Anda di halaman 1dari 5

Sindroma Guillain Barre

Sindroma Guillain Barre


Fransiska Erwin IA, S.Ked

Definisi

Parry mengatakan bahwa, SGB adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang sering
terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut Bosch, SGB merupakan suatu sindroma
klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses
autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis.

Epidemiologi

 Puncak insiden: antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia <2 tahun.
 Laki-laki dan wanita sama jumlahnya.
 Lebih sering terjadi pada ras kulit putih.
 Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.

Etiologi

Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih
menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada
hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:
 Infeksi
 SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB yang berkaitan
dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul
seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal.
 Patogen yang tersering ditemukan
adalah Campylobacter jejuni, cytomegalovirus (CMV), Mycoplasmapneumonia, Epstein-Barr virus, dan
virus influenza.
 Vaksinasi
 Pembedahan
 Penyakit sistemik:
 keganasan
 systemic lupus erythematosus
 tiroiditis
 penyakit Addison
 Kehamilan atau dalam masa nifas

Patogenesa

Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi terjadinya
demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan
bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi.
Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada
sindroma ini adalah:
1. didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated immunity) terhadap agen
infeksious pada saraf tepi.
2. adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3. didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah saraf tepi
yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral
yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus.

Patologi

Asbury dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi sel limfosit yang
ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan ini segera diikuti
demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian.
Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung
myelin dari sel schwan dan akson.

Klasifikasi
Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu:
1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP), paling sering, disebabkan oleh respon
autoimun yang menyerang membrane sel Schwann, terjadi kelemahan progresif, hiporefleks/ arefleks,
perubahan sensori ringan (penurunan sensibilitas yang ringan)
2. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
3. Acute motor axonal neuropathy (AMAN), disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang aksoplasma
saraf perifer, biasanya pada anak-anak, disertai hiperrefleks dan kelemahan progresif yang cepat, good
recovery.
4. Acute motor sensory axonal neuropathy (AMSAN), menyerang aksoplasma saraf perifer dan menyerang
saraf sensorik dengan kerusakan akson yang berat, biasanya pada dewasa, mengakibatkan disfungsi
motorik dan sensorik, atrofi otot, poor recovery.
5. Miller Fisher’s syndrome (MFS), varian GBS yang jarang terjadi dan bermanifestasi sebagai paralisis
desendens, gejalanya meliputi trias klasik: ataxia, areflexia, danophthalmoplegia; bisa juga terdapat mild
limb weakness, ptosis, facial palsy, atau bulbar palsy; penderita biasanya sembuh dalam 1-3 bulan.
6. Acute panautonomia, varian GBS yang paling jarang terjadi, melibatkan sistem saraf simpatis dan
parasimpatis, termasuk kardiovaskular (penyebab kematian tersering: disritmia jantung), penderita
sembuh bertahap, biasanya incomplete.

Gejala klinis dan kriteria diagnosa

Diagnosa SGB terutama ditegakkan secara klinis.


SBG ditandai dengan timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon
dan didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi sitoalbumin
pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer.

Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah kriteria dari National Institute of Neurological and
Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:

I. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:


 Terjadinya kelemahan yang progresif
 Hiporefleksi

II. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB:


 Ciri-ciri klinis:
 Gejala gangguan sensibilitas ringan, biasanya terjadi beberapa hari sebelum timbul kelemahan, dimulai
dari bagian distal dan simetris.
 Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai
puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu.
 Relatif simetris
 Gejala saraf kranial ± 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral. Saraf otak lain dapat terkena
khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang < 5% kasus neuropati dimulai dari
otot ekstraokuler atau saraf otak lain
 Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat memanjang sampai beberapa bulan.
 Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi dan gejala vasomotor.
 Tidak ada demam saat onset gejala neurologis
 Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:
 Protein CSS meningkat setelah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan pada LP serial
 Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3
 Varian:
 Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala
 Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3
 Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:
 Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari
normal
Diagnosa Banding

GBS harus dibedakan dari kondisi medis lainnya dengan gejala kelemahan motorik subakut lainnya,
antara lain sebagai berikut:

1. Miastenia gravis akut, tidak muncul sebagai paralisis asendens, meskipun terdapat ptosis dan kelemahan
okulomotor. Otot mandibula penderita GBS tetap kuat, sedangkan pada miastenia otot mandibula akan
melemah setelah beraktivitas; selain itu tidak didapati defisit sensorik ataupun arefleksia.
2. Thrombosis arteri basilaris, dibedakan dari GBS dimana pada GBS, pupil masih reaktif, adanya arefleksia
dan abnormalitas gelombang F; sedangkan pada infark batang otak terdapat hiperefleks serta refleks
patologis Babinski
3. Paralisis periodik, ditandai oleh paralisis umum mendadak tanpa keterlibatan otot pernafasan dan hipo
atau hiperkalemia.
4. Botulisme, didapati pada penderita dengan riwayat paparan makanan kaleng yang terinfeksi. Gejala
dimulai dengan diplopia disertai dengan pupil yang non-reaktif pada fase awal, serta adanya bradikardia;
yang jarang terjadi pada pasien GBS.
5. Tick paralysis, paralisis flasid tanpa keterlibatan otot pernafasan; umumnya terjadi pada anak-anak
dengan didapatinya kutu (tick) yang menempel pada kulit.
6. Porfiria intermiten akut, terdapat paralisis respiratorik akut dan mendadak, namun pada pemeriksaan urin
didapati porfobilinogen dan peningkatan serum asam aminolevulinik delta.
7. Neuropati akibat logam berat; umumnya terjadi pada pekerja industri dengan riwayat kontak dengan
logam berat. Onset gejala lebih lambat daripada GBS.
8. Cedera medulla spinalis, ditandai oleh paralisis sensorimotor di bawah tingkat lesi dan paralisis sfingter.
Gejala hamper sama yakni pada fase syok spinal, dimana refleks tendon akan menghilang.
9. Poliomyelitis, didapati demam pada fase awal, mialgia berat, gejala meningeal, yang diikuti oleh paralisis
flasid asimetrik.
10. Mielopati servikalis. Pada GBS, terdapat keterlibatan otot wajah dan pernafasan jika muncul paralisis,
defisit sensorik pada tangan atau kaki jarang muncul pada awal penyakit, serta refleks tendon akan
hilang dalam 24 jam pada anggota gerak yang sangat lemah dalam melawan gaya gravitasi.
 DD untuk fase awal GBS: Mielitis akut, Poliomyelitis anterior akut, Porphyria intermitten akut,
Polineuropati post difteri.

Terapi

Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum bersifat simtomatik.
Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui
sistem imunitas (imunoterapi).
 Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak mempunyai nilai/tidak
bermanfaat untuk terapi SGB.
 Plasmaparesis (plasma exchange)
 Tujuan: untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar  perbaikan klinis lebih cepat,
penggunaan alat bantu nafas lebih sedikit, dan lama perawatan lebih pendek.
 Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari.
 Lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).
 Pengobatan imunosupresan:
 Imunoglobulin IV (IVIg)
 Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena
efek samping/komplikasi lebih ringan.
 Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg
BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.
 Lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (2 minggu pertama).
 Obat sitotoksik
 Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
- 6 merkaptopurin (6-MP)
- azathioprine
- cyclophosphamid
 Efek samping dari obat-obat ini adalah alopecia, muntah, mual, dan sakit kepala.

Prognosa

 Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada sebagian kecil penderita dapat
meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan
bila dengankeadaan antara lain:
 pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal
 mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset
 progresifitas penyakit lambat dan pendek
 pada penderita berusia 30-60 tahun
 Sebuah sistem skoring prognostik klinis dapat digunakan untuk menilai prognosis pasien GBS,
yaitu Erasmus GBS Outcome Score (EGOS). Skoring ini dilakukan 2 minggu setelah admisi.

Daftar Pustaka:

Japardi, Iskandar. 2002. Sindroma Guillain-Barre. USU digital library.


Van Doorn, PA. 2004. Guillain Barre Syndrome. Orphanet Encyclopedia.
Burns, Ted M. 2008. Guillain Barre Syndrome. Semin Neurol 28(2):152-167.
Guillain-Barre Syndrome. Avalaible from: http://emedicine.medscape.com/article/792008-overview

Anda mungkin juga menyukai