sebagai pendingin (aliran panas) didinginkan hingga 60 oC di 260E–172 A/B
(Tempered water Cooler) dan kemudian dialirkan kembali ke suction pompa sirkulasi.

6.5 Variabel Proses dan Kondisi Operasi

Variabel – variabel utama yang perlu diperhatikan dalam proses hydrotreating adalh sebagai
berikut :

6.5.1 Temperatur reaktor ( WABT )

Temperatur merupakan hal yang sangat penting pada variabel operasi Lube Oil Hydroterater.
Pada reaksi desulfurisasi, denitrifikasi, deoxigenasi dan penjenuhan olefin dan aromatik yang
merupakan reaksi eksothermis sangat bergantung pada temperatur. Jika temperatur terlalu
rendah, desulfurisasi tidak terjadi, temperatur terlalu tinggi akan menurunkan life time katalis
karena terbentuk coke, dan terjadi reaksi samping hydrocracking yang tidak dikehendaki.
Untuk memperpanjang life time, temperatur reaktor biasanya diatur serendah mungkin selama
kualitas produk masih tercapai. Keaktifan katalis akan turun sejalan dengan waktu
pemakaian, sehingga dibutuhkan kenaikan temperatur untuk mengkompensasi keaktifan
katalis, namum demikian temperatur operasi (oulet reaktor) tidak boleh melewati designnya
yaitu 400 0C atau WABT sekitar 385 0C.

6.5.2 Tekanan Reaktor / Tekanan Parsial Hydrogen

Untuk mencapai tingkat reaksi desulfurisasi yang tinggi dan menurunkan potensi
pembentukan coke, hal yang penting diperhatikan adalah menjaga tekanan parsial hydrogen
pada zona reaksi. Tekanan parsial hydrogen merupakan fungsi dari tekanan operasi reaktor
dan kemurnian gas hydrogen. Selama operasi tekanan parsial hydrogen dijaga minimum 143
kg/cm2.

6.5.3 Recycle Gas rate dan Purity

Tujuan daripada recycling hydrogen rich gas sekitar reaktor sistem adalah untuk mencapai
tekanan partial hydrogen semaksimum mungkin dan dengan make up fresh gas seminimum
mungkin. Recycle gas rate biasanya ditentukan oleh kebutuhan quench gas dan kapasitas
recycle gas compressor. Purity recycle gas secara langsung memberi dampak terhadap
tekanan partial hydrogen di reaktor, dan purity tersebut tergantung pada:

 Purity fresh gas.


65

 Chemical hydrogen consumption.


 CHPS temperature.
 Wash oil performance.
 Performance of absorber column.
 Kuantitas bleed gas.

6.5.4 Fresh Gas Rate dan Purity

Hydrogen partial pressure tergantung purity dan kualitas fresh gas yang masuk ke unit. Dan
kualitas tersebut tergantung chemical consumption, tipe feed, severity proses dan feed rate.

6.5.5 Rasio Wash Oil

Didefinisikan sebagai ratio wash oil terhadap liquid feed. Wash oil digunakan untuk
melarutkan secara selectif ligh hydrocarbon gas dan hydrogen sulphide (H2S) dari recycle
gas. Semakin tinggi wash oil ratio, purity recycle gas akan semakin meningkat.

6.5.6 Space velocity

Space velocity didefinisikan sebagai ratio dari jumlah aliran feed charge oil dalam ton/jam
terhadap jumlah catalyst dalam m3, space velocity mempunyai pengaruh yang besar pada
kualitas produk. Penurunan space velocity akan meningkatkan kecepatan reaksi / high
severity. Perubahan space velocity dapat dikompensasikan dengan pengaturan temperatur.

6.5.7 Pressure Drop Reaktor

Pressure drop reaktor merupakan indikator utama untuk menentukan terjadinya fouling atau
plugging. Fouling ini akan menyebabkan deaktifasi katalis, untuk mengkompensasinya maka
temperatur perlu dinaikkan. Sehingga sangat penting untuk menjaga tekanan partial hydrogen
yang baik untuk menghindari deaktifasi katalis yang premature.

Perhatian harus dilakukan untuk menghindari perubahan kondisi operasi yang mendadak
pada perubahan temperatur, tekanan, dan laju air. Selama situasi emergency (darurat),
operator perlu mencoba untuk menjaga aliran recycle gas jika memungkinkan untuk
mencegah “local hot spot” yang terjadi di dalam reaktor.Juga sangat penting peralatan dan
pipa sebelum aliran ke reaktor dibersihkan sebelum dilakukan start up untuk mengurangi
fouling pada top bed catalyst.

6.5.8 Temperatur Feed masuk Kolom Vakum

RDU feed heater didisain untuk mendukung penguapan, untuk mencegah kondisi aliran miss-
flow didalam coil maka film temperatur dijaga di bawah 340 0C untuk mencegah kerusakan
warna lube oil. Temperatur keluar heater dijaga pada temperatur yang konstan sesuai dengan
grade lube oil yang sedang diolah. Penurunan temperatur keluar heater akan mengakibatkan
menurunnya flash point “RDU bottom product” dan meningkatkan yield distillate, namun tidak
dijamin karena resiko kerusakan warna produk.

6.5.9 Tekanan Kolom Vakum (RDU)

Tekanan flash zone di kolom vakum diatur konstan untuk semua grade yang diproses.
Tekanan flash zone diatur pada 71 mm Hg absolute, menggunakan sistem overhead ejector.
Penurunan tekanan vakum (peningkatan tekanan) akan menghasilkan banyak fraksi ringan di
bottom produk. Pada kejadian tersebut fraksi ringan kemungkinan masih dapat diuapkan dari
bottom produk dengan melakukan penambahan laju air stripping steam.

6.5.10 Stripping Steam Kolom Vakum


66

Pada seksi redistillation, Low Pressure Steam dimasukkan ke kolom vakum untuk men-strip
fraksi ringan dari bottom product. Penambahan laju air stripping steam dapat memperbaiki
pengambilan fraksi ringan dari bottom product, begitu sebaliknya.
6.5.11 Reflux Kolom Vakum

Draw-off tray didalam kolom vakum adalah total draw-off. Konfigurasi ini memungkinkan
pengaturan “wash oil reflux” dan “top circulating reflux” yang tepat. Secara umum
penambahan aliran reflux dapat mengakibatkan meningkatnya efektivitas fraksinasi, namun
dapat meningkatkan beban panas pada kolom.

6.6 Catalyst & Chemical

6.6.1 Catalyst Type

Pada awalnya tipe / jenis katalis yang dipakai di HTU adalah Criterion C–424, dengan
komposisi Nickel Molybdenum (Ni-Mo) dengan base (support material) Alumina. Mempunyai
ukuran 1.6 mm trilobe. Menggunakan zat pengaktif / activated agent Fluor (DFE /
difluoroethane 3% wt).

Baik katalis fresh maupun regenerated perlu perlakuan yang yang sama yaitu melalui tahapan
– tahapan penyiapan (preconditioning) sebelum digunakan, yang meliputi tahapan :
Commisioning Charge Oil Pump, presulfiding pada fase liquid menggunakan sour gas oil, Hot
Hydrogen Strip Catalyst dan prefluoriding pada fase gas menggunakan DFE.

Sebagian fluoride yang terikat dikatalis akan hilang selama normal operasi, oleh karena itu
diperlukan make up DFE untuk mempertahankan agar kandungan fluor katalis tetap 3% wt.

Jumlah katalis yang diperlukan adalah ± 88.5 m 3. Cara loading katalis ada dua yaitu dense
loading dan sock loading dimana soack loading ini dilakukan jika tidak dapat lagi digunakan
cara dense loading.

Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya saat ini Unit HTU menggunakan katalis yang
tidak memerlukan injeksi fluor (DFE). Namun demikian hal ini tetap disampaikan sebagai
bahan informasi.

6.6.2 Catalyst Cycle

Katalis HTU didisain dengan basis cycle satu tahun, dengan rincian sbb :

Tabel 6.3 Disain Hari Operasi di Unit HTU


Catalyst Cycle Hari
Cycle satu tahun 365
Kehilangan hari untuk shut down 21
terencana termasuk penggantian katalis
Kehilangan hari operasi untuk grade 16
switching / Upset condition
Kehilangan hari operasi untuk start up 4
dan shut down unit
Kehilangan hari operasi untuk 4
preconditioning katalis
Total on-stream day per tahun 320

Basis perhitungan cycle satu tahun adalah katalis menurun keaktifannya disebabkan grade
switching dan adanya upset operasional. Aktual life time dapat lebih panjang jika unit
beroperasi normal / smooth.
67

Adapun untuk katalis baru disain dari cycle katalis adalah 3 tahun dengan demikian on stream
factor dari Unit HTU mengalami peningkatan dan yield produk lube base oil akan mengalami
peningkatan dalam satuan waktu yang sama.

6.6.3 Catalyst Regeneration Aspects

Katalis Criterion C – 424 maupun katalis tipe baru DN-3100/LH-22 dapat dilakukan regenerasi
untuk mengembalikan keaktifan dan selectivitasnya. Karena tidak tersedia fasilitas untuk
regenerasi in–situ, maka regenerasi dilakukan secara ex–situ.

Selain itu pada saat HTU mengolah feed DAO (Deasphalting Oil) ada kemungkinan metal
(terutama nikel dan vanadium) yang ada dalam feedstock akan terdeposit di katalis pada
bagian top bed, metal tersebut merupakan racun permanen katalis. Oleh karena itu pada
suatu saat tertentu dimana hal tersebut terjadi maka perlu dilakukan skimming / penggantian
katalis dengan fresh katalis pada bagian top bed reactor (metal guard).

6.6.4 Presulphiding Catalyst

Komponen aktif daripada hydrotreating katalis di HTU adalah metal sulfides. Katalis biasanya
dikirim oleh manufacturer dalam bentuk metal oxide baik fresh catalyst maupun regenerated
catalyst. Agar katalis bisa digunakan maka perlu dilakukan sulphiding terlebih dahulu. Pada
proses presulphiding ini metal oxides dikonversikan menjadi metal sulfides dimana metal
sulfide ini merupakan salah satu fungsi yang diperlukan pada proses hydrogenasi.

Proses reduksi metal oxide dengan hydrogen pada temperatur tinggi dengan tiadanya
sulfiding agent akan menyebabkan penyimpangan temperatur, metal agglomeration, dan
cooking pada metal site. Kerusakan ini tidak dapat dihilangkan dengan proses regenerasi
kembali. Oleh karena itu diperlukan perhatian yang lebih untuk meyakinkan bahwa proses
sulfiding berjalan baik.

Presulphiding dimulai pada temperatur dibawah 2500C, untuk mencegah proses reduksi metal
oxide daripada katalis. Temperatur maksimum presulfiding adalah 3500C, karena pada
temperatur diatas 3500C sudah tidak ada sulfur yang diambil. Kebutuhan katalis akan sulfur
adalah 9.8%wt.

Apabila kita menggunakan feed rate 1700 T/D (kapasitas design) maka dibutuhkan 1500 s/d
2500 ton untreated Gas oil. Proses presulfiding ini biasanya memakan waktu antara 24–30
jam.
Table 6.4 Main Process Condition for Gas Oil Presulfiding
- Presulfiding Gas Oil Rate ( max). 1700 T/D
- Space Velocity 0.8 Ton Feed / m3 catalyst – hour
- Reactor WABT : Start of Procedure 180 oC
Initial plateu 250 oC
End of Procedure 350 oC
- Reactor Inlet Hydrogen Partial Pressure 40 – 50 kg/cm2A (average)
- Recycle Gas Rate 1000 Nm3 / T feed
- Wash oil Flow 0 T/D

Table 6.5 Typical Stripped Product Properties for Gas Oil Presulfiding
Property Stripped Product
ASTM Distillation ( D2887)
( % wt recovery )
IBP 250
10% 276
20% 285
30% 293
40% 300
68

50% 307
60% 314
70% 320
80% 328
90% 339
FBP 356
Sp.gr (d15/4) 0.87
Sulfur (% wt)
Nitrogen ( ppmw ) 0.01
H2S ( ppmv ) <1
Viscosity @ 50 0C (cSt) <1
Flash Point (oC) Approx. 2 – 10
125

6.6.5 Hot Hydrogen Strip Catalyst

Hot Hydrogen stripping diperlukan pada saat :

 Men–strip oil dari katalis persiapan prefluoriding, proses ini dilakukan dalam fase gas.
 Men–strip oil dari katalis untuk persiapan unloading katalis yaitu meminimize ptensi
bahaya / hazard pada saat handling sebelum ex – situ regenerasi.
 Mengambil atau mengusir soft coke yang terjadi setelah back feed upset atau loss
hydrogen partial pressure yang signifikan.
 Mengurangi pressure drop katalis bed / pressure drop reaktor.

6.6.6 Prefluoriding Catalyst

Keaktifan katalis Criterion C- 24 dapat ditingkatkan dengan menambahkan fluor sehingga


mencapai level optimum yaitu 3 %-wt, proses penambahan fluor ini yang disebut dengan
Prefluoriding. Fresh katalis harus di–fluorided sebelum start up memaksimise keaktifan katlais
sejak Start of Run. Fluoriding agent yang digunakan adalah DFE (1.1–difluoroethane ).

Proses ini dilaksanakan dalam fase gas. Sesuai prosedur pada sebelum dilakukan
prefluoriding harus dilakukan presulfiding dan hot hydrogen stripped. Proses hot hydrogen
stripped ini memakan waktu sekitar 6 – 12 jam pada temperatur 3800C untuk melepas oil dari
permukaan katalis, sebab adanya oil yang tertinggal di katalis akan menghalangi proses
prefluoriding. Proses prefluoriding dilakukan dalam dua tahap :

 Mula-mula pada temperatur / WABT rendah sekitar 140 0C, tahapan ini disebut adsorption
step.
 Dilanjutkan pada temperatur tinggi / WABT tinggi yaitu sekitar 180 – 220 0C, tahapan ini
disebut conversion step.

Proses ini dilaksanakan sampai dengan level fluor di katalis 3% dan biasanya memakan
waktu sekitar 50 – 60 jam. Selama normal operasi, terjadi losses sejumlah fluor karena
proses, untuk itu maka diperlukan injeksi / make up secara kontinyu untuk menjaga level fluor
di katalis.

6.6.7 Catalyst Activity

Keaktifan katalis akan menurun sejalan dengan waktu karena terjadi pembentukan coke. Cara
yang digunakan untuk memonitor deactivation rate ini adalah dengan menghitung delta WABT
( WABT actual – WABT fresh ) dari waktu ke waktu.

Terjadinya fluktuasi daripada penurunan keaktifan katalis dimana kadang-kadang kelihatan


naik dan suatu saat kelihatan turun untuk jenis feed yang sama dan kapasitas yang sama, hal
ini dapat disebabkan karena :
69

 Fluktuasinya level fluor di katalis yang berakibat berfluktuasinya reaksi. Level fluor di
katalis disusahakan agar tetap 3% wt yaitu dengan menginjeksi DFE balance dengan
Fluor yang losses selama proses melalui wash water.
 Fluktuasi kandungan nitrogen, poly – aromatic, dan molecular size. Karena katalis sangat
peka dengan hal tersebut.

6.6.8 Dual Function Type of Catalyst :

Katalis Criterion termasuk tipe dual function yaitu jenis katalis yang mampunyai dua active
ingredients yaitu metal function dan acid function. Yamg berfungsi sebagai metal function
adalah kandungan metal komponen pembentuk katalis yaitu Nickel dan Molybdenum, sedang
sebagai acid function ingredient adalah fluorine.

Komponen metal dalam katalis ini akan mengkatalisa reaksi hydrogenasi jika dalam bentuk
metal sulphide. Sebagai metal murni akan mempromote reaksi cracking dan akan terbentuk
coke. Oleh karena itu diperlukan recycle gas untuk mempertahankan kandungan minimum
H2S, sehingga akan tetap dalam bentuk sulphide.

Acid akan mengkatalisa reaksi cracking dan reaksi isomeri, akan tetapi fluorine juga
diperlukan untuk membantu meningkatkan reaksi hydrogenasi sehingga tidak memerlukan
kenaikan temperatur yang berlebihan, dengan demikian dapat dikatakan bahwa acid function /
fluorine ini diperlukan untuk mengendalikan temperatur.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa metal function dan acid function harus
balance, seperti digambarkan dibawah ini :

Desired Metal
Acide Balance

Metal Function Acid Function

Demethylation Cracking

Dehydrogenation
Dehydrocyclization
Isomerization

6.6.9 Di-Fluoro-Ethane (DFE)

Injeksi DFE ke katalis akan meningkatkan aktifitas katalis dengan mengaktifkan acid function.
Level optimum untuk HTU adalah 3%wt.

C2H4F2 + H2 + catalyst (O) → C2H6 + H2O + Catalyst (2F)

Selama beroperasi, DFE ini akan berkurang, untuk perlu dilakukan make up DFE dengan
dosis 10 – 30 ppmwt, tergantung pada jumlah DFE yang hilang. Jumlah DFE yang loss ini
dapat diketahui dari analisa terhadap wash water / sour water.

6.6.10 Caustic Soda


70

Larutan caustic soda 10%wt diperlukan untuk proses Prefluoriding untuk menetralkan wash
water circuit. Konsumsi larutan caustic soda adalah : 50 – 200 liter yang harus disiapkan ke
drum portable isi 200 liter.

6.6.11 Nitrogen

Sejumlah kecil Nitrogen diperlukan untuk blanketing DFE vessel 260V – 108 selama normal
operasi. Nitrogen juga diperlukan untuk keperluan load / unload catalyst serta pressurizing HP
system pada saat start up.

6.7 Start-up dan Shut-Down

6.7.1 Prosedur Normal Start Up

Initial start up adalah start up yang pertama sesudah “construction completion” dan
“commisioning unit”. Ada beberapa jenis start up, antara lain start up setelah penggantian
katalis , start up setelah minor shut down yang disebabkan oleh kerusakan peralatan tau
kekurangan feed, atau start up sesudah emergency shut down. Walaupun demikian filosofi
start up secara umum diberlakukan untuk kesemua jenis start up, walaupun tahapan aktual
start up yang dilakukan kemungkinan sangat bervariasi bergantung keadaan.
Typical initial precommisioning, commisioning, dan operasi start up meliputi garis besar
tahapan-tahapan di bawah ini :

1. Persiapan – persiapan peralatan untuk start – up , commisioning, utility systems, loading


katalis reaktor.
2. Purging reaktor circuit menggunakan gas nitrogen untuk menghilangkan oksigen di dalam
system.
3. Purging HTU Low Pressure circuit menggunakan steam untuk menghilangkan oksigen,
dan test kebocoran peralatan.
4. Purging seksi feed HTU menggunakan steam untuk menghilangkan oksigen, test
kebocoran peralatan, dan lakukan pengisian dengan gas oil.
5. Test Vacuum Column. Lakukan vacuum test, dan pressure test menggunakan udara tekan
untuk meyakinkan tidak ada udara yang akan masuk ke system vacuum selama operasi
normal.
6. Flush seksi Redistillation menggunakan Gas Oil dingin. Flush LP Stripper dan seksi
redistillation menggunakan gas oil dingin untuk membuang air ikutan.
7. Flush seksi Redistillation menggunakan Gas Oil panas.Flush LP stripper dan seksi
redistillation menggunakan gas oil panas untuk menguapkan sisa air dalam system
sirkulasi.
8. Test kebocoran HTU High Pressure Circuit menggunakan Nitrogen dan Dry Out Catalyst.
Lakukan test kebocoran HTU HP Circuit menggunakan Nitrogen dan dry out catalyst.
9. Jalankan PSA Unit. Jalankan PSA Unit untuk mendapatkan supply hydrogen sehingga
dapat dilakukan test kebocoran HP system.
10. Lakukan test kebocoran Jaringan HP HTU. Lakukan test kebocoran jaringan HP HTU
menggunakan gas hydrogen yang telah dimurnikan di PSA.
11. Lakukan test terhadap “Emergency Depressuring Valves” (kerangan darurat penurun
tekanan). Lakukan test pada kecepatan penurunan tekanan yang tinggi dan rendah pada
sistem jaringan tekanan tinggi.
12. Jalankan pompa feed charge oil. Jalankan pompa feed charge oil ke seksi feed HTU
menggunakan gas oil.
13. Lakukan presulfide catalyst. Masukkan HGO (Heavy Gas Oil ) dari CDU – I dan lakukan
presulfide catalyst.
14. Lakukan Hot Hydrogen Stripping Catalyst. Lakukan Hot Hydrogen Stripping Catalyst untuk
menghilangkan oil dalam rangka persiapan prefluoriding.
71

15. Lakukan Prefluoriding Catalyst. Prefluoriding catalyst menggunakan DFE untuk


meningkatkan keaktifan catalyst.
16. Start up seksi Reaktor.Start up menggunakan gas oil dialirkan ke seksi reaksi dan
kemudian dimasukkan ke seksi Redistillation.
17. Masukkan feed Raffinate ex. FEU. Ganti feed gas oil ke Raffinate dan lakukan pengaturan
seksi reaktor dan seksi redistillation hingga menuju operasi normal.

Catatan : prosedur untuk seksi reaksi dan seksi redistillation ditampilkan secara terpisah,
maksudnya adalah bahwa kedua seksi tersebut dapat dilakukan secara independent. Sebagai
contoh seksi redistillation dapat harus dipurging dan sirkulasi ketika feed telah siap masuk ke
seksi reaksi.

6.7.2 Prosedur Shutdown Unit

Terdapat dua tipe prosedure shutdown :

 Normal Shutdown.
 Emegency Shutdown.

Normal Shutdown

Di bawah ini penanggulangan umum yang harus dilakukan selama normal shutdown :

1. Selalu mengkoordinasikan kegiatan shut down dengan seluruh personel HTU / RDU dan
juga dengan personel utilities, offsite, dan unit proses yang berhubungan dengan HTU /
RDU.
2. Hindari thermal shock pada peralatan proses dan perpipaan. Jangan mendinginkan
reaktor dengan kecepatan lebih dari 40 0C/jam untuk menghindari thermal stress. Secara
umum, untuk type shutdown yang bukan bersifat emergency, direkomendasikan untuk
mendinginkan peralatan secara bertahap. Cara tersebut akan memperpanjang umur
peralatan dan membantu mencegah kebocoran selama shutdown dan start up.
3. Jangan melakukan penurunan temperatur reaktor bed di bawah 150 0C jika tekanan
masih tinggi, hal tersebut dapat mengakibatkan kerusakan struktur metal reaktor (brittle).
4. Jaga level cairan di dalam vessel untuk meyakinkan bahwa “vapour break through” tidak
terjadi.
5. Hindari pompa kavitasi (ngocok), khususnya pada pompa charge oil, dengan menjaga
level cairan pada vessel surge drum.
6. Yakinkan bahwa perpipaan dan peralatan yang telah digunakan oleh stream yang
mempunyai pour point tinggi diflush dengan flushing oil atau purging menggunakan
recycle gas sebelum didinginkan sehingga penyumbatan dapat dihindari.
7. Jangan membuka sistem reaktor circuit selama masih mengandung hydrogen, karena
kontak dengan udara akan berbahaya.
8. Periksa kandungan CO dari recycle gas dan fresh gas, pada kasus dilakukan cool down,
maksimum kandungan CO yang diperbolehkan adalah 40 ppmv.
9. Hindari masuknya air ke dalam katalis selama cooling down.

Di bawah ini disampaikan secara garis besar tahapan-tahapan untuk normal shutdown. Untuk
instruksi detail per peralatan, ditampilkan dalam operating manual :

1. Periksa level 041T–122 (Central refinery Fuel Oil Tank) dan yakinkan cukup volumenya
untuk mengalirkan minyak dari HTU.
2. Stop injeksi DFE.
3. Turunkan WABT reaktor sekitar 300 oC (dengan penurunan temperatur 40 oC/jam),
turunkan kapasitas feed menjadi 67 % kapasitas disain, pada periode penurunan
temperatur tersebut. Turunkan beban fresh gas kompressor sebanding dengan penurunan
feed.
72

4. Ganti feed secara perlahan ke gas oil, perhatian pada saat pergantian service pompa
jangan sampai terjadi thermal shock.
5. Flush unit dengan gas selama kurang lebih 2 jam.
6. Jika sudah di flush, stop gas oil feed dan bersihkan pipa dengan flushing oil (tekanan
rendah ) sampai bebas dari waxy raffinate.
7. Jaga tekanan reaktor circuit pada 10 – 20 kg/cm2 dibawah operasi normal.
8. Jaga sirkulasi recycle gas selama 2 (dua ) jam atau sampai tidak ada penambahan level
cairan di 260V–102 ( Hot HP Separator).
9. Stop aliran steam ke 260C–101 (Hot HP Separator).
10. Turunkan level pada 260V–102 dan tutup kerangan penghubung antara 260V–102 dan
260C–101 (Hot LP Stripper).
11. Turunkan WABT reaktor hingga 170 – 200 oC dengan maksimum rate 40 oC/jam,
turunkan tekanan hingga sekitar 63 kg / cm2 g.
12. Matikan burner di 260F–101 (Reaktor Feed Heater).
13. Stop injeksi wash water dan system sirkulasi.
14. Stop system sirkulasi wash oil.
15. Turunkan level pada 260V–104 (Cold HP Separator) dan 260V–105 (Cold LP Separator)
dan tutup kerangan diantara kedua vessel.
16. Turunkan temperatur reaktor menggunakan gas hydrogen.
17. Turunkan WABT reaktor sampai dengan 50 0C menggunakan gas hydrogen.
18. Turunkan tekanan, stop dan isolir 260K–102 A/B (Recycle Gas Compressor) dan purging
kompressor menggunakan nitrogen.
19. Turunkan sirkuit reaktor menggunakan valve penurun tekanan ( depressuring valve)
hingga tekanan kira – kira 10 kg/cm2 g, teruskan penurunan tekanan sirkuit reaktor ke
blowdown kemudian tutup kerangan depressuring.
20. Tekan kembali dengan nitrogen hingga 5 kg/cm2 g dan turunkan tekanan dengan
menggunakan venting. Ulangi beberapa kali dan purging dengan nitrogen hingga
kandungan hydrogen di sirkuit reaktor di bawah 1% volume.

Di bawah ini tahapan shut down Seksi Redistillasi :

1. Selama flush gas oil pada HTU , pompa- pompa pada seksi redistillasi harus beroperasi
sehingga kolom vakum terikut terflaush dengan hot gas oil. Aliran produk harus di line up,
dari flushing oil hingga 041T–122 (Central Refinery Fuel Oil Tank ).
2. Stop cross over steam pada outlet furnace RDU.
3. Stop MP steam ke ejektor dan break vakum menggunakan fuel gas yang dimasukkan ke
pipa overhead. Aliran air/udara pendingin ke kondenser / cooler harus tetap beroperasi
sampai seluruhnya telah di flush secara lengkap.
4. Lakukan venting waste gas dari 260V–155 (Waste Gas KO Drum) ke atmosfir melalui
260V–156 (Water Seal Flame Arrestor) sebelum dilakukan shutdown 260F–101 (Reactor
feed heater).
5. Sirkulasikan gas oil ke 260V–151 (TCR vessel), 260V-152 (Wash Oil Vessel), 260C–151
(Vacuum Column ) dan semua draw – off dan return line sehingga semua terflush.
6. Semua filter, exchanger dan pompa-pompa dan pipa proses harus diflush untuk
menghilangkan komponen yang mempunyai pour point tinggi.
7. Pompa keluar gas oil dari 260C–151, 260V–151, dan 260V–152 ke 041T–122.
8. Pompa keluar gas oil dari 260V–153 (ejector effluent separator) ke system wet slops.
9. Drain sisa cairan dari vessel dan kolom ke sewer.
10. Untuk mengurangi emisi hydrocarbon, steaming out dapat dilakukan pada system tertutup
dengan maksimum aliran cooling water ke ejector condenser, namun jika cara ini yang
dipilih, lakukan pengamatan bahwa kolom vacuum dan peralatan lainnya tidak terjadi over
pressure.
11. Steaming out tube – tube 260F–151 (Redistillation Unit Feed Heater).
12. Steaming out kolom, vessel, exchanger, filter, peralatan lainnya dan perpipaan kembali ke
drain – drain lower pointnya.
13. Buka semua venting di vessel dan column dan mulai purging dengan steam hingga bebas
hydrocarbon.
73

Tabel 6.6 Disain Feed dan Produk Unit HTU


74
75
76

7. MEK DEWAXING UNIT (MDU)

7.1 Teori dan Uraian Proses

7.1.1 Pengenalan Proses

Pada proses produksi lube base oil, komponen feed yang digunakan adalah yang mempunyai
komponen hydrocarbon paraffin yang relatif tinggi mengingat komponen parafin memiliki
angka VI yang tinggi. Akan tetapi dalam fraksi paraffin ini terdapat komponen yang
mempunyai boiling point yang tinggi yaitu komponen normal paraffin yang akan menyebabkan
tingginya pour point lube oil. Untuk itu dilakukan proses untuk memisahkan / mengambil
komponen yang mempunyai pour point tinggi tersebut yang disebut dengan proses dewaxing.

7.1.2 Teori Proses

7.1.2.1 Solvent Dewaxing

Metode yang paling tua dan sederhana dalam proses dewaxing adalah dengan cara
mendinginkan waxy oil, mengkristalkan wax tanpa menambahkan diluent, dan memisahkan
oil dengan wax-nya dengan proses filtrasi pada filter press tekanan tinggi. Tetapi cara ini
sesuai untuk memproses heavy oil karena viskositasnya yang tinggi.

Viskositas oil dapat dikurangi dengan menambahkan diluent misalkan naphta. Tetapi karena
wax sangat mudah larut dalam naphta bahkan pada temperatur rendah, maka pada saat
proses pemisahan diluent, pour point oil akan lebih tinggi daripada dewaxing temperatur.
Beda temperatur dewaxing (pour point differential) akan mencapai 20 oC bahkan lebih.

Pada proses dewaxing yang modern dilakukan dengan menggunakan jenis solvent yang
dapat menghilangkan kerugian – kerugian dengan menggunakan diluent naphta dimana
solvent tersebut :

 Mampu menjaga oil tetap dalm larutan pada kondisi temperatur dewaxing.
 Solubity terhadap wax rendah bahkan tidak ada.
 Memisahkan wax yang memungkinkan untuk dilakukan proses filtrasi yang efisien.

7.1.2.2 Komposisi Solvent

Solvent yang digunakan dalam proses dewaxing di Unit MDU’s Kilang UP IV Cilacap adalah
campuran methyl ethyl ketone (MEK) dan toluene dengan komposisi 52 / 48% vol/vol ratio.
MEK sebagai wax precipitating agent, hanya sedikit melarutkan wax dalam temperatur
rendah. Tetapi solvent power-nya terhadap oil terbatas sehingga akan membentuk dua fase
liquid (oil dan solvent) jika tidak ditambahkan pelarut / solvent untuk minyak / oil. Dengan
kondisi seperti ini maka pemisahan minyak dengan wax menjadi tidak sempurna akibatnya oil
content di slack wax akan tinggi dan yield dewaxed oil rendah.

Pelarut minyak paling baik adalah komponen aromatic seperti benzene, toluene, atau xylene
karena mempunyai solvent power yang tinggi tanpa melarutkan terlalu banyak wax. Pelarut
yang dipilih adalah toluene dengan pertimbangan mempunyai solvent power yang lebih tinggi,
kadar toxicity rendah, delta boliling point-nya terhadap MEK cukup jauh, mempunyai
77

crystalizing / freezing point yang rendah dibanding benzene. Xylene tidak digunakan karena
mempunyai boiling point yang cukup tinggi sehingga akan sulit pada proses recovery-nya.

7.1.2.3 Solvent Dilution

Jumlah total solvent yang ditambahkan ke charge oil dipengaruhi oleh viskositas feed dan
temperatur filtrasi. Kondisi yang paling baik adalah dengan menggunakan solvent seminimum
mungkin untuk mengurangi cost.
Tata cara penambahan solvent adalah sangat penting karena pembentukkan dan
pertumbuhan kristal wax merupakan fungsi viskositas “mother liquor” (larutan minyak di mana
kristal terbentuk) dan rate filtrasi.

Pada solvent ratio yang tinggi, viskositas charge oil akan menurun dan kristal wax akan
semakin besar. Kristal yang besar akan menghasilkan rate filtrasi yang baik, tetapi filter cake
akan lepas akibatnya efisiensi pencucian akan rendah. Kristal yang kecil akan membentuk
tighty packed cake, rate filtrasi rendah tetapi efisiensi pencucian akan meningkat.

Pada single dilution system, solvent ditambahkan ke oil feed sebelum chilling (sebagai
primary dilution). Dengan metode ini akan menghasilkan pembentukan kristal yang paling
besar terhadap feedstock. Sistem ini digunakan jika mengolah grade yang paling berat (bright
stock) karena biasanya kristal wax yang terbentuk sangat kecil.

Double dilution system, pada sistem ini hanya sebagian solvent ditambahkan ke oil feed
sebelum chilling dan sisanya ditambahkan sebagai secondary dilution selama atau sesudah
chilling. Pada double dilution system akan menghasilkan kristal yang lebih banyak dan lebih
kecil dibanding single dilution (karena viskositas “mother liqour” yang tinggi selama proses
kristalisasi / initial chilling). Secondary dilution solvent ditambahkan setelah proses kristalisasi
secara substansial selesai.

Perlu diperhatikan bahwa temperatur secondary solvent yang ditambahkan harus sama
dengan temperatur charge mix stream di mana solvent tersebut diinjeksikan, hal ini untuk
mencegah terjadinya “shock chilling” karena solvent dilution yang terlalu rendah, diikuti
dengan pembentukan kristal yang tidak merata. Jika temperatur solvent terlalu tinggi akan
menyebabkan kristal wax meleleh dan mengakibatkan penyumbatan pada filter. Double
dilution system digunakan untuk feed yang mempunyai kecenderungan membentuk kristal
yang terlalu besar, misal distilate ringan.

Multiple Dilution System, solvent diinjeksikan pada feed sedikit demi sedikit sebelum dan
selama chilling. Penambahan solvent dengan cara ini untuk memastikan bahwa ikatan antar
kristal wax terpisah sehingga tidak terjadi gabungan kristal yang besar. Kristal-kristal
individual yang dihasilkan ini akan meningkatkan rate filtrasi, dan mendapatkan cake dengan
pori-pori kecil sehingga pencucian lebih efisien. Keuntungan lain dengan menggunakan
sistem injeksi ini adalah akan mengurangi pressure drop antar chiller.

7.1.2.4 Cooling Rate

Cooling rate juga berpengaruh terhadap pembentukan kristal wax. Dengan solvent MEK
cooling rate yang tinggi dimungkinkan dimana rate rata-rata mencapai 3 oC/menit. Meskipun
demikian laju pendinginan harus dilakukan hati-hati untuk menghindari terjadinya “shock
chilling”.

7.1.2.5 Filtration

Untuk memperoleh filtrasi yang baik di rotary filter, campuran chilled wax/oil solvent harus
pada viskositas yang sesuai untuk meyakinkan rate filtrasi yang baik.Hal ini dapat dilakukan
dengan meyakinkan solvent dilution rate yang optimum dan menggontrol secara hati-hati
proses kristalisasi wax. Kristal wax yang besar cenderung akan menghasilkan filter cake
78

dengan pori-pori yang besar yang berisi oil di dalamnya dan tidak dapat dipisahkan dengan
cara cold wash. Hal ini akan menurunkan yield produk dewaxed oil. Sebaliknya jika kristal
yang terbentuk terlalu kecil dan padat dengan pori-pori yang kecil akan menyebabkan
kebuntuan pada filter (susah difiltrasi).

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa untuk memperoleh operasi yang optimum
pada filter tergantung pada kecakapan dalam mengatur filtrasi rate dan washability daripada
filter cake.
7.1.2.6 Cut Range of Feed Stock

MEK / Toluene merupakan solvent yang sesuai untuk memproses berbagai type feedstock,
bahkan terhadap iso/cycloparaffin. Tetapi jika n-paraffin dan iso/cycloparaffin terpisah secara
simultan, maka filtrasi menjadi jelek.

N – paraffin dengan berat molekul kecil dan iso/cyclo paraffin yang mempunyai berat molekul
yang besar bercampur dalam feedstock maka akan saling mempengaruhi, dimana pada
proses dewaxing dengan cut range yang lebar kedua paraffin tersebut akan terpisah bersama
– sama karena sekalipun ukuran kirstal berbeda namun akan mempunyai melting point yang
sama sehingga akan terpisahkan pada temp. yang sama. Hal ini akan mempersulit proses
filtrasi, karena kedua jenis paraffin itu mempunyai sifat yang berbeda. Hal ini dapat terjadi di
mana ruang diantara kristal – kristal n- paraffin yang besar akan terisi oleh partikel-partikel
mikrokristal iso-paraffin yang rapat sehingga terbentuk filter cake yang sulit ditembus dengan
filtrasi rate rendah dan pencucian yang jelek.

Pada distilate dengan cut range yang sempit, perbedaan titik leleh (melting point) senyawa-
senyawa n-paraffin dan iso-paraffin sekalipun lebih besar namun yang paling berpengaruh
adalah struktur wax yang terpisah umumnya lebih seragam sehingga proses filtrasi akan
berjalan lebih baik. Dengan alasan di atas maka dewaxing distilate dengan cut range yang
lebar tidak dianjurkan, dan selama proses agar diperhatikan jangan sampai terjadi
kontaminasi terhadap feedstock oleh distilate lainnya yang berbeda cut range.

7.1.2.7 Solvent Recovery

Salah satu aspek ekonomi yang penting dalam proses adalah recovery solvent yang efisien.
Karena pemakaian solvent dalam proses cukup besar dan harganya mahal. Dalam rangka
untuk mengurangi konsumsi steam dan fuel dalam recovery solvent maka dilakukan sistem
evaporasi ”double effect” sebagaimana juga dilakukan di Unit PDU’s dan Unit FEU’s dimana
proses pemisahan dilakukan pada dua tekanan yang berbeda.

7.1.2.8 Rasio Cold Wash

Efisiensi pemisahan minyak dengan pencucian filter cake tergantung pada jumlah wash
solvent yang digunakan. Ratio antara volume wash solvent dan liquid dalam pori-pori cake
dikenal sebagai cold wash ratio. Semakin tinggi ratio berarti semakin banyak solvent yang
digunakan dan pencucian secara cepat akan menjadi tidak efektif, serta akan meningkatkan
beban daripada seksi dewaxed oil solvent recovery.

7.1.2.9 Recycle Filtrate

Untuk meyakinkan pengoperasian rotating filter yang memuaskan, ketebalan cake harus
dijaga dalam batasan tertentu. Beberapa cara dapat dilakukan untuk mencapai hal tersebut,
antara lain dengan mengatur speed filter drum. Tetapi jika masih kurang cukup maka dapat
dilakukan sirkulasi kembali filtrate untuk mendapatkan liquid to solid ratio yang sesuai.
Recycle filtrate juga dapat dipertimbangkan sebagai pengurangan fresh solvent. Recycle
filtrate akan mengurangi oil content daripada liquid di dalam pori-pori wax cake, yang berarti
juga akan menurunkan oil content di dalam slack wax.
79

7.1.2.10 Warm wash

Selama normal operasi filter cloth akan menjadi buntu oleh kristal-kristal wax yang kecil akibat
penurunan daripada rate filtrasi. Untuk itu peru dilakukan warm wash secara periodik.

7.1.3 Uraian Proses

Mula-mula feed dengan kandungan wax (waxy oil) dipanaskan dulu untuk menghilangkan inti
kristal yang masih ada pada temperatur 70 oC, kemudian didinginkan lagi pada temperatur
50 oC dan dicampur dengan solvent, kemudian bersama-sama dengan solvent didinginkan
sampai suhu dewaxing yaitu -21 oC dengan atau tanpa diikuti penambahan solvent tergantung
feed stock-nya.

Pendinginan dilakukan pada double pipe heat exchanger/chiller yang dilengkapi dengan
scrapper dengan media pendingin (refrigerant) propane. Campuran yang telah didinginkan
kemudian di tampung dalam feed tank dan wax content diatur dengan menambahkan minyak
yang telah disaring (filtrasi) dingin dengan cara resirkulasi atau mengembalikan wax ke feed.
Filtrasi dilakukan pada alat yang disebut dengan rotary drum filter pada tekanan vacuum dan
bekerja secara kontinyu. Pada proses filtrasi wax ini kristal-kristal wax akan dipisahkan dalam
bentuk lapisa tipis (cake) yang menempel pada kain filter (filter cloth), dicuci dengan dry
solvent dingin dan dilepas dari kain filter dengan cara dihembus dengan inert gas. Filter cake
di-scrap dan dipindahkan dengan scroll ke penampung wax (wax boot), kemudian dipanaskan
dengan campuran cake yang mengandung solvent (slack wax mix) yang terlebih dulu telah
dipanaskan dengan steam.

Dari sini wax cake slurry dipompakan via steam heater ke surge tank untuk selanjutnya
dipisahkan dari solvent di seksi pengambilan solvent (slack wax recovery). Minyak hasil filtrasi
(filtrate oil) langsung dipompakan ke seksi pengambilan solvent (dewaxed oil recovery). Pada
kedua seksi tersebut solvent dipisahkan dengan menggunakan evaporasi double effect. Dan
sebagai media pemanasnya adalah hot oil dari hot oil sistem. Dari distilasi column (tekanan
tinggi), minyak atau slack wax dialirkan ke stripper column dan diinjeksi dengan steam di
mana solvent akan terambil. Air yang terikut dalam solvent dipisahkan dan selanjutnya solvent
dari recovery sistem dikembalikan lagi untuk proses dewaxing selanjutnya. Karena adanya
loss solvent selama beroperasi maka perlu dilakukan make up fresh solvent.

7.2 Basis Disain

7.2.1 Umum

Unit ini dirancang untuk menghilangkan komponen yang memiliki pour point yang tinggi yaitu
komponen normal parafin (wax). Adapun spesifikasi feed untuk Unit MDU baik Unit MDU I
yang beroperasi dengan solvex mode dan Unit MDU II/III yang beroperasi dengan hybride
mode relatif sama, termasuk parameter wax content di waxy raffinate (ex Unit FEU I) maupun
waxy HDT raffinate (ex Unit HTU/RDU).

7.2.2 Kapasitas Disain Unit – Tabel 7.1

Unit Grade Feed DO Slack Wax Yield DO Opr. Days


Produk T/D T/D T/D %-wt Feed
MDU I HVI-60 340 279 61 82.1 249
MDU II HVI-650 501 415 86 82.8 340
MDU III HVI-100 841 725 116 86.2 150
HVI-160S 777 641 136 82.5 163
80

HVI-650 501 415 86 82.8 12

7.2.3 Kondisi Operasi Utama – Tabel 7.2

7.2.4 Kondisi Batery Limit – Tabel 7.3

Stream Temp. (oC) Dari / Ke


Feed Waxy Raffinate 75 Dari Tanki Intermediate
Dewaxed Oil Rundown 70 Ke Tanki Intermediate
Slack Wax Rundown 100 Ke Refinery Fuel Oil

7.2.5 Solvent dan Data Refrigerant

Inventori normal MEK / Tol untuk Unit MDU II / III sekitar 210 ton dengan rasio solvent yang
digunakan 52 / 48 vol / vol.

Sifat Fisika MEK :

- Rumus Kimia CH3COC2H5


- Molecular Weight 72.1
- Boiling Point, oC 80.1
- Specific Gravity 20/4 oC 0.805
- Flash Point, oC - 5.5
- Kelarutan pada suhu 38 oC
+ MEK di Air, %-wt 19
+ Air di MEK, %-wt 10.2
- Explotion Limit %-vol in air 1.81 – 11.5

Sifat Fisika Toluene :

- Rumus Kimia C7H8


- Molecular Weight 92
- Boiling Point, oC 111
81

- Specific Gravity 20/4 oC 0.866


- Flash Point, oC 15

Spesifikasi Refrigerant (Propane) :


 Ethane : Max. 2.0 %-wt
 Propane : Min. 94.0 %-wt
 I-Butane : Max. 4.0 %-wt
7.3 Pengaturan Kondisi Operasi

7.3.1 Umum

Target pengaturan kondisi operasi di Unit MDU adalah sbb :

1. Untuk mendapatkan kualitas dan kuantitas produk utama (dalam hal ini Dewaxed Oil).
Kualitas produk DO yang bisa dilakukan pengaturan adalah :
 Max. Pour Point : dengan melakukan pengaturan temp. chilling.
 Min. Flash Point : parameter ini untuk menjaga tercapainya spesifikasinya flash point
produk akhir lube base oil.
2. Meminimalkan terjadinya loss solvent MEK/TOL baik melalui stream produk dewaxed oil,
slack wax,dan water to draom. Untuk meminimalkan terjadinya loss solvent maka
dilakukan monitoring kandungan parameter solvent content di stream tersebut dengan
melakukan analisa flash point di stream DO dan slack wax serta analisa kandungan MEK
di aliran water to drain.

3. Mendapatkan yield yang optimal dengan meminimalkan oil content di slack wax.

Target spesifikasi stream feed dan produk untuk Unit MDU I, II, dan III dapat dilihat pada
halaman berikut. Sebagai perbandingan juga diberikan data disain feed dan produk Unit
MDU.

8. Penutup

Akhir kata kami sebagai penyusun mengharapkan materi yang tidak terlalu rinci ini dapat
menjadi pengantar rekan-rekan BPST-XVII Pengolahan jika ditempatkan di Kilang Lube Oil
Complex UP IV Cilacap. Namun demikian prinsip dasar dari materi Unit MEK Dewaxing juga
dapat dijadikan tambahan materi untuk Unit Dewaxing Kilang Wax Plant UP IV Cilacap.
Disamping itu materi ini paling tidak dapat menjadi wawasan keberagaman unit proses dan
konfigurasi kilang di Pertamina.

Sebagai pelengkap di Bagian Lampiran bersama ini kami sampaikan materi pelengkap yang
tidak sempat kami terjemahkan yang sangat bermanfaat bagi rekan-rekan dengan rincian
lampiran sbb :

 Lampiran 1 kami sampaikan rincian pengoperasian di Unit MEK/Dewaxing


 Lampiran 2 kami sampaikan sekilas teknologi perkembangan pengolahan lube base oil
yang memanfaatkan produk bottom dari Unit Hydrocracker mengambil informasi dari
licensor UOP. Produk lube base oil yang dihasilkan dari unit ini mencapai lube base oil
Group III dengan VI > 120. Sebagai informasi saat ini proyek ini sedang dalam tahap
pelaksanaan di Unit UP II Dumai yang memiliki Unit Hydrocracker. Dengan demikian
kedepannya Pertamina memiliki produk Lube Base Oil Gr. I dan II dari Cilacap dan Group
III dari UP II Dumai.
 Lampiran 3 kami sampaikan process flow diagram yang lebih rinci untuk Unit HVU, PDU,
FEU, HTU, dan MDU.

Sekian dan terima kasih.


82

Ttd.

Penyususun

Nugroho – 739874
Process Eng. UP IV Cilacap.
83
84
To Suct. K-1
Cold Was h Solvent
From V-13 / V-14 Blow Back Inert Gas from V-6
To 24 V-15
24 V-14 MPS
To 24 V-15
24 E-2AB 24 S-1ABC 24 E-16
24 E-1AB 24 J-1ABC
24 E-8 24 E-12
24 V-1
CWS
24 C-1A
24 E-
24 E-5 24 24
24 V-13 24 E-7AB C-2 C-6
24 V-2
24 P-3ABC 24 C-1B 24 E-11 CW
LPS 24 E-27 24 E-15
24 S-4AB LPS
S.T

24 E-3 Vap. To LPS 24 E-13AB


24 P-2AB
24 V-13

SOLVENT
24 P-10 24 P-17
24 P-9AB
24 E-6AB
41 P-4AB
D. OIL PROD.

FEED
24 E-19 24 E-25

24 C-3A
24 E-23

24
24 E-20
24 E-22 C-5
24 V-15 24 V-16 24 V-17 24 C-4 24 V-11
24 C-3B HOS
24 E-18
24 E-17
LPS
24 P-15 24 P-16
24 V-11 24 P-13AB 24 P-11 From 24 V-17
24 P-7AB 24 P-8
24 P-12AB

PROCESS FLOW DIAGRAM


S. WAX PROD. MDU ( 24 ) LOC - I
REV
I

41 P-4AB FEED PUMPS 24 P-15 SOLVENT STRIPPER PUMPS 24 V-1 DEWAX FILTER FEED VESSEL 24 E-3 CHARGE MIX HEATER 24 E-16 D.O LP SOLVENT COOLER
24 P-2AB OIL FILTRATE PUMPS 24 P-16AB WET SOLVENT PUMPS 24 V-2 DEWAXING FILTRATE RECEIVER 24 E-4 CHARGE MIX COOLER 24 E-27 D.O MIX HP HEATER
24 P-3ABC S. WAX MIX PUMPS 24 P-17AB D.O DRIER BOTTOM PUMPS 24 V-7 WARM WASH RECEIVER 24 E-5 S. WAX MIX HEATER 24 E-40 VACUUM EJECT. COOLER
24 P-5 WARM WASH SLOP PUMP 24 C-1A D.O MIX FLASH COLUMN 24 V-10 SUMP VESSEL 24 E-6AB SOLV./D.O MIX EXCHANGERS 24 E-17 S.WAX MIX FLASH HEATER
24 P-7AB DRY SOLVENT PUMPS 24 C-1B D.O MIX FLASH COLUMN 24 V-11 STRIP OVHD RECEIVER 24 E-7AB DRY SOLVENT CHILLER 24 E-18 S.WAX MIX / HP SOL. EXCH.
24 P-8 WET SOLVENT CHARGE PUMP 24 C-2 D.O STRIPPER COLUMN 24 V-17 S. WAX SURGE VESSEL 24 E-8 DRY SOLVENT CHILLER 24 E-19 S.WAX HP SOLV. COOLER
24 P-9AB DEWAXED MIX HEATER PUMPS 24 C-3A S. WAX MIX FLASH COLUMN 24 V-18A HIGH MEK STORAGE VESSEL 24 E-11 D.O MIX SOLVENT EXCHANGER 24 E-20 S. WAX MIX EXCHANGER
24 P-10 D.O PRODUCT PUMP 24 C-3B S. WAX MIX FLASH COLUMN 24 V-18B LOW MEK STORAGE VESSEL 24 E-12 D.O HP SOLVENT COOLER 24 E-22 S.WAX MIX SOL. EXCHANGER
24 P-11 S. WAX MIX CHARGE PUMP 24 C-4 S. WAX STRIPPER COLUMN 24 V-19 D.O MIX VESSEL 24 E-13AB D.O MIX / D.O EXCHANGER 24 E-23 S. WAX LP SOL. COOLER
24 P-12AB S. WAX PRODUCT PUMPS 24 C-5 SOLVENT STRIP COLUMN 24 E-1AB SCRAP. SURFACE D.P. EXCH. 24 E-14 D.O COOLER
24 P-13AB S. WAX MIX CHARGE PUMPS 24 C-6 D.O DRIER COLUMN 24 E-2AB SCRAP. SURFACE D.P. CHILLER 24 E-15 D.O MIX/LP SOLVENT EXCH.
85
86
87
88

LAMPIRAN 1

PENGATURAN KONDISI OPERASI


DI UNIT MDU
89

LAMPIRAN 2

PRODUKSI LUBE BASE OIL DARI PRODUK


BOTTOM UNIT HYDROCACKER
(REF. UOP)
90

LAMPIRAN 3

PROCESS FLOW DIAGRAM UNIT HVU I,


UNIT PDU II, UNIT FEU II, UNIT HTU,
UNIT MDU III

Anda mungkin juga menyukai