Anda di halaman 1dari 44

I.

IDENTITAS PASIEN
Nama : An. D

Umur : 7 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Karanglo, RT 18/RW.04

Agama : Islam

Waktu Pemeriksaan : 22 Oktober 2018

ORANG TUA PASIEN

Keterangan Ayah Ibu


Nama Tn. K Ny. S
Usia 39 tahun 30 tahun
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
Kebangsaan Indonesia Indonesia
Suku Bangsa Jawa Jawa
Agama Islam Islam
Pendidikan SMP SD
Pekerjaan Supir Ibu rumah tangga
Alamat Karanglo Karanglo
Penghasilan Rp 3.000.000/bulan -

Hubungan pasien dengan orang tua adalah anak kandung


I. ANAMNESIS
Didapatkan keterangan dari ibu pasien (alloanamnesis) pada tanggal 22
Oktober 2018.
Keluhan Utama : Sesak nafas
Keluhan Tambahan : Batuk dan dada terasa tertekan

Riwayat Perjalanan Penyakit Sekarang


Pasien datang ke RSUD. Soeselo Slawi dengan keluhan sesak nafas sejak satu hari

sebelum masuk rumah sakit. Sesak nafas disertai nyeri dada seperti tertindih. Pasien

juga mengeluh batuk berdahak, dahak berwarna putih, darah disangkal. Menurut ayah

pasien, sesak nafas sering kambuh sebanyak 4 sampai 5 kali dalam seminggu.

Keluhan serupa sering ketika pasien masih balita. Ayah pasien mengaku dalam satu

bulan ini sudah 2 kali serangan sesak nafas. Ketika serangan sesak nafas, hingga

mengganggu aktivitas sehari-hari pasien dan menyebabkan pasien ketertinggalan

kelas disekolahnya. Demam, mual, muntah, nyeri ulu hati disangkal. BAB dan BAK

dalam batas normal.

Riwayat Penyakit Dahulu

Penyakit Keterangan Penyakit Keterangan


Faringitis/ Disangkal Enteritis Disangkal
Tonsillitis
Rhinitis
Pneumonia Disangkal Disentri Basilaris Disangkal
Bronkitis Disangkal Disentri Disangkal
Amubiasis
Morbili Disangkal Typhus Disangkal
Abdominalis
Kejang Disangkal Cacing Disangkal
Varicela Disangkal Operasi Disangkal
Difteri Disangkal Gegar Otak Disangkal
Malaria Disangkal Fraktur Disangkal
Polio Disangkal Reaksi Obat Disangkal
Riwayat Kehamilan Ibu
 Perawatan antenatal
o Kontrol secara teratur ke bidan di puskesmas.
o Tidak terdapat masalah selama kehamilan dan janin di dalam kandungan
dinyatakan sehat.
 Penyakit selama kehamilan
o Riwayat masalah dan penyakit selama masa kehamilan tidak ada.
 Obat-obatan yang diminum
o Ibu pasien minum vitamin yang diberikan oleh bidan.

Riwayat Kelahiran
 Persalinan : Puskesmas
 Penolong persalinan : Bidan
 Cara persalinan : Spontan presentasi kepala
 Masa gestasi : 9 bulan (38 minggu)
 Ketuban pecah : Ibu tidak tahu
 Berat plasenta : Ibu tidak tahu
 Ketuban : Ibu tidak tahu
 Jumlah air ketuban : Ibu tidak tahu
 Keadaan bayi : Berat lahir : 3000 gram
Panjang badan : 51 cm
Lingkar kepala : ibu tidak tahu
Menurut Ibu, saat lahir bayi langsung menangis, kulit bayi berwarna kemerahan,
gerakannya aktif, dan tidak ditemukan adanya kelainan fisik pada bayi.

Riwayat Postnatal
Pemeriksaan oleh : Puskesmas
Keadaan anak : Kondisi anak dinyatakan sehat

Riwayat Perkembangan
 Gangguan perkembangan emosional/ mental: tidak ada
 Sekolah: pasien merupakan murid sekolah dasar kelas 1 di SDN 1
Pagerbarang. Tidak ada kendala dalam mengikuti pelajaran maupun dalam
bersosialisasi dengan teman sebayanya
 Kesan: Status tumbuh kembang pasien sesuai dengan anak sebayanya.

Riwayat Imunisasi : Lengkap

Riwayat Keluarga
 Data Keluarga
Keterangan Ayah Ibu
Pernikahan ke 1 1
Umur saat menikah 32 23
Keadaan Kesehatan Sehat Sehat

 Corak Reproduksi
Pasien merupakan anak tunggal
Anak ke Usia Jenis Kelamin Keterangan
1 7 Tahun Perempuan Anak kandung
Riwayat Penyakit dalam Keluarga
 Ayah
Kondisi ayah saat ini sehat, tidak ada keluhan, tidak sedang mengalami batuk-
batuk. Riwayat batuk lama disangkal, riwayat alergi dan asma disangkal, riwayat
keganasan disangkal, riwayat epilepsi disangkal.
 Ibu
Kondisi ibu saat ini sehat, tidak ada keluhan, tidak sedang mengalami batuk-
batuk. Riwayat batuk lama disangkal, riwayat alergi disangkal, riwayat keganasan
disangkal, riwayat epilepsi disangkal.
 Nenek
Kondisi nenek saat ini sehat, tidak ada keluhan. Riwayat asma (+), riwayat alergi
disangkal, riwayat batuk lama disangkal.

II. PEMERIKSAAN FISIK


Dilakukan pada tanggal 22 Oktober 2018.

Status Generalisata
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan, tampak sesak
Kesadaran : Kompos mentis
Tanda-tanda Vital :
Tekanan Darah :-
Nadi : 130 kali/menit, kuat, penuh, teratur
Laju Pernapasan : 34 kali/menit , reguler
Suhu Tubuh : 36.5⁰C (aksilla)

Data Antropometri
Berat badan : 15 kg
Tinggi badan : 110 cm

Pemeriksaan Fisik Sistematis (22-10-2018)

Pemeriksaan Sistematis Hasil Pemeriksaan


Kepala
 Bentuk dan ukuran Normosefali, deformitas (-),
 Rambut & Kulit kepala Warna hitam, distribusi merata, tidak mudah
dicabut
Mata Palpebra cekung -/-, ptosis -/-, konjungtiva tidak
pucat, sklera tidak ikterik, pupil isokor, refleks
cahaya +/+, air mata +/+
Telinga Serumen -/-, sekret -/-
Hidung Septum ditengah, sekret -/-, napas cuping hidung
(-)
Mulut :

Bibir Bibir tampak lembab


Gigi Caries tidak ada
Gusi Tidak ada pendarahan pada gusi
Lidah Tidak kotor, basah
Tonsil T1/T1, tidak hiperemis
Faring Uvula ditengah, arcus faring simetris, dinding
faring hiperemis (-)
Laring Tidak dinilai
Leher Tidak teraba pembesaran KGB
Thorax
 Paru-paru I :Pergerakan dada simetris dalam keadaan statis
dan dinamis, retraksi (+) subcostal, pectus
excavatum, penggunaan otot bantu nafas (+)
P : Stem fremitus paru kiri = kanan
P : Sonor di kedua lapang paru
A : Bunyi nafas vesikuler, ekspirasi memanjang
rhonki basah kasar +/+, wheezing +/+
 Jantung I :Ictus cordis tidak terlihat
P :Ictus cordis tidak teraba
P : batas kanan : Linea sternalis dextra ICS V
Batas atas : ICS III linea parasternalis sinistra
Batas kiri : ICS V Linea midclavicularis
sinistra
A : Bunyi jantung I dan II regular, murmur -,
gallop -
Abdomen
 Inspeksi Datar, supel,
 Palpasi Supel, hepar tidak teraba, lien tidak teraba
 Perkusi Timpani pada keempat kuadran
 Auskultasi Bising usus (+)
Punggung Tidak tampak skoliosis, kifosis dan lordosis,
Genitalia Kesan perempuan normal
Anus Lubang intak, tidak tampak massa yang keluar
dari anus, perianal rash (-)
Anggota gerak Akral hangat, capillary refill time < 2 detik, lesi
kulit (–), sianosis (-), edema (-)
Kulit Tidak pucat, tidak sianosis, tidak ikterik, turgor
baik.
Pemeriksaan Neurologis
 Tanda Rangsang Meningeal
 Kaku kuduk : (-)
 Perasat Brudzinski I : (-)
 Perasat Brudzinski II : (-)
 Perasat Kernig : (-)

 Refleks Fisiologis
 Refleks Biseps : normorefleks/normorefleks
 Refleks Triseps : normorefleks/normorefleks
 Refleks Patella : normorefleks/normorefleks
 Refleks Achilles : normorefleks/normorefleks

 Refleks Patologis
 Refleks Hoffmann-Trommer : -/-
 Refleks Babinski : -/-
 Refleks Oppenheim : -/-
 Refleks Schaefer : -/-
 Refleks Chaddock : -/-
 Refleks Gordon : -/-
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Parameter Jumlah Satuan Nilai Rujukan

1. Leukosit 15,3 uL 5000-1000 /uL

2. Eritrosit 5,0 Juta/uL 4,0-5,5 / uL

3. Hemoglobin 13,5 gr/dl 12-15 g/dl

4. Hematokrit 42 % 35-47%

5. MCV 84,0 femtoliter 80-100 fl

6. MCH 27 Pikograms 26-31 pg

7. MCHC 33 g/dl 32-36 g/dl

8. Trombosit 330 Ribu/mm3 150.000-450.000/uL

9. Limfosit 6,90 % 30-45%

10. Monosit 3,10 % 2-8%

11. Basofil 0.10 % 0-1

12. Eosinofil 1,20 % 1-5

13 Netrofil 88,70 % 50-70

VI. RESUME
Os atas nama an. D datang ke RSUD. Soeselo Slawi dengan keluhan sesak
nafas sejak satu hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak nafas disertai
nyeri dada seperti tertindih. Pasien juga mengeluh batuk berdahak, dahak
berwarna putih, darah disangkal. Menurut ayah pasien, sesak nafas sering
kambuh sebanyak 4 sampai 5 kali dalam seminggu. Keluhan serupa sering
ketika pasien masih balita. Ayah pasien mengaku dalam satu bulan ini
sudah 2 kali serangan sesak nafas. Ketika serangan sesak nafas, hingga
mengganggu aktivitas sehari-hari pasien dan menyebabkan pasien
ketertinggalan kelas disekolahnya. Demam, mual, muntah, nyeri ulu hati
disangkal. BAB dan BAK dalam batas normal
Pada pemeriksaan fisik keadaan umum tampak sesak, kesadaran: compos
mentis. ditemukan tanda-tanda vital stabil dengan nadi : 130x/menit
pernafasan : 34x/menit suhu : 36,5C. Status gizi :Gizi Baik. Pada
pemeriksaan fisik kepala mata, hidung, telinga, dan leher tidak ditemukan
adanya kelainan. Pada pemeriksaan fisik thoraks paru terdapat retraksi (+)
subcostal, pectus excavatum, penggunaan otot bantu nafas (+).Bunyi nafas
vesikuler, ekspirasi memanjang rhonki basah kasar +/+, wheezing +/+
dan jantung tidak ditemukan adanya kelainan. Pada pemeriksaan fisik
abdomen , abomen datar, pada perabaan abdomen ditemukan abdomen
supel, tidak terdapat nyeri tekan, hepar dan lien tidak teraba, timpani dan
terdengar suara bising usus. Pada ekstremitas, genital dan anus dalam
batas normal. Pada pemeriksaan neurologis pasien juga tidak ditemukan
adanya kelainan. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien
adalah pemeriksaan hematologi darah rutin, hitung jenis leukosit, serta
golongan darah dan rhesus. Pada pemeriksaan darah saat awal masuk (22
Oktober 2018) ditemukan hasil leukosit :15.300/ul, hitung jenis leukosit,
eosinophil : 1,20%, netrofil 88,70%, limfosit : 6,90%.

VII. DIAGNOSIS KERJA


Asma Akut dengan derajat episodic sedang
VIII. PROGNOSIS
 Quo ad vitam : dubia ad bonam
 Quo ad fungsionam : dubia ad malam
 Quo ad sanationam : dubia ad malam

IX. PENATALAKSANAAN
1. O2 2lt nasal
2. Inf. D5+aminophilin 8ml 20tpm
3. Inj. Ceftriaxone 3x500mg i.v
4. Inj, dexamethasone 3x5mg i.v

PO:

1. Ambroxol 3x1 cth


2. Salbutamol syr 3x1 cth
3. Diit 3x lunak

Program :

1. Darah lengkap rutin


2. Nebulisasi 3x/hari (combivent 1mg, pulmicot 1mg)
3. Ekstra epinephrine 0,15ml
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Global Initiative Asthma( (GINA) mendefinisikan asma sebagai suatu


penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan inflamasi kronik saluran respiratori.
Inflamasi kronik ini ditandai dengan riwayat gejala-gejala pada saluran
respiratori seperti wheezing(mengi), sesak napas, dan batuk yang bervariasi
dalam waktu maupun intensitas, disertai dengan limitasi aliran udara ekspiratori. 1

International Consensus on (ICON) Pediatric Asthma mendefinisikan asma


sebagai gangguan inflamasi kronik yang berhubungan dengan obstruksi saluran
respiratori dan hiper responsif bronkus, yang secara klinis ditandai dengan
adanya wheezing, batuk, dan sesak napas yang berulang. 2

UKK Respirologi IDAI mendefinisikan, asma adalah penyakit saluran


respiratori dengan dasar inflamasi kronik yang mengakibatkan obstruksi dan
hiperreaktivitas saluran respiratori dengan derajat bervariasi. Manifestasi klinis
asma dapat berupa batuk, wheezing, sesak napas, dada tertekan yang timbul
secara kronik dan atau berulang, reversibel, cenderung memberat pada malam atau
dini hari, dan biasanya timbul jika ada pencetus. 3

Epidemiologi

Penelitian mengenai prevalens asma di Indonesia sudah dilakukan sejak


awal tahun 1990an di berbagai senter pendidikan. Hampir semua peneliti
menggunakan kuesioner yang dirancang masing masing sehingga hasilnya
berbeda (Djajanto, Rosmayudi, Dahlan).
Prevalensi asma di Indonesia.

Faktor Risiko

Secara umum faktor risiko asma dibedakan menjadi 2 kelompok faktor genetik dan
faktor lingkungan.4,5

1. Faktor genetik :
a. Hipereaktivitas
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan

b. Atopi/alergi bronkus
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya. Risiko orang tua dengan asma mempunyai anak
dengan asma adalah tiga kali lipat lebih tinggi jika riwayat keluarga dengan asma
disertai dengan salah satu atopi. Predisposisi keluarga untuk mendapatkan penyakit
asma yaitu kalau anak dengan satu orangtua yang terkena mempunyai risiko
menderita asma 25%, risiko bertambah menjadi sekitar 50% jika kedua orang tua
asmatisk.

c. Faktor yang memodifikasi penyakit genetik

d. Jenis Kelamin
Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun,
prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan.
Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa
menopause perempuan lebih banyak.
Peningkatan risiko pada anak laki-laki mungkin disebabkan semakin sempitnya
saluran pernapasan, peningkatan pita suara, dan mungkin terjadi peningkatan IgE
pada laki-laki yang cenderung membatasi respon bernapas.
Didukung oleh adanya hipotesis dari observasi yang menunjukkan tidak ada
perbedaan ratio diameter saluran udara laki-laki dan perempuan setelah berumur 10
tahun, mungkin disebabkan perubahan ukuran rongga dada yang terjadi pada masa
puber laki-laki dan tidak pada perempuan.

e. Ras/etnik
Ras kulit hitam menpunyai prevalensi lebih tinggi untuk terjadi asma
dibandingkan dengan ras kulit putih di Amerika Serikat, namun hal ini juga
dicetuskan oleh kondisi dari sosioekonomi, paparan terhadap alergen serta faktor-
faktor diet, dan tidak hanya karena ras/etnik saja.

2. Faktor lingkungan
a. Alergen inhalan, yaitu sesuatu yang masuk melalui saluran pernapasan, terdiri dari:
- Alergen di dalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, alternaria/jamur dll)

- Alergen diluar ruangan (alternaria, tepung sari)


Asma bronkiale disebabkan oleh masuknya suatu alergen misalnya tungau
debu rumah yang masuk ke dalam saluran nafas seseorang sehingga merangsang
terjadinya reaksi hipersentitivitas tipe I. Tungau debu rumah ukurannya 0,1 - 0,3 mm
dan lebar 0,2 mm, terdapat di tempat-tempat atau benda-benda yang banyak
mengandung debu. Misalnya debu yang berasal dari karpet dan jok kursi. Binatang
peliharaan yang berbulu seperti anjing, kucing, hamster, burung dapat menjadi
sumber alergen inhalan. Sumber penyebab asma adalah alergen protein yang
ditemukan pada bulu binatang di bagian muka dan ekskresi. Alergen tersebut
memiliki ukuran yang sangat kecil (sekitar 3-4 mikron) dan dapat terbang di udara
sehingga menyebabkan serangan asma, terutama dari burung dan hewan menyusui.

b. Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan laut,


susu sapi, telur)
Beberapa makanan penyebab alergi makanan seperti susu sapi, ikan laut,
kacang, berbagai buah-buahan seperti tomat, strawberry, mangga, durian berperan
menjadi penyebab asma. Makanan produk industri dengan pewarna buatan (misal:
tartazine), pengawet (metabisulfit), vetsin (monosodum glutamat-MSG) juga bisa
memicu asma. Penderita asma berisiko mengalami reaksi anafilaksis akibat alergi
makanan fatal yang dapat mengancam jiwa. Makanan yang terutama sering
mengakibatkan reaksi yang fatal tersebut adalah kacang, ikan laut dan telor. Alergi
makanan seringkali tidak terdiagnosis sebagai salah satu pencetus asma meskipun
penelitian membuktikan alergi makanan sebagai pencetus bronkokontriksi pada 2%-
5% anak dengan asma.

c. Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, β bloker dll)

d. Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray, dan lain-lain)

e. Ekpresi emosi berlebih/stress


Stress atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu
juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang
timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguanemosi
perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya
belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati
f. Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok,
sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat
diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini.

g. Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan


aktifitas tertentu
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan
aktifitas jasmani atau aloh raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan
serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai
aktifitas tersebut.

Patogenesis

Mekanisme imunologis inflamasi saluran respiratori

Langkah pertama terbentuknya respons imun adalah aktivasi limfosit T oleh


antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesoris, yaitu suatu proses yang
melibatkan molekul major(histocompatibility complex (MHC kelas II pada sel T
CD4+ dan MHC kelas I pada sel T CD8+). Sel dendritik merupakan antigen
presenting cells( (APC) yang utama dalam saluran respiratori. Sel dendritik
terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang, membentuk jaringan luas, dan
sel-selnya saling berhubungan pada epitel saluran respiratori. Kemudian, sel-sel
tersebut bermigrasi ke kumpulan sel-sel limfoid di bawah pengaruh GM-CSF, yaitu
sitokin yang terbentuk oleh aktivasi sel epitel, fibroblas, sel T, makrofag, dan sel
mast. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik pindah ke daerah yang banyak
mengandung limfosit. Di tempat tersebut, dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya,
sel dendritik menjadi matang sebagai APC yang efektif. Sel dendritik juga
mendorong polarisasi sel T naïve-Th0 menuju Th2 yang mengkoordinasi sekresi
sitokin-sitokin yang termasuk dalam klaster gen 5q31-33 (IL34 genecluster).6

Patogenesis asma (Diambil dari Global Initiative for Asthma.


Global Strategy for Asthma management and prevention. National
Institute of Health. National Heart, Lung, and Blood Institute; 2002)

Adanya eosinofil dan limfosit yang teraktivasi pada biopsi bronkus


pasien asma atopi dan nonatopi wheezing mengindikasikan bahwa interaksi sel
limfosit T -eosinofil sangat penting, dan hipotesis ini lebih jauh lagi diperkuat oleh
ditemukannya sel yang mengekspresikan IL-5 pada biopsi bronkus pasien asma
atopi. IL -5 merupakan sitokin yang penting dalam regulasi eosinofil. Tingkat
keberadaannya pada mukosa saluran respiratori pasien asma berkorelasi dengan
aktivasi sel limfosit T dan eosinofil. 6
Inflamasi akut dan kronik

Paparan alergen inhalasi pada pasien alergi dapat menimbulkan respons


alergi fase cepat dan pada beberapa kasus dapat diikuti dengan respons fase lambat.
Reaksi cepat dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif terhadap alergen IgE-
spesifik terutama sel mast dan makrofag. Pada pasien-pasien dengan komponen alergi
yang kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut berperan. Ikatan antara sel
dan IgE mengawali reaksi biokimia serial yang menghasilkan sekresi mediator-
mediator seperti histamin, proteolitik, enzim glikolitik, dan heparin serta
mediator newly generated seperti prostaglandin, leukotrien, adenosin, dan oksigen
reaktif. Bersama- sama dengan mediator-mediator yang sudah terbentuk sebelumnya,
mediator-mediator ini menginduksi kontraksi otot polos saluran respiratori dan
menstimulasi saraf aferen, hipersekresi mukus, vasodilatasi, dan kebocoran
mikrovaskuler.7

Reaksi fase lambat dipikirkan sebagai sistem model untukmempelajari


mekanisme inflamasi pada asma. Selama respons fase lambat dan selama
berlangsung pajanan alergen, aktivasi sel-sel pada saluran respiratori menghasilkan
sitokin-sitokin ke dalam sirkulasi dan merangsang lepasnya leukosit proinflamasi
terutama eosinofil dan sel prekursornya dari sumsum tulang ke dalam sirkulasi. 7

Remodeling saluran respiratori

Remodeling saluran respiratori merupakan serangkaian proses yang


menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran
respiratori melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi
struktur sel. Kombinasi kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang berlanjut,
produksi berlebih faktor pertumbuhan profibrotik/transforming growth factors(
(TGFHβ), dan proliferasi serta diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas
diyakini merupakan proses yang penting pada remodeling. Miofibroblas yang
teraktivasi akan memproduksi faktor-faktor pertumbuhan, kemokin, dan sitokin
yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos saluran respiratori,
meningkatkan permeabilitas mikrovaskular, serta memperbanyak vaskularisasi,
neovaskularisasi, dan jaringan saraf. 7

Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet
kelenjar submukosa timbul pada bronkus pasien asma terutama pada yang
kronik dan berat. Secara keseluruhan, saluran respiratori pada pasien asma
memperlihatkan perubahan struktur yang bervariasi yang dapat menyebabkan
penebalan dinding saluran respiratori. Selama ini, asma dipercaya sebagai suatu
obstruksi saluran respiratori yang bersifat reversibel. Pada sebagian besar pasien,
reversibilitas yang menyeluruh dapat diamati pada pengukuran dengan spirometri
setelah diterapi dengan inhalasi steroid. Akan tetapi, beberapa pasien asma
mengalami obstruksi saluran respiratori residual yang dapat terjadi pada pasien yang
tidak menunjukkan gejala. Hal ini menunjukkan adanya remodeling(saluran
respiratori.7

Patofisiologi

Gejala asma, yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan akibat dari obstruksi
bronkus yang didasari oleh inflamasi kronik dan hiperaktivitas bronkus.8

Hiperaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas


bronkus ini dapat diukur secara tidak langsung. Pengukuran ini merupakan parameter
objektif untuk menentukan beratnya hiperaktivitas bronkus yang ada pada seseorang
pasien. Berbagai cara digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus ini, antara
lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen maupun
inhalasi zat nonspesifik.8

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain
alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut yang terdiri
atas reaksi asma dini (early asthma reaction = EAR) dan reaksi asma lambat (late
asthma reaction = LAR). Setelah reaksi asma awal dan reaksi asma lambat, proses
dapat terus berlanjut menjadi reaksi inflamasi sub-akut atau kronik. Penyempitan
saluran napas yang terjadi pada asma merupakan suatu hal yang kompleks. Hal ini
terjadi karena lepasnya mediator dari sel mast yang banyak ditemukan di permukaan
mukosa bronkus, lumen jalan napas dan di bawah membran basal. Berbagai faktor
pencetus dapat mengaktivasi sal mast. Selain sel mast, sel lain yang juga dapat
melepaskan mediator adalah sel makrofag alveolar, eosinofil, sel epitel jalan napas,
netrofil, platelet, limfosit dan monosit.5

Patofisiologi Asma

Untuk menjadi pasien asma, ada 2 faktor yang berperan yaitu faktor genetik
dan faktor lingkungan. Ada beberapa proses yang terjadi sebelum pasien menjadi
asma:5

1. Sensitisasi, yaitu seseorang dengan risiko genetik dan lingkungan apabila terpajan
dengan pemicu (inducer/sensitisizer) maka akan timbul sensitisasi pada dirinya.

2. Seseorang yang telah mengalami sensitisasi maka belum tentu menjadi asma.
Apabila seseorang yang telah mengalami sensitisasi terpajan dengan pemacu
(enhancer) maka terjadi proses inflamasi pada saluran napasnya. Proses inflamasi
yang berlangsung lama atau proses inflamasinya berat secara klinis berhubungan
dengan hiperreaktivitas bronkus.

3. Setelah mengalami inflamasi maka bila seseorang terpajan oleh pencetus (trigger)
maka akan terjadi serangan asma (mengi)
Sedangkan pencetus: Semua faktor pemicu dan pemacu ditambah dengan
aktivitas fisik, udara dingin, histamin dan metakolin. Secara skematis mekanisme
terjadinya asma digambarkan sebagai berikut:

Penyempitan saluran respiratori pada asma dipengaruhi oleh banyak faktor.


Penyebab utama penyempitan saluran respiratoriadalah kontraksi otot polos
bronkus yang diprovokasi oleh pelepasan agonis dari sel-sel inflamasi. Yang
termasuk agonis adalah histamin, triptase, prostaglandin D2 dan leukotrien C4
dari sel mast, neuropeptida dari saraf aferen setempat, dan asetilkolin dari saraf
eferen postganglionik. Kontraksi otot polos saluran respiratori diperkuat oleh
penebalan dinding saluran respiratori akibat edema akut, infiltrasi sel-sel
inflamasi dan remodeling, hiperplasia dan hipertrofi kronik otot polos, vaskular,
dan selHsel sekretori, serta deposisi matriks pada dinding saluran respiratori. Selain
itu, hambatan saluran respiratori juga bertambah akibat produksi sekret yang
banyak, kental, dan lengket oleh sel goblet dan kelenjar submukosa, protein
plasma yang keluar melalui mikrovaskular bronkus, dan debris selular. 2
Proses remodeling saluran respi pada asma.

Diagnosis
Anamnesis2
Keluhan wheezing( dan atau batuk berulang merupakan manifestasi
klinis yang diterima luas sebagai titik awal diagnosis asma. Gejala respiratori
asma berupa kombinasi dari batuk, wheezing, sesak napas, rasa dada tertekan,
dan produksi sputum. Chronic recurrent cough( (batuk kronik berulang,
BKB) dapat menjadi petunjuk awal untuk membantu diagnosis asma.
Gejala dengan karakteristik yang khas diperlukan untuk menegakkan
diagnosis asma. Karakteristik yang mengarah ke asma adalah:
• Gejala timbul secara episodik atau berulang.
• Timbul bila ada faktor pencetus.
o Iritan: asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu
dingin, udara kering, makanan minuman dingin, penyedap rasa, pengawet
makanan, pewarna makanan.
o Alergen: debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari.
o Infeksi respiratori akut karena virus, selesma, common cold,rinofaringitis
o Aktivitas fisis: berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa berlebihan.
• Adanya riwayat alergi pada pasien atau keluarganya.
• Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan
dalam 24 jam. Biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nokturnal).
• Reversibilitas, yaitu gejala dapat membaik secara spontan atau dengan
pemberian obat pereda asma.

Pemeriksaan fisis2
Dalam keadaan stabil tanpa gejala, pada pemeriksaan fisis pasien
biasanya tidak ditemukan kelainan. Dalam keadaan sedang bergejala batuk
atau sesak, dapat terdengar wheezing, baik yang terdengar langsung
(audible wheeze) atau yang terdengar dengan stetoskop. Selain itu, perlu
dicari gejala alergi lain pada pasien seperti dermatitis atopi atau rinitis alergi,
dan dapat pula dijumpai tanda alergi seperti allergic shiners atau
geographictongue.

Pemeriksaan penunjang2
Pemeriksaan ini untuk menunjukkan variabilitas gangguan aliran
napas akibat obstruksi, hiperreaktivitas, dan inflamasi saluran respiratori,
atau adanya atopi pada pasien.
• Uji fungsi paru dengan spirometri sekaligus uji reversibilitas dan untuk
menilai variabilitas. Pada fasilitas terbatas dapat dilakukan pemeriksaan
dengan peakflowmeter.
• Uji cukit kulit (skin prick test), eosinofil total darah, pemeriksaan IgE spesifik.
• Uji inflamasi saluran respiratori: FeNO (fractional exhaled nitricoxide),
eosinofil sputum.
• Uji provokasi bronkus dengan exercise, metakolin, atau larutan salin
hipertonik.
Jika terindikasi dan fasilitas tersedia, lakukan pemeriksaan untuk
mencari kemungkinan diagnosis banding, misalnya uji tuberkulin, foto sinus
paranasalis, foto toraks, uji refluks gastro- esofagus, uji keringat, uji
gerakan silia, uji defisiensi imun, CT-scan toraks, endoskopi respiratori
(rinoskopi, laringoskopi, bronkoskopi).

Kriteria diagnosis asma :

Klasifikasi
Asma merupakan penyakit yang sangat heterogen dengan variasi
yang sangat luas. Atas dasar itu, ada berbagai cara mengelompokkan
asma.
Berdasarkan umur
• Asma bayi – baduta (bawah dua tahun)
• Asma balita (bawah lima tahun)
• Asma usia sekolah (5-11 tahun)
• Asma remaja (12-17 tahun)

Berdasarkan fenotip
Fenotip asma adalah pengelompokan asma berdasarkan
penampakan yang serupa dalam aspek klinis, patofisologis, atau
demografis.
• Asma tercetus infeksi virus
• Asma tercetus aktivitas (exercise induced asthma)
• Asma tercetus alergen
• Asma terkait obesitas
• Asma dengan banyak pencetus (multiple triggered asthma)

Berdasarkan kekerapan timbulnya gejala


• Asma intermiten
• Asma persisten ringan
• Asma persisten sedang
• Asma persisten berat

Berdasarkan derajat beratnya serangan


Asma merupakan penyakit kronik yang dapat mengalami episode
gejala akut yang memberat dengan progresif yang disebut sebagai serangan
asma.
• Asma serangan ringan-sedang
• Asma serangan berat
• Serangan asma dengan ancaman henti napas

Berdasarkanderajatkendali
Tujuan utama tata laksana asma adalah terkendalinya penyakit. Asma
terkendali adalah asma yang tidak bergejala, dengan atau tanpa obat pengendali
dan kualitas hidup pasien baik.
• Asma terkendali penuh (well controlled)
o Tanpa obat pengendali : pada asma intermiten
o Dengan obat pengendali : pada asma persisten (ringan/ sedang/berat)
• Asma terkendali sebagian (partly controlled)
• Asma tidak terkendali (uncontrolled)
Klasifikasi derajat kendali dipakai untuk menilai keberhasilan tata laksana
yang tengah dijalani dan untuk penentuan naik jenjang (step up),
pemeliharaan (maintenance) atau turun jenjang (step down) tata laksana yang
akan diberikan.

Kriteria penentuan derajat asma 8


Klasifikasi kekerapan dibuat pada kunjunganHkunjungan awal dan dibuat
berdasarkan anamnesis:

Keterangan :
1. Klasifikasi berdasarkan kekerapan gejala dibuat setelah dibuat diagnosis
kerja asma dan dilakukan tata laksana umum (pengendalian lingkungan,
penghindaran pencetus) selama 6 minggu.
2. Jika sudah yakin diagnosis asma dan klasifikasi sejak kunjungan awal,
tata laksana dapat dilakukan sesuai klasifikasi.
3. Klasifikasi kekerapan ditujukan sebagai acuan awal penetapan jenjang tata
laksana jangka panjang.
4. Jika ada keraguan dalam menentukan klasifikasi kekerapan, masukkan ke
dalam klasifikasi lebih berat.
Diagnosis banding
Gejala asma tidak patognomonik, dalam arti dapat disebabkan oleh
berbagai penyakit lain sehingga perlu dipertimbangkan kemungkinan
diagnosis banding.8

Inflamasi: infeksi, alergi


• Rinitis, rinosinusitis
• Chronic upper airway cough syndrome
• Infeksi respiratori berulang
• Bronkiolitis
• Aspirasi berulang
• Defisiensi imun
• Tuberkulosis

Obstruksi mekanis
• Laringomalasia, trakeomalasia
• Hipertrofi timus
• Pembesaran kelenjar getah bening
• Aspirasi benda asing
• Disfungsi pita suara
• Malformasi kongenital saluran respiratori

Patologi bronkus
• Displasia bronkopulmonal
• Bronkiektasis
• Diskinesia silia primer
• Fibrosis kistik

Kelainan sistem organ lain


• Penyakit refluks gastroHesofagus (GERD)
• Penyakit jantung bawaan
• Gangguan neuromuskular
• Batuk psikogen

Tata Laksana

Tujuan tata laksana1


Tujuan tata laksana asma anak secara umum adalah mencapai kendali
asma sehingga menjamin tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara
optimal. Secara lebih rinci, tujuan yang ingin dicapai adalah:
1. Aktivitas pasien berjalan normal, termasuk bermain dan berolahraga.
2. Gejala tidak timbul pada siang maupun malam hari.
3. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan.
4. Efek samping obat dapat dicegah untuk tidak atau sesedikit mungkin
terjadi, terutama yang memengaruhi tumbuh kembang anak.

Tata laksana jangka panjang pada asma anak dibagi menjadi tata
laksana nonmedikamentosa dan tata laksana medikamentosa. Tata laksana
nonmedikamentosa berupa pengendalian lingkungan dan penghindaran pencetus

Obat asma dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu obat
pereda( reliever) dan obat pengendali (controller). Ada yang menyebut obat
pereda sebagai obat pelega atau obat serangan. Obat ini digunakan untuk
meredakan serangan atau gejala asma bila sedang timbul. Bila serangan sudah
teratasi dan gejala tidak ada lagi, maka pemakaian obat ini dihentikan.
Kelompok kedua adalah obat pengendali, yang digunakan untuk
mencegah serangan asma. Obat ini untuk mengatasi masalah dasar asma
yaitu inflamasi respiratori kronik, sehingga tidak timbul serangan atau gejala
asma. Pemakaian obat ini secara terus-menerus dalam jangka waktu yang
relatif lama, bergantung pada kekerapan gejala asma dan responsnya
terhadap pengobatan/penanggulangan.
Obat pengendali asma terdiri dari steroid anti- inflamasi inhalasi atau
sistemik, antileukotrien, kombinasi steroid–agonis β2 kerja panjang, teofilin
lepas lambat, dan antiHimunoglobulin E.

Obat pengendali asma1


a. Steroid inhalasi
Steroid inhalasi dapat menekan inflamasi saluran respiratori dan berperan
penting dalam tata laksana asma jangka panjang. Steroid inhalasi merupakan
obat pengendali asma yang paling efektif. Pemberian steroid inhalasi setara
dosis budesonid 100-200 μg per hari dapat menurunkan angka kekambuhan
asma dan memperbaiki fungsi paru pada pasien asma. Beberapa pasien
asma memerlukan dosis steroid inhalasi 400 μg per hari untuk
mengendalikan asma dan mencegah timbulnya serangan asma setelah
berolahraga. Pada anak yang berusia diatas 5 tahun, steroid inhalasi dapat
mengendalikan asma, menurunkan angka kekambuhan, mengurangi risiko
masuk rumah sakit, memperbaiki kualitas hidup, memperbaiki fungsi paru,
dan menurunkan serangan asma akibat berolahraga. Steroid inhalasi atau
sistemik tidak digunakan untuk asma intermiten dan wheezing akibat infeksi
virus.
Dosis berbagai preparat steroid inhalasi pada anak asma

b.Agonis(β2(kerja(panjang((Long*acting*ß2Cagonist,*LABA)1
Sebagai pengendali asma, agonis β2 kerja panjang tidak digunakan
tunggal melainkan selalu bersama steroid inhalasi. Kombinasi agonis β2
kerja panjang dengan steroid terbukti memperbaiki fungsi paru dan
menurunkan angka kekambuhan asma. Preparat kombinasi steroid agonis β2
kerja panjang pada anak asma yang berusia di atas 5 tahun, diberikan bila
steroid inhalasi dosis rendah tidak menghasilkan perbaikan. Pemberian
kombinasi steroid-agonis β2 kerja panjang dalam satu kemasan memberikan
hasil pengobatan yang lebih baik dibandingkan steroid inhalasi dan agonis β2
kerja panjang dalam sediaan terpisah. Penelitian penggunaan kombinasi
steroidHagonis β2 kerja panjang pada anak balita masih terbatas.
Kombinasi agonis β2 kerja panjang-steroid inhalasi juga dapat digunakan
untuk mencegah spasme bronkus yang dipicu
olahraga dan mampu memproteksi lebih lama dibandingkan agonis β2 inhalasi
kerja pendek. Formoterol memiliki awitan kerja yang cepat sehingga walaupun
formoterol merupakan agonis β2 kerja panjang, namun dapat berfungsi sebagai
obat pereda.

c. Antileukotrien 1
Antileukotrien terdiri dari antagonis reseptor cysteinyl leukotriene
1(CysLT1)(seperti montelukast, pranlukast, dan zafirlukast, serta inhibitor 5-
lipoxygenase seperti zileuton. Studi klinik menunjukkan antileukotrien
memiliki efek bronkodilatasi kecil dan bervariasi, mengurangi gejala
termasuk batuk, memperbaiki fungsi paru, dan mengurangi inflamasi jalan
napas dan mengurangi eksaserbasi. Antileukotrien dapat menurunkan gejala
asma namun secara umum tidak lebih unggul dibanding steroid inhalasi.
Jika digunakan sebagai obat pengendali tunggal, efeknya lebih rendah
dibandingkan dengan steroid inhalasi. Kombinasi steroid inhalasi dan
antileukotrien dapat menurunkan angka serangan asma dan menurunkan
kebutuhan dosis steroid inhalasi. Antileukotrien dapat mencegah terjadinya
serangan asma akibat berolahraga (exercise induced asthma,(EIA) dan
Obstructive Sleep Apnea( (OSA). Antileukotrien juga dapat mencegah serangan
asma akibat infeksi virus pada anak balita. Pemberian kombinasi steroid
inhalasi dan antileukotrien pada asma persisten kurang efektif dibandingkan
dengan steroid inhalasi dosis sedang. Pemberian antileukotrien tunggal dapat
diberikan sebagai alternatif dari pemberian steroid inhalasi.
d. Teofilin lepas lambat 10
Sebagai obat pengendali asma teofilin lepas lambat dapat diberikan
sebagai preparat tunggal atau diberikan sebagai kombinasi dengan steroid
inhalasi pada anak usia di atas 5 tahun. Kombinasi steroid inhalasi dan
teofilin lepas lambat akan memperbaiki kendali asma dan dapat menurunkan
dosis steroid inhalasi pada anak dengan asma persisten. Preparat teofilin lepas
lambat lebih dianjurkan untuk pengendalian asma karena kemampuan
absorbsi dan bioavaibilitas yang lebih baik. Eliminasi teofilin lepas lambat
bervariasi antar individu sehingga pada penggunaan jangka lama kadar teofilin
dalam plasma perlu dimonitor. Efek samping teofilin lepas lambat bisa berupa
mual, muntah, anoreksia, sakit kepala, palpitasi, takikardi, aritmia, nyeri
perut, dan diare. Efek samping teofilin lepas lambat terutama timbul pada
pemberian dosis tinggi, di atas 10mg/kgBB/hari.

e. Anti-imunoglobuli E(Anti-IgE)
Anti-IgE (omalizumab) adalah antibodi monoklonal yang mampu
mengurangi kadar IgE bebas dalam serum. Pada orang dewasa dan anak di
atas usia 5 tahun, omalizumab dapat diberikan pada pasien asma yang telah
mendapat steroid inhalasi dosis tinggi dan agonis β2 kerja panjang namun
masih sering mengalami eksaserbasi dan terbukti asma karena alergi.
Omalizumab diberikan secara injeksi subkutan setiap dua sampai empat
minggu.

Penentuan derajat kendali10


Setiap pasien asma harus ditentukan derajat kendali asma untuk
memulai pengobatan jangka panjang. Sebelum memutuskan untuk turun
jenjang atau naik jenjang dalam tata laksana jangka panjang asma, dokter
harus menilai kepatuhan pasien terhadap pengobatan, teknik inhalasi, dosis
obat inhalasi, dan mengendalikan faktor pencetus asma.
Derajat Kendali Asma

Jenjang pengendalian asma10

Keterangan :
1. Acuan awal penetapan jenjang tata laksana jangka panjang menggunakan
klasifikasi kekerapan.
2. Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung selama 6- 8
minggu dan asma belum terkendali, maka tata laksana naik jenjang ke
atasnya (step up).
3. Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung selama 8-12
minggu dan asma terkendali penuh, maka tata laksana turun jenjang
kebawahnya (step down).

4. Perubahan jenjang tata laksana harus memperhatikan aspek-aspek


penghindaran, penyakit penyerta.

5. Pada Jenjang 4, jika belum terkendali, tata laksana ditambahkan


omalizumab.

Tata laksana serangan asma


Penilaian derajat serangan asma
Alur laksana serangan asma
Obat-obatan untuk serangan asma
Agonis β2 kerja pendek
Gejala asma ringan sedang memberikan respons yang cepat terhadap
inhalasi agonis β2 kerja pendek tunggal sehingga obat ini menjadi pilihan
utama bagi serangan asma ringan sedang yang terjadi di rumah maupun di
fasilitas layanan kesehatan. Pemberiannya dapat diulang hingga 2 kali dengan
interval 20 menit, jika di rumah keadaan pasien belum juga membaik harus
segera dibawa ke fasilitas layanan kesehatan terdekat, sedangkan bila pemberian
2 kali sudah dilakukan di fasyankes maka pemberian ketiga dipertimbangkan
kombinasi dengan ipratropium bromida. Obat ini juga diberikan sebagai
premedikasi untuk serangan asma yang dipicu latihan (exercise induced
asthma). Contoh agonis β2 kerja pendek adalah salbutamol, terbutalin, dan
prokaterol.
Pada serangan asma, agonis β2 kerja pendek diberikan secara inhalasi
diberikan lewat DPI, MDI dengan/tanpa spacer, atau nebulizer dengan dosis
sesuai beratnya serangan dan respons pasien. agonis β2 kerja pendek
harus diberikan dengan dosis terendah dan frekuensi terkecil, yaitu hanya
bila diperlukan, penggunaan berlebihan atau seringnya pemakaian
menandakan kendali asma yang buruk. Tremor dan takikardia sering
dialami pasien yang
menggunakan agonis β2 kerja pendek pertama kali, namun biasanya kemudian
efek tersebut cepat ditoleransi.

Ipratropium bromida
Kombinasi agonis β2 kerja pendek dan ipratropium bromida
(antikolinergik) pada serangan asma ringanHsedang menurunkan risiko rawat
inap dan memperbaiki PEF dan FEV1 dibandingkan dengan β2-agonis saja.
Kombinasi tersebut dapat diberikan sebagai obat pulang yang dipakai di rumah
jika pasien dapat diedukasi dengan baik dan dapat menilai bahwa serangan
yang terjadi dinilai berat. Ipratropium bromida terbukti memberikan efek
dilatasi bronkus lewat peningkatan
tonus parasimpatis dalam inervasi otonom di saluran napas.

Aminofilin intravena
Aminofilin intravena diberikan pada anak dengan serangan asma
berat atau dengan ancaman henti napas yang tidak berespons terhadap dosis
maksimal inhalasi agonis β2 dan steroid sistemik. Penambahan aminofilin
pada terapi awal (inhalasi agonis β2 dan steroid) meningkatkan fungsi paru
dalam 6 jam pertama, tetapi tidak mengurangi gejala, jumlah nebulisasi dan
lama rawat inap.
Perlu diingat bahwa rentang keamaan aminofilin sempit dan efek samping yang
sering adalah mual, muntah, takikarsi dan agitasi. Toksisitas yang berat dapat
menyebabkan aritmia, hipotensi, dan kejang. Kematian biasanya
berhubungan dengan kadar amonifilin serum yang tinggi. Oleh karena itu,
pemberian aminofilin intravena harus sangat berhati-hati dan dipantau secara
ketat.
Dosis yang direkomendasikan yaitu dengan dosis inisial bolus pelan 6-8
mg/kgBB diberikan dalam 20 menit dilanjutkan dengan pemberian rumatan
secara drip(1 mg/kg/jam. Loading(1 mg/kg akan meningkatkan kadar aminofilin
serum 2 mcg/mL. Untuk efek terapi yang maksimal, target kadar amonifilin
serum adalah 10-20 ug/mL.
Oleh karena itu kadar aminofilin serum seharusnya diukur 1-2 jam
setelah loadingdose diberikan.

Steroid sistemik
Pemberian steroid sistemik dapat mempercepat perbaikan serangan
dan mencegah kekambuhan, dan direkomendasikan untuk diberikan pada semua
jenis serangan. Jika memungkinkan, steroid oral diberikan dalam 1 jam
pertama.
Pemberian steroid sistemik per oral sama efektifnya dengan pemberian
secara intravena. Keuntungan pemberian per oral adalah lebih murah dan
tidak invasif. Pemberian secara oral memerlukan waktu sekitar 4 jam untuk
memberikan perbaikan klinis. Pemberian secara intravena direkomendasikan bila
pasien tidak dapat menelan obat (misalnya terlalu sesak, muntah atau pasien
memerlukan
intubasi). Steroid sistemik berupa prednison atau prednisolon diberikan per oral
dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum sampai 40 mg/hari,
maksimal 1 kali dalam 1 bulan. Lama pemberian 3-5 hari tanpa tapperingoff.

Adrenalin
Apabila tidak tersedia obat-obatan lain, dapat digunakan adrenalin.
Epinefrin (adrenalin) intamuskular diberikan sebagai terapi tambahan pada
asma yang berhubungan dengan anafilaksis dan angioedema dengan dosis
10 ug/kgBB (0,01 ml/kgBB adrenalin 1:1.000), dengan dosis maksimal
500 ug (0.5 ml). Obat ini tidak diindikasikan untuk serangan asma
lainnya. Namun demikian, di fasyankes yang tidak tersedia alat inhalasi,
dapat diberikan injeksi adrenalin untuk serangan asma.

Magnesium sulfat
Obat ini tidak rutin dipakai untuk serangan asma, tapi boleh sebagai
alternatif, apabila pengobatan standar tidak ada perbaikan. Pada penelitian
multisenter didapatkan hasil bahwa pemberian magnesium sulfat (MgSO4)
intravena 50 mg/kgBB (inisial) dalam 20 menit yang dilanjutkan dengan 30
mg/kgBB/jam memunyai efektifitas yang sama dengan pemberian agonis β2.
Pemberian MgSO4 ini dapat meningkatkan FEV1 dan mengurangi angka
perawatan di RS.
MgSO4 yang tersedia dalam sediaan 20% dan 40% dapat
diberikan dengan bolus, bolus diulang, drip(kontinu, dan inhalasi. Cara bolus
berulang serta inhalasi jarang digunakan. Pemberian lewat drip kontinu
melalui pompa intravena dilakukan dengan melarutkan sediaan dalam
larutan dekstrose 5% atau larutan salin dengan pengenceran 60 mg/ml lalu
diberikan dengan kecepatan 10-20 mg/kgBB/jam dan target kadar
magnesium 4 mg/dL. Untuk
pemberian dengan cara bolus, dosis yang dianjurkan adalah 20-100 mg/kgBB
(maksimum 2 gram) diberikan selama 20 menit, sedangkan untuk pemberian
dengan cara bolus berulang dosis MgSO4 yang dianjurkan 20-50
mg/kgBB/dosis setiap 4 jam.
Pertimbangkan pemberian injeksi MgSO4 pada pasien dengan serangan
asma berat yang tidak membaik atau dengan hipoksemia yang menetap
setelah satu jam pemberian terapi awal dengan dosis maksimal (agonis β2
kerja pendek dan steroid sistemik).

Steroid inhalasi
Steroid nebulisasi dengan dosis tinggi (1600-2400 ug budesonide)
dapat digunakan untuk serangan asma, namun perlu diperhatikan untuk
memberi dalam dosis tinggi karena steroid nebulisasi dosis rendah tidak
bermanfaat untuk mengatasi serangan asma. Harap diperhatikan pula bahwa
penggunaan steroid inhalasi dosis tinggi ini terbatas pada pasien-pasien
yang memiliki kontraindikasi terhadap steroid sistemik.

Mukolitik
Mukolitik pada serangan asma ringan sedang dapat diberikan, tetapi
harus berhati-hati pada anak dengan refleks batuk yang tidak optimal. Hati-hati
pemberian mukolitik pada bayi dan anak di bawah usia 2 tahun. Pemberian
mukolitik secara inhalasi tidak memunyai efek yang signifikan dan tidak boleh
diberikan pada serangan asma berat.

Antibiotik
Pemberian antibiotik pada asma tidak dianjurkan karena sebagian
besar pencetusnya bukan infeksi bakteri melainkan infeksi virus. Pada keadaan
tertentu antibiotik dapat diberikan, yaitu pada infeksi respiratori yang
dicurigai karena bakteri atau dugaan adanya sinusitis yang menyertai asma.
Pada serangan yang berat perlu dipikirkan adanya suatu penyulit antara lain
pneumonia atipik. Apabila ada kecurigaan pneumonia atipik maka diberikan
antibiotik, yang dianjurkan adalah golongan makrolid.

Tata Laksana Non-Medikamentosa12


Program KIE
Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) merupakan unsur yang
sangat penting tetapi sering dilupakan dalam tata laksana asma. Tujuan
program KIE adalah memberi informasi dan pelatihan yang sesuai terhadap
pasien dan keluarganya untuk meningkatkan pengetahuan atau pemahaman,
keterampilan, dan kepercayaan diri dalam mengenali gejala serangan asma,
mengambil langkah-langkah yang sesuai, serta memotivasi dalam
menghindari faktor-faktor pencetus, sehingga meningkatkan keteraturan
terhadap rencana pengobatan yang sudah ditetapkan serta pada akhirnya
mampu meningkatkan kemandirian dalam tata laksana asma yang lebih baik.
Dalam mencapai tujuan tersebut, ada beberapa komponen penting yang
harus diperhatikan oleh seorang dokter/petugas kesehatan yang memberi
pelayanan, antara lain:
• Mengutamakan terjalinnya hubungan baik dengan pasien
• Penjelasan bahwa ini adalah proses yang berkesinambungan, sehingga KIE
selalu diberikan di setiap kesempatan bertemu dengan pasien
• Berbagi dan bertukar informasi dengan pasien tentang asma dan
penatalaksanaannya
• Penilaian kendali asma, derajat dan pemakaian obatHobatan
• Harapan akan tercapai kendali asma
• Meredam ketakutan dan kekhawatiran
Penerapan program KIE sudah dimulai saat pertama kali diagnosis
ditegakkan dan berlangsung terus menerus dan terintegrasi ke dalam setiap
langkah tata laksana asma. Program ini juga dilakukan di semua tempat
pelayanan, seperti klinik, rumah sakit, unit gawat darurat, sekolah, rumah,
dan pusat-pusat keramaian. Selain anak dan orangtua, KIE juga
melibatkan dokter, perawat, apoteker, guru, kelompok bermain,
keluarga dan masyarakat. Pelaksanaan KIE dilakukan melalui ceramah,
komunikasi/nasehat saat berobat,supervisi, diskusi, serta video presentasi,
brosur, chart, dan mendemonstrasikan penggunaan PFM (peak flow meter),
spirometer, alat terapi inhalasi, dan spacer. Dalam melakukan KIE hendaklah
selalu menggunakan kata-kata atau kalimat yang bersifat komunikatif.

Rencana Aksi Asma (RAA)/Asthma*Action*Plan*(AAP)


Dalam mencapai kemandirian, program KIE dituangkan dalam bentuk
Rencana Aksi Asma (RAA)/Asthma Action Plan (AAP) yang dibuat secara
tertulis dan diisi oleh anak atau orangtua. Rencana ini berisi tentang instruksi
kapan meningkatkan dosis pengobatan, bagaimana caranya, lamanya
pengobatan dinaikkan, serta penentuan kapan harus mencari pertolongan
medis sehingga memberi keleluasaan pada anak dalam menentukan sendiri
perubahan paduan pengobatan berdasarkan gejala dan penilaian PFM.
Dalam pelaksanaannya, RAA berisi catatan harian asma yang diisi setiap hari
untuk memonitor keadaaan tidur malam, gejala asma, aktivitas, dahak, peak(
flow rate( (PFR), pemakaian obat harian, dan penggunaan inhaler.
Pemantauan harian ini mempergunakan tiga zona warna:
– Zona hijau menunjukkan 80-100% dari nilai terbaik anak, biasanya tanpa
gejala dan mengisyaratkan tetap menggunakan obat pengendali asma.
– Zona kuning menunjukkan Asthma of Physical Effort (APE) 50- 80%, gejala
sudah tampak seperti batuk, wheezing, pilek/selesma, napas berat dan cepat,
gelisah, serta mengurangi aktivitas bermain. Ini mengisyaratkan penggunaan
obat pereda sebagai tambahan obat.
– Zona merah yang menunjukkan APE <50%, gejala asmanya semakin berat
meskipun sudah diberi pengobatan 'zona kuning', kesulitan makan,
berbicara, berjalan dan bermain, serta gelisah sampai penurunan kesadaran
merupakan keadaan gawat darurat dan harus segera menghubungi dokter atau
rumah sakit. Penerapan RAA ini terutama ditujukan pada pasien asma
persisten, anak dengan kendali asma yang buruk, serta adanya riwayat
eksaserbasi asma

Kartu Aksi Asma (KAA)


Program KIE di sekolah diterapkan dalam bentuk Kartu Aksi Asma (KAA)
berisi identitas anak dan nomor telepon untuk dapat dihubungi bila terjadi
kekambuhan, rencana tata kelola asma harian dan rencana saat darurat.
Rencana tata kelola harian berisi:
1. Identifikasi faktor pencetus asma seperti aktivitas, infeksi, makanan, debu
dan lainya
2. Pengendalian lingkungan sekolah
3. Monitor PFR
4. Rencana pengobatan harian.
Rencana darurat diperlukan apabila timbul gejala atau nilai peak flow rate
menurun. Langkah-langkah tindakan pada episode serangan asma:
1. Berikan pengobatan mengikuti petunjuk yang tercatat di kartu
2. Siswa tetap sekolah jika keadaan anak dapat dikendalikan
3. Hubungi orang tua jika anak tidak dapat mengikuti pelajaran
4. Meminta perawatan medis darurat jika tidak ada perbaikan klinis selama
15-20 menit setelah pengobatan, nilai PFR rendah, sulit bernapas, gangguan
berjalan atau bicara dan tidak dapat beraktivitas kembali, serta bibir atau kuku
terlihat biru

Penghindaran pencetus
Penghindaran pencetus asma merupakan bagian dari tata laksana
non-medikamentosa pada asma anak selain tata laksana KIE, baik pada pasien
maupun keluarganya. Serangan asma bisa terjadi akibat dua faktor, yaitu
kegagalan dalam farmakoterapi jangka panjang dan kegagalan menghindari
faktor pencetus, ketika faktor pencetus ini bisa menyebabkan keadaan yang
tidak ada gejala menjadi bergejala atau yang gejalanya ringan menjadi berat.
Telah diketahui banyak faktor risiko terhadap kejadian asma pada anak, tetapi
ada dua faktor besar yang dipercaya sangat berperan pada kejadian asma,
yaitu faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik hampir tak dapat
dimodifikasi lagi dalam tata laksana penghindaran pencetus. Sedangkan
faktor lingkungan dalam hal ini diklasifikasikan dalam beberapa kategori,
antara lain alergen hirupan (indoor dan outdoor), iritan, kondisi komorbid, dan
faktor lain.
DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initiative for Asthma. Global strategy for asthma


management and prevention. 2014.
2. Papadopoulos NG, Arakawa H, Carlsen KH, Custovic A, Gern
J, Lemanske R, dkk. International consensus on (ICON)
pediatric asthma. Allergy. 2012;67:976–97
3. Purnomo. 2008. Faktor-faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap
Kejadian Asma. Semarang, Program Pascasarjana Universitas
Diponegoro.
4. Lenfant C, Khaltaev N. Global Initiative for Asthma. NHLBI/WHO
Workshop Report; 2002.
5. Bousquet J, Jeffery PK, Busse WW, Johnson M, Vignola AM.
Asthma: from bronchoconstriction to airway remodeling. Am J
Respir Crit Care Med. 2000;161:1720
6. Depkes RI. 2009. Pedoman Pengendalian Asma. Jakarta: Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
7. Global Initiative for Asthma; 2014.
8. FitzFerald M. Global strategy for asthma management and
prevention update; 2012.
9. UKK Pulmonologi PP IDAI. Pedoman nasional asma anak.
Indonesian Pediatric Respiratory Meeting I:Focus on asthma.
Jakarta:IDAI; 2003
10. Pocket guide for asthma management and prevention (for adults
and children older than 5 years). Global Initiative for
Asthma (GINA); 2011

Anda mungkin juga menyukai