Eksaserbasi dapat dikaitkan dengan peningkatan produksi sputum dan jika terbentuk
sputum purulen, menandakan adanya infeksi bakteri. Ada bukti yang mengatakan
bahawa terjadi peningkatan eosinofil di saluran pernapasan, paru-paru, dan darah pada
sebagian besar pasien dengan PPOK. Selanjutnya, jumlah eosinofil akan meningkat
bersama dengan jumlah neutrofil dan sel-sel inflamasi lainnya selama onset PPOK
eksaserbasi. Sputum dengan eosinofil sering terdapat pada infeksi virus. Pengobatan
eksaserbasi yang disertai dengan peningkatan produksi sputum dan eosinofil darah
mungkin responsif dengan penggunaan steroid sistemik, meskipun perlu dilakukan uji
prospektif lanjutan untuk membuktikan hipotesis tersebut.
Onset gejala PPOK eksaserbasi biasanya berlangsung antara 7 hingga 10 hari, tetapi
beberapa kasus dapat berlangsung lebih lama. Dalam onset 8 minggu, 20% pasien
belum dapat pulih ke keadaan pra-eksaserbasi. Eksaserbasi pada PPOK dapat
berkontribusi pada perkembangan penyakit. Perkembangan penyakit akan menjadi berat
jika pemulihan dari keadaan eksaserbasi berlangsung lambat. Gejala eksaserbasi dapat
terjadi dalam beberapa waktu dan sekali pasien PPOK mengalami eksaserbasi,
menunjukkan kemungkinan kejadian eksaserbasi berulang kedepannya.
Faktor-faktor lain yang berhubungan dengan peningkatan risiko eksaserbasi akut dan/
atau keparahan eksaserbasi adalah peningkatan rasio arteri pulmonal dan dimensi aorta
cross sectional (rasio> 1), besarnya persentase emfisema atau ketebalan dinding saluran
napas, yang diukur dengan CT scan thoraks dan adanya bronkitis kronis.
Pengobatan
Pilihan Pengobatan
Tujuan terapi PPOK eksaserbasi adalah untuk meminimalkan efek negatif gejala
eksaserbasi dan mencegah perkembangan penyakit menjadi lebih berat. Berdasarkan
beratnya gejala eksaserbasi dengan/tanpa penyakit penyerta, kasus eksaserbasi dapat
ditatalaksana dengan rawat jalan atau rawat inap. Lebih dari 80% pasien eksaserbasi
dapat dirawat jalan dengan pemberian obat bronkodilator, kortikosteroid, dan antibiotik.
Indikasi rawat inap pada PPOK eksaserbasi dapat dilihat pada Tabel 5.1. Kerika pasien
PPOK eksaserbasi datang ke instalasi gawat darurat, pasien harus segera diberikan
terapi oksigen, kemudian dinilai apakah gejala eksaserbasi dapat membahayakan nyawa
pasien dan apakah terdapat peningkatan usaha pernapasan atau kegagalan pertukaran
udara pernapasan perlu dipertimbangkan pemberian bantuan ventilasi non invasif. Jika
ada tanda bahaya, perlu dipikirkan untuk segera dibawa ke ruang intensif. Jika tidak
ada, pasien dapat dirawat di instalasi gawat darurat atau di ruang rawat inap. Selain
dengan terapi farmakologi, sebagai tambahan untuk terapi pasien eksaserbasi dapat
diberikan bantuan pernapasan (terapi oksigen, ventilasi). Terapi eksaserbasi berat yang
tidak membahayakan nyawa, dapat dilihat pada Tabel 5.2.
Manifestasi klinis PPOK eksaserbasi bervariasi. Pada pasien yang di rawat inap, terapi
eksaserbasi berat harus disesuaikan dengan gejala klinis dan mengikuti klasifikasi yang
telah ada sebelumnya.
Tidak ada gagal napas: Laju pernapasan: 20-30 kali permenit; tidak ada bantuan otot
pernapasan, tidak ada perubahan status mental; hipoksemia dapat membaik dengan
pemberian oksigen via Venturi mask dengan FiO2 28-25%; tanpa disertai peningkatan
PaCO2.
Gagal napas akut – tidak membahayakan nyawa: Laju pernapasan >30 kali
permenit; menggunakan bantuan otot pernapasan; tanpa perubahan status mental;
hipoksemia dapat membaik dengan pemberian oksigen via Venturi mask dengan FiO2
25-30%; dengan peningkatan PaCO2 lebih dari nilai normal atau peningkatan 50-60
mmHg.
Gagal napas akut –membahayakan nyawa: Laju pernapasan >30 kali permenit;
menggunakan bantuan otot pernapasan; perubahan status mental akut; hipoksemia tidak
dapat membaik dengan pemberian oksigen via Venturi mask dengan FiO2 >40%; terjadi
hiperkarbia dengan peningkatan PaCO2 lebih dari nilai normal atau peningkatan >60
mmHg atau disertai asidosis (pH≤ 7,25).
Prognosis jangka panjang pada PPOK eksaserbasi yang harus dirawat inap adalah
buruk, dengan tingkat mortalitas 5 tahun sekitar 50%. Faktor yang berhubungan dengan
hasil buruk adalah usia tua, indeks massa tubuh yang rendah, penyakit komorbid
(seperti peyakit kardiovaskular atau kanker paru), riwayat di rawat sebelumnya dengan
PPOK eksaserbasi, gejala berat PPOK eksaserbasi dan kebutuhan terapi oksigen jangka
panjang saat keluar dari rumah sakit. Pasien dengan gejala pernapasan berat, rendahnya
kualitas hidup, fungsi paru yang jelek, kapasitas paru rendah, densitas paru menurun
dan adanya penebalan dinding bronkus dari hasil pemeriksaan CT scan juga menjadi
penyebab meningkatnta mortalitas pada kasus PPOK eksaserbasi.
Terapi Farmakologi
Terdapat 3 jenis obat yang paling sering digunakan pada kasus PPOK eksaserbasi, yaitu
bronkodilator, kortikosteroid, dan antibiotik.
Bronkodilator. Walaupun belum ada bukti dari penelitian RCT, beta 2 agonis kerja
cepat, dengan atau tanpa pemberian antikolinergik kerja cepat, merupakan terapi awal
bronkodilator untuk kasus PPOK eksaserbasi. Sebuah systemic review tentang rute
pemberian bronkodilator kerja pendek, menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan nilai FEV1 pada pemberian bronkodilator menggunakan metered dose
inhaler (MDI) dan nebulizer, walaupun penggunaan nebulizer lebih mudah dilakukan
pada pasien yang sakit. Penggunaan nebulizer secara terus menerus tidak
direkomendasikan, sedangkan penggunaan inhaler MDI satu puff setiap 1 jam dengan 2-
3 dosis dan dilanjutkan pemberian setiap 2-4 jam disesuaikan dengan respon pasien.
Walaupun belum ada penelitian yang jelas, kami merekomendasi pemberian
bronkodilator kerja lambat (kombinasi beta 2 agonis atau antikolinegik), dengan atau
tanpa kortikosteroid inhalasi, pada kasus eksaserbasi atau dimulai segera sebelum
pasien dipulangkan dari rumah sakit. Obat golongan Metilxantin intravena (teofinin atau
aminofinin) tidak direkomendasikan pada kasus eksaserbasi karena memiliki efek
samping.
Glukokortikoid. Data dari studi glukokortikoid sistemik pada PPOK eksaserbasi akut
akan mempersingkat waktu penyembuhan dan memperbaiki fungsi paru (FEV1). Obat
ini juga dapat memperbaiki oksigenasi, risiko relaps, kegagalan terapi dan
mempersingkat waktu perawatan di rumah sakit. Prednisone dosis 40 mg/hari selama 5
hari direkomendasikan untuk kasus PPOK eksaserbasi. Terapi prednisolon oral sama
efektif dengan pemberian secara intravena. Nebulisasi budesonide, walaupun mahal,
dapat menjadi alternatif kortikosterodi oral pada pasien eksaserbasi. Penelitian
sebelumnya menunjukkan glukokortikoid kurang efektif diberikan pada pasien PPOK
eksaserbasi dengan kadar eosinofil darah yang rendah.
Antibiotik. Walaupun PPOK eksaserbasi dapat disebabkan oleh infeksi virus atau
bakteri, penggunaan antibiotik pada kasus eksaserbasi masi controversial. Pada
beberapa penelitian yang tidak membedakan antara bronchitis (akut atau kronis) dan
PPOK eksaserbasi, tanpa kontrol placebo, dan /atau tidak adanya kriteria eksklusi pada
pemeriksaan foto polos thorax, mungkin saja terdapat pasien yang menderita
pneumonia. Penggunaan antibiotik pada kasus PPOK eksaserbasi diberikan pada pasien
yang memiliki gejala klinis infeksi bakteri, seperti produksi sputum purulen.
Sebuah systematic review dari studi placebo terkontrol menunjukkan bahwa antibiotik
dapat menurunkan risiko mortalitas sebesar 77%, kegagalan terapi 53%, dan produksi
sputum purulen 44%. Penelitian ini membuktikan pengobatan dengan antibiotik dapat
diberikan pada pasien PPOK eksaserbasi moderat dan berat dengan peningkatan gejala
batuk dan produksi sputum purulen. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian RCT
pada pasien PPOK eksaserbasi moderat. Pada pasien rawat jalan, kultur sputum tidak
memberikan hasil yang baik. Beberapa biomarker dari infeksi saluran napas telah
dipelajari untuk dapat membantu penegakan diagnosis PPOK eksaserbasi. Penelitian C-
reactive protein (CRP) memberikan hasil yang kontradiktif dan tidak
direkomendasikan; CRP dilaporkan akan meningkat pada infeksi bakteri dan virus,
sehingga memberikan hasil yang tidak spesifik. Biomarker lainnya, prokalsitonin
adalah sebuah penanda infeksi bakteri spesifik dan dapat menjadi patokan pemberian
terapi antibiotik, namun tes ini mahal dan jarang tersedia. Beberapa studi menyarankan
terapi antibiotik dengan procalcitonin-guided dapat menurunkan pemakaian dan efek
samping antibiotik, dengan hasil yang sama. Sebuah penelitian metaanalisis
menunjukkan penggunaan antibiotik procalcitonin based proctocol secara signifikan
akan menurunkan pemberian dan paparan antibiotik, tanpa mempengaruhi hasil terapi
(seperti kegagalan terapi, waktu perawatan yang lebih lama, dan kematian). Namun,
kualitas bukti penelitian ini bernilai lemah hingga moderat, karena keterbatasan
metodologi penelitian dan populasi studi yang kecil. Terapi dengan procalcitonin based
proctocol efektif secara, namun diperlukan penelitian lanjutan dengan metodologi yang
lebih baik untuk mengkonfirmasi temuan ini. Sebuah studi PPOK eksaserbasi yang
diberikan terapi ventilasi mekanik (invasif dan nonivasif), pada pasien yang tidak
diberikan antibiotik akan meningkatkan mortalitas dan meningkatkan insiden
pneumonia nosokomial sekunder.
Kesimpulanya, antibiotik harus diberikan pada pasien PPOK eksaserbasi yang memiliki
3 gejala cardinal, yaitu peningkatan dispneu, peningkatan produksi sputum, dan sputum
purulen; atau cukup terdapat 2 gejala cardinal, jika salah satu gejalanya terdapat sputum
purulen; atau membutuhkan ventilasi mekanik (invasif dan nonivasif). Antibiotik
diberikan selama 5-7 hari.
Pemilihan jenis antibiotik harus didasarkan pada tipe resistensi bakteri local. Biasanya
terapi awal antibiotik adalah dengan aminopenisilin dengan asam klavulanat, makrolid,
atau tetrasiklin. Jika pasien sering mengalami eksaserbasi, adanya limitasi aliran udara
yang berat, dan/atau eksaserbasi yang membutuhkan ventilasi mekanik, diperlukan
pemeriksaan kultur sputum atau sampel dari paru-paru, karena bakteri gram negative
(seperti Pseudomonas sp.) atau pathogen yang resisten, tidak akan sensitif dengan jenis
antibiotik yang telah disebutkan sebelumnya. Rute pemberian obat (oral atau intravena)
tergantung pada kemampuan pasien untuk makan dan farmakokinetik dari antibiotik
tersebut. Perbaikan dispneu dan penurunan produksi sputum purulen menjasi penanda
kesuksesan terapi.
Bantuan Penapasan
Terapi oksigen merupakan terapi utama manajemen eksaserbasi di rumah sakit.
Pemberian oksigen harus di titrasi untuk memperbaiki keadaan hipoksemia pasien
hingga target saturasi 88-92%. Saat terapi oksigen di mulai, pemeriksaan kadar gas
darah harus diperiksa secara berkala untuk memastikan keberhasilan oksigenasi tanpa
adanya retensi karbon dioksida, dengan/tanpa perburukan keadaan asidosis. Sebuah
penelitian menunjukkan pemeriksaan gas darah vena dapat menilai kadar bikarbonat
dan pH secara pasti ketika dibandingkan dengan pemeriksaan gas darah arteri.
Pemeriksaan gas darah vena juga dilakukan untuk membuat keputusan medis keadaan
gagal napas akut; kebanyakan pasien memiliki pH>7.30, kadar pCO2 yang tidak sama
antara sample arteri dan sample vena, tanpa disertai perburukan limitasi aliran udara.
Pemakaian venturi mask memberikan hasil yang lebih baik daripada nasal kanul.
Terapi oksigen high flow dengan nasal kanul. Pada pasien dengan gagal napas
hipoksemia akut, terapi oksiden high flow dengan nasal kanul (HFNC) dapat menjadi
pilihan alternatif terapi oksigen atau ventilasi tekanan positif nonivasif; beberapa studi
menunjukkan HFNC dapat menurunkan kebutuhan intubasi atau mortalitas pasien gagal
napas hipoksik akut (ARF). Penelitian terbaru dilakukan pada pasien PPOK dengan
penyakit penyerta berat yang membutuhkan suplementasi oksigen menunjukkan bahwa
HFNC dapat memperbaiki oksigenasi, ventilasi dan menurunkan hiperkarbia. Sebuah
systematic review RCT pada pasien dengan gagal napas hipoksik akut memberikan hasil
bahwa HFNC dapat menurunkan angka intubasi, tapi tidak memiliki perbedaan yang
signifikan dengan terapi oksigen konvensional atau NIV, dan tidak berpengaruh pada
mortalitas pasien. Namun belum ada penelitian meta analisis mengenai gagal napas
akibat PPOK eksaserbasi. Sehingga dibutuhkan desain penelitian yang lebih baik, acak,
dan multicenter untuk menguji efek HFNC pada pasien PPOK yang disertau gagal
napas hipoksemik/hiperkarbik akut.
Ventilasi mekanik Invasif. Indikasi terapi ventilasi mekanik invasif pada pasien
eksaserbasi dapat dilihat pada Tabel 5.6., termasuk kegagalan terapi awal dengan NIV.
Secara umum, penggunaan NIV pada pasien PPOK memberikan keberhasilan yang
baik, sehingga penggunaan ventilasi mekanik invasif bukan menjadi terapi lini pertama
pada pasien PPOK eksaserbasi yag dirawat inap. Pada pasien yang gagal dengan terapi
awal NIV, pemberian terapi invasif dapat memberikan hasil terapi yang lebih baik,
menurunkan morbiditas dan mortalitas, serta mempersingkat waktu perawatan. Terapi
ventilasi invasif dilakukan pada pasien PPOK berat atas persetujuan pasien dan
ketersediaan alat di ruang intensif. Berbagai komplikasi seperti ventilator associated
pneumonia (khususnya pada kasus multiresistensi), barotraumas dan volutrauma, dan
risiko trakeostomi akan menyebabkan waktu terapi ventilasi yang memanjang.
Angka mortalitas akut pada pasien PPOK dengan gagal napas lebih rendah daripada
mortalitas pasien non-PPOK yang diberikan ventilasi. Meskipun demikian, terdapat
bukti bahwa pasien yang mungkin bertahan hidup sering ditolak masuk ke perawatan
intensif untuk dilakukan intubasi karena sudah dianggap memiliki prognosis yang
buruk. Sebuah studi besar pada pasien PPOK dengan gagal napas akut menunjukkan
angka mortalitas pasien di rumah sakit sebesar 17-49%. Kematian lebih lanjut
dilaporkan lebih dari 12 bulan kemudian, terutama pada pasien dengan fungsi paru yang
buruk sebelum ventilasi invasif (FEV1 < 30%), memiliki penyakit komorbid non-
respiratori, atau pasien rawat jalan. Terapi dengan ventilasi akan memberikan hasil yang
baik pada pasien yang tidak memiliki riwayat penyakit komorbid, penyebab gagal napas
yang reversible (seperti infeksi), atau pada pasien yang tidak memerlukan terapi oksigen
jangka panjang.
Early follow up (dalam 1 bulan) setelah pemulangan pasien, harus dilakukan karena
dapat menurunkan kejadian kekambuhan eksaserbasi. Banyak pasien yang tidak
melakukan early follow up, dapat meningkatkan kemungkinan mortalitas dalam 90 hari.
Hal ini mungkin disebabkan kurangnya kesadaran pasien, kesulitan akses pelayanan
kesehatan, dukungan sosial yang minim, dan/atau adanya penyakit penyerta yang lebih
berat.
Early follow up dapat memantau hasil terapi yang diberikan saat pemulangan pasien
(khususnya kemungkinan kebutuhan terapi oksigen jangka panjang dengan cara
pemerikaan saturasi oksigen dan analisis gas darah) dan apakah dibutuhkan penggantian
terapi lainnya (antibiotik dan steroid).
Pencegahan eksaserbasi
Setelah terjadi keadaan eksaserbasi akut, diperlukan pencegahan agar tidak terjadi
keadaan eksaserbasi lanjutan dan lebih berat (Tabel 5.3 dan Tabel 5.8)