Anda di halaman 1dari 76

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai
respon terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen,
menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema,
edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal. Tanda
polimorfik tidak selalu timbul bersamaan, bahkan mungkin hanya beberapa
(oligomorfik). Dermatitis cenderung residif dan menjadi kronis.1
Kadang-kadang terjadi tumpang tindih penggunaan istilah eksim
dengan dermatitis. Sebagian ahli menyamakan arti keduanya,2 sebagian lain
mengartikan eksim sebagai salah satu bentuk dermatitis, yakni dermatitis
atopik tipe infantil.4 Untuk itu, istilah dermatitis tampak lebih tepat. 3 Istilah
eksematosa digunakan untuk kelainan yang ‘membasah’ (kata eksim berasal
dari bahasa Yunani ‘ekzein’ yang berarti ‘mendidih’),2,3,5 yang ditandai
adanya eritema, vesikel, skuama dan krusta, yang menunjukkan tanda akut.
Sedangkan adanya hiperpigmentasi dan likenifikasi menunjukkan tanda
kronik.1,2 Untuk penamaan dermatitis, berbagai klasifikasi sudah diajukan
antara lain berdasarkan kondisi kelainan, lokasi kelainan, bentuk kelainan,
usia pasien dan sebagainya.
Tetapi, dalam penanganan disarankan untuk menggunakan istilah
dermatitis, ditambah dengan satu kata lain untuk menggambarkan
kemungkinan penyebab atau mendeskripsikan kondisi.3 Misal: dermatitis
atopik impetigenisata, dermatitis medikamentosa madidans, dan
sebagainya. Istilah impetigenisata menunjukkan adanya infeksi sekunder
yang ditandai oleh adanya pus, pustul, bula purulen, krusta berwarna kuning
tua, pembesaran kelenjar getah bening regional, leukositosis, dan dapat
disertai demam.1 Dermatitis ada yang didasari oleh faktor endogen,
misalnya dermatitis atopik, dermatitis kontak, dan sebagainya. Tetapi
kebanyakan penyebab dermatitis ini belum diketahui secara pasti.

1
Sedangkan bila ditinjau dari jenis kelainannya, maka dermatitis atopik
adalah dermatitis yang paling sering dibahas, mengingat insidensnya yang
cenderung terus meningkat dan dampak yang dapat ditimbulkannya pada
kualitas hidup pasien maupun keluarganya. 6,7

B. Tujuan dan Manfaat


1. Tujuan
a. Tujuan Umum
Mengetahui tentang penyakit dermatitis dalam pengobatannya.
b. Tujuan Khusus
Mengetahui klasifikasi , epidemiologi, etiologi patogenesis,
dan gejala klinis dari dermatitis.
2. Manfaat
Memberikan wawasan dan pengetahuan kepada mahasiswa dan
penulis. Setelah mempelajari referat ini mahasiswa dan penulis
mampu mengetahui dan memahami berbagai macam peyakit
dermatitis

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Dermatitis Kontak
1. Dermatitis Kontak Alergi
a. Definisi
Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit)
yang timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses
sensitisasi8.
b. Etiologi dan Predisposisi
1. Etiologi
Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling
sering berupa bahan kimia dengan berat molekul kurang dari 500-
1000 Da, yang juga disebut bahan kimia sederhana. Dermatitis yang
timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan,
dan luasnya penetrasi di kulit 9
Penyebab utama kontak alergen di Amerika Serikat yaitu dari
tumbuh-tumbuhan. Sembilan puluh persen dari populasi mengalami
sensitisasi terhadap tanaman dari genus Toxicodendron, misalnya
poison ivy, poison oak dan poison sumac. Toxicodendron
mengandung urushiol yaitu suatu campuran dari highly antigenic 3-
enta decyl cathecols. Bahan lainnya adalah nikel sulfat (bahan-bahan
logam), potassium dichromat (semen, pembersih alat -alat rumah
tangga), formaldehid, etilendiamin (cat rambut, obat-obatan),
mercaptobenzotiazol (karet), tiuram (fungisida) dan
parafenilendiamin (cat rambut, bahan kimia fotografi) 10
2. Predisposisi
Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya dermatitis
kontak alergi. Misalnya antara lain:

a. Faktor eksternal 9

3
1) Potesi sensitisasi allergen
2) Dosis per unit area
3) Luas daerah yang terkena
4) Lama pajanan
5) Oklusi
6) Suhu dan kelembaban lingkungan
7) Vehikulum
8) pH
b. Faktor Internal/ Faktor Individu 9
1) Keadaan kulit pada lokasi kontak
Contohnya ialah ketebalan epidermis dan keadaan stratum
korneum.
2) Status imunologik
Misal orang tersebut sedang menderita sakit, atau terpajan sinar
matahari.
3) Genetik
Faktor predisposisi genetic berperan kecil, meskipun misalnya
mutasi null pada kompleks gen fillagrin lebih berperan karena
alergi nickel 11.
4) Status higinie dan gizi

Seluruh faktor – faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain yang
masing – masing dapat memperberat penyakit atau memperingan.
Sebagai contoh, saat keadaan imunologik seseorang rendah, namun
apabila satus higinienya baik dan didukung status gizi yang cukup,
maka potensi sensitisasi allergen akan tereduksi dari potensi yang
seharusnya. Sehingga sistem imunitas tubuh dapat dengan lebih
cepat melakukan perbaikan bila dibandingkan dengan keadaan status
higinie dan gizi individu yang rendah. Selain hal – hal diatas, faktor
predisposisi lain yang menyebabkan kontak alergik adalah setiap

4
keadaan yang menyebabkan integritas kulit terganggu, misalnya
dermatitis statis 12

c. Patofisiologi
Dermatitis kontak alergi atau DKA disebabkan oleh pajanan secara
berulang oleh suatu alergen tertentu secara berulang, seperti zat kimia yang
sangat reaktif dan seringkali mempunyai struktur kimia yang sangat
sederhana. Struktur kimia tersebut bila terkena kulit dapat menembus
lapisan epidermis yang lebih dalam menembus stratum corneum dan
membentuk kompleks sebagai hapten dengan protein kulit. Konjugat yang
terbentuk diperkenalkan oleh sel dendrit ke sel-sel kelenjar getah bening
yang mengalir dan limfosit-limfosit secara khusus dapat mengenali
konjugat hapten dan terbentuk bagian protein karier yang berdekatan.
Kojugasi hapten-hapten diulang pada kontak selanjutnya dan limfosit yang
sudah disensitisasikan memberikan respons, menyebabkan timbulnya
sitotoksisitas langsung dan terjadinya radang yang ditimbulkan oleh
limfokin 13
Sebenarnya, DKA ini memiliki 2 fase yaitu fase sensitisasi dan fase
elisitasi yang akhirnya dapat menyebabkan DKA. Pada kedua fase ini akan
melepaskan mediator-mediator inflamasi seperti IL-2, TNFα, leukotrien,
IFNγ, dan sebagainya, sebagai respon terhadap pajanan yang mengenai kulit
tersebut. Pelepasan mediator-mediator tersebut akan menimbulkan
manifestasi klinis khas yang hampir sama seperti dermatitis lainnya. DKA
ini akan terlihat jelas setelah terpajan oleh alergen selama beberapa waktu
yang lama sekitar berbulan- bulan bahkan beberapa tahun 13
Secara khas, DKA bermanifestasi klinis sebagai pruritus, kemerahan
dan penebalan kulit yang seringkali memperlihatkan adanya vesikel-vesikel
yang relatif rapuh. Edema pada daerah yang terserang mula-mula tampak
nyata dan jika mengenai wajah, genitalia atau ekstrimitas distal dapat
menyerupai eksema. Edema memisahkan sel-sel lapisan epidermis yang
lebih dalam (spongiosus) dan dermis yang berdekatan. Lebih sering

5
mengenai bagian kulit yang tidak memiliki rambut terutama kelopak mata
13

Skema Patogenesis DKA

Kontak Dengan Alergen


secara Berulang

Alergen kecil dan larut


dalam lemak
disebut hapten
Sel langerhans IL-1, ICAM-1, LFA-3,B-
Menembus lapisan 7, MHC I dan II
corneum keluarkan

Difagosit oleh seL sitokin


Sitokin akan
Langerhans
memproliferasi sel
dengan
T dan menjadi lebih
pinositosis
banyak dan
memiliki sel T
memori
Hapten + HLA-DR
Sitokin akan keluar dari
getah bening
Membentuk antigen
Beredar ke seluruh
tubuh

Dikenalkan ke limfosit
T melalui CD4
Individu tersensitisasi
Fase Sensitisasi (I)
2-3 minggu

Fase Elitisasi (II)


24-48 jam

Pajanan ulang

Proliferasi dan ekspansi

Sel Tsel
memori
T di kulit

6
Aktivasi sitokin inflamasi Respons klinis DKA
lebih kompleks

Faktor kemotaktik, PGE2


IFN – γ → keratinosit →
dan OGD2, dan
leukotrien B4
LFA -1, IL-1, TNF-α
(LTB4) dan
eiksanoid menarik →
neutrofil, monosit ke
Eikosanoid (dari sel mast dermis

dan keratinosit
Molekul larut (komplemen dan klinin)
Dilatasi vaskuler dan
→ ke epidermis dan dermis
peningkatan

permeabilitas

vaskuler
d. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesa
Diagnosis DKA didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan
pemeriksaan klinis yang teliti. Penderita umumnya mengeluh gatal 1.
Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan
kelainan kulit berukuran numular di sekitar umbilikus berupa
hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan erosi, maka perlu
ditanyakan apakah penderita memakai kancing celana atau kepala ikat
pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data yang berasal dari
anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang
pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang
diketahui menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami,
riwayat atopi, baik dari yang bersangkutan maupun keluarganya
Penelusuran riwayat pada DKA didasarkan pada beberapa data seperti
yang tercantum dalam tabel 1.1 berikut.1

7
Tabel 1.1 Penelusuran riwayat pada DKA 1

Demografi dan riwayat Umur, jenis kelamin, ras, suku, agama, status
pekerjaan : pernikahan, pekerjaan, deskripsi dari pekerjaan,
paparan berulang dari alergen yang didapat saat
kerja, tempat bekerja, pekerjaan sebelumnya.
Riwayat penyakit dalam Faktor genetik, predisposisi
keluarga :
Riwayat penyakit Alergi obat, penyakit yang sedang diderita, obat-
sebelumnya: obat yang digunakan, tindakan bedah
Riwayat dermatitis yang Onset, lokasi, pengobatan
spesifik :

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokasi
dan pola kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan
penyebabnya. Berbagai lokasi terjadinya DKA misalnya, di ketiak oleh
deodoran; di pergelangan tangan oleh jam tangan; di kedua kaki oleh
sepatu/sandal. Pemeriksaan hendaknya dilakukan di tempat yang cukup
terang, pada seluruh kulit untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain
karena sebab-sebab endogen 1

8
Pada pemeriksaan fisik dermatitis kontak alergi secara umum
dapat diamati beberapa ujud kelainan kulit antara lain edema,
papulovesikel, vesikel atau bula. Ujud kelainan kulit dapat dilihat pada
beberapa gambar berikut :

a. Dermatitis kontak alergi pada di lengan tempat tali jam tangan karena
alergi terhadap nikel menyebabkan eritema. Lesi yang timbul pada
lokasi kontak langsung dengan nikel (lesi eksematosa dan terkadang
popular). Lesi eksematosa berupa papul-papul, vesikel-vesikel yang
dijumpai pada lokasi kontak langsung.

Gambar 1

b. Dermatitis kontak alergi akut pada bibir yang terjadi karena lipstick.
Pasien hipersensitif terhadap eosin mengakibatkan eritema pada bibir

Gambar 2

9
c. Telinga. Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab
dermatitis kontak pada telinga. Penyebab lain misalnya obat topikal,
tangkai kaca mata, cat rambut, alat bantu dengar, gagang telepon.
Alat bantu dengar dapat mengandung akrilak, bahan plastik, serta
bahan kimia lainnya. Anting-anting yang menyebabkan dermatitis
pada telinga umumnya yang terbuat dari nikel dan jarang pada emas.
Tindikan pada telinga mungkin menjadi fase sensitisasi pada
dermatitis karena nikel yang bisa mengarah pada dermatitis kontak
kronik. Dermatitis kontak alergi subakut pada telinga dan sebagian
leher. Akhirnya diketahui bahwa pasien alergi terhadap bahan plastik

Gambar 3

d. Badan. Dermatitis kontak di badan dapat disebabkan oleh tekstil, zat


warna kancing logam, karet (elastis, busa), plastik, deterjen, bahan
pelembut atau pewangi pakaian. Dermatitis kontak pada perut karena
pasien alergi pada kare tdari celananya. Terlihat adanya eritema yang
berbatas tegas sesuai dengan daerah yang terkena alergen.

10
Gambar 4

e. Genitalia.Penyebabnya data antiseptik, obattopikal, nilon, kondom,


pembalut wanita alergen yang berada di tangan, parfum, kontrasepsi,
deterjen. Dermatitis kontak yang terjadi pada daerah vulva karena
alergi pada cream yang mengandung neomisin, terlihat eritema

Gambar 5

f. Paha dantungkaibawah. Dermatitis di tempat ini dapat disebabkan


oleh tekstil, dompet, kunci (nikel), kaos kaki nilon, obat topikal,
semen, sepatu/sandal. Pada gambar dermatitis kontakalergi yang
terjadi karena Quaternium-15,bahan pengawet pada pelembab.Kaki
mengalami skuama, krusta

11
Gambar 6
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Uji Tempel
Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran
morfologik yang khas, dapat menyerupai dermatitis atopik,
dermatitis numularis, dermatitis seboroik, atau psoriasis. Diagnosis
banding yang utama ialah dengan Dermatitis Kontak Iritan (DKI).
Dalam keadaan ini pemeriksaan uji tempel perlu dipertimbangkan
untuk menentukan, apakah dermatitis tersebut karena kontak alergi1
Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung.
Bahan yang secara rutin dan dibiarkan menempel di kulit, misalnya
kosmetik, pelembab, bila dipakai untuk uji tempel, dapat langsung
digunakan apa adanya. Bila menggunakan bahan yang secara rutin
dipakai dengan air untuk membilasnya, misalnya sampo, pasta gigi,
harus diencerkan terlebih dahulu. Bahan yang tidak larut dalam air
diencerkan atau dilarutkan dalam vaselin atau minyak mineral.
Produk yang diketahui bersifat iritan, misalnya deterjen, hanya
boleh diuji bila diduga keras penyebab alergi. Apabila pakaian,
sepatu, atau sarung tangan yang dicurigai penyebab alergi, maka uji
tempel dilakukan dengan potongan kecil bahan tersebut yang
direndam dalam air garam yang tidak dibubuhi bahan pengawet,

12
atau air, dan ditempelkan di kulit dengan memakai Finn chamber,
dibiarkan sekurang-kurangnya 48 jam. Perlu diingat bahwa hasil
positif dengan alergen bukan standar perlu kontrol (5 sampai 10
orang) untuk menyingkirkan kemungkinan terkena iritasi 1

Gambar 7. Aplikasi Patch Test (Uji Tempel) pada pasien

Berbagai hal berikut ini perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji tempel 1
1) Dermatitis harus sudah tenang (sembuh). Bila masih dalam
keadaan akut atau berat dapat terjadi reaksi ‘angry back’ atau
‘excited skin’ reaksi positif palsu, dapat juga menyebabkan
penyakit yang sedang dideritanya semakin memburuk.
2) Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah
pemakaian kortikosteroid sistemik dihentikan (walaupun
dikatakan bahwa uji tempel dapat dilakukan pada pemakaian
prednison kurang dari 20 mg/hari atau dosis ekuivalen
kortikosteroid lain), sebab dapat menghasilkan reaksi negatif
palsu. Sedangkan antihistamin sistemik tidak mempengaruhi
hasil tes, kecuali diduga karena urtikaria kontak.
3) Uji tempel dibuka setelah dua hari, kemudian dibaca;
pembacaan kedua dilakukan pada hari ke-3 sampai ke-7 setelah
aplikasi.

13
4) Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji
tempel menjadi longgar (tidak menempel dengan baik), karena
memberikan hasil negatif palsu. Penderita juga dilarang mandi
sekurang-kurangnya dalam 48 jam, dan menjaga agar punggung
selalu kering setelah dibuka uji tempelnya sampai pembacaan
terakhir selesai.
5) Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan terhadap
penderita yang mempunyai riwayat tipe urtikaria dadakan
(immediate urticaria type), karena dapat menimbulkan urtikaria
generalisata bahkan reaksi anafilaksis. Pada penderita semacam
ini dilakukan tes dengan prosedur khusus.

Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel


dilepas. Pembacaan pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas,
agar efek tekanan bahan yang diuji telah menghilang atau minimal.
Hasilnya dicatat seperti berikut 1

1 = reaksi lemah (nonvesikular) : eritema, infiltrat, papul (+)


2 = reaksi kuat : edema atau vesikel (++)
3 = reaksi sangat kuat (ekstrim) : bula atau ulkus (+++)
4 = meragukan : hanya makula eritematosa
5 = iritasi : seperti terbakar, pustul, atau purpura (IR)
6 = reaksi negatif (-)
7 = excited skin
8 = tidak dites (NT=non tested)

14
T.R.U.E. Test®
(Mekos Laboratories,
Hillerod, Denmark)
patch-test.

A. Hasil uji positif


terhadap picaridin
(KBR) 2,5%.

B. Hasil uji positif


terhadap methyl
glucose diolate
(MGD) 10%.

Gambar 8. Hasil Patch Tes/Uji Tempel setelah 72 jam

Pembacaan kedua perlu dilakukan sampai satu minggu setelah


aplikasi, biasanya 72 atau 96 jam setelah aplikasi. Pembacaan kedua ini
penting untuk membantu membedakan antara respons alergik atau iritasi,
dan juga mengidentifikasi lebih banyak lagi respons positif alergen. Hasil
positif dapat bertambah setelah 96 jam aplikasi, oleh karena itu perlu
dipesan kepada pasien untuk melapor, bila hal itu terjadi sampai satu
minggu setelah aplikasi 1
Untuk menginterpretasi hasil uji tempel tidak mudah. Interpretasi
dilakukan setelah pembacaan kedua. Respon alergik biasanya menjadi lebih
jelas antara pembacaan kesatu dan kedua, berawal dari +/- ke + atau ++
bahkan ke +++ (reaksi tipe crescendo), sedangkan respon iritan cenderung
menurun (reaksi tipe decrescendo) 1

b. Pemeriksaan Histopalogi
Pemeriksaan Histopalogi dilakukan dengan cara1
1) Untuk pemeriksaan ini dibutuhkan potongan jaringan yang
didapat dengan cara biopsi dengan pisau atau plong/punch.

15
2) Penyertaan kulit normal pada tumor kulit, penyakit infeksi, kulit
normal tidak perlu diikutsertakan.
3) Sedapat-dapatnya diusahakan agar lesi yang akan dibiopsi
adalah lesi primer yang belum mengalami garukan atau infeksi
sekunder.
4) Bila ada infeksi sekunder, sebaiknya diobati lebih dahulu.
5) Pada penyakit yang mempunyai lesi yg beraneka macam/
banyak, lebih baik biopsi lebih dari satu.
6) Potongan jaringan sebisanya berbentuk elips + diikutsertakan
jaringan subkutis.
7) Jaringan yang telah dipotong dimasukan ke dalam larutan
fiksasi, misanya formalin 10% atau formalin buffer, supaya
menjadi keras dan sel-selnya mati.
8) Lalu dikirim ke laboratorium
9) Pewarnaan rutin yang biasa digunakan dalah Hematoksilin-
Eosin(HE). Ada pula yang menggunakanperwarnaan oersein
dan Giemsa.
10) Volume cairan fiksasi sebaiknya tidak kurang dari 20 X volume
jaringan
11) Agar cairan fiksasi dapat dengan baik masuk ke jaringan
hendaknya tebal jaringan kira-kira 1/2 cm, kalau terlalu tebal
dibelah dahulu sebelum dimasukkan ke dalam cairan fiksasi

Pada dermatitis kontak, limfosit T yang telah tersensitisasi, menginvasi


dermis dan epidermis serta menyebabkan edema dermis atau spongiosis
epidermis. Perubahan-perubahan ini secara histologi tidak spesifik 1.
1) Epidermis 1
a) Hiperkeratosis, serum sering terjebak dalam stratum
korneum.
b) Hiperplastik, akantosis yang luas.

16
c) Spongiosis, yang kadang vesikuler. Manifestasi dini ditandai
dengan penonjol dari jembatan antar sel di lapisan spinosus.
d) Kemudian ada epidermotropism dari limfosit yang muncul
normal.
2) Dermis 1
a) Limfosit perivesikuler
b) Eosinofil: bervariasi, muncul awal dan karena sebab alergi
c) Edema

Gambar 9.Histopatologik dermatitis kontak alergi

Terlihat hiperkeratosis, vesikel parakeratosis subkorneal, spongiosis


sedang dan elongasi akantosis dari pars papilare dermis yang dinyatakan
lewat infiltrasi sel-sel radang berupa limfosit dan beberapa eosinofil, serta
elongasi dari papila epidermis1.

4. Gold Standard Diagnosis


Gold standard pada diagnosis dermatitis kontak alergika yaitu
dilakukan uji tempel. Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di
punggung. Untuk melakukan uji tempel diperukan antigen standar
buatan pabrik, misalnya Finn Chamber System Kit dan T.R.U.E Test.
Adakalanya tes dilakukan dengan antigen bukan standar, dapat berupa

17
bahan kimia murni, atau lebih sering bahan campuran yang berasal dari
rumah, lingkungan kerja atau tempat rekreasi. Mungkin ada sebagian
bahan ini yang bersifat sangat toksik terhadap kulit, atau walaupun
jarang dapat memberikan efek toksik secara sistemik. Oleh karena itu,
bila menggunakan bahan tidak standar, apalagi dengan bahan industri,
harus berhati-hati sekali. Jangan melakukan uji tempel dengan bahan
yang tidak diketahui 1.

e. Penatalaksanaan
1. Non medikamentosa
a. Memotong kuku – kuku jari tangan dan jaga tetap bersih dan pendek
serta tidak menggaruk lesi karena akan menimbulkan infeksi 14
b. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena
dermatitis kontak alergi
c. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas
yang bersentuhan dengan alergen 15
d. Memberi edukasi kepada pasien untuk tidak mengenakan perhiasan,
aksesoris, pakaian atau sandal yang merupakan penyebab alergi
2. Medikamentosa
a. Simptomatis
Diberi antihistamin yaitu Chlorpheniramine Maleat (CTM) sebanyak 3-
4 mg/dosis, sehari 2-3 kali untuk dewasa dan 0,09 mg/dosis, sehari
3 kali untuk anak – anak untuk menghilangkan rasa gatal
b. Sistemik
1) Kortikosteroid yaitu prednison sebanyak 5 mg, sehari 3 kali
2) Cetirizine tablet 1x10mg/hari
3) Bila terdapat infeksi sekunder diberikan antibiotika
(amoksisilin atau eritromisin) dengan dosis
3x500mg/hari, selama 5 hingga 7 hari

c. Topikal

18
1) Krim desoksimetason 0,25%, 2 kali sehari
3. Pencegahan
Pencegahan DKA dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut15:
a. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena
dermatitis kontak alergi
b. Menghindari substansi allergen
c. Mengganti semua pakaian yang terkena allergen
d. Mencuci bagian yang terpapar secepat mungkin dengan sabun, jika
tidak ada sabun bilas dengan air
e. Menghindari air bekas cucian/bilasan kulit yang terpapar allergen
f. Bersihkan pakaian yang terkena alergen secara terpisah dengan
pakaian lain
g. Bersihkan hewan peliharaan yang diketahui terpapar allergen
h. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas
yang berisiko terhadap paparan alergen

f. Prognosis
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan
kontaknya dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis
bila bersamaan dengan dermatitis yang disebabkan oleh
faktor endogen(dermatitis atopik, dermatitis numularisatau psoriasia)
Faktor lain yang membuat prognosis kurang baik adalah pajanan alergen
yang tidak mungkin dihindari misalnya berhubungan dengan pekerjaan
tertentu atau yang terdapat di lingkungan penderita9

g. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi kulit sekunder oleh
bakteri terutama Staphylococcus aureus, jamur, atau oleh virus misalnya
herpes simpleks. Rasa gatal yang berkepanjangan serta perilaku menggaruk
dapat dapat mendorong kelembaban pada lesi kulit sehingga menciptakan

19
lingkungan yang ramah bagi bakteri atau jamur. Selain itu dapat pula
menyebabkan eritema multiforme (lecet) dan menyebabkan kulit berubah
warna, tebal dan kasar atau disebut neurodermatitis (lichen simplex
chronicus) 16

2. Dermatitis Kontak Iritan


a. Definisi

Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan reaksi peradangan non


imunologik pada kulit yang disebabkan oleh kontak dengan faktor eksogen
maupun endogen.17 Faktor eksogen berupa bahan-bahan iritan (kimiawi,
fisik, maupun biologik) dan faktor endogen memegang peranan penting pada
penyakit ini.17

b. Epidemiologi

Dermatitis kontak iritan dapat diderita oleh semua orang dari


berbagai golongan umur, ras, dan jenis kelamin.18 Data epidemiologi
penderita dermatitis kontak iritan sulit didapat. Jumlah penderita dermatitis
kontak iritan diperkirakan cukup banyak, namun sulit untuk diketahui
jumlahnya.18 Hal ini disebabkan antara lain oleh banyak penderita yang tidak
datang berobat dengan kelainan ringan.18
Dari data yang didapatkan dariU.S. Bureau of Labour
Statistic menunjukkan bahwa 249.000 kasus penyakit okupasional non fatal
pada tahun 2004 untuk kedua jenis kelamin 15,6% (38.900 kasus) adalah
penyakit kulit yang merupakan penyebab kedua terbesar untuk semua
penyakit okupasional.(17,19)Juga berdasarkan survei tahunan dari institusi
yang sama, bahwaincident rateuntuk penyakit okupasional pada populasi pekerja di
Amerika, menunjukkan 90-95%dari penyakit okupasional adalah dermatitis
kontak, dan 80% dari penyakit didalamnya adalah dermatitis kontak iritan.17,
19

20
c. Etiologi

Dermatitis kontak iritan adalah penyakit multifaktor dimana faktor


eksogen (iritan dan lingkungan) dan faktor endogen sangat berperan, antara
lain :17
Faktor-faktor yang dimaksudkan termasuk : (1) Sifat kimia bahan
iritan: pH, kondisi fisik, konsentrasi, ukuran molekul, jumlah, polarisasi,
ionisasi, bahan dasar, kelarutan; (2) Sifat dari pajanan: jumlah, konsentrasi,
lamanya pajanan dan jenis kontak, pajanan serentak dengan bahan iritan lain
dan jaraknya setelah pajanan sebelumnya; (2) Faktor lingkungan: lokalisasi
tubuh yang terpajan dan suhu, dan faktor mekanik seperti tekanan, gesekan
atau goresan. Kelembaban lingkungan yang rendah dan suhu dingin
menurunkan kadar air pada stratum korneum yang menyebabkan kulit lebih
rentan pada bahan iritan. 17
a. Faktor Endogen, antara lain :
 Faktor genetik
Ada hipotesa yang mengungkapkan bahwa kemampuan individu
untuk mengeluarkan radikal bebas, untuk mengubah level enzim
antioksidan, dan kemampuan untuk membentuk perlindungan heat
shock protein semuanya dibawah kontrol genetik.17 Faktor tersebut juga
menentukan keberagaman respon tubuh terhadap bahan-bahan iritan. Selain
itu, predisposisi genetik terhadap kerentanan bahan iritan berbeda untuk
setiap bahan iritan.17 Pada penelitian, diduga bahwa faktor genetik
mungkinmempengaruhi kerentanan terhadap bahan iritan. TNF-α
polimorfis telah dinyatakan sebagai marker untuk kerentanan
terhadap kontak iritan.20
 Jenis Kelamin
Gambaran klinik dermatitis kontak iritan paling banyak pada tangan, dan
wanita dilaporkan paling banyak dari semua pasien.17 Dari hubungan antara
jenis kelamin dengan dengan kerentanan kulit, wanita lebih banyak terpajan

21
oleh bahan iritan, kerja basah dan lebih suka perawatan daripada laki-laki.21
Tidak ada pembedaan jenis kelamin untuk dermatitis kontak iritan yang
ditetapkan berdasarkan penelitian. 20
 Umur
Anak-anak dibawah 8 tahun lebih muda menyerap reaksi-reaksi bahan-
bahan kimia dan bahan iritan lewat kulit.17 Banyak studi yang menunjukkan
bahwa tidak ada kecurigaan pada peningkatan pertahanan kulit dengan
meningkatnya umur.17 Data pengaruh umur pada percobaan iritasi kulit
sangat berlawanan. Iritasi kulit yang kelihatan (eritema) menurun pada
orang tua sementara iritasi kulit yang tidak kelihatan (kerusakan pertahanan)
meningkat pada orang muda.17 Reaksi terhadap beberapa bahan iritan
berkurang pada usia lanjut.20 Terdapat penurunan respon inflamasi dan
TEWL, dimana menunjukkan penurunan potensial penetrasi perkutaneus. 20
 Suku
Tidak ada penelitian yang mengatakan bahwa jenis kulit mempengaruhi
berkembangnya dermatitis kontak iritan secara signifikan.17 Karena eritema
sulit diamati pada kulit gelap, penelitian terbaru menggunakan eritema
sebagai satu-satunya parameter untuk mengukur iritasi yang mungkin sudah
sampai pada kesalahan interpretasi bahwa kulit hitam lebih resisten terhadap
bahan iritan daripada kulit putih.17
 Lokasi Kulit
Ada perbedaan sisi kulit yang signifikan dalam hal fungsi pertahanan,
sehingga kulit wajah, leher, skrotum, dan bagian dorsal tangan lebih rentan
terhadap dermatitis kontak iritan.17 Telapak tangan dan kaki jika
dibandingkan lebih resisten.(17, 20)
 Riwayat Atopi
Adanya riwayat atopi diketahui sebagai faktor predisposisi pada dermatitis
iritan pada tangan.17 Riwayat dermatitis atopi kelihatannya berhubungan
dengan peningkatan kerentanan terhadap dermatitis iritan karena rendahnya
ambang iritasi kulit, lemahnya fungsi pertahanan, danlambatnya proses

22
penyembuhan.17 Pada pasien dengan dermatitis atopi misalnya,
menunjukkan peningkatan reaktivitas ketika terpajan oleh bahan iritan.

d. Patogenesis

Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh


bahan iritan melalui kerja kimiawi atau fisis.(17,18) Ada empat mekanisme
yang dihubungkan dengan dermatitis kontak iritan, yaitu: (17, 18)
1. Hilangnya substansi daya ikat air dan lemak permukaan
2. Jejas pada membran sel
3. Denaturasi keratin epidermis
4. Efek sitotoksik langsung

e. Gambaran Klinis

Dermatitis kontak iritan dibagi tergantung sifat iritan. Iritan kuat


memberikan gejala akut, sedang iritan lemah memberi gejala kronis.(2) Selain
itu juga banyak hal yang mempengaruhi sebagaimana yang disebutkan
sebelumnya. 18
Berdasarkan penyebab tersebut dan pengaruh faktor tersebut,
dermatitis kontak iritan dibagi menjadi sepuluh macam, yaitu: 18

1. Dermatitis Kontak Iritan Akut


Luka bakar oleh bahan kimia juga termasuk dermatitis kontak iritan akut.
Penyebab DKI akut adalah iritan kuat, misalnya larutan asam sulfat dan asam
hidroklorid atau basa kuat,misalnya natrium dan kalium hidroksida. Biasanya
terjadi karena kecelakaan, dan reaksi segera timbul.Intensitas dan lamanya
kontak iritan, terbatas pada kontak kulit terasa pedih, panas, rasa terbakar,
kelainan yang terlihat berupa eritema edema, bula, mungkin juga
nekrosis.Pinggir kelainan kulit berbatas tegas, dan pada umumnya asimetris18

23
Gambar 2: DKI akut akibat penggunaan pelarut industri.19

2. Dermatitis Kontak Iritan Lambat (Delayed ICD)


Pada dermatitis kontak iritan akut lambat, gejala obyektif tidak muncul
hingga 8-24 jam atau lebih setelah pajanan.(17,18,20)gambaran klinisnya mirip
dengan dermatitis kontak iritan akut.

3. Dermatitis Kontak Iritan Kronis (DKI Kumulatif)


Disebabkan oleh iritanlemah (sepertiair, sabun, sampo, detergen, dll)
dengan pajanan yang berulang-ulang, biasanya lebih sering terkena pada
tangan.(17,18,20). Kelainan kulit baru munculsetelah beberapa hari, minggu,
bulan, bahkan tahun.
Gejala berupa kulitkering, eritema, skuama, danlambatlaun akan
menjadihiperkeratosis dan dapat terbentuk fisura jika kontak terus
berlangsung.(17, 18)

24
Gambar3 : DKI Kronis akibat efek korosif dari semen.18

4. Reaksi Iritan
Secara klinis menunjukkan reaksi akut monomorfik yang dapat
berupa skuama, eritema, vesikel, pustul, serta erosi, dan biasanya
terlokalisasi di dorsum daritangan danjari, biasanya halini terjadi pada orang
yang terpajan dengan pekerjaan basah, reaksi iritasi dapat
sembuh,menimbulkan penebalan kulit atau dapat menjadi DKI kumulatif.
17,18,19

5. Reaksi Traumatik (DKI Traumatik)


Reaksi traumatik dapat terbentuk setelah trauma akut pada kulit
seperti panas atau laserasi.17,18 Biasanya terjadi padatangan dan
penyembuhan sekitar 6 minggu atau lebih lama.17,18 Pada proses
penyembuhan akan terjadi eritema, skuama, papul dan vesikel.

25
6. Dermatitis Kontak Iritan Noneritematous

Juga disebut reaksi suberitematous, pada tingkat awal dari iritasi kulit,
kerusakan kulit terjadi tanpa adanya inflamasi, namun perubahan kulit terlihat
secara histologi.17

7. Dermatitis Kontak Iritan Subyektif (Sensory ICD)


Kelainan kulit tidak terlihat, namun penderita mengeluh gatal, rasa
tersengat, rasa terbakar, beberapa menit setelah terpajan dengan iritan, biasanya
terjadi di daerah wajah, kepala dan leher, asam laktat biasanya menjadi iritan
yang paling sering menyebabkan penyakit ini. 17,18

8. Dermatitis Kontak Iritan Gesekan (Friction ICD)


Terjadi iritasi mekanis yang merupakan hasil dari mikrotrauma atau gesekan
17,18
yang berulang. DKI Gesekan berkembang dari respon pada gesekan yang
lemah, dimana secara klinis dapat berupa eritema, skuama, fisura, dan gatal pada
daerah yang terkena gesekan.18 DKI Gesekan dapat hanya mengenai telapak
tangan dan seringkali terlihat menyerupai psoriasis dengan plakat merah
menebal dan bersisik, tetapi tidak gatal.17

Gambar 5 : DKI Gesekan.21

26
9. Dermatitis Kontak Iritan Akneiform
Disebut juga reaksi pustular atau reaksi akneiform, biasanya dilihat setelah
pajanan okupasional, seperti oli, metal, halogen, serta setelah penggunaan
beberapa kosmetik, reaksi ini memiliki lesi pustular yang steril dan transien, dan
dapat berkembang beberapa hari setelah pajanan, tipe ini dapat dilihat pada
pasien dermatitis atopi maupun pasien dermatitis seboroik. 17

Gambar 6 : DKI Akneiform.

10. Dermatitis Asteatotik


Biasanya terjadi pada pasien-pasien usia lanjut yang sering mandi tanpa
menggunakan pelembab pada kulit. Gatal yang hebat, kulit kering, dan skuama
ikhtiosiform merupakan gambaran klinik dari reaksi ini. 17,18

Gambar 7 : DKI Asteatotik.

27
f. Diagnosis

Diagnosis dermatitis kontak iritan didasarkan atas anamnesis yang cermat


dan pengamatan gambaran klinis yang akurat, DKI akut lebih mudah diketahui
karena munculnya lebih cepat sehingga penderita lebih mudah mengingat
penyebab terjadinya, DKI kronis timbul lambat serta mempunyai gambaran
klinis yang luas, sehingga kadang sulit dibedakan dengan DKA, selain
anamnesis, juga perlu dilakukan beberapa pemeriksaan untuk lebih memastikan
diagnosis DKI antara lain : 18

Pemeriksaan Penunjang :

Patch testmerupakan pemeriksaan gold standard dan digunakan untuk


menentukan substansi yang menyebabkan kontak dermatitis dan digunakan
untuk mendiagnosis DKA.17,19

Patch test dilepas setelah 48 jam, hasilnya dilihat dan reaksi positif
dicatat.Untuk pemeriksaan lebih lanjut, dan kembali dilakukan pemeriksaan
pada 48 jam berikutnya.Jika hasilnya didapatkan ruam kulit yang membaik
(negatif) , maka dapat didiagnosis sebagai DKI.17,19

g. Penatalaksanaan
Beberapa strategi pengobatan yang dapat dilakukan pada penderita
dermatitis kontak iritan adalah sebagai berikut:
1. Dilakukan kompres dingin 3 kali sehariselama 20-30 menit dengan larutan
Burrowi dan kalium permagnant.
2. Hal penting dalam pengobatan dermatitis kontak iritan adalah menghindari
pajanan bahan iritan baik bersifat mekanis, fisik, dan kimiawi dan memakai
alat pelindung diri bagi mereka yang bekerja dengan bahan iritan.
3. Glukokortikoid topikal
Efek topikal dari glukokortikoid pada penderita DKI akut masih
kontrofersional karena efek yang ditimbulkan, namun pada penggunaan yang
lama dari kortikosteroid dapat menimbulkan kerusakan kulit pada stratum

28
korneum. Pada pengobatan untuk DKI akut yang berat, mungkin dianjurkan
pemberian prednison pada 2 minggu pertama, 60 mg dosis inisial, dan di
tappering 10mg.19,21
2. Secara klinis, infeksi diobati dengan menggunakan antibiotik oral untuk
mencegah perkembangan selulit dan untuk mempercepat penyembuhan.
Secara bersamaan, glukokortikoid topikal, emolien, dan antiseptik juga
digunakan. Sedangkan antihistamin mungkin dapat mengurangi pruritus yang
disebabkan oleh dermatitis akibat iritan20.

h. Prognosis
Prognosis untuk dermatitis iritan yang akut adalah baik jika iritan penyebab
dapat diidentifikasi dan dieliminasi. Prognosis untuk dermatitis iritan
kumulatif atau dermatitis iritan yang kronis ditangani seksama dan mungkin
lebih buruk daripada dermatitis alergi. Dengan latar belakang atopi,
kurangnya pengetahuan tentang penyakit, diagnosis, dan terapi yang
terlambat merupakan faktor yang menyebabkan prognosis buruk. Dermatitis
post-occupational persistent telah terlihat pada 11% dari individu.19

B. Dermatitis Atopik
a. Definis
Dermatitis atopik (DA) adalah peradangan kulit kronis yang
diturunkan, residifyang manifestasi klinisnya berupa efloresensi yang
polimorfi. Manifestasi kinis DA terlihat adanyaeritem,bersisik, kulit kering
(xerosis), likenifikasi dan sangat gatal.1 Dematitis atopik melibatkan
interaksi yang kompleks antar genetik dan mengakibatkan defek pertahanan
kulit, dan sistem imun yang tinggi terhadap alergen dan agen mikrobiologi.
Pada DA stadium akut terdapat manifestasi klinis berupa efloresensi lesi
yang berbatas tegas, edema, vesikel dan madidans sedangkan pada stadium
kronis berupa penebalan (likenifikasi).1Etiologi DA merupakan kombinasi
faktor genetik (turunan) dan lingkungan seperti kerusakan fungsi kulit,
infeksi, stres, dan lain-lain.Gejala klinis dan perjalanan penyakit DA sangat

29
bervariasi, membentuk sindrom manifestasi diatesis atopik.2DA merupakan
manifestasi pertama dari triad atopik selain asma bronkhiale dan rhinitis.3
Puncak prevalensi DA terjadi pada masa anak-anak sekitar 15-20%.1
Di negara maju prevalensi DA pada anak berjumlah kisaran 10%-20% dan
dewasa kisaran 1%-3%. Data terbaru dari International Study of Asthma and
Allergies in Childhood (ISAAC) bahwa prevalensi DA tinggi di negara
berkembang dan negara maju.Perbandingan prevalesi DA pada wanita dan
laki-laki sebessar 1.3 : 1.0.1 Angka prevalensi DA di Indonesia pada tahun
2005 dari 10 rumah sakit besar di seluruh Indonesia menemukan angka 36%
dari seluruh kasus.3
Pat Dermatitis atopik bersifat kronik dan residif sehingga dapat
menyebabkan komplikasi dan penurunan kualitas hidup penderita karea itu
diagnosis dan penatalaksanaan yang yang diberikan harus tepat dan jelas.
Maka dari itu, referat ini akan membahas mengenai Dermatitis Atopik, yaitu
etiopatogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, diagnosis banding, prognosis,
dan tatalakasana.

b. Etiopatogenesis
Berbagai penelitian yang telah dilakukan dan menjelaskan mengenai
patogenesis DA. Penelitian tersebut menjelaskan adanya interaksi yang
kompleks antar gentik,lingkungan, sistem pertahanan kulit, farmakologi dan
faktor imunologi.

Genetik
Faktor genetik berperan penting terhadap faktor risiko terjadinya
DA.Penelitian terbaru menunjukkan hilangnya fungsi gen FLG. Pada DA
gen FLG berperan untuk mengkode protein flagrin yang melindungi
epidermis. Gangguan pada protein ini menyebabkan gangguan pada sistem
perlindungan kulit, sensitisasi alergi terhadap makanan dan
respirasi.Flaggrin memilki peran penting terhadap integritas perlindungan
kulit dan merupakan protein epidermal yang diperlukan dalam pembentukan

30
korneosit serta generasi metabolit intraseluler yang berkontribusi pada
lapisan stratum korneum (lapisan hidrasi) dan pH kulit. Ditemukan 10 %
pada populasi barat dan 50% pada pasien DA membawa mutasi gen FL.4,5

Imunopatologi
Pada pasien DA tampak perubahan berupa adanya hiperplasia pada
lapisan epidermis dan penjarangan pada perivaskular akibat infiltrasi dari sel
T.Eksema akut merupakan karakteristik dari edema interseluler (spongiosis)
dari epidermis. Dendrit antigen yang mempresentasikan ini misalnya sel
langerhans (LCs), makrofag dalam lesi dan sedikit pelebaran, di kulit yang
tidak terdapat lesi menunjukkan adanya ikatan imunoglobulin E (IgE). Pada
infiltrasi epidermis mengandung limposit T primer dan dalam lesi akut di
dermis terdapat influks dari sel T dan terkadang ditemukan monosit dan
makrofag. Infiltrat limfosit umumnya mengandung set T yang teraktivasi dan
berhubungan dengan CD3,CD4, dan CD5.Eosinofil jarang ditemukan pada
DA akut. Sel mast ditemukan dalam jumlah yang normal pada degranulasi.1
Likenifikasi kronik memilki karakteristik adanya hiperplasia
epidermis dengan pemanjangan redge-redge, umumnya terjadi
hiperkeratosis dan sedikit spongiosis. Terdapat peningkatan kadar IgE yang
berhubungan dengan LCs dalam epidermis dan makrofag yang mendominasi
infiltrasi mononuklear pada dermis. Sel mas juga meningkat, tapi pada
umumnya seluruhnya tergranulasi. Neutrofil tidak didapatkan pada lesi kulit
DA yang terjadi akibat peningkatan kolonisasai S.aureus dan
infeksi.Peningkatan eosinofil terjadi pada lesi kulit DA kronik. Eosinofil
mengalami sitolisis dengan mengeluarkan protein tergranulasi yang terdapat
pada dermis bagian atas di lesi kulit. Eosinofil berasal dari protein dasar
ekstraseluler yang dapat dideteksi dalam urat saraf yang berhubungan
dengan distribusi dari serat elastik sepanjang dermis bagian atas. Eosinofil
berkonstribusi terhadap terjadinya inflamasi alergi oleh sekresi dari sitokin
dan mediasai inflamasi lainnya dan menginduksi luka pada DA melalui

31
produksi oksigen reaktif menengah dan melepaskan protein bergranulasi
yang toksik.1

Sitokin dan Kemokin


Sitokin TNF-α dan IL-1 dari keratinosit, sel mast, dan sel dendritik
(DC) dan mengikat reseptor pada endotel vaskuler, mengaktifkan jalur
sinyal, sehingga terjadi induksi molekul adesi sel endotel vaskuler. Hal
tersebut, mengawali proses tethering, aktivasi, dan adesi sel radang ke
endotel vaskuler dilanjutkan dengan ekstravasasi sel radang ke dalam kulit.
Setelah berada dalam kulit, sel radang merespon chemotactic gradients
akibat pengaruh kemokin yang muncul dari lokasi kerusakan atau infeksi.1
Sitokin yang berperan pada DA akut, yaitu IL-4 dan IL-13 yang
memediasi pergeseran isotip imunoglobulin ke sintesis IgE, dan upregulasi
ekspresi molekul adesi pada sel endotel. DA kronik melibatkan pula sitokin
sel Th1, IL-12 dan IL-18, IL-11, dan TGF-β1.1Selain itu berbagai kemokin
spesifik kulit juga berperan dalam patogenesis DA.

c. Peranan pruritus pada DA


Keluhan gatal adalah gambaran utama DA yang dimanifestasikan
sebagai hiperreaktivitas kulit, garukan setelah pajanan alergen, perubahan
kelembaban, keringat berlebihan, dan iritan konsentrasi rendah. Penanganan
pruritus penting karena mekanis akibat garukan dapat menginduksi pelepasan
sitokin proinflamasi dan kemokin menyebabkan vicious scratch-itch cycle yang
memperparah lesi kulit DA. Histamin yang berasal dari sel mast bukan
penyebab utama gatal pada DA karena antihistamin tidak efektif mengontrol
gatal pada DA.

32
d. Gambaran Klinis DA
Gambaran klinis DA berdasarkan lokalisasi terhadap usia.6
Masa bayi (0-1 tahun)
DA dimulai sekitar usia 3 bulan lesi terdapat di pipi dan kulit kepala.
Kulit yang gatal dan patches eritematousa terlihat ditutupi krusta yang
menjadi sumber infeksi sekunder. Karena ruam ini bersisik, berkerak dan
seperti susu sehingga disebut dengan milk scale. Ruam juga dapat
berkembang di ekstensor pada permukaan tubuh dan kaki. Pada anak yang
mengalami DA sering mengalami kesulitan tidur karena rasa gatal. Alergi
pada makanan juga sering menyertai DA.

Masa kanak (1-4 tahun)


Pada masa kanak ini DA di jumpai pada bagian ekstensor
ekstremitas dan di area fleksura. Dermatitis juga dapat ditemukan di sekitar
mulut, kelopak mata, leher dan tangan. Bibir dapat menjadi bersisik dan
kering. Lesi biasanya berupa papul eritematosa simetris dan ekskoriasi,
krusta kecil, dan likenifikasi.

Masa remaja (4-16 tahun)


Pada masa remaja biasanya berkembang dermatitis yang simetris
pada area fleksura, tangan dan kaki. Bagian belakang pada paha juga bisa
terkena. Ketika anak mendekati masa pubertas dermatitis dijumpai pada
tubuh bagian atas dan wajah. Alergi makanan adalah hal yang tidak umum
pada masa tersebut.

Dewasa (lebih dari 16 tahun)


Pada orang dewasa lesi dermatitis terdapat di wajah, tubuh bagian
atas, area fleksura, dan tangan. Terkadang dapat berkembang menjadi
eritrodermia. Stress dan iklim merupakan faktor pemicu yang sangat
berperan.

33
Gambar 1. Papul prurigo pada pasien dengan Dermatitis Atopik1

Gambar 2. Likenifikasi dan ekskoriasi pada regio dorsal manus pada anak
dermatitis atopik1

Gambar 3. Krusta dan ekskoriasi dermatitis atopik pada anak1


.
e. Diagnosis DA
Diagnosis dermatitis atopik dikerjakan berdasarkan temuan klinis
berupa gatal dan reaktivitas kulit, kemudian semakin berkembang
menggunakan mendiagnosis uji alergi yaitu uji tusuk (skin pricktest) dan
pemeriksaan kadar IgE total sebagai kriteria diagnosis. Pada tahun 1980

34
Hanifin dan Rajka mengusulkan suatu kriteria diagnosis dermatitis atopik
yaitu terdiri dari 4 kriteria mayor dan 23 kriteria minor. Diagnosis dermatitis
atopik harus mempunyai 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor jika
menggunakan kriteria Hanifin and Rajka.7

Kriteria Diagnostik Hanifin and Rajka7


Kriteria Mayor
1. Pruritus (gatal)
2. Morfologi sesuai umur dan distribusi lesi yang khas
3. Bersifat kronik eksaserbasi
4. Ada riwayat atopi individu atau keluarga

Kriteria Minor
1. Hiperpigmentasi daerah periorbital
2. Tanda Dennie-Morgan
3. Keratokonus
4. Konjungtivitis rekuren
5. Katarak subkapsuler anterior
6. Cheilitis pada bibir
7. White dermatographisme
8. Pitiriasis Alba
9. Fissura pre-aurikular
10. Dermatitis di lipatan leher anterior
11. Facial pallor
12. Hiperliniar palmaris
13. Keratosis palmaris
14. Papul perifokular hiperkeratosis
15. Xerotic
16. Iktiosis pada kaki
17.Eczema of the nipple

35
17. Gatal bila berkeringat
18. Awitan dini

Kriteria Minor
19. Peningkatan Ig E serum
20. Reaktivitas kulit tipe cepat (tipe 2)
21. Kemudahan mendapat infeksi
22. Stafilokokus dan Herpes Simpleks
23. Intoleransi makanan tertentu
24. Intoleransi beberapa jenis bulu binatang
25. Perjalanan penyakit dipengaruhi faktor lingkungan dan emosi
26. Tanda Hertoghe ( kerontokan pada alis bagian lateral).

Kriteria Hanifin Rajka tepat digunakan untuk diagnosis penelitian berbasis


rumah sakit dan eksperimental, namun tidak pada penelitian berbasis
populasi. Oleh karena itu William, dkk pada tahun 1994 memodifikasi dan
menyederhanakan kriteria Hanifin and Rajka menjadi satu pedoman
diagnosis dermatitis atopik yang dapat digunakan untuk diagnosis dengan
cepat. Kriteria William,dkk yaitu:7

1.Harus ada : Rasa gatal ( pada anak-anak dengan bekas garukan).


2. Ditambah 3 atau lebih:
1. Terkena pada daerah lipatan siku, lutut, di depan mata kaki atau sekitar
leher (termasuk pipi pada anak di bawah 10 tahun)
2. Anamnesis ada riwayat atopi seperti asma atau hay fever (ada riwayat
penyakit atopi pada anak-anak).
3. Kulit kering secara menyeluruh pada tahun terakhir.
4. Ekzema pada lipatan (termasuk pipi, kening, badan luar pada anak <4
tahun).

36
5. Mulai terkena pada usia dibawah 2 tahun (tidak digunakan pada anak <4
tahun).

Penilaian Derajat Keparahan DA


Derajat keparahan pasien DA dapat menggunakan berbagai alat ukur, antara
lain Scoring Atopic Dermatitis (SCORAD), Eczema Area Severity Index (EASI),
dan Three Item Severity Score (TIS). Alat ukur yang banyak digunakan untuk
mengukur keparahan klinis pasien DA adalah SCORAD yang telah disusun oleh
European Task Force on Atopic Dermatitis (ETFAD). Pada SCORAD yang dinilai
adalah luas lesi (A), intensitas lesi (B), dan gejala subjektif (C). Luas lesi (A) di
ukur menggunakan the rule of nine dengan skala penilaian 0-100. Intensitas (B)
terdiri dari enam kriteria : eritem, edema/papul, ekskoriasis, likenifikasi,
oozing/krusta, dan kulit kering yang masing-masing dinilai dari skala 0-3. Gejala
subjektif (C) terdiri dari pruritus dan gangguan tidur yang masing-masing dinilai
dengan visual analogue scale dari skala 0-10 sehingga skor maksimumnya adalah
20. Formula SCORAD yaitu A/5 + 7B/2 + C. Skor maksimal SCORAD adalah 10.
Indeks keparah DA pada SCORAD adalah ringan (<25), sedang (20-50), berat
(>50).8

37
Gambar 4. Indeks SCORAD6

f. Diagnosis Banding DA
Dalam diagnosis banding terdapat sejumlah penyakit kulit inflamasi,
imunodefisiensi, penyakit genetik, penyakit infeksi, dan infestasi yang
mempunyai gejala dan tanda yang sama dengan DA yang harus dieksklusi
sebelum diagnosis DA dibuat, antara lain:1

38
1. Dermatitis kontak (alergik dan iritan)
2. Dermatitis seboroik
3. Skabies
4. Psoriasis
5. Iktiosis vulgaris
6. Dermatofitosis
7. Eczema asteatotik
8. Liken simplek kronikus
9. Dermatitis numularis

g. Tatalaksana DA
1. Terapi topikal
Hidrasi kulit.
Pada pasien DA yang menunjukkan penurunan fungsi sawar kulit dan xerosis
yang berkontribusi untuk terjadinya fissure mikro kulit yang dapat menjadi jalan
masuk pathogen, iritan dan alergen. Lukewarm soaking baths minimal 20 menit
dilanjutkan dengan occlusive emollient (untuk menahan kelembaban) dapat
meringankan gejala. Terapi hidrasi bersama dengan emolien dapat mngembalikan
dan memperbaiki sawar lapisan tanduk, dan mengurangi kebutuhan steroid
topical.1

Steroid topikal.
Mempunyai efek samping potensial, pemakaian steroid topikal hanya untuk
mengontrol DA eksaserbasi akut. Setelah control DA dicapai dengan pemakaian
steroid setiap hari, control jangka panjang dapat dipertahankan pada sebagian
pasien dengan pemakaian fluticasone 0.05% 2 x/minggu pada area yang telah
sembuh tetapi mudah mengalami eksema. Steroid poten harus dihindari pada
wajah, genitalia dan daerah lipatan. Steroid dioleskan pada lesi dan emolien
diberikan pada kulit yang tidak terkena. Steroid ultra-poten hanya boleh
dipakai dalam waktu singkat dan pada area likenifikasi (tetapi tidak pada
wajah atau lipatan). Steroid mid-poten dapat diberikan lebih lama untuk DA

39
kronik pada badan dan ekstremitas. Efek samping local meliputi stria, atrofi
kulit, dermatitis perioral, dan akne rosasea.1

Inhibitor kalsineurin topical.


Takrolimus dan pimekrolimus topikal telah dikembangkan sebagai
imunomodulator nonsteroid. Salap takrolimus 0,03% telah disetujui sebagai
terapi intermiten DA sedang-berat pada anak ≥ 2 tahun dan takrolimus 0,1%
untuk dewasa. Krim pimekrolinus 1% untuk anak ≥ 2 tahun dengan DA
ringan-sedang. Kedua obat efektif dengan profil keamanan yang baik untuk
terapi 4 tahun bagi takrolimus dan 2 tahun untuk pimekrolimus. Kedua bahan
tersebut tidak menyebabkan atrofi kulit, sehingga aman untuk wajah dan lipatan;
dan tidak menyebabkan peningkatan kecenderungan mendapat superinfeksi
virus.1

Identifikasi dan eliminasi faktor pencetus.


Faktor pencetus yang perlu diidentifikasi di antaranya sabun atau detergen,
pajanan kimiawi, rokok, pakaian abrasif, pajanan ekstrim suhu dan
kelembaban.1

Alergen spesifik.
Alergen potensial dapat didentifikasi dengan anamnesis detil, uji tusuk
selektif, dan level IgE spesifik. Uji kulit atau uji in vitro positif terhadap
makanan sering tidak berkorelasi dengan gejala klinis sehingga harus
dikonfirmasi dengan controlled food challenges dan diet eliminasi.1 Bayi dan
anak lebih banyak mengalami alergi makanan, sedang anak yang lebih tua
dan dewasa lebih banyak alergi terhadap aeroallergen lingkungan.

Anti-infeksi.
Sefalosporin dan penicillinase-resistant penicillins (dikloksasilin, oksasilin,
kloksasilin) diberikan untuk pasien yang tidak dikolonisasi oleh strain S aureus
resisten. Stafilokokus yang resisten terhadap metisilin memerlukan kultur

40
dan uji sensitivitas untuk menentukan obat yang cocok. Mupirosin topikal
dapat berguna untuk lesi yang mengalami infeksi sekunder terbatas.1Pada
DA ditemukan peningkatan S.aureus Untuk yang belum resistem dapat
diberikan eritromisisn, asitromisin, atau klaritomisisn sedang untuk yang
sudah resisten dapat diberikan dikloksasiklin, oksasilin, atau generasi
pertama sefalosporin. Bila dicurigai terinfeksi oleh virus herpes simpleks
kortikosteroid dihentikan sementara.
Terapi antivirus untuk infeksi herpes simplek kulit penting untuk pasien
DA luas. Asiklovir oral 3 x 400 mg/h atau 4 x 200 mg/h dalam 10 hari untuk
dewasa dengan infeksi herpes simplek kulit. Sedangkan asiklovir iv
diberikan untuk eczema herpetikum diseminata. Infeksi dermatofit dapat
menyebabkan eksaserbasi DA sehingga harus diterapi dengan anti-jamur
topical atau sistemik.

Pruritus.
Steroid topikal dan hidrasi kulit mengurangi radang, kulit kering danmengurangi
keluhan gatal. Alergen hirup dan makanan yang terbukti menyebabkan rash pada
controlled challenges harus disingkirkan. Antihistamin sistemik bekerja
memblok reseptor H1 dalam dermis dapat menghilangkan pruritus akibat
histamine. Karena histamine hanya merupakan satu mediator penyebab
gatal, beberapa pasien hanya mendapat keutungan minimal terhadap terapi
antihistamin. Keuntungan beberapa antihistamin adalah mempunyai efek
anxiolytic ringan sehingga dapat lebih menolong melalui efek sedatif.
Antihistamin non-sedatif baru menunjukkan hasil yang bervariasi yang
berguna bila DA disertai dengan urtikaria atau rhinitis alergika.1
Karena pruritus biasanya lebih parah pada malam hari dapat diberikan
antihistamin sedatif, hidroksizin atau difenhidramin mempunyai kelebihan efek
samping mengantuk. Doksepin memiliki efek antidepresan dan efek blok
terhadap reseptor H1 dan H2. Obat ini dapat diberikan dengan dosis 10-75 mg
oral malam hari atau sampai 2 x 75 mg pada pasien dewasa. Pemberian
doksepin 5% topikal jangka pendek (1 minggu) dapat mengurangi pruritus

41
tanpa menimbulkan sensitisasi. Walaupun demikian, dapat terjadi efek
sedasi pada pemberian topical area yang luas dan dermatitis kontak alergik.1

Preparat ter
Preparat ter batubara mempunyai efek antipruritus dan anti-inflamasi pada
kulit tetapi tidak sekuat steroid topikal. Preparat ter dapat mengurangi
potensi steroid topikal yang diperlukan pada terapi pemeliharaan DA kronis.
Sampo mengandung ter dapat menolong untuk dermatitis kepala. Preparat
ter tidak boleh diberikan pada lesi kulit radang akut karena dapat terjadi
iritasi kulit. Efek samping ter di antaranya folikulitis dan fotosensitif.1

Terapi foto
UVB broadband, UVA broadband, UVB narrowband (311 nm), UVA-1
(340-400nm), dan kombinasi UVA-B dapat berguna sebagai terapi penyerta
DA. Target UVA dengan atau tanpa psoralen adalah sel LC dan eosinofil,
sedangkan UVB berfungsi imunosupresif melalui penghambatan fungsi sel
penyaji antigen, LC dan merubah produksi sitokin oleh keratinosit. Efek
samping jangka pendek terapi foto di antaranya eritema, nyeri kulit, garal,
dan pigmentasi; sedangkan efek samping jangka panjang adalah penuaan
kulit premature dan keganasan kulit.1

2. Terapi sistemik
Steroid sistemik.
Pemakaian prednison oral jarang pada DA kronik. Beberapa pasien dan
dokter lebih menyukai pemberian steroid sistemik karena terapi topical dan
hidrasi kulit memberikan hasil yang lambat. Pemberian steroid sistemik
sering disertai rebound flare berat DA setelah steroid dihentikan. Untuk DA
eksaserbasi akut dapat diberikan steroid oral jangka pendek. Bila ini
diberikan, perlu dilakukan tapering dosis dan memulai skin care terutama
dengan steroid topical dan frequent bathing dan dilanjutkan dengan
pemberian emolien untuk cegah rebound flare DA.1

42
Siklosporin.
Siklosporin adalah obat imunosupresif poten yang bekerja terutama terhadap
sel T dengan cara menekan transkripsi sitokin. Pasien DA dewasa dan anak
yang refrakter terhadap terapi konvensional berhasil dengan siklosporin
jangka pendek. Dosis 5 mg/kg umumnya dipakai secara sukses dalam
pemakaian jangka pendek dan panjang (1 tahun), sedang beberapa peneliti
lain pemakaian dosis tidak bergantung berat badan untuk dewasa, dosis
rendah (150 mg) , dosis tinggi (300 mg ) perhari memakai siklosporin
mikroemulsi. Terapi siklosporin disertai dengan menurunnya penyakit kulit
dan perbaikan kualitas hidup. Penghentian terapi dapat menghasilkan
kekambuhan. Meningkatnya kreatinin serum menyebabkan gangguan ginjal
dan hipertensi yang merupakan efek samping spesifik yang perlu
diperhatikan pada terapi siklosporin.1

Antimetabolit.
Mycophenolate mofetil digunakan dalam terapi penyakit kulit inflamatori.
Studi open label melaporkan MMF oral (2 g/h) jangka pendek dan
monoterapi menghasilkan penyembuhan lesi kulit DA dewasa yang resisten
terhadap obat lain seperti steroid oral dan topical, PUVA, bila obat tidak
berhasil dalam 4-8 minggu harus dihentikan.1

Allergen immutherapy.
Imunoterapi dengan aeroallergen tidak terbukti efektif dalam terapi DA.
Penelitian terbaru, imunoterapi spesifik selama 12 bulan pada dewasa
dengan DA yang disensitasi dengan alergen dust mite menunjukkan
perbaikan pada SCORAD dan pengurangan pemakaian steroid.1

Probiotik.

43
Pemberian probiotik (Lactobacillus rhamnosus strain GG) saat perinatal
menunjukkan penurunan insiden DA pada anak berisiko selama 2 tahun
pertama kehidupan. Ibu diberi placebo atau lactobasilus GG perhari selama
4 minggu sebelum melahirkan dan ibu (menyusui) terus diberi terapi tiap
hari selama 6 bulan. Hasil di atas menunjukkan bahwa lactobasilus GG
bersifat preventif yang berlangsung sesudah usia bayi pada pasien dengan
uji kulit positif dan IgE tinggi.1

i. Prognosis Dan Perjalanan Penyakit


Penyakit cenderung lebih berat dan persisten pada anak dan periode
remisi lebih sering bila anak bertambah usia. Resolusi spontan dilaporkan terjadi
setelah usia 5 tahun ada 40-60% pasien yang menderita sejak bayi. Walaupun
penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kisaran 84% anak akan terus menderita
DA sampai dewasa tetapi studi yang lebih baru melaporkan bahwa DA sembuh
pada kisaran 20% anak dan menjadi kurang parah pada 65%. Faktor prediktif
yang berkorelasi dengan prognosis jelek pada DA : DA yang luas pada masa anak
disertai rhinitis alergik dan asma, riwayat DA pada orang tua atau saudara, awitan
DA pada usia lebih dini, anak tunggal, dan level IgE sangat tinggi.1

C. Dermatitis Numularis
a. Defenisi
Dermatitis numularis atau yang biasa disebut ekzem numular atau
ekzem discoid merupakan suatu peradangan berupa lesi berbentuk mata uang
(coin) atau agak lonjong, berbatas tegas, dengan efloresensi atau lesi awal
berupa papul disertai vesikel (papulovesikel), biasanya mudah pecah
sehingga basah (oozing) dan biasanya menyerang daerah
ekstremitas.(1,2,3,4,5,6)

b. Epidemiologi

44
Dermatitis numularis biasanya terjadi pada orang dewasa, lebih
sering pada pria dibandingkan paada wanita. Usia puncak awitan pada kedua
jenis kelamin antara 55 dan 65 tahun; pada wanita usia puncak terjadi juga
pada usia 15 sampai 25 tahun. Dermatitis numularis tidak biasa ditemukan
pada anak, bila ada timbulnya jarang pada usia sebelum satu tahun;
umumnya kejadian meningkat seiring dengan meningkatnya usia.(1,2,3,6)
Prevalensi dermatitis numularis di Amerika Serikat adalah 2 dari
1000 orang dan insiden internasional dianggap sama seperti Amerika
Serikat. Tidak ada perbedaan ras pada penyakit ini.(6)

c. Etiologi
Penyebabnya sampai saat ini belum diketahui. Kemungkinan suatu
varian dermatitis atopik dibantah, karena kadar IgE masih dalam batas
normal.(3) Diduga infeksi ikut berperan pada dermatitis numularis dengan
ditemukannya peningkatan koloni Staphylococcus dan Micrococcus di
tempat kelainan walaupun secara klinis tidak ditemukan tanda infeksi.
Timbulnya dermatitis numularis apakah melalui mekanisme hipersensitifitas
terhadap bakteri atau karena infeksi bakteri tersebut, belum diketahui dengan
jelas. Eksaserbasi terjadi bila koloni bakteri meningkat di atas 10 juta
kuman/cm2. (1,3)
Dermatitis kontak mungkin ikut memegang peranan pada berbagai
kasus dermatitis numularis, misalnya alergi terhadap nikel, krom, kobal,
demikian pula iritasi dengan wol dan sabun. Trauma fisis dan kimiawi
mungkin juga berperan, terutama bila terjadi di tangan; dapat pula pada
bekas cedera lama atau jaringan parut. Pada sejumlah kasus, stres emosional
dan minuman yang mengandung alkohol dapat menyebabkan timbulnya
eksaserbasi. Lingkungan dengan kelembaban rendah dapat pula memicu
kekambuhan. (3)
Dermatitis pada orang dewasa tidak berhubungan dengan gangguan
atopi. Pada anak, lesi numularis terjadi pada dermatitis atopik. (3)

45
d. Patofisiologi
Patofisiologi tentang dermatitis numularis ini belum diketahui
dengan pasti, tetapi pada kulit penderita dermatitis numularis cenderung
kering, hidrasi stratum korneum,rendah. (1) Peneliti mengemukakan hipotesa
bahwa pelepasan histamine dan mediator inflamasi lainnya dari sel mast
yang kemudian berinteraksi dengan serat-saraf-C yang dapat menimbulkan
gatal. Pada penderita dermatitis numularis, substansi P dan kalsitosin serat
peptide meningkat pada daerah lesi dibandingkan pada non lesi.
Neuropeptida ini dapat menstimulasi pelepasan sitokin lainnya sehingga
memicu timbulnya inflamasi. Hal ini menunjukkan bahwa neuropeptide
berpotensi pada mekanisme proses degranulasi sel mast. (1,6)
Peneliti lain telah menunjukkan bahwa adanya sel mast pada dermis
dari pasien dermatitis numularis menunjukkan aktivitas enzim chymase,
mengakibatkan menurunnya kemampuan menguraikan neuropeptide dan
protein. Disregulasi ini dapat menyebabkan menurunnya kemampuan enzim
untuk menekan proses inflamasi. (6)

e. Gejala Klinis
Keluhan penderita dermatitis numularis dapat berupa gatal yang
kadang sangat hebat, sehingga dapat mengganggu. Lesi akut berupa vesikel
dan papulovesikel (0,3 - 1,0 cm), kemudian membesar dengan cara
berkonfluensi atau meluas ke samping, membentuk satu lesi karakteristik
seperti uang logam (coin), eritematosa, sedikit edematosa, dan berbatas
tegas. Lambat laun vesikel pecah terjadi eksudasi, kemudian mengering
menjadi krusta kekuningan. Ukuran lesi bisa mencapai garis tengah 5 cm
atau lebih, jumlah lesi dapat hanya satu, dapat pula banyak dan tersebar,
bilateral atau simetris dengan ukuran bervariasi dari miliar sampai numular,
bahkan plakat. Tempat predileksi biasanya terdapat di tungkai bawah, badan,
lengan termasuk punggung tangan. (3)

f. Pemeriksaan Penunjang

46
Gambaran Histopatologi
Pada lesi akut ditemukan spongiosis, vesikel intraepidermal, sebukan
sel radang limfosit dan makrofag di sekitar pembuluh darah. Lesi kronis
ditemukan akantosis teratur, hipergranulosis dan hiperkeratosis, mungkin
juga spongiosis ringan. Dermis bagian atas fibrosis, sebukan limfosit dan
makrofag di sekitar pembuluh darah. (3)

g. Diagnosis
Diagnosis dermatitis numularis didasarkan atas gambaran klinis
dengan timbulnya lesi yang berbentuk papulovesikel yang bergabung
membentuk satu bulatan seperti mata uang (coin), dan terasa gatal yang
timbul pada daerah predileksi. Gambaran histopatologi juga bisa membantu
dalam menegakkan diagnosa. (1,3)

h. Diagnosa Banding
1. Dermatitis kontak
2. Dermatitis atopik
3. Neurodermatitis sirkumskripta
4. Dermatomikosis (1,3,6)

i. Penatalaksanaan
Sedapat-dapatnya mencari penyebab atau faktor yang
memprovokasi. Bila kulit kering, diberi pelembab atau emolien. Secara
topikal lesi dapat diobati dengan obat antiinflamasi, misalnya preparat ter,
glukokortikoid, takrolimus, atau pimekrolimus. Bila lesi masih eksudatif,
sebaiknya dikompres dahulu misalnya dengan larutan permanganas kalikus
1:10.000.
Kalau ditemukan infeksi bakterial, diberikan antibiotik secara
sistemik. Kortikosteroid sistemik hanya diberikan pada kasus yang berat dan
refrakter, dalam jangka pendek. Pruritus dapat diobati dengan antihistamin
golongan H1, misalnya hidroksisilin HCl. (3)

47
j. Prognosis
Dari suatu pengamatan sejumlah penderita yang diikuti selama
berbagai interval sampai dua tahun, didapati bahwa 22% sembuh, 25%
pernah sembuh untuk beberapa minggu sampai tahun, 53% tidak pernah
bebas dari lesi kecuali masih dalam pengobatan. (3)

D. Neuro dermatitis
a. Definisi
Neurodermatitis (LichenSimplexChronicus) adalah peradangan kulit
kronis, yang ditandai dengan kulit tebal dan garis kulit tampak menonjol
(likenifikasi) menyerupai batang kayu. Neurodermatitis terjadi akibat
gosokan atau garukan yang berlebihan dan yang dilakukan secara terus
menerus dalam waktu yang lama sehingga kulit menjadi tebal dan kasar,
mengakibatkan batas normal dari kulit menjadi berlebihan. Striae
membentuk pola selang-seling dan diantaranya pola kubus yang rata, terang,
halus terbentuk ini dinamakan likenifikasi.Proses likenifikasi sering
dijumpai pada individu dengan riwayat atopi karena kelompok tersebut
mempunyai ambang rasa gatal yang relatif lebih rendah. 1,4

b. Epidemiologi
1. Jenis Kelamin

48
Neurodermatitis lebih sering terjadi pada wanita daripada pria.
Neurodermatitis berbentuk lichen simplex yang sering terjadi di bagian
tengah dari leher bagian belakang.5

2. Kematian/morbiditas
Neurodermatitis tidak mengakibatkan kematian pada penderitanya,
karena secara keseluruhan gatal yang di derita memiliki ratio ringan sampai
sedang. Gatal yang di derita biasanya akan dirasakan lebih buruk pada saat
tidak melakukan kegiatancontohnya waktu sedang tidur. Stres dan cemas
juga dapat memicu timbulnya gatal.5
 Lesi menyebabkan sedikit sifat mudah merasa sakit. Penderita kadang
mengeluhkan kalau waktu tidur menjadi berkurang atau merasa terganggu pada
saat tidur, yang dapat mempengaruhi fungsi dan motor dari otak.1,5
 Neurodermatitis dapat terlihat sehingga menyebabkan penderita mengunjungi
dokter.5
 Neurodermatitis dapat menjadi infeksi sekunder apabila terjadi pengelupasan
kulit.5
3. Usia
Neurodermatitis biasa terjadi pada usia 30-50 tahun.5

c. Etiologi
Tempat yang sering gatal adalah bagian belakang siku. Bisa juga muncul
pada bagian belakang leher. Vulva, scrotum, dan anal dapat berkembang menjadi
neurodermatitis, namun daerah genital dan anal jarang terlibat secara bersamaan.
Dapat juga terjadi pada bagian atas dari kelopak mata, orifisium dari kedua telinga.
Faktor lingkungan dapat menyebabkan gatal seperti panas, keringat dan iritasi yang
dihubungkan dengan anogenitallichen simplex chronicus. Emosional atau
psikologis juga dapat menyebabkan munculnya rasa gatal. Masih belum diketahui
apakah emosional terjadi karena rasa gatal pada kulit atau faktor emosional
menyebabkan gatal.2,3,6

49
d. Patogenesis
Pruritus memainkan peranan sentral dalam timbulnya pola reaksi kulit
berupa likenifikasi dan prurigo nodularis. Liken simpleks kronis ditemukan
pada regio yang mudah dijangkau tangan untuk menggaruk. Sensasi gatal
memicu keinginan untuk menggaruk atau menggosok yang dapat
mengakibatkan lesi yang bernilai klinis, namun patofisiologi yang
mendasarinya masih belum diketahui. Hipotesis mengenai pruritus dapat oleh
karena adanya penyakit yang mendasari, misalnya gagal ginjal kronis, obstruksi
saluran empedu, limfoma Hodgkin, hipertiroidi, penyakit kulit seperti
dermatitis atopik, gigitan serangga, dan aspek psikologik dengan tekanan
emosi.1,2,3
Beberapa jenis kulit lebih rentan mengalami likenifikasi, contohnya kulit
yang cenderung eksematosa seperti dermatitis atopi dan diathesis atopi.
Terdapat hubungan antara jaringan saraf perifer dan sentral dengan sel-sel
inflamasi dan produknya dalam persepsi gatal dan perubahan yang terjadi pada
liken simpleks kronis. Hubungan ini terutama dalam hal lesi primer, faktor
fisik, dan intensitas gatal.2,3,6

e. Manifestasi Klinis
Keluhan utama yang dirasakan pasien dapat berupa gatal dan sangat
menggangu. Lesi kulit yang mengalami likenifikasi umumnya akan dirasakan
sangat nyaman bila digaruk sehingga terkadang pasien secara refleks
menggaruk dan menjadi kebiasaan yang tidak disadari.1,2,6
Predileksi neurodermatitis berada di tengkuk, sisi leher, tungkai bawah,
pergelangan kaki dan punggung kaki, skalp, paha bagian medial, lengan bagian
ekstensor, skrotum dan vulva.1,7
Pada stadium awal kelainan kulit yang terjadi dapat berupa eritem dan
edema atau kelompok papul, selanjutnya karena garukan berulang, bagian
tengah menebal, kering dan berskuama serta pinggirnya hiperpigmentasi.
Ukuran lesi lentikular sampai plakat, bentuk umum lonjong atau tidak
beraturan. Kemudian lesi juga dapat berupa plak solid dengan likenifikasi,

50
seringkali disertai papul kecil di tepi lesi, dan berskuama tipis. Kulit yang
mengalami likenifikasi teraba menebal, dengan garis-garis kulit yang tegas dan
meninggi, serta dapat pula disertai eskoriasis. Warna lesi biasanya merah tua,
kemudian menjadi coklat atau hiperpigmentasi hitam. Distribusi lesi biasanya
tunggal.1,2,8
Khusus pada pasien dengan etnis kulit hitam, likenifikasi dapat diasumsikan
dengan tipe pola yang khusus, tidak ada plak solid, namun likenifikasinya terdiri
atas papul-papul likenifikasi kecil dengan variasi ukuran 2 sampai dengan
3mm.1,2,8

Gambar 1 : Hiperpigmentasi lichen simplex chronicus6

Gambar 2 : Neurodermatitis di area skrotum pada seorang pria kulit hitam2

f. Diagnosis
Diagnosis neurodermatitis didasarkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisis.
Dari anamnesis didapatkan keluhan sangat gatal apabila pasien dalam keadaan

51
istirahat. Dari pemeriksaan fisis didapatkan eritema, likenifikasi, skuama, dan
hiperpigmentasi. Predileksi tersering terdapat pada scalp, tengkuk, aspek
dorsal-ekstensor dari ekstremitas, dan area anogenital. Untuk membedakan
keluhan gatal dan likenifikasi dengan penyakit lain maka dilakukan
pemeriksaan penunjang.2,4,7

g. Diagnosa banding

Penyakit-penyakit yang perlu diperhatikan sebagai diagnosis banding


neurodermatitis sirkumskripta adalah penyakit lain yang memiliki gejala
pruritus, seperti dermatitis kontak iritan, Dermatitis Kontak Alergi, dermatitis
atopi, liken planus, liken amiloidosis, dan psoriasis.2 Diagnosa banding
neurodermatitis adalah likenifikasi atopik eksema, Dermatitis Kontak Alergi,
Dermatitis Kontak iritan, dan likenifikasi Psoriasis, dan Hipertropik Liken
Planus1,5:

1. Dermatitis Kontak Alergika


Pada Dermatitis Kontak Alergika (DKA), penderita umumnya
mengeluh gatal pada area yang terpajan/kontak dengan
sensitizer/alergen.Pada tipe akut lesi dimulai dari bercak eritematosa yang
berbatas tegas (sirkumskripta), kemudian diikuti oleh edema, papulovesikel,
vesikel, atau bula. Vesikel atau bula yang pecah dapat pecah kemudian
menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). DKA di tempat tertentu misalnya
kelopak mata, penis, skrotum, gejala eritema dan edema lebih dominan
daripada vesikel.1 Pada tipe kronik, kulit terlihat kering, skuama, papul,
likenifikasi, mungkin juga fisur, dan berbatas tidak tegas. DKA dapat
meluas dengan cara autosensitisasi. Skalp (kulit kepala), telapak tangan, dan
telapak kakirelatif resisten terhadap DKA (karena lapisan epidermis yang
tebal).1-3,7

52
Gambar 5: Lesi dermatitis kontak alergi.7

2. Dermatitis Atopik
Keluhan gatal dan terdapat likenifikasi, makula yang eritem, papul atau
papulovesikel, krusta pada daerah eksema, eksoriasi,dan kulit kering. Lokasi
DermatitisAtopi di lipat siku dan lipat lutut (fleksor), sedangkan pada Liken
Simpleks Kronis di siku dan punggung kaki (ekstensor), ada pula yang di
tengkuk. Dermatitis Atopi biasanya sembuh dalam usia 2 tahun sedangkan
Neurodermatitis Sirkumskriptadapat berlanjut sampai tua.1,4,8

Gambar 6 dan 7: Lesi dermatitis atopic pada daerah lipatan.8

3. Liken Planus

53
Liken planus ditandai dengan timbulnya papul-papul yang berwarna
merah-biru, berskuama, dan berbentuk siku-siku.Biasanya lesi ini timbul di
ekstremitas sisi fleksor, selaput lendir,dan alat kelamin. Pasien biasanya
merasa sangat gatal, dan gejala ini bisa menetap hingga waktu 1-2 tahun.
Selain itu, terdapat pulalesi patognomonik di mukosa, yaitu papul
polygonal, datar dan berkilat, serta kadang ditemukan cekungan disentral
(delle).1,9
Liken planus memiliki lima bentuk morfologi: hipertrofik, olikular,
vesikular dan bulosa, erosif dan ulseratif, serta atrofi. Liken planus bentuk
hipertrofi yang harus dibedakan dengan neurodermatitis. Bentuk ini
meliputi plak yang verukosa berwarna merah-coklat atau ungu, serta terletak
pada daerah tulang kering. Diagnosis liken planus yang khas dibantu dengan
pemeriksaan histopatologi, di mana papul menunjukkan penebalan lapisan
granuloma, degenerasi membran basalis dan sel basal. Dapat pula
ditemukan infiltrat seperti pita yang terdiri atas limfosit dan histiosit pada
dermis bagian atas. Liken planus diobati dengan kortikosteroid topikal dan
sistemik. Umumnya pengobatan ini kurang memuaskan, hingga jika perlu
dapat diberikan suntikan setempat atau bebat oklusif. Selain itu dapat juga
ditambahkan krim asam vitamin A 0,05%.1,2,9

Gambar 8: Lesi liken planus pada tangan.9


4. Psoriasis

54
Psoriasis adalah penyakit yang penyebabnya adalah autoimun, bersifat
kronik dan residif, ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas
tegas dengan skuama yang kasar, berlapis dan transparan. Pada psoriasis
terdapat tanda khas fenomena tetesan lilin dan Auspitz, serta tanda tak khas
yaitu fenomena Kobner.1
Selain faktor genetik dan faktor imunologik, terdapat berbagai faktor
pencetus psoriasis, di antaranya adalah stress psikis, infeksi fokal, trauma,
endokrin, dan juga alkohol ataupun merokok. 1
Pasien psoriasis umumnya mengeluh gatal ringan pada kulit kepala,
perbatasan rambut dengan muka, ekstremitas bagian ekstensor terutama siku
dan lutut, dan daerah lumbosakral.Kelainan kulit terdiri atas bercak eritema
yang meninggi dengan skuama di atasnya. Eritema berbentuk sirkumskrip dan
merata,tetapi kemerahan di tengahnya dapat menghilang pada stadium
penyembuhan. Skuama pada psoriasis sangat khas, yaitu berlapis-lapis, kasar
dan berwarna putih seperti mika, serta transparan. 1,2
Dua fenomena khas pada psoriasis adalah fenomena tetesan lilin dan
Auspitz. Fenomena tetesan lilin adalah skuama yangberubah warnanya
menjadi putih pada foresan, seperti lilin yang digores. Pada fenomena Auspitz,
setelah skuama habis dikerok dilakukan pengerokan perlahan hingga tampak
serum atau darah berbintik yang disebabkan oleh papilomatosis.
Untuk menegakkan diagnosis psoriasis, perlu dinilai gambaran klinisnya yang
khas. Jika gambaran klinis tersebut sudah sesuai dengan yang tersebut di atas,
maka tidak sulit membuat diagnosis psoriasis.1,2

55
Gambar 7: Lesi psoriasis pada siku 10

Gambar 8: Lesi psoriasis pada punggung tangan11

h. Pemeriksaan Penunjang
Kebutuhan untuk dilakukannya pemeriksaan tambahan sangat bergantung
pada kondisi masing-masing pasien berdasarkan riwayat perjalanan
penyakitnya, penyakit penyerta, dan komplikasi yang mungkin berkaitan.
Misalnya pemeriksaan darah rutin, urin rutin, dan pemeriksaan fungsi-fungsi
organ viseral. Pemeriksaan rontgen dada mungkin dapat dibutuhkan pada
beberapa kasus yang memberikan indikasi untuk dilakukan pemeriksaan.2
Tes laboratorium berupa serum Immunoglobulin E didapatkan meningkat
jika terdapat diathesis atopi. Tes Potasium Hidroxida dan kultur jamur dapat
dilakukan untuk menyingkirkan tinea kruris atau kandidiasis pada pasien
neurodermatitis pada daerah genital. Pacth Test dapat berguna untuk
menyingkirkan dermatitis kontak alergi. Biopsi kulit dapat dilakukan untuk
menyingkirkan cutaneus T-cell limfoma pada pasien usia lanjut.2,4,6
Namun pemeriksaan yang paling bermakna pada dermatitis sirkumskripta
adalah pemeriksaan dermatopatologi. Pemeriksaan ini dapat memberikan
gambaran yang bervariasi mengenai derajat hiperkeratosis, serta psoriasiform
epidermal hiperplasia. Pada dermis ditemukan infiltrat inflamasi yang kronik.
Biopsi mungkin dapat bermanfaat dalam menemukan gangguan pruritus primer

56
yang telah menyebabkan timbulnya likenifikasi sekunder yang terjadi, seperti
psoriasis.2,5,6,8

i. Penatalaksanaan

Pengobatan utama dari neurodermatitis adalah untuk mengurangi pruritus


dan memperkecil luka akibat garukan atau gosokan.
Pemberian kortikosteroid dan antihistamin oral bertujuan untuk mengurangi
reaksi inflamasi yang menimbulkan rasa gatal. Pemberian steroid topical juga
membantu mengurangi hyperkeratosis. Pemberian steroid mid-potent diberikan
pada reaksi radang yang akut, tidak direkomendasikan untuk daerah kulit yang
tipis (vulva, scrotum, axilla dan wajah). Pada pengobatan jangka panjang
digunakan steroid yang low-poten, pemakaian high-potent steroid hanya
dipakai kurang dari 3 minggu pada kulit yang tebal.
Anti-depresan atau anti-anxiety sangat membantu pada sebagian orang dan
perlu pertimbangan untuk pemberiannya. Jika terdapat suatu infeksi sekunder
dapat diberikan antibiotik topical ataupun oral. Perlu diberikan nasehat untuk
mengatur emosi dan perilaku yang dapat mencegah gatal dan garukan.
Macam-Macam Obat
a. Corticosteroids
Memiliki kegunaan sebagai anti-inflamasi, yang berguna mengurangi pruritus,
menipiskan liken, dan mengurangi reaksi inflamasi.
1. Clobetasol (Temovate)
Termasuk dalam superpotent steroid topical : suppresses mitosis dan
meningkatkan sintesis protein sehingga mengurangi inflamasi dan
menyebabkan vasokontriksi.
2. Fluocinolon 0,01% atau 0,025% cream (Synalar, Fluonid)
Merupakan topical steroid yang medium potent yang menhambat proliferasi
sel, juga sebagai imunosuprosor, anti-proliferasi, dan anti-inflamasi.
3. Hydrocortisone Valerate cream 0,02% (Westcort)

57
Salah satu derifat dari adrenokortikosteroid sesuai untuk penggunaan pada
kulit atau selaput lendir eksternal.
4. Fluocinonide cream 0,1% atau 0,05% (Lidex)
Merupakan topical corticosteroid yang menghambat proliferasi sel.

b. Anti-pruritic
Memberikan efek pengendalian terhadap pelepasan histamine secara endogen.
Sehingga dapat, mengurangi efek gatal, efek sedasi dan menyebabkan kantuk.
Obat ini bekerja menstabilkan membrane saraf dan mencegah transmisi dan
inisiasi dari impuls saraf, dan menghasilkan anastesi local.

1. Diphenhydramine (Benadryl, Benylin, Diphen, Allermax)


Mengurangi rasa gatal yang disebabkan oleh pelepasan histamine.
2. Chlorpheniramine (Chlor-Trimeton)
Penghambat histamine atau H1-Reseptor pada sel efektor di pembuluh
darah dan traktus respiratori.
3. Hydroxyne (Atarax, Vistaril)
Antagonis H1-Reseptor pada bagian luar, dan menekan aktifitas dari
histamine.
4. Doxepin (Sinequan, Zonaton)
Penghambat aktifitas histamine dan asetilkolon. Penggunaannya dapat
memberikan efek sedasi, dan penyerapannya tinggi pada pemberian secara
topical.
Edukasi Pasien
 Anjurkan agar pasien tidak menggaruk lagi, karena penyakit ini akan
bertambah berat jika terus digaruk oleh pasien.
 Mendiskusikan tentang bagaimana merubah kebiasaan menggaruk.
 Memilih sabun yang lembut.
 Menggunakan pakaian yang berbahan cotton sehingga mengurangi iritasi.
 Dapat ditutup dengan kasa basah, untuk mencegah penggarukan.
 Manajemen stress yang baik.1-4

58
j. Komplikasi
Komplikasi dari neurodermatitis dapat terjadi bila tidak adanya
control dari kebiasaan menggaruk untuk keluhan gatalnya. Komplikasinya
bisa berupa perubahan warna pada kulit yang permanen, terdapatnya bekas
luka akibat garukan sampai terjadinya ulkus karena seringnya pasien
menggaruk2.

k. Prognosis
Prognosis untuk penyakit liken simpleks kronis adalah :
 Rasa gatal dapat diatasi, likenifikasi yang ringan dan perubahan
pigmentasi dapat diatasi setelah dilakukan pengobatan.
 Relaps dapat terjadi, apabila dalam masa stress atau tekanan emosional
yang meningkat.
 Pengobatan untuk pencegahan pada stadium-stadium awal dapat
membantu untuk mengurangi proses likenifikasi.
Biasanya prognosis berbeda-beda, tergantung dari kondisi pasien,
apabila ada gangguan psikologis dan apabila ada penyakit lain yang
menyertai.Pengobatan yang teratur dapat meringankan kondisi pasien.
Penyebab utama dari gatal dapat hilang, atau dapat muncul kembali.
Pencegahan pada tahap awal dapat menghambat proses penyakit ini.1,2

E. Dermatitis Statis
a. Definisi
Dermatitis statis adalah dermatitis yang terjadi akibat adanya
gangguan aliran darah vena di tungkai bawah 1. Penyakit ini sering
menyerang pada tungkai bagian bawah karena tempat ini sering terjadi
kelainan insufisiensi vena. 22

b. Patomekanisme

59
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan mekanisme timbulnya dermatitis
statis, yaitu:
1. Meningkatnya tekanan hidrostatik dalam sistem vena, terjadinya
kebocoran fibrinogen masuk kedalam dermis. Selanjutnya fibrinogen
diluar pembulu darah akan berpolimerasi membentuk selubung fibrin
perikapiler dan interstisium, sehingga menghalangi difusi oksigen dan
makanan yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup kulit, akibatnya
akan terjadi kematian sel. Tetapi ada data yang kurang mendukung
hipotesis tersebut antara lain, bahwa derajat endapan fibrin tidak ada
hubungan dengan luasnya insufisiensi vena dan tekanan oksigen.
Demikian pula selubung fibrin sekeliling kapiler dermis tidak kontinu
dan tidak teratur, sehingga sulit berperan sebagai sawar terutama
untuk molekul kcil seperti oksigen dan nutrient lain.1
2. Dermatitis stasis terjadi sebagai akibat langsung dari insufisiensi
vena. Terganggunya fungsi sistem 1-arah pada katup di pleksus vena
pada kaki mengakibatkan terjadinya aliran balik darah dari sistem
vena (refluks) sampai ke sistem vena superfisial, dengan disertai
hipertensi vena. Ini hilangnya fungsi katup dapat hasil dari penurunan
berhubungan dengan usia pada kompetensi katup. Atau, peristiwa
tertentu, seperti trombosis vena dalam, pembedahan (misalnya,
operasi vena, artroplasti lutut total, pengambilan vena saphena untuk
bypass koroner), atau luka trauma, dapat merusak fungsi dari sistem
vena tungkai. Mekanisme ini merupakan penyebab hipertensi vena
dalam peradangan kulit dermatitis stasis. 1
Pada pasien dengan dermatitis stasis, dapat kita perhatikan
pada bagian betis, karena cedera pada sistem vena karena trauma atau
pembedahan adalah faktor umum yang berkontribusi terhadap
perkembangan dermatitis stasis.22
Teori tentang penyebab peradangan kulit di insufisiensi vena berpusat
pada perfusi oksigen dari tungkai jaringan. Awalnya, sistem vena
yang tidak kompeten dianggap menyebabkan pengumpulan darah di

60
vena superfisial, dengan arus berkurang dan karenanya mengurangi
tekanan oksigen di kapiler dermis. Kandungan oksigen menurun
darah menggenang menyebabkan kerusakan hipoksia untuk kulit di
atasnya.23
3. Teori hipoksia / stasis itu disangkal oleh bukti bahwa setelah
dikumpulkan, darah stagnan dengan tekanan oksigen rendah, vena
tungkai pada pasien dengan insufisiensi vena telah dikompensasi
dengan peningkatkan laju aliran dan tekanan peningkatan tekanan
oksigen. Shunting arteriovenosa bisa menyumbang temuan ini, tetapi
tidak ada bukti shunting pada pasien dengan insufisiensi
vena. Kurangnya lengkap bukti untuk mendukung teori hipoksia /
stasis telah menyebabkan banyak peneliti menganjurkan
ditinggalkannya teori dermatitis stasis ini.1

c. Manifestasi Klinis

Manifesatsi Klinis pada dermatitis statis adalah: 23,24,25


1. Pelebaran vena atau varises, hal ini diesebabkan oleh tekanan vena
yang meningkat pada tungkai bawah. 24
2. Edema pada pergelangan kaki, Hal ini disebabkan kebocoran plasma
ke jaringan ekstrasisial karena meningkatnya permeabilitas kapiler
sebagai komplikasi dari varises kronis. 24
3. Pigmentasi stasis atau hiperpigmentasi, Purpura hiperpigmentasi
kecoklatan atau berwarna merah kehitaman pada tungkai bagian bawa
yang disebabkan ekstravasasi hemosiderin sel darah merah ke dalam
dermis, hal ini bersifat permanen dan asimtomatis. 24

61
Gambar 1

4. Prurity patch yang bermula dari medial tungkai bawah dan ankle yang
proggresif. Hal ini dapat berupa inflamasi akut maupun eksaserbasi
akut. Hal ini disebabkan karena pada bagian medial tungkai bawah
merupakan watersher area dari pembuluh vena yang mempunyai
perdarahan yang buruk dibanding pada bagian bawah. Bagian ini
selalu terkena dampak dari hipertensi vena. 24
5. Stocking erytoderma. Hal ini disebabkan nekrosis dari lemak di
bawah kulit akibat dermatitis statis yang tak tertangani pada stadium
awal sehingga area lesi meluas yang akhirnya melingkar pada tungkai
bawah. Seringkali lesi meluas ke bagian superior sampai kearah tumit.
24

6. Ulserasi dan likenifikasi, kondisi seperti dermatitis lainnya dapat


terjadi akibat dari ekskoriasi yang berulang. Erosi pada kulit dapat
terjadi apabila terjadi trauma yang dalam. Likenifikasi umumnya
terjadi karena garukan dengan tungkai maupun dengan tumit
sebelahnya terutama saat pasien duduk. 24

62
Gambar 2

7. Purpura dan ekimosis, Umumnya terjadi akibat trauma saat lesi


digaruk dan dari edema tungkai. 24
8. Lipodermatosclerosis, kelainan ini terdiri dari inflamasi pada dermis
dan subkutis akibat fibrosis. Dapat ditemukan pada dermatitis statis
yang lama (kronis) maupun sebagai tanda manifestasi awal. Awal dari
lipodermatosklerosis tungkai seperti kemerahan dan tegang dan
sangat nyeri. Pada stage kronis didapatkan gambaran “inverted
champagne bottle”, dengan garis parut seperti terikat, dan
hiperpigmentasi, serta edema tanpa sklerotik pada bagian atas dari
tungkai yang terkena.. 24

63
Gambar 3

d. Diagnosa
a. Kriteria Diagnosis
Anamnesis:
Keluhan awalnya kemerahan pada kulit dan sedikit bersisik, setelah
beberapa minggu atau bulan warna kulit menjadi cokelat gelap, selain
itu timbul penumpukkan darah dan terjadi bengkak. Pasien juga
merasakan kaki seperti diikat kencang dan terasa nyeri.24
Faktor resiko dermatitis stasis pada pasien meliputi faktor risiko
varises yang meliputi: Usia > 50 tahun, wanita multi para, obesitas,
lebih banyak berdiri, penyakit metabolik dan gangguan jantung-
pembuluh darah.22
b. Predileksi
Pada tungkai bawah, dimana bagian tungkai bawah adalah tempat
teresering terjadinya kelainan vena.24
c. Pemeriksaan Fisik
Pada status lokalis didapatkan gambaran UKK meliputi:
Adanya varises dengan patch hiperpigmentasi dengan hemosiderosis
disertai likenifikasi tertutup skuama tebal dan krusta kadang disertai
ulcus berbentuk melingkar pada pergelangan kaki memberikan

64
gambaran stocking erytrodherma sering disertai edema dan ekomisis
pada bagian distal yang memberikan gambaran inverted champagne
bottle serta didapatkannya ulserasi.
d. Pemeriksaan Penunjang
Radiologi/Doppler untuk melihat adanya perubahan (dilatasi) vena
yang dalam, trombosis atau gangguan katup. Pada pemeriksaan
histologis akan ditemukan adanya tanda-tanda inflamasi, agregasi
hemosiderin di dermis atau penebalan arteriol/venula.24

e. Penatalaksanaan

Pengobatan

Dalam pengobatan dermatitis statis dibeikan pengobatan kausatif


dan simtomatis. Pengobatan kausatif berupa penanganan pada
sumbatan vena dapat melalui terapi sederhana maupun dengan operasi,
sedangkan simtomatis dapat menggunakan terapi obat sistemik dan
24
topikal

1. Sistemik

a) Pada kasus ringan dapat diberikan anti histamine, atau dapat


dikombinasikan dengan anti serotonin, anti bradikinin, dan
sebagainya. Hidroksizin hidroklorida 10-50 mg setiap 6 jam
bilamana perlu.26

b) Obat dermatititis yang utama adalah kortikosteroid. Kortikosteroid


merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh korteks adrenal
yang pembuatan bahan sintetik analognya telah berkembang dengan
pesat. Terutama diberikan pada penyakit kasus akut dan berat.26

c) Antibiotik diperlukan apabila terdapat infeksi sekunder.25

2. Topikal

65
Terdapat beberapa prinsip umum terapi topikal:

a) Dermatitis akut/ basah (madidans) harus diobati secara basah


(kompres terbuka), bila subakut diberikan losio (bedak kocok),
krim (terutama pada daerah berambut), dan apabila kronik/kering
diberikan zalf.

i) Kompres, pertama-tama menggunakan kompres dingin


dengan air keran dingin atau larutan burrow untuk lesi-lesi
eksudtif dan basah. Kenakan selama 20 menit tiga kali sehari.
Hindari panas disekitar lesi. 25

ii) Losio topikal yang mengandung mentol, fenol, atau premoksin


sangat berguna untuk meringankan rasa gatal sementara, dan
tidak mensensitisasi, tidak seperti benzokain dan
difenhidramin. Obat-obatan bebas yang dapat digunakan
antara lain lasio atau obat semprot sarna dan lasio Prax Cetapil
dengan mentol 0,25% dan fenol 0,25%. 26

iii) Kortikosteroid topikal, berguna bila daerah yang terkena tidak


terlampau luas atau bila kortikosteroid oral merupakan
kontraindikasi. Pada serangan akut dapat mengunakan steroid
sedang sampai kuat (potensi sedang: mometasone 1% 2 kali
sehari)27

b) Makin berat atau akut penyakitnya, dapat dikombinasi dengan obat


topical jenis lain sesuai simtomnya.26

3. Rujukan; Pasien dengan penyakit kronik yang tidak memberikan


respons terhadap terapi dan penghindaran semua penyebab yang
dicurigai harus dirujuk ke ahli kulit untuk tes tempel.27

4. Penatalaksanaan pada kondisi khusus pada dermatitis stasis

66
a) Pengobatan Kausatif terhadap gangguan sirkulasi dengan elevasi
tungkai atau menggunakan pembalut elastis.

Untuk mengatasi edema akibat varises, maka tungkai dinaikkan


(elevasi) sewaktu tidur atau duduk. Bila tidur kaki diusahakan agar
terangkat melebihi permukaan jantung selama 30 menit dilakukan 3-
4 kali sehari untuk memperbaiki mikrosirkulasi dan menghilangkan
edema. Dapat pula kaki tempat tidur disangga balok setinggi 15-20
cm (sedikit lebih tinggi dibanding letak jantung). Apabila sedang
menjalankan aktivitas, memakai kaos kaki penyangga varises atau
pembalut elastis.

b) Apabila lesi eksudatif, eksudat yang ada dapat dikompres terbuka


dengan permanganas kalikus 1/10.000 dan setelah kering diberi
kortikosteroid topikal potensi rendah sampai sedang.

c) Apabila terdapat infeksi sekunder maka dapat ditangani dengan


pemberian antibiotika sistemik

f. Komplikasi
Dermatitis stasis dapat mengalami komplikasi berupa ulkus
diatas maleolus desebut ulkus venosum atau ulkus varikosum, dapat pula
mengalami infeksi sekunder, misalnya selulitis. Dermatitis stasis dapat
diperberat karena mudah teriritasi oleh bahan kontakan.26
g. Prognosis
Dermatitis stasis sering merupakan penyakit dengan kondisi
jangka panjang (kronis). Kita bisa meminimalkan gejala dengan
mengendalikan kondisi dan pembengkakan.27

67
F. Dermatitis Autosensitisasi
a. Epidemiologi
Dermatitis autosensitisasi merujuk pada fenomena dimana
dermatitis akut berkembang pada lokasi kulit yang jauh dari focus
inflamasi, dan dermatitis akut sekunder tersebut tidak dapat
dijelaskan oleh penyebab inflamasi primer. Dermatitis
autosensitisasi klasik terjadi pada pasien dengan penyakit stasis
vena, diaman sebanyak 37% pasien telah dilaporkan mendapat
minimal 1 episode dermatitis autosensitisasi.

b. Etiologi dan patogenesis


Istilah dermatitis otosensitisasi dipakai oleh Whitfield pada tahun
1921 untuk menggambarkan pola reaksi erupsi urtikarial,
morbiliformis, eritematosa, generalisata setelah trauma dan
dermatitis papulovesikuler, ptekial, generalisata setelah iritasi akut
dari dermatitis stasis kronik. Belakangan, reaksi id vesikuler disertai
dengan infeksi oleh tuberculosis, histoplasmosis, dermatofit, dan
bacteria dimasukkan dalam kategori penyakit. Faktor pencetus lain
dari fenomena ini adalah pemakaian bahan kimia iritan atau
sensitizing, ionizing radiation dan benang jahitan luka yang
tertinggal. Walaupun penyakit ini awalnya diduga akibat
otosensitasi terhadap antigen epidermal, tetapi konsep ini belum
terbukti secara eksperimental. Istilah otosensitisasi mungkin suatu
kesalahan. Penyakit ini lebih banyak karena hiperiritabilitas kulit
yang diinduksi oleh stimulus imunologik maupun non-imunologik.
Faktor seperti iritasi, sensitisasi, infeksi, dan luka, yang diketahui
mencetuskan otosensitisasi, dilaporkan melepaskan berbagai sitokin
epidermal. Bila sitokin ini menyebar hematogen dalam jumlah yang
cukup, maka sitokin tersebut dapat meningkatkan sensitivitas kulit
terhadap berbagai stimuli dan menghasilkan reaksi yang secara
klasik dinamai otosensitisasi.

68
c. Gambaran klinis
Satu sampai 2 minggu setelah inflamasi akut, timbul erupsi macula,
papul, dan vesikel eritematosa, simetris, yang sangat gatal. Erupsi
mengenai lengan, tungkai, badan, wajah, tangan, leher dan kaki.

d. Histopatologi
Tidak patognomonik: vesikel epidermal spongiotik disertai infiltrat
limfohistiositik perivaskuler dan eosinofil dalam dermis superfisial.
Pemeriksaan imunofenotipik kulit menunjukkan bahwa sebagian
besar limfosit dalam epidermis adalah sel T CD3+ dan CD8+,
sedangkan dalam dermis sel utama adalah sel T CD4+. Deposit
antibodi atau komplemen pada lesi, tidak dijumpai 30.

e. Diagnosis banding
1. DKA
2. DKI
3. DA
4. Dermatitis numularis
5. polymorphous light eruption

f. Prognosis
Erupsi sering bertahan dan menyebar sampai penyebab yang
mendasari lokasi peradangan primer diobati30

g. Pengobatan
Erupsi vesikuler dan membasah diobati dengan agen yang
mengeringkan seperti aluminum sulfat dan kalsium asetat. Untuk

69
mengatasi peran sitokin dan mediator inflamasi, diberikan steroid
atau makrolaktam secara topical atau sistemik. Antihistamin oral
diberikan untuk mencegah ekskoriasi akibat gatal30

BAB III
KESIMPULAN

70
1. Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang
timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi. Penyebab
dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa bahan kimia
Gejala klinis DKA, pasien umumnya mengeluh gatal. Pada yang akut
dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti
edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Pada yang kronis terlihat kulit
kering, berskuama, papul, likenifikasi, dan mungkin fisur, batasnya tidak
jelas.Gold standar pada DKA adalah dengan menggunakan uji tempel. Uji
tempel (patch test) dengan bahan yang dicurigai dan didapatkan hasil
positif.
2. Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan reaksi peradangan non
imunologik pada kulit yang disebabkan oleh kontak dengan faktor eksogen
maupun endogen. Faktor eksogen berupa bahan-bahan iritan (kimiawi,
fisik, maupun biologik), faktor endogen terdiri dari faktor genetik, jenis
kelamin, umur, suku,lokasi kulit, dan riwayat atopi. Gambaran Klinis
Dermatitis kontak iritan dibagi tergantung sifat iritan. Iritan kuat
memberikan gejala akut, sedang iritan lemah memberi gejala kronis.
3. Dermatitis atopik merupakan peradangan kulit kronis yang sering kambuh
pada masa bayi dan anak-anak dan diwariskan.Pada dermatitis atopik kulit
mengalami infalamai kronis dan residif dengan batas tegas, edema, vesikel
dan madidans pada stadium akut dan penebalan (likenifikasi) pada stadium
kronik.Faktor penyebab D.A merupakan kombinasi faktor genetik (turunan)
dan lingkungan seperti kerusakan fungsi kulit, infeksi, stres, dan lain-lain.
Gejala utama dermatitis atopik adalah pruritus yang dapat hilang timbul
sepanjang hari, tetapi pada umumnya lebih hebat pada malam hari.
Dermatitis atopik dibagi mejadi tiga fase, yaitu D.A pada masa infantil (0-
1 tahun),anak (1-4 tahun),masa remaja (4-16 tahun),dan dewasa (lebih dari
16 tahun). Pengobatan topikal pada D.A, yaitu hidrasi kulit,steroid
topical,inhibitor kalsineurin topical, identifikasi dan eliminasi faktor pencetus.
Terapi sistemik berupa steroid sistemi, siklosporin, antimetabolit,allergen

71
immutherapy, dan probiotik.Prognosis D.A cenderung lebih berat dan
persisten pada anak dan periode remisi lebih sering bila anak bertambah usia.
4. Dermatitis numularis atau yang biasa disebut ekzem numular atau ekzem
discoid merupakan suatu peradangan berupa lesi berbentuk mata uang
(coin) atau agak lonjong, berbatas tegas, dengan efloresensi atau lesi awal
berupa papul disertai vesikel (papulovesikel), biasanya mudah pecah
sehingga basah (oozing) dan biasanya menyerang daerah ekstremitas.
Penyebabnya sampai saat ini belum diketahui. Kemungkinan suatu varian
dermatitis atopik dibantah, karena kadar IgE masih dalam batas normal.
Keluhan penderita dermatitis numularis dapat berupa gatal yang kadang
sangat hebat, sehingga dapat mengganggu. Lesi akut berupa vesikel dan
papulovesikel (0,3 - 1,0 cm), kemudian membesar dengan cara
berkonfluensi atau meluas ke samping, membentuk satu lesi karakteristik
seperti uang logam (coin), eritematosa, sedikit edematosa, dan berbatas
tegas. Lambat laun vesikel pecah terjadi eksudasi, kemudian mengering
menjadi krusta kekuningan.
5. Neurodermatitis (LichenSimplexChronicus) adalah peradangan kulit kronis,
yang ditandai dengan kulit tebal dan garis kulit tampak menonjol
(likenifikasi) menyerupai batang kayu. Neurodermatitis terjadi akibat
gosokan atau garukan yang berlebihan dan yang dilakukan secara terus
menerus dalam waktu yang lama sehingga kulit menjadi tebal dan kasar,
mengakibatkan batas normal dari kulit menjadi berlebihan. Keluhan utama
yang dirasakan pasien dapat berupa gatal dan sangat menggangu. Lesi kulit
yang mengalami likenifikasi umumnya akan dirasakan sangat nyaman bila
digaruk sehingga terkadang pasien secara refleks menggaruk dan menjadi
kebiasaan yang tidak disadari. Pengobatan utama dari neurodermatitis
adalah untuk mengurangi pruritus dan memperkecil luka akibat garukan
atau gosokan
6. Dermatitis statis adalah dermatitis yang terjadi akibat adanya gangguan
aliran darah vena di tungkai bawah . Penyakit ini sering menyerang pada
tungkai bagian bawah karena tempat ini sering terjadi kelainan insufisiensi

72
vena. Gambaran klinis pelebaran vena atau varises, edema pada pergelangan
kaki, pigmentasi stasis atau hiperpigmentasi, prurity patch yang bermula
dari medial tungkai bawah dan ankle yang proggresif, stocking erytoderma,
ulserasi dan likenifikasi, purpura dan ekimosis, dan lipodermatosclerosis.
pengobatan dermatitis statis dibeikan pengobatan kausatif dan simtomatis.
Pengobatan kausatif berupa penanganan pada sumbatan vena dapat melalui
terapi sederhana maupun dengan operasi, sedangkan simtomatis dapat
menggunakan terapi obat sistemik dan topikal
7. Dermatitis autosensitisasi merujuk pada fenomena dimana dermatitis akut
berkembang pada lokasi kulit yang jauh dari focus inflamasi, dan dermatitis
akut sekunder tersebut tidak dapat dijelaskan oleh penyebab inflamasi
primer. Dermatitis autosensitisasi klasik terjadi pada pasien dengan
penyakit stasis vena, diaman sebanyak 37% pasien telah dilaporkan
mendapat minimal 1 episode dermatitis autosensitisasi. Gambaran klinis
satu sampai 2 minggu setelah inflamasi akut, timbul erupsi macula, papul,
dan vesikel eritematosa, simetris, yang sangat gatal. Erupsi mengenai
lengan, tungkai, badan, wajah, tangan, leher dan kaki. Erupsi vesikuler dan
membasah diobati dengan agen yang mengeringkan seperti aluminum sulfat
dan kalsium asetat. Untuk mengatasi peran sitokin dan mediator inflamasi,
diberikan steroid atau makrolaktam secara topical atau sistemik.
Antihistamin oral diberikan untuk mencegah ekskoriasi akibat gatal

DAFTAR PUSTAKA

1. Sularsito SA. 2010. Ulkus Kruris. dalam: Djuanda Adi, ed. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Edisi VII. Jakarta: FKUI press

73
2. Giannotti B, Haneke E. Eczema. A practical guide to differential diagnosis
and therapeutic management. Chester: Adis International Limited, 1995
3. Louw J. What is eczema? http://www.eczemaletters.com/ Treatments.aspx.
Jan-Juli 2004
4. Eczema (Atopic dermatitis). http:www.healthscout.com/
template.asp?page=ency&ap =43&encyd=290
5. Principles of Pediatric Dermatology.
http://www.dermatologyinfo.net/english/chapters/ chapter1,5,15-20.htm
6. Ellis C, Luger T, Abeck D, et al. International Consensus Conference on
Atopic dermatitis II (ICCAD II) : clinical update and current treatment
strategies. Br J Dermatol 2003; 148(suppl 63):3-10
7. Fleischer Jr. AB. Atopic dermatitis. Perspectives on a manageable disease.
Postgrad Med 1999; 106(4):49-55
8. Siregar, R.S,. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. 2004. Jakarta:
EGC
9. Djuanda, Suria dan Sularsito, Sri.. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi
4. 2005Jakarta: FK UI
10. Trihapsoro, Iwan.. Dermatitis Kontak Alergik pada Pasien Rawat Jalan di
RSUP Haji Adam Malik Medan. Universitas Sumatra Utara, Medan.
Tersedia dalam : http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/6372
11. Thyssen, Jacob Pontoppidan.. The Prevalence and Risk Factors of Contact
Allergy in the Adult General Population. 2009Denmark : National Allergy
Research Centre, Departement of Dermato-Allergology, Genofte Hospital,
University of Copenhagen.
12. Baratawijaya, Karnen Garna.. Imunologi Dasar. 2006 Jakarta: Balai
Penerbit FKUI
13. 13 Price, Sylvia Anderson.. Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses
Penyakit. 2005 Jakarta : EGC.
14. Morgan, Geri, Hamilton, Carole.. Obstetri & Ginekologi: Panduan Praktik
Edisi 2. 2009Jakarta : EGC

74
15. Sumantri, M.A., Febriani, H.T., Musa, S.T.. Dermatitis Kontak.
.Yogyakarta : Fakultas Farmasi UGM
16. Bourke, et al. Guidelines For The Management of Contact Dermatitis: an
update. Tersedia dalam :
http://www.bad.org.uk/portals/_bad/guidelines/clinical%20guidelines/cont
act%20dermatitis%20bjd%20guidelines%20may%202009.pdf. 2009
17. Wolff K, Lowel AG, Stephen IK, Barbara AG, Amy SP, David JL, editors.
Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. 7th ed. New York: McGraw
- Hill; 2008.p.396-401.
18. Sularsito, S.A dan Suria Djuanda, editors. Dermatitis. In: Djuanda A,
Mochtar H, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008.p.130-133.
19. Wolff C, Richard AJ, and Dick S, editors. Fitzpatrick’s Color Atlas &
Synopsis Of Clinical Dermatology 5th ed. New York: McGraw - Hill; 2005.
20. Wilkinson SM, and Beck MH. Rook’s Textbook Of Dermatology 7th ed.
Australia: Blackwell Publishing. 2004.chapter 19.
21. Habif T. Clinical Dermatology: A Color Guide to Diagnosis and Therapy.
4th ed. USA: mosby; 2003. p.62-64
22. PERDOSKI. 2011. Panduan Pelayanan Medis Dokter Spesialis Kulit
dan Kelamin. Jakarta : Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin FKUI.
23. Fitzpatrick, T. B., Jonhson, R. A., Polano, M.K., Suurmond, D.,
Wolff, K. 1992. Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology:
Common and Serious Disease Second Edition. United States of
America : Mc.Graw-Hill.
24. Daili, Emmy S. S., Menaldi, Sri L., Wisnu, Made. 2005. Penyakit
Kulit Yang Umum di Indonesia : Sebuah Panduan Bergambar. Jakarta
Pusat : PT Medical Multimedia Indonesia.
25. Rudikoff D, Steven RC, Scheinfeld N, 2014, Atopic Dermatitis and
Eczematous Disorders,United States of America : CRC Press.

75
26. Lyons F, Ousley Lisa, 2015, Dermatology for the Advanced Practice
Nurse, New York: LLC
27. Craft N, Lindy P, Fox, Lowell A, Goldsmith, et all., 2013, VisualDx:
Essential Adult Dermatology (VisualDx: The Modern Library of
Visual Medicine), Visual Dx
28. Jean L. Joseph L, Ronald P, 2003, Dermatology, United States of
America: Elsevier’s Health Service Philadelphia.
29. Davey P., 2003, At a Glance Medicine, Jakarta:Gramedia
30. Belsito DV. Autosensitization. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, David J. Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine, VII ed. New York: McGraw-Hill;
2008. p. 167-168.

76

Anda mungkin juga menyukai