Anda di halaman 1dari 3

Nama : MUHAJIRIN ADI DWI NUGROHO

NIM : 130110301102

BANDIT-BANDIT PEDESAAN DI JAWA: Studi Historis 1850-1942, SUHARTONO


PERBANDITAN, MANIFESTASI PROTES SOSIAL

Ketika perkebunan menjadi semakin maju dan meluas, semakin cepat juga perubahan
dari kehidupan para petani. Karena perkebunan dan pabrik yang telah menguasai berbagai sektor
keperluan itu hanya dapat dipenuhi oleh petani. Di sisi lain dengan berkembangnya monetisasi
menjadikan semuanya serba uang. Petani yang ingin mendapatkan uang harus menjual hasil
pekarangan dan tenaganya sehingga menimbulkan dependensi pada perkebunan dan pabrik.
Keuntungan perkebunan dan pabrik menjadi berlipat ganda ketika upah kerja ditekan
seminimum mungkin. Kedudukan buruh dan petani sangatlah lemah sehingga mereka tidak
mampu menghadapi penguasa dan pengusaha dari perkebunan dan pabrik.

Sejak awal berlakunya Tanam Paksa sudah diingatkan oleh seseorang inspektur
perkebunan, L. Vitalis, yang sedang melakukan inspeksi di perkebunan wilayah Pasuruan bahwa
perkebunan tebu tidak akan berjalan tanpa dukungan dari tangan besi dalam merekrut tenaga
kerja petani. Di dalam beberapa laporan kolonial di Batavia dan sekitarnya tidak tampak
penggunaan tenaga kerja wanita dan anak-anak. Memang di sini agak berbeda keadaanya karena
kebutuhan tenaga kerja di perkebunan kopi pada umumnya sudah kecukupan yang berbeda
dengan kebutuhan tenaga kerja di perkebunan tebu di Vorstenlanden dan Pasuruan serta
probolinggo.

Meskipun pihak perkebunan dan pabrik bersikeras mengatakan bahwa petani mendapat
upah kerja tetapi hal itu tidak sebanding dengan tenaga yang digunakan dan petani menderita
tekanan batin. Sementara mereka bersikap pasrah selama tidak ada bantuan dari elite desa yang
bersedia menolong untuk memperbaiki situasi dan perasaan tidak aman. Reaksi dari tiga lokasi
penelitian ini berbeda baik frekuensinya, kualitas, maupun kuantitasnya. Tekanan yang berasal
dari pabrik dan perkebunan jelas berkaitan dengan jenis pekerjaan dari setiap perkebunan.
Diantara perkebunan yang ada, perkebunan tebulah yang paling banyak menyengsarakan
penduduk.

Sejak berlakunya politik ekonomi liberal tahun 1870, kehidupan di pedesaan menjadi
semakin memburuk. Meskipun telah dihapuskan Tanam Paksa untuk beberapa jenis tanaman
tetapi dampaknya tidak menguntungkan bagi kehidupan petani. Setelah berlakunya politik etis
pun keadaan masyarakat juga memburuk. Pemerintah kolonial khawatir kalau masih seperti ini
berarti usahanya akan bangkrut karena suplai tenaga kerja dan keuntungan yang didapat menjadi
terhenti. Dengan perkembangan zaman dan dihapuskannya kerja paksa menjadi bergeser pada
kerja bebas di satu pihak dan menjamurnya perusahaan swasta di kota-kota besar menyebabkan
arus urbanisasi.

Secara ekonomis dan politis partisipasi buruh dan petani dalam Sarekat Islam (SI) tetap
mempunyai komitmen dengan akar lama. Erat dengan alasan ekonomi bahwa hanya dengan
kekuatan bersama secara politis saja kepentingannya dapat terpenuhi dan tekanan pemerintah
kolonial dapat dihilangkan. Personeel Fabrieks Bond (PFB) yang didirikan oleh R.M.
Suryopranoto pada tahun 1915 segera disambut oleh para buruh pabrik gula untuk mendukung
agitasinya. Dari pemogokan yang dilakukannya terhadap kondisi sosial perburuhan jelas
memberikan indikasi bahwa pemogokan itu merupakan upaya meningkatkan perbaikan jaminan
hidup.

Di beberapa daerah pengaruh SI memang belum merata, akan tetapi di daerah itu ternyata
sudah terjadi reaksi murni dari petani. Mereka melakukan reaksi itu karena berbagai tekanan dari
penguasa tanah partikelir maupun perkebunan. Pengaruh SI yang kemudian datang di daerah-
daerah itu mempercepat reaksi mereka terhadap pihak penekan. SI kemudian menjadi akselerator
gerakan menentang penguasa tanah partikelir maupun perkebunan. Pengaruh SI juga berbeda-
beda diterima di setiap cabang ada beberapa cabang yang tidak memberikan reaksi apa-apa,
tetapi di Singosari, Malang SI mampu mensimulasikan oposisi terhadap perkebunan yang
eksploitatif dan bahkan secara revolusioner dan terbuka menentang perkebunan.

Setelah timbulnya disiplin partai tahun 1921, yang melarang keanggotaan rangkap SI dan
PKI, menyebabkan PKI makin leluasa. Lebih-lebih dengan berdirinya Sarekat Rakyat (SR) yang
merupakan organisasi anakan PKI maka SR dapat merebut anggota SI lokal sekitar 2.000 orang
di Ngantang, barat Malang ke dalam PKI. Di tempat lain SR gagal didirikan di Pasuruan pada
tahun 1924. Kemajuan SR dapat dikatakan melejit meskipun mendapat serangan dari Sarekat
Hijau yang antikomunis.

Pada dasarnya yang disebut bandit adalah individu atau sekelompok orang yang
menyerang dan merampok dengan kekerasan. Jika memakai istilah perbanditan tidak berate
setuju dengan subjektivitas yang digunakan pemerintah kolonial. Akan tetapi erat kaitannya
dengan penelitian ini yang disebut perbanditan adalah perbuatan individu atau sekelompok orang
untuk mendapatkan kembali haknya yang telah dirampas oleh peerintah kolonial dan
perkebunan.

Berturut-turut istilah perbanditan itu merupakan representasi dari kejahatan semata-mata,


perbanditan sosial, dan perbanditan politik. Tindakan perbanditan itu dapat dilakukan dari hari ke
hari, artinya setiap saat dilakukan jika diinginkan oleh para bandit. Selain itu perbanditan dapat
dilakukan menurut waktu-waktu tertentu, menurut perhitungan waktu yang tepat demi
keselamatan mereka. Perbanditan lebih bersifat lokal dan jaringan dengan lokal lain yang sangat
jarang, dan bahkan di antara mereka terjadi persaingan siapa yang paling berpengaruh di satu
daerah. Resistensi setiap hari dapat dilakukan bandit telah diungkap oleh James Scott dan
rupanya bentuk sesistensi ini dilakukan nonkonfronsional oleh perseorangan. Mereka dapat
melakukan secara rutin atau kapan saja, setiap kali diperlukan karena mereka hidup di
lingkungan perkebunan yang setiap saat mendapat tekanan.

Pada pertengahan kedua abad-19 suasana pedesaan Banten masih keruh karena terus-
menerus dalam suasana tidak aman. Pegawai pamongpraja rendahan, setingkat wedana, kesulitan
memberantas perbanditan yang sudah endemis. Di satu pihak masyarakat setempat tutup mulut
dan tidak melapor perampokan yang telah terjadi, padahal kenyataanya perampokan merajalela.
Ini merupakan suatu dilemma bagi pamongpraja yang bertuan pada pemerintah kolonial dan
pengayom masyarakat. Karena itu tidak mengherankan jika pihak pamongpraja selalu menjilat
ke atas demi keselamatannya. Meraka tidak segan-segan mencari alibi, mengumumkan
pemberian hadiah bagi siapa saja yang berhasil menyerahkan bandit, dan sama-sama aman untuk
melepaskan tanggung jawab.

Dua orang tokoh, Entong Tolo dan Entong Gendut dikenal sebagai pemimpin bandit
sosial yang bercampur motivasi politik meskipun sangat terbatas di salah satu distrik Jatinegara.
Mereka dikenal sebagai “Roobin Hood” Batavia yang antituan tanah. Petani yang tidak dapat
membayar pajak diajukan ke pengadilan dan dikenakan denda, bahkan tidak segan-segan mereka
dipenjarakan atau dibakar harta bendanya. Hal inilah yang mengetok hati kedua tokoh itu untuk
tampil membela penderitaan petani.

Peristiwa Tanggerang merupakan peristiwa besar dari Resistensi anti Cina pada tahun
1924. Resistensi ini merupakan fenomena antiekstorsi yang tidak diwujudkan dalam bentuk
perbanditan pada umumnya, tetapi diwujudkan dalam bentuk resistensi antipresi dari tuan tanah.
Resistensi dalam bentuk perbanditan tidak begitu tampak karena diferensiasi resistensi tidak
terlalu banyak, sehingga yang muncul adalah resistensi dalam bentuk kombinasi aspek ekonomi
atau religious. Dalam peristiwa ini muncul seorang pemimpin bernama Kaiin Bapa Kayah dari
desa pangkalan. Resistensi bertujuan membebaskan penduduk dari cengkeraman tuan tanah
Cina. Mereka akan mengusir orang Cina agar kembali ke negerinya. Di pihak lain resistensi ini
dapat dipandang sama dengan apa yang dilakukan Entong Tolo dan Entong Gendut.

Kaiin Bapa Kayah adalah petani kecil seperti umumnya petani Tanggerang. Status
petaninya sebagai bujang sawah atau buruh dan pernah menjadi petani bagi hasil. Rumahnya
didirikan di pekarangan kakak perempuannya. Uang kompenian tidak pernah dibayar dengan
baik. Ia pernah menjadi mandor, opas asisten wedana teluknaga dan pada tahun 1913 ia pindah
ke Batavia juga menjadi opas seorang komisaris polisi. Akhirnya ia pulang ke kampung
halamannya dan menjadi seorang dalang di kawasan Kebayoran.

Anda mungkin juga menyukai