Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PRAKTIKUM Hari/Tanggal : Kamis, 6 Desember 2013

TOKSIKOLOGI VETERINER Waktu : 14.00 – 16.30 WIB


Tempat : RP. Fifarm
PJ Praktikum : Siti Sa’diah, Apt. M.Si.

KERACUNAN STRIKNIN

Oleh :

Kelompok 2 – Sore

Mohammad Asraf Asmat (B04088019)


Zulfitra Utami Putri (B04100074)
Risti Laily (B04100075)
Dwida Ramadhani (B04100076)
Didik Prasetyo (B04100077)
Hidayati (B04100080)

DEPARTEMEN ANATOMI FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Keracunan merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh bahan


organik ataupun bahan anorganik yang masuk ke dalam tubuh sehingga
menyebabkan tidak normalnya mekanisme di dalam tubuh. Akibat-akibat dari
keracunan dapat menurunkan kesadaran bahkan pada kasus-kasus tertentu dapat
menyebabkan kematian jika cara penanganan yang salah. Keracunan seperti yang
diketahui masyarakat luas, hanya menyerang bagian saluran pencernaan saja.
Namun sebenarnya keracunan dapat menyerang saluran pernafasan juga. Misalnya
keracunan akibat menghirup gas beracun yang dapat menyebabkan kepala pusing,
dan mual (Yayasan Essentia 1993).

Striknin tidak bermanfaat untuk terapi, tetapi untuk menjelaskan fisiologi


dan farmakologi susunan saraf, obat ini menduduki tempat utama diantara obat
yang bekerja secara sentral. Striknin bekerja dengan cara mengadakan
antagonisme kompetitif terhadap transmiter penghambatan yaitu glisin di daerah
penghambatan pascasinaps. Striknin menyebabkan perangsangan pada semua
bagian SSP, obat ini merupakan konvulsan kuat dengan sifat kejang yang khas.
Pada hewan coba, konvulsi ini berupa ekstensif tonik dari badan dan semua
anggota gerak. Gambaran konvulsi oleh striknin ini berbeda dengan konvulsi oleh
obat yang merangsang langsung neuron pusat.

Sifat khas lainnya dari kejang striknin ialah kontraksi ekstensor yang
simetris yang diperkuat oleh rangsangan sensorik yaitu pendengaran, penglihatan,
dan perabaan. Konvulsi seperti ini juga terjadi pada hewan yang hanya
mempunyai medula spinalis. Striknin ternyata juga merangsang medula spinalis
secara langsung, atas dasar ini efek striknin dianggap berdasarkan kerjanya pada
medula spinalis dan konvulsinya disebut konvulsi spinal. Gejala keracunan
striknin yang mula-mula timbul ialah kaku otot muka dan leher. Setiap
rangsangan sensorik dapat menimbulkan gerakan motorik hebat. Pada stadium
awal terjadi gerakan ekstensi yang masih terkoordinasi, akhirnya terjadi konvulsi
tetanik. Episode kejang ini terjadi berulang, frekuensi dan hebatnya kejang
bertambah dengan adanya perangsangan sensorik (Sunaryo 1995).

1.2 TUJUAN

Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui gejala klinis dan


penanggulangan keracunan striknin.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Striknin merupakan alkaloid utama dalam nux vomica, biji tanaman


Strychnos nux vomica. Striknin tidak bermanfaat untuk terapi, tetapi untuk
menjelaskan fisiologi dan farmakologi susunan saraf. Obat ini menduduki tempat
utama diantar obat yang bekerja secara sentral. (Sunaryo, 1995). Menurut Utama
(1995), Mekanisme kerja striknin yaitu merangsang semua bagian SSP, aksi ini
dimulai pada medula spinalis, kemudian dengan meningkatnya konsentrasi
striknin dalam otak (melewati batas kritis) maka impuls akan berpencar keseluruh
SSP dan menimbulkan kejang tonik tanpa adanya fase klonik. Kejang ini pada
otot ekstensor yang simetris. Dengan dosis suprakonvulsi, bahan ini menimbulkan
atau memperlihatkan efek curariform pada neuromusculary junction. Pada
kesadaran dimana terjadi konvulsi akan terjadi perubahan tekanan darah. Oleh
karena rasanya pahit, maka berguna sebagai stomathicum untuk merangsang
ujung saraf pengecap untuk menambah nafsu makan, dan secara reflextoir
merangsang sekresi HCl lambung. Dan menghilangkan tahanan postsynaps
medulla spinalis dengan cara menghambat aksi Ach pada inhibitory cells.(Utama,
1995)

Striknin bekerja dengan cara mengadakan antagonisme kompetitif


terhadap transmitor penghambatan yaitu glisin di daerah penghambatan pasca
sinaps.Striknin menyebabkan perangsangan pada semua bagian SSP.Obat ini
merupakan konvulsan kuat dengan sifat kejang yang khas.Pada hewan coba
konvulsi ini berupa ekstensi tonik dari badan dan semua anggota gerak.Gambaran
konvulsi oleh striknin ini berbeda dengan konvulsi oleh obat yang merangsang
langsung neuron pusat.Sifat khas lainnya darikejang striknin ialah kontraksi
ekstensor yang simetris yang diperkuat oleh rangsangan sensorik yaitu
pendengaran,penglihatan dan perabaan.Konvulsi seperti ini juga terjadi pada
hewan yang hanya mempunyai medula spinalis.Striknin ternyata juga merangsang
medula spinalis secara langsung.Atas dasar ini efek striknin dianggap berdasarkan
kerjnya pada medula spinalis dan konvulsinya disebut konvulsi spinal
(Sunaryo,1995). Gejala keracunan striknin yang mula-mula timbul ialah kaku
ototmuka dan leher.Setiap rangsangan sensorik dapat menimbulkan gerakan
motorik hebat.Pada sta dium awal terjadi gerakan ekstensi yang masih
terkoordinasi,akhirnya terjadi konvulsi tetanik.Episode kejang ini terjadi
berulang,frekuensi dan hebatnya kejang bertambah dengan adanya perangsangan
sensorik.Kontraksi otot ini menimbulkan nyeri hebat,dan penderita takut mati
dalam serangan berikutnya (Sunaryo,1995)
BAB 3 MATERI DAN METODE

3.1 BAHAN DAN ALAT

Alat-alat yang digunakndalam praktikum ini adalah spoit 1 mL dan 5 mL,


jam tangan/stopwatch, dan kandang hewan. Bahan-bahan yang diperlukan yaitu 3
ekor tikus, striknin 1%, tannin 20%, pentotal, dan diazepam.

3.2 PROSEDUR PERCOBAAN

a) Terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan fisiologis tubuh tikus normal.


Pemeriksaan terdiri atas posisi tubuh, reflek, rasa nyeri, tonus otot, frekuensi
napas, frekuensi jantung, dan konvulsi.
b) Tikus pertama diberikan tannin secara peroral, sedangkan kedua tikus yang
lainnya tidak.
c) Sekitar 30 menit setelah pemberian tannin tikus kembali diberikan striknin
dengan dosis sub letal secara peroral. Kemudian, diamati perubahan fisiologi
tubuh yang terjadi setiap 10 menit.
d) Pada tikus kedua, setelah pemeriksaan fisiologis tubuh tikus disuntikkan
striknin dengan dosis sub letal secara subkutan. Lalu diamati perubahan
fisiologi tubuhnya setiap 10 menit.
e) Pada tikus ketiga, sama dengan perlakuan pada tikus kedua. Akan tetapi
setelah terlihat adanya gejala konvulsi, tikus langsung disuntikkan diazepam/
pentotal secara intraperitoneum. kemudian dicatat waktu tikus mulai konvulsi
dan waktu tikus relaksasi kembali.
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 HASIL PERCOBAAN

Tabel 1. Gejala yang teramati pada tikus

Tanda Tanda Tanda


Kelompok Perlakuan Fisiologis normal
konvulsi relaksasi kematian
Kelompok Napas : 88/menit
- - -
1 Jantung : 132/menit
Tanin +
striknin
Kelompok Napas : 78/menit
- - -
2 Jantung : 200/menit

Kelompok Napas : 120/menit


Menit ke-70 Menit ke-75 -
3 Jantung : 360/menit
Diazepam +
striknin
Kelompok Napas : 115/menit
Menit ke-60 Menit ke-65 -
4 Jantung : 220/menit

Kelompok Aquades + Napas : 122/menit Lebih dari


Menit ke-35 -
5 striknin Jantung : 116/menit menit ke-75

4.2 PEMBAHASAN

Strikinin merupakan alkaloid utama dalam nux vomica, biji tanaman


Strychnos nux vomica. Striknin tidak bermanfaat untuk terapi, tetapi untuk
menjelaskan fisiologi dan farmakologi susunan saraf. Obat ini menduduki tempat
utama diantara obat yang bekerja secara sentral (Remington 2005). Pada
praktikum kali ini dilakukan uji keracunan striknin. Sebelum melakukan
percobaan atau pengaplikasian senyawa kombinasi striknin, dilakukan
pemeriksaan fisiologis normal pada tikus sebagai hewan coba pada praktikum ini.
Pada pemeriksaan fisiologis didapat hasil frekuensi napas pada setiap tikus masih
dalam rentan batas normal yaitu 71-146 kali/menit sedangkan hasil frekuensi
jantung didapat hasil yang lebih rendah dari batas normal yaitu 71-146 kali/menit
(Wulangi, S.K. 1993). Hal tersebut dapat disebabkan ketidak tepatan praktikan
dalam menghitung jumlah deyut jantung atau dapat juga dipengaruhi oleh bobot
badan tikus.

Pada percobaan pertama yang dilakukan kelompok satu dan dua yaitu
aplikasi secara peroral menggunakan kombinasi senyawa striknin dan tannin.
Pencekokan pertama menggunakan tannin kemudian dengan striknin. Hasil yang
didapat kedua kelompok sama yaitu tidak terjadinya tanda konvulsi, tanda
relaksan, dan tanda kematian. Hal tersebut dikarenan sifat tannin sebagai
protektiva yang dapat menghambat absorbsi dari striknin (Stellman JM. 1998)

Perlakuan berikutnya dengan memberikan diazepam secara intraperitoneal


setelah pemberian striknin terlebih dahulu. Striknin yang bekerja dengan cara
mengadakan antagonisme kompetitif terhadap transmiter penghambatan yaitu
glisin di daerah penghambatan pascasinaps, menyebabkan perangsangan pada
bagian SSP. Obat ini merupakan konvulsan kuat dengan sifat kejang yang khas
yaitu berupa ekstensif tonik dari badan dan semua anggota gerak. Sifat khas
lainnya dari kejang striknin ialah kontraksi ekstensor yang simetris yang diperkuat
oleh rangsangan sensorik yaitu pendengaran, penglihatan, dan perabaan. Konvulsi
seperti ini juga terjadi pada hewan yang hanya mempunyai medula spinalis secara
langsung. Atas dasar ini efek striknin dianggap berdasarkan kerjanya pada medula
spinalis dan konvulsinya disebut konvulsi spinal (Louisa dan Hedi 2007). Tanda
konvulsi ditunjukkan dari tikus kelompok 3 dan 4 masing-masing terjadi pada
menit ke-75 dan ke-60, dimana terdapat jangka waktu yang cukup panjang dari
pemberian striknin hingga terjadi konvulsi. Hal tersebut dapat terjadi karena
pemberian striknin secara peroral yang harus melalui tahapan-tahapan obat yaitu
liberasi, adsorbsi, distribusi, metabolisme, dan eksresi. Tanda konvulsi
ditunjukkan dalam jangka waktu yang lebih lama oleh tikus kelompok 3 dimana
fisiologis normal frekuensi jantungnya lebih tinggi yaitu 330/menit dari pada tikus
kelompok 4 yaitu 220/menit, hal tersebut tidak sesuai karena dengan frekuensi
jantung yang lebih tinggi seharusnya memberi proses metabolisme yang lebih
cepat. Kesalahan tersebut dapat diakibatkan lambatnya praktikan menyadari
bahwa tikus telah menunjukkan gejala konvulsi. Setelah muncul tanda-tanda
konvulsi segera diberikan antidota berupa diazepam. Diazepam memiliki daya
kerja sebagai sedatif-hipnotis, antikonvulsif, dan daya relaksasi otot (Tjay dan
Kirana 2007), yang mengakibatkan munculnya tanda-tanda relaksasi. Tanda
relaksasi yang muncul tidak lama dari munculnya konvulsi, pada tikus kelompok
3 tanda tersebut muncul pada menit ke-75 dan tikus kelompok 4 tanda relaksasi
muncul pada menit ke-65. Tikus kelompok 3 dan 4 tidak menunjukkan tanda-
tanda kematian, karena telah diberikan senyawa diazepam sebagai antidota dari
keracunan striknin.

Pada percobaan kelompok lima yaitu pengaplikasian senyawa striknin dan


aquades didapat hasil terjadi konvulsi pada menit ke 35 dan kematian pada menit
ke 75. Hal tersebut dikarenakan striknin merupakan bahan yang bersifat
stimulansia yang bekerja pada susunan saraf pusat yang akan mengakibatkan
paralisis batang otak karena hipoksia akibat gangguan napas. Kombinasi dari
adanya gangguan napas dan kontraksi otot yang hebat dapat menimbulkan
asidosis respirasi maupun asidosis metabolik hebat sehingga terjadi kematian pada
tikus (Tjay dan Kirana 2007).
BAB 4 SIMPULAN

Pemberian striknin pada tikus akan mengakibatkan gejala konvulsi pada


tikus dan berakhir pada kematian. Hal tersebut dikarenakan striknin bersifat
stimulansia pada susunan saraf pusat yang akan mengakibatkan paralisis batang
otak karena hipoksia akibat gangguan napas dan mengakibatkan kontraksi otot
yang berlebihan. Penanggulangan keracunan striknin dapat dilakukan dengan
pemberian tannin sebagai protektiva sebelum berinteraksi dengan striknin.
Senyawa lain yang dapat digunakan sebagai antidota adalah diazepam. Obat ini
bersifat sedatif-hipnotis, antikonvulsif, dan daya relaksasi otot sehingga mampu
menetralisir efek dari striknin.
DAFTAR PUSTAKA

Louisa, M dan Hedi RD . 2007. Perangsang Susuna Saraf Pusat. Farmakologi


dan Terapi. Editor: Gunawan, S.G. Edisi ke-5. Jakarta (ID) : Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran. Universitas Indonesia.

Remington. 2005. Remington : The Science and Practice of Pharmacy. Lippincott


Williams & Wilkins: Philadephia

Stellman JM. 1998. Encyclopaedia of Occupational Health and Safety: Guides,


indexes, directory. International Labour Organization: United State of
America

Sunaryo. 1995. Perangsang Susunan Saraf Pusat dalam Farmakologi dan Terapi
Ed.IV. Jakarta : Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Hal.223-224.

Syarif A et al. 2007.Farmakologi dan Terapi.Jakarta:Gaya Baru

[Yayasan Essentia]. 1993. Perawatan Dini Penderita Keracunan. The Committe


on Toxic: American College of Surgeon. Yogyakarta: Yayasan Essentia
Medica.

Tjay, TH dan Kirana, R. 2007. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan


Efek-Efek Sampingnya Edisi Keenam. Jakarta (ID): PT Elex Media
Komputindo Kelompok Gramedia.

Utama, Hendra., Vincent HS Gan., (1995). Antikonvulsan, dalam Farmakologi


dan Terapi Bab 12. Editor Sulistia G. Ganiswara. Edisi Keempat. Jakarta:
Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 163-
165

Wulangi, S.K. 1993. Prinsip-prinsipFisiologiHewan. Institute Teknologi


Bandung. Bandung

Anda mungkin juga menyukai