Anda di halaman 1dari 10

EFEKTIVITAS STANDAR PROSES

PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN DI SEKOLAH


(Studi Evaluatif di Beberapa SMA Negeri di Provinsi Bengkulu)

Rambat Nur Sasongko


Program Studi Magister Administrasi Pendidikan
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Bengkulu
E-mail: rambatnur@yahoo.com HP: +6281367354770

Abstrak; Pendidikan kewirausahaan telah diterapkan di Sekolah Menengah Atas (SMA)


secara bervariasi. Proses pembelajaran pun diduga kurang sesuai dengan standar proses,
sehingga banyak siswa yang tidak melanjutkan ke bangku pendidikan tinggi tidak memiliki
kesiapan untuk berwirausaha. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas
pendidikan kewirausahaan di SMA dilihat dari standar proses. Metode penelitian
menggunakan studi evaluatif dengan pendekatan kualitatif pada pendidikan
kewirausahaan. Subyek penelitian yaitu kepala sekolah, guru, siswa, dan alumni SMAN di
beberapa wilayah provinsi Bengkulu. Teknik pengumpulan data dengan wawancara,
observasi, dan studi dokumentasi. Teknik pengolahan data dilakukan dengan analisis
evaluatif dari standar proses. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan
kewirausahaan di sekolah dilihat dari standar proses belum berjalan secara efektif.
Terdapat sejumlah faktor yang perlu dipenuhi agar pendidikan kewirausahaan di sekolah
berjalan secara efektif, yakni kebijakan akademik yang berpihak pada pendidikan
kewirausahaan, pembenahan manajemen pembelajaran, penyiapan sumber daya yang
memadai, dan jadwal khusus praktik pendidikan kewirausahaan.

Kata kunci: Pendidikan kewirausahaan, standar proses, SMA

Abstract; Entrepreneurship education has been applied variously in Senior High School
(SMA). The learning process was allegedly less appropriate with the standard process, so
that many students who do not continue to the bench of higher education does not have
readiness to entrepreneurship. This study aims to evaluate the effectiveness of
entrepreneurship education in SMA seen from the standard process. The research method
uses evaluative study with qualitative approach to entrepreneurship education. The
research subjects are principal, teachers, students, and alumni of SMAN in some areas of
Bengkulu province. Technique of collecting data by interview, observation, and study of
documentation. The data processing technique is done by evaluative analysis of process
standard. The results show that entrepreneurship education in schools seen from the
standard process has not been run effectively. There are a number of factors that need to
be met in order for entrepreneurship education in schools to run effectively, namely
academic policies in favor of entrepreneurship education, improvement of learning
management, adequate resource preparation, and a specific schedule of entrepreneurship
education practices.

Keywords: Entrepreneurship education, process standard, Senior High School (SMA)

1
PENDAHULUAN
Pendidikan kewirausahaan sesungguhnya telah dilaksanakan di berbagai jenjang
sekolah, mulai dari bangku Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA).
Pelaksanaan pun telah diselenggarakan sejak lama. Misalnya pada kurikulum sekolah
tahun 1960 terdapat mata pelajaran Prakarya yang memberikan berbagai macam
keterampilan untuk berwirausaha, seperti keterampilan membuat aneka kerajinan tangan,
keterampilan membuat kue, keterampilan membuat tas, keterampilan ketukangan, dan
sebagainya. Berbagai macam keterampilan tersebut merupakan dasar sebagai mata
pencaharian dalam kehidupannya.
Pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK), dan Kurikulum 2013 telah menempatkan pendidikan kewirausahaan
sebagai muatan lokal di sekolah. Pendidikan kewirausahaan memperoleh porsi sebagai
subyek mata pelajaran yang wajib ditempuh oleh siswa. Sekolah diberi kewenangan untuk
mengembangkan mata pelajaran tersebut sesuai dengan kondisi lingkungan, sumber daya,
harapan masyarakat, dan prospek ekonomi ke depan (Sasongko dan Sahono, 2016).
Sebelum Kurikulum 2013 (K-13) diberlakukan, pendidikan kewirausahaan telah
diterapkan sebagai mata pelajaran tersendiri maupun dipadukan dengan mata pelajaran
yang lainnya. Demikian pula pada K-13 telah memuat mata pelajaran prakarya sebagai
mata pelajaran wajib. Pemberlakuan mata pelajaran ini dapat mempunyai dampak positif
bagi peserta didik utamanya tingkat capaian pembelajaran yang menghasilkan jiwa
wirausaha. Hal itu dapat terwujud jika mata pelajaran pendidikan kewirausahaan tersebut
benar-benar diselenggarakan secara efektif sesuai dengan standar yang ditetapkan (Burton,
2009 dan Lumpkin and Dress, 2001).
Esensi pendidikan kewirausahaan sesungguhnya merupakan pembinaan sikap, jiwa
dan kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru yang sangat bernilai dan berguna
bagi dirinya dan orang lain di masa depan. Melalui pendidikan kewirausahaan dapat
melahirkan sikap mental dan jiwa aktif, kreatif, berdaya, bercipta, berkarya, bersahaja dan
berusaha dalam rangka meningkatkan pendapatan dalam kegiatan usaha yang
dilakukannya. Luaran dari pendidikan kewirausahaan yaitu terwujudnya wirausaha-
wirausaha baru. Wirausaha merupakan orang yang terampil memanfaatkan peluang dalam
mengembangkan usahanya dengan tujuan untuk meningkatkan kehidupannya (Kemdiknas,
2010; dan Kholifah dan Nurtanto, 2016).
Pendidikan kewirausahaan yang diselenggarakan di sekolah diharapkan agar
menghasilkan karakter siswa yang mampu berusaha. Siswa seyognyanya mampu melihat
peluang kesempatan bisnis, mengumpulkan sumber daya-sumber daya yang dibutuhkan
untuk mengambil tindakan yang tepat, mengambil keuntungan serta memiliki sifat, watak
dan kemauan untuk mewujudkan gagasan inovatif kedalam dunia nyata secara kreatif
dalam rangka meraih sukses. Sebagai seorang wirausaha hasil dari pendidikan
kewirausahaan seorang peserta didik memiliki karakter berusaha, kreatif, inovatif, dan
mengaplikasikan hakikat kewirausahaan tersebut sebagai mata pencaharian dalam
hidupnya (Kholifah dan Nurtanto, 2016).
Begitu urgen pendidikan kewirausahaan bagi bekal kehidupan siswa di masa depan,
maka pendidikan kewirausahaan ini amat penting penekanannya di selenggarakan di
bangku SMA. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa alumni SMA yang tidak
melanjutkan ke bangku pendidikan tinggi, akan terjun ke masyarakat. Boleh jadi alumni
siswa SMA tersebut masuk ke dunia kerja menjadi karyawan, menciptakan lapangan kerja
sendiri, atau yang lebih parah menjadi penganggur. Disinilah letak posisi strategis
pendidikan kewirausahaan dipertaruhkan.

2
Bagi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sudah jelas orientasi lulusannya
kompetensi kejuruan yang dapat diterapkan di dunia kerja. Namun bagi alumni SMA yang
merupakan sekolah umum, maka orientasi kompetensi yang tidak melanjutkan ke
pendidikan tinggi sudah barang tentu difokuskan menjadi wirausaha baru. Hal ini agar
alumni SMA tidak menjadi beban negative bagi keluarga, masyarakat dan pemerintah.
Mereka yang tidak tertampung pada dunia kerja, setidaknya mampu mengamalkan ilmu
yang diperoleh dari mata pelajaran pendidikan kewirausahaan di SMA menjadi wirausaha
baru dan menciptakan lapangan pekerjaannya sendiri sebagai mata pencaharian yang
dijadikan sumber kehidupannya.
Menurut Kholifah dan Nurtato (2016) bahwa pendidikan kewirausahaan belum
memperoleh perhatian yang mencukupi. Terdapat sejumlah pendidik yang kurang
memperhatikan pertumbuhan karakter dan perilaku wirausaha peserta didik, baik di
sekolah umum maupun sekolah kejuruan. Orientasi mereka, pada umumnya hanya pada
menyiapkan tenaga kerja dan bukan mengubah manusia menjadi manusia yang memiliki
karakter atau perilaku wirausaha (Napitupulu, 2013). Peserta didik kurang dibekali dengan
perilaku wirausaha yang tangguh, mandiri dan mampu menciptakan lapangan kerja sendiri
sebagai mata pencaharian yang tidak membebani masyarakat dan Negara. Berdasarkan
studi pendahuluan di SMA provinsi Bengkulu menunjukkan sejumlah kelemahan
penyelenggaraan pendidikan kewirausahaan di SMA, yakni terlalu banyak teori dan
kurangnya praktik, kurangnya lab kewirausahaan, kurangnya sarana dan prasarana
pendukung pendidikan kewirausahaan, kurangnya siswa memperoleh kesempatan
menciptakan lapangan kerja sebagai mata pencaharian, kurangnya guru yang mempunyai
kualifikasi pendidikan kewirausahaan, dan sebagainya.
Mengingat betapa pentingnya pendidikan kewirausahaan ini di bangku SMA, maka
perlu juga dibenahi dari sudut standar proses. Standar proses ini menyangkut pembenahan
dari segi perencanaan pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil
belajar, dan pengawasan proses pembelajaran. Dengan pembenahan dari segi standar
proses ini, maka diharapkan penyelenggaraan pendidikan kewirausahaan sesuai dengan
standar yang ditetapkan oleh pemerintah sebagaimana amanat dalam PP No. 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), khususnya Permendiknas No. 22 Tahun
2016 tentang Standar Proses Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Permasalahan penelitiannya yaitu apakah standar proses ini sudah berjalan efektif
pada pendidikan kewirausahaan di SMA? Penyelenggaran pendidikan kewirausahaan
dikatakan efektif, jika telah memenuhi unsur standar proses. Fokus penelitian berupaya
mengungkapkan apakah pendidikan kewirausahaan ini memenuhi standar perencanaan
pembelajaran?, apakah pendidikan kewirausahaan ini memenuhi standar pelaksanaan
proses pembelajaran?, apakah pendidikan kewirausahaan ini memenuhi standar penilaian
hasil belajar?, dan apakah pendidikan kewirausahaan ini memenuhi standar pengawasan
proses pembelajaran?
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas standar proses pada mata
pelajaran pendidikan kewirausahaan di SMA. Manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian
ini yakni dapat dijadikan dasar untuk perbaikan dan peningkatan penyelenggaraan
pendidikan kewirausahaan di SMA, meningkatkan standar proses pada SNP di SMA,
meningkatkan kinerja guru pendidikan kewirausahaan, dan mengungkap fenomena baru
tentang efektivitas standar proses pendidikan kewirausahaan di SMA.

3
TINJAUAN PUSTAKA
Pemerintah telah menetapkan standar nasional pendidikan melalui Peraturan
Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Peraturan ini
kemudian direvisi melalui Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2013 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Standar Nasional Pendidikan (SNP) ini merupakan merupakan kriteria minimal tentang
berbagai aspek yang relevan dalam pelaksanaan sistem pendidikan nasional dan harus
dipenuhi oleh penyelenggara dan/atau satuan pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara
Kesatuan Republik Indonesia (PP No.19 Tahun 2005 dan PP No. 32 Tahun 2013). Fungsi
dari SNP yaitu sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan
dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. Adapun tujuannya untuk
menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. SNP terdiri atas delapan
standar yakni standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, standar tenaga
pendidik dan kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pembiayaan, standar
pengelolaan, dan standar penilaian.
Delapan SNP ini merupakan satu kesatuan yang harus diterapkan oleh satuan
pendidikan agar terjamin mutu penyelenggaraan pendidikan (Kemdiknas, 2011, Sasongko,
2011; Sasongko dan Sahono, 2006). Pendidikan yang bermutu adalah yang sesuai dengan
SNP (Burton, 2009). Burton memberikan ilustrasi di Amerika bahwa negara-negara bagian
hampir seluruhnya telah sesuai dengan SNP yang ditetapkan pemerintah. Hal ini
memberikan manfaat bagi masyarakat tidak ragu-ragu atas pendidikan anak-anaknya dan
penyelenggaraan pendidikan pada setiap satuan pendidikan telah benar-benar sesuai
dengan kebijakan pemerintah. Penerapan SNP merupakan suatu kewajiban. Hal ini
didasarkan atas rasional jika SNP tidak diterapkan di sekolah, maka sekolah tersebut tentu
tidak standar. Dampaknya berupa rendahnya prestasi belajar, tingkat kelulusan rendah,
sekolah kurang mampu berkomptetisi dengan sekolah lain, dan image dan trust (citra dan
kepercayaan) masyarakat terhadap sekolah kurang. Kondisi ini bisa menyebabkan sekolah
gulung tikar (Bandur; 2009, Burton, 2009; Sasongko dan Sahono, 2016).
Salah satu standar yang tak kalah penting untuk diimplementasikan yakni standar
proses. Standar proses juga telah diatur dalam Permendiknas No. 65 Tahun 2013 tentang
Standar Proses Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Permen ini pun kemudian
direvisi kembali menjadi Permendikbud No. 22 Tahun 2016. Permen ini merupakan
kriteria pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan untuk mencapai standar
kompetensi lulusan. Proses pembelajaran yang diselenggarakan di sekolah dilakukan
secara interaktf, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi pembentukan prakarsa,
kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta
psikologi siswa. Standar proses meliputi standar perencanaan pembelajaran, pelaksanaan
proses pembelajaran, penilaian hasil belajar, dan pengawasan proses pembelajaran. Melalui
pengaturan standar proses ini diharapkan layanan akademik yang dilaksanakan oleh guru
dapat mencapai kompetensi lulusan secara efektif (Sasongko, 2015; Sasongko dan Sahono,
2016).
Penerapan standar proses dilakukan pada semua mata pelajaran. Tak terkecuali
pada pendidikan kewirausahaan di sekolah. Pendidikan kewirausahaan merupakan
pembinaan sikap, jiwa dan kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru, bernilai dan
berguna bagi dirinya dan orang lain di masa depan (Lumpkin and Dress, 2001 dan
Sasongko dan Sahono, 2016). Pendidikan kewirausahaan dapat melahirkan sikap mental
dan jiwa aktif, kreatif, berdaya, bercipta, berkarya, bersahaja dan berusaha dalam rangka

4
meningkatkan pendapatan dalam kegiatan usaha yang dilakukannya. Hasil dari pendidikan
kewirausahaan yaitu siswa mampu menjadi wirausaha baru. Wirausaha merupakan orang
yang terampil memanfaatkan peluang dalam mengembangkan usahanya dengan tujuan
dapat meningkatkan kehidupannya (Kemdiknas, 2011; dan Kholifah dan Nurtanto, 2016).
Pendidikan kewirausahaan di sekolah ditujukan agar siswa memiliki karakter
berusaha yang mandiri (Rohmat, 2010; dan Subijanto, 2012). Siswa diharapkan mampu
melihat peluang kesempatan bisnis, mengumpulkan sumber daya-sumber daya yang
dibutuhkan untuk mengambil tindakan yang tepat, mengambil keuntungan serta memiliki
sifat, watak dan kemauan untuk mewujudkan gagasan inovatif kedalam dunia nyata secara
kreatif dalam rangka meraih sukses dalam kehidupan. Alumni sekolah yang telah
memperoleh pendidikan kewirausahaan memiliki karakter berusaha, kreatif, inovatif,
bertanggung jawab, dan mampu mengaplikasikan hakikat kewirausahaan tersebut sebagai
mata pencaharian dalam hidupnya (Kartiawan, 2016; dan Kholifah dan Nurtanto, 2016).
Penyelenggaraan pendidikan kewirausahaan di sekolah baik dalam kurikulum
KTSP maupun K-13 mempunyai porsi tersendiri. Di SMA pendidikan kewirausahaan
diaplikasikan secara terpadu dengan mata pelajaran yang lainnya, utamanya nilai-nilai
kewirausahaan tersebut. Pada KTSP memuat mata pelajaran keterampilan sebagai muatan
lokal, dalam bentuk pertanian, perikanan, industri, bisnis, koperasi, dan sebagainya.
Demikian pula pada K-13 memuat mata pelajaran prakarya. Esensi mata pelajaran tersebut
yakni menanamkan karakter berwirausaha. Pembelajaran pendidikan kewirausahaan yang
efektif dilakukan melalui tahapan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran,
penilaian pembelajaran, dan pengawasan pembelajaran yang sesuai dengan ketetapan
(Kemdiknas, 2011 dan Bandur, 2009). Dalam dimensi implementasi SNP, penyelenggaraan
pendidikan kewirausahaan hendaknya dilaksanakan secara efektif sesuai dengan standar
proses pada ketentuan SNP (Permendikbud No. 22/2016; dan Sasongko dan Sahono,
2016).

METODE
Penelitian ini menggunakan metode evaluatif dengan pendekatan deskriptif
kualitatif. Penelitian bermaksud mengukur seberapa jauh ketercapaian program yang telah
ditetapkan yang dipaparkan secara naratif dan kontekstual (Burn, 2009 dan Miles and
Huberman, 2007). Implementasi dalam penelitian ini yaitu mengukur keterlaksanaan
penyelenggaraan pendidikan kewirausahaan di SMA, dilihat dari standar proses SNP yang
terdiri atas standar perencanaan pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian
hasil belajar, dan pengawasan proses pembelajaran. Analisis efektivitas dilakukan
membandingkan antara keterlaksanaan penyelenggaraan pendidikan kewirausahaan dengan
standar proses pada SNP.
Subyek penelitian terdiri atas kepala sekolah, guru, siswa, dan alumni SMA Negeri
di beberapa wilayah Bengkulu. Subyek dan responden penelitian dipilih secara bertujuan
(purposive sampling) dengan mempertimbangkan keterwakilan institusi dan jenis data
yang dikumpulkan (Burn, 1995).
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam dengan
responden yang menjadi subyek penelitian, observasi dan studi dokumentasi. Wawancara
dilakukan berkali-kali hingga data dan informasi benar-benar tuntas menjawab
permasalahan penelitian. Demikian pula observasi dan studi dokumentasi dijadikan sebagai
pendukung pengumpulan data dan informasi wawancara. Dari berbagai teknik
pengumpulan data tersebut, data dan informasi dihimpun, digali, didalami, dan diramu
menjadi satu kesatuan pernyataan yang bermakna. Bisa jadi pernyataan tersebut

5
merupakan fenomena baru, gejala baru, teori lapangan baru (grounded theory), atau tesis
yang benar-benar orisinil (Miles and Huberman, 2007).
Analisis data dilakukan secara evaluatif dengan pendekatan deskriptif kualitatif
(Burn, 1995 dan Miles and Huberman, 2007). Evaluatif dilakukan dengan mengukur
keterlaksanaan penyelenggaraan pendidikan kewirausahaan di SMA dilihat dari standar
proses. Tekniknya melalui pembandingan antara standar proses yang ditetapkan SNP
dengan kondisi nyata penyelenggaraan pendidikan kewirausahaan. Penyelenggaraan
pendidikan kewirausahaan dikatakan efektif, jika sesuai dengan standar proses yang
ditetapkan pemerintah. Kesesuaian tersebut dapat menggambarkan efektivitas standar
proses pendidikan kewirausahaan di sekolah.
Teknik untuk meningkatkan keabsahan data dilakukan melalui cek-recek
(mengecek kembali ke responden berkali-kali), trianggulasi (menanyakan dari berbagai
sumber minimal tiga sumber), peer debriefing (mengkaji data dan informasi dari rekan
sebaya responden), analisis kasus negative (mengecek mengapa diperoleh data yang
nyeleneh), dan audit trail (melakukan mengecekan catatan lapangan) (Miles and
Huberman, 2007). Demikian pula dilakukan teknik untuk meningkatkan kredibilitas
penelitian melalui uji obyektivitas (kejujuran pengumpulan data dan informasi),
transfermabilitas (keterpakaian dan kesesuaian hasil penelitian), dependabilitas
(ketidakberpihakan peneliti), dan auditabilitas (pengecekan hasil kembali) (Miles and
Huberman, 2007).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil Penelitian
Penyelenggaraan pendidikan kewirausahaan di SMA Negeri provinsi Bengkulu
amat bervariasi. Antara satu sekolah dengan sekolah yang lainnya berbeda. Keberbedaan
ini memang merupakan amanat dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dimana
sekolah diberi kewenangan untuk mengembangkan kurikulumnya sesuai dengan potensi
lingkungan dan budaya daerah masing-masing. Pendidikan kewirausahaan tidak secara
gamblang memiliki nama mata pelajaran tersebut, namun esensinya adalah pendidikan
kewirausahaan itu sendiri. Terdapat sekolah yang mengajarkan pendidikan kewirausahaan
dalam mata pelajaran ekonomi dan koperasi yang di dalamnya terdapat materi
kewirausahaan. Terdapat sekolah yang mengembangkan muatan lokal dengan mata
pelajaran kewirausahaan secara berdiri sendiri, seperti keterampilan, prakarya, ekonomi
dan bisnis, prakarya dan kewirausahaan, pertanian, peternakan, teknologi terapan, dan
ekonomi dan perdagangan. KTSP memberi porsi pendidikan kewirausahaan dengan nama
mata pelajaran keterampilan (2 jam), K-13 dengan mata pelajaran prakarya (2 jam) sebagai
mapel wajib. Terdapat juga sekolah yang mengeluarkan kebijakan bahwa nilai-nilai
kewirausahaan harus diajarkan pada semua mata pelajaran di sekolah.
Apapun nama mata pelajaran tersebut kepala sekolah dan guru mempunyai
komitmen bahwa pendidikan kewirausahaan amat penting diberikan kepada siswa. Melalui
berbagai mata pelajaran yang esensinya adalah pendidikan kewirausahaan tersebut
mengharapkan siswa mempunyai kemampuan berwirausaha, mandiri, dan mampu
mengembangkan usaha kelak dikemudian hari sebagai mata pencaharian dalam
kehidupannya. Sungguh pun sekolah amat padat dengan berbagai mata pelajaran yang
lainnya, pihak sekolah tetap mempunyai komitmen yang tinggi agar siswa-siswinya
berhasil dalam kehidupannya.
Penyelenggaran pendidikan kewirausahaan di SMA menurut penuturan kepala
sekolah dan guru cukup efektif. Hal itu didasarkan atas terselenggaranya pembelajaran
mata pelajaran kewirausahaan (keterampilan, prakarya, muatan lokal, dan nama yang

6
lainnya) yang terlaksana sesuai dengan standar proses. Para siswa telah diberikan
pembelajaran dengan materi teori dan praktik keterampilan yang mencukupi. Namun
menurut siswa dan alumni berbeda dengan pendapat tersebut. Mereka memberikan
klarifikasi bahwa pendidikan kewirausahaan kurang cukup untuk membekali mereka
menjadi mandiri, menjadi wirausaha baru, dan sebagai mata pencahariannya. Mereka harus
berjuang dalam kehidupan yang cukup berat ini dan harus menyesuaikan dengan tantangan
dan kebutuhan dunia kerja.
Implementasi standar perencanaan pada mata pelajaran pendidikan kewirausahaan
sudah dilakukan sesuai dengan ketetapan dalam standar proses tersebut. Pendidikan
kewirausahaan yang dilaksanakan di SMA telah mempunyai silabus dan RPP (Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran) yang disusun oleh guru dari MGMP (Musyawarah Guru Mata
Pelajaran) dan pengawas sekolah. Penyusunan rencana telah memenuhi prinsip perbedaan
individu, keaktivan siswa, keterpaduan dengan faktor lain, dan menggunakan teknologi
informasi. Selain hal tersebut bahan ajar disusun sesuai dengan RPP, cukup luas, dan
variatif. Menurut pengakuan guru maupun kepala sekolah perencanaan dalam
pembelajaraan pendidikan kewirausahaan cukup efektif sesuai dengan standar proses.
Implementasi standar pelaksanaan pembelajaran sudah sesuai dengan ketentuan,
seperti memenuhi persyaratan rombongan belajar yang tidak terlalu besar, didukung
dengan bahan ajar dari guru dan buku teks, dan pengelolaan kelas yang kondusif dan
memadai. Kegiatan pembelajaran dilaksanakan sesuai dengan langkah-langkah kegiatan
pembukaan yang membangkitkan semangat, kegiatan inti yang menjelaskan materi dengan
berbagai peragaan praktik, dan penutup yang berisi rangkuman dan tugas. Tahapan
tersebut sesuai dengan RPP yang telah disusun. Hanya saja pembelajaran lebih banyak
teorinya daripada praktik. Hal ini disebabkan oleh ketiadaan laboratorium praktik,
pembiayaan pembelian bahan praktik, waktu yang kurang memadai, dan pertimbangan
ekonomi siswa.
Implementasi pada standar penilaian pada pendidikan kewirausahaan sudah sesuai
dengan standar yang ditetapkan. Penilaian dilakukan untuk mengukur apa yang telah
disampaikan dalam proses pembelajaran sesuai dengan RPP. Penilaian dilakukan secara
komprehensif, yakni ada penilaian awal, proses, dan akhir, Terdapat penilaian dari segi
kognitif, dan keterampilan menghasilkan produk. Penilaian ini tidak mengungkap
bagaimana siswa mendesain usaha ketika kelak tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan
yang lebih tinggi. Dari segi prestasi belajar siswa menunjukkan rata-rata belajar dengan
angka 7,2 (tujuh koma dua) atau dengan kategori baik.
Pada penerapan standar pengawasan pendidikan kewirausahaan menunjukkan
belum sesuai dengan ketentuan. Pemantauan yang secara khusus untuk mata pelajaran
pendidikan kewirausahaan jarang dilaksanakan baik oleh kepala sekolah maupun
pengawas. Namun kepala sekolah melakukan kegiatan supervisi akademik untuk membina
guru mata pelajaran pendidikan kewirausahaan mengenai silabus, RPP, bahan ajar, dan
penilaian hasil belajar. Pengawas pada mata pelajaran ini diserahkan kepada pengawas
pembina yang pelaksanaan supervisi akademiknya kurang memahami esensi mata
pelajaran ini. Guru kurang memperoleh pembinaan tentang pembelajaran pendidikan
kewirausahaan. Dengan demikian pada implementasi standar pengawasan mata pelajaran
pendidikan kewirausaan kurang efektif dilaksanakan.
Pembahasan
Efektivitas standar proses pada pembelajaran mata pelajaran pendidikan
kewirausahaan dapat dikur dari indikator perencanaan, pelaksanan pembelajaran,
penilaian, dan pengawasan (Permendiknas No. 22/2016). Ketika butir-butir standar proses
pada SNP tersebut kurang dapat dipenuhi secara menyeluruh, maka dapat digolongkan

7
bahwa penyelenggaraan pendidikan kewirausahaan berjalan kurang efektif. Demikian pula
sebaliknya (Burton, 2009 dan Sasongko, 2009).
Sebagaimana hasil penelitian yang menunjukkan bahwa antara pandangan kepala
sekolah dan guru berbeda dengan pandangan siswa dan alumni. Kepala sekolah dan guru
merupakan unsur pengelola dan pelaksana pembelajaran. Dengan demikian jika ditanyakan
tentang efektif tidaknya, maka akan menjawab sangat efektif. Namun jika ditanyakan
kepada siswa dan alumni sebagai subyek pendidikan, maka mereka menjawab apa adanya,
seingatnya dan sesuai dengan kesan saat memperoleh mata pelajaran pendidikan
kewirausahaan tersebut. Kenyataannya pandangannya bertolak belakang dengan kepala
sekolah dan guru. Kondisi ini memang akan terjadi dalam praktik penelitian yang sifatnya
kualitatif (Burn, 1995 dan Miles and Huberman, 2007). Dalam kondisi yang demikian
peneliti perlu mengambil makna dari gejala tersebut secara obyektif (Burn, 1995).
Secara umum dapat dikatakan bahwa penerapan standar proses pada pembelajaran
mata pelajaran pendidikan kewirausahaan belum berjalan secara efektif. Terdapat sejumlah
indikator belum efektifnya implementasi standar proses ini, antara lain proses pelaksanaan
pembelajaran yang terlalu banyak teorinya dan kurang praktik, guru yang mengajarnya
tidak sesuai dengan bidang keahliannya, kurang didukung dengan sumber daya yang
memadai utamanya lab praktik dan bahan praktik, dan jadwal khusus praktik yang kurang
memadai. Demikian pula halnya dengan pengawasan pada mata pelajaran ini kurang
dilakukan secara periodik, sehingga guru kurang merasakan pembinaan akademik yang
memadai. Kekurang sesuaian standar proses ini menyebabkan siswa merasakan kurang
memiliki keterampilan yang memadai untuk menciptakan usaha baru.
Kondisi kurang efektivan ini bisa jadi disebabkan oleh sistem penyelenggaraan
pendidikan yang cenderung rutin (Bandur, 2009) dan guru kurang didorong untuk
menyesuaikan dengan standar yang ditetapkan sekolah (Sasongko, 2015; Sasongko dan
Sahono, 2016). Agar penyelenggaraan pembelajaran mata pelajaran pendidikan
kewirausahaan di sekolah berjalan secara efektif, maka dibutuhkan kebijakan akademik
yang berpihak pada pendidikan kewirausahaan (Rochmat, 2010), pembenahan manajemen
pembelajaran (Bandur, 2009), penyiapan sumber daya yang memadai (Bandur, 2009 dan
Lumpkin and Dress, 2001), jadwal khusus praktik pendidikan kewirausahaan (Sasongko
dan Sahono, 2016), dan praktik mendesain rancangan bisnis dan ekonomi ke depan
(Lumpkin and Dress, 2001).
Implementasi standar perencanan pembelajaran, pelaksanan proses pembelajaran,
dan penilaian pembelajaran yang diklaim guru sudah efektif, ternyata tidak dirasakan oleh
siswa dan alumninya. Siswa yang hanya bebarapa bulan menerima materi pelajaran
mengatakan lupa terhadap materi yang diterimanya. Apa lagi alumni yang telah lama
memperoleh materi tersebut. Kepala sekolah dan guru hanya berusaha membela diri bahwa
pembelajarannya telah terlaksana sesuai rencana. Mereka tidak berusaha mengukur daya
serap siswa yang telah menerimanya, baik secara teori, praktik nyata, maupun rancangan
usaha setelah selesai studi (Lumpkin and Dress, 2001).
Berdasarkan atas berbagai kajian sebagaimana di atas dapat disintesiskan bahwa
implementasi standar proses pada pembelajaran pendidikan kewirausahaan di SMA
provinsi Bengkulu secara umum belum efektif. Pada standar perencanaan pembelajaran,
pelaksanaan proses pembelajaran dan penilaian hasil pembelajaran dapat dikatakan efektif
menurut kaca mata kepala sekolah dan guru. Namun dari pandangan siswa dan alumni
belum cukup efektif, karena mereka berpandangan sebaliknya dan kurang mampu serta
masih bingung menciptakan lapangan kerja sebagai lahan mata pencaharian dalam
kehidupannya. Pada butir standar pengawasan pembelajaran kurang berjalan efektif,

8
karena pengawasan baik oleh kepala sekolah dan pengawas kurang dilaksanakan secara
terprogram.

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan penelitian menunjukkan bahwa penyelenggaraan pendidikan
kewirausahaan di beberapa SMA Negeri provinsi Bengkulu dilihat dari standar proses
belum berjalan secara efektif. Hal ini berarti bahwa implementasi standar proses
berdasarkan Permendiknas No. 22/2016 tentang Tentang Standar Proses Untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah belum sepenuhnya dilaksanakan pada penyelenggaraan
mata pelajaran pendidikan kewirausahaan. Dengan kata lain bahwa pendidikan
kewirausahaan di SMA belum standar.
Implementasi standar perencanaan pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran
dan penilaian hasil pembelajaran dapat dikatakan efektif menurut kaca mata kepala sekolah
dan guru. Namun dari pandangan siswa dan alumni belum cukup efektif, karena mereka
berpandangan sebaliknya. Mereka kurang mampu dan masih bingung menciptakan
lapangan kerja sebagai mata pencaharian dalam kehidupannya. Demikian pula halnya pada
butir standar pengawasan pembelajaran kurang berjalan efektif, karena pengawasan kurang
dilaksanakan secara terprogram.
Saran dari hasil penelitian ini yaitu agar penyelenggaraan pendidikan
kewirausahaan di sekolah dapat berjalan efektif sesuai dengan standar proses, maka perlu
penerbitan kebijakan akademik yang berpihak pada pendidikan kewirausahaan,
pembenahan manajemen dan pengawasan pembelajaran, penyiapan sumber daya yang
memadai, jadwal khusus praktik pendidikan kewirausahaan, dan praktik mendesain usaha
setelah selesai studi.

DAFTAR PUSTAKA
Bandur, Agustinus. 2009. The Implementation of School Based Management in Indonesia:
Creating Conflict in Regional Level. Journal of NTT Studies, Vol. 1, No. 1, 16-
27
Burn, Robert B. 1995. Introduction to Research Methods. Sidney: Longman
Burton, Paul. 2009. National Education Standards: Getting Beneath the Surface. New
Jersey: Policy Information Center.
https://www.ets.org/Media/Research/pdf/PICNATEDSTAND.pdf (Diunduh 2
Maret 2016)
Kartiawan, Ridwan. 2016. Pendidikan Kewirausahaan Siswa SMA Menuju Kemandirian
Hidup di Tengah Masyarakat. Jurnal Kornal.
https://kornal.id/2016/11/pendidikan-kewirausahaan-siswa-sma-menuju-
kemandirian-hidup-di-tengah-masyarakat/ (Diunduh 15 Juli 2017)
Kementrian Pendidikan Nasional. 2011. Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta : Materi
Pelatihan Peningkatan Kemampuan Kepala Sekolah Pusat Pengembangan
Tenaga Kependidikan
Kholifah, Nur dan Nurtanto, M. 2016. Pengembangan Pendidikan Kewirausahaan Dalam
Menanamkan Nilai-nilai Entrepeneurship Untuk Menghadapi Masyarakat
Ekonomi Asean (MEA), http://www.jurnal.fkip.uns.ac.id/index.php/ (Diunduh
15 Juli 2017)
Lumpkin, GT and Dress, GG. 2001. Linkin Two Dimensions of Enterpreneurial
Orientation to Form Performance. Journal of Business Venturing, Vol. 16, No.
5, pp 429-451

9
Miles, MS and Huberman, AM. 2007. Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of New
Method. http://www.ed.gov/databased/qualidata.Ed54673534 (Diunduh 3 Mei
2012)
Napitupulu, EL. 2013. Wajib, Pendidikan Kewirausahaan di SMA. Kompas.com – 27
Februari 2013 http://edukasi.kompas.com/read/2013/02/27/08461982/
(Diunduh 15 Juli 2017)
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2016 Tentang Standar Proses Untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan
Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Rohmat, H. 2010. Impresi Moderasi Jalur Pembelajaran Dengan Proses Belajar
Kewirausahaan Terhadap Persepsi Keberhasilan Usahawan Surakarta. Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan. Vol. 16, No.2. Maret 2010. h. 131-145
Sasongko, Rambat Nur. 2011. Model Manajemen Pendidikan Berbasis Solusi Untuk
Mengatasi Sekolah Miskin. Jurnal Kependidikan: Jurnal Ilmiah Penelitian
Pendidikan. Vol. 41, No. 2, November 2011, Hal. 127-134
Sasongko, Rambat Nur. 2015. Strategi Mengatasi Madrasah Miskin Melalui
Pengembangan Model Manajemen Berbasis Kolaborasi (Penelitian Tindakan
Kependidikan di Berbagai Jenjang Madrasah Provinsi Bengkulu). Madania:
Jurnal Kajian Keislaman. Vol. 19, No.2, Desember 2015. Hal. 185-194
Sasongko, Rambat Nur dan Sahono, Bambang. 2016. Desain Inovasi Manajemen Sekolah.
Jakarta: Shany Publisher
Subijanto. 2012. Analisis Pendidikan Kewirausahaan di Sekolah Menengah Kejuruan. Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, No. 2, Juni 2012,
http://jurnaldikbud.kemdikbud.go.id/index.php/jpnk/article/viewFile/78/75 (Diunduh 15
Juli 2017)

TERIMA KASIH
Apresiasi dan terima kasih kepada Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat, Dirjen
Penguatan Riset dan Pengembangan, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi
yang telah membiayai kegiatan penelitian kompetitif nasional Penelitian Tim Pascasarjana
(PTP) Tahun 2017 dengan judul: “Percepatan Pemenuhan Standar Nasional Pendidikan
Melalui Pengembangan Model Pembinaan Sekolah Berbasis Audit Kinerja”. Terima kasih
juga kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Bengkulu yang
telah membantu kegiatan penelitian ini melalui Kontrak Penelitian No.
982/UN30.15/LT/2017, tanggal 6 April 2017.

10

Anda mungkin juga menyukai